Makalah ini membahas tentang peran diakonia dalam gereja. Diakonia adalah pelayanan yang merupakan salah satu tugas utama gereja selain marturia dan koinonia. Makalah ini menjelaskan pengertian gereja dan diakonia serta bentuk-bentuk diakonia yang ada dalam gereja seperti diakonia karitatif, reformatif, dan transformatif."
1. PERAN DIAKONIA GEREJA
MAKALAH
Disusun Untuk memenuhi Persyaratan
Mata Kuliah Dogmatika IV
Rudy RobertoWalean, M.Th.
Disusun Oleh:
Yakub Herman Unsula
20198625
PRODI PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI MAWAR SARONLAMPUNG
Menggala, 06 Desember 2021
2. PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan bagi Tuhan Yesus Kristus yang oleh rahmat dan
anugerahnya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah peran diakonia dalam gereja,
memang ada begitu banyak masalah yang terjadi dalampenulisan makalah ini, tetapi oleh karena
anugerah Tuhan Yesus Kristus penulis dapat menulis dengan baik. Tuhan Yesus Kristus yang
selalu memberikan kekuatan dan kesehatan yang baik, sehingga penulisan ini dapat di selesaikan
dengan baik.
Dalam penulisan makalah ini, penulis berharap para pembaca dapat membaca dengan
baik dan mencermati setiap peranan diakonia dalam ggereja yang telah di paparkan, supaya kita
dalam menjalani pelayanan kita di gereja maupun di luar gerejadapat menjalankannya dengan
sebaik mungkin yang sesuai dengan kehendak Tuhan Yesus Kristus.
Penulis juga berdoa agar setiap yang membaca makalah ini di berikan iluminasi yang
dari pada Tuhan Yesus Kristus, sehingga ketika ia mmebaca dapat mencerahkan pikirannya dan
dapat mengaplikasikannya dengan baik dalam pelayanannya di dalam gereja maupun diluar
gereja.
Terimakasih Tuhan Memberkati
3. DAFTAR ISI
PRAKATA ..................................................................................................................................
DAFTAR ISI ...............................................................................................................................
BAB I Pendahuluan.....................................................................................................................
a. Latar Belakang.................................................................................................................
b. Rumusan .........................................................................................................................
c. Tujuan .............................................................................................................................
BAB II Arti Diakonia dan Gereja................................................................................................
A. Pengertian Gereja.............................................................................................................
a. Arti gereja dalam bahasa Inggris ...............................................................................
b. Kata Yunani...............................................................................................................
c. Gereja merupakan kehendak Allah............................................................................
B. Pengertian Diakonia.........................................................................................................
a. Douleuein...................................................................................................................
b. Leitreuein...................................................................................................................
c. Leitourgein.................................................................................................................
d. Therapeuein ...............................................................................................................
e. Huperetein..................................................................................................................
BAB III Peran Diakonia Gereja...................................................................................................
A. Bentuk-Bentuk Diakonia Gereja......................................................................................
a. Diakonia Karitatif ......................................................................................................
b. Diakonia Reformatif ..................................................................................................
c. Diakonia Transformatif .............................................................................................
BAB IV Penutup..........................................................................................................................
Kesimpulan..................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................
4. BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu dari tri tugas gereja adalah diakonia (selebihnya marturia dan koinonia).
Secara singkat, diakonia dapat berarti melayani. Tentu tidaklah sulit bagi orang Kristen
menemukan atau mendengar kata melayani atau pelayanan. Tanya saja kepada pendeta yang
akan bertugas berkhotbah pada hari Minggu kalau tidak salah beliau akan menjawab
“pelayanan”. Atau kepada mahasiswa teologi yang diberikan tugas pada kebaktian kampus-
kalau tidak salah juga-baliau akan menjawab “melayani”.
Namun perlu dipahami bahwa bergereja dan berdiakonia bukanlah semudah yang
terucapkan dengan kata-kata. Lebih dari itu, bergereja dan berdiakonia memiliki makna yang
dalam dan cukup menantang untuk dilakukan orang-orang Kristen. Dalam perspektif Perjanjian
Baru, diakonia mendapat posisi penting sampai-sampai orang yang melaksanakan diakonia
tersebut pun harus dipilih dan tugasnya pun diberikan khusus. Selain itu, masalah yang timbul
juga adalah, mengapa ada beberapa Gereja yang tidak mempunyai diaken untuk mengerjakan
tugas diakonia Gereja itu sendiri atau tugas itu dilimpahkan kepada para Penatua atau pendeta
sendiri. Syarat-syarat untuk menjadi diaken (orang yang mengerjakan diakonia/ pelaku
diakonia) harus ditetapkan (lih. Kis. 6:1-7).
