Dokumen tersebut membahas latar belakang pentingnya kegiatan pembinaan warga gereja (PWG) di gereja, yang meliputi empat alasan utama yaitu identifikasi masalah dasar manusia seperti dosa dan ketidakberdayaan, lingkungan yang rusak, kealpaan gereja terhadap tugasnya, serta meneruskan pemikiran yang telah dibangun oleh DGI sejak tahun 1950-an tentang pentingnya pembinaan warga gereja.
1. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 1
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
BAB I
PENDAHULUAN
Catatan Pengantar
Ketika mendapat surat tugas dari Purek I ITKI untuk mengampu kuliah
Pembinaan Warga Gereja (selanjutnya dalam tulisan ini disingkat PWG), maka langkah
pertama yang penulis lakukan adalah mengumpulkan bahan-bahan sebagai sumber bahan
ajar. Walaupun ternyata agak sedikit kesulitan memperoleh bahan-bahan yang
dibutuhkan karena terbatasnya sumber-sumber utama seperti buku-buku yang membahas
secara khusus tentang PWG. Namun kesulitan itu dicoba diatasi dengan penyiapan diktat
bahan ajar ini secara sederhana.
Dimasukkannya PWG sebagai salah satu mata kuliah inti dalam kurikulum
standar minimal yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen
Protestan Departemen Agama R.I. menunjukkan bahwa PWG telah mendapat perhatian
serius bukan saja oleh gereja-gereja tetapi juga oleh pemerintah melalui Departemen
yang terkait. Tentu hal itu dimaksudkan supaya setiap warga gereja (khususnya orang
percaya yang sudah dewasa umur) dibina dan dipersiapkan secara komprehensif untuk
menjadi alat kesaksian yang efektif dalam pelaksanaan tugas pelayanannya di tengah-
tengah dunia dan sesamanya. Baik itu di dalam pelaksanaan tugasnya di bidang pekerjaan
sekuler maupun dalam pelayanan gerejawi. Dan yang lebih penting dari itu adalah agar
menjadi tangguh dan terampil dalam menghadapi pergumulan realitas kehidupannya.
Amsumsi Dasar dan Beberapa Pertanyaan
Dalam realitas pelaksanaan tugas gereja dan kehidupan warga gereja ternyata
muncul beberapa asumsi dan pertanyaan sebagai berikut:
1. PWG merupakan salah satu hakikat tugas gereja yang penting. Begitu kita
melupakan tugas PWG, maka gereja sudah melupakan salah satu hakikat tugasnya
yang hakiki.
Apakah betul bahwa PWG merupakan tugas gereja yang hakiki? Apakah dapat
ditemukan dasar-dasarnya dalam kesaksian Alkitab (PL dan PB)? Dalam apa
sajakah PWG tercakup?
2. PWG dilaksanakan dalam rangka memampukan warga jemaat menjadi alat
kesaksian atau mediator berkat Allah kepada sesamanya (di dalam: keluarga,
gereja, dan masyarakat luas).
2. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 2
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
Apakah benar bahwa PWG efektif dalam memampukan warga jemaat menjadi
alat kesaksian Tuhan bagi sesamanya? Model PWG yang bagaimana, yang
efektif?
3. Guru atau tenaga Pembina dalam PWG merupakan faktor yang sangat
menentukan bagi keberhasilan PWG di sebuah gereja lokal.
Apakah gereja sudah melihat dan menganggap bahwa posisi guru atau tenaga
pendidik dalam sebuah gereja lokal atau sinodal merupakan hal yang sangat
penting dan menentukan? Apakah kita dapat sepakat bahwa kedudukan guru
dalam pelayanan gerejawi setara dengan jabatan lain misalnya jabatan gembala,
penginjil? Apakah gereja sudah dengan serius melakukan rekrutmen dan
sekaligus pemberdayaan secara maksimal terhadap tenaga-tenaga pengajarPWG
di gereja?
4. Perlunya pelurusan pemahaman antara PAK dan PWG.
Apakah betul ada “kekaburan” pemahaman di antara dua subjek ini? Kalau ada,
apakah sudah ada upaya pelurusan pemahaman di antara keduanya? Siapa
yang bertanggung jawab terhadap upaya pelurusan pemahaman tersebut?
Apakah kedua subjek ini justru merupakan dua hal yang saling terkait erat? Dan
dimanakah keterkaitannya itu?
5. Kehidupan manusia (warga gereja) memiliki kompleksitas kebutuhan yang
memerlukan solusi yang tepat.
Apakah betul bahwa belum seluruhnya kebutuhan hidup warga gereja tersentuh
dengan pelayanan gereja? Kalau belum, lalu siapa yang harus disalahkan?
Bagaimana kita dapat memahami kebutuhan warga gereja yang begitu
kompleks? Kebutuhan mana yang harus didahulukan?
6. Pelaksanaan tugas gereja harus bersifat menyeluruh, artinya menyentuh seluruh
kebutuhan umat manusia atau warga jemaat.
Apakah betul bahwa gereja harus melakukan pelayanan yang bersifat
menyeluruh (holistic)? Bukankah tugas gereja hanya pada hal-hal yang bersifat
rohani saja? Kalau demikian, apa bedanya dengan pelaksanaan tugas dari
badan sosial sekuler?
7. Pelaksanaan tugas PWG dalam suatu gereja memerlukan perencanaan yang
cermat serta terukur sehingga memberikan dampak signifikan bagi kehidupan
konkrit warga gereja.
3. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 3
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
Apakah gereja sudah memperoleh data konkrit tentang kebutuhan warga gereja?
Bagaimana caranya memperoleh data-data konkrit kebutuhan warga gereja?
Apakah sudah dilakukan perencanaan pembinaan warga gereja yang terukur
dengan berdasarkan skala prioritas? Bagaimana merancang perencanaan PWG
yang terstruktur dan terukur?
8. Pelaksanaan tugas PWG perlu alat-alat penunjang, yaitu sarana dan prasarana.
Apakah gereja (lokal maupun sinodal) sudah mempersiapkan sarana dan
prasarana yang memadai untuk sebuah pendidikan warga jemaat? Apakah sudah
dianggarkan dalam anggaran tahunan gereja? Berapa persenkah dari
keseluruhan anggaran yang dialokasikan untuk anggaran kebutuhan pendidikan
atau pembinaan?
9. Gereja perlu membangun budaya belajar bagi seluruh warganya.
Mangapa gereja perlu membangun budaya belajar setiap warga gereja?
Bagaimana mengkondisikan warga jemaat agar menjadi warga jemaat
pembelajar? Apakah ditemukan kendala-kendala dalam menjadikan warga
gereja sebagai warga pembelajar? Kalau ada, lalu bagaimana mengatasinya?
Disemangati dengan pemikiran serta pertanyaan-pertanyaan mendasar pada
catatan awal dan asumsi dasar di atas, maka dalam rangka persiapan materi kegiatan
belajar mengajar PWG di ITKI Jakarta, diktat ini disiapkan dalam bentuknya yang
sederhana sebagai pegangan yang dapat memberi arah dalam diskusi-diskusi kelas.
Dalam proses awalnya, diktat ini lebih bersifat “kompilasi’ beberapa tulisan para pakar
PAK dan PWG. Semoga tulisan ini dapat menjadi salah satu konsep alternative untuk
membangun pemahaman tentang pentingnya PWG dalam sebuah gereja lokal atau
sinodal.
4. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 4
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
BAB II
LATAR BELAKANG KEGIATAN PWG
Sebelum kita mendiskusikan lebih lanjut sekitar PWG, ada baiknya terlebih
dahulu kita memahami alasan-alasan yang melatar belakangi pentingnya PWG. Ada
empat alasan mendasar (tentu bisa saja lebih dari itu), yaitu:
1. Identifikasi Masalah Dasar
Realitas dosa manusia. Alkitab memberikan penegasan bahwa semua manusia
telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23). Kondisi kedosaan
manusia itulah yang memerlukan penanganan dan penyelesaian. Karena itu PWG
merupakan salah satu sarana yang efektif, dimana melalui PWG seseorang dapat
didampingi, disadarkan, dan dibawa kepada pengenalan yang utuh tentang Yesus
Kristus sebagai satu-satunya Tuhan dan juruselamat umat manusia.
Ketidakberdayaan manusia. Salah satu akibat dosa terhadap keberadaan
manusia adalah ketidakberdayaan manusia. Artinya, sehebat-hebatnya manusia, ia
tetap merupakan mahluk yang terbatas di dalam segala hal, misalnya manusia bisa
gagal, manusia bisa sakit, manusia bisa kecewa, manusia bisa tergoda berdosa,
dan lain-lain. Realitas hidup seperti itu memerlukan pertolongan dan penguatan,
sebab jika tidak maka hidup manusia menjadi semakin terpuruk dan tanpa
harapan. Di sinilah PWG berfungsi untuk membangun kembali kemanusiaan
manusia itu.
Lingkungan tempat manusia hadir telah rusak. Akibat lain dari dosa adalah
rusaknya lingkungan kehidupan manusia. Yang dimaksudkan lingkungan di sini
adalah dunia tempat di mana manusia itu bermukim atau hadir, misalnya di
rumah, di sekolah, di gereja, di tempat pekerjaan, di wilayah suatu daerah dari
bumi ini; misalnya di Jakarta, di Indonesia, di Asia, dan seterusnya. Kerusakan
lingkungan itu dicerminkan dalam berbagai ekspresi kejahatan yang diperbuat
manusia, misalnya judi, narkoba, pembunuhan, penipuan, seks bebas, dan lain-
lain. Kondisi lingkungan yang seperti ini memerlukan penataan yang baik,
khususnya penataan hidup manusia dan di situlah PWG dapat berperan secara
maksimal.
Kealpaan gereja terhadap tugas hakikinya. Harus diakui bahwa pembinaan
warga gereja secara bersinambung seolah terabaikan oleh gereja-gereja pada
umumnya. Bahkan ada kecenderungan gereja lebih fokus pada pembangunan
gereja dalam bentuk fisik dibandingkan dengan pembangunan gereja dalam
pengertiannya orangnya. Pada hal yang seharusnya menjadi tugas yang paling
penting adalah pembangunan manusianya lebih dulu.
5. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 5
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
2. Meneruskan pemikiran yang telah dibangun oleh DGI1
Sejak dasawarsa lima puluhan banyak gereja-gereja telah mengadakan pembinaan
bagi warganya. Namun kemudian dirasakan kebutuhan untuk pembinaan yang lebih
terarah, khususnya hubungan misi warga gereja dengan soal-soal yang timbul dalam
masyarakat yang terus berkembang. Itulah sebabnya pertama-tama Sidang Raya DGI
(1967) memutuskan membentuk “Komisi Pendidikan Awam DGI”. Pada waktu itu
timbul pula pemikiran kea rah pembentukan suatu “Institut Ekumenis” dengan tujuan
menampung dan mengembangkan usaha pembinaan warga gereja pada tingkat DGI.
Pada tahun 1968 didirikan proyek khusus DGI yang menampung sebagian tugas-
tugas dari studi dan pembinaan, terutama dalam hubungan dengan masalah-masalah
Gereja dan Masyarakat di mana situasi religius politik pada waktu itu menjadi
perhatian pokok.
Sebagai lanjutan dari prakarsa Sidang Raya VI DGI, maka Sidang Raya VII DGI
(1971) mengambil keputusan agar “Wisma Oikumene” Sukabumi menjadi suatu
tempat sebagai lembaga otonom guna melayani gereja-gereja dalam usaha pembinaan
warganya. Sasaran utamanya ialah “kelengkapan para warga gereja serta pendeta-
pendeta, demi pengembangan kesaksian dan pelayanan Gereja di masyarakat.
Untuk memantapkan hal ini, BPH-DGI memprakarsai Konsultasi Nasional
Pembinaan dan Partisipasi Awam (KNPPA) 1971 di Malang. KNPPA ini menyusun
strategi dasar serta mengembangkan pemahaman teologis untuk mendukung usaha
Pembinaan Warga Gereja (PWG) serta merekomendasikan pembentukan INSTITUT
OIKUMENE INDONESIA (IOI). Berdasarkan daya dorong ini, maka Sidang Raya
BPL-DGI 24-30 Oktober 1971 mensahkan pembentukan IOI-DGI. Adapun tujuan
dan fungsi IOI-DGI adalah: “Melayani gereja-gereja, anggota-anggota dan kelompok-
kelompok dalam gereja dan masyarakat dengan berbagai kegiatan studi dan
kebaktian, agar mereka dengan sadar terus menerus mengejar kebenaran Injil Yesus
Kristus, merelasikan imannya dengan berbagai masalah kehidupan dalam masyarakat
yang berubah-ubah terus, sehingga mereka bersedia serta mampu menjalankan
kesaksian dan pelayanannya terhadap masalah itu dengan kebebasan serta tanggung
jawab penuh.”
