Syed Muhammad Naquib al-Attas lahir pada 1931 di Bogor, Jawa Barat. Ia berasal dari keturunan bangsawan Sunda dan Arab Hadramaut. Al-Attas dikenal sebagai pemikir Islam kontemporer yang mempromosikan islamisasi ilmu pengetahuan. Ia mendirikan lembaga ISTAC dan banyak menulis buku tentang pendidikan Islam, filsafat Islam, dan sejarah kebudayaan Melayu-Islam.
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Pemikiran Pendidikan Islam Naquib al-Attas
1. Nama lengkapnya adalah Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn Abdullah
ibn Muhsin al-Attas, yang lebih populer dengan nama Naquib al-Attas. Ia dilahirkan
pada tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat.5 Silsilah keturunannya dapat
dilacak hingga ribuan tahun ke belakang melalui silsilah sayyid dalam keluarga
Ba’alawi di Hadramaut dengan silsilah yang sampai kepada Imam Husein, cucu
Nabi Muhammad saw. Di antara leluhurnya ada yang menjadi wali atau ulama’,
salah seorang di antara mereka dari pihak ibu adalah Syed Muhammad al-Haydarus,
guru dan pembimbing ruhani Syed Abu Hafs Umar ba Syaiban dari Hadramaut
yang mengantar Nur al-Din al-Raniry salah seorang ulama’ terkemuka di dunia
Melayu ke tarekat rifa’iyyah.6 Ibunda Syed Naquib al-Attas bernama Syarifah
Baquan al-Aidarus, berasal dari Bogor, Jawa Barat, yang merupakan keturunan
ningrat Sunda di Sukapura.
Naquib al-Attas bagi sebagian masyarakat awam tidak terlalu dikenal, tetapi
dikalangan akademisi yang pernah membaca buku-bukunya yang diterjemahkan
langsung ke Bahasa Indonesia, pasti mengenalnya. Sisi terpenting dari sosok al-
Attas ini adalah gagasan tentang perlunya islamisasi ilmu pengetahuan
kontemporer, yang kemudian dipopulerkan oleh Isma’il Raji al-Faruqi.
Dalam memetakan trend pembaharuan pemikiran pendidikan Islam, para
intelektual Muslim di dunia Islam memiliki kecenderungan yang berbeda-beda,
tetapi terdapat dua trend pemikiran yang menonjol dari kalangan intelektual
Muslim yakni; bersifat internal dan eksternal.7 Bersifat eksternal yaitu upaya
pembaharuan yang dilakukan dengan berangkat dari identifikasi penyebab
kemunduran umat berdasarkan pengamatan fenomena sosial, politik, ekonomi,
teknologi dan lain-lain. sementara bersifat internal yakni upaya pembaharuan yang
bertolak dari pencarian penyebab kemunduran umat secra internal dari pemahaman
yang insten serta perenungan yang mendalam mengenai makna Islam itu sendiri.
Berdasarkan elaborasinya terhadap dua sumber pokok ajaran Islam al-
Qur’an dan Hadist juga terdapat kitab-kitab klasik, di samping renungan
filosofisnya, al-Attas telah membawa angin segar dalam memetakan pembaharuan
pemikiran pendidikan Islam kontemporer. Ia banyak melontarkan gagasan baru
yang menarik dan aktual. Dengan pengertian lain, Naquib al-Attas memiliki
2. konsep-konsep baru tentang pendidikan Islam. Hal lain yang membuatnya terkenal
dan membedakan dari para pemikir pendidikan Islam lainnya adalah terletak pada
tema reformasi pendidikan Islam, serta reformulasi perangkat pendidikan
pendidikan Islam lain yang diangkatnya sebagai suatu wacana intelektual.
Ide-ide Naquib al-Attas merupakan titik kulminasi beberapa pemikiran
konseptual yang kemudian dikumpulkan dalam beberapa karyanya. Yang lebih
menarik lagi, disamping sebgai pemikir yang konsekuen terhadap ide-ide yang
dilontarkannya, adalah kepeduliannya yang sangat kuat terhadap kemunduran yang
dialami umat Islam. Sehingga gagasan dan pemikiran konseptualnya
diimplementasikan ke dalam suatu lembaga pendidiikan yang bertaraf Internasional
yang kemudian diberi nama International Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC), yang berkedudukan di Bukit Damansara, Kuala Lumpur,
Malaysia.8 Dilatarbelakangi dengan pemikiran di atas, mengetahui dan membahas
pemikiran pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam konteks
pendidikan Islam kontemporer, tentunya merupakan lapangan kajian dan penelitian
yang sangat esensial dan menarik. Di bawah akan dipaparkan mengenai makna dan
tujuan pendidikan, dasar, kurikulum, metode pembelajaran, otoritas dan peran guru.
Karya-Karya.
Adapun beberapa karya yang telah ditulis oleh Syed Muhammad Naquib al-
Attas sebagai berikut: Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education
in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education, Kuala Lumpur:
ABIM, 1980; Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, Kuala
Lumpur: ABIM, 1978; Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and the
Philosophy of Science, Malaysia: ISTAC, 1989; Aims and Objectives of Islamic
Education, Jeddah: University of King Abdul Aziz, 1979. Buku ini ditulis bersama
tujuh orang termasuk di dalamnya Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Selain karya yang ditulis Syed Muhammad Naquib al-Attas di atas, masih
terdapat beberapa karya yang lain, terutama karya yang berkaitan erat dengan
kebudayaan Islam Melayu yaitu The Nature of Man and the Phsychology of the
Human Soul (1990); The Intuition of Existence (1990); On Quaddity and Essence
3. (1990); The Meaning and Experience of Happiness in Islam (1993); The Degrees
of Existence (1994); Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of
the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (1995).47 Rangkaian
Ruba’iyat (1959); Some Aspect of Sufism as Understood and Practiced among the
Malays (1963); Raniri and the Wujudiyah of 17th century Acheh, Monograph of the
Royal Asiatic Society (1966); The Origin of the Malay Sha’ir (1968); Preleminary
Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia
Archipelago (1969); The Mysticism of Hamzah Fansuri (1969); Concluding
Postcript to hte Malay Sha’ir (1971); The Correct Date of the Trengganu
Inscription (1971); Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (1972); Risalah
untuk Kaum Muslimin (tt); Comments on the Refutation (tt); A Commentary on the
Hujjat al-Siddiq of Nur ad-Din ar-Raniri (1986); The Oldest Known Malay
Manuscript: A 16th century Malay Translation of the Aqaid of al-Nasafi (1988)48.