B. Rumusan Masalah
a. Apa itu Gereja?
b. Apa itu Diakonia?
c. Apa itu bentuk-bentuk diakonia gereja?
C. Tujuan Masalah
a. Supaya kita memahami dan mengerti apa itu gereja
b. Supaya kita memahami dan mengerti serta menunjukan sikap diakonia yang benar
c. Supaya kita mengetahui bentuk-bentuk diakonia gereja
5. BAB II
HAKIKAT DIAKONIA DAN GEREJA
A. Pengertian Gereja
a. Arti Gereja dalam Bahasa Inggris
Kata gereja dalam bahasa Inggris merupakan salah satu kata yang paling banyak
disalahgunakan dan disalahartikan dalam kosa kata abad 20. Sayangnya, seperti yang dialami
oleh Caesar, sahabat justru lebih merugikan daripada musuh. Ada empat kegunaan yang biasa
dipakai oleh banyak orang Kristen untuk kata gereja, tentu saja tanpa dengan sengaja berusaha
untuk melepaskan kata itu dari konteks alkitabiahnya yang benar.
Gedung. Banyak orang yang menunjuk kepada gedung tempat anggota jemaat bersekutu
sebagai “gereja.” Seorang suami akan berkata kepada sang istrinya, “Aku akan ke gerejauntuk
mengambil topiku yang tertinggal setelah ibadah tadi pagi,” dengan yakin bahwa tidak akan ada
orang lain di gedung itu bila ia tiba di sana.
Denominasi. Sudah sangat umum untuk berbicara tentang kumpulan gereja-gereja yang
menggabungkan diri dalam semacam organisasi atau perkumpulan seperti “gereja Baptis,”
“Gereja Metodis,” atau “gereja Protestan.”
Gereja Universal. Gereja universal menunjuk pada seluruh anggota tubuh Kristus di
segala tempat dan meliputi segala usia. Beberapa ahli teologi menyebut ini sebagai “gereja yang
tak kelihatan,” tetapi sebetulnya gereja tidak pernah tidak kelihatan.
Gereja Lokal. Gereja lokal adalah perwakilan gereja universal yang berada di daerah
geografis ttertentu. Kata kerja dengan arti inilah yang paling banyak dipakai disepanjang buku
ini.
Dari empat penggunaan umum kata gereja yang disebutkan diatas, hanya dua yang
sesuai dengan Alkitab. Dua yang pertama talh berkembang dalam bahasa goloongan-golongan
tertentu selama tahun-tahun gerejawi. Belum tentu penggunaan kata gereja untuk hal-hal yang
ini merupakan kesalahan besar kecuali kalau dalam penggunaan itu kita lupa bahwa dalam
Perjanjian Baru kata gereja selalu menunjuk pada orang-orang. Hanya penggunaan ketiga dan
6. empat, universal, dan lokal, yang sesuai dengan pengguanaan konsep gereja berdasarkan
Alkitab.
b. Kata Yunani
Kata Yunani yang digunakan untuk menunjukan gereja, entah itu gereja universal atau
gereja lokal, adalah ecclesia. Bagi orang Yunani kata ini berarti sekumpulan warga negara yang
bebas; akan tetapi bagi orang Yahudi kata ini lebih mempunyai konotasi teokratis. Dalam
Perjanjian Baru kata gereja mempunyai tiga kegunaan dasar:
1. Perhimpunan politik dari warga negara yang bebas. Kata ecclesia muncul dengan
konteks ini dalam Kisah Para Rasul 19;39, 40. Kata Inggris yang digunakan dalam
terjemahan Alkitab yang sah adalah kata assembly, yang cukup tepat untuk
menggambarkan situasinya. Allah telah melakukan berbagai mukjizat melalui Paulus di
Efesus, lalu Demetrius, salah seorang tukang perak, merasa takut bahwa dewa penolong
mereka berada dalam bahaya sebab semakin banyak orang menjadi percaya kepada Injil
Kristtus. Dalam kekacauan yang kemudian timbul, kekerasan massa dicegah oleh
panitera kota. Sangat menarik untuk di perhatikan bahwa ketika massa sedang benar-
benar kacau dan ketika massa secara resmi dibubarkan oleh panitera kota, kumpulan
massa tersebut di sebut ecclesia.
2. Perhimpunan orang-orang Yahudi dalam Perjanjian Lama. Sebelum mati sebagai martir,
Stefanus berkhotbah tentang Musa dan “sidang jemaah di padang gurun” (Kis. 7:38).
