SlideShare a Scribd company logo
1 of 10
Tinjauan Pustaka




     GAMBARAN KLINIS DAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM
                   LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK




                                   Oleh
                            Elvinawaty Tarigan




                                 Pembimbing
                      Prof. dr. Hanifah Maani, SpPK(K)




       PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER SPESIALIS I
         PATOLOGI KLINIK FK UNAND/RS. Dr. M. DJAMIL
                         PADANG
                           2010
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR....................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL........................................................................................................... iii
BAB 1 Pendahuluan…………………………………………………………………. 1
BAB 2 Lupus Eritematosus Sistemik………………………………………………..
      2.1 Sejarah……………………………………………………………………
      2.2 Defenisi…………………………………………………………………..
      2.3 Epidemiologi……………………………………………………………..
      2.4 Etiologi…………………………………………………………………..
      2.5 Patogenesis………………………………………………………………
      2.6 Gambaran Klinis………………………………………………………...
           2.6.1 Muskuloskletal…………………………………………………..
           2.6.2 Mukokutan……………………………………………………….
           2.6.3 Ginjal…………………………………………………………….
           2.6.4 Kardiovaskular…………………………………………………..
           2.6.5 Paru……………………………………………………………..
           2.6.6 Saluran Pencernaan……………………………………………..
           2.6.7 Hati dan Limpa……………………………………………………
           2.6.8 Kelenjar Getah Bening…………………………………………….
           2.6.9 Kelenjar Parotis…………………………………………………….
           2.6.10 Susunan Saraf Tepi………………………………………………..
           2.6.11 Susunan Saraf Pusat……………………………………………….
           2.6.12 Mata………………………………………………………………
      2.7 Kelainan Laboratorium……………………………………………………
BAB 3 Pemeriksaan Laboratorium.................................................................................
      3.1 Hitung Darah Lengkap (Complete Blood Count/CBC)……………..
      3.2 Laju Endap Darah (LED)……………………………………………
      3.3 Sel LE………………………………………………………………..
           3.3.1 Cara Magath dan Winkle…………………………………
           3.3.2 Cara Zinkham dan Conley………………………………..
           3.3.3 Cara Mudrik dengan tabung kapiler………………………
      3.4 Pemeriksaan Otoantibodi……………………………………………………
           3.4.1 Antibodi Antinuklear (Anti Nuclear Antibody/ANA)……………….
           3.4.2 Antibodi Smith (Anti-Sm/Anti Smith)……………………………...
           3.4.3 Anti Ribosom……………………………………………………….
           3.4.4 Double Stranded DNA Antibody (Anti-dsDNA)……………………
           3.4.5 Anti-Ro (Anti-SSA)………………………………………………..
           3.4.6 Anti-La (Anti-SSB)…………………………………………………
           3.4.7 Antibodi Histone……………………………………………………
           3.4.8 Anti Small Nuclear Ribonucleoproteins (Anti-SnRPNs)……………
           3.4.9 Anti Kardiopilin……………………………………………………..
      3.5 Pemeriksaan Derajat Komplemen…………………………………………….
BAB 4 Ringkasan…………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................
BAB I
                                       PENDAHULUAN


       Faktor imun dalam tubuh memiliki peranan yang sangat penting. Terdapat beberapa

penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain systemic lupus

erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES). Lupus eritematosus sistemik adalah

penyakit autoimun yang ditandai adanya radang atau inflamasi tersebar luas, yang

mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi

autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.

       Seperti halnya penyakit autoimun lain, sampai saat ini penyebab pasti LES belum

diketahui. Diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik,

infeksi, hormonal dan faktor lingkungan. Akibat interaksi multifaktorial tersebut menimbulkan

gangguan imunoregulasi yang menyebabkan peningkatan autoantibodi berlebihan. Sistem imun

tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri.

Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi

ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun.

       Manifestasi klinisnya bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Pada keadaan awal

seringkali sukar dikenal sebagai LES, karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan.

Prevalensi bervariasi dari setiap Negara. Di Indonesia sampai saat ini belum pernah dilaporkan.
Lupus Eritematosus Sistemik(LES)

        LES adalah penyakit imun kronik yang disebabkan gangguan toleransi(hilangnya
toleransi terhadaps elf- an tigen) yang ditandai dengan produksi antibodi terhadap komponen-
komponen inti sel dan bermanifestasi klinis yang sistemik dan bervariasi.

       LES dapat disebabkan oleh 3 hal yaitu reaksi hipersensitivitas, imunodefisiensi dan
autoimun. Reaksi hipersensitivitas meupakan reaksi imun tubuh yang bersifat terlalu
sensitif/aktif.
Reaksi hipersensitivitas terbagi menjadi 4 tipe. Rekasi hipersensitivitas tipe 3 lah yang menjadi
dalang penyebab LES. Reaksi hipersensitivitas tipe III adalah reaksi yang terjadi akibat

pembentukan kompleks imun(kumpulan kompleks Ag-Ab). Imunodefisiensi adalah lemahnya

sistem imun tubuh dalam kerjanya sebagai sistem pertahanan tubuh. Lemahnya sistem imun
memudahkan tubuh kita terkena penyakit karena benteng patologis runtuh. Autoimun adalah
respon
imun terhadaps elf- an tigen karena hilangnya toleransi imun terhadaps elf-an tigen tersebut.