Pada tahun 1976 BPH-DGI menyelenggarakan Konsultasi Nasional Pembinaan
Warga Gereja (KNPWG) di PPAG Malang, sesuai dengan penugasan BPL-DGI
1975. Maksud Konsultasi adalah menilai pengalaman kegiatan PWG dalam lima
tahun yang silam. KNPWG 1976 ini mempertegas pemahaman mengenai PWG yaitu:
“Pembinaan warga gereja mesti dilihat dalam rangka pembebasan yang Allah
lakukanmelalui dan di dalam Yesus Kristus. Dalam terang pembebasan ini Gereja pun
harus dibebaskan dari pengertian-pengertian yang keliru tentang pembinaan. Apabila
menyadari fungsinya untuk mewartakan segala kebaikan Allah, maka pandangan
gereja tidak lagi akan mengarah dan berpusat pada dirinya sendiri, melainkan kepada
tugas-tugas pembinaannya yang tertuju kepada dunia ini. Di dalam dan melalui dunia,
Allah membina gereja. Keterbukaan penuh terhadap Allah dan tindakan pembaruan-
1
Albert Widjaja, Menempuh Arah Baru, Laporan Evaluasi Pembinaan Warga Gereja 1971-1979
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 13-14.
6. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 6
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
Nya berarti secara positip kita terbuka penuh terhadap kemungkinan-kemungkinan
yang jadi dalam dunia (tanda-tanda jaman)”.
Cuplikan sepotong dari sejarah pemikiran dan kegiatan PWG di atas memberikan
gambaran pemahaman betapa seriusnya Dewan Gereja Indonesia telah memikirkan
PWG sebagai sesuatu yang sangat penting dalam pelayanan gereja.
3. Alasan Teologis
• PWG merupakan perintah Tuhan Yesus (Mat. 28:19-20). Dari ayat ini,
tampak dengan jelas adanya suatu perintah Tuhan Yesus dalam bentuk penugasan
kepada gereja-Nya untuk melakukan suatu pengabaran Injil keseluruh dunia agar
orang bertobat dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup
pribadinya. Dan yang kedua adalah tugas mengajarkan iman Kristiani kepada
semua umat yang telah diselamatkan-Nya, supaya mereka mampu menjalankan
tugas dan kewajibannya, sesuai dengan tugas panggilan-Nya di dunia ini. Dan
dalam proses pembinaan (atau pembelajaran) tersebut, diasumsikan terjadi suatu
proses pembebasan umat dari ikatan kuasa kegelapan (dosa), dari kebodohan, dari
keterbelakangan, dari kedangkalan pemahaman dan penghayatan iman di dalam
Yesus Kristus. Dalam rangka itulah gereja mengemban tugas mengajarkan iman
Kristiani terhadap semua nggota jemaat yang dipercayakan Tuhan kepadanya,
agar umat mampu menjalankan tugas dan kewajibannya secara aktif, dinamis, dan
kreatif sesuai dengan tugas panggilannya di dunia konkritnya.
• Secara teologis, manusia adalah mahluk yang diberi kesempatan oleh Allah untuk
berubah (mengalami transformasi) dan bertumbuh melalui media belajar
(pembinaan) sampai mencapai kepenuhan martabatnya sebagai ciptaan Allah. Hal
ini merupakan hak istimewa manusia.
• Andar Ismail, dalam bukunya “Awam dan Pendeta”; Mitra Membina
Gereja, mengatakan bahwa “setiap orang percaya diberi mandat oleh Allah untuk
melayani orang-orang lain, untuk mengekspresikan imannya dalam tindakan
sosial yang bermanfaat dan dengan demikian mengkomunikasikan kekuasaan
Injil.”2 Secara teologis, pemahaman ini mau menunjukkan bahwa tugas pelayanan
adalah tugas semua orang percaya. Artinya bukan hanya orang-orang yang secara
struktural memiliki jabatan kependetaan, jabatan majelis, jabatan guru Injil, dan
lain-lain melainkan mencakup semua orang yang percaya. Karena itu,
pelaksanaan PWG dalam suatu gereja mempunyai alasan teologis yang signifikan.
• PWG terkait erat dengan upaya implementasi “membumikan” kehendak
Allah dalam kehidupan umat manusia. Dan PWG dalam arti “toerusting”,
sebenarnya tidak lain adalah suatu bentuk “belajar”, namun belajar secara
Alkitabiah selalu berwujud perbuatan.
• Proses PWG merupakan salah satu usaha untuk mewariskan iman
(pengajaran), sehingga umat mampu memahami, menghayati serta menghidupi
imannya dalam keseluruhan realitas hidupnya.
2
Andar Ismail, Awam dan Pendeta; Mitra Membina Gereja (Jakarta: Badan Penerbit BPK
Gunung Mulia, 2000), 3.
7. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 7
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
4. Alasan Pemberdayaan SDM Warga Jemaat
• Keluarga, gereja, masyarakat dan Negara membutuhkan warganya yang beriman
baik, sehingga mampu bertahan terhadap segala macam tantangan dan godaan
untuk berdosa atau berlaku tidak terpuji. Untuk menjawab kebutuhan dimaksud,
maka PWG adalah merupakan salah satu sarana yang tepat.
• PWG merupakan salah satu upaya konkret gereja dalam melaksanakan tugas
pembedayaan umatnya, baik yang bersifat teologis maupun yang bersifat praktis
secara relevan. Artinya bahwa; dari aspek teologis, gereja dan warganya
diperlengkapi kemampuan menginterpretasikan kebenaran pesan-pesan
Alkitabiah secara tepat dan benar ke dalam situasi masyarakat tertentu ataupun
dunia. Di sinilah dibutuhkan suatu disain pembinaan teologi warga jemaat yang
berbobot dan tepat, artinya dapat menjawab pergumulan dan pertanyaan-
pertanyaan iman Kristen. Sedangkan dari aspek praktis, pembinaannya
diharapkan menyentuh seluruh aspek perlengkapan dasar manusia (dalam bentuk
multi kompetensi) agar gereja dan warganya memiliki keterampilan pengetahuan
(technical know how) dalam berbagai segi, untuk mengatasi masalah-masalah
kehidupan konkret yang dihadapinya.
• Keadaan konkret warga gereja sebagai bagian integral dari suatu masyarakat
global yang hidup dan mengalami perubahan-perubahan mendasar yang cepat dan
menyentuh seluruh aspek kehidupan. Dalam rangka itulah PWG menjadi sangat
relevan untuk menyiapkan warga gereja agar siap menyambut perubahan-
perubahan tersebut.
• Setelah peserta didik (mahasiswa, warga jemaat) mengikuti paparan atau kuliah
ini, maka diasumsikan mereka sudah dapat membuat disain PWG di gereja di
mana mereka ditempatkan untuk melayani.
8. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 8
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
BAB III
DASAR TEOLOGI &TUJUAN PWG
Semua kegiatan gerejawi harus memiliki dasar teologi yang baik, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan terhadap gereja dan jemaat sesuai dengan terang Firman Tuhan.
Karena itu pada bagian ini kita akan mempelajari dasar-dasar teologi PWG dengan
mengacu kepada kesaksian dan pemberitaan Alkitab.
1. Dasar Teologi PWG dalam Perjanjian Lama
A. Allah pencipta dan manusia adalah ciptaan/mahluk (Kej. 1 dan 2).
Tugas manusia sebagai ciptaan adalah mengucapkan syukur, memuliakan Tuhan,
menjalankan semua perintah Tuhan dengan ketaatan penuh, sehingga seluruh hidupnya
bisa menggambarkan Allah di dalam dan melalui kehidupan hariannya dimanapun
mereka berada. Untuk memberikan kesadaran di atas jelas membutuhkan pembinaan
yang benar-benar teratur dan terarah secara terus menerus, bukan pembinaan sekilas saja.
Hal-hal yang harus dihadapi dan dikerjakan manusia ciptaan Tuhan, waktu itu
adalah sebagai berikut:
• Menyadari bahwa manusia diciptakan sebagai mahluk sosial dan
ditempatkan dalam hidup sosial. Dimana tolong menolong menjadi dasar kehidupan
dan keluarga telah diposisikan oleh Allah menjadi pilot proyek inti kehidupan
masyarakat.
• Manusia harus hidup dalam keterbukaan satu dengan lainnya.
• Manusia harus terbuka, sehingga saling memperkaya kemanusiaan dirinya
satu dengan lainnya.
• Manusia harus saling menjadi manusia satu terhadap sesamanya, sebab
manusia harus menjadi sedaging/sekemanusiaan satu dengan lainnya.
• Manusia harus benar-benar menghayati prinsip-prinsip dasar untuk
menjalankan hidup konkritnya.
• Dasar inti sebenarnya adalah percaya, setia dan menjalankan Firman Allah
dalam kehidupan sehari-hari.
• Manusia harus kerja agar manusia memuliakan Allah lewat kerja serta
mengangkat hakekat diri dan martabat dirinya dengan benar. Dari point 1 s/d 7 di atas
semuanya membutuhkan pembinaan yang membawa kesadaran ke dalam diri
manusia itu sendiri.
B. Sepuluh Hukum Taurat (Kel. 20).
Pada saat kita membaca Sepuluh Hukum Taurat maka kita dapat melihat dua sisi
penting yang harus menjadi dasar hidup orang percaya, yakni: memuji, memuliakan
9. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 9
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
Allah dengan benar dan yang kedua adalah supaya manusia menjadi manusia dengan
sesamanya.
C. Ulangan 6:4-9
Ulangan 6:4-9 ini menekankan agar semua orang percaya memuliakan Tuhan
dengan segenap realitas hidupnya, sehingga dalam Perjanjian Baru dalam Matius 22:37-
40 dengan judul hokum kasih.
2. Dasar Teologi PWG dalam Perjanjian Baru
A. Teladan Tuhan Yesus
Yang menjadi tujuan pengajaran Yesus Kristus bukanlah untuk membahas
pelbagai pokok agama dan susila secara ilmiah atau secara teori saja, melainkan untuk
melayani tiap-tiap manusia yang datang kepada-Nya. Untuk itulah Ia datang ke dalam
dunia ini (bnd. Markus 10:45). Dapat dikatakan bahwa seluruh kehidupan Tuhan Yesus
merupakan pengajaran sampai saat yang terakhir, karena justru dalam sengsara dan
kematian-Nya, Ia mengajar kita tentang satu-satunya jalan keselamatan bagi manusia
yang berdosa.
Tuhan Yesus telah memberikan tugas kepada para murid dan bahkan semua umat
percaya untuk melaknanakan tugas pekabaran Injil dan pengajaran iman Kristiani kepada
sekalian orang (bnd. Mat. 28:19-20). Tugas itu harus direspon secara baik oleh setiap
umat percaya.
B. Teladan Rasul Paulus
Paulus menjadi seorang hamba Tuhan yang terdorong oleh hasrat yang berapi-api
untuk memasyurkan nama Tuhan Yesus. Kemanapun Paulus pergi, segala kesempatan
digunakannya untuk mengajar orang Yahudi dan kaum kafir tentang kehidupan bahagia
yang terdapat dalam Injil Yesus Kristus. Paulus berkhotbah di hadapan imam-imam dan
rabbi-rabbi Yahudi dan di hadapan rakyat jelata di segala kota dan desa yang
dikunjunginya. Ia mengajar raja-raja dan wali-wali negeri, orang cendikiawan dan kaum
budak, orang laki-laki dan kaum wanita, orang Asia, orang Yunani, orang Romawi,
pendek kata segala golongan manusia yang ditemuinya pada perjalanan-perjalanannya
yang banyak dan panjang itu.
C. Penetapan Jabatan Pelayanan Dalam Gereja Tuhan
Rasul Paulus dalam Efesus 4:11-16 kita mendapatkan kesaksian yang jelas bahwa
Tuhan telah mempersiapkan para tenaga pembina antara lain: rasul-rasul, nabi-nabi,
10. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 10
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
pemberita-pemberita Injil, gembala-gembala serta para pengajar yang diberi tugas
memperlengkapi semua anggota jemaat bagi:
• Pekerjaan pelayanan membangun tubuh Kristus/gereja (12)
• Untuk mencapai kesatuan iman (13)
• Pengetahuan yang benar mengenai Tuhan Yesus Kristus (13)
• Kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan
Kristus (13)
• Agar tidak terombang-ambing imannya (14)
• Dapat membedakan mana ajaran benar dan mana ajaran sesat (14)
• Semua anggota jemaat bertumbuh dalam kebenaran ini yang berpusatkan pada
diri Yesus Kristus sang Kepala (15)
• Seluruh persekutuan jemaat menjadi satu bangunan dirinya tersusun rapi oleh
pekerjaan pelayanan seluruh jemaat sehingga setiap jemaat bertumbuh dan
membangun dirinya dalam kasih (16)
Untuk bisa mencapai tingkatan di atas dibutuhkan pembinaan jemaat yang terukur
sistematik, kreatif, dinamis dan penuh tanggung jawab dari gereja.
