Pembiayaan merupakan bagian penting dalam ekosistem technopreneurship. Karena pembiayaan adalah unsur utama mengalirnya “energi” antar aktor baik untuk membangun kapasitas, menjamin permodalan dan biaya operasional perusahaan pemula berbasis teknologi.
Khusus untuk teknoprener non digital membutuhkan pembiayaan yang relatif lebih tinggi karena jenis produk yang diusahakan menuntut bahan baku dan proses produksi secara fisik yang juga memiliki risiko kegagalan yang tinggi pula. Sudah ada instansi pemerintah dan swasta yang memberikan bantuan, insentif atau hibah mendukung pengembangan wirausaha secara umum, namun untuk wirausaha di bidang produk berbasis manufaktur relatif jarang, serta tidak mencakup seluruh tahapan perkembangan start up. Maka dibutuhkan skema pembiayaan yang lengkap pada setiap siklus hidup start up untuk mendukung pertumbuhan dan pengembangan teknoprener.
1. Nomor : 01/PTKSSI/2020
Pusat Teknologi Kawasan Spesifik dan Sistem Inovasi
Deputi Pengkajian Kebijakan Teknologi
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Gedung II BPPT lantai 11, Jl. MH. Thamrin no.8 Jakarta 10340
Gedung Pusat Inovasi dan Bisnis Teknologi (720) Kawasan Puspiptek Serpong
“Sudah Tepatkah Pembiayaan Teknoprener
di Indonesia?”
Dr. Yudi Widayanto, S.Si, M.Si
Analis Kebijakan Ahli Madya
Pusat Teknologi Kawasan Spesifik dan Sistem Inovasi – BPPT
yudi.widayanto@bppt.go.id
A. Ringkasan eksekutif
Pembiayaan merupakan bagian penting dalam ekosistem technopreneurship. Karena
pembiayaan adalah unsur utama mengalirnya “energi” antar aktor baik untuk membangun
kapasitas, menjamin permodalan dan biaya operasional perusahaan pemula berbasis teknologi.
Khusus untuk teknoprener non digital membutuhkan pembiayaan yang relatif lebih tinggi karena
jenis produk yang diusahakan menuntut bahan baku dan proses produksi secara fisik yang juga
memiliki risiko kegagalan yang tinggi pula.
Sudah ada instansi pemerintah dan swasta yang memberikan bantuan, insentif atau hibah
mendukung pengembangan wirausaha secara umum, namun untuk wirausaha di bidang produk
berbasis manufaktur relatif jarang, serta tidak mencakup seluruh tahapan perkembangan start
up. Maka dibutuhkan skema pembiayaan yang lengkap pada setiap siklus hidup start up untuk
mendukung pertumbuhan dan pengembangan teknoprener.
Rekomendasi kebijakan ini didasarkan atas eksplorasi mendalam terhadap para pelaku
pengembangan start up di Indonesia melalui rangkaian FGD KTN BPPT 2019. Dari KTN tersebut
telah dihasilkan informasi kebijakan penting guna mengoptimalkan sumber-sumber pembiayaan
wirausaha yang ada dan merekomendasikan alternatif pembiayaan teknoprener yang dapat
digunakan untuk mendukung penciptaan ekosistem technopreneurship di Indoensia.
B. Pendahuluan
Teknoprener diartikan secara sederhana sebagai pelaku usaha yang menghasilkan produk
(barang/jasa) dengan memanfaatkan teknologi. Teknoprener juga disebut sebagai seorang
‘entrepreneur modern’ berbasis teknologi karena inovasi dan kreativitas sangat mendominasi
aktivitas usaha mereka untuk menghasilkan produk inovatif yang unggul. Seorang Teknoprener
mengoperasikan bisnis secara berbeda dari pengusaha lainnya. Bisnis Teknoprener memiliki
potensi pertumbuhan yang tinggi, leverage pengetahuan dan kekayaan intelektual yang tinggi
pula.