Ketiga hal diatas menyebakan terbentuknya kompleks imun. Kompleks imun yang terbentuk

bisa mengendap. Kompleks imun dapat merangsang aktivasi komplemen dan inflamasi untuk
mengeliminasinya. Jadi, jaringan tubuh terkena imbas akibat pengeluaran enzim penghancur
berlebihan dari sel radang maupun komplemen dari kegagalan eliminasi/pembersihan kompleks
imun.

Faktor pencetus

Faktor genetik yaitu mutasi pada HLA DR2/3/4/5 yang menyebabkan sistem imun terlalu reaktif
sehingga antigen tubuh sendiri pun dikenal sebagai antigen asing sehingga diserang dan
membentuk komples imun. Selain itu, bisa terjadi karena defisiensi penghancur kompleks imun
seperti komplemen, mutasi pada perangkat-perangkat dalam sistem imun seperti ligan apoptosis
FasL/Fas yang menyebabkan apoptosis melemah dan pembersihan kompleks imun tidak bersih.

Faktor non genetik berupa pajanan terhadap zat kimia seperti merkuri, sinar UV, konsumsi obat
probenesid dan hidralazin yang memicu autoimun, maupun faktor hormonal esterogen yang
terlalu tinggi sehingga prevalensi LES kebanyakan terdapat pada wanita pada masa produktif 15-
40 tahun. Esterogen menekan Tsupressor sehingga tidak ada perangkat sistem imun yang dapat
menekan terlalu aktifnya sistem imun tubuh.

Gejala-gejala

Gejala LES bersifat sistemik, artinya menyerang seluruh bagian tubuh. Gejala umunya berupa
kelelahan, pucat, anemia, demam dan berat badan menurun akibat nafsu makan menurun. Gejala
sistemik mulai dirasakan bila kompleks imun mengendap pada salah satu organ dan kemudian
organ lain. Organ yang paling utama diserang adalah dermatomuskuloskeletal(kulit dan organ
pergerakan). Pada penderita LES akan ditemukan ruam malar pada pipi yang berbentuk kupu-
kupu.
Selain itu penderita sering mengalami rematik(nyeri otot, nyeri sendi). Alopecia
areata(kebotakan)
juga akan telihat akibat pengecilan folikel rambut. Kompleks imun juga dapat mengendap pada
organ vital seperti jantung, saraf, paru-paru, gastrointetinal, hati dan bahkan organ lain. Pada
pemeriksaan laboratorium biasanya akan ditemukan anemia, leukopenia, trompositopenia, LED
meningkat >50mm/jam dan ditemukan sel Lupus Eritematosus(sel LE) pada sediaan apus darah
tepi.

        Penyakit LES seringkali mengenai wanita pada usia produktif(15-40 tahun) akibat
fluktuasi
naik esterogen dengan prognosis yang kurang baik. LES kebanyakan mengenai kaum kaukasoid
akibat alel FcγRIIa yang dimiliki. Harapan hidup penderita LES berkisar < 10 tahun(5%).
Prognosis
buruk dijumpai pada penderita lupus nefritis kronik dan penyakit saraf, yaitu harapan hidup
hanya
berkisar 2 tahun. Prognosis yang baik yaitu harapan hidup bisa mencapai 20 tahun maupun lebih
dengan penatalaksaan yang tepat yang ditunjang dengan ilmu kedokteran yang semakin modern
dan
berkembang.

Halaman 1


Manifestasi klinis ini juga memerlukan berbagai terapi medikamentosa simptomatis maupun
diminimalisasi penyebabnya. Penyakit autoimun memang tidak bisa “sembuh” oleh terapi manapun.
Oleh karena itu, pencegahan dan terapi suportif sangat penting dalam penatalaksanaannya.
Tindakan preventif/pencegahan berupa minimalkan terpapar sinar UV, memakai
sunblock/sunscreen, hindari stres dan rokok. Untuk memaksimalkan tindakan preventif diperlukan
terapi suportif berupa edukasi dimana penderita harus mengetahui informasi yang cukup tentang
LES, dukungan sosial dan psikologis dari keluarga, teman dan juga monitor ketat untuk
menghindari terjad




IMUNOLOGI DASAR
SISTEM IMUN
Kebutuhan tubuh dipertahankan oleh system pertahanan yang terdiri atas system imun non
spesifik (natural/innate) dan spesifik (adaptive/acquired).
1. SISTEM IMUN NON SPESIFIK


          Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai

mikroorganisme, karena system imun spesifik membutuhkan waktu sebelum dapat memberikan responsnya. Sistem

tersebut disebut non spesifik, karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu.
Komponen-komponen imun non spesifik terdiri atas :
a. Pertahanan fisik dan mekanis


- kulit

- selaput lender

- silia

- batuk

- bersin

b. Pertahanan biokimia


- asam lambung

- lisozim

- laktoferin

- asam neurominik

c. Pertahanan humoral
- komplemen
- interferon
- C reactive Protein (CRP)
d. Pertahanan selular
- fagosit (mononuclear, seperti monosit dan makrofag;PMN, seperti netrofil dan


      eosinofil)

- Sel Nol (Sel NK/ Natural Killer Cell dan Killer Cell atau sel K)

- Sel Mediator (basofil, mastosit, dan trobosit

inya infeksi pada pasien.

