Ringkasan dokumen tersebut dalam 3 kalimat atau kurang:
Teknik ISM diterapkan untuk merumuskan kebijakan pengembangan industri kakao di Indonesia dengan mempertimbangkan kinerja rantai pasokannya. Metode ISM digunakan untuk menganalisis hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja rantai pasokan dan merumuskan kebijakan. Hasil studi menunjukkan bahwa kebijakan insentif p
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
KEBIJAKAN_KAKAO
1. PENERAPAN TEKNIK ISM UNTUK PERUMUSAN
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI KAKAO
Yudi Widayanto1)
, Machfud2)
, Erliza Hambali2)
, Sukardi 2)
1)
Pusat Kebijakan Peningkatan Daya Saing – Gedung BPPT Jl. MH.Thamrin 8, Jakarta 10340
2)
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor - Kampus IPB, Bogor 16002
y_widayanto@yahoo.com
Abstract
The development of the cocoa processing industry needs to consider many aspects.
Because cocoa was a global commodity with complex supply chain networks, the
performance of the supply chain was an important consideration for investors and
industry players to develop their industry. Apart from industry, government was also
concerned to develop the cocoa industry as an attempt to capture the added value of
the potential commodity. The aims of this study were to apply the Interpretive
Structural Modeling (ISM) method in the policy formulation of cocoa industry
development. The elements of the policies formulated were the policy implications of
the measurement of cocoa industry supply chain performance. The study suggests
that tax incentive policies and support for energy supply were the main development
of the cocoa industry performance improvement.
Keywords: policy formulation, cocoa industry, supply chain performance, ISM
Pendahuluan
Setelah hampir dua dekade sebagai pemasok
utama biji kakao dunia, saat ini Indonesia sedang
berupaya mengambil nilai tambah dari komoditi
potensial ini dengan pengembangan industri
kakao nasional. Berbagai kebijakan dan program
telah dikeluarkan untuk mencapai pertumbuhan
sektor hilir kakao yang seimbang dengan
pertumbuhan di sektor hulu. Namun,
perkembangan industri kakao dalam negeri masih
belum optimal mengingat sebagian besar kakao
diekspor dalam bentuk mentah dan belum diolah
sehingga nilai tambah yang dihasilkan masih
rendah (Kemenperin 2011).
Kompleksitas permasalahan pengembangan
industri membuat tidak mudah merumuskan
kebijakan yang efektif. Beckett (2011) mereview
bahwa pengembangan kakao sangat erat dengan
persoalan mutu, keamanan pangan, traceability
dan keberlanjutan rantai pasok. Banyak faktor
yang berpengaruh dalam pengembangan industri
kakao. Suprihatini et al. (2004) mengajukan paling
tidak ada sepuluh faktor berpengaruh dalam
pengembangan industri hilir perkebunan termasuk
kakao di antaranya manajemen rantai pasok dan
infrastruktur. Dengan demikian, rantai pasokan
merupakan faktor penting yang harus
dipertimbangkan dalam pengembangan industri
Rantai pasok menjadi pertimbangan penting
dalam pengembangan indutri kakao di Indonesia,
karena secara geografis kegiatan agroindustri
kakao tersebar di berbagai pulau di wilayah
Indonesia. Jauhnya jarak lokasi bahan baku,
kompleksnya pelaku yang terlibat serta
banyaknya kendala perdagangan, membuat
pelaku industri harus cermat memperhitungkan
aspek-aspek logistik untuk dapat menjaga
keberlangsungan industrinya.
Aspek logistik, seperti kapasitas fasilitas,
inventori, dan transportasi, serta aspek lintas
fungsi seperti informasi dan cara pengadaan akan
menjadi pertimbangan yang mempengaruhi
pengembangan industri. Aspek-aspek tersebut
oleh Chopra dan Meindl (2007) dan Hugos (2010)
disebut sebagai driver (faktor penggerak) yang
akan menentukan kinerja dari rantai pasok.
Dengan kinerja yang tinggi, suatu perusahaan
akan terpacu untuk meningkatkan produksinya
atau melakukan perluasan (ekspansi).
