11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
Perkembangan hewan
1. BAB I
PENDAHULUAN
Setiap makhluk hidup memerlukan suatu proses regenerasi dan regulasi
karena kedua hal tersebut sangat penting bagi suatu perkembangan makhluk hidup.
Setiap hewan mempunyai kemampuan hidup yang bervariasi antara makhluk yang
satu dengan makhluk yang lainnya. Regenerasi dapat diartikan sebagai kemampuan
tubuh suatu organisme untuk menggantikan bagian tubuh yang rusak baik yang
disengaja ataupun tidak disengaja (karena kecelakaan) dengan bagian tubuh yang
baru dengan bentuk yang sama persis dengan sebelumnya.
Kemampuan untuk beregenerasi, struktur yang hilang terdapat pada hampir
semua makhluk paling tidak dalam suatu derajat tertentu. Kemampuan regenerasi
yang sangat jelas dijumpai pada spons, coelenterata, cacing, bahkan banyak
diantaranya yang mampu membentuk organisme baru yang dari fragmen-fragmen
tubuhnya saja. Pada vertebrata kemampuan meregenerasi struktur-struktur utama
tubuhnya terbatas pada urodella yang dapat mengganti anggota badan atau ekor,
mata, insang yang hilang. Pada vertebrata yang lebih tinggi tingkatannya sama sekali
tidak terdapat kemampuan meregenerasi anggota badannya. Regenerasi hanya terjadi
secara fisiologi seperti sel-sel darah, kulit dan turunan-turunan integumen yang
berlangsung selama hidupnya.
Daya regenerasi tak sama pada berbagai organisme. Ada yang tinggi dan ada
yang rendah sekali dayanya. Tak jelas hubungan linier antara kedudukan sistematik
hewan dengan daya regenerasi. Yang terkenal tinggi dayanya adalah Coelenterata,
Platyhelminthes, Annelida, Crustacea, dan Urodela. Aves dan Mammalia paling
rendah dayanya, biasanya terbatas kepada penyembuhan luka, bagian tubuh yang
terlepas tak dapat ditumbuhkan kembali.
Selain memiliki kemampuan beregenerasi, hewan juga melakukan peristiwa
metamorfosis. Metamorfosis adalah suatu proses biologi dimana hewan secara fisik
1
2. mengalami perkembangan biologis setelah dilahirkan atau menetas. Proses ini
melibatkan perubahan bentuk atau struktur melalui pertumbuhan sel dan diferensiasi
sel (Mysience, 2008). Metamorfosis terbagi atas metamorfosis sempurna
(Holometabola) dan tidak sempurna (Hemimetabola). Pada umumnya yang
mengalami metamorfosis adalah hewan dari filum Arthopoda, walaupun pada Filum
Chordata juga ada yang mengalami metamorfosis seperti Amfibia dan Salamander.
Proses regenerasi dan metamorfosis akan dijelaskan lebih terperinci pada bab
pembahasan.
2
3. BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Metamorfosis
Metamorfosis adalah proses perkembangan biologi pada hewan yang
melibatkan perubahan struktur fisik setelah kelahiran atau penetasan (hatching).
Metamorfosis terbagi dua yaitu metamorfosis sempurna dan metamorfosis tidak
sempurna (Holometabola dan Heterometabola). Berikut penjelasan tentang
metamorfosis sempurna dan metamorfosis tidak sempurna.
2.1.1 Metamorfois Sempurna (Holometabola)
Metamorfosis sempurna adalah proses perubahan bentuk tubuh hewan dari
kecil hingga dewasa. Metamorfosis sempurna adalah metamorfosis yang mengalami
empat fase, yaitu telur, larva, pupa (kepompong), dan imago. Serangga yang
mengalami metamorfosis sempurna ialah serangga yang memiliki empat tahap
pertumbuhan dalam daur hidupnya.
Contohnya: kupu-kupu, nyamuk, lalat, semut.
2.1.1.1 Metamorfosis pada Undur-undur (Myrmeleon sp)
Undur-undur (Myrmeleon sp)merupakan binatang yang tergolong unik,
lantaran mungkin menjadi satu-satunya binatang yang berjalan mundur. Karena itulah
dia diberi nama undur-undur. Bentuknya kecil, lebih kecil dari lebah, dan lebih besar
dari kutu. Binatang kecil ini biasanya dijumpai di sekitar rumah berhalaman pasir,
memiliki rumah atau sarang sebagai perangkap (seperti laba-laba) terlihat seperti
lingkaran atau lubang yang mengerucut di pasir. Serangga atau semut yang lewat
akan terjebak dalam lubang pasir tadi dan menjadi santapan lezat bagi undur-undur.
3
4. Undur-undur adalah kelompok binatang holometabola yaitu serangga yang
mengalami metamorfosis sempurna. Tahapan dari daur serangga yang mengalami
metamorfosis sempurna adalah telur, larva, pupa, dan imago. Larva adalah hewan
muda yang bentuk dan sifatnya berbeda dengan dewasa. Pupa adalah kepompong
dimana pada saat itu serangga tidak melakukan kegiatan, pada saat itu pula terjadi
penyempurnaan dan pembentukan organ. Imago adalah fase dewasa atau fase
perkembangbiakan.
Berdasarkan ciri sayap dan alat mulutnya, binatang ini merupakan ordo
Neuroptera Ordo Neuroptera adalah serangga bersayap jala. Ciri serangga ini adalah
mulut menggigit, dan mempunyai dua pasang sayap yang urat-uratnya berbentuk
seperti jala. Contoh: undur-undur, metamorfosis sempurna (siklus hidupnya: telur,
larva, pupa (kepompong, imago). (Siska, 2007)
Reproduksi terjadi tidak lama setelah undur-undur baru saja keluar dari
kepompongnya. perkawinan dimulai ketika sepasang undur-undur jantan dan betina
hinggap di pohon. Sepasang undur-undur itu lalu melakukan kopulasi dengan cara
saling melekatkan ujung ekornya. Kopulasi bisa berlangsung hingga dua jam
lamanya. Undur-undur betina yang sudah kawin selanjutnya akan pergi mencari
tempat untuk bertelur dan masih mungkin kembali ke tempat yang sama untuk
kembali melakukan perkawinan.
2.1.1.2 Metamorfosis pada Katak
1. Perubahan Organisasi selama Proses Metamorfosis
Pada amphibia, metamorfosis selalu dikaitkan antara larva dengan
perubahan lingkungan hidupnya, yaitu dari lingkungan perairan (akuatik)menjadi
individu yang dapat hidup di darat. Sejalan dengan perubahan ini pada suku anura
(katak dan kodok) juga terjadi perubahan jenis makanan. Berudu katak dan kodok
memakan materi tumbuhan yang ada di perairan (hancuran tumbuhan, baik yang
masih hidup ataupun yang telah mati dan fitoplankton) dengan bantuan gigi-gigi
tanduk yang tumbuh disekitar mulut. Beberapa bahkan memakan bahan organik
4
5. sisa hancuran yang ada di dasar perairan. Pada urodela, perubahan jenis makanan
ini tidak terjadi karena larva urodela memang sudah karnivora dengan memakan
hewan yang lebih kecil, terutama cacing dan crustacea (Surjono, 2001).
Perubahan pola organisasi hewan selama proses metamorfosis ada yang
berjalan secara progresif dan ada pula yang regresif, oleh karena itu digolongkan
menjadi tiga kelompok:
1. Struktur atau organ yang diperlukan selama masa larva tetap terdapat organ
lain yang memiliki struktur atau fungsi sama pada hewan dewasa mungkin
hilang semua.
2. Beberapa organ tumbuh dan berkembang selama dan setelah proses
metamorfosis
3. Organ-organ yang ada dan berfungsi selama masa sebelum dan setalah
metamorfosis mengalami perubahan sesuai model dan kebutuhan hidup dari
individu dewasanya (Surjono, 2001).
Gambar 1. Proses metamorfosis pada Katak
Proses regresif selama metmorfosis berudu katak adalah sebagai berikut:
ekor yang panjang dan semua strukturnya mengalami resorpsi sampai habis.
Insang luar juga mengalami resorpsi, penutup insang akan menutup dan rongga
peribrankia juga menghilang. Gigi-gigi tanduk yang ada disekitar mulut akan
5
6. mengalami penataan kembali menjadi gigi-gigi yang terletak pada permukaan
rahang, sementara bentuk mulutnya mengalami perubahan. Bumbung kloaka
mengalami pemendekan dan reduksi. Bebapa pembuluh darah juga mengalami
reduksi, termasuk bagian-bagian dari arkus aortikus (Surjono, 2001).