PERTAHANAN HUMORAL NON SPESIFIK

1.KOMPLEMEN


            Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruksi bakteri dan parasit dengan jalan opsonisasi.

Kejadian tersebut adalah fungsi system imun spesifik, tetapi dapat pula terjadi atas pengaruh respon imun spesifik

2. INTERFERON
Interferon adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan berbagai sel manusia yang mengandung nucleus dan

dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus. Interferon mempunyai sifat antivirus dengan jalan mengiduksi sel-sel

sekitar sel yang telah terserang virus tersebut. Disamping itu, interferon dapat pula mengakibatkan natural killer cell

/ sel NK untuk membunuh virus dan sel neoplasma.

3. C- REACTIVE PROTEIN (CRP)
CRP dibentuk tubuh pada keadaan infeksi. Perannya ialah sebagai opsonin dan dapat
mengaktifkan komplemen.
2. SISTEM IMUN SPESIFIK


          Berbda dengan system imun non spesifik, system imun spesifik mmpunyai kemampuan
untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama timbul
dalam badan yang segera dikenal system imun spesifik, akan mensensitisasi sel-sel imun
tersebut. Bila system sel imun tersebut terpajan ulang dengan benda asing yang sama, yang akhir
akan dikenal lebih cepat dan dihancurkannya.Oleh karena itu system tersebut disebut spesifik.


          Sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda asing yang
berbahaya bagi badan, tetapi pada umumnya terjalinkerja sama yang baik antara antibody,
komplemen, fagosit dan antara sel T-makrofag. Oleh karena komplemen turut diaktifkan, repon
imun yang terjadi sering disertai dengan reaksi inflamasi.

SISTEM IMUN SPESIFIK HUMORAL


          Yang berperan dalam system imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Sel B
tersebut berasal dari sel asal multipoten. Pada unggas sel asal tersebut berdifferensiasi menjadi
sel B didalam alat yang disebut bursa fabricius yang letaknya dekat kloaka. Bila sel B dirangsang
benda asing, sel tersebuit akan berproliferasi dan berdifferensiasi menjadi sel plasma yang dapat
membentuk antibody. Antibodi yang dilepas dapat dimukan didalam serum. Serum fungsi utama
antibody ialah mempertahankan tubuh terhaadap infeksi bakteri, virus dan netralisasi toksin.

ANTIBODI


          Antibodi atau Immunoglobulin (Ig) adalah golongan protein yang dibentuk sel plasma
(proliferasi sel B) akibat kontak dengan antigen. Antibodi mengikat antigen yang
menimbulkannya secara spesifik. Bila serum protein tersebut dipisahkan secara elektroforesis, Ig
ditemukan terbanyak dalam fraksi globulin γ meskipun ada beberapa yang ditemukan juga dalam
fraksi globulin α dan β.

          Semua molekul Ig mempunyai 4 polpeptid dasar yang terdiri atas 2 rantai berat (heavy
chain) dan 2 rantai ringan (light chain) yang identik, dihubungkan satu dengan lainnya oleh
ikatan disulfide

1. IgG


IgG merupakan komponen utama immunoglobulin serum, dengan berat molekul 160.000.
Kadarnya dalam serum yang sekitar 13 mg/mL merupakan 75 % dari semua Ig. IgG ditemukan
juga dalam berbagai cairan lain diantaranya CSF dan urine. IgG dapat menembus plasenta dan
masuk ke fetus dan berperan pada imunitas bayi sampaiumur 6-9 bulan. IgG dapat mngaktifkan
komplemen, meningkatkan pertahanan badan melalui opsonisasi dan reaksi inflamasi. Ig G
mempunyai sifat opsonin yang efektif oleh karena monosit dan makrofag yang memiliki reseptor
untuk fraksi Fc dari IgG yang dapat mempererat hubungan antara fagosit dengan sel sasaran.
Selanjutnya opsonisasi dibantu reseptor untuk

komplemen pada permukaan fagosit. IgG mempunyai 4 subkelas yaitu Ig1, Ig2, Ig3 dan Ig4.
Ig4 dapat diikat oleh sel mast dan basofil
2. IgA


IgA ditemukan dalam jumlah sedikit dalam serum, tetapi kadarnya dalam sekresi saluran nafas, saluran cerna,

saluran kmih, airmata, keringat, ludah dan kolostrum lebih tinggi sebagai IgA sekretori. Baik IgA dalam seru

maupun dalam secret dapat menetralisasi toksin atau virus dan atau mencegah kontak antara toksin/virus dengan alat

sasaran. Sekretori IgA diproduksi lebih dulu daripada IgA dalam serum dan tidak menembus plasenta

