SlideShare a Scribd company logo
1 of 34
Refrat


            LARINGITIS TUBERKULOSIS




                              Penyaji:


             Yarah Azzilzah, S.Ked         04104705264
             Siti Rohani, S.Ked            04104705275
             Ari Dwi Prasetyo, S.Ked       04081001063
             Zelfi Primasari, S.Ked        04081001072
             Nopriansyah, S.Ked            54081001057
             R. Pramudianto, S.Ked         04104905001




                            Pembimbing:
                 Dr. H. Sofyan Effendi, Sp. THT-KL




         DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT TELINGA
               HIDUNG DAN TENGGOROK
 FAKULTAS KEDOKTERAN UNSRI / RS DR. MOHAMMAD
                    HOESINPALEMBANG
                                  2012

                                                         1
HALAMAN PENGESAHAN



                            Referat dengan judul:


                  LARINGITIS TUBERKULOSIS

                                Disusun oleh :
                 Yarah Azzilzah, S.Ked              04104705264
                 Siti Rohani, S.Ked                 04104705275
                 Ari Dwi Prasetyo, S.Ked            04081001063
                 Zelfi Primasari, S.Ked             04081001072
                 Nopriansyah, S.Ked                 54081001057
                 R. Pramudianto, S.Ked              04104905001


        Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior periode 16 Maret 2012 – 21 Mei 2012 di
Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok Fakultas Kedokteran
Uiversitas Sriwijaya/Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang.




                                                 Palembang, April 2012
                                                       Pembimbing,




                                           Dr. H. Sofyan Effendi, Sp. THT-KL




                                                                               2
KATA PENGANTAR


        Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan referat ini dalam batas waktu yang telah ditentukan.
        Referat yang berjudul “Laringitis Tuberkulosis” ini merupakan salah satu
syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Penyakit
Telinga Hidung dan Tenggorok Fakultas Kedokteran UNSRI/Rumah Sakit Dr.
Mohammad Hoesin Palembang.
        Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. H. Sofyan Effendi, Sp.
THT-KL yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan
referat ini.
        Penulis menyadari banyak kekurangan dalam referat ini, baik susunan
maupun materi yang disajikan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk perbaikan di masa yang akan datang.
        Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.




                                                       Palembang, April 2012




                                                               Penulis




                                                                               3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................... iii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL................................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ vi
BAB I        PENDAHULUAN.................................................................................. 1
BAB II LARINGITIS TUBERKULOSIS.......................................................... 3
             2.1. Anatomi Laring............................................................................. 3
             2.2. Fisiologi Laring............................................................................. 9
             2.3. Definisi.......................................................................................... 12
             2.4. Epidemiologi................................................................................. 13
             2.5. Etiologi.......................................................................................... 13
             2.6. Patogenesis.................................................................................... 13
             2.7. Gambaran Klinis........................................................................... 16
             2.8. Diagnosis....................................................................................... 19
             2.9. Diagnosis Banding........................................................................ 22
             2.9. Penatalaksanaan............................................................................ 23
             2.10. Prognosis....................................................................................... 25
             2.11. Komplikasi.................................................................................... 25
BAB III KESIMPULAN....................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 27




                                                                                                                     4
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Dosis Obat Anti Tuberkulosis.................................................................. 24




                                                                                                       5
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Laring................................................................................... 4
Gambar 2. Sistem Arteri pada laring..................................................................... 8
Gambar 3. Sistem Vena pada Laring.................................................................... 8
Gambar 4. Sistem Limfatik pada Laring............................................................... 9
Gambar 5. Temuan Laringoskopi Laringitis pada Tuberkulosis.......................... 18
Gambar 6. Laringitis Tuberkulosis....................................................................... 21
Gambar 7. Foto Toraks Tuberkulosis Paru........................................................... 21
Gambar 8. Histopatologi Laringitis Tuberkulosis................................................. 22




                                                  BAB I
                                                                                                                6
PENDAHULUAN


       Laringitis merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada
daerah laring. Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat
terjadi, baik secara akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi
mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang dari 3 minggu. Bila gejala
telah lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis kronis. Salah satu bentuk laringitis
kronis spesifik adalah laringitis tuberkulosis.
       Laringitis tuberkulosis adalah penyakit granulomatosa yang paling umum
dari laring dan seringkali dihubungkan dengan tuberkulosis paru aktif. Laringitis
tuberkulosis merupakan salah satu komplikasi dari tuberkulosis paru. Pada awal
abad ke-20, laringitis tuberkulosis mengenai 25-30% pasien tuberkulosis paru.
Sedangkan sekarang hanya 1% kasus laringitis tuberkulosis.1 Penurunan kejadiaan
laringitis tuberkulosis ini terjadi sebagai akibat dari peningkatan perawatan
kesehatan masyarakat dan perkembangan antituberkulosis yang efektif.
       Penderita dengan laringitis tuberkulosis biasanya datang dengan gejala,
seperti disfonia, odynophagia, dyspnea, odynophonia, dan batuk. Obstruksi
pernafasan bisa terjadi pada stadium lanjut penyakit. Pemahaman bahwa
karsinoma laring juga sering menunjukkan gejala serupa merupakan keharusan
untuk mengevaluasi laringitis. Gejala pada saluran pernapasan seperti batuk
kronis, hemoptisis dan gejala sistemik seperti demam, keringat malam, dan
penurunan berat badan merupakan gejala-gejala umum yang sering dijumpai pada
pasien dengan tuberkulosis.2
       Pada laringitis tuberkulosis proses inflamasi akan berlangsung secara
progresif dan dapat menyebabkan kesulitan bernapas. Kesulitan bernafas ini dapat
disertai stridor, baik pada periode inspirasi, ekspirasi atau keduanya. Jika tidak
segera diobati, stenosis dapat berkembang, sehingga diperlukan trakeostomi.
Akan tetapi, sering kali setelah diberi pengobatan, tuberkulosis parunya sembuh
tetapi laringitis tuberkulosisnya menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa
laring yang sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi yang tidak sebaik di
paru, sehingga bila sudah mengeni kartilago, pengobatannya lebih lama.3

                                                                                 7
Oleh karena itu, pembahasan mengenai laringitis tuberculosis lebih lanjut
diperlukan agar dapat memberi pengetahuan mengenai cara diagnosis dan
penatalaksanaan yang tepat guna mencegah komplikasi yang akan terjadi.




                                   BAB II
                    LARINGITIS TUBERKULOSA
                                                                              8
2.1.   Anatomi Laring
                 Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang
       merupakan suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan
       terletak setinggi vertebra cervicalis IV – VI, dimana pada anak-anak dan
       wanita letaknya relatif lebih tinggi. Laring pada umumnya selalu terbuka,
       hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang menelan makanan.4
                 Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat aditus laringeus
       yang berhubungan dengan hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi
       inferior kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah
       posterior dipisahkan dari vertebra cervicalis oleh otot-otot prevertebral,
       dinding dan cavum laringofaring, serta di sebelah anterior ditutupi oleh
       fascia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi
       oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahyoid, dan lobus kelenjar
       tiroid.3,4
                 Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang
       hyoid dan beberapa buah tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti
       huruf U, yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula,
       dan tengkorak oleh tendo dan otot-otot. 3,4,5
                 Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis,
       kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata dan kartilago
       tiroid.3,4,5
                 Pada laring terdapat dua buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan
       artikulasi krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring
       adalah ligamentum seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior),
       ligamentum       krikotiroid   medial,   ligamentum    krikotiroid   posterior,
       ligamentum kornikulofaringal, ligamentum hiotiroid lateral, ligamentum
       hiotiroid medial, ligamentum hioepiglotika, ligamentum ventrikularis,
       ligamentum vokal yang menghubungkan kartilago aritenoid dengan
       kartilago tiroid dan ligamentum tiroepiglotika.3,4



                                                                                    9
Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding
kartilago tiroidea di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah
bawahnya. Os Hyoid dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea.
Tulang ini merupakan tempat melekatnya otot-otot dan ligamenta serta
akan mengalami osifikasi sempurna pada usia 2 tahun.3,4




                         Gambar 1. Anatomi Laring


Anatomi Bagian Laring Dalam
Cavum laring dapat dibagi menjadi sebagai berikut:4
1. Supraglotis (vestibulum superior)
   Yaitu ruangan diantara permukaan atas pita suara palsu dan inlet
   laring.
2. Glotis (pars media)
   Yaitu ruangan yang terletak antara pita suara palsu dengan pita suara
   sejati serta membentuk rongga yang disebut ventrikel laring Morgagni.


3. Infraglotis (pars inferior)



                                                                     10
Yaitu ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi bawah kartilago
    krikoidea.


Beberapa bagian penting dari dalam laring:4
Aditus Laringeus
        Pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk di anterior oleh
epiglotis, lateral oleh plika ariepiglotika, posterior oleh ujung kartilago
kornikulata dan tepi atas m. aritenoideus.


Rima Vestibuli.
        Merupakan celah antara pita suara palsu.


Rima glottis
        Di depan merupakan celah antara pita suara sejati, di belakang
antara prosesus vokalis dan basis kartilago aritenoidea.


Vallecula
        Terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan basis lidah,
dibentuk oleh plika glossoepiglotika medial dan lateral.


Plika Ariepiglotika
        Dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare yang berjalan
dari kartilago epiglotika ke kartilago aritenoidea dan kartilago kornikulata.


Plika Pyriformis (Hipofaring)

        Terletak antara plika ariepiglotika dan permukaan dalam kartilago
tiroidea.




Incisura Interaritenoidea
                                                                           11
Suatu lekukan atau takik diantara tuberkulum kornikulatum kanan
dan kiri.

Vestibulum Laring
        Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membrana kuadringularis,
kartilago aritenoid, permukaan atas proc. vokalis kartilago aritenoidea dan
m.interaritenoidea.


Plika Ventrikularis (pita suara palsu)
        Yaitu pita suara palsu yang bergerak bersama-sama dengan
kartilago aritenoidea untuk menutup glottis dalam keadaan terpaksa,
merupakan dua lipatan tebal dari selaput lendir dengan jaringan ikat tipis
di tengahnya.


Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus)
        Yaitu ruangan antara pita suara palsu dan sejati. Dekat ujung
anterior dari ventrikel terdapat suatu divertikulum yang meluas ke atas
diantara pita suara palsu dan permukaan dalam kartilago tiroidea, dilapisi
epitel berlapis semu bersilia dengan beberapa kelenjar seromukosa yang
fungsinya untuk melicinkan pita suara sejati, disebut appendiks atau
sakulus ventrikel laring.


Plika Vokalis (pita suara sejati)
        Terdapat di bagian bawah laring. Tiga per lima bagian dibentuk
oleh ligamentum vokalis dan celahnya disebut intermembranous portion,
dan dua per lima belakang dibentuk oleh prosesus vokalis dari kartilago
aritenoidea dan disebut intercartilagenous portion.