Proses pembentukan organ baru selama metamorfosis adalah
perkembangan kaki-kaki yang sangat progresif terutama pada penambahan
ukuran dan perubahan bentuk. Kaki depan yang tumbuh di dalam selaput
operkulum, memecah dan tumbuh keluar. Telinga tengah berkembang dan
berhubungan dengan celah faring pertama. Membran timpani tumbuh dengan baik
disokong oleh rawan timpani. Mata terdesak ke arah dorsal kepala dan kelopak
mata tumbuh. Lidahnya tumbuh dengan baik dari dasar mulut. Organ-organ yang
tetap berfungsi sebelum dan sesudah masa larva adalah kulit dan saluran
penceranaan. Kulit berudu ditutupi oleh dua lapis epidermis. Selama proses
metamorfosis, jumlah lapisan epidermis meningkat sehingga terjadi penebalan
dan pada permukaannya akan mengalami penandukan. Kelenjar-kelenjar mukosa
dan serosa akan tumbuh pada epidermis dan kemudian tenggelam sampai jaringan
ikat pada lapisan dermis. Organ-organ sensori yang terdapat sepanjang alteral
tubuh pada masa larva akan hilang selama proses metamorfosis. Warna pigmen
kulit juga mengalami perubahan, baik pola maupun warnanya. Saluran
pencernaan yang sebelumnya sangat panjang dan melingkar-lingkar pada saat
larva, seperti dijumpai pada kebanyakan herbivora, mengalami pemendekan ke
depan dan menjadi relativ lurus pada hewan dewasa. Proses-proses ini terjadi
dengan sangat cepat dan hanya memerlukan waktu beberapa hari saja (Surjono,
2001).
Perubahan struktur selama proses metamorfosis pada urodela tidaklah
sedramatis pada katak. Ekornya masih tetap ada, hanya lipatan-lipatan sirip
ekornya yang menghilang. Insang luarnya mengalami resorpsi dan celah insang
akan menutup. Tulang-tulang viseral mengalami pengecilan. Kepalanya berubah
bentuk, menjadi lebih lonjong. Perubahan-perubahan progresif yang terjadi jauh
lebih kecil dibandingkan metamorfosis pada berudu katak. Perubahan-perubahan
6
7. itu terutama terjadi pada perubahan struktur kulit dan mata. Kedua mata bergeser
letaknya dan lebih ke arah dorsal kepala dan lipatan penutup mata tumbuh. Kulit
mengalami penandukan dan banyak kelenjar kulit yang tumbuh. Pigmentasi kulit
mengalami perubahan. Bentuk kaki dan saluran pencernaan tampaknya tidak
mengalami perubahan. Proses metamorfosis pada urodela ini terjadi selama
beberapa minggu (Surjono, 2001).
Pertumbuhan paru-paru pada urodela dan anura tidak sedrastis
metamorfosis itu sendiri. Paru-paru pada kedua kelompok hewan ini telah tumbuh
dan berfungsi secara secara pasti sejak masa larva. Sebelumnya telah dijelaskan
bahwa sebelum masa metamorfosis, berudu katak dan larva salamander sudah
harus sering muncul ke permukaan air untuk mengambil udara bebas guna
membantu pernafasan insang mereka. Hal ini mungkin sangat penting artinya bagi
katak yang hidup diperairan yang cepat kering atau tingkat pencernaan air
meningkatkan, sehingga mereka tetap dapat melewati masa larva dengan aman
(Surjono, 2001).
Sejalan dengan proses metamorfosis yang tampak pada perubahan bentuk
dan struktur morfologis, pada katak juga terjadi perubahan fisiologis. Fungsi
endokrim pankreas katak mulai terjadi selama proses metamorfosis yang
berkaitan dengan perubahan/peningkatan fungsi hati dalam mengubah glukosa
menjadi glikogen. Perubahan lain yang sangat penting adalah pada sistem
ekskresi. Pada berudu produksi ekskresi berupa amoniak dapat dengan mudah
dibuang kelingkungan tubuh (air) melalui proses difusi dari tubuh. Tetapi pada
hewan dewasa hal ini tidak mudah dilakukan. Sementara itu, deposit amoniak di
dalam tubuh yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya keracunan. Seekor
katak mengekskresikan urea dan sedikit sekali dalam bentuk amoniak. Perubahan
ini terjadi pada masa akhir metemorfosis yaitu ketika hati mengalami perubahan
fungsi dan membantuk sintesis urea dan amoniak yang dihasilkan (Surjono,
2001).
Proses reduksi insang dan ekor berudu dipengaruhi oleh autolisis dari
kompone-komponen jaringan organ tersebut, dibantu oleh sel-sel makrofag yang
7
8. memakan sisa-sisa sel yang mengalami kematian. Mekanisme yang serupa juga
ditemukan pada terjadinya reduksi lipatan-lipatan ekor dan insang pada urodela
(Surjono, 2001).
Selama proses metamorfosis berudu katak, proses penghancuran beberapa
organ tubuh terjadi sangat nyata, perubahan-perubahan pada sistem penceranaan
makanan mungkin akan mengganggu pola konsumsi berudu tersebut, maka katak
yang beru saja selesai mengalami metamorfosis umumnya berukuran lebih kecil
dibandingkan bentuk dan ukuran berudu sendiri. Pernyusutan tidak hanya terjadi
pada berat individu sebelum dan sesudah metamorfosis, tetapi juga pada ukuran
kepala dan badan dari individu tersebut (Surjono, 2001).
2. Penyebab terjadinya Metamorfosis pada Amfibi
Penyebab metamorphosis salah satunya adalah terjadinya pelepasan
hormone dalam jumlah besar dari kelenjar tiroid pada hewan yang sedang
memasuki masa metamorphosis. Hormone tiroid sebagai pemicu terjadinya
metamorphosis diketahui setelah dilakukannya beberapa penelitian, diantaranya
adalah apabila kelenjar tiroid diambil dari seekor berudu dengan cara operasi,
maka berudu yang tidak memiliki kelenjar tiroid ini tidak mengalami
metamorphosis ketika dipelihara lebih dari setahun, berudu tanpa kelenjar tiroid
ini terus tumbuh besar. Percobaan ini membuktikan bahwa metamorphosis tidak
dapat terjadi tanpa stimulus dari hormone yang dihasilkan kelenjar tiroid. Dari
percobaan lain diketahui pula bahwa memelihara berudu dengan diberi makana-
makanan yang mengandung dari hormone dari kelenjar tiroid atau memelihara
berudu di dalam larutan yang mengandung hormone tiroid , berudu dengan diberi
perlakuan seperti itu akan cepat mengalami metamorphosis selain itu juga
membuktikan bahwa kelenjar tiroid hewan itu sendiri bukanlah satu-satunya
sumber pemicu terjadinya metamorphosis selain itu ada yang dipengaruhi
lingkungan juga (Surjono, 2001).
Selain dipicu oleh kelenjar tiroid, larutan garam tiroglobulin juga dapat
memicu terjadinya metamorphosis. Larutan ini berasal dari merendam kelenjar
8
9. tiroid di dalam larutan garam fisiologi. Hal ini akan mengakibatkan hormone
dalam kelenjar tiroid akan terlarut ke dalam garam fisiologi tersebut. Hormone
yang terlarut ini berupa protein tiroglobulin. Karakter khas tiroglobulin adalah
mengandung gugus yodium atau iodine yang merupakan bagian penting dari
hormone tiroid. Tiroglobulin ini mempercepat metamorphosis karena tiroglobulin
memiliki berat molekul sekitar 675.000 Dalton, merupakan sebuah molekul yang
besar dan dapat menembus dinding-dinding sel dalam proses meninggalkan
kelenjar tiroid menuju sel-sel target. Komponen- komponen yodium ini nantinya
dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil yang merupakan gabungan dari
komponen-komponen asam amino tirosin dengan gugs iodine. Dua komponen
yang terpenting adalah tri-iodotironin dan tiroksin.tiroksin dihasilkan lebih
banyak dari pada tri-iodotironin tetapi tri iodotironin terlihat lebih aktif dengan
jaringan (Surjono, 2001).
Dari penelitian diketahui bahwa iodine juga dapat memperdepat terjadinya
metamorphosis hal ini dapat dilakukan dengan cara menginjeksi menginjeksikan
larutan iodine ke dalam tubuh berudu atau dengan cara menanamkan Kristal
yodium pada tubuh berudu. Dari penelitian ini diketahui bahwa yodium dapat
menstimulus terjadinya metamorphosis pada axolotl yang telah diambil kelenjar
tiroidnya. Dari penelitian juga diketahui bahwa tri-iodotironin memiliki aktivitas
untuk menstimulus metamorphosis 3-5 kali lebih tinggi dari pada tiroksin
(Surjono, 2001).