Jelas kata ecclesia dalam konteks ini bukan menunjuk kepada jemaat Perjanjian Baru,
melainkan berbicara secara umum tentang jemaat atau kumpulan orang di padang gurun
di bawah kepemimpinan Musa.
3. Gereja Kristen. Hampir semua bagian Perjanjian Baru (kecuali ayat-ayat dalam 2 hal
yang disebutkan di atas) menguraikan tentang gereja Kristen dalam bentuknya yang
lokal maupun universal. Karena konsep ini sangat penting, orang tidak dapat memahami
dengan benar doktrin tentang gereja tanpa mengerti sepenuhnya dua kegunaan kata
ecclesia ini. Gereja universal hanya berisi orang-orang percaya sejati, sedangkan gereja
7. lokal dapat meliputi orang-orang Kristen yang mengaku Kristen, tetapi yang belum
mengalami kelahiran kembali.1
Gereja adalah persekutuan orang-orang yang dipanggil Allah keluar dari gelap kepada
terang Kristus yang ajaib (1 Ptr. 2:9-10). Gereja juga adalah lembaga atau intitusi rohani yang
anggota-anggotanya hidup dalam kasih Allah dan taat melaksanakan firman Tuhan. Dalam
Alkitab, ada beberapa sebutan untuk gereja yaitu:
1. Tubuh Kristus (Ef. 5:23-32)
2. Bait Allah (1 Kor. 3:16-17, Ef. 2:20-22)
3. Imamat yang rajani (1 Ptr. 2:9, Why. 1:6; 5:10)
4. Umat kepunyaan Allah (1 Ptr. 2:9)
5. Jemaat Allah (Kis. 20:28, 1 Tim. 3:15)
6. Jemaat orang-orang kudus (1: Kor. 14:34)
7. Mempelai Kristus (Mat. 25:6, 2 Kor. 11:2)
8. Manusia baru (Ef. 2:14-15)
9. Jemaat anak-anak sulung (Ibr. 12:23)
10. Bangunan Allah (1 Kor. 3:9, Ef. 2:20-22)
11. Kawanan domba Allah (Yoh. 10, Kis. 20:28, 1 Ptr. 5:2)
12. Anggota keluarga Allah (Ef. 2:19)
13. Jemaat Kristus (Mat. 16:18, Rm. 16:16).2
c. Gereja merupakan Kehendak Allah
Rencana Allah untuk manusia dimulai dari Kitab Kejadian 1:26-28, yang berbunyi:
Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita,
supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak
dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah
menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah di ciptakan-Nya dia,
laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak;
1 Kenneth O. Gangel, Membina pemimpin Pendidikan Kristen, (Malang: Gandum Mas,2001), 23-24
2 Selvester M. Tacoy, M.Div, Kamus Pintar Alkitab, (Bandung: Kalam Hidup, 2012), 116
8. penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di lautdan burung-burung di
udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”
Dalam ayat ini ditunjuk pertama kali rencana Allah kepada pribadi Adam, yaitu untuk
berkuasa atas seluruh bumi, tetapi dalam tahap berikutnya Allah berbicara dalam komunitas,
yaitu Adam dan Hawa, untuk menyempurnakan atau memperjelas apa yang Tuhan inginkan,
yaitu beranak cucu, bertambah banyak, penuhilah bumi, taklukan dan kuasai bumi.
Gereja merupakan suatu komunitas yang terikat janji, dengan visi di dalamnya dan setiap
pribadi dalam komunitas tersebut mempunyai komitmen pada visi tersebut; di dalamnya
terdapat fellowship, leadership, dan discipline atau discipleship. Jadi, gereja tidak lagi berurusan
dengan gedung, tanda salib, organisasi, fasilitas, jumlah jemaat, hari Minggu, liturgi, atau
pendeta. Ada atau tidak semuanya itu bukan masalah; ada puji Tuhan, tidak ada juga puji
Tuhan.3
B. Hakekat Diakonia
Secara harafiah, kata diakonia berarti memberi pertolongan atau pelayanan. Dalam
bahasa Ibrani pertolongan, penolong, “ezer” dalam Kej. 2:18, 20; Mzm. 121:1. Diakonia dalam
bahasa Ibrani disebut “syeret” yang artinya “melayani.” Dan dalam terjemahan bahasa Yunani,
kata diakonia disebutkan diakonia (pelayanan), diakonein (melayani), dan diakonos (pelayan).