Untuk mengetahui kinerja rantai pasok
diperlukan sistem pengukuran yang mampu
mengevaluasi kinerja rantai pasok secara holistik
(Pujawan 2005). Selama ini telah berkembang
pengukuran kinerja pada level perusahaan, di
antaranya metode SCOR (Supply Chain Council
2006) dan Balance Score Card (Brewer dan Speh
2000). Sedangkan untuk kinerja rantai pasok
antar perusahaan--yang dibutuhkan pemerintah
untuk mengevaluasi kinerja perusahaan-
perusahaan di dalam suatu industri belum banyak
dilakukan. Atas dasar evaluasi kinerja rantai
pasok level industri inilah pemerintah dapat
mengetahui kondisi yang dihadapi industri dalam
upaya meningkatkan kinerja rantai pasoknya.
Dengan demikian, dalam perumusan kebijakan
pengembangan industri kakao di Indonesia
diperlukan suatu model perumusan kebijakan
yang berbasis pada hasil pengukuran kinerja
rantai pasok pada level industri (antar perusahaan
industri kakao) yang mampu mendukung peran
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia (JSTI) Vol. 17, No. 3, Agustus 2015
2. pemerintah dalam menciptakan iklim yang lebih
kondusif bagi berkembangnya industri kakao.
Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan
metode ISM untuk perumusan kebijakan
pengembangan industri kakao. Industri kakao
dalam penelitian ini dibatasi pada industri
pengolahan biji kakao yang menghasilkan cocoa
cake, cocoa liquor, cocoa butter, dan cocoa
powder (kakao olahan).
Metode
Penerapan metode ISM dalam studi ini
merupakan studi lanjutan dari proses pengukuran
kinerja rantai pasok industri kakao. Kerangka pikir
studi ini (Gambar 1) didasari oleh alasan bahwa
sejumlah alternatif kebijakan yang dihasilkan dari
proses sebelumnya kurang dapat menjawab
rumusan kebijakan. Secara teori alternatif
kebijakan yang akan distrukturkan bisa diperoleh
melalui sejumlah cara seperti: brainstorming,FGD,
studi literatur (Eriyatno 2003). Pada studi ini
pembahasan tentang bagaimana memperoleh
Implikasi kebijakan tidak dibahas.
Gambar 1 Kerangka pikir penerapan ISM
Metodologi ISM
ISM adalah sebuah teknik permodelan yang
dikembangkan untuk perencanaan kebijakan
strategis. Menurut Eriyatno (2003) ISM adalah
proses pengkajian kelompok (group learning
process) di mana model-model struktural
dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks
dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang
secara seksama dengan menggunakan grafis
serta kalimat.
Metode ISM telah luas digunakan, terutama
untuk menganalisis struktural elemen-elemen
berdasarkan hubungan kontekstual-nya (Saxena
et al. 1992; Eriyatno 2003; Machfud 2001 dan
Marimin 2004). ISM bersangkut paut dengan
interpretasi dari suatu obyek yang utuh atau
perwakilan sistem melalui aplikasi teori grafis
secara sistematis dan iteratif Metode ISM telah
luas digunakan, terutama untuk menganalisis
struktural elemen-elemen berdasarkan hubungan
kontekstual-nya (Saxena et al. 1992).
ISM dapat digunakan untuk mengembangkan
beberapa tipe struktur, termasuk struktur
pengaruh (misalnya: dukungan atau pengabaian),
struktur prioritas (misalnya: ‘lebih penting dari’
atau ‘sebaiknya dipelajari sebelumnya’), dan
kategori ide (misalnya: ‘termasuk dalam kategori
yang sama dengan’).
Langkah perumusan kebijakan memerlukan
penentuan hubungan kontekstual yang kemudian
dikonversi menjadi suatu hubungan matematik
(Rm) di antara alternatif implikasi kebijakan yang
ada. Hubungan antar elemen tersebut dinyatakan
dalam perkalian Cartesian. Matrik tersebut harus
memenuhi sifat reflexive dan transitive (Machfud
2001). Berdasarkan hubungan kontekstual
tersebut, maka disusun Structural Self Interaction
Matrix (SSIM). Menurut Jaya et al. (2010),
Eriyatno (2003) dan Marimin (2004), langkah-
langkah permodelan dengan menggunakan ISM
mencakup:
1) Identifikasi elemen: Elemen sistem
diidentifikasi dan didaftar. Identifikasi elemen
dapat diperoleh melalui penelitian atau
diskusi curah pendapat.