Kelenjar lain yagn juga memicu untuk terjadinya metamorphosis adalah
kelenjar hipofisis. Hal ini diketahui dari percobaan apabila kelenjar hipofisis dari
seekor berudu di hancurkan maka berudu tersebut tidak dapat melakukan
metamorphosis. Tetapi hipofisis tidak berperan langsung pada proses
metamorphosis melainkan melalui stimulus pada kelenjar tiroid. Agenesia yang
diperlukan untuk mengaktifkan kelenjar tiroiddihasilkan pada lobus anterior
hipofisis disebut hormone tirotropik. Pada larva amfibi. Hipofisis tidak
memproduksi hormone tirotropik sampai saat normal untuk terjadinya prose
9
10. metamorphosis. Hipofisi berudu menghasilkan hormone lain yang bekerja secara
antagonis untuk dengan hormone tiroksin selama maa berudu. Hormone ini
mencegah terjadinya metamorphosis (Surjono, 2001).
Dari hal diatas dapat disimpukan bahwa metamorphosis dimulai apabila
bagian anterior hipofisis menghasilakn hormone tirotropik sampai kadar tertentu
sehingga dapat menstimulus kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormone-
hormonnya terutama tiroksin. Konsenterasi hormone tiroksin yang tinggi akan
menutupi aktivitas yang bekerja secara antagonis yaitu hormone yang mirip
prolaktin dan mempengaruhi jaringan secara langsung. Hal ini mengakibatkan
terjadinya degenerasi dan nekrosi (kematian sel) sel-sel target dan juga memicu
terjadinya deferensiasi dan pertumbuhan sel-sel lain (Surjono, 2001).
3. Reaksi Jaringan Tubuh Anfibia Terhadap Proses Metamorfosis
Penyebab utama terjadinya proses metamorfosis itu adalah hadirnya
hormon – hormon kelenjar tiroit. Misalnya bagaimana hanya sel – sel tertentu
(insang dan ekor saja) yang mengalami degenerasi sedangkan bakal kaki depan
dan belakang malah tumbuh, suatu sistem yang bekerja secara antagonis. Pada
percobaan kali ini apabila semua sebagian dari ekor berudu di cangkokkan pada
tubuh berudu yang lain dan berudu itu mengalami resorpsi. Sebaliknya apabila
satu mata berudu dicangkokkan pada ekor berudu yang siap bermetamorfosis,
apabila satu mata pada ekor itu tidak akan ikut diresorpsi setelah masa
metamorfosis terjadi. Ketika ekor mengalami pemendekan , maka mata pada ekor
itu akan terbawa mendekat dan tetap hidup pada bagian sakral katak tersebut.
Percobaan tersebut menunjukkan bahwa karakter reaksi jaringan terhadap
stimulus dari kelenjar tiroid tidak tergantung pada tempat tetapi pada keadaan
alami dari organ itu sendiri (Surjono, 2001).
Pada bagian tubuh yang berbeda bereaksi tidak saat terhadap dosis
hormon kelenjar tiroid. Bila hormon tiroid diberikan pada berudu dengan dosis
yang sangat renda, maka dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan kaki
10
11. belakang dan pemendekan saluran pencernaan. Pemberian dosis yang lebih tinggi
dapat memicu munculnya kaki depan. Dosis yang lebih besar diperlukan kelipatan
dosis yang berbeda pula. Bagian ujung ekor tampak lebih relatif di bandingkan
pangkal ekor. Secara umum tampak sensitivitas terhadap hormon – hormon
kelenjar tiroid direfleksikan oleh bagian – bagian tubuh yang dipengaruhinya
selama perkembangan normal. Bagian yang memiliki sensitivitas tinggi (kadar
hormon rendah, misalnya pertumbuhan kaki) merespon lebih dahulu
dibandingkan dengan bagian – bagian tubuh yang memiliki sensitivitas rendah
(memerlukan konsentrasi hormon tinggi, misalnya reduksi ekor) (Surjono, 2001).
4. Proses – Proses Induksi selama Metamorfosis Amfibia
Meskipun secara umum tampak bahwa proses metamorfosis adalah reaksi
langsung terhadap hormon kelenjar tiroid yang mencapai jaringan yang
bersangkutan. Kulit yang menutup ekor barudu seharusnya ikut mengalami
nekrosis selama proses metamorfosis, tetapi kenyataannya tidak mengalami
nikrosis apabila kulit ekor itu di cangkokkan pada tubuh tanpa sel – sel otot ekor
yang ada di bawahnya. Apabila pada kulit ekor itu masih terdapat sel – sel otot
ekor yang ikut dicangkokkan ke bagian tubuh manapun, maka kulit itu akan tetap
mengalami nekrosis, hal ini membuktikan bahwa hormon kelenjar tiroid itu hanya
mempunyai efek langsung kepada jaringan otot apabila kulit yang melingkupinya
ikut menalami resorpsi itu adalah akibat sekunder (Surjono, 2001).
Sebuah kejadian yang lebih kompleks pada proses ini adalah terbentuknya
membran timpani pada katak. Telinga yang berupa rongga berhubungan dengan
rongga mulut melalui saluran eustakhius merupakan salah satu struktur yang
tumbuh secara progresif selama proses metamorfosis. Diferensiasi membran
timpani terjadi menjelang berakhirnya masa metamorfosis. Di mulai dengan
terbentuknya rawan yang membentuk cincin (rawan timpani) yang berkembang
sebgai penonjolandari rawan kuadrat. Kulit yang kemudian tumbuh menjadi
membran timpani semula, tampak tidak berbeda dengan kulit yang ada di sekitar.
11
12. Selama masa metamorfosis, jaringan ikat di daearah yang akan menjadi membran
timpani mengalami reorginisasi. Lapisan serabut terpeca karana aktifitas sel – sel
fagositas dan sebuah lapisan jaringan ikat baru yang lebih tipis kemidian di
bangun di tempat ini. Pada membran timpani yang sudah sempurna, ketebalan
kulitnya akan menjadi kurang dari setengah ketebalan kulit normal, tetapi lebih
kompak dan berbeda pigmentasinya (Surjono, 2001).
Oleh karena itu di ketahui bahwa diferensiasi membran timpani bukanlah
sebagai akibat langsung dari hormon kelenjar tiroid tetapi di induksikan oleh
rawan timpani. Apabila rawan timpani dihilangkan sebelum masa metamorfosis,
maka membran timpani tidak akan berkembang. Apabila daerah ditutupi oleh
kulit yang bersal dari bagian tubuh yang lain, maka membran timpani akan tetap
berkembang. Sebaliknya apabila rawan timpani dicangkokkan di bawah kulit
pada bagian tubuh mana saja sebelum berudu mengalami metamorfosis, maka
kulit diatas rawan timpani itu akan mengalami diferensiasi menjadi membran
timpani (Surjono, 2001).
2.1.2 Metamorfosis Tidak Sempurna (Heterometabola)
Metamorfosis tidak sempurna adalah proses perubahan bentuk hewan yang
saat lahir tidak berbeda bentuknya dengan hewan dewasa (tidak melalui tahap
menjadi kepompong), yaitu telur, nimfa, dan hewan dewasa.Contohnya: kecoak,
capung, dan belalang.
2.1.2.1 Metamorfosis pada Serangga
1. Ganti Kulit (Molting) dan Hubungannya dengan Metamorfosis pada
Serangga
Metamorphosis pada serangga bersifat spesifik karena melibatkan
pergantian kulit. Pergantian kulit dialami hewan yang kulitnya terbuat dari bahan
kutikula, karena kulit tidak bisa bertambah besar ketika hewan tumbuh besar,
sehingga diperlukan proses ganti kulit (molting) (Surjono, 2001).
12
13. Sebagian besar permukaan kulit serangga mengalami penebalan kutikula,
misalnya seluruh tubuh, rambut dan duri, sculpture dan pigmentasinya. Selama
molting bagian tersebut lepas terikut dengan kutikula yang dibuang. Ketika ganti
kulit dibentuk kutikula baru yang keras dan umumnya berukuran lebih besar.
Kutikula tersebut disekresikan oleh sel epidermis (Surjono, 2001).
Sel-sel epidermis pada lapisan terluar berdekatan dengan permukaan
dalam dari kutikula. Sebelum ganti kulit, sel epidermis mengalami aktivasi, yaitu
mengalami pemisahan sendiri dari kutikuladan mengalami fase penumbuhan dan
pembelahan. Pembelahan terjadi secara mitosis. Jumlah sel yang dihasilkan sesuai
dengan kebuthan. Sebagian sel-sel mengalami degenerasi melalui piknosis. Di
samping mengalami degenerasi, sel epidermis juga mengalami perubahan bentuk.
Beberapa sel mengalami perubahan bentuk menjadi lapisan epitel berbentuk
kolumnar. Permukaan epitel memberi bayangan bentuk serangga yang mengalami
molting. Pada bagian tubuh yang mengalami pembesaran epidermis tumbuh
sebagai lipatan-lipatan yang kemudian akan membuka saat serangga keluar dari
kulit lamanya (Surjono, 2001).