Istilah diakonia sebenarnya, sudah terlihat sejak dari Perjanjian lama. Dalam Kitab
Kejadian jelas dikatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada menjadi
ada (Ex Nihilo) dan semua yang diciptakan Allah sungguh amat baik (Kej. 1:10-31). Allah juga
membuktikan pemeliharaan-Nya secara khusus ditujukan kepada manusia yaitu sebagai
pelayanan. Manusia sebagai wakil Allah untuk melayani-Nya dalam mengurus bumi dan isinya.
Inilah panggilan pertama bagi manusia untuk melayani dan sebagai manusia ciptaan Tuhan,
seharusnya ia melayani. Pelayanan Allah bagi dunia terfokus kepada bangsa Israel sebagai karya
penyelamatan-Nya. Dalam keluhan bangsa-Nya, Allah juga mendengarkan seruan mereka,
Allah memperdulikan orang Israel dan menyatakan keselamatan serta penebusan. Pembebasan
3 David Ariano, Gereja Rumah Mengembalikan Gereja Pada Jati Dirinya, (Jakarta: Yayasan Pekabaran
Injil, 2002), 3-5.
9. ini bertujuan supaya bangsa yang sudah dibebaskan melayani Allah dalam kebebasannya dan
menjawab kasih-Nya dengan belas kasih.
Dalam Perjanjian Baru, di samping kata-kata ini terdapat 5 kata lain untuk melayani,
masing-masing dengan nuansa dan arti tersendiri, yang dalam terjemahan-terjemahan Alkitab
kita pada umumnya diterjemahkan dengan kata melayani yaitu:
a. Douleuein, yaitu melayani sebagai budak. Kata ini terutama menunjukkan arti
ketergantungan dari orang yang melayani. Orang Yunani sangat tidak menyukai kata ini.
Orang baru menjadi manusia jika ia dalam keadaan bebas. Perjanjian Baru, mula-mula
memakai kata ini dalam arti biasa sesuai dengan keadaan masyarakat pada masa itu. Di
samping itu, kata ini juga mendapat arti religius. Orang Kristen adalah budak Tuhan Allah
atau hamba Kristus Yesus (Rom. 1:1). Itu sesungguhnya merupakan suatu gelar
kehormatan. Seorang Kristen tidak melakukan keinginan dan rencananya sendiri, tetapi
keinginan dan rencana Tuhan Yesus yang telah melepaskannya dari belenggu dosa dan
dengan demikian sudah membebaskannya.
b. Leitreuein, yaitu melayani untuk uang. Kata bendanya latreia (pelayanan yang diupah)
juga dipakai dalam pemujaan dewa-dewa. Dalam terjemahan Yunani dalam PL, yaitu
Septuaginta (LXX), kata ini terdapat kurang lebih 90 kali, pada umumnya untuk melayani
Tuhan Allah dan pada khususnya untuk pelayanan persembahan . Juga dalam Perjanjian
Baru, kata ini menunjukkan pelayanan untuk Tuhan Allah atau dewa-dewa, tidak pernah
untuk saling melayani manusia. Roma 12:1 menyebutkan logike latreia (ibadah yang
sejati). Melayani Tuhan dengan tubuh, yaitu dengan diri sendiri dalam keberadaan yang
sebenarnya adalah ibadah yang sesungguhnya dalam hubungan baru antar Kristus dan
manusia.
c. Leitourgein yaitu dalam bahasa Yunani digunakan untuk pelayanan umum bagi
kesejahteraan rakyat dan negara. Dalam LXX arti sosial politik ini terutama dipakai di
lingkungan pelayanan di kuil-kuil. Dalam Perjanjian Baru (khususnya surat Ibrani), kata
ini menunjukkan kepada pekerjaan Imam besar Yesus Kristus. Kemudian dalam Roma
15:27 dan 2 Kor. 9:12, kata ini dipakai untuk kolekte dari orang Kristen asal kafir (suatu
10. perbuatan diakonal) untuk orang miskin di Yerusalem. Dari kata inilah berasal kata liturgi,
yaitu suatu kata ibadah dalam peretemuan jemaat.
d. Therapeuein yaitu menggarisbawahi kesiapan untuk melakukan pelayanan ini sebaik
mungkin. Kata ini juga di tempat lain, dipakai sebagai sinonim dari menyembuhkan.
e. Huperetein yaitu menunjukkan suatu hubungan kerja terutama relasi dengan orang untuk
siapa pekerjaan itu dilakukan. Kata ini berarti si pelaksana memperhatikan instruksi si
pemberi kerja.