Dan terdapat pula artikel-artikel Syed Muhammad Naquib al-Attas antara
lain adalah “Islamic Culture in Malaysia”, Malaysian Society of Orientalists, Kuala
Lumpur (1966); “New Light on the Life og Hamzah Fanshuri”, JMBRAS, vol 40,
pt.1 Singapura (1967); “Noteon the Opening Relations between Malaka and Cina,
1403-5”, Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, vol 38, pt
Singapura, (1965); “Rampaian Sajak”, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu
University Malaya no. 9, Kuala Lumpur (1968); “Hamzah Fanshuri”, The Penguin
Companion to Literatur, Clasiccal and Byzantine, Oriental and African, vol 4,
London (1969); “Indonesia; 4 (a) History: The Islamic Period”, Encyclopedia of
Islam, edisi baru, E.J. Brill, Leiden (1971).49
Karya-karya
Al-Attas di samping mengajar dan memberikan seminar di berbagai tempat,
ia juga sangat produktif dalam menulis, berbagai karya, baik dalam bahasa Inggris
maupun Melayu telah ia hasilkan. Hasil karyanya telah banyak diterjemahkan
dalam berbagai bahasa, seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Malaya,
Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea, dan Al-Bania.10
Di antara karya-karya Al-Attas dalam buku dan monograph:
4. a. Al-Raniry and the Wujudiyah of 17th Century Acheh (Monograph of the
Royal Asiatic Society, Cabang Malaysia, No. 111, Singapura, 1996) adalah judul
tesis yang ditulis ketika menempuh dan menyelesaikan studi S2 di Mc. Gill,
Canada. Dalam tesis ini Al-Attas berpendapat bahwa Nuruddin al-Raniry telah
mampu mendefinisikan dan menjelaskan medan semantik dari kata kunci Melayu
yang berhubungan dengan Islam. Dengan kata lain tesis ini menjelaskan tentang
hubungan yang sangat erat antara proses islamisasi dengan sejarah Melayu itu
sendiri. Hal ini dibuktikan dengan istilah yang yang berkembang dalam sejarah
Melayu. Tesis ini diperkuat dengan hasil riset al-Attas sendiri yang berjudul Some
Aspects of Sufism as Understood and Practiced Amongthe Malays yang diterbitkan
oleh Malaysian Sociological Research di Singapura.
5. Al-Attas telah menulis 26 buku dan monograf, baik dalam bahasa Inggris
maupun bahasa Melayu dan banyak yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa lain,
seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Malayam, Indonesia, Prancis, Jerman,
Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea, dan Albania. Karya-karyanya tersebut adalah:1
1. Rangkaian Ruba’iyat, Dewan Bahasa dari Pustaka (DBP), Kuala
Lumpur, 1959.
2. Some Aspects of Shufism as Understood and Practised Among the
Malays, Malaysian Sociological Research Institute, Singapura, 1963.
3. Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh, Monograph of the
Royal Asiatic Society, Cabang Malaysia, No. 111, Singapura, 1966.
4. The Origin of the Malay Sya’ir, DBP, Kuala Lumpur, 1968.
5. Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the
Malay-Indonesian Archipelago, DBP, Kuala Lumpur, 1969.
6. The Mysticism of Hamzah Fanshuri, University of Malaya Press, Kuala
Lumpur, 1970.
7. Concluding Postscript to the Origin of the Malay Sya’ir, DBP, Kuala
Lumpur, 1971.
8. The Correct Date of the Terengganu Inscription, Museums
Departement, Kuala Lumpur, 1972.
9. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Universiti Kebangsaan
Malaysia, Kuala Lumpur, 1972. Sebagian isi buku ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia dan Prancis. Buku ini juga telah
hadir dalam versi bahasa Indonesia.
10. Risalah untuk Kaum Muslimin, Monograf yang belum diterbitkan, 286
h., ditulis antara Februari-Maret 1973. (Buku ini kemudian diterbitkan
di Kuala Lumpur oleh ISTAC pada 2001-penerj.)
11. Comments on the Re-examination of Al-Raniri’s Hujjat Al-Shiddiq: A
Refutation, Museums Departement, Kuala Lumpur, 1975.
1Hamid Fahmy, “Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas”, terj.
The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhmmad Naquib Al-Attas. (Bandung: Mizan,
2003), hlm. 55-57
6. 12. Islam: The Consept of Religion and the Foundation of Ethics and
Morality, Angkatan Belia Islam Malaya (ABIM), Kuala Lumpur, 1976.
Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Korea, Jepang, dan Turki
13. Islam: Paham Agama dan Asas Akhlak, ABIM, Kuala Lumpur, 1977.
Versi bahasa Melayu buku no. 12 di atas.
14. Islam and Secularism, ABIM, Kuala Lumpur, 1978. Diterjemahkan ke
dalam bahasa Malayalam, India, Persia, Urdu, Indonesia, Turki, Arab,
dan Rusia.
