1. PERANAN PELABUHAN MURHUM DALAM
PENGEMBANGAN KOTA BAUBAU
Mahasiswa
Sudirman K
Program Studi PPW
Pasca sarjana
Universitas Halu Oleo
Kendari – Sulawesi Tenggara
Pembimbing I
Marsuki Iswandi
Ketua Program Studi/Staf
Pengajar
PPW Pasca Sarjana
Universitas Halu Oleo
Kendari – Sulawesi Tenggara
Pembimbing II
Manat Rahim
Staf Pengajar Program Studi
PPW Pasca Sarjana
Universitas Halu Oleo
Kendari – Sulawesi Tenggara
ABSTRAK
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Pelabuhan Murhum mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap perkembangan Kota Baubau pada umumnya. Pola interaksi dan konektifitas Pelabuhan
Murhum dengan pelabuhan lainnya, baik ditinjau secara nasional, maupun dalam tinjauan regional
Sulawesi Tenggara yang berdampak pada aktivitas arus bongkar muat barang, jasa dan orang
menunjukkan keterkaitan yang kuat terhadap perubahan lahan di sekitar kawasan pelabuhan. Hal
ini ditunjukkan dengan terjadinya alih fungsi lahan yang cukup signifikan dari lahan perumahan
dan permukiman menjadi kawasan perdagangan dan jasa dalam kurun waktu tahun 1990 hingga
tahun 2010. Perubahan fungsi lahan tersebut mengindikasikan bahwa kawasan perumahan dan
permukiman semakin terdesak menjauh dari Pelabuhan Murhum, sebaliknya kawasan perdagangan
dan jasa semakin mendominasi luas kawasan di sekitar Pelabuhan Murhum.
Kata Kunci : Pengaruh Pelabuhan Murhum, Kawasan Pelabuhan
ABSTRACT
The results showed that, the Port Murhum have a strong influence on the development of
Baubau in general. Interaction pattern and konektifitas port Murhum with other port, good
evaluated nationally, and in Southeast Sulawesi regional review the impact on the current activity
of loading and unloading of goods, services and people showed a strong linkage to changes in land
around the port area. This matter is shown with the happening of displacing the enough farm
function signifikan from housing farm and setlement become the commerce area and service in
year range of time of 1990 until 2010. Change of the farm function of indication that housing area
and setlement is progressively go to the wall to go away from Port Murhum, on the contrary
commerce area and service is progressively predominate wide area around Port Murhum.
Keywords: Effect Murhum Ports, Port Area
PENDAHULUAN
Pelabuhan Murhum saat ini menjadi
bagian dari perkembangan kota yang ditandai
dengan ramainya aktifitas di sepanjang jalan.
Untuk mengarahkan perkembangannya di masa
mendatang, sebuah pelabuhan yang memiliki
prospek perkembangan yang pesat memerlukan
suatu konsepsi seluruh perubahan yang
berkelanjutan, yang mampu menampung
perkembangan pelabuhan dengan tetap
mempertahankan kawasan yang berfungsi
melindungi kehidupan masyarakat sekitar.
Selain itu Pelabuhan Murhum di Kota
Baubau sangat mempengaruhi dinamika
perkembangan kota dari segi sosial dan
ekonomi. Perkembangan permukiman pada
wilayah kota Baubau cenderung untuk menjauh
dari pelabuhan Murhum, sementara kegiatan
perekonomian cenderung untuk mendekat
2. dengan pelabuhan Murhum. Dengan kata lain,
keberadaan pelabuhan Murhum memiliki
pengaruh yang besar terhadap aktivitas
perekonomian Kota Baubau pada umumnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Kota
Menurut Bintarto (1983), dari segi
geografis kota diartikan sebagai suatu sistim
jaringan kehidupan yang ditandai dengan
kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai
dengan strata ekonomi yang heterogen dan
bercorak materialistis atau dapat pula diartikan
sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh
unsur-unsur alami dan non alami dengan
gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup
besar dengan corak kehidupan yang bersifat
heterogen dan materialistis dibandingkan
dengan daerah dibelakangnya.
Adisasmita (2008) mengatakan bahwa ciri
atau sifat esensial dari suatu kota adalah
konsentrasi basis kegiatan ekonomi, sosial, dan
politik, penduduk pada tata ruang. Secara
umum diketahui bahwa tempat-tempat dimana
terjadi konsentrasi penduduk sering dinamakan
dengan berbagai istilah seperti; kota, pusat
perdagangan, pusat industri, pusat
pertumbuhan, simpul ditribusi barang dan jasa,
wilayah nodal, atau pusat pemukiman. Masing-
masing istilah sangat tergantung dengan
asosiasi kita terhadap apa yang akan
ditonjolkan terhadap tempat-tempat konsentrasi
tersebut.