Pada permukaan sel epidermis tersebut dihasilkan lapisan sekresi yang
kemudian mengeras dan diesebut epikutikula. Epikutikula terdiri dari substansi
lipoprotein alami yang disebut kutikulin. Suatu cairan yang dihasilkan kelenjar
khusus disekresikan di atas lapisan kutikula yang baru dan di bawah lapisan
kutikula lama. Cairan berisi enzim yang mendegradasi (menghancurkan) lapisan
kutikula lama sehingga tersisa sedikit lapisan yang tersisa. Cairan direabdsorpsi
kembali oleh tubuh serangga. Pada saat yang sama, epidermis menghasilkan
lapisan kutikula baru di bawah epikutikula, lapisan ini disebut eksokutikula.
Eksokutikula banyak berisi kutikulin dan substansi fenolik yang kemudian
mengoksidasi lapisan itu sehingga tampak berwarna lebih gelap. Kemudian
dibentuk lapisan endokutikula yang berisi kitin, yaitu polisakarida yang
mengandung nitrogen (Surjono, 2001).
Ketika lapisan kutikula lama menjadi tipis, maka pada bagian belakang
kepala dan tubuh akan terlepas dan serngga keluar dari kulit tuanya. Kutikula
13
14. baru, terbentuk dengan lengkap, maka kutikula mengalami pengerasan dan
pigmen warna-warni terbentuk daro precursornya. Lapisan endokutikula
dideposisikan pada permukaan dalam kutikula beberapa hari atau beberapa
minggu setelah proses ganti kulit selesai (Surjono, 2001).
Proses molting pada serangga melibatkan beberapa elemen dari
metamorphosis amfibia, yaitu destruksi (reabsorpsi dari kutikula lama, nekrosis
dari sebagian sel-sel epidermis) dan konstruksi (perubahan bentuk sel epitel
epidermis, pembentukan kutikula baru). Keadaan ini tergentung hasil ganti kulit.
Apabila kulit baru sama dan sebangun dengan kulit lama, maka proses ini menjadi
suatu mekanisme perkembangan yang progresif. Apabila sangat nyata berbeda,
maka hasilnya adalah metomorfosis (Surjono, 2001).
a. Pada Apterigota (serangga tanpa sayap) serangga muda yang menetas dari
telur sebenarnya bentuknya ssudah sama dengan dewasa, hanya berbeda
ukuran dan tingkat kematangan seksual. Ganti kulit pada serangga ini hanya
menyebabkan pertumbuhan ukuran tubuh dan pemasakan organ seksual tidak
berkaitan dengan proses ganti kulit, bahkan ganti kulit tetap terjadi meskipun
serangga tersebut telah dewasa (Surjono, 2001).
b. Pada kelompok Pterigota (serangga bersayap atau tidak punya sayap
sekunder), terdapat stadium imago yang nyata, yang dicapai setelah
mengalami ganti kulit imago yang spesifik dan setelah itu serangga tidak
mengalami ganti kulit lagi. Stadium imago berbeda dengan larva karena
kehadiran sayap dan organ-organ genital eksternalnya sudah berkembang
dengan lengkap (gonadnya mungkin berfungsi sempurna hanya beberapa saat
setelah metamorphosis) (Surjono, 2001).
c. Pada serangga yang lebih primitive sayap mungkin tumbuh secara gradual
dari sayap rudiment. Sayap tersebut tumbuh dari badian dorsal segmen torax
kedua dan ketiga yang sudah tampak sejak stadium akhir larva atau disebut
stadium nympha. Sayap tersebut bertambah besar setiap serangga megalami
ganti kulit, tetapi pada proses ganti kulit terakhir ukuran sayap bertambah
dengan pesat dan fungsional. Hanya pada Ephemeroptera memiliki 2 pasang
14
15. sayap membraneus, terjadi pada stadium sayap pertama (subimago) kemudian
mengalami mo;ting hingga menjadi imago (Surjono, 2001).
d. Pada kelompok Exopterigota (kelompok serangga paling maju, termasuk
kecoa, capung dan belalang) sayap telah tumbuh secara internal sebagai
lipatan anggota gerak yang tumbuh selama stadium larva di dalam suatu
kantong pada epidermis. Epidermis yang menutup sayap rudimenter ini
membawa sifat embrionik sepanjang masa larva. Bagian epidermis tidak ikut
berperan dalam pada pembentukan kutikula eksternal dan baru ikut bereaksi
ketika fase larve berakhir. Reorganisasi terjadi selama masa istirahat
(kepmpong atau pupa) (Surjono, 2001).
e. Pada kelompok Endopterigota (termasuk kupu-kupu, lebeh, nyamuk dan lalat)
sayapnya tumbuh secara internal. Bagian rudimenter tersimpan di bawah
permukaan tubuh pada stadium larva dan mengalami diferensiasi penuh
menjadi imago disebut imarginal disc. Pada kelomopok Endopterigota
perbedaan antara medium larva dan dewasa sangat mencolok. Pada stadium
larva mulut, antenna, kaki tumbuh, kaki anggota gerak tidak ada (Surjono,
2001).
Metamorfoosis yang melibatkan stadium pupa disebut metamorphosis
lengkap dan serangga yang memiliki stadium itu disebut holometabola.
Sementara serangga yang tidak melalui stadium pupa mengalami metamorfosis
tidak lengkap disebut hemimetabola.
15
16. Gambar metamorfosis lengkap (A) dan metmorfosis tidak lengkap (B)
(sumber: Starr et.al, 2011)
A. Penyebab terjadinya Molting dan Metamorfosis pada Serangga
Dalam proses pergantian kulit biasa (larval molt), seluruh bagian tubuh
harus terlibat dan menyelesaikannya dalam waktu yang bersamaan agar proses
ganti kulit menjadi sempurna. Ini memberikan gambaran bahwa satu penyebab
utama harus ada agar semua bagian tubuh serangga dapat terlibat. Pada beberapa
kasus yang terjadi secara alami, dapat dipelajari dengan mudah bahwa suatu
faktor eksternal diperlukan untuk terjadinya suatu pergantian kulit adalah pada
Rhodnius (kutu penghisap darah) dan pupa ngengat Platysamia cecropia. Pada
Rhodnius (kutu penghisap darah) adalah contoh dari hewan yang mempunyai
faktor eksternal berupa makanan yang masuk untuk terjadinya suatu pergantian
kulit sehingga ia akan menghisap darah sebanyak-banyaknya pada interval dua
pergantian kulit sehingga ukuran tubuhnya mengembang menjadi besar beberapa
kali lipat. Pergantian kulit akan terjadi secara regular setiap 12-15 hari setelah
makan pertama (pada 4 stadium pertama larva) dan pada stadium larva terakhir
interval waktunya lebih lama kira-kira 28 hari dan hasilnya akan berbeda. Setelah
16
17. ganti kulit maka ia akan berubah dari larva menjadi imago yang bersayap. Pada
pupa ngengat Platysamia cecropia setelah membentuk pupa maka ia akan
memasuki tahap diapause. Tahap ini adalah tahap dimana serangga memasuki
masa diam dengan laju metabolisme yang tereduksi. Tahap ini akan terhenti
ketika diperlakukan pada suhu dingin (30
-50
C). Pperbandingan temporer ini
merupakan proses vital bagi pupa dan sekembalinya pada lingkungan yang lebih
hangat pupa mengalami ganti kulit, dan saat itulah perkembangan terjadi dengan
lengkap dan serangga memasuki tahap imago (Surjono, 2001).
Pada kebanyakan serangga, jarang sekali ditemukan faktor eksternal yang
dapat menyebabkan terjadinya ganti kulit dan proses ganti kulit yang satu
mengikuti proses sebelumnya pada interval yang tampaknya ditentukan oleh
faktor internal. Pada kebanyakan serangga, berat badan meningkat sampai
mencapai proporsi yang pasti antara dua ganti kulit, sering ditentukan oleh satu
atau dua faktor dan akan tampak bahwa sejumlah sintesis harus dilakukan
sebelum stimulus stimulus untuk melakukan ganti kulit berikutnya dihasilkan di
dalam organisme tersebut. Pada kasus faktor eksternal memicu terjadinya proses
ganti kulit sekalipun, dapat diamati bahwa faktor luar itu tidak berpengaruh pada
tubuh secara langsung tetapi dikendalikan oleh otak. Apabila seekor larva
Rhodnius dipotong bagian lehernya (dekapitasi) setelah satu atau dua hari
menghisap darah maka proses ganti kulit tidak akan terjadi tetapi bila dekapitasi
dilakukan pada lima hari setelah menghisap darah maka ganti kulit akan terjadi.
Hal ini terjadi karena stimulus yang dikirimkan oleh otak telah melewati bagian
leher yang dipotong dan dapat menyebabkan seluruh tubuh dan menyebabkan
terjadinya pergantian kulit. Percobaan serupa juga dilakukan terhadap pupa
ngengat Platysamia cecropia yang telah diaktivasi pada suhu rendah dan
kemudian dicangkokkan pada pupa yang tidak diberi perlakuan suhu dingin.