Dari semua kata di atas yang artinya saling berkaitan, kelompok
kata diakonein mempunyai nuansa khusus, mengenai pelayanan antar sesama yang sangat
pribadi sifatnya. Kata-kata tersebut di atas di sana-sini menunjukkan arti diakonal. Ada
hubungan antara liturgi dan diakonia, sementara therapeuo dalam arti perawatan orang sakit erat
kaitannya dengan apa yang dimaksudkan dengan diakonia.4
4 https://hesron89.wordpress.com/2013/05/03/gereja-dan-diakonia/. Diakses pada tanggal 26 November
2021, 09:22 WIB.
11. BAB III
PERAN DIAKONIA GEREJA
A. Bentuk-bentuk Diakonia Gereja
Diakonia sebagai pelayanan kasih tidak lagi menjadi monopoli kegiatan institusi gereja.
Tetapi telah dilakukan oleh lembaga pelayanan Kristen. Bentuk dan cara diakonia yang
dilakukan oleh organisasi sosial Kristen telah berkembang lebih maju dan cepat daripada
dilakukannya oleh institusi gereja. Bicara tentang pelayanan gereja dalam pemberdayaan
anggotanya, bahkan sampai menyentuh kepentingan masyarakat luas, serta membangun kualitas
kehidupan manusia yang lebih baik, dapat digolongkan dalam tiga model pendekatan pelayanan
karitatif, reformatif dan transformatif.
a Diakonia Karitatif
Diakonia Karitatif berasal dari kata charity (Inggris) yang berarti belas kasihan.
Dikaonia ini merupakan bentuk diakonia yang paling tua yang dipraktekkan oleh gereja dan
pekerja sosial. Diwujudkan dalam bentuk pemberian makanan, pakaian untuk orang miskin,
menghibur orang sakit dan perbuatan amal kebajikan lainya. Model ini mendapat dukungan
gereja, karena dapat memberi manfaat yang dapat terlihat langsung, tidak ada resiko, sebab akan
didukung oleh penguasa, memberikan penampilan yang baik terhadap si pemberi, memusatkan
perhatian pada hubungan pribadi, misalnya merespon beasiswa/bantuan uang untuk anak,
menciptakan hubungan subjek-subjek (ketergantungannya) dan status quo.
Diakonia Karitatif merupakan produk dan perkembangan dari industrialisasi di Eropa
dan Amerika Utara (abad ke-19), disebarkan oleh misi dan zending selama masa penjajahan dan
didukung oleh pemerintah penjajah namun sangat dikecam oleh golongan nasionalis dan
kelompok agama lainnya di negeri jajahan, diakonia karitatif cenderung mempertahankan status
quo, ideologi, dan teologinya, karena kemiskinan tidak terhindarkan, karena situasi dan
ketidakmampuan yang bersangkutan, percaya bahwa melalui kerja keras seseorang dapat
memperbaiki kesejahteraannya, bukan perubahan sosial, mendesak perlunya tanggung jawab
moral dari yang kaya untuk melakukan amal demi mengurangi kemiskinan, pembenaran
12. pengangguran “sebagian kecil kekayaan yang terbatas” untuk mereka yang miskin dan
menganggap harta milik mereka adalah halal dan sebagai pemberian Allah.
Diakonia karitatif disebarkan ke seluruh dunia oleh badan misi dan zending selama masa
penjajahan. Diakonia ini sangat didukung oleh pemerintah penjajah tetapi sangat dikecam oleh
golongan kritis dan kelompok agama lainnya di negeri jajahan. Menurut Woodwart diakonia
karitatif cenderung mempertahankan ideologi dan teologi status quo, karena kemiskinan tidak
terhindarkan yang disebabkan situasi dan ketidakmampuan yang bersangkutan, percaya bahwa
melalui kerja keras seseorang dapat memperbaiki kesejahteraannya bukan melalui perubahan
sosial, mendesak perlunya tanggungjawab moral dari yang kaya untuk melakukan amal demi
mengurangi kemiskinan.
b Diakonia Reformatif
Kata reformatif berasal dari kata Inggris yaitu Reform (membentuk ulang atau
membaharui). Dalam hal ini Diakonia berkaitan dengan usaha membentuk kembali
membaharui, atau memperbaiki situasi hidup dari kelompok yang hendak ditolong sehingga ia
bukan sekedar mendapat makanan tetapi lebih dari itu ia bisa mandiri dalam mengusahakan
kebutuhan hidupnya. Latar belakang diakonia reformatif di mulai dalam mengurangi
ketegangan Perang Dingin antara Blok Timur dan Barat, anggota PBB sepakat atas perlunya
memberikan perhatian pembangunan di negara-negara yang baru merdeka. Dengan
pembangunan, kemiskinan dan kelaparan di dunia diharapkan dapat diatasi melalui
pertumbuhan ekonomi. Ideologi pembangunan merupakan ideologi yang muncul di tengah
Perang Dingin ketika terjadi persaingan antara kapitalisme dan komunisme.
