2. Tujuan pemakaianOT
promotif
• Untuk memelihara kesehatan dan menjaga kebugaran
jasmani
preventif
• Untuk mencegah penyakit
kuratif
• Sebagai upaya mengganti atau mendampingi penggunaan
obat jadi
rehabilitatif
• Untuk memulihkan kesehatan
3. Penggunaan obat tradisional dalam
sistem pelayanan kesehatan masyarakat
• Bukti yang diperlukan harus
didasarkan data sahih
BERMANFAAT
TERSTANDARISASI
(BERMUTU)
AMAN
4. Upaya Pengembangan dan Pemanfaatan OT
•Upaya untuk memenuhi persyaratan tersebut:
1. Penegasan keamanan uji toksisitas dan khasiat
2. jika memenuhi persyaratan dilanjutkan dengan uji
klinik.
3. Pelaksanaan penelitian terpadu dan saling terkait
terkoordinasi (Dep Kes RI membentuk sentra
Pengembangan dan Penerapan Pengobatan
Tradisional (Sentra P3T)
5. Upaya terobosan
5
PerMenkes No. 003 Tahun 2010 tentang
“Saintifikasi Jamu Dalam Penelitian Berbasis
YanKes”: sebagai “upaya terobosan” untuk
“memasukkan jamu” dalam pelayanan kesehatan
(agar tidak menyalahi UU Praktik Kedokteran)
Jamu: perlu mendapatkan pengakuan dari profesi
kedokteran sebagai alternatif metoda pelayanan
kesehatan (promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif)
KepMenkes No. 1334/2010: Komisi Nasional
Saintifikasi Jamu sebagai kendaraan untuk
mencapai tujuan
6.
7.
8. Tahap-tahap pengembangan dan pengujian OT
1. LANGKAH 1 : Uji Praklinik (Menentukan Keamanan Melalui Uji toksisitas, dan
Menentukan Khasiat Melalui Uji Farmakodinamik)
2. LANGKAH 2 : Standardisasi Secara Sederhana.
3. LANGKAH 3 : Teknologi Farmasi yang Menentukan Identitas Secara Seksama
Sampai dapat dibuat produk yang terstandardisasi.
4. LANGKAH 4 : Uji Klinik Pada Orang Sakit dan atau Orang Sehat
Setelah langkah IV ini dan terbukti manfaat dan keamanannya
maka OT dapat dipakai dalam pelayanan kesehatan
9. Standar Bahan Baku Dan Bentuk
Sediaan Fitofarmaka
• Bentuk sediaan harus dipilih sesuai dengan sifat bahan baku dan tujuan
penggunaannya, sehingga bentuk sediaan tersebut dapat memberikan
keamanan, khasiat, dan mutu yang paling tinggi.
• Komposisi Fitofarmaka tidak boleh lebih dari 5 (lima) bahan baku, tetapi akan
dilakukan penilaian secara khusus pada saat pendaftaran bila ada penyimpangan
terhadap hal tersebut.
• Penilaian khusus tersebut meliputi kemampuan Industri ObatTradisional
dalam melakukan pengujian secara kualitatif dan kuantitatif terhadap
Fitofarmaka.
• Masing-masing bahan baku tersebut harus diketahui keamanan dan
khasiatnya, serta keamanan dan kebenaran khasiat ramuan tersebut harus
dibuktikan dengan uji klinik.
10. Uji praklinik obat tradisional
•Uji praklinik dilakukan secara in vitro dan in
vivo melihat: toksisitas (menilai keamanan
OT yang diuji dan menetapkan spektrum
efek toksik) dan efek farmakodinamik
(informasi tentang khasiat)
•Bentuk sediaan disesuaikan dengan
pemberian pada manusia
•Hewan coba tikus atau mencit/ hewan
rodent/primata
11. Prinsip dasar uji praklinik
• OT yang digunakan secara empirik untuk indikasi tertentu oleh
masyarakat, dalam kenyataannya dapat beragam cirinya dalam
berbagai aspek.