Pencangkokan otak dari pupa yang sudah diberi perlakuan suhu dingin akan
memberi stimulus kepada pupa yang tidak diberi perlakuan suhu dingin untuk
ganti kulit berikutnya dan imago akan keluar dari pupa. Kejadian tersebut tidak
17
18. akan terjadi jika yang dicangkokkan bukanlah otak. Hal itu menunjukkan bahwa
suhu dingin secara langsung mempengaruhi otak memberikan stimulus untuk
melakukan itu (Surjono, 2001).
Gambar: Percobaan pemotongan kepala dan akibatnya pada proses ganti kulit
dan metamorfosis pada larva Rhodnius (atas) dan pupa Ephestia kubnella (bawah).
Ganti kulit dan metamorfosis yang terjadi pada serangga dikontrol oleh
hormon-hormon yang disekresikan oleh tiga jenis organ, yaitu: otak
(protoserebrum), korpora alata, dan kelenjar protoraks. Di dalam otak sebuah
hormon protorasikotropik diproduksi oleh sel-sel neurosekretoris yang teratur
dalam empat kelompok. Dua kelompok dekat garis tengah dan dua kelompok
yang lain di masing-masing sisi. Di belakang protoserebrum, sepanjang aorta
dorsal, terdapat dua pasang badan yang dihubungkan dengan protoserebrum oleh
serabut-serabut saraf yaitu korpora kardiaka. Badan tersebut adalah ganglion dari
18
19. korpora alata yang terdiri dari sel-sel sekretoris. Pada beberapa jenis serangga,
korpora alat mungkin bersatu dengan badan. Kelenjar protoraks yang merupakan
kumpulan sel-sel kelenjar yang membentuk percabangan tidak teratur dan terletak
di bagian dada berhubungan dekat dengan tabung trakea. Sel-sel dari ketiga
kelenjar ini menunjukkan adanya siklus sekresi yang teratur untuk setiap
terjadinya kulit. Ppergantian kulit dimulai dari sekresi kelenjar pada
protoserebrum yaitu hormon protorasikotropik yang berfungsi mengaktifkan
kelenjar protoraks. Kemudian kelenjar protoraks akan mensekresikan hormon
yang disebut ekdison. Ekdison merupakan prohormon yang harus diaktifkan
terlebih dahulu sebelun berfungsi. Pengubahan ini terjadi karena adanya oksidase
yang mengandung hemin yang terdapat di dalam mitokondria dari jaringan-
jaringan seperti lemak tubuh. Di sini ekdison diubah menjadi hormon ekdisteron
yang mempengaruhi terjadinya prooses ganti kulit pada epidermis, seperti:
pertumbuhan dan pembelaha sel-sel epidermis, pemisahan kutikula lama, dan
produksi kutikula yang baru.
Gambar: Diagram skematis yang menggambarkan mekanisme kontrol proses
ganti kulit dan metamorfosis pada ngengat tembakau.
19
20. Salah satu variasi percobaan yang sama telah dilakukan untuk
membukikan bahwa sekresi sel-sel otak tidak berperan langsung tetapi melalui
aktivasi sel-sel kelenjar protoraks. Percobaan itu tidak mencangkokkan sel-sel
otak kepada satu pupa yang utuh, melainkan hanya kepada bagian posterior dari
seekor pupa yang dipotong di tengahnya dan dipisahkan dengan menggunakan
lilin. Dalam kondisi ini maka sel-sel otak yang dicangkokan tersebut tidak dapat
menstimulus terjadinya ganti kulit dan metamorfosis. Hal ini dikarenakan kelenjar
protoraks tidak terdapat pada bagian tubuh ini (Surjono, 2001).
Percobaan yang serupa juga dilakukan pada kepinding Rhodnius. Setelah
sel-sel nurosekretoris dari otaknya diaktivasi. Karena kepinding itu telah
menghisap darah, otak itu kemudian dicangkokkan pada badan seekor kepinding
lain yang telah didekapitasi. Larva kepinding ini tetap memiliki kelenjar protoraks
yang fungsional yang kemudian bereaksi dan proses ganti kulit ini masih tetap
terjadi. Tetapi apabila otak tersebut dicangkokkan pada potongan perut larva,
maka proses ganti kulit tidak akan terjadi. Peristiwa sebaliknya terjadi apabila
pada potongan tersebut juga dicangkokkan kelenjar protoraks (Surjono, 2001).
Peranan otak dan kelenjar protoraks sebagai agen penyebab proses ganti
kulit juga dapat dipelajari pada serangga-serangga yang mengalami proses ganti
kulit tanpa dipengaruhi oleh faktor luar. Apabila otak dibuang dari seekor ulat
sebelum waktu yang diperkirakan akan terjadinya proses ganti kulit atau
membentuk pupa. Pencangkokan otak dari ulat yang lain mengembalikan
kemampuan ulat yang sudah tanpa otak tersebut unuk menyelesaikan proses
perkembangannya. Seklai kelenjar protoraks telah mengalami aktivasi, otak tidak
lagi diperlukan untuk memulai terjadiinya proses ganti kulir. Dengan demikian
hanya hormon dari kelenjar protoraks yang sangat berperan dalam proses ganti
kulit. Apabila seekor ulat yang telah mencapai stadium akhir masa larva diisolasi
bagian posterior otaknya maka bagian tubuh yang akan berkembang menjadi pupa
hanyalah bagian anterior sedangkan bagian posterior yang tidak dapat dijangkau
oleh hormon ganti kulit tetap dalam kondisis larva. Beberapa saat kemudian
20
21. apabila hormon tersebut telah tersebar ke seluruh tubuh, maka pemisahan
transversal ini tidak dapat mencegah proses terjadinya pupa dari bagian proses
ulat tersebut (Surjono, 2001).
Hormon-hormon yang dihasilkan oleh sel-sel neurosekrotis protoserebrum
dan kelenjar-kelenjar protoraks menginduksi serangga untuk ganti kulit, tetapi
hormon-hormon ini tidak, dapat mendeterminasi apakah serangga itu akan menjad
larva pupa ganti kulit, mengubah larva menjadi pupa atau imago ganti kulit atau
berubah menjadi imago saja. Kelenjar endokrin ketiga adalah korpora alata yang
mengontrol terjadinya perubahan pada setiap kali prosses ganti kulit. Sel-sel
neurosekrotis protoserebrum dan kelenjar protoraks apabila beraksi sendiri dapat
menyebabkan terjadinya ganti kulit, yaitu terjadinya pupa pada kelompok yang
termasuk serangga holometaboola (Surjono, 2001)..
Gambar: Metamorfosis Dini Yang Terjadi pada Ngengat Ulat Sutrayang
Disebabkan oleh Penghilangan Korpora Alata Selama Masa Instar Iii
Rasanya tidak mungkin kita dapat menghilangkan korpora alata pada ulat
kaper. Secara umum pada setiap stadium dimana operasi dilakukan, ulat akan
segera berubah menjadi pupa pada proses ganti kulitberikutnya. Kadang-kadang
21
22. seekor kaper akan keluar dari pupa, meskipun ukurannya haya setengah dari
ukuran normal. Dengan demikian korpora alata diperlukan oleh serangga untuk
mencegah serangga mengalami metamorfosis dan menahan serangga agar tetap
pada stadium larva. Oleh karena itu, sekret dari korpora alata disebut hormon
juvenl. Sel-sel korpora alata menunjukkan tanda-tanda adanya sel kelenjar (sel-
selnya membengkak, kenampakan dan dan pelepasan vakuola, dll).pada setiap
ganti kulit pada stadium larva sampai mencapai akhir stadium larva. Aktivitas ini
tidak lagi tampak apabila serangga sudah mencapai ganti kulit menjadi pupa atau
imago. Kenyataannya, setiap kali terjadi proses ganti kulit, korpora alata tidak
bersekresi atau tampak kurang aktif dibandingkan pada keadaan sebelumnya. Hal
ini membuktikan ketidak hadiran hormon juvenil atau ada dalam kosentrasi
sangat rendah sehingga protoserebrum dapat melaksanakan protosikotropik yang
memicu terjadinya metamorfosis. Pembuktian dilakukan dengan cara
mencangkokkan korpora alata dari seekor larva muda kepada larva stadium akhir
yang seharusnya sudah mengalami metamorfosis pada proses ganti kulit,
berikutnya, larva tersebut tetap mengalami proses ganti kulit, tetapi dibawah
pengaruh hormon juvenil yang disekresikan oleh kelenjar yang dicangkokkan ,
maka serangga itu tidak diubah menjadi bentuk imago (hal ini terjadi pada
serangga hemimetabola) atau meghasilkan larva yang besarnya abnormal
(Surjono, 2001).
22
23. Gambar: A Nimfa normal stadium V (terakhir) Rhodnius, B. Rhodnius
dewasa normal, C. Nimfa raksasa stadium VI yang dihasilkan dari pencangkokan
korpora alata dari nimfa stadium IV ke dalam rongga perut nimfa stadium V.