15. (Ed.) Aims and Objectives of Islamic Education: Islamic Education
Series, Hodder and Stoughton dan King Abdulaziz University, London:
1979. Diterjemahkan ke dalam bahasa Turki.
16. The Concept of Education in Islam, ABIM, Kuala Lumpur, 1980.
Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Persia dan Arab.
17. Islam, Secularism, and The Philosophy of the Future, Mansell, London
and New York, 1985.
18. A Commentary on the Hujjat Al-Shiddiq of Nur Al-Din Al-Raniri,
Kementerian Kebudayaan, Kuala Lumpur, 1986.
19. The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay
Trans;ation of the ‘Aqa’id of Al-Nasafi, Dept. Penerbitan Universitas
Malaya, Kuala Lumpur, 1988.
20. Islam and the Philosophy of Science, ISTAC, Kuala Lumpur, 1989.
Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Bosnia, Persia, dan Turki.
21. The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul, ISTAC,
Kuala Lumpur, 1990. Diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.
22. The Intuition of Exixtence,ISTAC, Kuala Lumpur, 1990. Diterjemahkan
ke dalam bahasa Persia.
23. On Quiddity amd Essence, ISTAC, Kuala Lumpur, 1990.
Diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.
24. The Meaning and Experience of Happiness in Islam, ISTAC, Kuala
Lumpur, 1993. Diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Turki dan Jerman.
7. 25. The Degrees of Exsistence, ISTAC, Kuala Lumpur, 1994.
Diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.
26. Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the
Fundamental Elements of the Worldview of Islam, ISTAC, Kuala
Lumpur, 1995. Diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.
Artikel.
Daftar artikel berikut ini tidak termasuk rekaman ceramah-ceramah ilmiah
yang telah disampaikannya di depan publik. Berjumlah lebih dari 400 dan
disampaikan di Malaysia dan luar negeri antara pertengahan 1960-1970, aktivitas
ceramah ilmiah ini masih berlangsung sampai sekarang.
1. “Note on the Opening of Relations between Malaka and Cina, 1403-5”,
Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Soceity (JMBRAS),
vol. 38, pt, 1, Singapura, 1965.
2. “Islamic Culture in Malaysia”, Malaysian Society of Orientalists, Kuala
Lumpur, 1966.
3. “New Light on the Life of Hamzah Fanshuri”. JMBRAS, vol. 40, pt. 1,
Singapura, 1967.
4. “Rampaian Sejak”, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu Universiti
Malaya no. 9 Kuala Lumpur, 1968.
5. “Hamzah Fanshuri”, The Penguin Companion to Literature, Classical
and Byzantine, Oriental, and African, vol. 4, London, 1969.
6. “Indonesia: 4 (a) History: The Islamic Period”, Encyclopedia of Islam,
edisi baru, E.J. Brill, Laiden, 1971.
7. “Comparative Philosophy: A Southeast Asian Islamic Viewpoint”, Acts
of the V International Congress of Medieval Philosophy, Madrid-
Cordova-Granada, 5-12 September 1971.
8. “Konsep Baru Mengenai Rencana serta Cara-gaya Penelitian Ilmiah
Pengkajian Bahasa, Kesusastraan, dan Kebudayaan Melayu”, Buku
Panduan Jabatan Bahasa dan Kesusastraan Malayu, Universiti
Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 1972.
9. “The Art of Writing, Dept. Museum”, Kuala Lumpur, t. t.
8. 10. “Perkembangan Tulisan Jawi Sepintas Lalu”, Pameran Khat, Kuala
Lumpur, 14-21 Oktober 1973.
11. “Nilai-nilai Kebudayaan, Bahasa, dan Kesusastraan Melayu”, Asas
Kebudayaan Kebangsaan, Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan,
Kuala Lumpur, 1973.
9. Nama ayahnya adalah Syed Ali bin Abdullah al-Attas, dan ibunya adalah
Syarifah Raquan al-Aydarus, seseorang yang merupakan keturunan kerabat raja-
raja Sunda Sukapura Jawa Barat. Syed Ali bin Abdullah al-Attas berasal dari Arab
yang silsilahnya merupakan keturunan ulama’ dan ahli tasawuf yang terkenal dari
kalangan Sayyid39 dalam keluarga Ba’Alawi di Hadramaut dengan silsilah yang
sampai pada Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad SAW.40
Leluhur Muhammad Naquib dari pihak ibu adalah seorang ulama’ yang
bernama Syed Muhammad al-Aydarus. Syed Muhammad al-Aydarus adalah guru
dan pembimbing ruhani Syed Abu Hafs Umar ba Syaibani dari Hadramaut, dan
yang mengantarkan Nur ad-Din ar-Raniri, salah satu ulama’ terkemuka di dunia
Melayu, ke tarekat Rifa’iyah.41
Dari pihak ayah, neneknya (ibu ayahnya) berasal dari bangsawan Melayu,
dan saudara-saudara neneknya banyak yang menjadi orang-orang terkenal dalam
masyarakat Malaysia. Misalnya Tengku Abdul Aziz bin Abdul Madjid (sepupu
neneknya) pernah menjabat menteri Besar Johor. Perdana menteri Malaysia adalah
seorang tokoh pendiri UMNO, yakni kelompok nasionalis yang pernah berkuasa di
Malaysia sampai Sultan Mahmud Iskandar, Sultan Johor dan Di pertuan Agung
Malaysia, ia masih punya hubungan kerabat dengan Naquib dan masih banyak lagi
orang-orang yang ternama dari kalangan ningrat Melayu yang memiliki hubungan
darah dengannya.