Ideologi pembangunan dapat dianggap sebagai ideologi untuk menghindari semangat
revolusi melawan kapitalisme dan kolonialisme di negara yang sedang berkembang. Ideologi
pembangunan ditawarkan sebagai ideologi alternatif untuk mengurangi kemiskinan di Dunia
Ketiga. Setelah berjalan kurang lebih dua dekade, pembangunan tidak menghasilkan
kesejahtraan dan keadilan, tetapi justru yang sebaliknya yang terjadi. Jurang pemisah antara
kaya dan miskin dirasakan di kota dan di desa. Pembangunan sering diartikan sebagai
modernisasi dan westernisasi, di mana kesempatan kerja bagi rakyat kecil semakin sempit. Hasil
13. pembangunan selama dua dekade justru menghilangkan kesempatan pekerja tradisional. Dalam
suasana pembangunan inilah Gereja-Gereja ikut berpartisipasi dalam pembangunan.
Pembangunan yang terjadi selama lebih dari dua dekade tidak menghasilkan
kesejahteraan dan keadilan, melainkan permusuhan, kemiskinan dan ketidakadilan.
Pembangunan telah menjadi suatu ideologi untuk menekan hak asasi dan martabat manusia pada
saat itu. Demi pembangunan harus ada stabilitas. Demi stabilitas segala bentuk kritik sosial
harus ditiadakan. Demi pembangunan tanah petani harus dikorbankan untuk proyek industri dan
perumahan mewah. Demi pembangunan dan stabilitas tuntutan gaji dan pemogokan harus
ditiadakan. Demi stabilitas, perlu tiadakan hukum darurat militer dan penahanan tanpa proses
pengadilan melalui undang-undang keamanan dalam negeri.
Diakonia reformatif yang lebih dikenal sebagai diakonia pembangunan muncul dalam
era pembangunan. Kesadaran baru dari gereja-gereja untuk melakukan diakonia reformatif
muncul seiring dengan kesadaran untuk berpartisipasi dalam pembangunan yaitu pada saat
Sidang Raya Dewan Gereja se-Dunia (DGID) IV di Upsalla, Swedia pada tahun 1967. Sidang
Raya Unpaila mendesak agar negara-negara kaya di Utara bersedia memberikan bantuan
ekonomi dan teknologi bagi negara-negara miskin di Selatan.
Diakonia reformatif ini lebih menekankan pada aspek pembangunan, pendekatan yang
dilakukan adalah dengan community development, seperti pembangunan pusat kesehatan,
penyuluhan, bimas, dan koperasi. Karakteristik diakonia ini dapat dilihat sebagai berikut,
pertama, lebih berorientasi pada pembangunan lembaga-lembaga formal, tanpa perombakan
struktur dan sistem yang ada, kedua, sudah menggunakan analisis-kultural, namun tidak
menggunakan analisis-struktural, dan yang ketiga, pendekatan pelayanan ini masih bersifat
topdown, dalam model ini masyarakat belum sepenuhnya menjadi pelaku sejarah yang
menentukan masa depanya sendiri.
Diakonia karitatif sering digambarkan sebagai tindakan belas kasihan pada orang yang
lapar dengan memberi sepotong ikan, sedangkan diakonia reformatif sering digambarkan
dengan menolong orang lapar dengan memberi alat pancing dan mengajar memancing.
Diakonia pembangunan atau reformatif bisa dikatakan tidak mampu menyelesaikan kemiskinan
14. rakyat, sebab ia hanya memberi perhatian pada pertumbuhan ekonomi, bantuan modal, dan
teknik, tetapi mengabaikan sumber kemiskinan, yaitu ketidakadilan dan pemerataan. Seiring
dengan perkembangan teologi dan ideologi pembangunan, diakonia gereja bergeser dari
diakonia karitatif menjadi diakonia reformatif/pembangunan.