Pada serangga yang bentuknya holometabola, keadaan yang terjadi jauh
lebih kompleks karena terjadi dua kali, proses ganti kulit dengan prubahan
morfologis yaitu gati kulit menjadi pupa dan ganti kulit menjadi imago.
Penghilangan korpora alata dari ulat akan menyebabkan ulat berubah menjadi
pupa. Beberapa percobaan mengindikasikan bahwa sebagian dari peristiwa
transformasi bentuk ini berkaitan dengan menurunnya kadar hormon juvenil di
dalam darah dari hewan yang bersangkutan. Settellah penghancuran kelenjar.
Hormon juvenil masih tersisa dalam kadar yang rendah di dalam peredaran darah
dan tetap digunakan hingga waktu terjadinya proses ganti kulit kedua (Surjono,
2001).
B. Faktor-Faktor yang mengontrol terjadinya proses Molting dan
Metamorfosis pada Serangga
Ketika proses molting atau metamorphosis terjadi, tidak hanya seluruh
bagian tubuh dari serangga itu yang bereaksi bersama-sama, melainkan juga
bagian-bagian yang dicangkokkan kepadanya melalui hal yang sama. “Imaginal
disc” dan bagian-bagian lain dari tubuh yang dicangkokkan diantara hewan-
hewan pada medium yang berbeda, akan mengalami proses ganti kulit dan
metamorphosis secara bersamaan dengan semua bagian dari hewan yang sedang
mengalaminya (Surjono, 2001).
Sebuah percobaan yang sangat menarik telah dilakukan pada
perkembangan kaper Ephestia kubneilla, yaitu dengan transplantasi dalam rongga
tubuh individu lain. pinggiran dari tiap-tiap potongan kulit yang dicangkokkan
menggulung seperti akan membentuk kista dengan permukaan kulit yang beraasal
dari posisi distal melengkung ke dalam. Permukaan proksimal dari epidermis
23
24. dibasahi oleh cairan tubuh semangnya dan juga oleh hormon yang terkandung
didalam cairan tubuh semang tersebut (Surjono, 2001).
Setiap kali serangga semang mengalami proses ganti kulit, maka
potongan-potongan kulit ini juga mengalami proses yang sama, terjadi pergantian
kutikula, kutikula yang lama dilepaskan dan dimasukkan dalam rongga kista.
Selain proses molting yang sama antara semang dan transplan, keadaan alami
kutikula yang baru dibentuk juga mengalami proses yang sama antara semang dan
transplan (Surjono, 2001).
Apabila suatu proses molting larva terjadi, maka kista epidermis
menghasilkan suatu kutikula yang tipis. Apabila semang menjadi pupa, kista
epidermis ini juga akan menghasilkan kutikula yang tebal. Apabila semang
bermetamorfosis menjadi hewan dewasa, kista epidermis akan membentuk suatu
imaginal kutikula dengan sisik-sisik (Surjono, 2001).
Pengaruh hormon terhadap perkembangan kulit. Pergantian kulit yang terjadi di
dalam kista epidermis yang dicangkokkan dan dipengaruhi oleh hormon yang
disirkulasi di dalam tubuh semang (Sumber: Surjono, 2001).
24
25. Meskipun telah mencapai stadium untuk memproduksi kutikula dari
hewan dewasa, epidermis tetap tidak kehilangan kapasitasnya untuk berganti
kulit, ini membuktikan bahwa ekdison (hormon penyebab terjadinya molting) dan
juvenile terdapat di dalam larutan yang mengitarinya (Surjono, 2001).
Metamorfosis adalah suatu proses perubahan yang reversible, dalam hal
ini minimal pada epidermis kulit dan kondisi alami diferensiasi yang dihasilkan
oleh proses selanjutnya secara terpisah, tergantung pada keseimbangan hormon-
hormon yang terdapat dalam darah. Kebalikan metamorphosis, meskipun hanya
sebagian, dapat terjadi dalam kondisi eksperimental. Pada keadaaan normal, dari
seekor serangga, metamorfosis menjadi pertanda berakhirnya masa pertumbuhan
dan perkembangan (kecuali perkembangan gonad yang masih akan berlanjut
sampai masa dewasa penuh) (Surjono, 2001).
Terjadinya penghentian pertumbuhan dikarenakan terjadinya degenerasi
kelenjar protoraks dan mengalami kerusakan setelah menyebabkan proses ganti
kulit yang terakhir. Dengan hilangnya kelenjar protoraks, maka tidak ada lagi
faktor-faktor lain yang dapat menghidupkan kembali proses morfogenesis dari
epidermis dan tidak ada lagi proses ganti kulit (Surjono, 2001).
Hormon juvenile memiliki pengaruh tidak langsung terhadap
pertumbuhan. Pada imago, setelah metamorphosis, korpora alata melanjutkan
aktivitas sekresinya dan sekresi ini sangat diperlukan untuk pertumbuhan ovarium
dan sel-sel telur. Pada vertebrata, struktur kimia dari agen yang disekresikan oleh
kelenjar-kelenjar endokrin dapat dibuktikan dengan membuat ekstraksi bahan
aktif dari kelenjar-kelenjar.
25
26. Stuktur kimia hormon juvenile, ekdison dan ekdisteron (Gilbert dalam Surjono,
2001).
C. Mekanisme Aksi Hormon-Hormon Metamorfosis Serangga
Kelenjar ludah dari beberapa jenis serangga yang termasuk ordo Diptera
terdapat beberapa sel yang tumbuh menjadi relative besar ukurannya, dan
kromosom sel-sel tersebut juga menjadi lebih besar bahkan dapat diamati
meskipun sel-sel tersebut juga menjadi lebih besar bahkan dapat diamati
meskipun sel-sel itu tidak sedang mempersiapkan dan untuk melakukan mitosis.
Kromosom raksasa pada beberapa sel ini adalah hasil duplikasi ADN yang
berulang-ulang dan dengan demikian ratusan molekul ADN terletak berselisihan
satu dengan yang lain. Terdapat penebalan pada kromosom raksasa tersebut, yang
disebut cincin Balbiani dan uga disebut sebagai “puff” (Surjono, 2001).
Suatu “puff” sebenarnya adalah bagian dari kromosom dimana sejumlah
pita ADN yang menyusun kromosom raksasa tersebut, terpisash satu dengan yang
lain dan membentuk lilitan (loop), melebar kea rah luar dari posisi normal dalam
kromosom. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa pembentukan “puff”
selalu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan yang terjadi pada stadium
dari serangga tersebut. Stadium metamorphosis ditandai oleh pola spesifik dari
26
27. pembentukan “puff” yang dapat dipelajari dengan baik apabila struktur kromosom
raksasa secraa rinci dari satu spesies dapat dibuat (Surjono, 2001).
Kemungkinan besar ekspresi, gen-gen yang terdapat di kromosom pasti
berhubungan dengan proses terjadinya transformasi bentuk dan organisasi pada
binatang tersebut. Hormon berperan mempengaruhi gen-gen yang terdapat di
dalam kromosom dan mengubah aktivitasnya sehingga menyebabkan terjadinya
perubahan tingkah laku dari sel-sel dan jaringan (Surjono, 2001).
Bukti-bukti telah diketemukan bahwa lokus yang berbeda pada kromosom
tidak melakukan reaksi yang sama terhadap hormon ekdison. Terdapat satu atau
dua lokus yang membentuk “puff” segera setelah dilakukan injeksi ekdison.
Lokus-lokus yang lain dimana “puff” mungkin mengalami perbesaran pada tahap
berikutnya, diperkirakan sanga tergantung pada aksi dari gen-gen yang diaktivasi
pada sat permulaan. Sampai kondisi ini tampak bahwa aksi ekdison terdiri dari
aktivasi satu atau dua gen (tampakya hanya satu) dan ini kemudian memulai
reaksi berantai yang melibatkan aktivitas gen-gen lain yang berakhir pada proses
ganti kulit dari metamorphosis (Surjono, 2001).
2.2 Regenerasi
Regenerasi bila ditinjau lebih lanjut, ternyata terdiri dari berbagai kegiatan,
mulai dari pemulihan kerusakan yang parah akibatnya hilangnya bagian tubuh utama.
Misalnya anggota bagian badan sampai pada bagian sampai kerusakan kecil yang
terjadi dalam proses biasa, misalnya rontoknya rambut. Regenerasi dapat juga
27
28. berbentuk sebagai proliferasi dan differensiasi lokal sel-sel lapisan marginal. Dapat
pula beberapa penimbunan-penimbunan sel-sel yang nampak belum berdifferensiasi
dan secara prosesif membentuk bagian yang hilang.
Regenerasi adalah kemampuan organisme untuk mengganti bagian – bagian
tubuh yang hilang, baik karena luka, rusak maupun karena mengalami autotomi
(Thornton, 1975) dalam Soesilo (2009:6).