Sebagai indikasi atas keintelektualan seseorang (perkembangan pemikiran
keagamaan), dapat dilihat antara lain dari pemikirannya. Karya-karya intelektual
dan aktivitas-aktivitasnya. Atas dasar ini, tentunya mengetahui aktivitas ilmiah
Naquib merupakan suatu hal yang penting. Karena seperti diungkapkan oleh
Charles C. Adams sebagaimana yang dikutip oleh Taufik Adnan Amal dalam
bukunya Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur
Rahman bahwa aktivitas-aktivitas seseorang merupakan komentar yang paling baik
atas pandangan-pandangannya.42
Riwayat pendidikan Naquib dimulai sejak ia berusia lima tahun ketika itu ia
berada di Johor Baru, tinggal bersama dan di bawah didikan saudara ayahnya Encik
Ahmad kemudian dengan ibu Azizah hingga perang dunia kedua meletus. Pada
10. tahun 1939 M sampai dengan 1941 M ia belajar di Ngee Neng English Premary
School di Johor Baru. Pada zaman Jepang, ia kembali ke Jawa Barat selama empat
tahun. Ia belajar agama dan bahasa Arab di Madrasah al-Urwatul Wutsqa di
Sukabumi Jawa Barat pada tahun 1942 M sampai dengan 1945 M. Pada tahun 1946
M, ia kembali ke Johor Baru dan tinggal bersama saudara ayahnya Tengku Abdul
Aziz (Menteri Besar Johor kala itu), kemudian dengan datuk Onn yang kemudian
menjadi menteri Besar Johor (ia merupakan ketua umum UMNO pertama).
Kemudian pada tahun 1946 M, Naquib melanjutkan pelajaran di Bukit Zahrah
School dan seterusnya di English College Johor Baru selama tiga tahun. Setelah itu
ia memasuki dunia militer atau tentara.
Naquib merupakan perwira Kadet dalam laskar Melayu Inggris. Karena
kecemerlangannya ia dipilih untuk melanjutkan latihan dan studi ilmu militer di
Eaton Hall, Chester Inggris dan kemudian di Royal Militery Academy Sandhurst
Inggris pada tahun 1952-1955 M. Dengan pangkat terakhirnya Letnan, karena
menjadi tentara bukan minatnya, akhirnya ia keluar dan melanjutkan studi di
Universitas Malaya pada tahun 1957-1959 M. Kemudian ia melanjutkan studinya
di Universitas McGill Montreal, Canada, di mana ia mendapatkan gelar M.A.
dengan nilai yang membanggakan dalam bidang studi Islam pada tahun 1962 M.
Naquib melalui sponsor Sir Richard Winstert dan Sir Monimer Wheler dari British
Academy, melanjutkan studi pada program Pasca Sarjana di University of London
pada tahun 1963-1964 M dan ia meraih gelar Ph.D. dengan predikat cumlaude
dalam bidang filsafat Islam dan kesusastraan Melayu Islam pada tahun 1965 M.43
11. Pendapat Syed Muhammad Naquib al-Attas bahwa struktur ilmu
pengetahuan dan kurikulum pendidikan Islam seharusnya menggambarkan
manusia dan hakikatnya yang harus diimplementasikan pertama-tama pada tingkat
universitas. Karena universitas menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas
merupakan cerminan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi
kandungannya harus didahulukan. Struktur dan kurikulum ini secara bertahap
kemudian diaplikasikan pada tingkat pendidikan rendah. Secara alami, kurikulum
tersebut diambil dari hakikat manusia yang bersifat ganda (dual nature)2 aspek
fisikalnya lebih berhubungan dengan pengetahuannya mengenai ilmu-ilmu fisikal
dan teknikal, atau fardhu kifayah; sedangkan keadaan spiritualnya sebagaimana
terkandung dalam istilah-istilah ruh, nafs, qolb, dan aql lebih tepatnya berhubungan
dengan ilmu inti atau fardhu ‘ain.
Aspek atau dimensi ilmu inti (fardhu ‘ain) dijadikan sebagai nilai-nilai
dasar (core values) bagi pengembangan dimensi selanjutnya, yang meliputi aspek
keilmuan, aspek life skill dan aspek-aspek lainnya. Jika aspek keilmuan
dikembangkan dengan berlandaskan pada aspek ilmu inti maka ilmu pengetahuan
di sini menjadi media memahami dan menghayati Tuhan dalam bentuk kelakuan
empirik ketundukan kepada segala peraturan Allah SWT.3 Kurikulum seharusnya
secara aktif berusaha mencetak manusia menjadi insan al-kamil sebagaimana
dijelaskan sebelumnya. Ia harus mengklarifikasikan hakikat Tuhan, ilmu dan
manusia serta kebahagiaannya, dan berkaitan antara individu dan masyarakat.
Nilai-nilai dasar (core values) akan memberikan makna terhadap suatu
proses sebagai pengabdian kepada Tuhan.4 Pemahaman akan nilai-nilai dasar ini
seharusnya menjadi perhatian bagi setiap penyelenggara pendidikan Islam sehingga
nantinya peserta didik dapat diharapkan menjadi manusia yang unggul secara
intelektual dan spiritual.
2Syed Muhammad Naquib al-Attas, “Konsep PendidikandalamIslam:Suatu Rangka Pikir
Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam”, terj. Haidar Baqir, (Bandung: Mizan, 1994). hlm. 85.
3Usman Abu Bakar dan Surahim, “Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam”,
(Yogyakarta: Safiria Insania, 2005), hlm. 139.
4Hujair AH. Sanaky, “Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani
Indonesia”, (Yogyakarta: Safiria Insania, 2003), hlm. 145.