3. Tujuan PWG
Tujuan kegiatan PWG adalah untuk mempersiapkan semua anggota jemaat agar
memiliki:
• Pemahaman dan kedewasaan penuh dalam iman kepada Yesus Kristus.
• Kehidupan yang penuh tanggung jawab utuh baik kepada Tuhan Yesus Kristus,
kepada sesamanya dan juga kepada dirinya.
• Kesungguhan untuk menggali dan mengembangkan seluruh potensi dirinya untuk
diabdikan bagi kepentingan Kerajaan Allah sesuai dengan kesaksian Alkitab.
• Keterampilan yang dapat memampukannya menjalankan tugas, kewajiban dan
tanggung jawabnya sebagai saksi Kristus di tengah-tengah dunia ini yang meliputi
seluruh wilayah tugasnya. Sehingga melalui tanggung jawab kesaksiannya
semakin banyak orang lain dibimbing datang dan hidup di dalam Kristus dengan
sungguh-sungguh.
• Pengucapan syukur serta senantiasa memuliakan Tuhan dalam seluruh
penampilan hidupnya.
11. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 11
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
BAB IV
MELURUSKAN PEMAHAMAN TENTANG
PAK DAN PWG
Pemahaman yang benar tentang PAK dan PWG di kalangan warga gereja,
mahasiswa teologi dan para pendeta jemaat masih simpang siur, artinya belum terbangun
persepsi yang jelas, karena itu diperlukan pelurusan pemahaman, walaupun tidak
dimaksudkan adanya pemaksaan penyeragaman persepsi dan memang hal itu tidak
pernah dikehendaki oleh tulisan ini. Tetapi kejelasan persepsi atau asumsi dari dua istilah
ini sangat perlu, sebab apabila tidak, maka akan terjadi duplikasi persepsi bukan hanya
pada segi content maupun praxis, tetapi juga dalam implementasinya pada konteks
pelayanan. Dan kalau itu yang terjadi, maka akibatnya yang terjadi adalah bahwa PAK
dan PWG tidak pernah akan mencapai hasilnya sebagaimana yang diharapan.
Sebenarnya istilah PAK dan PWG sudah dikenal oleh gereja-gereja di Indonesia
sejak tahun 50-an. Tetapi asumsi kebanyakan orang Kristen terhadap kedua istilah ini
masih sangat sempit, misalnya PAK cenderung diasosiasikan dengan Sekolah Minggu
atau pelajaran agama di sekolah. Demikian juga dengan PWG cenderung diasosiasikan
sebagai sebuah kursus untuk menjadi tenaga pendeta, penginjil (guru injil), dll.
Menyadari persoalannya, maka pemahaman terhadap kedua istilah ini perlu diluruskan.
Salah satu sumber (bukan satu-satunya) yang paling memadai untuk menjawab persoalan
ini adalah naskah Pidato Dies Natalis ke-55 STT oleh Dr. Andar Ismail (pakar PAK di
STT Jakarta). Alasan adalah bahwa beliau pakar PAK yang cukup dikenal di Indonesia
melalui pengalaman studinya, pengalamannya mengajar ilmu teologi praktika telah teruji
baik pada tingkat akademik maupun pada tingkat jemaat (khususnya beliau melayani di
GKI) dan bahkan melalui tulisannya dengan seri “Selamat” yang sarat dengan nuansa
didaktik metodik. Adapun naskah pidatonya, saya tulis ulang (dengan beberapa
penambahan kecil) sebagai berikut:
1. Catatan Singkat Perkembangan PAK Abad 20
Apabila kita hendak menelusuri akar dan sejarah PAK, maka sumber yang sangat
memadai adalah tulisan Prof. Dr. Robert R. Boelkhe tentang Sejarah Perkembangan
Pemikiran PAK yang diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia dalam dua volume. Tetapi
pada tulisan ini dibatasi hanya pada catatan singkat perkembangan PAK pada abad
ke-20. Menurut catatan Dr. Andar Ismail, PAK sudah mendapat bentuk
sistimatikanya pada konvensi tahun 1903 di Chicago yang melahirkan Religious
Education Association. Setelah itu, maka dalam pergumulannya dua puluh tahun
kemudian dibentuklah apa yang disebut dengan International Council of Religious
12. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 12
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
Education.3 Dengan terbentuknya badan ini, maka hendak menunjukkan bahwa gereja
sudah menaruh perhatian yang serius terhadap pentingnya kehadiran PAK dalam
pelayanan gereja. Bahkan beberapa puluh tahun sebelumnya oleh Horace Bushnell
(1802-1876), telah merintis dan meletakkan prinsip-prinsip teori PAK. Pemikiran
Bushnell merupakan reaksi terhadap theologia yang sedang dominan di gereja-gereja
Puritan di Negara-negara bagian New England pada zaman itu, yakni teologia yang
sangat menekankan transendensi Allah di satu pihak dan antropologi teologis yang
pesimis di lain pihak. Dalam pemaparan teologinya, mereka pada satu sisi membesar-
besarkan kekuasaan Allah, tetapi pada saat yang bersamaan pula mereka juga
mengecil-negcilkan potensi manusia. Manusia digambarkan hanya sebagai makluk
yang betul-betul celaka dan tidak mempunyai daya apa-apa kecuali menjadi penerima
anugerah Allah yang pasif. Theologia seperti ini sejalan dengan metode tranmissive
khususnya dalam dunia penyiaran rohani seperti kebangunan rohani. Akibatnya pada
zaman itu kebangunan rohani menjadi mode di New England. Dalam penyiaran
ajarannya sangat ditekankan di mana anak kecil maupun orang dewasa ditakut-tekuti
dengan hukuman Tuhan lalu didesak untuk lahir kembali dan bertobat. 4 Kebangunan
rohani telah dipersepsi sebagai jawaban terminal bagi kehidupan lahir baru, artinya
bahwa dengan mengikuti KKR telah dijamin bahwa seseorang sudah lahir baru.
Dalam hal ini, Bushnell sangat menentang pemahaman Injil yang sempit seperti itu,
lalu ia mengemukakan sejumlah tesis dalam bukunya yang berjudul Christian
Nurture. Ia berkata :
“What is the true idea of Christian Education ? That the Child is to grow
up a Christian, never know himself as being otherwise. In other words, the
aim, effort, and expectation should be, not as is commonly assumed, that
the child is to grow up in sin to be converted after he comes to a mature
age; but that he is to open on the world as one that is spiritually renewed,
not remembering the time when he went through a technical experience
but seeming rather to have loved what is good from his earliest years. 5
Tesis lainnya berbunyi: This is the very idea of Christian Education, that is
begins with nurture or cultivation.”6
Untuk zaman sekarang tesis seperti itu tidak mempunyai keistimewaan. Namun
untuk akhir abad yang lalu di mana belum dikenal Psikologi Perkembangan, Didaktik
serta Metodik yang modern, maka tesis seperti ini adalah sesuatu terobosan baru
dalam dunia didik mendidik.
3
William Dean Kennedy, Christian Education Through History, An Introduction to Christian
Education, ed. Marvin J. Taylor (Nashville: Abingdon, 1980), 28.
4
Elmer L. Towns “Horace Bushnell” in A History of Religious Educations, ed. Elmer L. Towns
(Grand Rapids : Baker, 1975), 278-287
5
Horace Bushnell, Christian Nurture (New Haven: Yale University Press, 1967), 4.
6
Ibid., 20
13. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 13
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
2. Beberapa Asumsi dan Implikasi Tesis Bushnell
a. PAK berdiri di atas antropologi theologies yang optimis yang berkeyakinan
bahwa tiap orang dilahirkan dengan kodrat yang baik dan bahwa kodrat yang
baik itu dapat ditumbuhkan terus karena manusia mempunyai potensi untuk
berpikir baik dan menghasilkan produk baik. George Albert Coe (1862-1951)
yang mewarnai theologia dan teori PAK selama 50 tahun dalam abad ini
mengatakan bahwa mnusia dilahirkan sebagai gambar dan rupa Allah, sebab itu
manusia dapat menjadi kandidat untuk karakter yang baik. Tugas PAK adalah
mendorong dan menopang pertumbuhan ke arah kemungkinan yang baik itu.7
Atau dengan kata lain PAK bertujuan untuk menggali dan mengembangkan
seluruh potensi yang baik dalam diri manusia untuk diabdikan bagi pembangunan
Kerajaan Allah di atas muka bumi sesuai dengan kesaksian Alkitab Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru. Bertolak dari pemahaman ini, tampaklah bahwa
posisi dan tugas PAK dalam gereja sangat signifikan.
b. PAK berasumsi bahwa kepercayaan yang matang bukan timbul secara mendadak
seperti pada akhir suatu kebaktian kebangunan rohani, melainkan tumbuh dalam
proses jangka panjang sejalan dengan tumbuhnya perkembangan jiwa orang yang
bersangkutan (agar lebih jelas point ini, saya menganjurkan kepada semua
mahasiswa ITKI dan atau siapa saja membaca diktat ini agar membaca tulisan
James W. Fowler dalam bukunya yang berjudul “Stages of Faith”. Dalam
bukunya tersebut, ia memaparkan secara komprehensif tahapan-tahapan
perkembangan iman manusia sesuai dengan perkembangan jiwa manusia itu
sendiri). Sasaran dalam percaya bukanlah pertobatan melainkan pertumbuhan.
Bushnell meletakkan salah satu dasar PAK yaitu bahwa tugas gereja bukanlah
menciptakan suasana emosional sehingga orang bertobat di muka umum,
melainkan menolong orang bertumbuh sedikit demi sedikit sehingga iman itu
berbuah dalam kehidupan. Mengulas tesis Bushnell itu, berkatalah Groome :
The attitude of the revivalists toward Christian Formation was that,
because of human depravity, children could not grow up as Christians but
could only come to the faith by being “born again”. It was on this specific
point that Bushnell began his criticisms of the revival movement and of
the whole conversion syndrome.8
Mendukung tesis Bushnell ini, lebih lanjut Coe berkata : “… the constant aim of
elementary religious education should be to make conversion unnecessary. 9 Dari
7
George Albert Coe, Education in Religious and Morals (New York : Revel, 1904), 33-64.
8
Thomas H. Groome, Christian Relegious Education (San Fransisco, 1980), 116
9
George Albert Coe, A Social Theory of Religious Education (New York : Arno, 1969), 181.
14. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 14
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
beberapa pendapat tokoh di atas dapat disimpulkan adanya penekanan pada aspek
proses di mana di dalamnya terjadi suatu pertumbuhan. Di sinilah proses
pendidikan yang dikembangkan di gereja atau di luar gereja sangat menentukan.
c. PAK berasumsi bahwa iman bisa mengalami stagnasi atau berputar-putar di situ
juga, atau sebaliknya dapat berkembang ke tahap-tahap yang lebih matang dan
lebih luas wawasannya. Asumsi ini digarap oleh William Clayton Bower yang
meneliti hubungan antara perkembangan kepribadian dengan perkembangan
kepercayaan.10 Rintisan Bower pada awal abad ini di bidang PAK ternyata
sekarang ini dikristalisasi oleh dunia psikologi dengan munculnya teori
perkembangan kognitif oleh Jean Piaget, teori perkembangan moral oleh
Lawrence Kolhberg, teori perkembangan kepribadian oleh Erik Erikson dan teori
perkembangan percaya oleh James W. Fowler. Keempat teori ini langsung
digunakan oleh didaktik dan metodik PAK. Dengan demikian konsep kurikulum
dan strategi pendidikan yang dirancang atau yang dikembangkan di dalam gereja
harus memperhatikan dan mempertimbangkan keempat teori di atas.
d. PAK berasumsi bahwa tujuan iman bukanlah hanya untuk keselamatan pribadi
peserta didik, melainkan supaya peserta didik dalam persekutuan umat percaya
berupaya menciptakan tatanan masayarakat yang ciri-cirinya sudah diperlihatkan
oleh Yesus Kristus. Hal itu beararti bahwa seseorang dibimbing untuk tidak
hanya memiliki pengalaman hubungan secara vertical yaitu dengan Allah tetapi
juga menyangkut soal-soal kemasyarakatan. Karena itu di dalam tujuan PAK
harus terkandung pula suatu idealisme social. Coe menyebut idealisme itu
“democracy of God”. Ia berkata :
“Granted this social idealism as the interpretation of the life that now is,
the aim of Christian Education becomes this : Growth of the young toward
and into mature and efficient devotion to the democracy of God, and
happy self-realization therein”.11
e. Pada konvensi 1903 hadir juga John Dewey, filsuf dan teoris pendidikan sekuler
aliran progresif, sebagai narasumber yang memberi masukan. Ia menunjukkan
dengan jelas bahwa sejak awal PAK terjalin secara erat dengan ilmu pendidikan
sekuler. Coe berkata, “.. both the processes and the aims of religious education
intertwine with those of so-called secular education. The relation is more than
intertwining; they are brances of same tree, they partake of the same sap.” 12
Sebab itu hasil-hasil baru yang ditemukan oleh riset Ilmu Pendidikan dan
Keguruan abad ini dimanfaatkan oleh PAK, misalnya cara membuat tujuan
instruksional berdasarkan taxonomi kognitif, afektif dan psiko motor penemuan
Benjamin Bloom dan kawan-kawan pada tahun 60-an.13 Memahami hal itu, maka
bagi pelaksana PAK di tingkat gereja lokal maupun sinodal agar menyusun
10
William Clayton Bower, Moral and Spiritual Values (Lexington: University of Kentucky Press,
1952).