Regenerasi adalah pengaktifan kembali perkembangan dalam kehidupan
postembryonic untuk memperbaiki jaringan yang hilang. Kemampuan untuk
meregenerasi bagian tubuh yang dipotong atau organ yang tidak begitu berfungsi
"bukan pada manusia" yang telah menjadi sumber daya tarik bagi manusia sejak
permulaan ilmu biologi (Gilbert, 2010:560).
Pada hewan invertebrate, misalnya cacing pipih planaria, kemampuan
regenerasi lebih besar dibandingkan dengan vertebrata. Pada vertebrata kemampuan
regenrasi paling besar terjadi pada hewan – hewan muda dan hewan – hewan yang
tingkat diferensiasinya rendah di saat dewasa. Kemampuan regenerasi terbesar
terdapat pada pada Urodela, sedangkan pada katak hanya terbatas pada masa larva
(khusus untuk ekor dan tungkai). Pada reptil khususnya anggota Lacertilia tertentu
(cicak, kadal, tokek), kemampuan regenerasi organ terbatas hanya pada bagian ekor.
Untuk mendapatkan kemampuan regenerasi, sel – sel yang sudah terdiferensiasi,
mula – mula akan mengalami diferensiasi sehingga terbentuk sel – sel embrional
(Balinsky, 1970) dalam Soesilo (2009:7).
2.2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi regenerasi :
Regenerasi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
1. Temperatur, dimana peningkatan temperatur sampai titik tertentu maka akan
meningkatkan regenerasi.
28
29. 2. Makanan, tingkat regenerasi akan cepat jika memperhatikan aspek makanan.
Makanan yang cukup dapat membantu mempercepat proses regenerasi.
3. Sistem saraf, sel-sel yang membentuk regenerasi baru berasal dari sel sekitar
luka, hal ini dapat dibuktikan dengan radisai seluruh bagian tubuh terkecuali
bagian yang terpotong, maka terjadilah regenerasi dan faktor yang
menentukan macam organ yang diregenerasi.
2.2.2 Faktor-faktor penghambat regenerasi sel:
1. Pemasukan nutrisi essensial (AAE) rendah, karena pemanasan suhu yang
tinggi sekitar 900
2. Pemasukan toxin tinggi yang merusak sel, sumber-sumber toxin antara lain:
a. External
1. Zat aditif (perasa, pewarna, pengawet, pengembang, pengenyal)
2. Polusi udara, air , pestisida, kaporit dan obat-obatan
b. Internal, kerak dan pembusukan yang tinggi di usus besar
1. Stress (ketegangan mental), menimbulkan kerusakan sel dan
menghambat regenerasi
Setiap larva dan hewan dewasa mempunyai kemampuan untuk menumbuhkan
kembali bagian tubuh mereka yang secara kebetulan hilang atau rusak terpisah.
Kemampuan menumbuhkan kembali bagian tubuh yang hilang ini disebut regenerasi.
Kemampuan setiap hewan dalam melakukan regenerasi berbeda-beda. Hewan
avertebrata mempunyai kemampuan regenerasi yang lebih tinggi daripada hewan
vertebrata.
Menurut Balinsky (1981), suatu organisme khususnya hewan memiliki
kemampuan untuk memperbaiki struktur atau jaringan yang mengalami kerusakan
akibat kecelakaan yang tidak disengaja karena kondisi natural atau kerusakan yang
disengaja oleh manusia untuk keperluan penelitian atau experimen. Hilangnya bagian
tubuh yang terjadi ini setiap saat dapat muncul kembali, dan dalam kasus ini proses
memperbaiki diri ini kita sebut sebagai regenerasi. Proses regenerasi dalam banyak
hal mirip dengan proses perkembangan embrio. Pembelahan yang cepat, dari sel-sel
yang belum khusus timbullah organisasi yang kompleks dari sel-sel khusus. Proses
29
30. ini melibatkan morfogenesis dan diferensiasi seperti perkembangan embrio akan
tetapi paling tidak ada satu cara proses regenerasi yang berbeda dari proses
perkembangan embrio. Cicak akan melepaskan ekornya bila ditangkap pada bagian
ekornya. Cicak kemudian meregenerasi ekor baru pada tepi lainnya pada waktu
senggang. Dalam stadium-stadium permulaan dari regenerasi tidak ada sel-sel dewasa
sehingga tidak ada penghambatan pembelahan sel. Sel-sel pada permukaan depan
mempunyai laju metabolik yang tinggi daripada permukaan di tepi belakang
(Kimball, 1992).
2.2.3 Empat Cara Regenerasi pada semua Jenis Makhluk Hidup
Regenerasi pada kenyataannya yang terjadi pada semua jenis makhluk hidup
terjadi dalam empat cara utama yaitu (Gilbert, 2010:560):
1) Regenerasi yang diperantarai oleh Stem cell
Stem cell memungkinkan organisme untuk tumbuh kembali organ atau jaringan
tertentu yang telah hilang; contohnya meliputi pertumbuhan kembali tangkai
rambut dari sel induk folikel pada tonjolan rambut dan penggantian terus-
menerus sel darah dari sel-sel induk hematopoietik di sumsum tulang.
2) Epimorfosis
Pada beberapa jenis, Struktur dewasa dapat mengalami diferensiasi untuk
membentuk suatu massa yang relatif tidak dibedakan dari sel-sel yang kemudian
membedakan untuk membentuk struktur baru. Epimorfosis tersebut adalah
karakteristik dari planaria cacing pipih yang beregenerasi dan juga regenerasi
anggota badan amfibi
3) Morfolaksis
Regenerasi terjadi melalui pembentukan ulang jaringan yang ada, dan terdapat
sedikit pertumbuhan yang baru. regenerasi tersebut terlihat dalam Hydra (suatu
cnidarian).
30
31. 4) Regenerasi Pengganti.
Pembagian sel-sel dibedakan namun tetap dipertahankan fungsinya yang
dibedakan. Sel-sel baru tidak berasal dari sel-sel induk, juga tidak berasal dari
dediferensiasi dari sel dewasa. Setiap sel menghasilkan sel yang mirip dengan
dirinya sendiri; tidak ada massa bentuk jaringan terdiferensiasi. Jenis regenerasi
adalah karakteristik dari hati mamalia.
A. Regenerasi Anggota Tubuh
Anggota tubuh beberapa hewan vertebrata (misalnya salamander) mempunyai
kemampuan beregenerasi. Amputasi diikuti dengan kemampuan menutupi permukaan
daerah amputasi dan menghilangkan debris yang timbul dalam luka. Secara
experimental dilakukan juga amputasi pada salamander. Ternyata hasil regenerasi itu
tidak seperti semula. Ekor baru tidak mengandung notochord lagi, dan vertebrae yang
baru tidak mengandung tulang rawan. Ruas-ruas itu hanya menyelaputi batang saraf
(medulla spinalis). Jumlah ruas vertebrae tersebut tidak selengkap asalnya. Dalam
membuktikan bahwa sel dedifferensiasi bisa pluripotent, yakni dapat menumbuhkan
jaringan yang bukan dari mana dia berasal, sering dilakukan eksperimen amputasi
pada lensa salamander. Lensa baru terbentuk dari sel-sel dari pinggir dorsal iris, yang
berasal dari mesoderm. Padahal embriologis lensa tersebut tumbuh/berasal dari
epidermis.
B. Peranan Kulit Dan Saraf
Jika kulit segera menutupi luka pada amputasi salamander, maka regenerasi
terhalang. Seperti ditemukan pada katak, kulit segera menutupi luka. Karena itu jika
kaki katak diamputasi, tak terjadi regenerasi, karena kulit segera menutupi luka
tersebut. Dengan pemberian larutan garam untuk mencegah lapisan dermis kulit
bergerak ke luka, ternyata dapat terjadi regenerasi. Jika hanya epidermis kulit yang
menutup luka, maka regenerasi dapat terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa kulit,
terutama dermis, mengandung suatu zat yang memblokir proses regenerasi. Dalam
proses terjadinya regenerasi memerlukan kehadiran urat saraf. Jika saraf dipotong
waktu larva, kemudian anggota tubuh tersebut diamputasi, maka tidak ada regenerasi
31
32. yang berlangsung. Didifferensiasi akan terus berlangsung, tapi sel-selnya diabsorbsi
masuk ke dalam tubuh, sehingga akhirnya proses regenerasi berhenti. Jika hanya saraf
saja yang dipotong, tapi anggota tubuh tetap, anggota itu tidak akan berdegererasi.
Tapi jika saraf dipotong dan anggota tubuh diamputasi, maka tunggulnya akan
berdegerasi.