3. IgM


IgM mempunyai rumus bangun pentamer dan merupakan Ig terbesar. Molekul-molekul tersebut diikat rantai γ pada

fraksi Fc. Kebanyakan sel B mempunyai IgM pada permukaannya sebagai reseptor antigen. IgM dibentuk paling

dahulu pada respon imun primer tetapi tidak dapat berlangsung lama, karena itu kadar IgM yang tinggi merupakan

tanda adanya infeksi dini.
Bayi yang baru dilahirkan hanya mempunyai IgM 10% dari kadar IgM orang dewasa oleh karena IgM tidak

menembus plasenta. Fetus umur 12 minggu sudah dapat membentuk IgM bila sel B nya dirangsang oleh infeksi intra

uterine, seerti sifilis congenital, rubella, toksoplasmosis, dan virus sitomegalo. Kadar IgM anak mencapai kadar IgM

dewasa pada usia satu tahun. Kebanyakan antibody alamiah seperti isoaglutinin, golongan darah AB, antibody

heterofil adalah IgM. IgM dapat mencegah gerakan mikroorganisme pathogen, mempermudah fagositosis dan

merupakan aglutinator kuat terhadap butir antigen. IgM juga merupakan antibody yang dapat mengikat komplemen

dengan kuat dan tidak menembus plasenta

4. IgD


IgD ditemukan dengan kadar yang sangat rendah dalam darah. IgD tidak mengikat komplemen, mempunyai

aktivitas antibody terhadap antigen berbagai makanan dan auto- antigen seperti komponen nucleus. Selanjutnya IgD

ditemukan bersama IgM pada permukaan sel B sebagai reseptor antigen

5. IgE


IgE ditemukan dalam serum dalam jumlah yang sangat sedikit. IgE mudah diikat sebagai mastosit, basofil, eosinofil,

makrofag, dan trombosit yang pada permukaannnya memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgE. IgE dibentuk juga

setempat oleh sel plasma dalam selaput lender saluran nafas dan cerna. Kadar IgE serum yang tinggi ditemukan

pada alergi, infeksi cacing, skistomiasis, penyakit hidatid, trikinosis. Kecuali pada alergi, IgE diduga juga berperan

pada imunitas parasit. IgE pada alergio dikenal sebagai antibody regain.

More Related Content

Similar to Tinjauan pustaka 1

Makalah konsep dasar pertahanan tubuh
Makalah konsep dasar pertahanan tubuhMakalah konsep dasar pertahanan tubuh
Makalah konsep dasar pertahanan tubuhRahmania Azwarini
 
Interaksi genetika dan lingkungan
Interaksi genetika dan lingkunganInteraksi genetika dan lingkungan
Interaksi genetika dan lingkunganpjj_kemenkes
 
Kb 3 interaksi genetika dan lingkungan
Kb 3 interaksi genetika dan lingkunganKb 3 interaksi genetika dan lingkungan
Kb 3 interaksi genetika dan lingkunganpjj_kemenkes
 
bab1Patofisiologi full.pdf
bab1Patofisiologi full.pdfbab1Patofisiologi full.pdf
bab1Patofisiologi full.pdfEviLusiana2
 
EPIDEMIOLOGI KASUS ISPA DI DAERAH GUNTUNG PAYUNG AKIBAT MUSIM KEMARAU
EPIDEMIOLOGI KASUS ISPA DI DAERAH GUNTUNG PAYUNG AKIBAT MUSIM KEMARAUEPIDEMIOLOGI KASUS ISPA DI DAERAH GUNTUNG PAYUNG AKIBAT MUSIM KEMARAU
EPIDEMIOLOGI KASUS ISPA DI DAERAH GUNTUNG PAYUNG AKIBAT MUSIM KEMARAUVia Putri
 
Asuhan Keperawatan Emfisema
Asuhan Keperawatan EmfisemaAsuhan Keperawatan Emfisema
Asuhan Keperawatan EmfisemaAmee Hidayat
 
STUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN
STUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATANSTUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN
STUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATANmariaseptiamemorini
 
Kb 4 kelainan retrogresif
Kb 4 kelainan retrogresifKb 4 kelainan retrogresif
Kb 4 kelainan retrogresifpjj_kemenkes
 
Kelainan retrogresif
Kelainan retrogresifKelainan retrogresif
Kelainan retrogresifpjj_kemenkes
 
MAKALAH Kel 2 Biore (3).docx
MAKALAH Kel 2 Biore (3).docxMAKALAH Kel 2 Biore (3).docx
MAKALAH Kel 2 Biore (3).docxAltaMiltri
 
Patogenesis dan patofisiologi kelainan struktur dan fungsi
Patogenesis dan patofisiologi kelainan struktur dan fungsiPatogenesis dan patofisiologi kelainan struktur dan fungsi
Patogenesis dan patofisiologi kelainan struktur dan fungsipjj_kemenkes
 
Kb 1 patogenesis&patofisiologikelainanstruktur&fungsi
Kb 1 patogenesis&patofisiologikelainanstruktur&fungsiKb 1 patogenesis&patofisiologikelainanstruktur&fungsi
Kb 1 patogenesis&patofisiologikelainanstruktur&fungsipjj_kemenkes
 
Tugas eni safitri epidemiologi
Tugas eni safitri epidemiologiTugas eni safitri epidemiologi
Tugas eni safitri epidemiologiWarnet Raha
 
Pc depresi (PHARMACEUTICAL CARE UNTUK PENDERITA GANGGUAN DEPRESIF)
Pc depresi (PHARMACEUTICAL CARE UNTUK PENDERITA GANGGUAN DEPRESIF)Pc depresi (PHARMACEUTICAL CARE UNTUK PENDERITA GANGGUAN DEPRESIF)
Pc depresi (PHARMACEUTICAL CARE UNTUK PENDERITA GANGGUAN DEPRESIF)mataram indonesia
 
Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Depresi
Pharmaceutical Care Untuk Penyakit DepresiPharmaceutical Care Untuk Penyakit Depresi
Pharmaceutical Care Untuk Penyakit DepresiSainal Edi Kamal
 

Similar to Tinjauan pustaka 1 (20)

Makalah konsep dasar pertahanan tubuh
Makalah konsep dasar pertahanan tubuhMakalah konsep dasar pertahanan tubuh
Makalah konsep dasar pertahanan tubuh
 
Buku
BukuBuku
Buku
 
Buku
BukuBuku
Buku
 
Interaksi genetika dan lingkungan
Interaksi genetika dan lingkunganInteraksi genetika dan lingkungan
Interaksi genetika dan lingkungan
 
Kb 3 interaksi genetika dan lingkungan
Kb 3 interaksi genetika dan lingkunganKb 3 interaksi genetika dan lingkungan
Kb 3 interaksi genetika dan lingkungan
 
bab1Patofisiologi full.pdf
bab1Patofisiologi full.pdfbab1Patofisiologi full.pdf
bab1Patofisiologi full.pdf
 
EPIDEMIOLOGI KASUS ISPA DI DAERAH GUNTUNG PAYUNG AKIBAT MUSIM KEMARAU
EPIDEMIOLOGI KASUS ISPA DI DAERAH GUNTUNG PAYUNG AKIBAT MUSIM KEMARAUEPIDEMIOLOGI KASUS ISPA DI DAERAH GUNTUNG PAYUNG AKIBAT MUSIM KEMARAU
EPIDEMIOLOGI KASUS ISPA DI DAERAH GUNTUNG PAYUNG AKIBAT MUSIM KEMARAU
 
Asuhan Keperawatan Emfisema
Asuhan Keperawatan EmfisemaAsuhan Keperawatan Emfisema
Asuhan Keperawatan Emfisema
 
Konsep Surveilans
Konsep SurveilansKonsep Surveilans
Konsep Surveilans
 
STUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN
STUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATANSTUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN
STUDI KASUS TENTANG PENYAKIT TYPOID DI RSUD BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN
 
Kb 4 kelainan retrogresif
Kb 4 kelainan retrogresifKb 4 kelainan retrogresif
Kb 4 kelainan retrogresif
 
Kelainan retrogresif
Kelainan retrogresifKelainan retrogresif
Kelainan retrogresif
 
MAKALAH Kel 2 Biore (3).docx
MAKALAH Kel 2 Biore (3).docxMAKALAH Kel 2 Biore (3).docx
MAKALAH Kel 2 Biore (3).docx
 
Pengantar epidemiologi
Pengantar epidemiologiPengantar epidemiologi
Pengantar epidemiologi
 
Patogenesis dan patofisiologi kelainan struktur dan fungsi
Patogenesis dan patofisiologi kelainan struktur dan fungsiPatogenesis dan patofisiologi kelainan struktur dan fungsi
Patogenesis dan patofisiologi kelainan struktur dan fungsi
 
Kb 1 patogenesis&patofisiologikelainanstruktur&fungsi
Kb 1 patogenesis&patofisiologikelainanstruktur&fungsiKb 1 patogenesis&patofisiologikelainanstruktur&fungsi
Kb 1 patogenesis&patofisiologikelainanstruktur&fungsi
 
Tugas eni safitri epidemiologi
Tugas eni safitri epidemiologiTugas eni safitri epidemiologi
Tugas eni safitri epidemiologi
 
Tugas eni safitri epidemiologi
Tugas eni safitri epidemiologiTugas eni safitri epidemiologi
Tugas eni safitri epidemiologi
 
Pc depresi (PHARMACEUTICAL CARE UNTUK PENDERITA GANGGUAN DEPRESIF)
Pc depresi (PHARMACEUTICAL CARE UNTUK PENDERITA GANGGUAN DEPRESIF)Pc depresi (PHARMACEUTICAL CARE UNTUK PENDERITA GANGGUAN DEPRESIF)
Pc depresi (PHARMACEUTICAL CARE UNTUK PENDERITA GANGGUAN DEPRESIF)
 
Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Depresi
Pharmaceutical Care Untuk Penyakit DepresiPharmaceutical Care Untuk Penyakit Depresi
Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Depresi
 