2) Hubungan kontekstual: Sebuah hubungan
kontekstual antar elemen dibangun
berdasarkan pada tujuan dari permodelan.
3) Matriks interaksi tunggal terstruktur
(Structural Self Interaction Matrix SSIM).
Matriks ini mewakili elemen persepsi
responden terhadap hubungan elemen yang
dituju. Empat simbol yang digunakan untuk
mewakili tipe hubungan yang terdapat antar dua
elemen dari sistem yang dikaji adalah:
V ..hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, dan
tidak sebaliknya
A .. hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, dan
tidak sebaliknya
X .. hubungan interrelasi antara Ei dan Ej, dan
dapat sebaliknya
O .. menunjukkan bahwa Ei dan Ej tidak
berkaitan
Matriks Reachability (Reachability Matrix--RM):
Sebuah RM yang dipersiapkan kemudian
mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah
matriks biner. Konversi SSIM menjadi RM
menggunakan aturan-aturan berikut,
Jika hubungan Ei terhadap Ej = V dalam
SSIM maka elemen Eij = 1 dan Eji = 0
dalam RM.
Jika hubungan Ei terhadap Ej = A dalam
SSIM maka elemen Eij = 0 dan Eji = 1
dalam RM.
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia (JSTI) Vol. 17, No. 3, Agustus 2015
3. Jika hubungan Ei terhadap Ej = X dalam
SSIM maka elemen Eij = 1 dan Eji = 1
dalam RM.
Jika hubungan Ei terhadap Ej = O dalam
SSIM maka elemen Eij = 0 dan Eji = 0
dalam RM.
RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan
seluruh direct dan indirect reachability, yaitu jika
Eij = 1 dan Ejk = 1 maka Eik = 1. Tingkat
partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi
elemen-elemen dalam level-level yang berbeda
dari struktur ISM. Untuk tujuan ini, dua perangkat
diasosiasikan dengan tiap elemen Ei dari sistem:
Reachability set (Ri) adalah sebuah set dari
seluruh elemen yang dapat dicapai dari elemen
Ei, dan Antecedent Set (Ai) adalah sebuah set
dari seluruh elemen dimana elemen Ei dapat
dicapai. Pada iterasi pertama seluruh elemen,
dimana Ri = Ri ∩ Ai adalah elemen-elemen level
1. Pada iterasi-iterasi berikutnya elemen-elemen
diidentifikasi seperti elemen-elemen level dalam
iterasi-iterasi sebelumnya dihilangkan, dan
elemen-elemen baru diseleksi untuk level-level
berikutnya dengan menggunakan aturan yang
sama. Selanjutnya, seluruh elemen-elemen
sistem dikelompokkan ke dalam level-level yang
berbeda.
Matriks Canonnical: Pengelompokan elemen-
elemen dalam level yang sama mengembangkan
matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian
besar dari elemen-elemen triangular yang lebih
tinggi adalah 0 dan terendah 1. Matriks ini
selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan
digraph.
Digraph adalah konsep yang berasal dari
Directional Graph, yaitu sebuah grafik dari
elemen-elemen yang saling berhubungan secara
langsung dan level hierarki. Digraph awal
dipersiapkan dalam basis matriks canonical.
Graph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan
memindahkan semua komponen yang transitif
untuk membentuk digraph akhir.
Interpretative Structural Model:
ISM dibangkitkan dengan memindahkan
seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen
aktual. Oleh sebab itu ISM memberikan gambaran
yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem dan
alur hubungannya.
Eriyatno (2003) menyatakan bahwa metode
dan teknik ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu
penyusunan hierarki dan klasifikasi sub elemen.
Prinsip dasarnya adalah identifikasi dari struktur di
dalam suatu sistem yang memberikan nilai
manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara
efektif dan untuk pengambilan keputusan yang
lebih baik. Struktur dari suatu sistem yang
berjenjang diperlukan untuk lebih menjelaskan
pemahaman tentang perihal yang dikaji.