• Keragaman ciri-ciri OT dimaksud, erat terkait dengan keragaman
komunitas masyarakat (kelompok etnik) dan mencakup berbagai aspek
antara lain bahan yang digunakan, komposisi formula, bentuk sediaan,
cara penyiapan untuk penggunaan, dan cara menggunakannya
• Identitas OT-uji perlu diungkapkan terlebih dahulu sebelum dapat
dimulai pelaksanaan uji praklinik OT.
• Pada tahap awal identitas sederhana dipandang cukup memadai.
12. Identitas sederhana
• Identitas sederhana ini mencakup:
A. Simplisia yang digunakan diuraikan dalam nama latin baik genus
maupun speciesnya.
B. Ukuran berat/volume.
C. Langkah-langkah proses pembuatan dari bentuk simplisia hingga
menjadi bentuk yang siap diujikan.
D. Dosis dan cara penggunaan (cara pemberian, frekuensi, interval,
lama pemberian)
13. Uji farmakodinamik
• Tujuan untuk meneliti efek farmakodinamik dan menelusuri
mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat tradisional
tersebut
• Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo
• Cara pemberian disesuaikan dengan cara pemberian pada manusia
mencakup dosis dan cara penggunaannya ( cara pemberian, frekuensi,
interval dan lama pemberian)
• Selalu diupayakan adanya kelompok pembanding yaitu kelompok yang
diberi obat standar dan plasebo
• Pada tahap ini dilakukan uji standarisasi simplisia, penentuan identitas
dan menentukan bentuk sediaan yang sesuai.
14. Uji toksisitas
Uji toksisitas
terdiri atas 2 jenis
yaitu:
Toksisitas umum
(akut, subakut,
subkronis, kronis)
Toksisitas khusus
(teratogenik,
mutagenik, dan
karsinogenik)
15. Uji toksisitas
• Dalam uji toksisitas perlu dibedakan, OT yg dipakai secara singkat (short
term use) dan yang dipakai dalam jangka waktu lama (long term use).
• Untuk short term use dipentingkan toksisitas akut, sedang untuk long
term use perlu diteliti juga toksisitas subkronis dan kronis.
• Uji lain seperti uji teratogenik, karsinogenik disesuaikan dengan indikasi
OT yg bersangkutan.
• Dalam pelaksanaan uji toksisitas, bentuk OT perlu diupayakan sesuai
dengan bentuk yang digunakan oleh masyarakat, mencakup antara lain
komposisi formula, cara penyediaan, dan cara penggunaan.
16. Dosis pengujian obat tradisional
1. Dalam pengujian lazim digunakan tiga tingkat dosis, ditentukan
dengan mempertimbangkan aktifitas farmakologik dan hasil uji
toksisitas akut.
2. Pemilihan dosis tertinggi perlu diupayakan yang dapat
menimbulkan efek toksik yaitu perubahan-perubahan hematologik,
biokimia, anatomik atau histologik, namun mayoritas harus dapat
bertahan hidup.
3. Dosis paling rendah harus mendekati dosis efektif sesuai dengan
spesies yang digunakan dalam pengujian.
4. Upaya pengembangan pemanfaatan OT untuk pemberian jangka
panjang, bermanfaat jika dapat diungkapkan batas keamanan
(margin of safety).
17. Dari hasil uji praklinik akan diperoleh beberapa kelompok obat
tradisional yang memberikan hasil
1. Kelompok pertama: obat tradisional tersebut terbukti aman
(tidak toksik) dan berkhasiat
2. Kelompok kedua: obat tradisional tersebut terbuktiTIDAK aman
(toksik) tetapi berkhasiat
3. Kelompok ketiga: obat tradisional tersebut terbukti aman (tidak
toksik) dan tidak berkhasiat
4. Kelompok keempat: obat tradisional tersebut terbukti tidak aman
(toksik) dan tidak berkhasiat
18. Untuk OT kelompok I
( aman dan berkhasiat)
•Diperbolehkan tetap beredar di masyarakat pada jalur non
formal dan pada penandaannya ditambahkan label khusus
dari Departemen Kesehatan yang menyatakan bahwa obat
tersebut terbukti berkhasiat.