                                                                        12
Persarafan
        Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus
Superior dan Nn. Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan
kanan.4,5
1. Nn. Laringeus Superior.
    Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum,
    melengkung ke depan dan medial di bawah A. karotis interna dan
    eksterna yang kemudian akan bercabang dua, yaitu : Cabang Interna ;
    bersifat sensoris, mempersarafi vallecula, epiglotis, sinus pyriformis
    dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara sejati. Cabang
    Eksterna ; bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid dan m.
    Konstriktor inferior.
2. N. Laringeus Inferior (N. Laringeus Rekuren).
    Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring
    tepat di belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeus yang kiri
    mempunyai perjalanan yang panjang dan dekat dengan Aorta sehingga
    mudah terganggu. Merupakan cabang N. vagus setinggi bagian
    proksimal A. subklavia dan berjalan membelok ke atas sepanjang
    lekukan antara trakea dan esofagus, selanjutnya akan mencapai laring
    tepat di belakang artikulasio krikotiroidea dan memberikan persarafan:
    Sensoris, mempersarafi daerah sub glotis dan bagian atas trakea
    Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali M. Krikotiroidea


Pendarahan
        Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan
Inferior sebagai A. Laringeus Superior dan Inferior.4,5
1. Arteri Laringeus Superior
    Berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus
    membrana tirohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan
    dasar sinus pyriformis.



                                                                        13
2. Arteri Laringeus Inferior
   Berjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring melalui
   area Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M.
   Konstriktor Faringeus Inferior, di dalam laring beranastomose dengan
   A. Laringeus Superior dan memperdarahi otot-otot dan mukosa laring.




                     Gambar 2. Sistem Arteri pada Laring


Darah vena dialirkan melalui V. Laringeus Superior dan Inferior ke V.
Tiroidea Superior dan Inferior yang kemudian akan bermuara ke V.
Jugularis Interna.




                     Gambar 3. Sistem Vena pada Laring


                                                                    14
Sistem Limfatik
       Laring mempunyai tiga sistem penyaluran limfe, yaitu:4,5
       1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul
           membentuk saluran yang menembus membrana tiroidea menuju
           kelenjar limfe cervical superior profunda. Limfe ini juga menuju ke
           superior dan middle jugular node.
       2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe
           trakea, middle jugular node, dan inferior jugular node.
       3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan
           sistem limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan
           metastase karsinoma laring dan menentukan terapinya.




                           Gambar 4. Sistem Limfatik pada Laring


2.2.   Fisiologi Laring
                Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan
       proteksi disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian
       berikut:3,6,7,8
       1. Fungsi Fonasi
                Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling
           kompleks. Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang
           konstan dan adanya interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara


                                                                               15
dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara pernafasan subglotik
   dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga mulut,
   udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang
   dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik
   laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan
   mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita
   suara sejati.
2. Fungsi Proteksi.
       Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya
   reflek otot-otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup.
   Pada waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat adanya
   rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis, plika
   ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui
   serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter
   dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan
   menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur
   ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke
   sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.
3. Fungsi Respirasi.
       Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk
   memperbesar rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior
   terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka.
   Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH
   darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis,
   sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis.
   Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring
   secara   reflektoris,   sedangkan    peningkatan   pO2   arterial   dan
   hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial
   CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.




                                                                       16
4. Fungsi Sirkulasi.
       Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan
   peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return.
   Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan
   bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya
   reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah
   baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N.
   Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior.
   Bila serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi
   penurunan denyut jantung.
5. Fungsi Fiksasi.
       Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar
   tetap tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan.
6. Fungsi Menelan.
       Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada
   saat berlangsungnya proses menelan, yaitu: Pada waktu menelan faring
   bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus
   dan M. Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago
   krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju
   basis lidah, kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi
   pembukaan faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah
   makanan atau minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan
   menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh epiglotis.
       Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup
   aditus laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral
   menjauhi aditus laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus
   esofagus.
7. Fungsi Batuk.
       Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai
   katup, sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan
   secara   mendadak     menimbulkan     batuk   yang    berguna    untuk

                                                                       17
mempertahankan laring dari ekspansi benda asing atau membersihkan
          sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa laring.
       8. Fungsi Ekspektorasi.
              Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar
          berusaha mengeluarkan benda asing tersebut.
       9. Fungsi Emosi.
              Perubahan emosi dapat menyebabkan perubahan fungsi laring,
          misalnya pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.


2.3.   Definisi
              Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat
       terjadi, baik secara akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi
       mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu.
       Bila gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis kronis.
              Radang akut laring pada umumnya merupakan kelanjutan dari
       rinofaringitis akut (common cold). Sedangkan laringitis kronik merupakan
       radang kronis laring yang dapat disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi
       septum yang berat, polip hidung atau bronkitis kronis. Mungkin juga
       disebabkan oelh penyalahgunaan suara (vocal abuse) seperti berteriak-
       teriak atau biasa berbicara keras.9
              Laringitis kronis dibagi menjadi laringitis kronik non spesifik dan
       spesifik. Laringitis kronik non spesifik dapat disebabkan oleh faktor
       eksogen (rangsangan fisik oleh penyalahgunaan suara, rangsangan kimia,
       infeksi kronik saluran napas atas atau bawah, asap rokok) atau faktor
       endogen (bentuk tubuh, kelainan metabolik). Sedangkan laringitis kronik
       spesifik disebabkan tuberkulosis dan sifilis.10
              Salah satu bentuk laringitis kronis spesifik adalah laringitis
       tuberkulosis. Laringitis tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa
       pita suara dan laring yang terjadi dalam jangka waktu lama yang
       disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosa.6



                                                                              18
2.4.   Epidemiologi
              Sebagaimana insidensi dan prevalensi tuberkulosis paru yang
       mengalami penurunan, kejadian laringitis tuberkulosis juga mengalami
       penurunan, meskipun kecenderungan peningkatan kejadian laringitis
       tuberkulosis dalam beberapa tahun terakhir.11
              Dulu, dinyatakan bahwa penyakit ini sering terjadi pada kelompok
       usia muda yaitu 20 – 40 tahun. Dalam 20 tahun belakangan, insidens
       penyakit ini pada penduduk yang berumur lebih dari 60 tahun jelas
       meningkat. Saat ini tuberkulosis dalam semua bentuk dua kali lebih sering
       pada laki-laki dibanding dengan perempuan. Tuberkulosis laring juga
       lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut, terutama pasien-pasien
       dengan keadaan ekonomi dan kesehatan yang buruk, banyak diantaranya
       adalah peminum alkohol.12


2.5.   Etiologi
              Hampir selalu disebabkan tuberkulosis paru. Setelah diobati
       biasanya tuberkulosis paru sembuh namun laringitis tuberkulosisnya
       menetap, karena struktur mukosa laring sangat lekat pada kartilago serta
       vaskularisasi tidak sebaik paru. Infeksi laring oleh Mycobacterium
       tuberculosa hampir selalu sebagai komplikasi tuberkulosis paru aktif, dan
       ini merupakan penyakit granulomatosis laring yang paling sering.10,11,12


2.6.   Patogenesis
              Laringitis tuberkulosis umumnya merupakan sekunder dari lesi
       tuberkulosis paru aktif, jarang merupakan infeksi primer dari inhalasi basil
       tuberkel secara langsung.10,11,12,13 Secara umum, infeksi kuman ke laring
       dapat terjadi melalui udara pernapasan, sputum yang mengandung kuman,
       atau penyebaran melalui darah atau limfe.9
              Berdasarkan     mekanisme      terjadinya   laringitis   tuberkulosis
       dikategorikan menjadi 2 mekanisme, yaitu:



                                                                                  19
1. Laringitis Tuberkulosis Primer
       Laringitis tuberkulosis primer jarang dilaporkan dalam literatur
   medis. Laringitis tuberkulosis primer terjadi jika ditemukan infeksi
   Mycobacterium tuberculosa pada laring, tanpa disertai adanya
   keterlibatan paru. Rute penyebaran infeksi pada laringitis tuberkulosis
   primer yang saat ini diterima adalah invasi langsung dari basil tuberkel
   melalui inhalasi.13,14 Berdasarkan penelitian yang dilakukan Shin dkk
   (2000), menyatakan bahwa sebanyak 40,6% pasien dengan laringitis
   tuberkulosis memiliki paru yang normal.15


2. Laringitis Tuberkulosis Sekunder
       Laringitis tuberkulosis sekunder terjadi jika ditemukan infeksi
   laring akibat Mycobacterium tuberculosa yang disertai adanya
   keterlibatan   paru.   Laringitis     tuberkulosis    sekunder   merupakan
   komplikasi dari lesi tuberkulosis paru aktif. Mekanisme penyebaran
   infeksi ke laring dapat berupa penyebaran langsung di sepanjang
   saluran pernapasan dari infeksi paru primer berupa sputum yang
   mengandung kuman maupun penyebaran melalui sistem darah ataupun
   limfatik.9


   Penyebaran Lewat Sputum (Bronkogen)
       Penyebaran infeksi basil tuberkel ke laring melalui mekanisme
   bronkogenik    merupakan      teori    yang   lazim     dipahami.   Adanya
   bronkogen dalam hal ini, sputum yang mengandung bakteri M.
   tuberculosis mendasari patogenesis terjadinya laringitis tuberkulosis.
   Terjadinya laringitis tuberkulosis dapat disebabkan oleh tersangkutnya
   sputum yang mengandung basil tuberkulosis di laring, terutama pada
   struktur posterior laring termasuk aritenoid, ruang interaritenoid, pita
   suara bagian posterior dan permukaan epiglotis yang menghadap ke
   laring.11,12



                                                                           20
Antigen dari basil TB yang berada di laring dicerna sel dendritik
lalu dibawa ke kelenjar limfe regional dan mempresentasikan antigen
M. Tuberculosis ke sel Th1. Th1 kemudian berproliferasi dan dapat
kembali ke tempat awal infeksi. Restimulasi oleh sel penyaji setempat
menghasilkan produksi IFN γ dan mengaktifasi makrofag. Bila
eliminasi mikroorganisme ini gagal akan berlanjut pada inflamasi
kronik terjadi dimana patogen persisten di dalam tubuh, maka terjadi
pengalihan respon imun berupa reaksi hipersensitifitas tipe lambat
membentuk granuloma.16
    Setelah kontak awal dengan antigen, sel Th disensitisasi,
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel DTH (delayed type
hypersensitivity) dimana pengerahan makrofag yang berkelanjutan
akan membentuk sel-sel epitloid berupa sel datia dalam granuloma.16
    Tuberkel yang avaskular berisikan daerah perkijuan di tengah
dikelilingi oleh sel epiteloid dan di bagian perifer oleh sel-sel
mononukleus. Kemudian tuberkel-tuberkel ini bersatu membentuk
nodul. Karena letaknya di subepitel, epitel yang melampisinya
mungkin hilang dan sering terjadi ulserasi dengan infeksi sekunder.
Proses ini pertama kali cenderung akan mengenai prosesus vokalis dan
epiglotis.11,12
    Adanya tuberkel mungkin akan merangsang terjadinya hiperplasia
epitel dan jaringan fibrosis subepitel. Hal ini mungkin bermanifestasi
pada daerah interaritenoid berupa penebalan yang menyerupai
pakiderma. Prosesus vokalis mungkin di tutupi oleh nodul yang
menyerupai morbili. Hal ini merupakan manifestasi dari proses
perbaikan karena hanya ditemukan sedikit perkijuan pada lesi.11,12
    Edema jelas pada keadaan lebih lanjut dan mungkin terjadi sebagai
akibat obstruksi jaringan limfe oleh granuloma. Edema dapat timbul di
fossa interaritenoid, kemudian ke aritenoid, plika vokalis, plika
ventrikularis, epiglottis serta terakhir ialah subglotik. Epiglotis dan



                                                                      21
jaringan ikat di atas aritenoid merupakan tempat yang paling tampak
           edema.9,11,12
               Penyembuhan tuberkulosis laring disertai oleh pembentukan kapsul
           jaringan fibrosa dan jaringan menggantikan tuberkel.