Menentukan jenjang dapat dilakukan dengan
berbagai pendekatan, namun harus memenuhi
kriteria: a) kekuatan pengikat dalam dan antar
kelompok atau tingkat, b) frekuensi relatif dari
oksilasi dimana tingkat yang lebih rendah lebih
cepat terguncang dari yang diatas, c) konteks
dimana tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada
jangka waktu yang lebih lambat daripada ruang
yang lebih luas, d) liputan dimana tingkat yang
lebih tinggi mencakup tingkat yang lebih rendah,
dan e) hubungan fungsional, dimana tingkat yang
lebih tinggi mempunyai peubah lambat yang
mempengaruhi peubah cepat tingkat dibawahnya.
Teknik ISM dapat memberikan basis analisis
program dimana informasi yang dihasilkan sangat
berguna dalam formulasi kebijakan dan
perencanaan strategis.
Selanjutnya, Saxena et al. (1992) menyatakan
bahwa penggunaan ISM dalam analisis, program
dapat dibagi menjadi sembilan elemen utama:
1) Sektor masyarakat yang terpengaruh
2) Kebutuhan dari program
3) Kendala utama program
4) Perubahan yang diinginkan
5) Tujuan dari program
6) Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan
7) Aktivitas yang dibutuhkan guna
perencanaan tindakan
8) Ukuran aktivitas untuk mengevaluasi hasil
yang dicapai setiap aktivitas
9) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan
program
Dalam menyusun elemen perihal dapat pula
ditetapkan menurut Sharma (1994), yaitu:
1) Pernyataan atas tujuan
2) Usulan proyek atau pilihan
3) Parameter ekonomi
4) Tolok ukur dasar pembinaan suatu sistem
5) Nilai
6) Permasalahan, peluang, penyebab
7) Aktivitas, kejadian (events).
Untuk setiap elemen dari program yang dikaji,
selanjutnya dijabarkan menjadi sejumlah sub-
elemen. Kemudian ditetapkan hubungan
kontekstual antara sub-elemen yang mengandung
adanya suatu pengarahan pada perbandingan
berpasangan. Hubungan kontekstual pada teknik
ISM selalu dinyatakan dalam terminologi sub-
ordinat yang menuju pada perbandingan
berpasangan antar sub-elemen yang
mengandung suatu arahan pada hubungan
tersebut. Menurut Eriyatno (2003) hubungan
kontekstual dapat bersifat kualitatif atau
kuantitatif. Keterkaitan antar sub-elemen dapat
meliputi berbagai jenis hubungan seperti disajikan
pada Tabel 1. Berdasarkan hubungan kontekstual
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia (JSTI) Vol. 17, No. 3, Agustus 2015
4. tersebut, maka disusun Structural Self Interaction
Matrix dengan menggunakan simbol:
V jika eij = 1 dan eji = 0
A jika eij = 0 dan eji = 1
V jika eij = 1 dan eji = 1
V jika eij = 0 dan eji = 0
Tabel 1 Hubungan kontekstual antar sub-elemen
pada teknik ISM
No
Jenis
Hubungan
Interpretasi
1 Pembandingan
(comparative)
A lebih penting/besar/indah dari B
A 20% lebih berat dari B
2 Pernyataan
(definitive)
A adalah atribut B
A termasuk di dalam B
A mengartikan B
3 Pengaruh
(influence)
A menyebabkan B
A adalah sebagian penyebab B
A mengembangkan B
A menggerakkan B
A meningkatkan B
4 Keruangan
(spatial)
A adalah selatan/utara B
A diatas B
A sebelah kiri B
5 Kewaktuan
(temporal/time
scale)
A mendahului B
A mengikuti B
A mempunyai prioritas lebih dari B
Sumber: Eriyatno (2003)
Nilai eij = 1 berarti ada hubungan kontekstual
antara elemen ke-i dan elemen ke-j, sedangkan
eij = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual
antara elemen ke-i dan elemen ke-j. Hasil
penilaian ini kemudian dibuat dalam Structural
Self Interaction Matrix yang berbentuk tabel
Reachability Matrix (RM) dengan mengganti V, A,
X, dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Matriks RM
selanjutnya dikoreksi sampai menjadi matriks
tertutup yang memenuhi kaidah transitivitas.