Mengapa penumbuhan teknoprener menjadi penting? Indonesia dengan penduduk yang
tersebar luas dari Sabang sampai Merauke membutuhkan berbagai produk untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Jika ekonomi berjalan normal, maka kebutuhan hidup tersebut akan dipasok
oleh pasar berdasarkan hukum persaingan sempurna. Harga di pasar persaingan sempurna
ditentukan oleh hasil transaksi tawar-menawar di pasar. Dengan demikian, siapa yang bisa
menawarkan produk dengan harga yang lebih murah akan menguasai pasar. Jika kondisi ini tidak
ada intervensi kebijakan pemerintah, lambat laun produk yang berdaya saing rendah akan
tergusur dan digantikan oleh produk yang memiliki daya saing tinggi yang kebanyakan adalah
produk dari, negara-negara yang mampu memproduksi barang dengan efisien (harga murah
kualitas baik). Pengusaha di bidang teknologi atau teknoprener ini memiliki peranan sangat
2. Nomor : 01/PTKSSI/2020
Pusat Teknologi Kawasan Spesifik dan Sistem Inovasi
Deputi Pengkajian Kebijakan Teknologi
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Gedung II BPPT lantai 11, Jl. MH. Thamrin no.8 Jakarta 10340
Gedung Pusat Inovasi dan Bisnis Teknologi (720) Kawasan Puspiptek Serpong
penting untuk memproduksi produk-produk kebutuhan hidup masyarakat Indonesia sehingga
pada jangka panjang memiliki kemandirian, dapat melakukan penciptaan nilai tambah dan
lapangan kerja.
Perhatian pemerintah pada penumbuhan wirausaha secara umum sudah cukup besar yang
ditunjukkan dengan banyaknya program pembiayaan dengan sasaran wirausaha baru. Namun
berdasarkan data program atau insentif pemerintah yang diprakarsai oleh Kementerian atau
Lembaga menunjukkan belum lengkapnya pendanaan yang mencakup setiap tahapan pada
penumbuhan wirausaha pemula terutama penumbuhan teknoprener.
C. Permasalahan penumbuhan teknoprener di Indonesia
Perusahaan pemula /start up berbasis teknologi (teknoprener) dapat dibedakan menjadi 2
kelompok besar berdasarkan produk yang diusahakan, yaitu digital start up dan non digital start
up. Digital start up adalah perusahaan pemula yang mana produk yang dihasilkan adalah produk
berbasis digital yang umumnya berupa aplikasi, software, atau games. Sementara non-digital
start up adalah perusahaan start up yang mana produk yang diusahakan atau dihasilkan berupa
produk manufaktur, baik itu consumer goods atau non-consumer goods.
Memperhatikan akan pentingnya peran teknoprener dalam penciptaan nilai tambah dan
penciptaan lapangan kerja, berdasar identifikasi dari rangkaian FGD KTN 2019 terdapat
beberapa permasalahan yang dihadapi, antara lain:
a) Investor atau lembaga pembiayaan lebih tertarik mendanai start up digital dibandingkan
start up non-digital, khususnya start up yang mengusahakan produk manufaktur non-
consumer goods. Padahal sebagai suatu bangsa, Indonesia harus bisa mandiri atau
mampu memproduksi sendiri produk-produk kebutuhan masyarakat tersebut.
b) Sebagian besar angel investor dan venture capital kurang memahami produk yang
dihasilkan oleh start up bidang manufaktur.
c) Biaya product-market fit untuk produk berbasis manufaktur relatif lebih besar dan
mempunyai risiko kegagalan yang lebih besar, sehingga start up yang bergerak pada
usaha ini akan lebih membutuhkan bantuan pendanaan.
d) Program bantuan pendanaan start up dari pemerintah masih tergolong kecil.
e) Skema pembiayaan bagi teknopener pada tahapan awal perkembangannya masih sangat
kurang terutama untuk jenis pembiayaan tanpa kolateral.
D. Perlunya Mengkaji Pembiayaan Teknoprener
Permasalahan utama yang
dihadapi teknoprener yang mulai
membangun perusahaannya adalah
aspek pembiayaan. Hal ini karena
perusahaan pemula dipandang oleh
investor termasuk dalam kategori usaha
yang berisiko tinggi meskipun juga
memiliki potensi pengembalian yang
tinggi pula.