Selanjutnya pengertian kota ditinjau dari
berbagi aspek, antara lain aspek geografis,
fisik, demografis, statistik, sosial, ekonomi, dan
administrasi. Pengertian ini merupakan
rumusan dari Nia K. Pontoh dan Iwan
Kustiwan (2009). Pengertian kota ditinjau dari
aspek fisik adalah suatu wilayah dengan
wilayah terbangun lebih padat dibandingkan
dengan area sekitarnya. Aspek demografis
adalah wilayah dengan konsentrasi penduduk
yang dicerminkan oleh jumlah dan tingkat
kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan keadaan wilayah sekitarnya. Aspek
sosial adalah suatu wilayah dengan kelompok-
kelompok sosial masyarakat yang heterogen.
Aspek geografis adalah suatu wilayah dengan
wilayah terbangun yang lebih padat
dibandingkan dengan area sekitarnya. Aspek
statistik adalah suatu wilayah yang secara
statistik besaran atau ukuran jumlah
penduduknya sesuai dengan batasan atau
ukuran untuk criteria kota. Aspek ekonomi
adalah suatu wilayah yang memiliki kegiatan
usaha sangat beragam dengan dominasi di
sektor nonpertanian seperti perdagangan,
perindustrian, pelayanan jasa, perkantoran,
pengangkutan, dan lain-lain. Dan yang terakhir
kota ditinjau dari aspek administrasi adalah
suatu wilayah yang dibatasi oleh suatu garis
batas kewenangan administrasi pemerintah
daerah yang ditetapkan berdasarakan peraturan
perundang-undangan.
Pusat-Pusat Wilayah Pemabangunan
Dalam Struktur Pengembangan Wilayah
Tingkat Nasional dikatakan Pusat
Pembangunan merupakan sub-sistem dari
Satuan Wilayah Pembangunan yang tersebar
diseluruh Wilayah Nasional. Setiap wilayah
memiliki pusat-pusat yang tersusun secara
hirarkhis. Penerapan sistem hirarkhis ini
dilakukan dengan harapan dapat mengurangi
ketimpangan pembangunan dan perbedaan
kemakmuran antar wilayah. Disamping itu
dengan sistem seperti ini pembangunan akan
dapat lebih disebar luaskan sehingga tidak
hanya terkonsentrasi pada wilayah tertentu
saja. Dengan cara pembangunan yang
berkesinambungan tersebut maka dapatlah
terjadi ikatan pembangunan ekonomi nasional
yang kokoh.
Konsep pusat-pusat pembangunan atau
pusat-pusat pertumbuhan atau sering disebut
juga dengan kota diadaptasi dari beberapa teori
tentang lokasi yang telah dicetuskan oleh
beberapa ahli terdahulu.
Peran Pelabuhan Dalam Perkembangan
Wilayah
Pelabuhan dapat berperan dalam
merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi,
perdagangan, dan industri dari wilayah
pengaruhnya. Namun pelabuhan tidak
menciptakan kegiatan tersebut, melainkan
hanya melayani tumbuh dan berkembangnya
kegiatan tersebut. Kegiatan-kegiatan seperti
itulah yang meningkatkan peran pelabuhan dari
hanya sebagai tempat berlabuhnya kapal
menjadi pusat kegiatan perekonomian. Secara
prinsip hubungan kegiatan pembangunan oleh
manusia di laut tidak dapat dipisahkan dengan
di pantai bahkan di darat seluruhnya.
Pelabuhan menjadi sarana bangkitnya
perdagangan antar pulau bahkan perdagangan
antar negara, pelabuhan pada suatu daerah akan
3. lebih menggairahkan perputaran roda
perekonomian, berbagai jenis usaha akan
tumbuh mulai dari skala kecil sampai dengan
usaha skala internasional, harga-harga berbagai
jenis produk akan lebih terjangkau mulai dari
produksi dalam negeri sampai dengan luar
negeri. Pelabuhan yang bertaraf internasional
akan mengundang investor dalam dan luar
negeri untuk menanamkan modal yang
bermuara pada tumbuhnya perekonomian
rakyat, mobilitas manusia dari berbagai penjuru
akan hadir dan meninggalkan dana yang
banyak.
Menurut Suranto (2004), yang dikatakan
Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari
daratan dan perairan di sekitarnya dengan
batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan
pemerintah dan kegiatan ekonomi yang
dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar,
berlabuh, naik-turun penumpang, dan/atau
bongkar muat barang yang dilengkapi dengan
fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan
penunjang pelabuhan serta sebagai tempat
perpindahan intra dan antarmoda transportasi.