•Obat tradisional kelompok pertama penelitiannya
disarankan untuk dilanjutkan agar dapat masuk ke pelayanan
kesehatan. Untuk itu dapat ditempuh 2 jalur yaitu:
19. 1. OT tersebut tetap dalam bentuk sediaan semula,
dilakukan standardisasi sederhana (langkah II) dan
dilakukan uji klinik OT. Apabila ternyata
terbukti bermanfaat, maka dapat diusulkan kepada
Menkes untuk dimasukkan ke upayaYankes.
2. Dilakukan langkah III (teknologi farmasi) yang
menentukan identitasOT sampai dibuat produk dengan
sediaan baru dan terstandardisasi, kemudian dilakukan
uji klinik OT. Apabila terbukti bermanfaat, diusulkan
untuk dimasukkan ke upayaYankes.
20. Untuk OT kelompok II
(tidak aman dan berkhasiat)
• Dilakukan pengkajian lebih lanjut
• Dilarang beredar di masyarakat
21. Untuk OT kelompok III ( aman dan
tidak berkhasiat)
• Dilarang beredar dan dilarang dipakai oleh masyarakat
22. Untuk OT kelompok IV
(tidak aman dan tidak berkhasiat)
• Dilarang beredar dan dilarang dipakai oleh masyarakat
Promotif dan preventif misalnya dengan penggunaan tanaman obat dari Famili Zingiberacea dimasa pandemic oleh masyarakat dalam memelihara kesehatan maupun mencegah penyakit. Atau penggunaan produk OT,OHT ataupun fitofarmaka seperti Imboost (Echinaceae), OHT seperti HI Stimuno (Mengkudu dan Kencur), Fitofarmaka Stimuno (Phyllantus niruri).
Kuratif (pendamping obat modern) misal : Produk Curcumin (temulawak) yang diresepkan pada pasien gangguan hati, atau Produk Milk thistle (silymarin) berfungsi mendorong hati untuk memproduksi sel-sel baru.
Rehabilitatif , misal : Pada pasien kecanduan obat2an diberikan OT dari tanaman temulawak, sambiloto yang berfungsi untuk membantu meregenerasi organ yang rusak akibat zat-zat racun dari narkotika. Juga pasien diberikan Ginkgo biloba untuk meningkatkan daya ingat pasien. Ada pula yang memberikan bunga sirsak untuk meningkatkan kadar serotonin yang kaitannya dengan mengurangi kegelisahan (efek menenangkan).
Terdapat 4 cara dalam penemuan obat, yang mana cara tersebut harus memiliki metode yang dapat dipercaya dan ilmiah.
1. Pengalaman empiris secara turun menurun >> menghasilkan obat tradisional dan jamu
2. Prosedur yang lebih ilmiah yaitu dengan memahami tempat kerja obat sehingga dipahami interaksi obat dengan reseptor >> menjelaskan bagaimana mekanisme efek terapi dan efek samping dari obat tersebut. Contoh : Aspirin dari spinura cortex kemudian disintesis sebagai As. Asetil salisilat dibuktikan berefek analgetik/piretik/antiinflamasi, kemudian dikembangkan ternyata aspirin juga berfungsi untuk sebagai antitrombotik (stroke), dan terakhir dikaji pada tahun 2010 aspirin sebagai antikanker (bekerja dengan penghambatan COX-2).
3. Cara kebetulan dalam meneliti atau perjalanan pemanfaatan obat tertentu >> sering terjadi dalam penemuan obat baru. EX: Penicillin
4. Skrining >> melalui proses pemisahan secara bertahap > isolasi
Uji aktivitas farmakologi dan toksisitas dari OT
Jika data uji praklinik baik maka dapat dilanjutkan ke uji klinik.