Matriks RM yang telah memenuhi kaidah
transitivitas kemudian diolah untuk mendapatkan
nilai Driver-Power (DP) dan nilai Dependence
(D) untuk menentukan klasifikasi sub elemen.
Eriyatno (2003) menyebutkan bahwa untuk
mengetahui peran masing-masing sub elemen,
sub elemen dikelompokkan ke dalam 4 sektor:
Sektor 1: Weak driver-weak dependent
variables (Autonomous), sub elemen yang
berada pada sektor ini umumnya tidak berkaitan
dengan sistem, mungkin mempunyai hubungan
yang sedikit walaupun hubungan tersebut bisa
saja kuat.
Sektor 2: Weak driver-strongly dependent
variables (Dependent), sub elemen yang berada
pada sektor ini umumnya sub elemen yang tidak
bebas atau dipengaruhi oleh sub elemen lain.
Sektor 3: Strong driver-strongly dependent
variables (Linkage), sub elemen yang berada
pada sektor ini perlu dikaji secara hati-hati sebab
hubungan antar sub elemen tidak stabil. Setiap
tindakan pada sub elemen tersebut akan
memberikan dampak terhadap peubah lain dan
umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar
dampak.
Sektor 4: Strong driver-weak dependent
variables (Independent), sub elemen yang
berada pada sektor ini umumnya merupakan sub
elemen bebas yang memiliki kekuatan penggerak
yang besar terhadap sub elemen lain dalam
sistem
Tatalaksana
Pengumpulan Data
Data sekunder terkait dengan jenis kebijakan
yang ada tentang perkakaoan, sedangkan proses
akuisisi pengetahuan dilakukan melalui
wawancara mendalam dengan para pakar
(responden). Penetapan responden sebagai
seorang pakar berdasarkan atas (1) reputasi,
kedudukan dan kredibilitasnya yang sesuai pada
topik kajian; (2) memiliki pengalaman dibidang
yang tekuni; (3) bersedia untuk diwawancara
secara mendalam. Berdasarkan kriteria tersebut
maka dipilih pakar yaitu pakar kebijakan industri
dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Penentuan sub-elemen diambil dari implikasi
kebijakan yang merupakan hasil pengukuran
kinerja rantai pasok industri kakao.
Yang dimaksud dengan data pada teknik ISM
adalah kumpulan pendapat dari pakar sewaktu
mereka menjawab tentang keterkaitan antar
elemen yang dibandingkan.
Pengolahan Data
Berdasarkan hasil pengukuran indeks kinerja
rantai pasok industri kakao telah dihasilkan
implikasi kebijakan untuk pengembangan indsutri
kakao. Setelah hasil implikasi kebijakan tersebut
dikonsultasikan dengan para pakar dan interview
mendalam diperoleh 13 sub elemen untuk
alternatif kebijakan seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Sub Elemen alternatif kebijakan
pengembangan industri kakao
No Kebijakan dan Program Pemerintah
1 Penerapan SNI Wajib biji kakao
2
Revitalisasi penyuluh pertanian (khususnya
perkebunan )
3
Program peningkatan produktivitas melalui
rehabilitasi/revitalisasi kebun kakao
4
Pemerintah bekerjasama dengan industri dalam
penyuluhan dan pendamping petani
5 Pembinaan petani membentuk kelompok/koperasi
6
Penghapusan hambatan perdagangan antar
daerah (retribusi/pungutan liar)
7
Pembangunan kawasan pergudangan yang
terjangkau
8
Pemberian insentif fiskal (perpajakan) terhadap
pembangunan/pengembangan industri
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia (JSTI) Vol. 17, No. 3, Agustus 2015
5. 9
Pembebasan bea masuk atas impor mesin dalam
rangka penanaman modal
10
Pasokan energi listrik dan gas yang memadai di
kawasan industri
11
Perluasan Infrastruktur telekomunikasi di daerah
sentra produksi kakao
12
Perbaikan manajemen dan fasilitas pelabuhan
untuk pelayanan lebih cepat
13
Pembangunan infrastruktur jalan, jembatan dan
fasilitas pelabuhan
Pengolahan data menggunakan ISM dengan
Metode ISM-VAXO dengan langkah-langkah
sebagai berikut :
Penyusunan Matrik SSIM
Dari sub elemen untuk satu elemen yang telah
disepakati, disiapkan kuesioner penilaian pakar.