Pelabuhan adalah daerah perairan yang
terlindung terhadap gelombang, yang
dilengkapai dengan fasilitas terminal laut
meliputi dermaga di mana kapal dapat
bertambat untuk bongkar muat barang.
Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan
mengatakan bahwa peran pelabuhan adalah :
(a) simpul dalam jaringan transportasi sesuai
dengan hierarkinya;
(b) pintu gerbang kegiatan perekonomian;
(c) tempat kegiatan alih moda transportasi;
(d) penunjang kegiatan industri dan/atau
perdagangan;
(e) tempat distribusi, produksi, dan
konsolidasi muatan atau barang; dan
(f) mewujudkan Wawasan Nusantara dan
kedaulatan negara.
Wilayah akan berkembang jika ada
kegiatan perdagangan interinsuler dari wilayah
tersebut ke wilayah lain sehingga terjadi
peningkatan investasi pembangunan dan
peningkatan kegiatan ekonomi serta
perdagangan. Pendapatan yang diperoleh dari
hasil ekspor akan mengakibatkan
berkembangnya kegiatan penduduk setempat,
perpindahan modal dan tenaga kerja,
keuntungan eksternal dan perkembangan
wilayah lebih lanjut (Damapolii, 2008).
Pusat Pertumbuhan
Pusat pertumbuhan (growth pole) dapat
diartikan dengan dua cara, yaitu secara
fungsional dan secara geografis. Secara
fungsional, pusat pertumbuhan adalah suatu
lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang
industri yang karena sifat hubungannya
memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga
mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik
ke dalam maupun ke luar (daerah
belakangnya). Secara geografis, pusat
pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak
memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga
menjadi pusat daya tarik (pole of attraction),
yang menyebabkan berbagai macam usaha
tertarik untuk berlokasi di situ dan masyarakat
senang datang memanfaatkan fasilitas yang ada
di kota tersebut, walaupun kemungkinan tidak
ada pola interaksi antara usaha-usaha tersebut.
Pusat-pusat yang pada umumnya
merupakan kota–kota besar tidak hanya
berkembang sangat pesat, akan tetapi mereka
bertindak sebagai pompa-pompa pengisap dan
memiliki daya penarik yang kuat bagi wilayah-
wilayah belakangnya yang relatif statis.
Wilayah-wilayah pinggiran di sekitar pusat
secara berangsurangsur berkembang menjadi
masyarakat dinamis. Terdapat arus penduduk,
modal, dan sumberdaya ke luar wilayah
belakang yang dimanfaatkan untuk menunjang
perkembangan pusat-pusat dimana
pertumbuhan ekonominya sangat cepat dan
bersifat kumulatif. Sebagai akibatnya,
perbedaan pendapatan antara pusat dan wilayah
pinggiran cenderung lebih besar (Rahardjo
Adisasmita, 2005).
Pemikiran dasar dari konsep titik
pertumbuhan ini adalah bahwa kegiatan
ekonomi di dalam suatu daerah cenderung
beraglomerasi di sekitar sejumlah kecil titik
fokal (pusat). Di dalam suatu daerah arus
polarisasi akan bergravitasi kearah titik-titik
fokal ini, yang walaupun karena jarak arus
tersebut akan berkurang. Di sekitar titik fokal
ini dapat ditentukan garis perbatasan dimana
kepadatan arus turun sampai suatu tingkat kritis
minimum, pusat tersebut dapat dikatakan titik
pertumbuhan sedangkan daerah di dalam garis
perbatasan adalah daerah pengaruhnya.
Simpul Jasa Distribusi
Interaksi antara simpul besar dengan
simpul-simpul kecil dan daerah hinterlandnya
merupakan unsur yang penting dalam
4. konsepsinya. Tingkat interaksi ditunjukkan dari
tingkat kepadatan arus barang. Semakin kuat
ciri-ciri simpul berarti semakin luas dan jauh
jangkauan wilayah pengaruhnya. Lebih dekat
pada simpul berarti lebih banyak jenis barang
yang terjangkau oleh pelayanan pemasaran,
yang berarti pula lebih besar kesempatan yang
tersedia untuk perkembangan kegiatan usaha.
Interaksi antar simpul tersebut menunjukkan
korelasi yang negatif dengan jarak. Karena
simpul merupakan pula konsentrasi penduduk,
maka dapat dikatakan bahwa interaksi antar
simpul berkolerasi negatif terhadap jumlah
penduduk. (Matoka 1994).
Fungsi primer suatu simpul adalah sebagai
pusat pelayanan jasa distribusi bagi wilayah
pengembangannya atau wilayah nasional
(bersifat ke luar), sedangkan fungsi
sekundernya adalah kehidupan masyarakat di
simpul yang bersangkutan (bersifat ke dalam).