12. Oleh karena itu dalam Islam sendiri tidak mengenal dikotomi ilmu
pengetahuan sehingga semua disiplin ilmu bisa didekati dengan nuansa Ilahiyah
dalam mengantarkan manusia dan peradabannya menuju kesejahteraan dunia dan
akhirat. Dalam merumuskan konsep kurikulum, norma agama perlu dijadikan dasar
dalam menafsirkan semua pengetahuan modern dari sudut pandang Islam.5
Struktur kurikulum akademik dan sistem pendidikan dari sekolah dasar
sampai universitas seharusnya mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas sesuai
dengan tingkatnya. Setelah dengan jelas dan tepat memformulasikan target dan
tujuan pendidikan, al-Attas selalu menekankan perlunya penguasaan ilmu agama
Islam secara mendalam beserta khazanah intelektual dan kebudayaannya, persoalan
riil yang dihadapi umat Islam modern, musuh-musuh mereka yang nyata, dan cara-
cara yang efektif dan benar untuk mengatasi semua permasalahan tersebut.
Pendiriran lembaga-lembaga pendidikan dan artikulasi mengenai target dan tujuan
pendidikan seharusnya tidak didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sosial,
ekonomi, politis, dan birokratis, tetapi lebih berpijak pada nilai-nilai religius yang
murni dan mendalam.
5Abdurrahmansyah, “Wacana Pendidikan Islam (Khazanah Filosofis dan Implementasi
Kurikulum, Metodologi dan Tantangan Pendidikan Moralitas)”, (Yogyakarta: Global Pustaka
Utama, 2005) hlm.180.
13. Pendidikan merupakan sarana pengembangan kepribadian manusia agar
seluruh aspek menjelma dalam sebuah tatanan yang harmoni dan saling
menyempurnakan. Melalui penjelmaan tersebut, seluruh potensi manusia
dipadukan dan dicurahkan demi mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu, dasar dari
pendidikan Islam harus berlandaskan dari aspek-aspek yang terkandung dalam
ajaran Islam itu sendiri, yang bersumber dari al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad
Saw.
Dasar dari pendidikan Islam, adalah Islam dengan segala ajarannya yang
bersumber dari al-Qur’an, sunnah, ra’yu (hasil pikiran manusia) yang selalu disebut
dengan ijtihad. Tiga sumber inilah yang menjadi dasar pendidikan Islam, yang
harus digunakan secara hierarki.6 Al-Qur’an harus didahulukan, jika tidak
ditemukan suatu penjelasan didalamnya, maka harus dicari dalam Sunnah, dan jika
tidak ditemukan dalam Sunnah barulah digunakan ijtihad.
Demikian pula jika pendidikan yang dilaksanakan suatu negara, maka yang
menjadi rujukan utama adalah falsafah yang dianut serta Undang-Undang Dasar
dari negara tersebut. Contohnya, jika di negara Indonesia maka yang menjadi dasar
dari pelaksanaan pendidikan Nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar
(UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.7 Dari contoh tersebut,
menunjukkan bahwa dasar pendidikan suatu negara adalah disesuikan dengan
falsafah hidup bangsa yang bersangkutan, yand merupakan refleksi dari pada
falsafah hidup bangsa itu sendiri dalam menyelenggarakan dan mengarahkan arah
yang akan dicapai dalam pelaksanaan suatu kegiatan seperti halnya pendidikan.
Selain dasar pendidikan tersebut, kurikulum juga merupakan hal yang harus
disusun dengan tujuan dan target yang ingin dicapai. Kurikulum mempunyai
kedudukan yang sentral dalam seluruh proses pendidikan, yang akan mengarahkan
segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan dalam suatu
proses pendidikan.8 Pendidikan Islam yang dibangun atas dasar pemikiran yang
6Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam,Cet. II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm.
30
7Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab II, Pasal 2, (Surabaya: Karina, 2004), hlm. 5.
8Nana, Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 4.
14. Islami dan bertolak dari pandangan hidup, fungsi serta hakikat manusia, diarahkan
kepada tujuan pendidikan yang dilandasi kaidah-kaidah keislaman. Implikasinya
akan melahirkan suatu rumusan kurikulum yang khas dan Islami pula.
Kekhasan corak filsafat pendidikan al-Attas adalah penegasannya terhadap
pentingnya pemahaman dan aplikasi yang benar mengenai ilmu fard ‘ain dan fardu
kifayah. Penekanan pada kategorisasi tersebut mungkin karena perhatiannya
terhadap kewajiban manusia dalam menuntut ilmu dan mengembangkan adab, hal
ini disebabkan karena sifat ilmu yang tidak terbatas pada satu pihak, dan terbatasnya
kehidupan individu pada pihak lain.
Pendapat al-Attas bahwa struktur ilmu pengetahuan dan kurikulum
pendidikan Islam seharusnya menggambarkan manusia dan hakikatnya yang harus
diimplemntasikan pertama-tama pada tingkat universitas, struktur, dan kurikulum
secara bertahap kemudian diaplikasikan pada tingkat pendidikan rendah. Secara
alami, kurikulum tersebut diambil dari hakikat manusia yang bersifat ganda (dual
nature), di mana aspek fisikalnya lebih berhubungan dengan pengetahuannya
mengenai ilmu-ilmu fisikal dan teknikal atau fardu kifayah. Sedangkan keadaan
spiritualnya sebagaimana terkandung dalam istilah ruh, nafs, qalb, dan ‘aql lebih
tepatnya berhubungan dengan ilmu inti atau fardu ‘ain.