11
Coe, A Social of Religious Education, 55
12
As quoted in Harold William Bugess, An Invitation to Religious Education (Birmingham,
AL. : Religious Education Press, 1975), 60.
15. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 15
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
kurikulum PAK dan strategi pembelajarannya dengan harapan di mana peserta
didik dapat mempunyai pengetahuan, sikap dan tindakan iman.
f. PAK bukan berorientasi pada bahan, melainkan pada peserta didik. Artinya
bahwa yang harus menjadi concern utama dari sebuah pendidikan PAK adalah
peserta didik dan konteks hidup serta kehidupannya. Atau dapat juga berarti
bahwa PAK bukan bermaksud menjejali doktrin agama dan isi Alkitab. Pelajaran
agama bukanlah pewarisan sejumlah doktrin kepada generasi berikut sebagai
harta mati yang tidak boleh diubah melainkan pembuka kesempatan kepada
generasi itu untuk mengembangkan iman yang menjawab persoalan kotemporer. 14
Inti kerugma adalah tetap, yakni bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan
Penyelamat (hal ini tidak bias ditawar-tawar), namun penyebaran kerugma itu
menjadi didache terletak di tangan tiap generasi. Hal itu berarti kualitas pendidik
iman, baik dari sisi kemampuan pengetahuan maupun pemahaman dan
penghayatan imannya sangat menentukan. Sebab pendidikan agama yang
mewariskan agama secara otoriter akan menghasilkan generasi katak beragama di
bawah tempurung. Kemungkinan lain adalah bahwa pendidikan agama semacam
itu akan menimbulkan efek boomerang, yaitu generasi yang kelak malah akan
berbalik dan menolak agama. Kalau itu yang terjadi maka akan tercipta suatu
masyarakat yang skeptis dan bahkan sinis terhadap nilai-nilai agama.
3. Pengertian PAK
PAK adalah suatu usaha sengaja dari gereja untuk membimbing setiap pribadi dari
semua golongan umur agar mereka mengenal, memahami, menyadari dan menghayati
iman Kristen dan oleh pertolongan Roh Kudus peserta didik memasuki persekutuan
iman yang hidup dengan Tuhannya sehingga pada akhirnya peserta didik menjadi
warga gereja serta warga masyarakat yang baik dan bertanggung jawab sesuai dengan
terang Firman Tuhan.
4. Tujuan PAK
• Thomas H. Groome, mengatakan bahwa tujuan ultim PAK adalah Kerajaan Allah,
karena Kerajaan Allah-lah yang menjadi maksud dan tujuan penciptaan-Nya.
Kerajaan Allah itu pulalah yang menjadi tema pokok dan tujuan sentral
pemberitaan dan kehidupan Tuhan Yesus.
• Judo Poerwowidagdo, mengatakan: “Tujuan PAK adalah menggali dan
mengembangkan seluruh kemampuan peserta didik untuk diabdikan bagi
13
Benjamin Bloom, ed., Taxonomy of Educational Objectives, Handbook I : Cognitive Domain
(New York: David McKay, 1956) and David R. Krathwohl, Benjamin Bloom and Bertram B. Mesia,
Taxonomy of Educational Objectives, Handbook II : Effective Domain (New York: David McKay,
1964).
14
Sophia Lyon Fahs, Today’s Children and Yesterday’s Heritage (Boston: Beacon, 1952), 15-18.
16. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 16
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
kepentingan Kerajaan Allah sesuai dengan kesaksian Alkitab baik PL maupun
PB”.
• Harold de Wolf, mengatakan: “Tujuan PAK adalah menghubungkan peserta didik
dengan Tuhan-nya di dalam dan melalui imannya kepada Yesus Kristus”.
• D.C. Wyckoff, mengatakan: “Tujuan PAK adalah menghubungkan peserta didik
dengan Tuhan-nya melalui imannya di dalam dan melalui Kristus dan juga
menyangkut hubungannya dengan soal-soal kemasyarakatan”.
• Howard Grimes, mengatakan: “Tujuan PAK adalah memimpin seseorang kepada
pertobatan yang utuh kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat satu-
satunya”.
• Frans Pantan, mengatakan: “Tujuan PAK membimbing seseorang menghidupi
totalitas kehidupannya sebagaimana layaknya orang yang sudah diselamatkan
oleh Tuhan Yesus Kristus lewat pengorbanan-Nya di atas kayu salib”.
Sebagai orang yang sudah diselamatkan, maka tentu saja cirri-cirinya adalah
sebagai berikut:
• Mengasihi Tuhan Allah dengan sungguh-sungguh (Mat. 22:37). Apa yang
Yesus katakan tidak lain dari apa yang dikatakan dalam hokum Taurat: jangan
ada padamu allah lain di hadapan-Ku. Jangan buat bagimu patung untuk
disembah. Jangan sia-siakan nama Tuhan (Kel. 20:2-11). Dalam dunia modern
sekarang ini banyak juga dewa modern yang dapat menggeserkan Allah,
antara lain: uang, kedudukan, jabatan, kekayaan, kecantikan, kuasa, hasil-hasil
ilmu pengetahuan dan tehnik, dll.
• Mengasihi sesame dengan sungguh-sungguh (Mat. 22:39). Semua manusia
diciptakan menurut citra Allah. Sama-sama memiliki hak dan martabat.
Karena itu manusia tidak boleh dijajah oleh kebencian, ketidakadilan,
kemiskinan, kebodohan, dll. Semuanya itu bertentangan dengan keselamatan.
Karenanya Yesus berkata: kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
Apa yang Yesus katakana tidak lain dari apa yang juga dikatakan di dalam
hukum Taurat: hormati orangtua, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan
berdusta, jangan berzinah, jangan ingin kepunyaan sesamamu (Mat. 20:12-
170. Penyebab paling besar untuk tidak mengasihi sesame ialah hanya
mengasihi diri sendiri, sehingga manusia saling mau menjadi tuan atas
sesamanya. Sebagai orang selamat kita mengasihi sesame sebagai tanda kita
mengasihi Tuhan.
• Mengasihi diri sendiri. Artinya memelihara diri sendiri sebagai orang
selamat. Janagn disalah artikan hanya mengasihi diri sendiri. Tapi maksudnya
adalah tanggung jawab sebagai orang yang telah diselamatkan. Janganlah
merusak diri kita, baik masa kini maupun masa yang akan datang. Bila kita
tidak merusak diri kita tentu saja kita tidak akan merusak orang lain.
Kemudian orang-orang selamat bukan hanya memelihara diri, tetapi oleh
karena keselamatannya ia berusaha berprestasi sebaik dan setinggi mungkin.
Kita bekerja, berusaha dengan penuh semangat, rajin, disiplin dan penuh
17. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 17
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
dedikasi. Dan juga menjauhi hal-hal yang merugikan orang lain: malas,
korupsi, penyelewengan, ingin menang sendiri, dll.
• Terhubung erat dengan dunia ciptaan Allah di mana ia ditempatkan.
Manusia diberi mandate sekaligus tanggung jawab untuk mengolah ala mini,
tempat kediamannya. Di situ manusia yang selamat berusaha tidak akan
mengalami kelaparan, sakit penyakit, kekurangan, ketiadaan tempat berteduh,
dst. Ini juga sehubungan dengan mengatur sebaik-baiknya pekerjaan-
pekerjaan di atas muka bumi ini: di kantor, di sekolah, di gereja, dll. Dalam
rangka pengolahan alam ini tidak dimaksudkan kita menguras habis-habisan
segala sumber daya alam. Tidak semua burung di udara, ikan di sungai dan di
laut kita habiskan. Tidak semua pohon di hutan kita harus tebang. Kelestarian
kita perlu pelihara sebaik-baiknya guna kepentingan kita juga. Ingat
keselamatan yang Allah lakukan adalah juga untuk dunia ini.
• Terhubung erat dengan masa depan, bukan saja di dunia ini tetapi juga di
dunia baru yang akan dating. Maksudnya, keselamatan yang kekal. Hidup
dalam Kerajaan Allah yang penuh dan sempurna.
5. Catatan Singkat Perkembangan PWG abad 20
PWG yang kita kenal sekarang ini di Indonesia mulai dikristalisasi pada tahun
1945 di Eropa Barat. Pada Perang Dunia II sejumlah pemikir warga gereja yang
ditahan rezim Nasi merasa prihatin bahwa umat Kristen kurang berhasil menjadikan
diri relevan di tengah penderitaan manusia. Mereka mempelajari Alkitab dan
menyadari bahwa mereka adalah garam dunia, tetapi di manakah garam itu ketika
orang membeo dan membebek pemerintah diktatoral dan ketika satu bangsa
memusnahkan bangsa lain. Seusai perang para warga gereja ini berkumpul dan
memikirkan apa yang mereka harus lakukan. Sebagai hasilnya lahirlah pada tahun
1945 pusat pembinaan warga gereja Institut Kerk en Wereld di Driebergen, Belanda
yang diprakarsai oleh Hendrik Kraemer (1888-1965). Beberapa bulan kemudian
menyusul pembentukan pusat pembinaan warga gereja Evangelische Akademie Bad
Boll di Jerman yang diprakarsai oleh Eberhard Muller. Pusat-pusat pembinaan warga
gereja itu menghimpun untuk mendalami suatu masalah tertentu yang actual dalam
masyarakat, menyorotinya dari terang Firman Tuhan dan mempelajari langkah jalan
keluar yang dapat ditempuh oleh warga gereja di jalan hidupnya masing-masing.15
Sebenarnya kelahiran pusat-pusat pembinaan warga gereja pada tahun 1945
adalah ibarat telur yang menetas setelah dierami. Telurnya sendiri sudah keluar dua
dasawarsa sebelumnya. Tepatnya telur itu keluar dari benak Joseph Oldham (1874-
1969), warga gereja bukan pendeta di gereja Anglikan Skotlandia. Bersama dengan
Visser ‘t Hooft ia mempersiapkan konprensi sedunia tentang church, community and
State di Oxford, Inggris, tahun 1937. Dalam rangka persiapan konprensi itu, yang
sebenarnya merupakan reaksi menentang munculnya pemerintah-pemerintah totaliter
15
Hans-Ruedi Weber, “A New Movement Begins” in Centres of Renewal for study and Lay
Training (Geneve : WCC, n.d.), 5-7.
18. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 18
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
di Eropa, Oldham menulis beberapa tesis tentang warga gereja. Salah satu tesisnya
berbunyi :
It is the members of the church, who discharge the responsibilities of the
commons life in a countless variety of occupations and in an infinite
multiplicity of daily acts and decicions, that are the leaven which leaven
the lump. In this faithful silent witness, they are fulfilling the priestly
function of the church.16
Kemudian tesis Oldham lebih lanjut adalah bahwa ia memandang peranan warga
gereja bukan untuk pekerjaan di dalam gereja melainkan untuk pekerjaan di luar
gereja. Tesis beliau sangat cemerlang dan komprhensif walaupun tidak semua
pemikir (teolog) spendapat dengannya. Pada waktu itu para pemikir tentang peranan
warga gereja, misalnya John Mott, melihat peranan warga gereja hanya sebagai alat
untuk kepentingan gereja. Tetapi menurut Oldham pentingnya warga gereja adalah
justru untuk kehidupan dan pekerjaannya di tengah masyarakat. Mengenai uniknya
tesis Oldham, berkatalah Kraemer :
This approach of Dr. Oldham was quite new, because for the first time it
was not the mobilization of active laymen for various purposes considered
quite apart from the church, simply for its effectiveness, as Dr. John R.