Perbedaan fungsi simpul tersebut
mencerminkan pula perbedaan dalam jenis dan
kapasitas fasilitas yang tersedia di masing-
masing simpul. Hirarkhi tiap simpul ditentukan
oleh kedudukannya dalam hubungan
fungsional antar simpul yang dicerminkan
berdasar mekanisme arus distribusi barang.
Berdasarkan teori simpul jasa distribusi
Purnomosidi, dapat dianalisis pola aliran
komoditas dari perdesaan atau aliran barang
senntral kota. Dengan asumsi bahwa pusat
perdesaan akan berkembang sebagai pusat
pelayanan bilamana menjadi simpul distribusi
bagi desa-desa sekitarnya, baik untuk
mendistribusikan hasil-hasil pertanian atau
untuk mendapatkan barang-barang kebutuhan
rumah tangga pertanian, maka dengan
demikian dapat dianalisis bahwa bilamana
suatu pusat perdesaan tidak memiliki fungsi
sebagai simpul distribusi tidak akan menarik
orang untuk melakukan interaksi dengan pusat
tersebut. Dengan demikian fungsi-fungsi yang
ada tidak akan beroperasi secara optimal yang
pada gilirannya tidak akan merangsang
perkembangan lebih lanjut (Matoka, 1994).
Interaksi Masyarakat Desa-Kota
Bintarto, (1983) mengemukakan bahwa
interaksi ini dapat dilihat sebagai suatu proses
yang sifatnya timbal balik dan mempunyai
pengaruh terhadap perilaku dari pihak-pihak
yang bersangkutan baik melalui kontak
langsung. Proses interaksi desa kota dapat
berwujud urbanisasi, yang dimaksud adalah
proses pembentukan kota, suatu proses yang
digerakkan oleh perubahan-perubahan dalam
masyarakat sehingga daerah-daerah yang dulu
merupakan suatu daerah pedesaan lambat laun
akan melalui proses yang mendadak
memperoleh sifat kehidupan kota.
Lebih lanjut Rondinelly (1985)
mengatakan bahwa konsep urbanisasi juga
mencakup pertumbuhan suatu pemukiman
menjadi kota (desa menjadi kota), perpindahan
penduduk ke kota (berbagai bentuk migrasi
ulang alik) atau kenaikan presentase penduduk
yang tinggal di kota. Proses urbanisasi ini
menurut Keijo dan Collegde dalam Bintaro
(1984) melalui empat proses utama yaitu :
a) Adanya pemusatan kekuatan pemerintah
kota sebagai pengambil keputusan dan
sebagai bahan pengawas dalam
menyelenggerakan hubungan kota dengan
daerah sekitarnya.
b) Adanya arus modal dan investasi untuk
mengukur kemakmuran kota dengan
wilayah sekitarnya, dan selain itu
penentuan/pemilihan lokasi untuk kegiatan
ekonomi mempunyai pengaruh terhadap
arus bolak balik desa-kota.
c) Divusi dan inovasi serta perubahan yang
berpengaruh terhadap aspek sosial ekonomi
budaya dan politik akan dapat memperluas
kota yang lebih kecil bahkan ke daerah
pedesaan. Difusi ini dapat mengubah
suasana desa menjadi suasana kota.
d) Migrasi dan pemukiman penduduk baru
dapat terjadi apabila pengaruh kota secara
terus menerus masuk ke daerah pedesaan.
Sedangkan ketergantunghan kota terhadap
desa itu sendiri dapat dilihat sebagai berikut.
a) Sebagai suplier bahan hasil-hasil pertanian.
b) Sebagai suplier bahan mentah atau bahan
baku industri.
c) Sebagai tempat pemasaran hasil-hasil
industri.
d) Sebagai Suplier tenaga kerja bagi industri
pabrik dan jasa lainnya.
Menurut Adisasmita (2005), bahwa
interaksi adalah kontak antara dua wilayah
yang dapat menimbulkan gejala baru. Batasan
sederhana ini merupakan analisa lain dari
pengertian terminologi interaksi yang bermuara
pada kata yang dipakai untuk menerangkan
kontak antara dua atau lebih wilayah secara
”kausatif” dan “ekonomis’. Kausatif artinya
suatu wilayah berinteraksi dengan wilayah lain
karena kebutuhan dalam kegiatan produksi
akan input yang berasal dari wilayah pemasok,
sedangkan ekonomis bahwa dasar yang
5. tercermin dalam aktivitas ekonomi berupa
konsumen dan produksi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah Perkembangan Kota Baubau
Pada mulanya, Baubau merupakan pusat
Kerajaan Buton (Wolio) yang berdiri pada awal
abad ke-15 (1401 – 1499). Buton mulai dikenal
dalam Sejarah Nasional karena telah tercatat
dalam naskah Negara Kertagama Karya
Prapanca pada Tahun 1365 Masehi dengan
menyebut Buton atau Butuni sebagai Negeri
(Desa) yang diperintah oleh seorang Raja
bergelar Yang Mulia Mahaguru. Cikal bakal
negeri Buton menjadi sebuah kerajaan pertama
kali dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si
empat orang) Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo,
Sijawangkati yang oleh sumber lisan di Buton
mereka berasal dari Semenanjung Tanah
Melayu pada akhir abad ke- 13.