Pembagian dua jenis ilmu dan penerapannya dalam suatu kurikulum, secara
ringkas al-Attas ikhtisarkan sebagai berikut:
1. Ilmu-ilmu Agama:
a. Al-Qur’an; meliputi pembacaan dan penafsirannya (tafsir dan ta’wil).
b. Al-Sunnah; meliputi kehidupan Nabi, sejarah dan pesan para rasul
sebelumya, hadis dan riwayat-riwayat otoritatif.
c. Al-Syari’ah; meliputi undang-undang dan hukum, prinsip-prinsip dan
praktik-praktik Islam (Islam, Iman, Ikhsan).
d. Teologi; meliputi Tuhan dan Esensi-Nya, Sifat-sifat dan Nama serta
Tindakan-Nya (al Tauhid).
e. Metafisika Islam (al Tasawwuf); psikologi, kosmologi, dan ontologi
yang meliputi unsur-unsur yang sah dalam filsafat Islam.
15. f. Ilmu-ilmu Linguistik; meliputi bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi
dan kesusasteraan.
2. Ilmu-ilmu Rasional, Intelektual dan Filosofis meliputi:
a. Ilmu Kemanusiaan.
b. Ilmu Alam.
c. Ilmu Terapan.
d. Ilmu Tekhnologi.
Ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis pada bagian kedua di atas,
menurut al-Attas setiap cabang harus terlebih dahulu diresapi dengan unsur-unsur
dan konsep-konsep kunci Islam, setelah unsur-unsur dan konsep-konsep kunci
asing dibersihkan dari semua cabangnya. Proses pembuangan dari unsur-unsur dan
konsep-konsep kunci asing inilah yang kemudian disebut dengan “Islamisasi”.
Mengenai metode pendidikan, al-Attas berpendapat bahwa pendidikan
sebagai suatu proses penanamn adab ke dalam diri manusia merupakan sebuah
proses yang sebenarnya tidak dapt diperoleh secara mutlak melalui metode khusus,
ia menganggap bahwa dalam suatu proses pembelajaran, siswa akan
mendemontrasikan tingkat pemahamannya terhadap materi secara berbeda-beda,
hal ini disebabkan karena ilmu dan hikmah yang merupakan dua komponen utama
dalam konsepsi adab benar-benar merupakan suatu anugerah dari Allah swt. Oleh
karena itu, muatan pendidikan harus lebih diprioritaskan dibandingkan dengan
metodenya, meski lembaga-lembaga pendidikan Muslim modern yang menurut al-
Attas berada di bawah pengaruh ide-ide praktek pendidikan Barat yang sekuler
cenderung lebih menekankan metode daripada muatan dalam suatu proses
pembelajaran.
16. a. Fardhu ‘Ain (ilmu-ilmu agama)
(1) Kitab suci Al-Qur‟an: pembacaannya dan interpretasinya (tafsir dan
ta‟wil). Di ISTAC, Al-Attas telah menyetujui mata kuliah sejarah dan
metodologi „Ulum Al-Qur‟an. Ia merupakan studi mengenai Al-
Qur‟an, konsep dan sejarah wahyu, penurunannya, pengumpulan,
penjagaan, dan penyebarannya, ilmu-ilmu untuk memahami Al-Qur‟an
(seperti nasikh-mansukh, al-khashsh wa al-„am, muhkam-mutasyabih,
dan amr-nahy). Ia juga meliputi studi komparatif mengenai asal-usul,
perkembangan, dan metodologi literatur tafsir, jenis-jenis dan
mazhabmazhabnya.
(2) Sunnah : kehidupan Nabi : sejarah dan risalah nabi-nabi terdahulu, hadis
dan perawiannya. Mata kuliah sejarah dan metodologi hadis wajib bagi
semua mahasiswa ISTAC. Selain itu, mata kuliah ini merupakan
pengkajian yang mendalam mengenai sejarah kritik hadis, beberapa
istilah teknisnya (musthalahat al-hadis), analisis perbandingan terhadap
kitab-kitab kumpulan hadis yang penting dan pengategoriannya, ilmu
biografi, dan kamus utama mengenaibiografi.9
(3) Syariat : fiqih dan hukum; prinsip-prinsip dan pengamalan Islam(Islam,
iman, ihsan). Al-Attas menganggap pengetahuan syariat sebagai aspek
terpenting dalam pendidikan Islam. Bagaimanapun, pelaksanaan syariat
dalam kehidupan individu dan masyarakat harus didasarkan pada ilmu
yang tepat, sikap moderat, dan adil. Al-Attas menilai bahwa pengajaran
hukum Islam mendapat perhatian yang lebih besar daripada yang
diperlukan kebanyakan Muslim dalam bidang pemikiran pendidikan
dan administratif, sampai pada tingkat mengurangi perhatian pada
masalah-masalah yang lebih fundamental lainnya, seperti teologi,
metafisika, dan etika.
(4) Teologi (Ilmu Kalam): Tuhan, Zat-Nya, Sifat-sifat, Nama-nama, dan
Perbuatan-Nya (al-tauhid). Teologi Islam merupakan subjek yang
9Wan Mohd Nor Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib
Al-Attas, Cet. I (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 274-276
17. sangat penting yang masih belum diberi tempat yang layak dalam
kurikulum pendidikan tinggi Islam sekarang ini. Alasannya,
ketidakmampuan banyak ilmuwan Muslim modern menunjukkan
bahwa permasalahan dan isu yang diangkat dalam subjek ini bukanlah
hal kuno dan ketinggalan zaman, karena itu tidak relevan bagi Muslim
modern. Sebaliknya, Al-Attas secara konsisten berpendapat dan
membuktikan bahwa permasalahan dan isu-isu yang diangkat dalam
teologi itu muncul kembali, terutama dari sumber-sumber kebudayaan.
Memahami dengan baik pendapat yang dikembangkan oleh beberapa
ahli teologi Muslim yang terkenal akan sangat membantu mengurangi
kerancuan (pemahaman) keagamaan yang terjadi di kalangan pemimpin
Muslim hari ini.