Mott had done in his organizing of the Laymen’s Missionary Movements,
but a viewing of the laity as an expression of the church and its calling and
function in the world.17
6. Beberapa Asumsi dan Implikasi Tesis Oldham
a. PWG lahir dari pemahaman ekklesiologis yang secara expressis verbis
merumuskan tempat organis warga gereja dalam hakekat dan missi gereja.
Oldham memperlihatkan ekklesiologinya ketika berkata bahwa gereja mempunyai
aspek ganda. Sebagai aspek pertama gereja adalah “a society organized for the
specific purposes of worship, teaching preaching and the pastoral ministry.”
Aspek kedua, gereja adalah “A society of men and women who have been given a
new understanding of life and have andergone a change which effects their whole
outlook and behavior and must color every of their lives. 18 Oldham lalu
mensinyalir bahwa sejauh ini aspek yang pertamalah yang paling dominant. Ia
berkata “It is the fisrt and more restricted of these conceptions which tends to
dominate our thingking and consequently to determine and limit our practice.
Thus the church has become clericalized in the thingking of both clergy and
laity.19
16
Joseph H. Oldham, “The function of the Church in Society”, in The Church and Its Function
in Society, ed., W. Visser ‘t Hooft and J.H. Oldham (London: George Allen & Unwin, 1937), 203.
17
Hendrik Kraemer, A Theology of the Laity (Philadelphia: Westminster, 1958), 33.
18
Oldham, Opcit., 154-155.
19
J.H. Oldham, The Oxford Conference, Official Report (Chicago: Willet Clerk, 1937), 35.
19. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 19
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
b. PWG berasumsi bahwa ciri-ciri gereja yang sejati sebagaimana dirumuskan oleh
Calvin adalah kurang lengkap. Calvin mengatakan bahwa ciri gereja adalah
pelayanan Firman secara benar dan pelayanan sakramen secara benar. 20 Kalau
hanya itu ciri gereja, maka warga gereja adalah obyek belaka. Warga gereja
menjadi subyek kalau “notae ecclesiae” Calvin itu dilengkapi dengan ciri yang
lain, yakni kesaksian melalui perbuatan oleh warga gereja dalam hidup
sekulernya. Hal itu diperlukan supaya pemahaman ekklesiologi kita, kata Oldham,
jangan mengarah kepada suatu “disastrous ecclesiasticizing of the church, so that
it becomes primarly an affair and interest of the clergy…rather than a community
of redeemed men and women joyfully serving God in the ordinary concern of the
common life.21
c. PWG berasumsi bahwa konsepsi yang tinggi tentang warga gereja bukan berarti
konsepsi yang rendah tentang jabatan pendeta. Kelahiran PWG bukanlah untuk
memperjuangkan status yang lebih tinggi bagi warga gereja lalu mengurangi arti
jabatan pendeta. Peranan warga gereja adalah di garis depan, dan untuk itu
dibutuhkan pembekalan oleh pendeta dari garis belakang. Keduanya saling
menopang. Oldham membayangkan wadah PWG di mana pendeta dan warga
gereja saling belajar, bukan di mana pendeta mentransmisikan suatu kebenaran
yang otoritatif. Berkatalah Oldham, “It is necessary that Christian ministers
should set themselves deliberately to learn as well as to teach. From the laity may
be learned lessons of life that find no place in the curriculum of theological
college”.22 Berbicara tentang konsepsi pendeta dan konsepsi warga gereja, Hans-
Ruedi Weber menegaskan, “A high doctrine of the laity does not exclude, but
rather demands, a new high doctrine of the clergy”.23
d. Adanya PWG bukanlah untuk menghasilkan warga gereja yang banci, yaitu ½
warga gereja biasa dan ½ pendeta. Orang sering mengira bahwa warga gereja
yang baik adalah mereka yang banyak meninggalkan pekerjaan duniawainya lalu
aktif dalam pekerjaan rohani. Padahal yang dibutuhkan adalah warga gereja yang
justru di dalam dan melalui pekerjaan duniawinya bersaksi tentang Tuhan Yesus.
Di sini ada lagi salah paham di mana orang mengira bahwa bersaksi adalah
memberi renungan di kantor tempat bekerjanya atau sering-sering menyebut “puji
Tuhan”. Padahal yang diperlukan adalah kesaksian tanpa kata namun penetratif,
yaitu bersaksi melalui sikap dan perbuatan misalnya menunjukkan kerja yang
bermutu dan jujur, tidak minta disuap dan tidak menerima hadiah yang bersifat
menyuap. Warga gereja yang rajin dalam soal rohani tetapi berperilaku tidak
Kristiani dalam dunia, pekerjaannya termasuk apa yang disebut Hoekendijk
sebagai warga gereja yang schizofren. Berkatalah Hoekendijk :
20
John Calvin, Institutio, 4.1.9
21
Oldham, “Functions”, 156
22
Ibid., 199
23
Hans-Ruedi Weber, Salty Christians (New York: Seabury, 1969), 17.
20. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 20
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
“…. It betrays something of the layman’s professional dicease :
schizophrenia. It leads to a split between the world of Sundy and the world
during the rest of the week.. a clericelized layman is unsuited for the
opostolate; he has become a church-domesticated layman, tamed and
eaged by the church – one who has betrayed his own trade and has become
unfaithful to the earth.24
e. Itu bukan berarti bahwa PWG mengecilkan arti keaktifan warga gereja di dalam
kegiatan domestic gereja. PWG pun mempunyai lapangan kerja yang mengkader
dan memampukan warga gereja untuk menjadi pelayan pekerjaan gereja. PWG
menyadari perlunya keseimbangan antara kesaksian di kehidupan sekuler dan
pelayanan di dalam gereja. Tidak ada polarisasi diantara keduanya.
7. Pengertian PWG
PWG adalah “usaha gereja secara sengaja untuk memampukan warga gereja
khususnya yang sudah dewasa menjadi alat kesaksian Tuhan Yesus Kristus kepada
lingkungan hidupnya serta dunia dimana ia dihadirkan melalui karya-karya dan
bahkan keseluruhan penampilan kehidupannya”.
8. Perbedaan PAK dan PWG
Pendidikan Agama Kristen (PAK) :
• Ditujukan kepada semua golongan umur. Karena itu di dalam dunia PAK,
kita mengenal adanya: PAK anak, PAK remaja, PAK pemuda, PAK dewasa dan
PAK manula. Masing-masing jenis PAK yang berdasarkan klasifikasi umur itu
dirancang dalam bentuk dan pendekatan yang berbeda. Hal itu dilakukan atas
pertimbangan bahwa kebutuhan dari masing-masing kelompok umur tersebut
berbeda.
• Tugas PAK lebih banyak ke arah pewarisan Iman Kristen, di mana peserta
didik (warga/umat gereja) diberikan pelajaran dasar-dasar iman secara terstruktur
dan bersinambung. PAK (khususnya PAK di sekolah) lebih mengedepankan
unsur pengetahuan (kognitif), sehingga factor afektif dan psikomotor cenderung
diabaikan. Tentu PAK yang dilaksanakan di gereja, diharapkan tidak demikian;
artinya tetap dirancang untuk mencapai tiga aspek pengetahuan secara seimbang,
yaitu : aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotor.
• PAK merupakan pendidikan yang lebih bersifat formal dan berlangsung
lama serta berkesinambungan.
Pembinaan Warga Gereja (PWG) :
• Ditujukan kepada orang dewasa. Kenapa hanya orang dewasa ? Hal ini terkait
dengan sejarah pemahaman tentang keanggotaan gereja, di mana pada umumnya
dalam gereja-gereja arus utama (saya menyebutnya “gereja tua”), seseorang baru
24
J.C. Hoekendijk, The Church Inside Out, trans. Isaac Rottenberg (Philadelphia: Westminster,
1966), 89.
21. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 21
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
resmi dianggap sebagai anggota gereja yang sah setelah menjalani upacara “sidi”
ketika seseorang sudah mencapai usia pemuda.
• Tugas PWG lebih banyak ke arah melayani orang supaya meningkatkan
kemampuan penghayatan imannya, tetapi juga agar ia dimungkinkan mewujudkan
tugas dan panggilannya di tengah-tengah dunia dan masyarakat di mana ia berada
dengan segala apa yang ada padanya.
• PWG lebih bersifat non-formal pada warga gereja yang diselenggarakan
sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan khusus dan berlangsung dalam waktu yang
singkat.
• Pelaksanaan PWG lebih bersifat fleksible, karena disiapkan dan disusun
sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan actual.
9. Persamaan PAK dan PWG
a. Merupakan pendidikan gereja yang mempunyai kriteria dasar pendidikan yaitu :
• Intensional, berarah tujuan, direncanakan dan disengaja.
• Mempunyai nilai-nilai, menolong peserta didik mengoreksi dan
meningkatkan nilai-nilai hidup.
• Melibatkan usaha untuk mengetahui dan mengerti, lalu usaha untuk
melihat relasi antara apa yang diketahui dan dimengertinya tentang hal yang
satu dengan hal yang lain.
• Terjadi sebagai hasil interaksi yaitu belajar (interaksi antara pelajar
dengan apa yang dipelajari) dan mengajar (interaksi antara pengajar, pelajar
dan bahan pelajaran).
• Terjadi dalam suatu proses.
• Menyangkut dan menimbulkan hasil positif dalam hubungan dengan
dirinya dan hubungan dengan dunia di luar dirinya.
• Menyangkut dimensi kognitif, afektif, aktif dan motif.
• Menyangkut pertumbuhan stadium perkembangan jiwa peserta didik.
b. Bertujuan menolong warga gereja bertumbuh dalam iman Kristiani menuju
kepada tingkat kedewasaan penuh di dalam Kristus. Tetapi di samping itu juga,
menolong setiap warga gereja untuk mampu merealisasikan iman secara konkret
dalam realitas kehidupannya di segala tempat dan situasi.
c. PAK dan PWG mempunyai missi yang kontekstual sesuai dengan kebutuhan
lapangan dan jaman. PAK dan PWG mempunyai misi menjembatani jurang
antara ibadat dengan praktek hidup. Di Indonesia sekarang ini kehidupan
beragama tumbuh dengan subur. Tempat-tempat ibadat dipenuhi dengan umat
penganutnya. Tetapi kehidupan berargama cenderung bersifat ritual. Di satu pihak
orang rajin beribadah, tetapi di lain pihak terjadi penyalagunaan wewenang,
korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, materialisme dan egoisme belum
tersentuh oleh kehidupan beragama. Persepsi keberagamaan lebih menekankan
bakti ritual dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Kehidupan beragama
22. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 22
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
lebih berorientasi vertical dari pada horizontal. Kepekaan spiritual ternyata tidak
atau belum disertai dengan kepekaan social. Kalau pendidikan agama berjalan ke
arah ini, maka pendidikan agama merosot menjadi indoktrinasi belaka dan umat
akan menjadi munafik dan bahkan fanatisme agama yang sempit.
23. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 23
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
BAB V
KARAKTERISTIK
PEMBINAAN WARGA GEREJA
Di atas telah dipaparkan secara singkat beberapa perbedaan dan juga persamaan
PAK dengan PWG. Pada paparan kita berikutnya, sangat perlu pula dikedepankan
tentang ciri-ciri khas atau karakteristik dari PWG. Hal itu dilakukan agar PWG
semakin jelas posisinya dalam rumpun teologia praktika. Untuk memperoleh
gembaran jelas tentang karakteristik atau ciri-ciri khas PWG, saya mengajak kita
memperhatikan apa yang dikemukakan oleh Alfred Schmidt. Ia mengemukakan ada
tujuh ciri PWG sebagai berikut :
1. Sikap tindakan yang terbuka terhadap perubahan-perubahan yang luas dan
mendalam di dalam masyarakat, dan menempatkan diri secara bertanggung jawab
dan dewasa, secara kritis dan kreatif, di dalam situasi yang baru. Ini berarti bagi
pelayanan gerejawi: bahwa orang-orang Kristen yang ada di tengah-tengah dan
yang menghadapi tantangan baru di dalam dunia dan masyarakat, menjadi sadar
bahwa mereka membutuhkan sikap dan tindakan yang terbuka. Mereka ditolong
untuk memiliki kelengkapan untuk memenuhi panggilannya selaku orang-orang
yang bertanggung jawab. Kita, orang percaya, terpanggil untuk “menjadi kawan
sekerja Allah di dalam pekerjaan-Nya” (1 Kor. 3:9). Apa yang diminta oleh Rasul
Paulus “untuk mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup”
(Rm. 12:1) tidak mampu diwujudkan sebab warga gereja itu belum pernah
memperoleh kesempatan dilatih untuk itu.