Ada tiga tahapan Teknoprener membangun strat up nya yaitu (Gambar 1): Problem-
Solution Fit, Product-Market Fit, dan Scaling Up. Tiap tahapan memiliki prosesnya masing-
masing dengan jenis kebutuhan pendanaan yang berbeda. Jenis pembiayaan menurut siklus
perkembangan start up meliputi pembiayaan tahap: inkubasi/incubator, akselerasi/ accelerator,
Gambar 1. Tiga tahapan Start up (Ash Maurya, 2012)
3. Nomor : 01/PTKSSI/2020
Pusat Teknologi Kawasan Spesifik dan Sistem Inovasi
Deputi Pengkajian Kebijakan Teknologi
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Gedung II BPPT lantai 11, Jl. MH. Thamrin no.8 Jakarta 10340
Gedung Pusat Inovasi dan Bisnis Teknologi (720) Kawasan Puspiptek Serpong
seed round, series A/B/C, angel
investor, venture capital, dll (lihat
Gambar 2). Masing-masing memiliki
kelompok investor dan persyaratan
yang berbeda. Kekosongan skema
pembiayaan pada siklus perkembangan
start up akan menghambat tumbuhnya
teknoprener. Untuk itu perlu dikaji
ketersediaan dan kemudahan akses
pembiayaan pada setiap tahap
perkembangan teknoprener.
E. Isu dan Alternatif
Kebijakan
Berdasarkan hasil kajian tentang
berbagai skema pembiayaan dari
pemerintah untuk penumbuhan start up dapat dianalisis berdasarkan isu-isu sebagai berikut.
a. Jenis Usaha/Produk.
Pembiayaan/insentif untuk jenis produk dari start up berbasis teknologi bidang manufaktur
selama ini hanya disediakan oleh Kemenristekdikti. Sementara dari Kementerian KUKM tidak
mengharuskan berbasis teknologi dan memfokuskan pada usaha skala mikro. Skema
pembiayaan dari Kemenpora tidak secara khusus mengharuskan produk manufaktur. Badan
Ekonomi Kreatif memberikan bantuan pemerintah khusus pada start up digital (aplikasi dan
games). Sedangkan Kementerian Keuangan lebih bersifat umum dan untuk berbagai jenis usaha,
dan tidak harus usaha pemula.
Seharusnya pemerintah memperhatikan pengembangan usaha pemula untuk jenis usaha
manufkatur sebagai jawaban atas kebutuhan produk masyarakat yang selama ini lebih banyak
dicukupi dari produk impor.
b. Siklus hidup usaha.
Bantuan pemerintah secara umum belum memperhatikan tahapan awal usaha secara
terperinci, sehingga bantuan menjadi tidak tepat penggunaannya dan tidak mengetahui tingkat
kebutuhan selanjutnya. Kemenpora misalnya, memberikan hibah pada tahap ide bagi Pra
Wirausaha Muda Pemula (WMP), tetapi tidak ada tahap pengembangan produk. Kemenristekdikti
sudah fokus pada PPBT (perusahaan pemula berbasis teknologi) tetapi tidak mendefinisikan
pada tahap/sub tahap apa, sementara karakteritik start up teknologi membutuhkan biaya yang
besar pada setiap sub-tahapannya.
Kebijakan yang dapat diambil adalah memberikan perhatian berupa program yang
mengarah pada penumbuhan start up berbasis teknologi pada tahap idea dan seed, karena pada
tahap ini memiliki tingkat kegagalan yang tinggi untuk mewujudkan produk yang dapat diterima
pasar. Sementara dana bantuan atau skema pembiayaan dari pihak swasta masih sangat minim.
Temuan ini menjadi sangat penting mengingat program pendanaan pemerintah dari berbagai
skema insentif dan pendanaan seharusnya suatu rangkaian tahapan yang sistematis.