Sentra P3T ini berada ditiap provinsi, dibawah pengawasan Menteri kesehatan dan Gubernur masing2 provinsi. Sentra P3K secara operasional dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi yang bekerjasama dengan Rumah sakit, Puskesmas, Perguruan Tinggi, maupun instansi lain.
Berdasarkan Riset Tumbuhan Obat dan Jamu tahun 2017, Indonesia memiliki sumber alam hayati yang terdiri dari 2.848 spesies tumbuhan obat dengan 32.014 ramuan obat.
Dengan hal ini, Pemerintah melalui PerMenKes No.003 Tahun 2010 mengenai Saintifikasi Jamu dalam Pelayanan Kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 tahun 2017 tentang Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan dimana salah satunya dengan mengembangkan industri farmasi produk natural
Dengan adanya Permenkes dan KepMenkes ini, mendorong Jamu agar mendapat pengakuan dari para dokter agar dapat menjadi alternative dalam pelayanan kesehatan
Sintesa kimia : komputasi (mengotak atik) struktur kimia dari suatu senyawa
Produk biologis : zat aktif yang terbuat atau diperoleh dari sel-sel hidup melalui proses biologi.
Ex: insulin, rekayasa genetika tanaman obat.
Pengembangan Tanaman Obat sebagai Jamu Tradisional :
Pembinaan terhadap standarisasi bahan baku.
Pembinaan terhadap cara pembuatan jamu yang baik.
Pembinaan terkait penggunaan jamu yang aman dan rasional.
Umumnya Lebih diarahkan pada penggunaan menjaga kesehatan dan pencegahan penyakit bukan mengobati
Toksisitas : in vitro (LC50)) menggunakan kultur media/sel
in vivo (LD50) bertujuan menentukan tingkat ketoksikan suatu zat atau bahan thd perubahan fungsi fisiologis maupun perubahan yang bersifat patologis thd organ vital dalam kurun waktu tertentu.
Toksisitas >> umum & khusus
Kriteria Hewan uji :
Mencit 20 gr , umur 6-8 week
Tikus 120 gr, umur 6-8 week
Marmut 250 gr, umur 4-5 week
Kelinci 1800 gr umur 8-9 week
Determinasi di LIPI mengenai kebenaran jenis tanaman
Uji standarisasi : kadar air, kadar abu, cemaran mikroba, cemaran logam
Teratogenik : parameternya dengan mengamati perubahan pada perkembangan fetus / janin tanpa menimbulkan toksisitas yang bermakna pada induknya.
Mutagenik : adanya mutase gen atau kromosom
Karsinogenik : Parameternya dengan melihat apakah terbentuk neoplasma atau tidak.
Pengujian ini membutuhkan jangka waktu yang lama dimana untuk tikus sekitar 24 bulan, mencit 18 bulan.
Berdasarkan Japanese Guidelines for toxicity studies , lama uji tikus 130 minggu dan mencit 104 minggu.
Uji toksisitas akut
Digunakan untuk menentukan LD50 dan menilai gejala toksik dengan mengamati spectrum efek toksik pada organ dan mekanisme kematian pada hewan coba.
Uji LD50 Perlu dilakukan untuk semua jenis obat yang akan diberikan pada manusia. Dosis yang diberikan adalah dosis tunggal dengan 2 rute pemberian ORAL dan intravena. Volume pemberian oral umumnya tidak lebih dari 2-3% berat badan hewan coba.
Pengamatan dilakukan sejak persiapan. Jangka waktu pengamatan lazimnya 7-14 hari atau lebih. Setiap hewan coba yang mati dilakukan otopsi demikian juga hewan coba yang masih hidup hingga percobaan selesai.
2. Uji toksisitas Subkronik : bertujuan untuk mengetahui efek obat pada pemberian jangka panjang. Obat diberikan selama 1-3 bulan. Ex: bahan dengan efek antibiotik
3. Uji toksisitas kronik : pemberian obat diberikan 3-6 bulan, hewan coba yang digunakan dalam toksisitas kronik adalah hewan rodent (pengerat) dan non rodent (non pengerat).