2. Sikap kedewasaan: Dengan kata dewasa dimaksudkan kemampuan seseorang
untuk mengungkapkan dengan perkataan sendiri, pikiran dan pengharapannya
serta memutuskan bagi dirinya sendiri jalan-jalan untuk membentuk masa depan
yang dipilihnya sendiri. Ini berarti bahwa ia tidak tergantung pada apa yang
dikatakan oleh orang lain, pada pikiran atau pimpinan orang lain. Orang yang
dewasa menjadi cukup bebas untuk melihat dan menilai tanda-tanda zaman
sendiri, untuk kemudian bersama dengan rekan-rekannya mampu memberikan
jawabnya yang khas. Cukup jelas bahwa pengertian ini mencakup juga segala
aspek social dan politis.
Kedewasaan manusia juga terdapat dalam hubungan antar manusia di mana
dipahami bahwa tidak seorang pun akan dewasa dalam sesuatu struktur otoriter
masyarakat. Dalam suatu struktur masyarakat feodal, di mana berlangsung
perintah dari atas ke bawah, kedewasaan tidak akan diperoleh melalui suatu
indoktrinasi. Maka tugas tenaga pembinaan ialah sebagai hamba yang
menyediakan diri, yang akan menolong dan menyaksikan kemuliaan Tuhan, tetapi
tidak dapat mewujudkan kedewasaan orang lain. Tugasnya bersifat
menyingkirkan hambatan-hambatan di jalan menuju kedewasaan, dari pada
bersifat membangun orang-orang yang dibina oleh Allah.
24. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 24
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
3. Ciri khas yang ketiga adalah menjadi mampu berpikir secara ekumenis, berpikir
inklusif. Dimensi inklusif tidak boleh dibatasi oleh bentuk-bentuk kepercayaan
Kristen, tetapi juga harus mencakupi bentuk-bentuk berbagai kepercayaan dan
agama lain yang berbeda-beda. Kita dibawa kepada kesadaran bahwa corak
kehidupan dan nasib manusia saling berkaitan satu sama lain. Dan bahwa umat
manusia di dunia ini merupakan suatu himpunan yang berada dalam suatu
pemahaman dan perasaan senasib.
Berpikir ekumenis berarti melihat seluruh anggota umat manusia sebagai sesame.
Kesejahteraan umat manusia di mana-mana harus mendorong untuk mengatasi
sikap mengisolisasi diri atau sikap nasionalisme yang picik. Secara realitis kita
harus memahami bahwa tugas mencapai tujuan agung itu tidak akan terlaksana
dan tujuan itu tidak akan tercapai tanpa kerja sama dari seluruh umat manusia
dengan melibatkan segala kemampuan dan kesediaannya.
4. Ciri khas keempat dari PWG adalah penyadaran dan penghadiran yang diberi
kepada manusia untuk mendorongnya kepada pengalaman kebebasan yang
tersedia itu. Berdasarkan kesaksian Alkitab, kebebasan manusia dapat dilihat dari
tiga aspek :
• Aspek pertama, kebebasan dari: ini berarti menjadi bebas dari keakuan.
Menurut Martin Luther inilah pusat utama dari dosa manusia. Bebas dari
keterbelengguan manusia dalam dosa, bebas dari keterpenjaraan pandangan
hidup yang mengekang orang pada usaha hanya mengurus kepentingan diri
sendiri. “Kebebasan dari” adalah anugerah yang diberikan: tetapi serentak
juga merupakan proses dalam membebaskan diri. Proses ini baru berakhir bila
kita memasuki atau beroleh “kebebasan untuk”.
• Aspek kedua, kebebasan untuk: diperoleh dan dipenuhi dalam pelayanan
kepada sesama manusia. Yaitu tindakan yang memperhatikan dan memandang
sesama manusia lebih mulia daripada kepentingan diri sendiri.
• Aspek ketiga, kebebasan dalam: terdapat pada surat Galatia yang
membicarakan tentang kemerdekaan manusia Kristen (Gal. 5:1-11).
Kemerdekaan Kristen dipenuhi dalam iman dan diwujudkan melalui tindakan-
tindakan berdasarkan kasih. Orang Kristen yang dibebaskan seyogianya
menjadi peka terhadap kebutuhan sesama manusia. Juga peka terhadap sikap
diri sendiri. Kebebasan yang sebenarnya adalah pertobatan manusia dalam
akar dan dasar kehidupannya sendiri.
5. Ciri khas kelima adalah mampu bekerja sama. Dalam pengalaman sehari-hari kita
menyadari betapa pentingnya bahwa kerja sama dipupuk dalam masyarakat, dan
bahwa sikap kerja sama harus dilatih sejak usia muda. Kerja sama dalam
perjalanan bersama-sama dewasa ini dan di masa depan adalah syarat mutlak
untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi manusia. Kerja sama harus
berdasarkan atas kepercayaan satu kepada yang lain, atas hokum dan keahlian dan
atas kemampuan memegang tanggung jawab. Kerja sama berarti bahwa kita harus
mementingkan diri kita sendiri secara seimbang dengan kepentingan orang lain
secara timbal balik. Saya akan mencapai kepentingan diri saya sendri jika itu juga
25. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 25
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
menyangkut kepentingan orang lain. Syarat utama dari kerja sama yang hakiki
adalah “Kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri” (Luk. 1:27).
6. Ciri khas yang keenam adalah bersedia dan mampu berpikir secara lugas
(zakelijk) atau perkara yang bersifat langsung pada pokok. Dengan berpikir lugas
dimaksudkan bahwa orang belajar dan menetrapkan sesuatu pelajaran (atau
sesuatu pemahaman) dengan memisahkan persoalan pokok dari persoalan pribadi.
Pendeta pada umumnya belum bersedia menerima kritik dari jemaat terhadap
khotbah-khotbahnya. Pendeta biasa menilai khotbahnya itu sama dengan Firman
Allah, identik dengan Firman. Padahal masalahnya bukanlah terletak pada taat
tidaknya Pendeta terhadap Firman Allah. Yang menjadi masalah adalah
kemampuan mengajar dan belajar untuk berpikir secara metodis, agar
mengungkapkan ketaatan kepada Firman Allah secara jelas, dan menterjemahkan
pengertian-pengertian agung dari Firman Allah ke dalam istilah-istilah sehari-
hari. Kemampuan berpikir secara lugas mengenai pokok persoalan adalah
termasuk juga kemampuan dan kesediaan untuk menerima dan menilai kritik,
serta mengakui kekurangan dan kemampuan sendiri.
7. Ciri ketujuh adalah sikap dan semangat dialogis. Dialog dimulai dengan dialog
antara Allah dan manusia. Dialog selalu berarti melibatkan Allah dan sesama
manusia ke dalam diri sendiri. Sikap dialogis pertama-tama berarti bahwa orang-
orang tidak hanya didengar, tetapi ada juga kesediaan mendengar dan bertukar
pikiran dengan sesame. Apa yang diperlukan sebetulnya adalah pelayanan
mendengar. Ini berarti menjadi peka terhadap pertanyaan orang lain, terhadap
pengharapan dan kekuatiran orang lain. Menjadi peka terhadap “suara dan jeritan
orang sengsara” (Ayub 34:28).
Orang yang bersikap dialogis akan menjadi kawan sekerja Allah dengan cara
yang istimewa. Dalam dialog kita memberi kesempatan kepada sesama kita untuk
melepaskan diri dari penjara monolog dan keakuan. Keakuan adalah sikap dan
mental yang hanya memikirkan diri sendiri semata-mata, malah mempergunakan
orang lain untuk kepentingan diri sendiri, dan hanya berputar-putar di sekitar
dirinya sendiri. Sikap dialogis akan menolong untuk melihat ketergantungan diri
sendiri dengan sesama di hadapan Allah.25
Kalau kita memperhatikan ketujuh karakteristik PWG yang dikemukakan oleh
Schmidt di atas, maka dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa PWG lebih tetap
diberikan kepada orang-orang dewasa. Materinya disusun secara fleksible dan
disesuaikan dengan kbutuhan actual dalam suatu konteks kehidupan.
25
Alfred Schmidt, Kawan Sekerja Allah (Jakarta: BPK Gunung Mulia untuk IOI-DGI), 12-27.
26. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 26
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
BAB VI
SENTRALITAS GEREJA DALAM PWG
Ketika kita mulai berbicara tentang pendidikan, dan atau pembinaan, biasanya
asosiasi berpikirnya langsung terarah pada lembaga-lembaga “sekolah”, lembaga-
lembaga kursus yang formal maupun non-formal. Padahal media atau konteks pendidikan
bisa dilakukan oleh keluarga (di rumah), gereja, sekolah, kursus-kursus, bahkan
lingkungan masyarakat di mana saja seseorang itu hadir. Masing-masing konteks
pendidikan mempunyai “core” tugasnya. Dalam kaitannya dengan pendidikan iman
Kristiani, di samping menjadi tugas utama dari pendidikan dalam keluarga, tetapi juga
menjadi tugas penting dari gereja. Karena itu pembinaan warga gereja adalah merupakan
wilayah tanggung jawab utama dari gereja, bukan keluarga, sekolah atau kursus, dll.
Karena itu, gereja tidak dibenarkan apabila melemparkan tanggung jawab itu kepada
institusi-institusi lain, seperti sekolah, dll.
Dalam realitas pelaksanaan tugas pelayanan gereja, khususnya di bidang PWG, belum
terlaksana secara komprehensif. Artinya bahwa bisa saja sebagian sudah terlaksana,
misalnya telah melakukan ibadah di gedung gereja yang diisi dengan pujian, kesaksian
umat dan kemudian mendengarkan khotbah pendeta. Tetapi sebenarnya itu barulah
merupakan sebagian kecil dari sekian banyak tugas pembinaan gereja terhadap umat yang
dipercayakan dan diperhadapkan Tuhan kepadanya. Pembinaan warga gereja seharusnya
bersifat komprehensif, yaitu menyentuh dan atau menjawab seluruh konteks kebutuhan
umat.
Dilandasi dengan pokok pikiran di atas, maka pada bagian ini, pertama-tama secara
khusus akan dibahas tentang pengertian gereja dan posisi sentralitasnya dalam
pelaksanaan tugas PWG. Asumsi dasarnya adalah jika pemahaman kita terhadap hakikat
gereja jelas dan tepat, maka itu akan menjadi modal serta sekaligus sebagai pemberi arah
yang akurat bagi pelaksanaan dan pencapaian sasaran (goal) PWG, baik dalam konteks
gereja lokal, sinodal maupun gereja dalam arti universal. Dilandasi dengan asumsi
tersebut, maka perlu dipaparkan beberapa point penting berikut ini :
a. Pengertian Gereja Secara Teologis
Tulisan ini tidak persiapkan untuk melakukan studi kata (word study) tentang
“gereja”, melainkan lebih diarahkan pada tataran pengertiannya; baik pengertian
teologis maupun pengertian praktis. Salah satu pengertian teologis tentang gereja,
diungkapkan oleh French L. Arrington dalam bukunya “Christian Doctrine; A
Pentecostal Perspective” : The Church is the community of faith. Where the word of
God is preached and received by faith there is the church.26 Tetapi pada sisi lain,
gereja dapat pula didefinisikan sebagai sebuah persekutuan yang diberi spesifikasi
atau konotasi yang khusus, yaitu sebagai persekutuan orang-orang percaya, yang
26
French L. Arrington, Christian Doctrine; A Pentacostal Perspective, Volume three,
(Tennessee: Pathway Press), 165
27. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 27
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
dipanggil, dipilih dan dikuduskan untuk menjadi berkat bagi semua orang atau
sesama manusia (bnd. Kej. 12:2-3; Kel. 19:5-6; Ul. 4: 20; 7:26; 14:2; 26:18; Tit. 214;
1Petr. 2:9). Dalam rangka panggilan, pilihan dan pengudusan (pengkhususan) inilah
PL berbicara tentang umat Allah (am Yahwe) yang di dalam PB diterjemahkan ek-
klesia, yaitu persekutuan orang-orang yang dipanggil keluar dari ikatan-ikatan lama
kemudian dikhususkan untuk menjadi berkat bagi semua orang. Di sini tampak
dengan jelas bahwa gereja merupakan persekutuan atau perkumpulan masyarakat
iman yang menurut iman Kristiani adalah masyarakat (siapa saja yang terdiri dari
orang-orang) yang telah menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juruselamatnya.