Diakonia tidak lagi sekedar memberikan bantuan pangan dan pakaian tetapi mulai
memberikan perhatian pada penyelenggaraan kursus keterampilan, pemberian atau pinjaman
modal pada kelompok masyarakat. Mengatasi kemiskinan dengan asumsi kurang teknologi
(keterampilan) dan modal menjadi alasan dan dasar diakonia reformatif/pembangunan. Sumber
kemiskinan hanya dilihat sebagai akibat kebodohan, kemalasan, keterampilan/modal yang
kurang, dan alam yang tidak subur. Kemiskinan tidak dilihat sebagai akibat tatanan sosial yang
tidak adil.
c Diakonia Transformatif
Pada pembahasan sebelumnya diakonia karitatif digambarkan sebagai pelayanan
memberikan ikan pada orang yang lapar, sedangkan reformatif atau pembangunan adalah
pelayanan memberikan pancing dan mengajarkan memancing, maka diakonia transformatif atau
pembebasan digambarkan sebagai pelayanan mencelikkan mata yang buta dan memampukan
kaki seseorang untuk kuat berjalan. Pemberian pancing dan ketrampilan memancing tidaklah
berguna bila sungai-sungai dan laut sudah dimonopoli oleh orang-orang yang serakah. Rakyat
kecil yang buta hukum serta mengalami kelumpuhan semangat berjuang, perlu dilayani, yaitu
dengan menyadarkan hak-hak mereka. Mereka juga butuh dorongan dan semangat untuk
percaya pada diri sendiri.
Bahkan kenyataannya dibeberapa negara, pembangunan yang menekankan
pertumbuhan ekonomi hanya menciptakan kemiskinan baru dan memperluas gap antara
kelompok orang kaya dan yang miskin, bahkan merusak lingkungan ekologis bumi untuk
kebutuhan jangka panjang muncul sebagai alternatif ketiga menjawab permasalahan kemiskinan
dan ketidakadilan struktural yang muncul di permukaan. Sejarah lahirnya diakonia transformatif
dipelopori oleh Gereja Amerika Latin mencari jawaban atas kemiskinan yang sangat parah di
sana. Asumsi yang mendasari pelayanan ini adalah kalau ada orang lapar, tidak cukup diberi
15. roti, sebab besok ia akan datang kembali untuk meminta roti (menghapus mental
ketergantungan); juga tidak cukup, hanya diberi pancing atau pacul, karena masalahnya terletak
pada petyanyaan, di mana mereka dapat menggali dan mengolah tanah? Bila tanah dan laut
dikuasai kaum pemilik modal yang mempunyai kapital? Karena itu berilah dia hak hidup
melalui pendampingan dan perbedayaan bagi mereka.5
Tujuan Pelayanan
Diakonia Transformatif bertujuan untuk mewujudkan perubahan total dalam fungsi dan
penampilan kehidupan bermasyarakat, yakni perubahan yang terjadi dalam seluruh aspek
kehidupan manusia (aspek politik, sosial, dan ekonomi), dan juga membebaskan rakyat kecil
dari belenggu ketertindasan struktural yang tidak adil. Selain itu, tujuan jangka panjang dari
bentuk diakonia seperti ini ialah perubahan sosial budaya (socio-culture transformation) dan
politik jangka panjang. Bentuk diakonia seperti ini ditujukan bagi masyarakat yang
terdiskriminasi, tersingkirkan, dan terbuang dari tatanan sosial-masyarakat.
Fokus Pelayanan
Fokus pelayanan Diakonia Transformatif ini mengarah pada rakyat yang adalah sumber
sejarah. Maka dari itu, konten pelayanannya lebih bersifat preventif (pencegahan), menjunjung
tinggi keadilan, mewadahi partisipasi rakyat, menganalisis persoalan kemiskinan dengan
kacamata sosial, melakukan penyadaran dan mengorganisasi rakyat. Partisipasi rakyat sangat
diperlukan dalam melakukan diakonia seperti ini karena rakyatlah sumber penentu berjalannya
transformasi kehidupan. Manfaat dari adanya partisipasi rakyat ialah:
1. Proyek transformasi akan mendarat dan dapat diterima oleh rakyat.
2. Rakyat dengan sukarela akan memberikan sumbangan tenaga dan material karena
mereka akan merasakan manfaat langsung dari proyek transformasi.
3. Rakyat akan terbuka pada perubahan serta terlatih dalam mengelola proyek.
4. Rakyat akan bertanggung jawab memelihara dan mengamankan proyek karena merasa
ikut memiliki.
5 https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13338/2/T2_752015013_BAB%20II.pdf. Diakses
pada tanggal26 November 2021, 09:45 WIB.
16. 5. Pengawasan proyek akan lebih efisien dan efektif.