Pada pemodelan dengan ISM pendapat atau
penilaian hubungan kontekstual elemen
dinyatakan dalam bentuk huruf V, A, X, O yang
menunjukkan bahwa:
V : sub-elemen ke-i mempunyai hubungan
dengan sub-elemen ke-j dan sub-elemen
ke-j tidak mempunyai hubungan dengan
sub elemen ke-i.
A : sub-elemen ke-j mempunyai hubungan
dengan sub-elemen ke-i dan sub-elemen
ke-i tidak mempunyai hubungan dengan
sub elemen ke-j.
X : sub-elemen ke-i mempunyai hubungan
timbal balik dengan sub-elemen ke-j.
O : sub-elemen ke-i tidak mempunyai
hubungan timbal balik dengan sub-
elemen ke-j.
Hasil penilaian pakar sebagaimana berupa
matrik SSIM awal sebagaimana Gambar 2
berikut.
Gambar 2 Structural Self Interaction Matrix
(SSIM) awal sub elemen alternatif kebijakan
pengembangan industri kakao
Transformasi Matrik SSIM menjadi Matriks
Reachability
Hubungan kontekstual antar sub-elemen
dalam bentuk matrik yang selnya dalam bentuk
huruf (VAXO) ditransformasi menjadi matriks
Reachability bilangan biner dengan aturan seperti
di atas. Hasil transformasi menjadi matriks
Reachability sebagaimana Gambar 3.
Gambar 3 Matriks Reachability
Pengujian dan Transformasi Matrik
Reachability
Matrik bersifat Reachability jika dengan
operasi Boolean memenuhi syarat reflexive dan
transitif, jika tidak maka dilakukan penyesuaian
dengan melakukan operasi recursive
multiplication sehingga terbentuk kondisi matrik
tertutup (causal looping). Setelah dilakukan
proses pengecekan dengan aturan transitivity
sampai didapatkan final SSIM (Gambar 4) dan
final RM (Gambar 5).
Gambar 4 Revisi SSIM Final (memenuhi syarat
transitivity rule)
Gambar 5 Hasil Matriks Reachability Final dan
interpretasinya
Keterangan:
D = dependence; DP = driver power; R = rangking (yang
bertanda * merupakan elemen kunci); L = level/hierarki
13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
1 A V V A X V X A X X A A
2 X V V A V V V X V V X
3 V V V A V V V V V V
4 V V V A X V X A X
5 A V V A X V X A
6 X V V A V V V
7 A V V A X V
8 X A A A A
9 V A V A
10 X V V
11 A X
12 X
13
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0
2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1
3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1
4 1 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1
5 1 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0
6 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1
7 1 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0
8 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
9 1 0 0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 1
10 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
11 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0
12 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1
13 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1
13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
1 A X X A X X X A X X A A
2 X X X A X X X X V X X
3 X V V A V V V X V X
4 X V V A X V X A X
5 X X X X X X X A
6 X X X X X X X
7 X X X X X X
8 X X X X A
9 X X X X
10 X X X
11 X X
12 X
13
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 DP R
1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 8 5
2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 12 2
3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 12 2
4 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 10 4
5 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 10 4
6 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 1*
7 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 2
8 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 10 4
9 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 2
10 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 1*
11 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 3
12 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 3
13 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 1*
D 13 11 5 10 13 10 13 13 12 9 13 13 12
L 1 3 6 4 1 4 1 1 2 5 1 1 2
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia (JSTI) Vol. 17, No. 3, Agustus 2015
6. Interpretasi Output ISM
Output ISM berupa rangking masing-masing
sub elemen dan plot masing-masing sub elemen
ke dalam empat sektor beserta koordinatnya.
Berdasarkan rangking masing-masing sub elemen
dapat dibuat hierarki setiap sub elemen di mana
seb elemen dengan rangking lebih tingggi akan
berada pada hierarki yang lebih rendah. Letak
koordinar masing-masing menunjukkan plot
masing-masing sub elemen ke dalam empat
sektor. Berdasarkan hasil perhitungan di atas
dapat digambarkan hierarki dan plot ke dalam
empat sektor sebagaimana Gambar 6.