Gambar 2. Fase dan tipe pendanaan teknoprener
4. Nomor : 01/PTKSSI/2020
Pusat Teknologi Kawasan Spesifik dan Sistem Inovasi
Deputi Pengkajian Kebijakan Teknologi
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Gedung II BPPT lantai 11, Jl. MH. Thamrin no.8 Jakarta 10340
Gedung Pusat Inovasi dan Bisnis Teknologi (720) Kawasan Puspiptek Serpong
c. Nilai bantuan.
Karena keterbatasan dana pemerintah, saat ini bantuan/skema pembiayaan pemerintah
hanya terbatas pada usaha skala mikro dan kecil. Padahal kebutuhan biaya PPBT cukup besar
karena pengembangan produk tidak terbatas prototipe awal yang perlu bahan baku, tetapi juga
mesin-mesin, pengujian produk, maupun pasar (product-market fit) yang bisa berlangsung lama
dan berulang. Sebagai contoh Kemenpora memberikan bantuan untuk Teknoprener Teknologi
pemula hanya sebesar Rp. 10 juta. Kebijakan yang diharapkan adalah upaya mengatasi
kekurangan dana pemerintah, melalui dorongan penggunaan dana CSR untuk membantu
pengembangan PPBT.
d. Jiwa teknoprener
Jiwa kewirausahaan berbasis teknologi sangat penting untuk dimiliki oleh pemilik start up
karena hal tersebut akan mempengaruhi keberhasilan start up. Saat ini aspek karakter wirausaha
teknologi ini belum menjadi persyaratan bagi calon penerima dana bantuan pemerintah. Dengan
semakin banyak program untuk peningkatan kapasitas dan pengembangan karakter wirausaha
berbasis teknologi diharapkan semakin banyak tumbuh teknoprener baru.
F. Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan pembahasan dan analisis atas skema pembiayaan inovatif bagi teknoprener
maka direkomendasikan kepada:
Menteri Koordinator Perekonoman perlu melakukan pembagian peran secara jelas antar
kementerian/lembaga pemerintah dalam memberikan program insentif/dana bantuan bagi
pengusaha pemula, sesuai dengan jenis usahanya, sehingga dapat menjangkau semua jenis
tahapan pendanaan yang dibutuhkan teknoprener.
Kementerian/Lembaga yang akan memberikan bantuan pembiayaan/insentif agar lebih
mengutamakan PPBT yang berbasis produk manufaktur yang selama ini belum banyak
diminati investor swasta.
Kementerian/Lembaga yang akan memberikan bantuan agar lebih memfokuskan pembiayaan
terhadap PPBT yang berbentuk hibah pada tahapan idea dan seed yang belum atau tidak
dilakukan oleh pihak swasta.
Kementerian Ristek/BRIN agar menyelaraskan program, mulai dari insentif penelitian
pengembangan sampai dengan insentif kemitraan industri dan mengarahkannya pada
penciptaan teknoprener dan selanjutnya dapat diteruskan ke program pembiayaan PPBT
karena merupakan bagian dari siklus usaha.
Pemerintah perlu memperbaiki regulasi tentang alokasi dana CSR (PK-BL) dari Perseroan
Terbatas (terutama BUMN) untuk pembiayaan start up teknologi khususnya tahap seed.
Pembiayaan terhadap PPBT harus benar-benar selektif, yaitu PPBT yang mempunyai peluang
suksesnya besar. Untuk itu, kriteria PPBT yang akan sukses harus didefinisikan kriterianya
terlebih dahulu baik dari sisi jiwa teknoprenernya sebagai seorang penguasaha maupun dari
sisi produk/jasa-nya.
Ucapan Terimakasih kepada Tim Penyusun Laporan KTN BPPT 2019 Bidang Teknoprener:
Ketua: Dr. Ir. Iwan Sudrajat, MSEE, dengan Anggota: Dr. Yudi Widayanto, Dr. Suripto, Drs. Bhinukti Prapto Nugroho,
dan Ai Nelly, S.Si, M.Si. Tim Materi: Adelina Noor Rahmahana, S.T., M.T, Ayu Erliza, S.T., Danis Eka Prasetya
Wicaksana, S.T., Nur Fitriana, SE , Afifah Nurmala Karima, S.T., Ir. Ismoyo Heruputra, M.Eng, Drs. Irawan Santoso,
M.Sc.