Partisipasi rakyat dimulai dari sejak awal hingga berhasilnya bentuk diakonia ini terlaksana.
Tugas dan Risiko Pelayanan
Dalam melakukan Diakonia Transformatif ini, gereja memiliki tugas untuk
mendampingi, membimbing, mengarahkan dan memberdayakan kemampuan sekelompok
masyarakat tertentu. Meskipun seperti itu, pelaksanaan Diakonia Transformatif menuai dampak
buruk berupa ragam konflik dan risiko yang tinggi, karena para pelaku diakonia ini harus
berjuang melawan sistem yang tidak adil dan kekuasaan yang semena-mena. Selain itu,
pelaksanaan diakonia ini memerlukan waktu yang cukup lama karena dalam prosesnya
diperlukan pembenahan atas lingkaran sosial yang menyimpang dan yang menyebabkan
kekacauan serta ketertindasan.6
Dalam menjalankan peran diakonia dalam gereja dibutuhkan seorang pemimpin gereja
yang cakap dalam tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin gereja. Karena
tanggung jawab pelaksanaan pada akhirnya terletak pada pemimpin itu sendiri (walaupun ia
mungkin tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan tugas itu), keputusan-keputusan yang
menghasilkan pelaksanaan itu harus diberikan oleh orang yang memikul tanggung jawab.7 Oleh
sebab itu dibutuhkan seorang pemimpin yang benar-benar mempunyai hati hamba yang setia
untuk melayani orang lain sama seperti Kristus telah melayani kita.
Pemimpin gereja harus memberdayakan jemaat yang sedang dibinanya itu. Salah satu
strategi kita adalah apa yang kita kenal diakonia. Namun diakonia kita masih sangat karitatif
hanya pertolongan sementara saja. Kita memerlukan diakonia yang transformatif. Untuk
mengupayakan ini, kita perlu melakukan berbagai upaya, salah satunya memperjuangkan
keadilan secara struktural. Tidak mudah memang tetapi harus dijalankan dan jangan pernah
berpikir selesai tugas tersebut atau merasa puas dengan apa yang ada.8
6 https://id.wikipedia.org/wiki/Diakonia_Transformatif. Diakses pada tanggal26 November 2021, 01:00
WIB
7 Kenneth O. Gangel, 163
8 Dr. Japarlin Marbun, The Unfinished Task Tugas Yang Belum Selesai, (Jakarta: GBI Permata Bekasi,
2011), 35
17. BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pelayanan Diakonia adalah pelayanan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain
dengan melayani dengan segenap hati tanpa adanya paksaan dari orang disekitar kita. Akan
tetapi melayani disini adalah melayani dengan adanya belas kasihan kepada orang lain.
Melayani juga dapat berupa barang atau materi bisa juga waktu kita, tenaga kita bahkan harta
kita rela memberikan kepada orang lain, dengan dasar karena Tuhan Yesus terlebih dahulu
melayani kita sehinggah kita pun harus berbuat demikian terhadap orang lain.
Pelayanan diakonia dapat berjalan dengan baik apabila gereja mendukung penuh setiap
pelayanan yang ada digereja tersebut. Pelayanan diakonia dapat berjalan dengan baik apabila
adanya gerekan dari pemimpinya, tanpa tindakan dari seorang pemimpin maka segala program
sudah direncanakan tidak dapat berjalan dengan baik. Oleh sebab itu dibutuhkan pemimpin yang
berjiwa melayani dan bukan dilayani sehingga pelayanan diakonia ini dapat berjalan dengan
baik.
18. DAFTAR PUSTAKA
1. Gangel O. Kenneth, (2001), Membina pemimpin Pendidikan Kristen, Malang: Gandum
Mas.
2. Tacoy M. Selvester, (2012), Kamus Pintar Alkitab, Bandung: Kalam Hidup.
3. Ariano David, (2002), Gereja Rumah Mengembalikan Gereja Pada Jati Dirinya, Jakarta:
Yayasan Pekabaran Injil.
4. Marbun Japarlin, (2011), The Unfinished Task Tugas Yang Belum Selesai, Jakarta: GBI
Permata Bekasi.
5. https://hesron89.wordpress.com/2013/05/03/gereja-dan-diakonia/. Diakses pada tanggal
26 November 2021, 09:22 WIB.
6. https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13338/2/T2_752015013_BAB%20II.
pdf. Diakses pada tanggal 26 November 2021, 09:45 WIB.
7. https://id.wikipedia.org/wiki/Diakonia_Transformatif. Diakses pada tanggal 26
November 2021, 01:00 WIB