           Penyebaran Melalui Limfohematogen
               Selain mekanisme bronkogenik, penyebaran M. tuberculosis pada
           laring dapat juga melalui sistem limfohematogen. Penyebaran melalui
           sistem limfohematogen biasanya mengenai laring anterior dan
           epiglotis.15


2.7.   Gambaran Klinis
               Secara klinis manifestasi laringitis tuberkulosis terdiri dari 4
       stadium yaitu:9,10,12
       1. Stadium infiltrasi
       2. Stadium ulserasi
       3. Stadium perikondritis
       4. Stadium pembentukan tumor


       Stadium Infiltrasi
               Mukosa laring bagian posterior mengalami pembengkakan dan
       hiperemis pada bagian posterior, kadang-kadang dapat mengenai pita
       suara. Pada stadium ini mukosa laring berwarna pucat.
               Kemudian di daerah submukosa terbentuk tuberkel, sehingga
       mukosa tidak rata, tampak bintik berwarna kebiruan. Tuberkel makin
       membesar dan beberapa tuberkel yang berdekatan bersatu, sehingga
       mukosa diatasnya meregang. Pada suatu saat, karena sangat meregang,
       maka akan pecah dan terbentuk ulkus.




                                                                            22
Stadium Ulserasi
          Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus
ini dangkal, dasarnya ditutupi perkijuan dan dirasakan sangat nyeri oleh
pasien.


Stadium Perikondritis
          Ulkus makin dalam sehingga mengenai kartilago laring terutama
kartilago aritenoid dan epiglottis. Dengan demikian terjadi kerusakan
tulang rawan, sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan
melanjut dan terbentuk sekuester. Pada stadium ini pasien sangat buruk
dan dapat meninggal dunia. Bila pasien dapat bertahan maka proses
penyakit      berlanjut   dan   msuk   dalam    stadium    terakhir   yaitu
fibrotuberkulosis.


Stadium Fibrotuberkulosis
          Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding
posterior, pita suara dan subglotik.


          Berdasarkan Shin dkk (2000), temuan pada laringitis tuberkulosis
dapat dikategorikan menjadi empat grup, antara lain (a) lesi ulserasi
(40,9%), (b) lesi inflamasi non spesifik (27,3%), (c) lesi polipoid (22,7%),
dan (d) lesi massa ulcerofungative (9,1%).14




                                                                         23
Gambar 5. Temuan Laringoskopi pada Laringitis Tuberkulosis, A. Lesi
Ulseratif (pada seluruh laring), B. Lesi Granuloma (pada glotis posterior),
    C. Lesi Polyploid (pada plika vokalis palsu kanan), D. Lesi Nonspesifik
                          (pada plika vokalis kanan)


Gejala Klinis
         Tergantung pada stadiumnya, disamping itu terdapat gejala sebagai
berikut:
-     Rasa kering, panas, dan tertekan di daerah laring.
-     Suara parau yang berlangsung berminggu-miggu, sedangkan pada
      stadium lanjut dapat timbul afoni.
-     Hemoptisis.
-     Nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan dengan nyeri
      karena radang lainnya, merupakan tanda yang khas.
-     Keadaan umum buruk.




                                                                          24
-   Pada pemeriksaan paru (secara klinis dan radiologis) terdapat proses
           aktif (biasanya pada stadium eksudatif atau pada pembentukan
           kaverne).


2.8.   Diagnosis
               Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
       dan pemeriksaan penunjang.
       1. Anamnesa
           Pada anamnesa dapat ditanyakan:
           -   Kapan pertama kali timbul serta faktor yang memicu dan
               mengurangi gejala
           -   Riwayat pekerjaan, termasuk adanya kontak dengan bahan yang
               dapat memicu timbulnya laringitis seperti debu, asap.
           -   Penggunaan suara berlebih
           -   Penggunaan      obat-obatan   seperti    diuretik,   antihipertensi,
               antihistamin yang dapat menimbulkan kekeringan pada mukosa
               dan lesi pada mukosa.
           -   Riwayat merokok
           -   Riwayat makan
           -   Suara parau atau disfonia
           -   Batuk kronis terutama pada malam hari
           -   Stridor karena adanya laringospasme bila sekret terdapat disekitar
               pita suara
           -   Disfagia dan otalgia


       2. Gejala dan Pemeriksaan fisik
               Pada pemeriksaan fisik, tampak sakit berat, demam, terdapat
           stridor inspirasi, sianosis, sesak nafas yang ditandai dengan nafas
           cuping hidung dan/atau retraksi dinding dada, frekuensi nafas dapat
           meningkat, dan adanya takikardi yang tidak sesuai dengan peningkatan
           suhu badan merupakan tanda hipoksia.

                                                                                25
3. Laboratorium
   -   Pemeriksaan Bakteriologik
       Bahan pemeriksaan
       Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
       mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
       Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari
       dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
       lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL),
       urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).


       Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
       Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
       Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
       Pagi (keesokan harinya)
       Sewaktu / spot (pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap
       pagi 3 hari berturut-turut.


   -   Kultur kuman
       Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan
       TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan
       masih peka terhadap OAT yang digunakan.


4. Laringoskopi direk atau indirek
       Pemeriksaan dengan laringoskop direk atau indirek dapat
   membantu menegakkan diagnosis. Dari pemeriksaan ini plika vokalis
   berwarna merah dan tampak edema terutama di bagian atas dan bawah
   glotis.




                                                                        26
Gambar 6. Laringitis Tuberkulosis


5. Foto toraks
       Untuk melihat apabila terdapat pembengkakan dan adanya
   gambaran tuberkulosis paru. CT scanning dan MRI juga dapat
   digunakan dan memberikan hasil yang lebih baik. Gambaran
   radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
   -   Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus
       atas paru dan segmen superior lobus bawah.
   -   Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
       berawan atau nodular.




                 Gambar 7. Foto Toraks Tuberkulosis Paru




                                                                     27
6. Pemeriksaan patologi anatomi
               Pada gambaran makroskopi tampak permukaan selaput lendir
           kering dan berbenjol-benjol sedangkan pada mikroskopik terdapat
           epitel permukaan menebal dan opaque, pembentukan granuloma, sel
           besar Langhans, serbukan sel radang menahun pada lapisan
           submukosa.




                         Gambar 8. Histopatologi Laringitis Tuberkulosis


2.9.   Diagnosis Banding
       Diagnosis banding laringitis tuberculosis, antara lain:9,10,12
       -   Laringitis luetika
               Laringitis luetika seringkali memberikan gejala yang sama dengan
           laringitis tuberkulosis. Akan tetapi, radang menahun ini jarang
           ditemukan. Laringitis luetika terjadi pada stadium tertier dari sifilis,
           yaitu stadium pembentukan guma. Apabila gma pecah, maka timbul
           ulkus. Ulkus inimempunyai sifat yang khas, yaitu sangat dalam,
           bertepi dengan dasar yang keras, berwarna merah tua serta
           mengeluarkan eksudat yang berwarna kekuningan. Ulkus tidak
           menyebabkan nyeri dan menjalar sangat cepat, sehingga bila tidak
           terbentuk proses ini akan menjadi perikondritis.




       -   Karsinoma laring

                                                                                28
Karsinoma laring memberikan gejala yang serupa dengan laringitis
           tuberkulosa. Serak adalah gejala utama karsinoma laring, namun
           hubungan antara serak dengan tumor laring tergantung pada letak
           tumor.


2.10.   Penatalaksanaan
        1. Terapi non medikamentosa
           -   Mengistirahatkan pita suara dengan cara pasien tidak banyak
               berbicara.
           -   Menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk
               misalnya goreng-gorengan, makanan pedas.
           -   Konsumsi cairan yang banyak.
           -   Berhenti merokok dan konsumsi alkohol.


        2. Terapi medikamentosa : Obat antituberkulosis (OAT)
           Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok
           yaitu:
           Obat primer:
           -   INH (isoniazid)
           -   Rifampisin
           -   Etambutol
           -   Streptomisin
           -   Pirazinamid
           Obat sekunder:
           -   Exionamid
           -   Paraaminosalisilat
           -   Sikloserin
           -   Amikasin
           -   Kapreomisin
           -   Kanamisin

                                                                            29
Tabel 1. Dosis Obat Anti Tuberkulosis
        Obat             Dosis harian           Dosis 2x/minggu         Dosis 3x/minggu
                       (mg/kgbb/hari)      (mg/kgbb/hari)               (mg/kgbb/hari)
 INH                 5-15 (maks. 300 mg) 15-40 (maks. 900            15-40 (maks. 900
                                             mg)                     mg)
 Rifampisin          10-20 (maks. 600        10-20 (maks. 600        15-20 (maks. 600
                     mg)                     mg)                     mg)
 Pirazinamid         15-40 (maks. 2 g)       50-70 (maks. 4 g)       15-30 (maks. 3 g)
 Etambutol           15-25 (maks. 2,5 g)     50 (maks. 2,5 g)        15-25 (maks. 2,5 g)
 Streptomisin        15-40 (maks. 1 g)       25-40 (maks. 1,5 g)     25.40maks. 1,5 g)

         3. Operatif
               Tindakan operatif dilakukan dengan tujuan untuk pengangkatan
               sekuester. Trakeostomi diindikasikan bila terjadi obstruksi laring.
               Trakeostomi
               Trakeostomi adalah tindakan membuat luabang pada dinding
               depan/anterior trakea untuk bernafas. Trakeostomi dilakukan atas
               indikasi, berikut:
               -   Mengatasi obstruksi laring
               -   Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian
                   atas seperti daerah rongga mulut, sekitar lidah, dan faring.
               -   Mempermudah penghisapan secret dari bronkus pada pasien yang
                   tidak dapat mengeluarkan secret secara fisiologik.
               -   Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan).
               -   Untuk menambil benda asing dari subglotik, apabila tidak
                   mempunyai fasilitas bronkoskopi.
               Trakeostomi pada kasus laringitis tuberkulosis dilakukan atas indikasi
               yaitu jika terjadi obstruksi laring dan mengurangi ruang rugi di saluran
               napas bagian atas seperti daerah rongga mulut, sekitar lidah, dan
               faring.