Secara teologis gereja dapat diartikan sebagai persekutuan yang lahir dari Allah,
karena ia merupakan buah tangan pekerjaan Roh Kudus. Itulah sebabnya,
kehadirannya di dunia ini mempunyai pengertian yang special, yaitu: sebagai “agen”
atau “mediator” berkat Allah bagi dunia ini.
b. Gereja adalah Orangnya
Dilandasi pemahaman pada point a di atas, maka saya ingin mengutip apa yang
dikemukakan oleh Dr. Theo Kobong, melalui tulisannya yang berjudul “Gereja
Bukanlah Gedungnya, Gereja Adalah Orangnya” dalam buku “Kepemimpinan dan
Pembinaan Warga Gereja. Ia secara jelas menguraikan bahwa gereja adalah
orangnya.27 Dari uraian terdahulu di atas kita sudah dapat memahami bahwa yang
dimaksudkan pertama-tama bukanlah gedungnya, melainkan gereja adalah orangnya.
Kita juga sudah memahami bahwa tugas dasar yang diberikan Allah kepada kita
adalah sama dengan tugas yang diberikan Allah kepada Abraham yaitu memeilihara
kehidupan. Memelihara kehidupan seperti yang dimaksudkan Allah tidak mungkin
dilakukan oleh gereja sebagai lembaga/institusi. Di dalam Alkitab, Allah tidak
berbicara kepada lembaga/institusi, melainkan kepada manusia-manusia, walaupun
Alkitab mempergunakan juga ilustrasi seperti bangunan (Ef. 2:21-22; 1 Petrus 2:5),
tubuh (1 Kor. 12), kawanan domba (Yoh. 21:15-17; 1 Petr. 5:2). Namun jelas bahwa
yang disapa melalui ilustrasi-ilustrasi (itu berarti ilustrasi di sini hanya diposisikan
sebagai sarana komunikasi yang komunikatif) itu adalah manusia-manusia yang telah
memberikan dirinya dirangkul oleh kasih Allah. Dengan demikian mau dikatakan
bahwa masing-masing umat Allah disapa sebagai bagian dari satu bangunan, satu
tubuh, satu kawanan domba, tetapi kepada masing-masing anggota telah diberikan
karunia yang berbeda-beda. Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lain
menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita (Roma 12:6). Setiap anggota
mempunyai fungsinya masing-masing (1 Kor. 12). Di dalam 1 Kor. 12:21 dyb. Paulus
mengatakan: mata tidak dapat berkata kepada tangan; aku tidak membutuhkan
engkau. Dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki, aku tidak membutuhkan engkau.
Malahan justru anggota-anggota tubuh yang menurut pemandangan kita kurang
terhormat, kita justru memberikan penghormatan khusus kepadanya. Demikian juga
terhadap anggota-anggota tubuh kita yang tidak elok, kita berikan perhatian khusus
kepadanya.
27
Sularso Sopater, ed., Seri Membangun Bangsa; Kepemimpinan dan Pembinaan Warga
Gereja (Jakarta: Sinar Harapan, 1998), 71-73
28. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 28
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
Di tempat lain Paulus berkata bahwa kita adalah satu tubuh di dalam Kristus.
Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lain menurut kasih karunia yang
dianugerahkan kepada kita: jika karunia itu adalah untuk bernubuat, baiklah kita
melakukannya sesuai dengan iman kita. Jika karunia untuk melayani, baiklah kita
melayani, jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar, jika karunia untuk
menasehati, baiklah kita menasehati. Karunia intelektual itu bermacam-macam,
karunia seni mungkin lebih bervariasi lagi, demikian juga karunia keterampilan tidak
kurang banyaknya. Singkatnya kehidupan ini mempunyai banyak segi yang sering
kita tidak sadari, namun apabila kita yakin bahwa kehidupan ini adalah ciptaan
pemberian Tuhan, maka kita harus pula sadari bahwa kehidupan ini adalah ciptaan
dan pemberian Tuhan, maka sebaiknya kita sadar bahwa kehidupan seperti itulah
yang harus kita pelihara dan kembangkan, masing-masing menurut talenta yang
dipercayakan kepadanya.
Dengan pemahaman di atas bahwa gereja/umat Allah dipanggil dan diberikan tugas
memelihara kehidupan, maka jelas bahwa gereja hanya bisa memelihara kehidupan
melalui anggota-anggotanya di setiap bidang kehidupan (artinya dalam multi
kompetensi) sesuai dengan kehendak Allah. Dengan kesadaran demikian, maka
gereja mau tidak mau mempunyai kewajiban untuk memperlengkapi anggota-
anggotanya untuk memelihara kehidupan itu. Untuk itulah Yesus Kristus sendiri
memberikan kepada gereja-Nya pejabat-pejabat/pelayan-pelayan khusus. Para pejabat
dan pelayan tersebut adalah primer dan terutama untuk memperlengkapi warga gereja
bagi suatu pekerjaan memelihara kehidupan yang mengacu kepada kerajaan Allah.
Jadi yang diperlengkapi adalah orangnya dan bukan gedungnya atau organisasinya,
atau kalau organisasinya dan gedungnya dibenahi, maka itu hanya untuk menunjang
usaha mengfungsikan anggota-anggotanya secara efektif. Jadi sekali lagi, starting
point, focusing point and finishing point adalah orangnya, bukan gedungnya. Di
sinilah tampak secara jelas pentingnya PWG.
c. Gereja Dalam Pemahaman Praktis
Menurut Lawrence O. Richards, dalam bukunya A Theology of Christian Education,
bahwa pemahaman mengenai hakikat, sifat dan tugas gereja yang kita anut, akan
sangat mempengaruhi pola pikir kita sendiri terhadap tugas gereja dalam pendidikan
atau pembinaan.28 Dilandasi dengan pengertian ini, maka pemahaman yang jelas oleh
umat, khususnya para “elite” gereja tentang gereja harus dirumuskan secara tepat dan
disosialisasikan. Menurut urgensinya, hal ini merupakan sesuatu yang tidak bisa lagi
ditunda-tunda. Karena apabila tidak, akan terjadi penyalahgunaan dan atau
pemanfaatan institusi gereja dengan label pelayanan demi mewujudkan ambisi
pribadi, kerakusan dan kepentingan pribadi atau kelompok-kelompok tertentu. Dan
kalau itu terjadi, akibatnya praktek dan perilaku sekuralisasi gereja terjadi. Gereja
dapat menjadi arena perebutan kekuasaan, pengumpulan kekayaan, penerusan
kerajaan, tempat perdagangan agama yang sangat populer, dll. Ada beberapa
28
Lawrence O. Richards, A Theology of Christian Education (Grands Rapid: Zondervan
Publishing House, 1975), 120.
29. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 29
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
pemahaman praktis yang dapat dilekatkan pada gereja, seperti yang diuraikan berikut
ini:
• Gereja sebagai suatu organisasi
Organisasi gereja tidak diuraikan secara tegas di dalam Perjanjian Baru.
Organisasi gereja disinggung hanya sedikit saja oleh Kristus dalam Matius 18,
ketika Ia berbicara tentang pembuktian fakta mengenai suatu perselisihan melalui
pemeriksaan bersama oleh jemaat. Ketika kekuasaan para rasul berlalu,
tampaknya organisasi kolektif yang menggantikannya. Sebagai contoh, dalam
Kisah Para Rasul 8 Petrus menentang Simon si tukang sihir berdasarkan
kekuasaan sepihak. Beberapa tahun kemudian, Rasul Paulus menulis kepada
jemaat di Korintus bahwa mereka mempunyai tanggung jawab bersama untuk
menghakimi orang-orang jahat yang ada di tengah-tengah mereka (1 Kor. 5:13).
Di dalam gereja mula-mula organisasi merupakan upaya menanggapi kebutuhan-
kebutuhan dan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh gereja. Sebagai contoh
yang paling jelas tentang pemilihan diaken dalam Kisah Para Rasul 6. Tetapi
dalam perkembangannya lebih lanjut, tidak bisa dihindari bahwa gereja dalam
perjalanan tugas dan tanggung jawab kesaksiannya menghadapi multi tugas
harus dikerjakannya, termasuk di dalamnya PWG. Hal inilah yang mendorong
gereja untuk harus menjadi suatu organisasi yang mampu menerapkan elemen-
elemen organisasi dan kepemimpinan secara benar dan relevan.
• Gereja sebagai suatu organisme
Untuk memahami gereja sebagai suatu organisme, ada baiknya kita mengutip apa
yang dikemukakan oleh William W. Menzies dalam bukunya “Doktrin Alkitab”.
Ia berkata bahwa “gereja lebih dari sekedar organisasi; gereja adalah organisme
yang hidup. Kepala Gereja adalah Yesus Kristus (Ef.1:22,23), yang memelihara
gereja, serta memberikan nhidup rohani kepadanya. Akan tetapi, organisme yang
hidup harus mempunyai struktur. Dalam dunia ini tidak ada yang lebih hebat
organisasinya daripada sel hidup yang paling sederhana. Demikian pula, gereja
adalah susunan bagian-bagian yang rapih dan tersusun, susunan yang ditemukan
bila menyelidiki pola gereja Rasuli. Struktur yang dinyatakan dalam Perjanjian
Baru sangat sederhana, namun prinsipnya ialah bahwa hanya organisasi yang
penting bagi kelangsungan kehidupan gereja harus dipakai. 29 Apa yang
dikemukakan oleh Menzies di atas dapat kita mengambil suatu kesimpulan bahwa
gereja memiliki dimensi illahi dan insani. Illahi karena lahir dari karya Roh
Kudus dan insani karena membutuhkan penataan dari manusia dalam suatu
realitasnya sebagai organisasi.
d. Kedudukan dan Tugas Ganda Gereja
• Kedudukan Gereja
Dalam rangka memahami kedudukan gereja, menarik apabila kita memperhatikan
apa yang Homrighausen katakan tentang gereja. Ia mengatakan, kedudukan gereja
29
William W. Menzies dan Stanley M. Horton, Doktrin Alkitab (Malang: Gandum Mas, 1998),
177.
30. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 30
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
harus dilihat dari tiga aspek, yaitu: gereja adalah pemberian Allah, gereja adalah
suatu organisasi di tengah-tengah masyarakat dan gereja merupakan suatu badan
yang melakukan fungsinya yang istimewa di antara umat manusia. 30 Dari tiga
aspek ini, khususnya aspek yang ketiga sangat terkait erat dengan tugas PWG.
Disebutkan sebagai tugas istimewa oleh karena tugas PWG dimandatkan Allah
bukan kepada lembaga-lembaga non-gereja, melainkan memang telah menjadi
salah satu tugas khusus gereja. Gerejalah yang harus bertanggung jawab terhadap
segala jenis pendidikan/pembinaan iman warga gereja. Apabila gereja melalaikan
tugas tersebut, maka ia telah melalaikan salah satu hakikat dirinya.
• Tugas Ganda Gereja Dalam PWG
Tugas gereja harus dipahami, dibangun dan dikembangkan dalam suatu dimensi
yang bersifat komprehensif. Tugas Gereja bukan hanya membimbing umat
untuk beriman dan memiliki hubungan dengan Tuhan, melalui kegiatan-kegiatan
pembinaan, seperti dalam bentuk khotbah-khotbah pada acara-acara kebaktian,
pemasyuran Injil, pendalaman-pendalaman Alkitab, dan lain-lain, tetapi harus
pula memperlengkapi dan mendorong umat berbuat sesuatu sesuai bidang
kemampuannya, agar menjadi berkat dalam suatu kehidupan konkret terhadap
sesamanya. Di sinilah tampak secara jelas pentingnya suatu proses pendidikan
atau pembinaan yang bersifat holistic (artinya pendidikan yang menyentuh
seluruh aspek hidup manusia, baik rohani maupun pengetahuan dan keterampilan
umum) dalam suatu gereja. Dengan demikian tugas pencerdasan warga gereja
adalah juga salah satu tugas pokok dari gereja itu sendiri. Hal ini senada dengan
apa yang dikatakan oleh Daniel Aleshire, ia mengatakan, salah satu (artinya
masih ada yang lain) maksud dari gereja adalah “the church must educate its
members”.31 Salah satu maksudnya adalah agar warga gereja menjadi warga yang
terdidik sehingga memahami secara benar isi imannya (content of the faith),
memahami secara benar apa yang benar dan salah, memahami dan mampu
mengkomunikasikan imannya ke dalam kehidupan konkrit, memahami dan
mampu melakukan sesuatu yang memberi makna bagi hidupnya dan hidup orang
lain.