Tinjauan pustaka 1

  • 1. Tinjauan Pustaka GAMBARAN KLINIS DAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Oleh Elvinawaty Tarigan Pembimbing Prof. dr. Hanifah Maani, SpPK(K) PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER SPESIALIS I PATOLOGI KLINIK FK UNAND/RS. Dr. M. DJAMIL PADANG 2010
  • 2. DAFTAR ISI DAFTAR ISI.................................................................................................................... i DAFTAR GAMBAR....................................................................................................... ii DAFTAR TABEL........................................................................................................... iii BAB 1 Pendahuluan…………………………………………………………………. 1 BAB 2 Lupus Eritematosus Sistemik……………………………………………….. 2.1 Sejarah…………………………………………………………………… 2.2 Defenisi………………………………………………………………….. 2.3 Epidemiologi…………………………………………………………….. 2.4 Etiologi………………………………………………………………….. 2.5 Patogenesis……………………………………………………………… 2.6 Gambaran Klinis………………………………………………………... 2.6.1 Muskuloskletal………………………………………………….. 2.6.2 Mukokutan………………………………………………………. 2.6.3 Ginjal……………………………………………………………. 2.6.4 Kardiovaskular………………………………………………….. 2.6.5 Paru…………………………………………………………….. 2.6.6 Saluran Pencernaan…………………………………………….. 2.6.7 Hati dan Limpa…………………………………………………… 2.6.8 Kelenjar Getah Bening……………………………………………. 2.6.9 Kelenjar Parotis……………………………………………………. 2.6.10 Susunan Saraf Tepi……………………………………………….. 2.6.11 Susunan Saraf Pusat………………………………………………. 2.6.12 Mata……………………………………………………………… 2.7 Kelainan Laboratorium…………………………………………………… BAB 3 Pemeriksaan Laboratorium................................................................................. 3.1 Hitung Darah Lengkap (Complete Blood Count/CBC)…………….. 3.2 Laju Endap Darah (LED)…………………………………………… 3.3 Sel LE……………………………………………………………….. 3.3.1 Cara Magath dan Winkle………………………………… 3.3.2 Cara Zinkham dan Conley……………………………….. 3.3.3 Cara Mudrik dengan tabung kapiler……………………… 3.4 Pemeriksaan Otoantibodi…………………………………………………… 3.4.1 Antibodi Antinuklear (Anti Nuclear Antibody/ANA)………………. 3.4.2 Antibodi Smith (Anti-Sm/Anti Smith)……………………………... 3.4.3 Anti Ribosom………………………………………………………. 3.4.4 Double Stranded DNA Antibody (Anti-dsDNA)…………………… 3.4.5 Anti-Ro (Anti-SSA)……………………………………………….. 3.4.6 Anti-La (Anti-SSB)………………………………………………… 3.4.7 Antibodi Histone…………………………………………………… 3.4.8 Anti Small Nuclear Ribonucleoproteins (Anti-SnRPNs)…………… 3.4.9 Anti Kardiopilin…………………………………………………….. 3.5 Pemeriksaan Derajat Komplemen……………………………………………. BAB 4 Ringkasan………………………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................
  • 3. BAB I PENDAHULUAN Faktor imun dalam tubuh memiliki peranan yang sangat penting. Terdapat beberapa penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES). Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit autoimun yang ditandai adanya radang atau inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Seperti halnya penyakit autoimun lain, sampai saat ini penyebab pasti LES belum diketahui. Diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik, infeksi, hormonal dan faktor lingkungan. Akibat interaksi multifaktorial tersebut menimbulkan gangguan imunoregulasi yang menyebabkan peningkatan autoantibodi berlebihan. Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun. Manifestasi klinisnya bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Pada keadaan awal seringkali sukar dikenal sebagai LES, karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. Prevalensi bervariasi dari setiap Negara. Di Indonesia sampai saat ini belum pernah dilaporkan.
  • 4. Lupus Eritematosus Sistemik(LES) LES adalah penyakit imun kronik yang disebabkan gangguan toleransi(hilangnya toleransi terhadaps elf- an tigen) yang ditandai dengan produksi antibodi terhadap komponen- komponen inti sel dan bermanifestasi klinis yang sistemik dan bervariasi. LES dapat disebabkan oleh 3 hal yaitu reaksi hipersensitivitas, imunodefisiensi dan autoimun. Reaksi hipersensitivitas meupakan reaksi imun tubuh yang bersifat terlalu
  • 5. sensitif/aktif. Reaksi hipersensitivitas terbagi menjadi 4 tipe. Rekasi hipersensitivitas tipe 3 lah yang menjadi dalang penyebab LES. Reaksi hipersensitivitas tipe III adalah reaksi yang terjadi akibat pembentukan kompleks imun(kumpulan kompleks Ag-Ab). Imunodefisiensi adalah lemahnya sistem imun tubuh dalam kerjanya sebagai sistem pertahanan tubuh. Lemahnya sistem imun memudahkan tubuh kita terkena penyakit karena benteng patologis runtuh. Autoimun adalah respon imun terhadaps elf- an tigen karena hilangnya toleransi imun terhadaps elf-an tigen tersebut. Ketiga hal diatas menyebakan terbentuknya kompleks imun. Kompleks imun yang terbentuk bisa mengendap. Kompleks imun dapat merangsang aktivasi komplemen dan inflamasi untuk mengeliminasinya. Jadi, jaringan tubuh terkena imbas akibat pengeluaran enzim penghancur berlebihan dari sel radang maupun komplemen dari kegagalan eliminasi/pembersihan