2.11.    Prognosis
                                                                                     30
Tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup
        sehat serta ketekunan berobat. Bila diagnosa dapat ditegakkan pada
        stadium dini maka prognosisnya baik.4,5


2.12.   Komplikasi
               Pada laringitis akibat peradangan yang terjadi dari daerah lain
        maka dapat terjadi inflamasi yang progresif dan dapat menyebabkan
        kesulitan bernafas. Kesulitan bernafas ini dapat disertai stridor baik pada
        periode inspirasi, ekspirasi atau keduanya. Pada laringitis tuberkulosis
        dapat terjadi sekuele, di antaranya stenosis glotis posterior, stenosis
        subglotis, paralisis plika vokalis, dan persisten disfonia




                                      BAB III
                                 KESIMPULAN
                                                                                31
Tuberkulosa laring hampir selalu disebabkan tuberkulosis paru. Setelah
diobati biasanya tuberkulosis paru sembuh namun laringitis tuberkulosisnya
menetap, karena struktur mukosa laring sangat lekat pada kartilago serta
vaskularisasi tidak sebaik paru, sehingga bila sudah mengenai kartilago,
pengobatannya lebih lama.
       Secara klinis tuberkulosa laring terdiri dari 4 stadium, yaitu : stadium
infiltrasi, stadium ulserasi, stadium perikondritis, stadium pembentukan tumor
(fibrotuberkulosis).
       Diagnosa laringitis tuberculosis ditegakkan berdasarkan pada anamnesis,
gejala dan pemeriksaan fisik, laringoskopi direct dan indirect, laboratorium, foto
toraks, dan pemeriksaan patologi anatomi.
       Terapinya dibagi menjadi medikamentosa dan pembedahan. Terapi non
medikamentosa yaitu mengistirahatkan pita suara dengan cara pasien tidak banyak
berbicara, menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk
misalnya goreng-gorengan, makanan pedas, konsumsi cairan yang banyak,
berhenti merokok dan konsumsi alkohol. Sedangkan terapi medikamentosa adalah
OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Terapi pembedahannya pengangkatan sekuester
dan trakeostomi bila terjadi obstruksi laring.
      Prognosisnya tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan
hidup sehat serta ketekunan berobat. Bila diagnosa dapat ditegakkan pada stadium
dini maka prognosisnya baik.




                             DAFTAR PUSTAKA




                                                                               32
1. Yvette E Smulders, dkk. Laryngeal tuberculosis presenting as a supraglottic
   carcinoma: a case report and review of the literature. Smulders et al; licensee
   BioMed Central Ltd. 2009 [Diakses tanggal 28 April 2012]. Didapatkan dari:
   http://www.jmedicalcasereports.com/content/3/1/9288


2. Gupta, Summer K, Gregory N. Postma, Jamie A. Koufman. Laryngitis.
   Dalam: Bailey, Byron, Johnson, Jonas T. editor. Head & Neck Surgery –
   Otolaryngology, edisi ke-4. Newlands: Lippincott William & Wilkins; 2006.
   Hal 831-832.


3. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
   Tenggorokan Kepala Leher: Disfonia. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit
   Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. Hal 231-234


4. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear,
   head and neck. 13th ed. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993.


5. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran: Anatomi
   Laring. Edisi keenam. Jakarta: EGC; 2006. Hal 805-813.


6. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Pentakit THT, Edisi
   keenam. Jakarta: EGC; 1999. Hal 369-377


7. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck
   Surgery . Eight edition. Connecticut: McGraw-Hill; 2003. Hal 724-736, 747,
   755-760.


8. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J. Bailey.
   Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Third edition. Volume 1.
   Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2001. Hal 479-486.


9. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
   Teggorok Kepala Leher : Kelainan Laring, Edisi keenam. Jakarta: Penerbit
   Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. Hal 238-241


10. Mansjoer A, Kapita Selekta Kedokteran, Laringitis, Edisi Ketiga. Jakarta:
   Penerbit Media Aesculapius; 2006. Hal 126-127


                                                                               33
11. Probst, Rudolf, Gerhard Grevers, Heinrich Iro. Basic Otorhinolaryngology :
   Infectious Disease of Larynx and Trachea. New York: Thieme; 2006. Hal
   354-361


12. Ballenger JJ, Penyakit Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher,
   Penyakit Granulomatosis Kronik Laring, Edisi ketigabelas. Jakarta: Penerbit
   Binarupa Aksara; hal 547-558


13. Keyvan   Kiakojuri, Mohammad Reza Hasanjani Roushan. Laryngeal
   tuberculosis without pulmonary involvement. Caspian J Intern Med 3(1):
   Winter 2012: 3(1): 397-399.


14. Mehndirattan, Anil, Pravin Bhatn, Lamartine D’Costa. Primary tuberculosis of
   Larynx. Ind J tub 1997. 44.211. Didapat dari: http://lrsitbrd.nic.in/IJTB/Year
   %201997/Octuber%201997/OCT1997%20J.pdf


15. Shin JE, Nam SY, Yoo SJ, Kim SY. Changing trends in clinical
   manifestations of laryngeal tuberculosis. Laryngoscope 2000; 110: 1950-
   1953s.


16. Baratawijdaja KG. Imunologi Dasar Edisi 7. Balai penerbit FK UI. Jakarta.
    2006; h. 145, 170-173.




                                                                              34

More Related Content

What's hot

Penyakit Meniere
Penyakit MenierePenyakit Meniere
Penyakit MeniereAntox Utomo
 
Referat pneumothorax
Referat pneumothoraxReferat pneumothorax
Referat pneumothoraxListiana Dewi
 
Parese nervus fasialis
Parese nervus fasialisParese nervus fasialis
Parese nervus fasialisfikri asyura
 
Abses paru by dr.Yanuarman
Abses paru by dr.Yanuarman Abses paru by dr.Yanuarman
Abses paru by dr.Yanuarman Ajo Yayan
 
BAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang
BAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan SedangBAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang
BAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan SedangSyscha Lumempouw
 
Crs selulitis orbita
Crs selulitis orbitaCrs selulitis orbita
Crs selulitis orbitaDessi Dessi
 
Tekanan Intrakranial
Tekanan IntrakranialTekanan Intrakranial
Tekanan IntrakranialAris Rahmanda
 
Veruka vulgaris
Veruka vulgarisVeruka vulgaris
Veruka vulgarisery putra
 
Check list pemeriksaan neurologi 2
Check list pemeriksaan neurologi 2Check list pemeriksaan neurologi 2
Check list pemeriksaan neurologi 2cokordawahyu
 
Ulkus & gangren diabetikum
Ulkus & gangren diabetikumUlkus & gangren diabetikum
Ulkus & gangren diabetikumagusrandasetyawan
 
Perianal fistula
Perianal fistulaPerianal fistula
Perianal fistulaSany Agnia
 
Status Dermatologikus
Status DermatologikusStatus Dermatologikus
Status Dermatologikuspeternugraha
 
Buku Saku Lintas Diare, edisi-2011
Buku Saku Lintas Diare, edisi-2011Buku Saku Lintas Diare, edisi-2011
Buku Saku Lintas Diare, edisi-2011Surya Amal
 
225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus
225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus
225881539 appendisitis-akut-laporan-kasusaauyahilda
 

What's hot (20)

Lepra
LepraLepra
Lepra
 
Case hernia putri
Case hernia putriCase hernia putri
Case hernia putri
 
Fraktur tibia
Fraktur tibiaFraktur tibia
Fraktur tibia
 
Penyakit Meniere
Penyakit MenierePenyakit Meniere
Penyakit Meniere
 
Referat pneumothorax
Referat pneumothoraxReferat pneumothorax
Referat pneumothorax
 
Glaukoma
GlaukomaGlaukoma
Glaukoma
 
Parese nervus fasialis
Parese nervus fasialisParese nervus fasialis
Parese nervus fasialis
 
2. konjungtiva
2. konjungtiva2. konjungtiva
2. konjungtiva
 
Abses paru by dr.Yanuarman
Abses paru by dr.Yanuarman Abses paru by dr.Yanuarman
Abses paru by dr.Yanuarman
 
Anemia
AnemiaAnemia
Anemia
 
BAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang
BAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan SedangBAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang
BAB II Case Report diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang
 
Crs selulitis orbita
Crs selulitis orbitaCrs selulitis orbita
Crs selulitis orbita
 
Tekanan Intrakranial
Tekanan IntrakranialTekanan Intrakranial
Tekanan Intrakranial
 
Veruka vulgaris
Veruka vulgarisVeruka vulgaris
Veruka vulgaris
 
Check list pemeriksaan neurologi 2
Check list pemeriksaan neurologi 2Check list pemeriksaan neurologi 2
Check list pemeriksaan neurologi 2
 
Ulkus & gangren diabetikum
Ulkus & gangren diabetikumUlkus & gangren diabetikum
Ulkus & gangren diabetikum
 
Perianal fistula
Perianal fistulaPerianal fistula
Perianal fistula
 
Status Dermatologikus
Status DermatologikusStatus Dermatologikus
Status Dermatologikus
 
Buku Saku Lintas Diare, edisi-2011
Buku Saku Lintas Diare, edisi-2011Buku Saku Lintas Diare, edisi-2011
Buku Saku Lintas Diare, edisi-2011
 
225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus
225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus
225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus
 

Similar to Laringitis tuberkulosa

Selasa,, askep pada klien dengan gangguan repirasi kanker paru2 fitri2 ereke
Selasa,, askep pada klien dengan gangguan repirasi kanker paru2 fitri2 erekeSelasa,, askep pada klien dengan gangguan repirasi kanker paru2 fitri2 ereke
Selasa,, askep pada klien dengan gangguan repirasi kanker paru2 fitri2 erekeOperator Warnet Vast Raha
 
STUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN
STUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATANSTUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN
STUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATANmariaseptiamemorini
 
Asuhan Keperawatan Emfisema
Asuhan Keperawatan EmfisemaAsuhan Keperawatan Emfisema
Asuhan Keperawatan EmfisemaAmee Hidayat
 
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...winaldy21
 
Kelompok vi b fister
Kelompok vi b fisterKelompok vi b fister
Kelompok vi b fisterDewi Purwati
 
Makalah tb paru
Makalah tb paruMakalah tb paru
Makalah tb paruKANDA IZUL
 
ASMA2 YOHANA.pdf
ASMA2 YOHANA.pdfASMA2 YOHANA.pdf
ASMA2 YOHANA.pdfyohana63
 
Skrining hubungan penyakit diare dengan sanitasi lingkungan epidemiologi univ...
Skrining hubungan penyakit diare dengan sanitasi lingkungan epidemiologi univ...Skrining hubungan penyakit diare dengan sanitasi lingkungan epidemiologi univ...
Skrining hubungan penyakit diare dengan sanitasi lingkungan epidemiologi univ...Muhammad Rasyad
 