(5) Metafisika Islam (al-tashawwuf ‘irfan): psikologi, kosmologi, dan
ontologi; elemen-eleman filsafat Islam yang cukup dikenal terdiri dari
doktrin-doktrin kosmologi yang berkaitan dengan hierarki wujud. Mata
kuliah ini mungkin merupakan yang paling fundamental dalam
kurikulum pendidikan Al-Attas, bukan saja karena meliputi semua
elemen yang paling penting dalam pandangan Islam mengenai realitas
dan kebenaran sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur‟an dan hadis,
melainkan juga karena mencakup ringkasan semua disiplin intelektual
lain, seperti ilmu Al-Qur‟an, hadis, teologi dan filsafat, serta ilmu
pengetahuan mengenai bahasa Arab klasik.
(6) Ilmu bahasa: bahasa Arab, tata bahasanya, leksikografi, dan sastra.
Tujuannya bukan hanya menguasai keterampilan berbicara melainkan
lebih penting lagi untuk menganalisis dan menginterpretasikan sumber-
sumber primer dalam Islam, khazanah intelektual dan spiritual penting
dalam bahasa Arab.
Harus disebutkan di sini bahwa kategori fardhu ‘ain merupakan gambaran
dari integrasi pelbagai mazhab yang dianut dalam tradisi pendidikan Muslim. Lebih
jauh lagi, harus digarisbawahi bahwa konsepsi Islam mengenai fardhu ‘ain,
sebagaimana dipahami oleh Al-Attas, pada dasarnya berbeda dari pengategorian
18. bidang studi pendidikan sekuler liberal modern yang biasanya berupa bidang studi
permanen atau kurikulum inti atau pendidikan umum, dengan alasan berikut.
Pertama, bidang studi permanen pada pendidikan umum tidak pernah diberi status
normatif sebagaimana fardhu ‘ain. Kedua, bidang studi permanen dan pendidikan
umum secara keseluruhan pada dasarnya difokuskan untuk program S1 pada
pendidikan universitas, sedangkan pengetahuan fardhu ‘ain harus dipelajari sejak
akil baligh sampai tingkat pendidikan tertinggi bahkan sampai meninggal dunia.
Ketiga, berbeda dari pengetahuan inti pada pendidikan umum, pengetahuan fardu
‘ain diambil dari dan berakar pada Wahyu Ilahi dan hadis Nabi yang tidak pernah
ditentang oleh ilmuwan Muslim siapa pun sepanjang zaman.
b. Fardhu Kifayah
Pengetahuan mengenai fardhu kifayah tidak diwajibkan kepada setiap
Muslim untuk mempelajarinya, tetapi seluruh masyarakat Mukmin akan
bertanggung jawab jika tidak ada seorangpun dari masyarakat tersebut yang
mempelajarinya, karena memberikan landasan teoretis dan motivasi keagamaan
kepada umat Islam untuk mempelajari dan mengembangkan segala ilmu ataupun
teknologi yang diperlukan untuk kemakmuran masyarakat. Al-Attas membagi
pengetahuan fardhu kifayah menjadi delapan disiplin ilmu :
1) Ilmu Kemanusiaan.
2) Ilmu Alam.
3) Ilmu Terapan.
4) Ilmu Teknologi.
5) Perbandingan Agama.
6) Kebudayaan Barat.
7) Ilmu Linguistik: Bahasa Islam.
8) Sejarah Islam
Sudah tentu Al-Attas tidak membatasi pengetahuan fardhu kifayah pada
delapan disiplin ilmu di atas. Hal ini bisa dipahami karena pengetahuan (‘ilm) itu
sendiri, sebagai Sifat Tuhan, tidak terbatas. Selain itu, fardhu ‘ain itu dinamis dan
19. berkembang seseuai dengan kemampuan intelektual dan spiritual seseorang serta
keadaan masyarakatnya, pengetahuan fardhu kifayah juga akan berkembang
dengan keperluan dan program masyarakat tertentu.
Metode Pendidikan Islam
Terdapat beberapa aspek dari kurikulum yang diusulkan Syed Muhammad
Naquib al-Attas yang perlu dijelaskan lebih lanjut, yaitu peranan bahasa, metode
tauhid untuk menganalisis ide dan instrumen didaktik lainnya seperti metafora,
perumpamaan dan cerita. Berikut uraian metode pendidikan Islam:
a. Metode Tauhid
Salah satu karakteristik pendidikan dan epistemologi Islam yang
dijelaskan secara tajam dan dipraktikkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas
adalah apa yang dinamakannya sebagai metode tauhid dalam ilmu pengetahuan.
Metode tauhid ialah metode dengan fitrah mengacu pada metodologi pendidikan
Islam yang dinyatakan dalam al-Qur’an yang menggunakan sistem multi
approach, di antaranya adalah pendidikan religius bahwa manusia diciptakan
memiliki dasar (fitrah) atau bakat agama.10
Ungkapan metode tauhid yang menjadi karakteristik dan epistemologi
Islam al-Attas, secara sederhana dapat digambarkan bahwa manusia menerima
pengetahuan dan kearifan spiritual dari Allah SWT melalui pengertian langsung
atau pengindraan spiritual, yaitu pengalaman yang hampir secara serentak
mengungkapkan suatu kenyataan dan kebenaran sesuatu kepada pandangan
spiritualnya (kasf). Ia bersatu padu dengan adab mencerminkan kearifan dan
sehubungan dengan masyarakat yang beradab adalah perkembangan tata tertib
yang adil di dalamnya.
