Materi hukum perburuhan dan ketenagakerjaan adalah kajian yang mencakup segala aspek hukum yang berkaitan dengan hubungan antara pekerja dan pengusaha. Ini meliputi regulasi mengenai hak dan kewajiban pekerja, perundingan kolektif, perlindungan terhadap pekerja, isu-isu keamanan kerja, upah, dan berbagai hal lainnya yang memengaruhi dunia ketenagakerjaan.
2. ASAS PEMBANGUNAN KETENAGAKERJAAN
• Hukum Ketenagakerjaan/Hukum Perburuhan untuk pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untul mewujudkan
masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materil maupun spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Proklamasi, Republik
Indonesia Tahun 1945;
• UU No. 13 Tahun 2003 (Pasal 2); yaitu pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan melalui koordinasi
fungsional lintas sektoral Pusat dan Daerah (Pasal 3), kemudian pembangunan
ketenagakerjaan bertujuan (Pasal 4);
• a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
• b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai
dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
• c. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan;
• d. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
3. LINGKUP HUKUM KETENAGAKERJAAN/PERBURUHAN
• (Penjelasan terkait dengan gambar dibawah) asas terhadap
pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan
asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi, asas
adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan menyangkut
multidimensi dan terkait dengan berbagai pihak, yaitu antara
pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh.
4. ESENSI BERLAKU HUKUM PERBURUHAN
• Penguasa (pemerintah) tampil sebagai subjek perburuhan karena atau dalam arti jabatan (ambt).
Misalnya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Hukum Ketenagakerjaan, dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Industrial, dan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh.
• Lingkup Laku Menurut Waktu (Tijdsgebied) -> Lingkup laku Hukum dari Perburuhan menurut waktu
menunjukkan kapan suatu peristiwa tertentu diatur oleh kaidah hukum. Dalam hukum perburuhan,
ada peristiwa-peristiwa tertentu yang timbul pada waktu yang berbeda, yaitu:
1. Sebelum hubungan kerja terjadi. Mencakup peristiwa-peristiwa hukum tertentu, misalnya: kegiatan
pengerahan dan penempatan tenaga kerja, dan berbagai upaya dalam rangka pelatihan untuk dalam
rangka memasuki pasar kerja, serta berbagai persyaratan yang harus dipenuhi sebelum bekerja,
misalnya: tes kesehatan, tes ujian saringan masuk, dan surat pengalaman kerja, dan lain-lain;
2. Pada saat hubungan kerja terjadi. Mencakup peristiwa-peristiwa hukum tertentu, misalnya:
melakukan pekerjaan, pembayaran upah, waktu kerja, kesehatan dan keselamatan kerta serta
pembayaran ganti rugi kecelakan kerja, jaminan sosial,dan lain-lain;
3. Sesudah hubungan kerja terjadi. Mencakup peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi setelah
hubungan kerja berakhir, biasanya terjadi antara mantan buruh (pekerja) dengan pihak penguasa,
misalnya: pembayaran uang pensiun, pembayarann uang pesangon, santunan kamatian;
5. ESENSI BERLAKU HUKUM PERBURUHAN
• Lingkup Laku Menurut Wilayah (Ruimtegebied)-> Lingkup laku dari Hukum Perburuhan menurut
wilayah berkaitan dengan terjadinya suatu peristiwa hukum pada wilayah yang dibatasi oleh kaidah
hukum. Batas-batas wilayah berlakunya kaidah hukum perburuhan mencakup hal-hal sebagai
berikut:
1. Regional
• a) Non-sektoral Regional Keberlakuan ketentuan hukuk perburuhan dalam hal ini dibatasi
berlakunya pada suatu wilayah tertentu, misalnya: ketentuan Upah Minimum di wilayah Propinsi
Jawa Barat, atau ketentuan Upah Minimu di Kabupaten Bogor.
• b) Sektor Regional Keberlakuan Hukum Perburuhan diatas, baik wilayah berlakunya maupun
sektornya. Misalnya: ketentuan Upah Minimum di sector tekstil yang berlaku di wilayah Jawa Barat,
ketentuan tentang Upah Minimum di sektor Makanan Miniman di Jawa Timur.
2. Nasional
• a) Non-sektoral Nasional Keberlakuan hukum perburuhan dibatasi oleh wilayah Negara. Dengan kata
lain wilayah berlakunya hukum perburuhan adalah seluruh wilayah Indonesia, tanpa memerhatikan
sektornya. Misalnya: UU tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja, UU Ketenagakerjaan.
• b) Sektoral Nasional Keberlakuan Hukum Perburuhan dibatasi oleh sektor tertentu yang di seluruh
wilayah Indonesia. Misalnya: ketentuan yang mengatur masalah pelaut,ketentuanketentuna yang
berlaku di sektor perkebunan, dan sebagainya.
6. ESENSI BERLAKU HUKUM PERBURUHAN
3. Internasional
• Di sini keberlakuan Hukum Perburuhan melewati batas-batas Negara secara Bilateral atau secara
Multilateral. Secara bilateral berlakunya Hukum Perburuhan melewati batas-batas 2 (dua) Negara
misalnya MOU yang dibuat antara Negara Indonesia dengan Negara Malaysia tentang hak dan
kewajiban buruh-buruh informal. Sedangkan secara miltalateral melewati batas-batas 3 (tiga)
Negara atau lebih, misalnya ILO Core Convention yang mengatur Fundamental Rights kaum buruh
yang dinyatakan berlaku di seluruh Negara Anggota International Labour Organization (ILO).
• Menurut ILO Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work yang dideklarasikan pada
tanggal 18 Juni 1998 Core Convention yang otomatis berlaku di Negara-negara anggota ILO adalah
Convention No. 29 dan No. 105 tentang Larangan Kerja Paksa, Convention No. 138 dan No. 182
tentang pembatasan Umur buruh anak, Convention No. 87 dan No. 98 tentang Kebebasan Berserikat
dan Berunding Collective, Convention No. 100 dan Convention No.111 tentang larangan Diskriminasi
tentang Upah dan Diskriminasi lainnya.