Dalam periodisasi sejarah Buton telah
mencatat dua fase penting yaitu masa
pemerintahan kerajaan sejak tahun 1332
sampai pertengahan abad ke– 16 dengan
diperintah oleh 6 orang raja diantaranya 2
orang raja perempuan yaitu Wa Kaa Kaa dan
Bulawambona. Kedua raja ini merupakan bukti
bahwa sejak masa lalu derajat kaum perempuan
sudah mendapat tempat yang istimewa dalam
masyarakat Buton. Fase kedua adalah masa
Pemerintahan Kesultanan sejak masuknya
agama Islam di Kerajaan Buton pada tahun 948
Hijriah (1542 Masehi) bersamaan dilantiknya
Lakilaponto sebagai Sultan Buton I dengan
Gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul
Khamis sampai pada Muhammad Falihi
Kaimuddin sebagai Sultan Buton ke – 38 yang
berakhir tahun 1960.
Berdasarkan historiografi lokal Buton,
kawasan Bau-Bau berkembang sejak paruh
awal abad ke-19. Perkembangan terjadi pasca
kebakaran hebat dalam Benteng Keraton Wolio
dimasa pemerintahan Sultan Buton ke-29 La
Ode Muh. Aydrus Qaimuddin. Pasca peristiwa
tersebut, sebagian keluarga keraton mengungsi
keluar benteng, ada yang menetap di kawasan
Baadia, Bariya, Tarafu, dan sebagian lainnya
mendiami kawasan yang terletak di antara
Nganganaumala-Kotamara dan Bonesaala.
Kawasan inilah yang kemudian dinamai
Bau-Bau; sebuah kawasan hunian/kota ”baru”
(”bhau” menurut bahasa Wolionya). Kata bhau
dalam pengertian ini juga menunjuk pada
fenomena keseharian yang senantiasa berubah
atau baru; bhau – sabhaa-bhaau kadhagia
sebagai refleksi dinamika sosial
kemasyarakatan yang terus berkembang dalam
kawasan tersebut.
Dalam perkembangannya, kawasan Bau-
Bau pun menempati posisi laksana serambi
pusat Kota ”lama” Wolio (kawasan Benteng
Keraton). Keberadaan Pelabuhan Murhum
memberikan kontribusi yang sangat besar
dalam perkembangan kota kedepan, karena
letaknya yang strategis dalam jaringan
perniagaan laut, kawasan kota baru (bhau-
bhau) pun tumbuh pesat dan menjadi salah satu
diantara deretan kota pantai yang turut
memainkan peran dalam jaringan perniagaan
laut nusantara.
Seiring dinamika tersebut, di masa
pemerintahan Sultan Muh. Aydrus dibentuk
pula jabatan baru dalam hirarki pemerintahan
Kesultanan yakni Lakina Bhau-Bhau untuk
mengepalai kawasan ”kota baru” (bhau-bhau)
tersebut. Sebagai Lakina Bhau-Bhau I adalah
La Ode Rere (putra Sultan Muh. Aydrus) yang
memerintah sejak awal abad ke-19.
Dalam usianya yang hampir dua abad ini,
Kota Bau-Bau telah memberi andil besar bagi
dinamika dan kontinuitas sejarah Buton dan
Sulawesi Tenggara sebagaimana terefleksi dari
kedudukannya sebagai: (a) pusat pemerintahan
Kerajaan Buton (abad 14 - 16), (b) pusat
pemerintahan Kesultanan Buton (abad 16–20),
(c) pusat pemerintahan Afdeling Boetoen en
Laiwoei (sejak 1927), (d) pusat pemerintahan
Onder Afdeling Boetoen, (e) Ibukota
Kabupaten Sulawesi Tenggara (1950an -1964),
dan (f) Ibukota Kabupaten Buton (1964-2001),
Kota Administratif Baubau (1981 – 2001),
serta Daerah Otonom Kota Baubau (2001 –
sekarang).