TATALAKSANA BATUK PADA ANAK (EFIR).docx
TATALAKSANA BATUK PADA ANAK (EFIR).docxTATALAKSANA BATUK PADA ANAK (EFIR).docx
TATALAKSANA BATUK PADA ANAK (EFIR).docxUGDPKMMARIDAN
 
Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...
Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...
Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...sofian.alfarisi
 
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) & Asma
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) & AsmaPPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) & Asma
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) & AsmaMimaNasution
 
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAKPETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAKSurya Amal
 
Askep tonsilitis dan laringitis AKPER PEMKAB MUNA
Askep tonsilitis dan laringitis AKPER PEMKAB MUNA Askep tonsilitis dan laringitis AKPER PEMKAB MUNA
Askep tonsilitis dan laringitis AKPER PEMKAB MUNA Operator Warnet Vast Raha
 

Similar to Laringitis tuberkulosa (20)

KEL 3 ASMA KELAS C-1.docx
KEL 3 ASMA KELAS C-1.docxKEL 3 ASMA KELAS C-1.docx
KEL 3 ASMA KELAS C-1.docx
 
Selasa,, askep pada klien dengan gangguan repirasi kanker paru2 fitri2 ereke
Selasa,, askep pada klien dengan gangguan repirasi kanker paru2 fitri2 erekeSelasa,, askep pada klien dengan gangguan repirasi kanker paru2 fitri2 ereke
Selasa,, askep pada klien dengan gangguan repirasi kanker paru2 fitri2 ereke
 
STUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN
STUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATANSTUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN
STUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN
 
Asuhan Keperawatan Emfisema
Asuhan Keperawatan EmfisemaAsuhan Keperawatan Emfisema
Asuhan Keperawatan Emfisema
 
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
 
Kelompok vi b fister
Kelompok vi b fisterKelompok vi b fister
Kelompok vi b fister
 
Tinjauan pustaka 1
Tinjauan pustaka 1Tinjauan pustaka 1
Tinjauan pustaka 1
 
Makalah tb paru
Makalah tb paruMakalah tb paru
Makalah tb paru
 
ASMA2 YOHANA.pdf
ASMA2 YOHANA.pdfASMA2 YOHANA.pdf
ASMA2 YOHANA.pdf
 
gastroenteritis
gastroenteritisgastroenteritis
gastroenteritis
 
ruang lingkup epidemiologi
ruang lingkup epidemiologiruang lingkup epidemiologi
ruang lingkup epidemiologi
 
Skrining hubungan penyakit diare dengan sanitasi lingkungan epidemiologi univ...
Skrining hubungan penyakit diare dengan sanitasi lingkungan epidemiologi univ...Skrining hubungan penyakit diare dengan sanitasi lingkungan epidemiologi univ...
Skrining hubungan penyakit diare dengan sanitasi lingkungan epidemiologi univ...
 
Pengantar epidemiologi
Pengantar epidemiologiPengantar epidemiologi
Pengantar epidemiologi
 
TATALAKSANA BATUK PADA ANAK (EFIR).docx
TATALAKSANA BATUK PADA ANAK (EFIR).docxTATALAKSANA BATUK PADA ANAK (EFIR).docx
TATALAKSANA BATUK PADA ANAK (EFIR).docx
 
Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...
Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...
Epidemiologi Deskriptif Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Keraton M...
 
Bab i..
Bab i..Bab i..
Bab i..
 
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) & Asma
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) & AsmaPPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) & Asma
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) & Asma
 
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAKPETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
 
Askep tonsilitis dan laringitis AKPER PEMKAB MUNA
Askep tonsilitis dan laringitis AKPER PEMKAB MUNA Askep tonsilitis dan laringitis AKPER PEMKAB MUNA
Askep tonsilitis dan laringitis AKPER PEMKAB MUNA
 
Askep tonsilitis dan laringitis
Askep tonsilitis dan laringitisAskep tonsilitis dan laringitis
Askep tonsilitis dan laringitis
 

More from Yarah Azzilzah

More from Yarah Azzilzah (17)

Tabir Surya
Tabir SuryaTabir Surya
Tabir Surya
 
F 31 gangguan afektif bipolar
F 31 gangguan afektif bipolarF 31 gangguan afektif bipolar
F 31 gangguan afektif bipolar
 
F 32 episode depresif
F 32 episode depresifF 32 episode depresif
F 32 episode depresif
 
F 30 episode manik
F 30 episode manikF 30 episode manik
F 30 episode manik
 
Hemoptysis
HemoptysisHemoptysis
Hemoptysis
 
Flail Chest
Flail ChestFlail Chest
Flail Chest
 
Gangguan kepribadian histrionik
Gangguan kepribadian histrionik Gangguan kepribadian histrionik
Gangguan kepribadian histrionik
 
Malingering & Munchausen
Malingering & MunchausenMalingering & Munchausen
Malingering & Munchausen
 
Thalasemia
Thalasemia Thalasemia
Thalasemia
 
Sindrom hepato renal
Sindrom hepato renalSindrom hepato renal
Sindrom hepato renal
 
acute coronary syndrome
acute coronary syndromeacute coronary syndrome
acute coronary syndrome
 
Fluid management
Fluid managementFluid management
Fluid management
 
Apnea pada neonatus
Apnea pada neonatusApnea pada neonatus
Apnea pada neonatus
 
Tamponade Jantung
Tamponade JantungTamponade Jantung
Tamponade Jantung
 
Pneumotoraks
PneumotoraksPneumotoraks
Pneumotoraks
 
Kasus prinsip pelayanan kedokteran keluarga
Kasus prinsip pelayanan kedokteran keluargaKasus prinsip pelayanan kedokteran keluarga
Kasus prinsip pelayanan kedokteran keluarga
 
Fraktur Iga
Fraktur IgaFraktur Iga
Fraktur Iga
 

Recently uploaded

PPT KONSEP TUMBUH KEMBANG ANAK DINI 1 - 5 TAHUN
PPT KONSEP TUMBUH KEMBANG ANAK DINI 1 -  5 TAHUNPPT KONSEP TUMBUH KEMBANG ANAK DINI 1 -  5 TAHUN
PPT KONSEP TUMBUH KEMBANG ANAK DINI 1 - 5 TAHUNYhoGa3
 
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh DiriAsuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diriandi861789
 
PEDOMAN PROTOTYPE PUSKESMAS_KEMENKES ALL by zb NERMI.pdf
PEDOMAN PROTOTYPE PUSKESMAS_KEMENKES ALL by zb NERMI.pdfPEDOMAN PROTOTYPE PUSKESMAS_KEMENKES ALL by zb NERMI.pdf
PEDOMAN PROTOTYPE PUSKESMAS_KEMENKES ALL by zb NERMI.pdfMeboix
 
1. Penilaian Konsumsi Pangan dan Masalah Gizi.pptx
1. Penilaian Konsumsi Pangan dan Masalah Gizi.pptx1. Penilaian Konsumsi Pangan dan Masalah Gizi.pptx
1. Penilaian Konsumsi Pangan dan Masalah Gizi.pptxgizifik
 
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasiBLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasiNezaPurna
 
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinanDwiNormaR
 
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptxPPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptxAcephasan2
 
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdfPPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdfhurufd86
 
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.pptkonsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.pptKianSantang21
 
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah SakitPresentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah SakitIrfanNersMaulana
 
Presentasi farmakologi materi hipertensi
Presentasi farmakologi materi hipertensiPresentasi farmakologi materi hipertensi
Presentasi farmakologi materi hipertensissuser1cc42a
 
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod SurabayaToko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabayaajongshopp
 
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdfMeboix
 
Diagnosis ILTB terapi dan monitoring TPT Fix.pptx
Diagnosis ILTB terapi dan monitoring TPT Fix.pptxDiagnosis ILTB terapi dan monitoring TPT Fix.pptx
Diagnosis ILTB terapi dan monitoring TPT Fix.pptxMelisaBSelawati
 
Anatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal.ppt
Anatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal.pptAnatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal.ppt
Anatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal.pptAcephasan2
 
ppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptx
ppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptxppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptx
ppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptxmarodotodo
 
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptx
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptxSediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptx
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptxwisanggeni19
 
karbohidrat dalam bidang ilmu farmakognosi
karbohidrat dalam bidang ilmu farmakognosikarbohidrat dalam bidang ilmu farmakognosi
karbohidrat dalam bidang ilmu farmakognosizahira96431
 
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutika
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutikaPresentasi materi antibiotik kemoterapeutika
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutikassuser1cc42a
 
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal DiabetesFARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal DiabetesNadrohSitepu1
 

Recently uploaded (20)

PPT KONSEP TUMBUH KEMBANG ANAK DINI 1 - 5 TAHUN
PPT KONSEP TUMBUH KEMBANG ANAK DINI 1 -  5 TAHUNPPT KONSEP TUMBUH KEMBANG ANAK DINI 1 -  5 TAHUN
PPT KONSEP TUMBUH KEMBANG ANAK DINI 1 - 5 TAHUN
 
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh DiriAsuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
 
PEDOMAN PROTOTYPE PUSKESMAS_KEMENKES ALL by zb NERMI.pdf
PEDOMAN PROTOTYPE PUSKESMAS_KEMENKES ALL by zb NERMI.pdfPEDOMAN PROTOTYPE PUSKESMAS_KEMENKES ALL by zb NERMI.pdf
PEDOMAN PROTOTYPE PUSKESMAS_KEMENKES ALL by zb NERMI.pdf
 
1. Penilaian Konsumsi Pangan dan Masalah Gizi.pptx
1. Penilaian Konsumsi Pangan dan Masalah Gizi.pptx1. Penilaian Konsumsi Pangan dan Masalah Gizi.pptx
1. Penilaian Konsumsi Pangan dan Masalah Gizi.pptx
 
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasiBLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
 
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
 
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptxPPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
 
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdfPPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
 
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.pptkonsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
 
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah SakitPresentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
 
Presentasi farmakologi materi hipertensi
Presentasi farmakologi materi hipertensiPresentasi farmakologi materi hipertensi
Presentasi farmakologi materi hipertensi
 
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod SurabayaToko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
 
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
 
Diagnosis ILTB terapi dan monitoring TPT Fix.pptx
Diagnosis ILTB terapi dan monitoring TPT Fix.pptxDiagnosis ILTB terapi dan monitoring TPT Fix.pptx
Diagnosis ILTB terapi dan monitoring TPT Fix.pptx
 
Anatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal.ppt
Anatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal.pptAnatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal.ppt
Anatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal.ppt
 
ppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptx
ppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptxppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptx
ppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptx
 
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptx
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptxSediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptx
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptx
 
karbohidrat dalam bidang ilmu farmakognosi
karbohidrat dalam bidang ilmu farmakognosikarbohidrat dalam bidang ilmu farmakognosi
karbohidrat dalam bidang ilmu farmakognosi
 