kompleks imun. Faktor pencetus Faktor genetik yaitu mutasi pada HLA DR2/3/4/5 yang menyebabkan sistem imun terlalu reaktif sehingga antigen tubuh sendiri pun dikenal sebagai antigen asing sehingga diserang dan membentuk komples imun. Selain itu, bisa terjadi karena defisiensi penghancur kompleks imun seperti komplemen, mutasi pada perangkat-perangkat dalam sistem imun seperti ligan apoptosis FasL/Fas yang menyebabkan apoptosis melemah dan pembersihan kompleks imun tidak bersih. Faktor non genetik berupa pajanan terhadap zat kimia seperti merkuri, sinar UV, konsumsi obat probenesid dan hidralazin yang memicu autoimun, maupun faktor hormonal esterogen yang terlalu tinggi sehingga prevalensi LES kebanyakan terdapat pada wanita pada masa produktif 15- 40 tahun. Esterogen menekan Tsupressor sehingga tidak ada perangkat sistem imun yang dapat menekan terlalu aktifnya sistem imun tubuh. Gejala-gejala Gejala LES bersifat sistemik, artinya menyerang seluruh bagian tubuh. Gejala umunya berupa kelelahan, pucat, anemia, demam dan berat badan menurun akibat nafsu makan menurun. Gejala sistemik mulai dirasakan bila kompleks imun mengendap pada salah satu organ dan kemudian organ lain. Organ yang paling utama diserang adalah dermatomuskuloskeletal(kulit dan organ pergerakan). Pada penderita LES akan ditemukan ruam malar pada pipi yang berbentuk kupu- kupu. Selain itu penderita sering mengalami rematik(nyeri otot, nyeri sendi). Alopecia areata(kebotakan) juga akan telihat akibat pengecilan folikel rambut. Kompleks imun juga dapat mengendap pada organ vital seperti jantung, saraf, paru-paru, gastrointetinal, hati dan bahkan organ lain. Pada
  • 6. pemeriksaan laboratorium biasanya akan ditemukan anemia, leukopenia, trompositopenia, LED meningkat >50mm/jam dan ditemukan sel Lupus Eritematosus(sel LE) pada sediaan apus darah tepi. Penyakit LES seringkali mengenai wanita pada usia produktif(15-40 tahun) akibat fluktuasi naik esterogen dengan prognosis yang kurang baik. LES kebanyakan mengenai kaum kaukasoid akibat alel FcγRIIa yang dimiliki. Harapan hidup penderita LES berkisar < 10 tahun(5%). Prognosis buruk dijumpai pada penderita lupus nefritis kronik dan penyakit saraf, yaitu harapan hidup hanya berkisar 2 tahun. Prognosis yang baik yaitu harapan hidup bisa mencapai 20 tahun maupun lebih dengan penatalaksaan yang tepat yang ditunjang dengan ilmu kedokteran yang semakin modern dan berkembang. Halaman 1 Manifestasi klinis ini juga memerlukan berbagai terapi medikamentosa simptomatis maupun diminimalisasi penyebabnya. Penyakit autoimun memang tidak bisa “sembuh” oleh terapi manapun. Oleh karena itu, pencegahan dan terapi suportif sangat penting dalam penatalaksanaannya. Tindakan preventif/pencegahan berupa minimalkan terpapar sinar UV, memakai sunblock/sunscreen, hindari stres dan rokok. Untuk memaksimalkan tindakan preventif diperlukan terapi suportif berupa edukasi dimana penderita harus mengetahui informasi yang cukup tentang LES, dukungan sosial dan psikologis dari keluarga, teman dan juga monitor ketat untuk menghindari terjad IMUNOLOGI DASAR SISTEM IMUN Kebutuhan tubuh dipertahankan oleh system pertahanan yang terdiri atas system imun non spesifik (natural/innate) dan spesifik (adaptive/acquired). 1. SISTEM IMUN NON SPESIFIK Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, karena system imun spesifik membutuhkan waktu sebelum dapat memberikan responsnya. Sistem tersebut disebut non spesifik, karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu.
  • 7. Komponen-komponen imun non spesifik terdiri atas : a. Pertahanan fisik dan mekanis - kulit - selaput lender - silia - batuk - bersin b. Pertahanan biokimia - asam lambung - lisozim - laktoferin - asam neurominik c. Pertahanan humoral - komplemen - interferon - C reactive Protein (CRP) d. Pertahanan selular - fagosit (mononuclear, seperti monosit dan makrofag;PMN, seperti netrofil dan eosinofil) - Sel Nol (Sel NK/ Natural Killer Cell dan Killer Cell atau sel K) - Sel Mediator (basofil, mastosit, dan trobosit inya infeksi pada pasien. PERTAHANAN HUMORAL NON SPESIFIK 1.KOMPLEMEN Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruksi bakteri dan parasit dengan jalan opsonisasi. Kejadian tersebut adalah fungsi system imun spesifik, tetapi dapat pula terjadi atas pengaruh respon imun spesifik 2. INTERFERON