Cikal bakal Kota Baubau berawal dari
ditunjuknya Kecamatan Wolio sebagai pusat
pemerintahan Kabupaten Buton, Pembentukan
Kota Administratif Baubau melalui Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 1981 merupakan babak baru dalam
perkembangan Kota Baubau. Wilayah Kota
Administratif Baubau sebagaimana yang
diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah
tersebut terdiri dari 2 kecamatan (Kecamatan
Wolio dan Kecamatan Betoambari) dan 23
kelurahan.
Seiring dengan perkembangan wilayah
kota yang semakin pesat, maka pada tahun
2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2001 dibentuklah Daerah Otonom Kota
6. Baubau yang mencakup 4 kecamatan antara
lain Kecamatan Wolio, Kecamatan
Betoambari, Kecamatan Surawolio, dan
Kecamatan Bungi. Pembentukan daerah
otonom ini memberikan ruang yang lebih luas
terhadap perkembangan Kota Baubau.
semenjak tahun 2006 Kota Baubau mekar
menjadi 6 (enam) kecamatan dan menjadi 7
(tujuh) kecamatan di akhir tahun 2008, saat ini
Kota Baubau terdiri dari 8 Kecamatan setelah
terbentuknya Kecamatan Batupoaro sebagai
pemekaran dari Kecamatan Murhum.
Gambar 1. Stadia Perkembangan Kota Baubau
Kondisi Pelabuhan Murhum
Pelabuhan Murhum di Kota Baubau
terletak di Kelurahan Wale Kecamatan Wolio
pada koordinat 122°36'38,56" Bujur Timur dan
5°27'15,486" Lintang Selatan, dan berada pada
Selat Buton yang memisahkan Pulau Buton dan
Pulau Muna. Pelabuhan Murhum merupakan
pelabuhan nasional yang berada di bawah
pengelolaan Unit Pelaksana Teknis Kantor
Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas I.
Letak Pelabuhan Murhum berada di
Kelurahan Wale Kecamatan Wolio yang
merupakan Pusat Pelayanan Kota (PPK) yang
berfungsi sebagai pusat perdagangan dan jasa,
dan perhubungan laut. Luas Kawasan
Pelabuhan Murhum pada saat ini berdasarkan
hasil analisa Citra Satelit dengan
menggunakan Sistim Informasi Geografis
(SIG) adalah seluas 12,69 Ha.
Luas lahan Kawasan Pelabuhan Murhum
saat ini adalah sebesar 12,69 Ha yang terdiri
dari tambat labuh kapal seluas 6,43 atau
mencakup 50,67 % dari total luas lahan
pelabuhan hasil analisa GIS, kolam pelabuhan
seluas 2,02 Ha (15,90 %), Lapangan
penumpukan petikemas seluas 1,99 Ha (15,67
%), Dermaga seluas 0,91 Ha (7,15 %),
Bangunan (kantor, ruang tunggu, gudang)
sebesar 0,50 Ha (3,95 %), Jalan seluas 0,36 Ha
(2,84 %), Lapangan Parkir seluas 0,28 Ha (2,23
%), Lahan Kosong seluas 0,12 Ha (0,92 %) dan
taman seluas 0,09 Ha (0,71 %), untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Penggunaan Lahan Kawasan
Pelabuhan Murhum, 2012.
No. Lahan Pelabuhan
Luas
(Ha)
Persentase
(%)
1 Bangunan 0,50 3,95
2 Kolam Pelabuhan 2,02 15,90
3 Lapangan Parkir 0,28 2,23
4
Lapangan
Penumpukan 1,99 15,67
5 Taman 0,09 0,71
6 Dermaga 0,91 7,15
7 Jalan 0,36 2,84
8 Lahan Kosong 0,12 0,92
9 Tambat Labuh Kapal 6,43 50,67
Total 12,69 100,04
Sumber: Hasil Analisis, 2014.
Gambar 2. Kondisi Pelabuhan Murhum
Posisi Pelabuhan Murhum Dalam Tatanan
Kepelabuhanan Nasional
Posisi Pelabuhan Murhum dalam tatanan
kepelabuhanan nasional berdasarkan hierarki,
peran dan fungsinya merupakan pelabuhan
nasional, yang mempunyai peran dan fungsi
sebagai pelabuhan utama tersier yang
terhubung dengan pelabuhan-pelabuhan besar
lainnya, seperti Pelabuhan Makassar yang
menjadi pelabuhan penghubung dengan
kawasan barat Indonesia, serta menjadi
pelabuhan penghubung dengan kawasan Timur
lainnya seperti Pelabuhan Bitung, Pelabuhan
Ambon dan Sorong yang melayani kegiatan
dan alih muat angkutan laut nasional dan
internasional dalam jumlah menengah, serta
7. merupakan simpul dalam jaringan transportasi
tingkat provinsi.