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutika
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutikaPresentasi materi antibiotik kemoterapeutika
Presentasi materi antibiotik kemoterapeutika
 
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal DiabetesFARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
 

Laringitis tuberkulosa

  • 1. Refrat LARINGITIS TUBERKULOSIS Penyaji: Yarah Azzilzah, S.Ked 04104705264 Siti Rohani, S.Ked 04104705275 Ari Dwi Prasetyo, S.Ked 04081001063 Zelfi Primasari, S.Ked 04081001072 Nopriansyah, S.Ked 54081001057 R. Pramudianto, S.Ked 04104905001 Pembimbing: Dr. H. Sofyan Effendi, Sp. THT-KL DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK FAKULTAS KEDOKTERAN UNSRI / RS DR. MOHAMMAD HOESINPALEMBANG 2012 1
  • 2. HALAMAN PENGESAHAN Referat dengan judul: LARINGITIS TUBERKULOSIS Disusun oleh : Yarah Azzilzah, S.Ked 04104705264 Siti Rohani, S.Ked 04104705275 Ari Dwi Prasetyo, S.Ked 04081001063 Zelfi Primasari, S.Ked 04081001072 Nopriansyah, S.Ked 54081001057 R. Pramudianto, S.Ked 04104905001 Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior periode 16 Maret 2012 – 21 Mei 2012 di Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok Fakultas Kedokteran Uiversitas Sriwijaya/Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Palembang, April 2012 Pembimbing, Dr. H. Sofyan Effendi, Sp. THT-KL 2
  • 3. KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini dalam batas waktu yang telah ditentukan. Referat yang berjudul “Laringitis Tuberkulosis” ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok Fakultas Kedokteran UNSRI/Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. H. Sofyan Effendi, Sp. THT-KL yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan referat ini. Penulis menyadari banyak kekurangan dalam referat ini, baik susunan maupun materi yang disajikan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan di masa yang akan datang. Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Palembang, April 2012 Penulis 3
  • 4. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL............................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... ii KATA PENGANTAR.......................................................................................... iii DAFTAR ISI......................................................................................................... iv DAFTAR TABEL................................................................................................. v DAFTAR GAMBAR............................................................................................ vi BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1 BAB II LARINGITIS TUBERKULOSIS.......................................................... 3 2.1. Anatomi Laring............................................................................. 3 2.2. Fisiologi Laring............................................................................. 9 2.3. Definisi.......................................................................................... 12 2.4. Epidemiologi................................................................................. 13 2.5. Etiologi.......................................................................................... 13 2.6. Patogenesis.................................................................................... 13 2.7. Gambaran Klinis........................................................................... 16 2.8. Diagnosis....................................................................................... 19 2.9. Diagnosis Banding........................................................................ 22 2.9. Penatalaksanaan............................................................................ 23 2.10. Prognosis....................................................................................... 25 2.11. Komplikasi.................................................................................... 25 BAB III KESIMPULAN....................................................................................... 26 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 27 4
  • 5. DAFTAR TABEL Tabel 1 Dosis Obat Anti Tuberkulosis.................................................................. 24 5
  • 6. DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Anatomi Laring................................................................................... 4 Gambar 2. Sistem Arteri pada laring..................................................................... 8 Gambar 3. Sistem Vena pada Laring.................................................................... 8 Gambar 4. Sistem Limfatik pada Laring............................................................... 9 Gambar 5. Temuan Laringoskopi Laringitis pada Tuberkulosis.......................... 18 Gambar 6. Laringitis Tuberkulosis....................................................................... 21 Gambar 7. Foto Toraks Tuberkulosis Paru........................................................... 21 Gambar 8. Histopatologi Laringitis Tuberkulosis................................................. 22 BAB I 6
  • 7. PENDAHULUAN Laringitis merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada daerah laring. Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi, baik secara akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang dari 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis kronis. Salah satu bentuk laringitis kronis spesifik adalah laringitis tuberkulosis. Laringitis tuberkulosis adalah penyakit granulomatosa yang paling umum dari laring dan seringkali dihubungkan dengan tuberkulosis paru aktif. Laringitis tuberkulosis merupakan salah satu komplikasi dari tuberkulosis paru. Pada awal abad ke-20, laringitis tuberkulosis mengenai 25-30% pasien tuberkulosis paru. Sedangkan sekarang hanya 1% kasus laringitis tuberkulosis.1 Penurunan kejadiaan laringitis tuberkulosis ini terjadi sebagai akibat dari peningkatan perawatan kesehatan masyarakat dan perkembangan antituberkulosis yang efektif. Penderita dengan laringitis tuberkulosis biasanya datang dengan gejala, seperti disfonia, odynophagia, dyspnea, odynophonia, dan batuk. Obstruksi pernafasan bisa terjadi pada stadium lanjut penyakit. Pemahaman bahwa karsinoma laring juga sering menunjukkan gejala serupa merupakan keharusan untuk mengevaluasi laringitis. Gejala pada saluran pernapasan seperti batuk kronis, hemoptisis dan gejala sistemik seperti demam, keringat malam, dan penurunan berat badan merupakan gejala-gejala umum yang sering dijumpai pada pasien dengan tuberkulosis.2 Pada laringitis tuberkulosis proses inflamasi akan berlangsung secara progresif dan dapat menyebabkan kesulitan bernapas. Kesulitan bernafas ini dapat disertai stridor, baik pada periode inspirasi, ekspirasi atau keduanya. Jika tidak segera diobati, stenosis dapat berkembang, sehingga diperlukan trakeostomi. Akan tetapi, sering kali setelah diberi pengobatan, tuberkulosis parunya sembuh tetapi laringitis tuberkulosisnya menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring yang sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi yang tidak sebaik di paru, sehingga bila sudah mengeni kartilago, pengobatannya lebih lama.3 7
  • 8. Oleh karena itu, pembahasan mengenai laringitis tuberculosis lebih lanjut diperlukan agar dapat memberi pengetahuan mengenai cara diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat guna mencegah komplikasi yang akan terjadi. BAB II LARINGITIS TUBERKULOSA 8
  • 9. 2.1. Anatomi Laring Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi vertebra cervicalis IV – VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi. Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang menelan makanan.4 Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat aditus laringeus yang berhubungan dengan hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari vertebra cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum laringofaring, serta di sebelah anterior ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahyoid, dan lobus kelenjar tiroid.3,4 Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid dan beberapa buah tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti huruf U, yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan tengkorak oleh tendo dan otot-otot. 3,4,5 Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata dan kartilago tiroid.3,4,5 Pada laring terdapat dua buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior), ligamentum krikotiroid medial, ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum kornikulofaringal, ligamentum hiotiroid lateral, ligamentum hiotiroid medial, ligamentum hioepiglotika, ligamentum ventrikularis, ligamentum vokal yang menghubungkan kartilago aritenoid dengan kartilago tiroid dan ligamentum tiroepiglotika.3,4 9
  • 10. Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago tiroidea di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os Hyoid dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan tempat melekatnya otot-otot dan ligamenta serta akan mengalami osifikasi sempurna pada usia 2 tahun.3,4 Gambar 1. Anatomi Laring Anatomi Bagian Laring Dalam Cavum laring dapat dibagi menjadi sebagai berikut:4 1. Supraglotis (vestibulum superior) Yaitu ruangan diantara permukaan atas pita suara palsu dan inlet laring. 2. Glotis (pars media) Yaitu ruangan yang terletak antara pita suara palsu dengan pita suara sejati serta membentuk rongga yang disebut ventrikel laring Morgagni. 3. Infraglotis (pars inferior) 10
  • 11. Yaitu ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi bawah kartilago krikoidea. Beberapa bagian penting dari dalam laring:4 Aditus Laringeus Pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk di anterior oleh epiglotis, lateral oleh plika ariepiglotika, posterior oleh ujung kartilago kornikulata dan tepi atas m. aritenoideus. Rima Vestibuli. Merupakan celah antara pita suara palsu. Rima glottis Di depan merupakan celah antara pita suara sejati, di belakang antara prosesus vokalis dan basis kartilago aritenoidea. Vallecula Terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan basis lidah, dibentuk oleh plika glossoepiglotika medial dan lateral. Plika Ariepiglotika Dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare yang berjalan dari kartilago epiglotika ke kartilago aritenoidea dan kartilago kornikulata. Plika Pyriformis (Hipofaring) Terletak antara plika ariepiglotika dan permukaan dalam kartilago tiroidea. Incisura Interaritenoidea 11
  • 12. Suatu lekukan atau takik diantara tuberkulum kornikulatum kanan dan kiri. Vestibulum Laring Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membrana kuadringularis, kartilago aritenoid, permukaan atas proc. vokalis kartilago aritenoidea dan m.interaritenoidea. Plika Ventrikularis (pita suara palsu) Yaitu pita suara palsu yang bergerak bersama-sama dengan kartilago aritenoidea untuk menutup glottis dalam keadaan terpaksa, merupakan dua lipatan tebal dari selaput lendir dengan jaringan ikat tipis di tengahnya. Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus) Yaitu ruangan antara pita suara palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari ventrikel terdapat suatu divertikulum yang meluas ke atas diantara pita suara palsu dan permukaan dalam kartilago tiroidea, dilapisi epitel berlapis semu bersilia dengan beberapa kelenjar seromukosa yang fungsinya untuk melicinkan pita suara sejati, disebut appendiks atau sakulus ventrikel laring. Plika Vokalis (pita suara sejati) Terdapat di bagian bawah laring. Tiga per lima bagian dibentuk oleh ligamentum vokalis dan celahnya disebut intermembranous portion, dan dua per lima belakang dibentuk oleh prosesus vokalis dari kartilago aritenoidea dan disebut intercartilagenous portion. 12