Jika dialihkan saraf lain ke tunggul amputasi yang sarafnya sendiri lebih dulu
sudah diangkat, ternyata ada regenerasi. Hal tersebut membuktikan bahwa perlu
kehadiran saraf dalam proses regenerasi. Tentang zat yang terkandung atau keluar
dari saraf, yang bersifat trophic terhadap regenerasi tersebut belum
diketahui.eksperimen selanjutnya terhadap amputasi anggota tubuh salamander ialah
jika saraf diangkat setelah blastema terbentuk, maka regenerasi akan terus
berlangsung. Jadi nampaknya saraf perlu untuk pembentukan blastema. Namun
terjadi keanehan, yaitu jika sejak embrio saraf diangkat, pertumbuhan anggota akan
terus berlangsung. Jika diamputasi pun, bagian tersebut akan beregenerasi. Sepertinya
keperluan akan kehadiran saraf di tunggul amputasi hanya semacam ‘ketagihan’.
C. Regenerasi Histologis
Pada Mammalia, termasuk manusia, daya regenerasinya sangat rendah, hanya
terbatas pada taraf histologist, tidak sampai anatomis. Jaringan yang dapat
beregenerasi ialah tulang, tulang rawan, otot, saraf, jaringan ikat dan juga beberapa
kelenjar pencernaan seperti hati dan pankreas.
D. Tulang
Tulang dikenal paling tinggi penyembuhannya. Hal tersebut bisa diamati pada
saat terjadi patah tulang. Mula-mula darah membeku di tempat patahan (fraktur).
Disusul dengan hancurnya matriks tulang, dan osteosit di tempat tersebuat akan mati.
Periosteum dan endosteum di sekitar patahan akan bereaksi dengan terjadinya
proliferasi fibroblastnya. Sehingga terjadi penumpukan sel-sel di celah patahan.
Proses tersebut akan disusul dengan terbentuknya tulang rawan hialin di daerah
tersebut. Kemudian akan terjadi proses osifikasi secara Endochondral dan
membranous. Trabeculae terbentuk di celah patahan, yang menghubungkan kedua
ujung patahan, disebut callus. Ossifikasi berlangsung terus, sampai semua celah
32
33. tersebut terisi kembali dengan bahan tulang. Dalam rangka menyembuhkan patah
tulang biasanya dilakukan penekanan dari luar, biasanya berupa bilah papan. Hal
tersebut akan menolong remodeling callus sehingga kedua tepi patahan bertaut
dengan rata oleh callus. Pada tahap akhir, callus akan diresap dan diganti oleh tulang
lamella.
2.3 Hewan dengan Kemampuan Regenerasi Mengagumkan
1. Axolotl (salamander meksiko)
Axoloti meksiko (Stephen Dalton, NHPA/Photoshot, National Geographic Stock)
Hewan dapat saja kehilangan anggota tubuhnya, namun beberapa spesies
mampu meregenerasi bagian tubuh tersebut. Saking mudahnya hewan-hewan ini
meregenerasi, tidak jarang spesies tersebut dijuluki ahli regenerasi, kemampuan inilah
yang tak dapat ditandingi oleh manusia. Bintang laut yang hanya memiliki satu
lengan sekalipun, selama masih memiliki cincin saraf pusat yang utuh, dapat tumbuh
kembali.Sekilas mungkin Anda pernah melihat hewan ini, namun memang namanya
belum terlalu populer. Axolotl merupakan hewan pekerja keras, ia mampu
meregenerasi anggota tubuh yang hilang mulai dari ekor, otak, jantung, hingga
rahang bawah. Kemampuan regnerasi axolotl menjadikannya subjek penelitian favorit
bagi para ilmuwan.
James Monaghan, seorang ahli biologi di Boston Northeastern University
mengungkapkan, jika axolotl mengalami kelumpuhan di bagian belakang, mereka
33
34. dapat mengembalikan fungsi kakinya. "Mereka mampu menciptakan seluruh neuron
baru dan penghubung baru yang memungkinkannya menggunakan kaki mereka
kembali. Ini benar-benar salah satu contoh pemulihan yang sangat luar biasa.
2. Rusa
Seekor rusa dapat membuang kemudian menumbuhkan kembali tanduk
mereka dengan besar dan teratur. "Tanduk yang dapat tumbuh kembali merupakan
salah satu regenarasi yang paling ekstrem," jelas Monaghan. Rusa dapat
menumbuhkan kembali tandukknya yang seberat 27 kilogram dalam kurun waktu tiga
bulan saja. Monaghan menjelaskan bahwa mamalia memilki kemampuan regenerasi
yang lebih baik dari apa yang kita kira sebelumnya. Contoh lainnya terjadi pada
kelinci yang dapat meregenerasi cuping teliganya, kelelawar yang dapat
meregenerasi bagian sayap mereka, tikus berduri dengan cepat meregenerasi kulit dan
memperbarui lubang di telinga mereka.
3. Sea Squirt (Tunicate)
Sea squirt atau tunicate bereproduksi dengan dua cara, jenis soliter
bereproduksi secara seksual dan jenis sea squirts kolonial bereproduksi dengan cara
aseksual dengan membangun tunas satu sama lain. Otto Guedelhoefer, seorang
peneliti di University of California, Santa Barbara, menjelaskan bahwa anggota dari
jenis koloni berbagi sistem peredaran darah dan mampu meregenerasi seluruh tubuh
mereka. Tim penelitian internasional baru-baru ini mengurutkan genom dari tunicate
dan menemukan bahwa 77 persen dari gen manusia hadir, ini jelas memberikan
harapan untuk mengembangkan obat-obatan regeneratif bagi masyarakat.
4. Bintang laut
34
35. Makhluk berkaki lima juga memiliki kemampuan untuk meregenerasi lengan
mereka bahkan terkadang mampu meregenarasi seluruh tubuh mereka.
Hebatnya lagi, jika bintang laut tersebut hanya memiliki satu lengan sekalipun,
selama masih memiliki cincin saraf pusat yang masih utuh, maka dapat tumbuh
kembali menjadi bintang laut yang sama sekali baru.
5. Cacing pipih
Jika Anda memotong cacing menjadi dua bagian bukanlah kematian yang ia
dapat, malahan justru ia berkembang menjadi dua ekor cacing. " Itulah yang
menarik," kata Monaghan. Tahun ini, peneliti dari Max Planck Institute of Molecular
Cell Biology and Genetics di Jerman menemukan molekul pada cacing pipih yang
memungkinkannya untuk mengembangkan kepala baru.
35
36. BAB III
KESIMPULAN
1. Regenerasi adalah kemampuan organisme untuk mengganti bagian – bagian tubuh
yang hilang, baik karena luka, rusak maupun karena mengalami autotomi
2. Regenerasi terjadi dalam empat cara yaitu regenerasi yang diperantarai oleh stem
cell, epimorfosis, morfolaksis, dan regenerasi pengganti.
3. Metamorfosis pada serangga merupakan salah satu contoh pengontrolan pada
proses morfogenesis yang dikendalikan, oleh hormon yaitu, hormon otak
(ecdysiotropin), hormon molting (ecdyson) dan hormon juvenil, yang ketiga
hormon saling berinteraksi satu dengan yang lain.
4. Metamorfosis itu merupakan suatu proses transformasi dari stadium larva ke
stadium dewasa. Proses transformasi dimulai dengan proses Penggetahan hormon
otak yang dihasilkan oleh sel-sel neurosekretori di otak sebagai kelenjar endokrin
primer, kemudian hormon otak ini merangsang kelenjar protoraks (kelenjar
endokrin sekunder) menghasilkan hormon molting, sementara itu hormon juvenil
berperan menghambat dan mengontrol metabolisme agar tidak terlalu cepat
dewasa.
5. Hormon yang mengendalikan metamorfosis tersebut merupakan produk dari kerja
gen yang secara bergantian dan mengontrol kerja gen lainnya. Hal ini dapat
dilihat pada kromosom dimana pada pita-pita tertentu terbentuk puff, yaitu tempat
berlangsungnya sintesa mRNA.
6. Bila sistem endokrin (neuroendokrin) larva mengalami gangguan (blocking),
maka akan mengakibatkan terhambat nya proses pengelupasan (pergantian) kulit
dan gangguan pertumbuhan, bahkan bisa menyebabkan kematian.Gangguan itu
bisa berasal dari senyawa-senyawa kimia tertentu.
36
37. DAFTAR PUSTAKA
Balinsky, B. I. 1981. An Introduction to Embriology. W. B. Saunders Company,
Philadelpia.
Kalthoff, Klaus. 1996. Analysis of Biological Development. Mc Graw-Hill Mc, New
York.
Kimball, John W. 1992. Biology. Addison-Wesley Publishing Company, Inc., New
York.
Majumdar, N. N. 1985. Text Book of Vertebrae Embriology. Mc Graw-Hill
Publishing Company Limited, New Delhi.
Majumdar, N. N. 1985. Text Book of Vertebrae Embriology. Mc Graw-Hill
Publishing Company Limited, New Delhi.
Starr, Cecie, Evers, Christine A. dan Starr, Lisa. 2011. Biology Concept and
Application 8th
Edition. USA: Cengage Lerning, Inc
Surjono, Tien Wiati. 2001. Perkembangan Hewan. Jakarta: Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka
Tim Dosen. 2010. Struktur Perkembangan Hewan. Medan : UNIMED
37