Tabel 2. Kondisi Pelabuhan Murhum
Berdasarkan Kriteria Kepmen Nomor
KM 53 Tahun 2002
Peran
Sebagai pengumpan angkutan
peti kemas nasional.
Sebagai tempat alih muat
penumpang dan barang umum
nasional.
Skala
Pelayanan
Melayani angkutan petikemas
nasional di seluruh Indonesia.
Lokasi
Pelabuhan
Berada dekat dengan Jalur
Pelayaran Nasional Primer
(kurang dari 50 mil dari Laut
Flores).
Berada pada Jalur Pelayaran
Nasional Sekunder
Kedalaman ± 7 m lws
Fasilitas
Dermaga multipurpose
sepanjang 180 m
Jarak dengan
Pelabuhan
Lainnya
± 20 mil dengan pelabuhan
nasional di Raha
Sumber : Hasil Analisis, 2014.
Gambar 3. Posisi Pelabuhan Murhum Dalam
Tatanan Kepelabuhanan Nasional
Pengaruh Pelabuhan Murhum Terhadap
Perkembangan Wilayah Kota Baubau
Pergerakkan manusia dan barang di kawasan
Pelabuhan Murhum yang menimbulkan arus
lalu lintas (traffic flow) merupakan
konsekuensi gabungan dari aktivitas lahan di
dalam kota (permintaan) dan kemampuan
sistem trasportasi (darat dan laut) dalam
mengatasi masalah arus lalu lintas
(penawaran). Pergerakkan barang dan manusia
yang terjadi pada kawasan pelabuhan
mencerminkan keterhubungan suatu wilayah
dengan wilayah lainnya di dalam Kota Baubau.
Hubungan ini memberikan dampak bagi
perkembangan Kota Baubau secara
keseluruhan. Dengan demikian hubungan antar
wilayah, baik secara eksternal maupun internal
yang terjadi pada kawasan Pelabuhan Murhum
mempengaruhi aktivitas keruangan wilayah
Kota Baubau secara keseluruhan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Pengaruh interaksi antar pelabuhan lain sangat
mempengaruhi aktivitas, pergerakan dan
kebutuhan lahan di sekitar kawasan pelabuhan,
semakin tinggi interaksi dan konektivitas
pelabuhan dengan pelabuhan lainnya, maka
akan semakin tinggi pula aktivitas yang terjadi
pada kawasan pelabuhan tersebut, hal ini akan
mempengaruhi kebutuhuan penggunaan lahan
di sekitar kawasan pelabuhan dari kawasan
perumahan/permukiman menjadi kawasan
komersial (perdagangan dan jasa), dan secara
tidak langsung akan merubah struktur
penggunaan lahan Kawasan Perkotaan Baubau.
Hal ini terjadi karena desakan perubahan lahan
pada kawasan Pelabuhan Murhum yang
berorientasi kekotaan sangat mendominasi
kegiatan masyarakat sekitarnya, sehingga
kebanyakan bangunan di sekitar kawasan
pelabuhan tersebut tidak lagi berorientasikan
sektor permukiman namum berorientasikan ke
sektor perekonomian, perdagangan dan jasa,
dalam hal ini penggunaan lahan didominasi
oleh bangunan ruko, penginapan, pertokoan,
pariwisata dan pegiatan perekonomian lainnya.
Pengaruh Pelabuhan Murhum terhadap
perkembangan ruang wilayah Kota Baubau
menunjukkan pengaruh yang sangat besar, hal
ini terlihat dari perkembangan perubahan lahan
pada kawasan disekitar pelabuhan dari
kawasan yang didominasi oleh perumahan dan
permukiman pada awal tahun 1990 menjadi
kawasan perdagangan dan jasa.
Perubahan lahan tersebut memberikan
indikasi bahwa, perkembangan kawasan
perumahan dan permukiman di Kota Baubau
semakin terdesak menjauhi Kawasan
Pelabuhan Murhum, sementar kawasan
perdagangan dan jasa tumbuh secara signifikan
penggantikan lahan-lahan perumahan dan
permukiman di sekitar kawasan pelabuhan.
Tabel berikut memperlihatkan
perkembangan wilayah Kota Baubau yang
dipengaruhi secara langsung oleh keberadaan
Pelabuhan Murhum.