  • 13. Persarafan Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan Nn. Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan.4,5 1. Nn. Laringeus Superior. Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke depan dan medial di bawah A. karotis interna dan eksterna yang kemudian akan bercabang dua, yaitu : Cabang Interna ; bersifat sensoris, mempersarafi vallecula, epiglotis, sinus pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara sejati. Cabang Eksterna ; bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid dan m. Konstriktor inferior. 2. N. Laringeus Inferior (N. Laringeus Rekuren). Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeus yang kiri mempunyai perjalanan yang panjang dan dekat dengan Aorta sehingga mudah terganggu. Merupakan cabang N. vagus setinggi bagian proksimal A. subklavia dan berjalan membelok ke atas sepanjang lekukan antara trakea dan esofagus, selanjutnya akan mencapai laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea dan memberikan persarafan: Sensoris, mempersarafi daerah sub glotis dan bagian atas trakea Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali M. Krikotiroidea Pendarahan Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior sebagai A. Laringeus Superior dan Inferior.4,5 1. Arteri Laringeus Superior Berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus membrana tirohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus pyriformis. 13
  • 14. 2. Arteri Laringeus Inferior Berjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring melalui area Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M. Konstriktor Faringeus Inferior, di dalam laring beranastomose dengan A. Laringeus Superior dan memperdarahi otot-otot dan mukosa laring. Gambar 2. Sistem Arteri pada Laring Darah vena dialirkan melalui V. Laringeus Superior dan Inferior ke V. Tiroidea Superior dan Inferior yang kemudian akan bermuara ke V. Jugularis Interna. Gambar 3. Sistem Vena pada Laring 14
  • 15. Sistem Limfatik Laring mempunyai tiga sistem penyaluran limfe, yaitu:4,5 1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul membentuk saluran yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar limfe cervical superior profunda. Limfe ini juga menuju ke superior dan middle jugular node. 2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe trakea, middle jugular node, dan inferior jugular node. 3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan sistem limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan metastase karsinoma laring dan menentukan terapinya. Gambar 4. Sistem Limfatik pada Laring 2.2. Fisiologi Laring Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut:3,6,7,8 1. Fungsi Fonasi Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara 15
  • 16. dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati. 2. Fungsi Proteksi. Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus. 3. Fungsi Respirasi. Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara. 16
  • 17. 4. Fungsi Sirkulasi. Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung. 5. Fungsi Fiksasi. Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan. 6. Fungsi Menelan. Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat berlangsungnya proses menelan, yaitu: Pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh epiglotis. Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus. 7. Fungsi Batuk. Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup, sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk 17
  • 18. mempertahankan laring dari ekspansi benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa laring. 8. Fungsi Ekspektorasi. Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha mengeluarkan benda asing tersebut. 9. Fungsi Emosi. Perubahan emosi dapat menyebabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan. 2.3. Definisi Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi, baik secara akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis kronis. Radang akut laring pada umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis akut (common cold). Sedangkan laringitis kronik merupakan radang kronis laring yang dapat disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip hidung atau bronkitis kronis. Mungkin juga disebabkan oelh penyalahgunaan suara (vocal abuse) seperti berteriak- teriak atau biasa berbicara keras.9 Laringitis kronis dibagi menjadi laringitis kronik non spesifik dan spesifik. Laringitis kronik non spesifik dapat disebabkan oleh faktor eksogen (rangsangan fisik oleh penyalahgunaan suara, rangsangan kimia, infeksi kronik saluran napas atas atau bawah, asap rokok) atau faktor endogen (bentuk tubuh, kelainan metabolik). Sedangkan laringitis kronik spesifik disebabkan tuberkulosis dan sifilis.10 Salah satu bentuk laringitis kronis spesifik adalah laringitis tuberkulosis. Laringitis tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring yang terjadi dalam jangka waktu lama yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosa.6 18
  • 19. 2.4. Epidemiologi Sebagaimana insidensi dan prevalensi tuberkulosis paru yang mengalami penurunan, kejadian laringitis tuberkulosis juga mengalami penurunan, meskipun kecenderungan peningkatan kejadian laringitis tuberkulosis dalam beberapa tahun terakhir.11 Dulu, dinyatakan bahwa penyakit ini sering terjadi pada kelompok usia muda yaitu 20 – 40 tahun. Dalam 20 tahun belakangan, insidens penyakit ini pada penduduk yang berumur lebih dari 60 tahun jelas meningkat. Saat ini tuberkulosis dalam semua bentuk dua kali lebih sering pada laki-laki dibanding dengan perempuan. Tuberkulosis laring juga lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut, terutama pasien-pasien dengan keadaan ekonomi dan kesehatan yang buruk, banyak diantaranya adalah peminum alkohol.12 2.5. Etiologi Hampir selalu disebabkan tuberkulosis paru. Setelah diobati biasanya tuberkulosis paru sembuh namun laringitis tuberkulosisnya menetap, karena struktur mukosa laring sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi tidak sebaik paru. Infeksi laring oleh Mycobacterium tuberculosa hampir selalu sebagai komplikasi tuberkulosis paru aktif, dan ini merupakan penyakit granulomatosis laring yang paling sering.10,11,12 2.6. Patogenesis Laringitis tuberkulosis umumnya merupakan sekunder dari lesi tuberkulosis paru aktif, jarang merupakan infeksi primer dari inhalasi basil tuberkel secara langsung.10,11,12,13 Secara umum, infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara pernapasan, sputum yang mengandung kuman, atau penyebaran melalui darah atau limfe.9 Berdasarkan mekanisme terjadinya laringitis tuberkulosis dikategorikan menjadi 2 mekanisme, yaitu: 19
  • 20. 1. Laringitis Tuberkulosis Primer Laringitis tuberkulosis primer jarang dilaporkan dalam literatur medis. Laringitis tuberkulosis primer terjadi jika ditemukan infeksi Mycobacterium tuberculosa pada laring, tanpa disertai adanya keterlibatan paru. Rute penyebaran infeksi pada laringitis tuberkulosis primer yang saat ini diterima adalah invasi langsung dari basil tuberkel melalui inhalasi.13,14 Berdasarkan penelitian yang dilakukan Shin dkk (2000), menyatakan bahwa sebanyak 40,6% pasien dengan laringitis tuberkulosis memiliki paru yang normal.15 2. Laringitis Tuberkulosis Sekunder Laringitis tuberkulosis sekunder terjadi jika ditemukan infeksi laring akibat Mycobacterium tuberculosa yang disertai adanya keterlibatan paru. Laringitis tuberkulosis sekunder merupakan komplikasi dari lesi tuberkulosis paru aktif. Mekanisme penyebaran infeksi ke laring dapat berupa penyebaran langsung di sepanjang saluran pernapasan dari infeksi paru primer berupa sputum yang mengandung kuman maupun penyebaran melalui sistem darah ataupun limfatik.9 Penyebaran Lewat Sputum (Bronkogen) Penyebaran infeksi basil tuberkel ke laring melalui mekanisme bronkogenik merupakan teori yang lazim dipahami. Adanya bronkogen dalam hal ini, sputum yang mengandung bakteri M. tuberculosis mendasari patogenesis terjadinya laringitis tuberkulosis. Terjadinya laringitis tuberkulosis dapat disebabkan oleh tersangkutnya sputum yang mengandung basil tuberkulosis di laring, terutama pada struktur posterior laring termasuk aritenoid, ruang interaritenoid, pita suara bagian posterior dan permukaan epiglotis yang menghadap ke laring.11,12 20
  • 21. Antigen dari basil TB yang berada di laring dicerna sel dendritik lalu dibawa ke kelenjar limfe regional dan mempresentasikan antigen M. Tuberculosis ke sel Th1. Th1 kemudian berproliferasi dan dapat kembali ke tempat awal infeksi. Restimulasi oleh sel penyaji setempat menghasilkan produksi IFN γ dan mengaktifasi makrofag. Bila eliminasi mikroorganisme ini gagal akan berlanjut pada inflamasi kronik terjadi dimana patogen persisten di dalam tubuh, maka terjadi pengalihan respon imun berupa reaksi hipersensitifitas tipe lambat membentuk granuloma.16 Setelah kontak awal dengan antigen, sel Th disensitisasi, berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel DTH (delayed type hypersensitivity) dimana pengerahan makrofag yang berkelanjutan akan membentuk sel-sel epitloid berupa sel datia dalam granuloma.16 Tuberkel yang avaskular berisikan daerah perkijuan di tengah dikelilingi oleh sel epiteloid dan di bagian perifer oleh sel-sel mononukleus. Kemudian tuberkel-tuberkel ini bersatu membentuk nodul. Karena letaknya di subepitel, epitel yang melampisinya mungkin hilang dan sering terjadi ulserasi dengan infeksi sekunder. Proses ini pertama kali cenderung akan mengenai prosesus vokalis dan epiglotis.11,12 Adanya tuberkel mungkin akan merangsang terjadinya hiperplasia epitel dan jaringan fibrosis subepitel. Hal ini mungkin bermanifestasi pada daerah interaritenoid berupa penebalan yang menyerupai pakiderma. Prosesus vokalis mungkin di tutupi oleh nodul yang menyerupai morbili. Hal ini merupakan manifestasi dari proses perbaikan karena hanya ditemukan sedikit perkijuan pada lesi.11,12 Edema jelas pada keadaan lebih lanjut dan mungkin terjadi sebagai akibat obstruksi jaringan limfe oleh granuloma. Edema dapat timbul di fossa interaritenoid, kemudian ke aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, epiglottis serta terakhir ialah subglotik. Epiglotis dan 21
  • 22. jaringan ikat di atas aritenoid merupakan tempat yang paling tampak edema.9,11,12 Penyembuhan tuberkulosis laring disertai oleh pembentukan kapsul jaringan fibrosa dan jaringan menggantikan tuberkel. Penyebaran Melalui Limfohematogen Selain mekanisme bronkogenik, penyebaran M. tuberculosis pada laring dapat juga melalui sistem limfohematogen. Penyebaran melalui sistem limfohematogen biasanya mengenai laring anterior dan epiglotis.15 2.7. Gambaran Klinis Secara klinis manifestasi laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium yaitu:9,10,12 1. Stadium infiltrasi 2. Stadium ulserasi 3. Stadium perikondritis 4. Stadium pembentukan tumor Stadium Infiltrasi Mukosa laring bagian posterior mengalami pembengkakan dan hiperemis pada bagian posterior, kadang-kadang dapat mengenai pita suara. Pada stadium ini mukosa laring berwarna pucat. Kemudian di daerah submukosa terbentuk tuberkel, sehingga mukosa tidak rata, tampak bintik berwarna kebiruan. Tuberkel makin membesar dan beberapa tuberkel yang berdekatan bersatu, sehingga mukosa diatasnya meregang. Pada suatu saat, karena sangat meregang, maka akan pecah dan terbentuk ulkus. 22