Gambar 6 Matriks Driver Power – Dependence
untuk elemen alternatif kebijakan pengembangan
industri kakao
Dari gambar 6 terlihat dari 13 alternatif
kebijakan pengembangan industri kakao terbagi
menjadi 2 sektor yaitu sektor II (Dependent) dan
sektor III (Linkage). Tidak ada elemen alternatif
kebijakan yang berada pada sektor I (Autonous)
maupun sektor IV (Independent). Hal ini dapat
dijelaskan bahwa hampir seluruh sub elemen
kebijakan yang ada memiliki keterkaitan satu dan
lainnya untuk berhasilnya pengembangan industri
kakao. Hanya satu kebijakan yaitu pembinaan
petani membentuk kelompok/koperasi (5) yang
memiliki ketergantungan relatif rendah. Kebijakan
pembinaan petani agar termotivasi membentuk
kelompok atau koperasi merupakan kebijakan
pendukung dari program kemitraan yang
pemegang kuncinya ada pada pelaku Industri.
Dengan demikian, program pembinaan petani
untuk berkelompok memang tidak langsung
berkaitan dengan kebijakan lain kecuali hanya
mendukung dari sisi non teknis kesiapan dan
pembiasaan petani untuk bisa bekerjasama dan
saling membantu.
Untuk dapat memperoleh keterangan lebih
mendalam tentang bagaimana keterkaitan antar
elemen alternatif kebijakan ini berperan, dapat
dilihat kembali pada rangking daya dorong (driver
power). Dari Gambar 5 terlihat ada 3 kebijakan
yang menjadi elemen kunci berhasilnya
pengembangan industri kakao yaitu elemen
alternatif kebijakan Pembangunan infrastruktur
jalan, jembatan dan fasilitas pelabuhan (13),
Pasokan energi listrik dan gas yang memadai di
kawasan industri (10), dan Penghapusan
hambatan perdagangan antar daerah (seperti
retribusi/pungutan liar) (6).
Hal ini menjawab permasalahan besar
terhadap kurang efisien dan responsifnya rantai
pasok industri kakao selama ini. Selain itu,
pasokan energi baik listrik maupun gas dipandang
menjadi kunci yang memiliki daya ungkit besar,
karena langsung berkaitan dengan peningkatan
kapasitas industri akibat dari pengembangan
industri existing maupun pembangunan industri
baru. Sedangkan kebijakan penghapusan
hambatan perdagangan antar daerah telah lama
menjadi tuntutan industri dan sekaligus pelaku
rantai pasok di bawahnya untuk dapat mencapai
efisiensi dari perdagangan biji kakao yang
dihasilkan petani.
Keterangan:
Artinya lebih penting
Gambar 7 Diagram Model Struktural dari elemen
alternatif kebijakan pengembangan industri kakao.
Pada Gambar 7 terlihat level/hierarki setiap
alternatif kebijakan yang ditentukan melalui
pemisahan tingkatnya dalam RM. Hasil dari studi
ini didapatkan enam tingkat hierarki dimana sub
elemen 3 yaitu Program peningkatan produktivitas
melalui rehabilitasi/revitalisasi kebun kakao
menempati tingkat pertama. Disusul pada tingkat
kedua adalah sub elemen 10 yang juga
merupakan salah satu elemen kunci berhasilnya
program yaitu Pasokan energi listrik dan gas yang
memadai di kawasan industri.
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia (JSTI) Vol. 17, No. 3, Agustus 2015
7. Dari diagram pada Gambar 7 dapat dilihat
bahwa alternatif kebijakan seperti: Penerapan SNI
Wajib biji kakao (1), Pembinaan petani
membentuk kelompok/koperasi (5),
Pembangunan kawasan pergudangan yang
terjangkau (7), Pemberian insentif fiskal
(perpajakan) terhadap
pembangunan/pengembangan industri (8),
Perluasan Infrastruktur telekomunikasi di daerah
sentra produksi kakao (11), dan Perbaikan
manajemen dan fasilitas pelabuhan untuk
pelayanan lebih cepat (12) adalah termasuk
kebijakan yang berada pada tingkat paling akhir
dimana menurut level kepentingannya.