8. Tabel 3. Penggunaan Lahan Disekitar Kawasan Pelabuhan Murhum Tahun 1990 - 2010.
Penggunaan Lahan
Luas (Ha) Perubahan Lahan (Ha)
1990 2000 2010 1990 - 2000 2000 - 2010
Jalan 4,93 5,14 5,55 0,21 0,41
Pelabuhan Batu 0,00 1,35 1,35 1,35 0,00
Pelabuhan Murhum 0,26 6,15 12,69 5,89 6,54
Kawasan Wisata 0,00 0,00 2,61 0,00 2,61
Semak/Belukar 5,06 2,62 1,02 -2,44 -1,60
Perdagangan dan Jasa 0,24 5,57 7,86 5,33 2,29
Perkantoran 1,89 2,83 2,77 0,94 -0,06
Perumahan/Permukiman 11,57 8,02 7,73 -3,55 -0,29
Ruang Terbuka Hijau 0,15 0,15 0,23 0,00 0,08
Sarana Ibadah 0,54 0,54 0,54 0,00 0,00
Sarana Pendidikan 0,00 0,49 0,49 0,49 0,00
Jumlah 24,64 32,86 42,84
Sumber : Hasil Analisis 2014.
Tabel di atas memperlihatkan perubahan
penggunaan lahan disekitar kawasan pelabuhan
murhum yang terpengaruh langsung dengan
aktivitas arus bongkar muat barang, jasa dan
orang di Pelabuhan Murhum adalah kawasan
perumahan dan permukiman menjadi kawasan
perdagangan dan jasa pada kurun waktu tahun
1990 – tahun 2000, dimana luas wilayah
kawasan perumahan dan permukiman pada
tahun 1990 sebesar 11,57 Ha, berkurang
menjadi 8,02 Ha pada tahun 2000. Sedangkan
kawasan perdagangan dan jasa mengalami
pertambahan wilayah dari 0,24 Ha pada tahun
1990 menjadi 5,57 Ha pada tahun 2000 dan
meningkat menjadi 7,86 Ha pada tahun 2010.
Pertumbuhan kawasan perdagangan dan jasa
ini sebagai akibat dari perkembangan arus
bongkar muat barang, jasa dan orang di
Pelabuhan Murhum seiring dengan
bertambahnya jumlah kunjungan kapa yang
terjadi dalam kurun waktu tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pelabuhan Murhum berperan sebagai
pelabuhan pengumpul dalam sistim
transportasi laut di Sulawesi Tenggara dan
merupakan pelabuhan yang terkoneksi
dengan simpul transportasi laut nasional
yang terhubung dengan Kawasan Timur dan
Kawasan Barat dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2. Perkembangan Pelabuhan Murhum
berbanding lurus dengan perkembangan
kawasan disekitarnya yang berimplikasi
terhadap semakin terdesaknya kawasan
perumahan dan permukiman yang menjauh
dari Pelabuhan Murhum, sebaliknya
kawasan perdagangan dan jasa semakin
mendominasi pemanfaatan ruang pada
kawasan pelabuhan yang mengakibatkan
perubahan ruang wilayah Kota Baubau
khususnya disekitar Pelabuhan Murhum dan
Kota Baubau pada umumnya.
Saran
1. Perlunya dilakukan penataan kawasan
sekitar Pelabuhan Murhum agar tidak
menimbulkan dampak kemacetan.
2. Perlu dilakukan penelitian yang lebih
mendetail terhadap kondisi pelabuhan
murhum terkait dengan semakin tingginya
aktivitas bongkar muat di pelabuhan yang
tentunya mengakibatkan kebutuhan ruang
pelabuhan semakin tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Adisamita, R. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi
Wilayah, Universitas Hasanudin
Makasar
9. Adisamita, R. 2008. Pembangunan Ekonomi
Perkotaan. Penerbit Graha Ilmu.
Jakarta.
Bintarto, R. 1983, Interaksi Desa Kota dan
Permasalahannya, Ghalia Indonesia.
Jakarta.
Damapolii, D. W. 2008. Peran Pelabuhan
Labuan Uki Terhadap Pengembanam
Wilayah Kabupaten Bolaang
Mongondow. Masters Thesis Jurusan
Perencanaan Wilayah dan Kota,
Universitas Diponegoro, Semarang.
Matoka, 1994, Studi Jangkuan Pelayanan
Pusat-Pusat Pertumbuhan di Sulawesi
Tenggara (Tesis, Program Magister
Perencanaan Pengembangan Wilayah
Pasca Sarjana Unhas,1994 tidak
dipublikasikan).
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009
tentang Kepelabuhanan.
Pontoh, Nia K. dan Kustiwan, Iwan. (2009).
Pengantar Perencanaan Perkotaan.
Bandung: ITB Bandung.
Suranto, 2004. Manajemen Operasional
Angkutan Laut dan Kepelabuhanan
Serta Prosedur Impor Barang,
Gramedia Pustaka Utama.
Rondinelli, D.A, 1985. Applied Methods of
Regional Analysis: The Spatial
Dimension of Development Policy.
Westview Press. London.