Syed Muhammad Naquib al-Attas menekankan dan menerangkan di
beberapa tempat bahwa yang objektif dan subjektif tidak dapat dipisahkan, sebab
hal itu merupakan aspek dari realitas yang sama sehingga melengkapi. Sebagai
contoh, dalam rangka mencari kata kunci secara objektif mengenai sistem mistik
Hamzah Fanshuri, Syed Muhammad naquib al-Attas harus memiliki
10Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam,(Jakarta: Ciputat Press,
2002), hlm. 41
20. pengetahuan yang cukup mengenai bahasa, pemahaman penuh mengenai
struktur makna dan partisipasi penuh dalam kesadaran linguistik karya-karya
Hamzah Fanshuri. Ditambah lagi ia memasuki kedalaman alur emosi tasawuf
Melayu, melalui Hamzah sebagai representasi terbesar dan terbaik, mengahayati
perasaan-perasaannya, dan merasakan cara-caranya dalam membuat simbol-
simbol.
Setelah melibatkan diri dalam semua proses ini dan merenungkan kesatuan
yang mendalam antara kesarjanaan dan kehidupan, al-Attas kemudian berusaha
menyampaikan eksposisi ilmiah konsep-konsep Hamzah dan hubungannya
dengan yang lain.
Metode tauhid Syed Muhammad Naquib al-Attas menjadi sangat pribadi
sehingga ia sering jengkel ketika beberapa orang yang merasa telah memahami
agama Islam, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip etikanya bertanya mengenai
cara mengimplementasikan masalah-masalah ini ke dalam kehidupan dan
profesi pribadi mereka. Syed Muhammad Naquib al-Attas menggarisbawahi
bahwa jika seseorang telah benar-benar memahami ini semua, pertanyaan itu
tidak diperlukan lagi. Dia sering menekankan bahwa tidak ada dikotomi antara
apa yang dianggap teori dan praktik. Jika benar-benar mengetahui suatu teori,
seseorang mestinya mampu melaksanakannya dalam praktik, kecuali jika
terhalang oleh sebab-sebab eksternal yang tidak dapat dielakkan.
b. Metode Metafora dan Cerita.
Ciri-ciri metode pendidikan Syed Muhammad Naquib al-Attas yang
menonjol ialah penggunaan metafora dan cerita sebagai contoh dan
perumpamaan. Salah satu metafora yang paling sering diulang-ulang oleh Syed
Muhammad Naquib al-Attas ialah metafora papan penunjuk jalan (sign post)
untuk melambangkan sifat teologis alam dunia ini, yang sering dilupakan orang,
khususnya para ilmuwan.
Dunia ini bagaikan penunjuk jalan yang memberi petunjuk kepada
musafir, arah yang harus diikuti serta jarak yang diperlukan untuk berjalan
menuju tempat yang akan dituju. Jika papan itu jelas (muhkam), dengan kata-
kata tertulis yang dapat dibaca menunjukkan tempat dan jarak, sang musafir akan
21. membaca tanda-tanda itu dan menempuhnya tanpa masalah apa-apa. Namun
bayangkan, kata al-Attas dalam pelbagai kesempatan, jika papan tanda itu
“terbuat dari marmer yang dibentuk dengan indah, tangan yang menunjuk itu
diukir dalam bentuk yang sempurna lagi menakjubkan, nama-nama tempat dan
jarak masing-masing terbuat dari serpihan emas murni yang dirancang menjadi
huruf-huruf yang dirangkai dengan batu-batu permata, sudah tentu, sang musafir
akan berhenti di situ untuk mencermati, mengagumi dan menyelidiki pelbagai
aspeknya, tidak hanya komponen dan desain materialnya, tetapi juga asal-usul
masing-masing serta kemungkinan-kemungkinan nilai ekonominya.
Dalam keadaan demikian, papan tanda itu tidak ada lagi menunjukkan arah
yang berguna bagi sang musafir, sebab arti tanda-tanda itu tidak jelas. Tanda-
tanda itu tidak menunjukkan makna yang berada di balik simbol-simbol tersebut,
tetapi kepada dirinya sendiri. Seperti itu juga papan tanda, dunia ini diharapkan
menunjukkan makna-makna dan realiatas-realitas di balik lambang-
lambangnya, dan kajian serta penyelidikan kita mengenai dunia ini hendaknya
untuk memahami dunia sebagai salah satu dari ayat-ayat Tuhan.
Namun, para ilmuwan modern telah dibingungkan oleh keindahan,
struktur, dan keragaman dunia yang menakjubkan ini dan menjadikannya tidak
lebih dari sekadar aspek ilmu pengetahuan.
Syed Muhammad Naquib al-Attas juga gemar mengibaratkan cendikiawan
yang menguasai ilmu secara mendalam sebagai pohon yang besar dengan akar-
akar yang mendalam, subur, kukuh, dan kuat. Ia tidak bergeming atau patah oleh
hembusan angin yang berubah-ubah. Ia akan menghasilkan buah dan memberi
keteduhan yang bermanfaat bagi makhluk lain. Dia bandingkan pohon semacam
ini dengan tanaman dalam pot, yang tidak saja lemah dan mudah pecah oleh
tekanan yang ringan, tetapi juga mudah dipindahkan dari satu tempat ke tempat
yang lain. Demikian pula seorang cendikiawan yang memiliki ilmu yang
mendalam akan mudah menerima dan membenarkan kebenaran yang
diwahyukan, yang dari situ ia menemukan pandangan intelektualnya, dan karena
itu tidak mengubahnya agar sesuai dengan situasi yang terus berubah.
22. Mengenai metode pendidikan, di samping kedua metode di atas, yang
merupakan karakteristiknya, al-Attas juga menggunakan metode sebagaimana
yang telah diaplikasikan dalam tradisi Islam, seperti religius, ilmiah, empiris,
rasional, deduktif, induktif, subjektif, dan objektif. Namun demikian al-Attas
sebenarnya memberikan kritikan, yakni tanpa menjadikan salah satu metode
lebih dominan dari yang lain.