Sementara itu, dua kebijakan yaitu
Pembangunan infrastruktur jalan, jembatan dan
fasilitas pelabuhan (13) dan kebijakan
pembebasan bea masuk atas impor mesin dalam
rangka penanaman modal (9) merupakan
kebijakan pengait antara kebijakan dasar dengan
kebijakan di tingkat lebih tinggi.
Kesimpulan
Pengukuran indeks kinerja rantai pasok
industri kakao menuntut dilaksanakannya
(implikasi) kebijakan yang dapat memperbaiki
kinerja dan sekaligus mencapai daya saing yang
tinggi untuk dapat berkembang. Studi ini
mendapatkan 13 alternatif kebijakan
pengembangan industri kakao.
Dengan teknik ISM, alternatif kebijakan
pengembangan industri kakao yang sebelumnya
tidak diketahui strukturnya dapat dirumuskan
menjadi kebijakan yang memiliki struktur
keterkaitan atau ketergantungan yang jelas.
Dengan rechability matrix dapat ditentukan
rangking alternatif kebijakan yang ada sehingga
akan diketahui kebijakan-kebijakan apa yang
menjadi kunci keberhasilan program.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa kebijakan
Pembangunan infrastruktur jalan, jembatan dan
fasilitas pelabuhan, Pasokan energi listrik dan gas
yang memadai di kawasan industri, dan
Penghapusan hambatan perdagangan antar
daerah (seperti retribusi/pungutan liar) merupakan
tiga kebijakan yang menjadi kunci keberhasilan
pengembangan industri kakao.
Saran
Disarankan untuk memperoleh tingkat
penggambaran rumusan kebijakan yang lebih
komprehensif, disarankan untuk melakukan
penambahan pakar atau menggabungkannya
dalam suatu forum konsensus yang lebih
transparan. Sementara untuk pengembangan
atau tindak lanjut hasil penelitian ini dapat
difokuskan pada upaya pemetaan atau
penelusuran substansi kebijakan atau program
yang ada pada berbagai instansi yang berkaitan
dengan perkakaoan dengan orientasi pada
pengembangan industri kakao.
Daftar Pustaka
Beckett S.T. 2011. Industrial Chocolate
Manufacture and Use. Wiley.
Brewer P.C, Speh TW. 2000. Using the balanced
scorecard to measure supply chain
performance. J Bus Logist. 21:75
Chopra S, Meindl P. 2007. Supply Chain
Management: Strategy, Planning and
Operations. Ed ke-3. Upper Saddle River, N.J:
Pearson Prentice Hall.
Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu
dan Efektivitas Manajemen. Ed ke-3. Bogor:
IPB-Press.
Hugos M.H. 2010. Essentials of Supply Chain
Management. 2nd Ed. New Jersey: J Wiley.
Jaya R, Machfud, Ismail M. 2011. Aplikasi Teknik
Ism Dan Me-Mcdm Untuk Identifikasi Posisi
Pemangku Kepentingan Dan Alternatif
Kegiatan Untuk Perbaikan Mutu Kopi Gayo. J.
Tek. Ind. Pert 21(1):1-8
[Kemenperin]. Kementerian Perindustrian. 2011.
Publikasi Data Industri. Jakarta: Humas
Kementerian Perindustrian.
Machfud. 2001. Rekayasa Model Penunjang
Keputusan Kelompok Dengan Fuzzy-Logic
untuk Sistem Pengembangan Agroindustri
Minyak Atsiri. [disertasi]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan
Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta:
Grasindo.
Pujawan I.N. 2005. Supply Chain Management.
Ed ke-1. Surabaya: Penerbit Guna Widya.
Saxena J.J.P. et al. 1992. Hiearchy and
Classification of Program Plan Elements Using
Interpretive Structural Modelling. System
Practice 5(6):651-670.
Supply Chain Council. 2006. Supply Chain
Operations Reference Model Version 8.0.
Dictionary. United States and Canada.
Suprihatini R. 2004. Rancang Bangun Sistem
Produksi dalam Agroindustri Teh
Indonesia.[disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia (JSTI) Vol. 17, No. 3, Agustus 2015