Penekanan utama dalam proses belajar yang dijalankan bagi warga gereja,
hendaknya tidak merupakan suatu proses untuk memiliki sesuatu, melainkan lebih
diarahkan sebagai suatu proses untuk menjadi sesuatu. Hal ini tidak dimaksudkan
bahwa sertifikat yang kita dapatkan melalui suatu proses pendidikan tidak berarti
apa-apa, sehingga sebaiknya dibuang saja. Bukan itu yang dimaksud ! Sekali
lagi, bukan. Tetapi adalah benar bahwa apalah artinya kita memiliki sejumlah
sertifikat yang kita dapatkan dari berbagai lembaga pendidikan, baik yang
sifatnya formal maupun yang sifatnya non-formal, kalau ternyata hidup kita
hidupi ini ternyata tidak berguna secara maksimal, baik untuk diri kita sendiri
30
E.G. Homrighausen, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 53.
31
Bruce P. Powers, ed., Christian Education Handbook; Resources for Church Leaders
(Nashville: Broadman Press, 1981), 32.
31. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 31
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
maupun terhadap sesama. Karena itu, hendak diberi penekanan sekali lagi bahwa
yang jauh lebih terpenting adalah ketika hidup ini bisa menjadi sesuatu artinya
bahwa melalui kehidupan kita ada suatu manfaat yang dirasakan, baik oleh diri
kita maupun oleh sesama yang ada di sekitar kita.
e. Gereja Sebagai Pengembang Strategi Pembinaan
Gereja yang dilukiskan sebagai tubuh Kristus merupakan suatu organisme
Illahi yang terus menerus berkembang. Suatu organisme tidak pernah berhenti dalam
perkembangannya, karena perkembangan adalah tanda-tanda adanya suatu kehidupan
dalam organisme tersebut. Organisme yang bertumbuh itu perlu diatur dan ditata
pertumbuhannya (perkembangannya) agar ia bertumbuh atau berkembang secara
sehat sesuai dengan yang diharapkan. Gereja, selain sebagai organisme, ia juga
merupakan suatu organisasi yang dalam melaksanakan tugasnya harus tertata rapih
secara terstruktur sehingga tercapai pencapaian hasil yang maksimal.
Setiap organisasi apapun; organisasi pemerintahan, organisasi politik, organisasi
kemsyarakatan (termasuk di dalamnya organisasi gereja), organisasi bisnis, dll. di
dunia ini pasti bekerja dengan menggunakan pola strategi. Karena keberhasilan suatu
organisasi, sangat ditentukan pula oleh jenis strategi yang digunakan. Berkenaan
dengan tugas gereja sebagai pengembang strategi pembinaan, maka ada beberapa hal
terkait yang perlu dipaparkan sebagai berikut:
1. Menetapkan Profil Warga Gereja Yang Diharapkan
Ketika kita hendak melakukan suatu pembinaan terhadap warga gereja; pertama-
tama kita harus memunculkan pertanyaan tentang profil warga jemaat yang
bagaimana, yang diharapkan ? Karena dengan adanya pertanyaan seperti ini,
maka akan menjadi dasar dan sekaligus pemberi arah dalam keseluruhan
pengembangan strategi pembinaan yang akan dilakukan. Contoh, profil warga
jemaat yang diharapkan oleh Gereja Bethel Indonesia “adalah mempersiapkan
warga jemaat yang seperti Kristus” (ini hanya sebagai salah satu contoh saja).
Setelah profil hasil pembinaan ditetapkan, maka pertanyaan berikutnya adalah
kebutuhannya apa ? Pada saat kita berbicara tentang kebutuhan, maka ada
beberapa factor yang harus menjadi perhatian khusus, yaitu: analisis kebutuhan,
model-model analisis kebutuhan dan strategi-strategi analisis kebutuhan. Untuk
ketiga aspek ini, saya akan mengutip apa yang dikemukakan oleh Pdt. Japarlin
Marbun, dalam tulisannya yang berjudul “Gembala Jemaat Sebagai Pengembang
Program Gereja” dalam buku “Gnosis“; Merajut Pemahaman Transformasi
Gereja dan Pergumulan Teologi Kekinian”, sebuah jurnal teologi yang diterbitkan
oleh BPD GBI DKI Jakarta. Dalam tulisannya, beliau menekankan tiga aspek
dengan mendasarkan paparannya, seperti pada apa yang telah dikemukakan oleh
Kaufman, Briggs., Lesle., J.Walter., W.Wagner dan Alisson Rosset. Ia
32
menjelaskan tiga aspek sebagai berikut.
32
M. Ferry H. Kakiay, ed., Gnosis; Merajut Pemahaman Transformasi Gereja dan Pergumulan
Teologi Kekinian (Jakarta: BPD GBI DKI, 2003). Japarlin Marbun, dalam judul tulisannya: Gembala
32. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 32
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
• Analisis Kebutuhan
Dari sekian banyak kebutuhan yang mungkin dirasakan oleh seseorang, maka
tidak semuanya kebutuhan itu dapat dipenuhi pada suatu saat. Oleh karena itu
diperlukan adanya usaha untuk mengidentifikasi serta menentukan skala
prioritas mana yang lebih dahulu dari kebutuhan-kebutuhan tersebut yang
didahulukan. Kesenjangan yang dibutuhkan pemecahannya itulah yang
disebut masalah atau kekurangan dari yang seharusnya ada dengan yang ada
pada saat tertentu. Dengan demikian, maka kesenjangan yang dibutuhkan
pemecahannya disebut masalah. Salah satu contoh masalah, kalau kita
mengacu pada para profil warga jemaat yang diharapkan dari GBI, yaitu
“mempersiapkan warga jemaat yang seperti Kristus”, maka masalahnya
adalah seperti apa performance warga jemaat yang seperti Kristus ? Apa
indikasinya ?.
Menurut Kaufman, masalah adalah tidak lain dari “selected gap” atau
kesenjangan yang diprioritaskan pemecahannya berdasarkan kepentingannya.
Usaha untuk mengidetifikasi, mengukur kebutuhan dan menentukan prioritas
pemecahannya dikenal dengan istilah “need assessment” atau “discrepancy
analysis” atau analisis kebutuhan. Menurut Knirk & Pinola, analisis
kebutuhan adalah proses yang sistematis untuk membandingkan apa yang
telah ada dengan apa yang seharusnya. Sementara Alisson Rosset,
menjelaskan bahwa analisis kebutuhan adalah suatu kegiatan atau proses di
mana seseorang melakukan identifikasi atau mencari informasi tentang
kebutuhan-kebutuhan dan menentukan cara yang paling tepat untuk
menyelesaikannya. Dari beberapa pendapat di atas jelaslah bahwa: analisis
kebutuhan adalah proses menentukan jarak atau kesenjangan antara hasil yang
dicapai sekarang dengan hasil yang sesungguhnya diinginkan/dikehendaki
serta menetapkan kesenjangan tersebut dalam urutan skala prioritas. Jadi hasil
akhir dari analisis kebutuhan adalah ditemukannya sejumlah kesenjangan
antara kondisi yang ada dengan kondisi yang seharusnya ada serta skala
prioritas pemecahan berdasarkan tingkat urgensinya.
• Model-model Analisis Kebutuhan
Menurut Kaufman, model-model analisis kebutuhan dapat diklasifikasi
sebagai berikut:
a. Model Alpha
Analisis kebutuhan model alpha mendasarkan analisisnya dari bawah,
yaitu penekanannya pada identifikasi masalah berdasarkan pada tataran
kebutuhan. Model ini sangat cocok untuk perumusan dan pelaksanaan
kebijakan.
b. Model Beta
Jemaat Sebagai Pengembang Jemaat, hal. 90-95.
33. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 33
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
Analisis kebutuhan model beta memberikan penekanan pada fungsi kedua
yaitu penentuan syarat pemecahan dan pengidentifikasian alternative
pemecahan masalah. Jadi model kedua ini lebih banyak berhubungan
dengan organisasi yang berinisiatif mengadakan analisis kebutuhan.
c. Model Gamma
Analisis kebutuhan model gamma dilaksanakan dengan meminta
kesediaan orang-orang untuk menyusun urutan/menyeleksi tujuan umum
dan tujuan khusus yang ada agar ditemukan suatu daftar tujuan yang
disusun berurutan. Kemudian dipilih strategi-strategi pemecahan di antara
strategi-strategi yang telah ditentukan.
d. Model Delta
Analisis kebutuhan model delta dipergunakan untuk menentukan/
memutuskan apa yang akan dilakukan dan bagaimana cara melakukannya.
Jadi pada tahap ini metode diimplementasikan dengan peralatan yang telah
diseleksi, dengan kata lain tahap ini adalah tahap pelaksanaan di lapangan
dan manajemen penyelesaian tugas.
e. Model Epsilon
Model ini berhubungan dengan penentuan sejauhmana hasil yang
diinginkan telah dicapai. Dalam hal ini, suatu yang telah direncanakan,
dikembangkan dan digunakan dalam strategi operasional dinilai apakah
dapat bekerja atau tidak. Dalam tahap ini efektifitas dari metode dan
peralatan dapat ditentukan sehingga tahap ini sering juga disebut sebagai
evaluasi sumatif dari analisis kebutuhan.
f. Model Zeta
Model zeta adalah model yang dapat dipergunakan untuk mengadakan
pembaharuan atau perubahan system yang bersifat konstan dan
berkesinambungan sehingga dimungkinkan adanya revisi apabila
diperlukan.
• Strategi-strategi Analisis Kebutuhan
Strategis analisis kebutuhan dapat dihubungkan dengan pencarian pemecahan
dalam berbagai bidang yang dianggap memerlukan pemecahan terhadap
sesuatu kebutuhan. Dan jika analisis kebutuhan dihubungkan dengan kegiatan
pendidikan dan latihan, maka menurut Kaufman, dapat diidentifikasi tiga
strategi analisis kebutuhan, yaitu:
1. Strategi Klasik
Strategi klasik dimulai dari penentuan tujuan yang sifatnya umum
(generic), kemudian dilanjutkan dengan pengembangan dan selanjutnya
diadakan evaluasi program. Strategi ini dilakukan oleh pengembang
program pendidikan dan latihan.
2. Strategi Induktif
Strategi induktif adalah proses induksi yang bertolak dari pendapat patner
dan data empiric dari lapangan kemudian berdasarkan data tersebut
34. Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 34
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
dirumuskan tujuan umum yang diinginkan. Selanjutnya diukur jarak
antara tujuan umum dengan data yang didapat dari lapangan.
3. Strategi Deduktif
Strategi deduktif bertolak dari perumusan tujuan umum yang diinginkan
dilanjutkan dengan pengumpulan data dari lapangan. Selanjutnya diukur
perbedaan antara tujuan umum dengan data yang ada di lapangan. Dengan
demikian analisis kebutuhan yang berdasarkan strategi deduktif dapat
dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
• Pertama, dilakukan identifikasi tujuan-tujuan yang mungkin dapat
dicapai. Artinya dalam tahap ini akan didaftar semua tujuan yang
mungkin dicapai tanpa mempertimbangkan urgensinya. Tujuan-tujuan
tersebut dirumuskan secara operasional disertai dengan criteria
performance.
• Kedua, disusun tujuan-tujuan berdasarkan skala prioritas. Tujuan dari
kegiatan ini adalah menyusun/mengurutkan tujuan-tujuan yang telah
diidentifikasikan berdasarkan kepentingannya, sehingga akan kelihatan
urutan dari tujuan yang terpenting sampai kepada tujuan yang kurang
penting.
• Ketiga, mengidentifikasi kesenjangan antara performance yang ada
dengan performance yang diharapkan. Kegiatan pertama dalam tahap
ini ialah mendeskripkan tingkat performance dari objek system yang
ada, selanjutnya dibandingkan dengan performance sebagaimana
disyaratkan dalam tujuan.
Untuk lebih jelasnya, Kaufman mengidentifikasi sembilan langkah yang
perlu ditempuh dalam mengukur kebutuhan sebagai berikut:
• Pertama, menyusun rencana
• Kedua, mengidentifikasi gejala masalah berdasarkan permintaan
dari lembaga pendidikan dan latihan untuk mengadakan pengukuran
kebutuhan.
• Ketiga, menentukan ruang lingkup
• Keempat, mengidentifikasi peralatan dan prosedur penilaian
kebutuhan, selanjutnya memilih yang terbaik bekerja sama dengan
patner dalam melakukan perencanaan.
• Kelima, merumuskan keadaan yang ada sekarang dalam bentuk
perumusan performance yang spesifik dan dapat diukur.
• Keenam, Merumuskan kondisi yang diharapkan dalam rumusan
yang spesifik dan dapat diukur.
• Ketujuh, mempertemukan perbedaan pendapat yang ada antara
patner dengan peneliti dalam mengidentifikasi tujuan sehingga
diperoleh kesepakatan antara peserta pelatihan, pengguna lulusan dan
pengembang program pelatihan.