  • 8. Interferon adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan berbagai sel manusia yang mengandung nucleus dan dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus. Interferon mempunyai sifat antivirus dengan jalan mengiduksi sel-sel sekitar sel yang telah terserang virus tersebut. Disamping itu, interferon dapat pula mengakibatkan natural killer cell / sel NK untuk membunuh virus dan sel neoplasma. 3. C- REACTIVE PROTEIN (CRP) CRP dibentuk tubuh pada keadaan infeksi. Perannya ialah sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen. 2. SISTEM IMUN SPESIFIK Berbda dengan system imun non spesifik, system imun spesifik mmpunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama timbul dalam badan yang segera dikenal system imun spesifik, akan mensensitisasi sel-sel imun tersebut. Bila system sel imun tersebut terpajan ulang dengan benda asing yang sama, yang akhir akan dikenal lebih cepat dan dihancurkannya.Oleh karena itu system tersebut disebut spesifik. Sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi badan, tetapi pada umumnya terjalinkerja sama yang baik antara antibody, komplemen, fagosit dan antara sel T-makrofag. Oleh karena komplemen turut diaktifkan, repon imun yang terjadi sering disertai dengan reaksi inflamasi. SISTEM IMUN SPESIFIK HUMORAL Yang berperan dalam system imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Sel B tersebut berasal dari sel asal multipoten. Pada unggas sel asal tersebut berdifferensiasi menjadi sel B didalam alat yang disebut bursa fabricius yang letaknya dekat kloaka. Bila sel B dirangsang benda asing, sel tersebuit akan berproliferasi dan berdifferensiasi menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibody. Antibodi yang dilepas dapat dimukan didalam serum. Serum fungsi utama antibody ialah mempertahankan tubuh terhaadap infeksi bakteri, virus dan netralisasi toksin. ANTIBODI Antibodi atau Immunoglobulin (Ig) adalah golongan protein yang dibentuk sel plasma (proliferasi sel B) akibat kontak dengan antigen. Antibodi mengikat antigen yang
  • 9. menimbulkannya secara spesifik. Bila serum protein tersebut dipisahkan secara elektroforesis, Ig ditemukan terbanyak dalam fraksi globulin γ meskipun ada beberapa yang ditemukan juga dalam fraksi globulin α dan β. Semua molekul Ig mempunyai 4 polpeptid dasar yang terdiri atas 2 rantai berat (heavy chain) dan 2 rantai ringan (light chain) yang identik, dihubungkan satu dengan lainnya oleh ikatan disulfide 1. IgG IgG merupakan komponen utama immunoglobulin serum, dengan berat molekul 160.000. Kadarnya dalam serum yang sekitar 13 mg/mL merupakan 75 % dari semua Ig. IgG ditemukan juga dalam berbagai cairan lain diantaranya CSF dan urine. IgG dapat menembus plasenta dan masuk ke fetus dan berperan pada imunitas bayi sampaiumur 6-9 bulan. IgG dapat mngaktifkan komplemen, meningkatkan pertahanan badan melalui opsonisasi dan reaksi inflamasi. Ig G mempunyai sifat opsonin yang efektif oleh karena monosit dan makrofag yang memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgG yang dapat mempererat hubungan antara fagosit dengan sel sasaran. Selanjutnya opsonisasi dibantu reseptor untuk komplemen pada permukaan fagosit. IgG mempunyai 4 subkelas yaitu Ig1, Ig2, Ig3 dan Ig4. Ig4 dapat diikat oleh sel mast dan basofil 2. IgA IgA ditemukan dalam jumlah sedikit dalam serum, tetapi kadarnya dalam sekresi saluran nafas, saluran cerna, saluran kmih, airmata, keringat, ludah dan kolostrum lebih tinggi sebagai IgA sekretori. Baik IgA dalam seru maupun dalam secret dapat menetralisasi toksin atau virus dan atau mencegah kontak antara toksin/virus dengan alat sasaran. Sekretori IgA diproduksi lebih dulu daripada IgA dalam serum dan tidak menembus plasenta 3. IgM IgM mempunyai rumus bangun pentamer dan merupakan Ig terbesar. Molekul-molekul tersebut diikat rantai γ pada fraksi Fc. Kebanyakan sel B mempunyai IgM pada permukaannya sebagai reseptor antigen. IgM dibentuk paling dahulu pada respon imun primer tetapi tidak dapat berlangsung lama, karena itu kadar IgM yang tinggi merupakan tanda adanya infeksi dini.
  • 10. Bayi yang baru dilahirkan hanya mempunyai IgM 10% dari kadar IgM orang dewasa oleh karena IgM tidak menembus plasenta. Fetus umur 12 minggu sudah dapat membentuk IgM bila sel B nya dirangsang oleh infeksi intra uterine, seerti sifilis congenital, rubella, toksoplasmosis, dan virus sitomegalo. Kadar IgM anak mencapai kadar IgM dewasa pada usia satu tahun. Kebanyakan antibody alamiah seperti isoaglutinin, golongan darah AB, antibody heterofil adalah IgM. IgM dapat mencegah gerakan mikroorganisme pathogen, mempermudah fagositosis dan merupakan aglutinator kuat terhadap butir antigen. IgM juga merupakan antibody yang dapat mengikat komplemen dengan kuat dan tidak menembus plasenta 4. IgD IgD ditemukan dengan kadar yang sangat rendah dalam darah. IgD tidak mengikat komplemen, mempunyai aktivitas antibody terhadap antigen berbagai makanan dan auto- antigen seperti komponen nucleus. Selanjutnya IgD ditemukan bersama IgM pada permukaan sel B sebagai reseptor antigen 5. IgE IgE ditemukan dalam serum dalam jumlah yang sangat sedikit. IgE mudah diikat sebagai mastosit, basofil, eosinofil, makrofag, dan trombosit yang pada permukaannnya memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgE. IgE dibentuk juga setempat oleh sel plasma dalam selaput lender saluran nafas dan cerna. Kadar IgE serum yang tinggi ditemukan pada alergi, infeksi cacing, skistomiasis, penyakit hidatid, trikinosis. Kecuali pada alergi, IgE diduga juga berperan pada imunitas parasit. IgE pada alergio dikenal sebagai antibody regain.