  • 23. Stadium Ulserasi Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus ini dangkal, dasarnya ditutupi perkijuan dan dirasakan sangat nyeri oleh pasien. Stadium Perikondritis Ulkus makin dalam sehingga mengenai kartilago laring terutama kartilago aritenoid dan epiglottis. Dengan demikian terjadi kerusakan tulang rawan, sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan melanjut dan terbentuk sekuester. Pada stadium ini pasien sangat buruk dan dapat meninggal dunia. Bila pasien dapat bertahan maka proses penyakit berlanjut dan msuk dalam stadium terakhir yaitu fibrotuberkulosis. Stadium Fibrotuberkulosis Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita suara dan subglotik. Berdasarkan Shin dkk (2000), temuan pada laringitis tuberkulosis dapat dikategorikan menjadi empat grup, antara lain (a) lesi ulserasi (40,9%), (b) lesi inflamasi non spesifik (27,3%), (c) lesi polipoid (22,7%), dan (d) lesi massa ulcerofungative (9,1%).14 23
  • 24. Gambar 5. Temuan Laringoskopi pada Laringitis Tuberkulosis, A. Lesi Ulseratif (pada seluruh laring), B. Lesi Granuloma (pada glotis posterior), C. Lesi Polyploid (pada plika vokalis palsu kanan), D. Lesi Nonspesifik (pada plika vokalis kanan) Gejala Klinis Tergantung pada stadiumnya, disamping itu terdapat gejala sebagai berikut: - Rasa kering, panas, dan tertekan di daerah laring. - Suara parau yang berlangsung berminggu-miggu, sedangkan pada stadium lanjut dapat timbul afoni. - Hemoptisis. - Nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan dengan nyeri karena radang lainnya, merupakan tanda yang khas. - Keadaan umum buruk. 24
  • 25. - Pada pemeriksaan paru (secara klinis dan radiologis) terdapat proses aktif (biasanya pada stadium eksudatif atau pada pembentukan kaverne). 2.8. Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 1. Anamnesa Pada anamnesa dapat ditanyakan: - Kapan pertama kali timbul serta faktor yang memicu dan mengurangi gejala - Riwayat pekerjaan, termasuk adanya kontak dengan bahan yang dapat memicu timbulnya laringitis seperti debu, asap. - Penggunaan suara berlebih - Penggunaan obat-obatan seperti diuretik, antihipertensi, antihistamin yang dapat menimbulkan kekeringan pada mukosa dan lesi pada mukosa. - Riwayat merokok - Riwayat makan - Suara parau atau disfonia - Batuk kronis terutama pada malam hari - Stridor karena adanya laringospasme bila sekret terdapat disekitar pita suara - Disfagia dan otalgia 2. Gejala dan Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik, tampak sakit berat, demam, terdapat stridor inspirasi, sianosis, sesak nafas yang ditandai dengan nafas cuping hidung dan/atau retraksi dinding dada, frekuensi nafas dapat meningkat, dan adanya takikardi yang tidak sesuai dengan peningkatan suhu badan merupakan tanda hipoksia. 25
  • 26. 3. Laboratorium - Pemeriksaan Bakteriologik Bahan pemeriksaan Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH). Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS): Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan) Pagi (keesokan harinya) Sewaktu / spot (pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari berturut-turut. - Kultur kuman Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan. 4. Laringoskopi direk atau indirek Pemeriksaan dengan laringoskop direk atau indirek dapat membantu menegakkan diagnosis. Dari pemeriksaan ini plika vokalis berwarna merah dan tampak edema terutama di bagian atas dan bawah glotis. 26
  • 27. Gambar 6. Laringitis Tuberkulosis 5. Foto toraks Untuk melihat apabila terdapat pembengkakan dan adanya gambaran tuberkulosis paru. CT scanning dan MRI juga dapat digunakan dan memberikan hasil yang lebih baik. Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : - Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah. - Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular. Gambar 7. Foto Toraks Tuberkulosis Paru 27
  • 28. 6. Pemeriksaan patologi anatomi Pada gambaran makroskopi tampak permukaan selaput lendir kering dan berbenjol-benjol sedangkan pada mikroskopik terdapat epitel permukaan menebal dan opaque, pembentukan granuloma, sel besar Langhans, serbukan sel radang menahun pada lapisan submukosa. Gambar 8. Histopatologi Laringitis Tuberkulosis 2.9. Diagnosis Banding Diagnosis banding laringitis tuberculosis, antara lain:9,10,12 - Laringitis luetika Laringitis luetika seringkali memberikan gejala yang sama dengan laringitis tuberkulosis. Akan tetapi, radang menahun ini jarang ditemukan. Laringitis luetika terjadi pada stadium tertier dari sifilis, yaitu stadium pembentukan guma. Apabila gma pecah, maka timbul ulkus. Ulkus inimempunyai sifat yang khas, yaitu sangat dalam, bertepi dengan dasar yang keras, berwarna merah tua serta mengeluarkan eksudat yang berwarna kekuningan. Ulkus tidak menyebabkan nyeri dan menjalar sangat cepat, sehingga bila tidak terbentuk proses ini akan menjadi perikondritis. - Karsinoma laring 28
  • 29. Karsinoma laring memberikan gejala yang serupa dengan laringitis tuberkulosa. Serak adalah gejala utama karsinoma laring, namun hubungan antara serak dengan tumor laring tergantung pada letak tumor. 2.10. Penatalaksanaan 1. Terapi non medikamentosa - Mengistirahatkan pita suara dengan cara pasien tidak banyak berbicara. - Menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk misalnya goreng-gorengan, makanan pedas. - Konsumsi cairan yang banyak. - Berhenti merokok dan konsumsi alkohol. 2. Terapi medikamentosa : Obat antituberkulosis (OAT) Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu: Obat primer: - INH (isoniazid) - Rifampisin - Etambutol - Streptomisin - Pirazinamid Obat sekunder: - Exionamid - Paraaminosalisilat - Sikloserin - Amikasin - Kapreomisin - Kanamisin 29
  • 30. Tabel 1. Dosis Obat Anti Tuberkulosis Obat Dosis harian Dosis 2x/minggu Dosis 3x/minggu (mg/kgbb/hari) (mg/kgbb/hari) (mg/kgbb/hari) INH 5-15 (maks. 300 mg) 15-40 (maks. 900 15-40 (maks. 900 mg) mg) Rifampisin 10-20 (maks. 600 10-20 (maks. 600 15-20 (maks. 600 mg) mg) mg) Pirazinamid 15-40 (maks. 2 g) 50-70 (maks. 4 g) 15-30 (maks. 3 g) Etambutol 15-25 (maks. 2,5 g) 50 (maks. 2,5 g) 15-25 (maks. 2,5 g) Streptomisin 15-40 (maks. 1 g) 25-40 (maks. 1,5 g) 25.40maks. 1,5 g) 3. Operatif Tindakan operatif dilakukan dengan tujuan untuk pengangkatan sekuester. Trakeostomi diindikasikan bila terjadi obstruksi laring. Trakeostomi Trakeostomi adalah tindakan membuat luabang pada dinding depan/anterior trakea untuk bernafas. Trakeostomi dilakukan atas indikasi, berikut: - Mengatasi obstruksi laring - Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas seperti daerah rongga mulut, sekitar lidah, dan faring. - Mempermudah penghisapan secret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat mengeluarkan secret secara fisiologik. - Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan). - Untuk menambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas bronkoskopi. Trakeostomi pada kasus laringitis tuberkulosis dilakukan atas indikasi yaitu jika terjadi obstruksi laring dan mengurangi ruang rugi di saluran napas bagian atas seperti daerah rongga mulut, sekitar lidah, dan faring. 2.11. Prognosis 30
  • 31. Tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup sehat serta ketekunan berobat. Bila diagnosa dapat ditegakkan pada stadium dini maka prognosisnya baik.4,5 2.12. Komplikasi Pada laringitis akibat peradangan yang terjadi dari daerah lain maka dapat terjadi inflamasi yang progresif dan dapat menyebabkan kesulitan bernafas. Kesulitan bernafas ini dapat disertai stridor baik pada periode inspirasi, ekspirasi atau keduanya. Pada laringitis tuberkulosis dapat terjadi sekuele, di antaranya stenosis glotis posterior, stenosis subglotis, paralisis plika vokalis, dan persisten disfonia BAB III KESIMPULAN 31
  • 32. Tuberkulosa laring hampir selalu disebabkan tuberkulosis paru. Setelah diobati biasanya tuberkulosis paru sembuh namun laringitis tuberkulosisnya menetap, karena struktur mukosa laring sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi tidak sebaik paru, sehingga bila sudah mengenai kartilago, pengobatannya lebih lama. Secara klinis tuberkulosa laring terdiri dari 4 stadium, yaitu : stadium infiltrasi, stadium ulserasi, stadium perikondritis, stadium pembentukan tumor (fibrotuberkulosis). Diagnosa laringitis tuberculosis ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, gejala dan pemeriksaan fisik, laringoskopi direct dan indirect, laboratorium, foto toraks, dan pemeriksaan patologi anatomi. Terapinya dibagi menjadi medikamentosa dan pembedahan. Terapi non medikamentosa yaitu mengistirahatkan pita suara dengan cara pasien tidak banyak berbicara, menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk misalnya goreng-gorengan, makanan pedas, konsumsi cairan yang banyak, berhenti merokok dan konsumsi alkohol. Sedangkan terapi medikamentosa adalah OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Terapi pembedahannya pengangkatan sekuester dan trakeostomi bila terjadi obstruksi laring. Prognosisnya tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup sehat serta ketekunan berobat. Bila diagnosa dapat ditegakkan pada stadium dini maka prognosisnya baik. DAFTAR PUSTAKA 32
  • 33. 1. Yvette E Smulders, dkk. Laryngeal tuberculosis presenting as a supraglottic carcinoma: a case report and review of the literature. Smulders et al; licensee BioMed Central Ltd. 2009 [Diakses tanggal 28 April 2012]. Didapatkan dari: http://www.jmedicalcasereports.com/content/3/1/9288 2. Gupta, Summer K, Gregory N. Postma, Jamie A. Koufman. Laryngitis. Dalam: Bailey, Byron, Johnson, Jonas T. editor. Head & Neck Surgery – Otolaryngology, edisi ke-4. Newlands: Lippincott William & Wilkins; 2006. Hal 831-832. 3. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher: Disfonia. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. Hal 231-234 4. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th ed. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993. 5. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran: Anatomi Laring. Edisi keenam. Jakarta: EGC; 2006. Hal 805-813. 6. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Pentakit THT, Edisi keenam. Jakarta: EGC; 1999. Hal 369-377 7. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery . Eight edition. Connecticut: McGraw-Hill; 2003. Hal 724-736, 747, 755-760. 8. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J. Bailey. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Third edition. Volume 1. Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2001. Hal 479-486. 9. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Teggorok Kepala Leher : Kelainan Laring, Edisi keenam. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. Hal 238-241 10. Mansjoer A, Kapita Selekta Kedokteran, Laringitis, Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius; 2006. Hal 126-127 33
  • 34. 11. Probst, Rudolf, Gerhard Grevers, Heinrich Iro. Basic Otorhinolaryngology : Infectious Disease of Larynx and Trachea. New York: Thieme; 2006. Hal 354-361 12. Ballenger JJ, Penyakit Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher, Penyakit Granulomatosis Kronik Laring, Edisi ketigabelas. Jakarta: Penerbit Binarupa Aksara; hal 547-558 13. Keyvan Kiakojuri, Mohammad Reza Hasanjani Roushan. Laryngeal tuberculosis without pulmonary involvement. Caspian J Intern Med 3(1): Winter 2012: 3(1): 397-399. 14. Mehndirattan, Anil, Pravin Bhatn, Lamartine D’Costa. Primary tuberculosis of Larynx. Ind J tub 1997. 44.211. Didapat dari: http://lrsitbrd.nic.in/IJTB/Year %201997/Octuber%201997/OCT1997%20J.pdf 15. Shin JE, Nam SY, Yoo SJ, Kim SY. Changing trends in clinical manifestations of laryngeal tuberculosis. Laryngoscope 2000; 110: 1950- 1953s. 16. Baratawijdaja KG. Imunologi Dasar Edisi 7. Balai penerbit FK UI. Jakarta. 2006; h. 145, 170-173. 34