Buku ini membahas organisasi petani di Indonesia berdasarkan penelitian lapangan di lima kabupaten. Organisasi petani belum berfungsi optimal walaupun sudah dibentuk lebih dari enam dasawarsa. Buku ini menganalisis kondisi terkini organisasi petani dan merancang organisasi masa depan yang sesuai kebutuhan petani berdasarkan UU Perlindungan Petani dan revisi Mahkamah Konstitusi.
4. Penerbit IPB Press
Kampus IPB Taman Kencana,
Kota Bogor - Indonesia
C.--/--.2015
Syahyuti
Rita Nur Suhaeti
Sri Wahyuni
Amar Kadar Zakaria
Tjetjep Nurasa
Organisasi Kesejahteraan
PETANI
6. Kata Pengantar dari Tim Peneliti
Penelitian dan tulisan tentang organisasi petani tentu bukanlah sesuatu yang
baru. Banyak penelitian dan seminar mengangkat topik ini dan berbagai
rekomendasi juga telah dirumuskan. Namun demikian, dapat dikatakan
kemajuan dalam organisasi petani tidak banyak diraih.
Lahirnya Undang-undang Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan
Pembedayaan Petani adalah tonggak penting bagi terwujudnya jati diri petani
yang lebih mandiri. Terlebih dengan dikabulkannya judicial review pasal 70
dan 71 oleh Mahkamah Agung di akhir tahun 2014 yang semakin membuka
kesempatan lahirnya organisasi petani sejati di Indonesia.
Mengapa judulnya “Organisasi Kesejahteraan Petani”? Ya, karena sebagaimana
temuan kami di lapangan, organisasi petani selama ini dibentuk belum
sungguh-sungguh untuk kepentingan petani. Belum menjadi sebuah social
movement yang meliberasi petani.
Organisasi petani –terutama Kelompok Tani, Gapoktan, dan koperasi–
dibentuk baru sebatas untuk melancarakan kegiatan pembangunan. Jika
petani menerima pupuk bantuan, ada bukti administrasinya yakni cap dan
tanda tangan ketua kelompok tani. Organisasi petani ada demi kepentingan
“atas”, bukan keinginan “bawah”. Pembentukannya cenderung topdown dan
blueprint approach untuk kerapihan administrasi, sehingga kita mengenal
istilah “kontak tani” yang biasanya menjadi ketua kelompok tani. Merekalah
pihak yang selalu siap dikontak dan dihubungi oleh Dinas Pertanian dan
penyuluh jika ada rencana kegiatan dan jika Bupati akan datang.
Buku sederhana ini merupakan hasil studi tahun 2014 lalu. Objek bahasan
di buku ini hanya sebatas organisasi petani. Orang-orang di Indonesia, mulai
dari penyuluh sampai menteri menyebutnya “kelembagaan petani”. Sebutan
ini jelas salah karena kalau yang dimaksud adalah pengurus dan anggotanya,
jelas lah itu “social organization”. Kalau kelembagaan (terjemahan dari social
institution) menurut pemikiran terakhir, paradigma new institutionalism (lihat
7. Organisasi Kesejahteraan Petani
vi
buku James Scott 2008: “Institution and Organization: Ideas and Interest.Sage
Publication”), mencakup tiga pilar yakni berkenaan dengan regulasi, norma,
dan kultural-kognitif. Bayangkan sebuah akuarium, organisasi (organization)
adalah ikannya dan kelembagaan (institution) adalah airnya. Hidup atau
matinya ikan bergantung bagaimana airnya, apakah airnya sehat, bersih atau
jorok.
Semoga buku ini dapat memberikan pengetahuan dan pencerahan kepada
berbagai pihak berkenaan dengan organisasi petani ke depan. Saran dan
diskusi sangat kami harapkan, dan semoga ini menjadi amal bagi Kami sebagai
Tim Peneliti.
Bogor, Desember 2014
Penulis
8. Daftar Isi
Kata Pengantar...............................................................................................
Bab 1. Pendahuluan.......................................................................................
Bab 2. Teori Organisasi dan Organisasi Petani...............................................
Bab 3. Sikap Pemerintah Terhadap Petani dan Organisasi Petani...................
Bab 4. Eksistensi dan Karakter Organisasi Petani Saat Ini..............................
Bab 5. Rancangan Organisasi Petani Ke Depan..............................................
Bab 6. Penutup..............................................................................................
Daftar Pustaka................................................................................................
Biodata Penulis..............................................................................................
****
9.
10. Bab I
Pendahuluan
Organisasi petani mendapatkan situasi baru setelah pasca-Orde Baru. Terlebih dengan
keluarnya UU No 19 tahun 2013, serta revisinya oleh Mahkamah Konsitusi pada
Desember 2014. Namun, semangat dalam kebijakan ini tidak mudah direalisasikan.
Perlu upaya keras berbagai pihak sehingga kondisi ideal yang diinginkan dapat
terealisasi.
Latar Belakang
Pendirian ratusan ribu organisasi petani telah menjadi program pemerintah
sejak awal pembangunan pertanian, mulai dari Era Bimas tahun 1970-an
sampai sekarang. Organisasi petani terutama yang berupa kelompok tani dan
gapoktan menjadi alat utama untuk mendistribusikan bantuan sekaligus
sebagai wadah untuk berinteraksi secara vertikal dan horizontal (Badan
SDMP 2007; Balitbangtan 2006).
Terdapat dua pandangan utama yang agak bertentangan mengenai fungsi
organisasi untuk petani. Bagi pemerintah, organisasi petani semata menjadi
strategiuntukmelancarkanpembangunanyaknisebagaifungsikomunikasidan
memuluskan administrasi proyek. Sementara, bagi kalangan pemberdayaan,
organisasi petani lebih untuk menjalankan fungsi ekonomi dan representatif
politik. Organisasi petani dapat menjadi jalan untuk membebaskan petani
dari berbagai tekanan, memperkuat alat tawar di pasar dan politik, serta
memperkuat posisi sosial petani.
Namun, dalam perjalanannya, berbagai organisasi petani tersebut tidak
berkembang sesuai harapan. Secara umum, hanya sedikit petani yang berada
dalam organisasi formal (Bourgeois et al. 2003). Walaupun ada, kapasitas
keorganisasianpetanimasihlemah.Kondisiinirelatifserupadibanyakbelahan
11. Organisasi Kesejahteraan Petani
2
dunia lain (Grootaert 2001). Terdapat banyak penyebab kegagalan tersebut.
Penelitian Bourgeois et al. (2003) menemukan, lemahnya kemampuan aparat
pemerintah dalam kegiatan pemberdayaan.
“Most of them, derived from the traditional government induced ‘kelompok
tani’ are embodied in a socioeconomic and political environment that strongly
limits their capacity or willingness to emerge as farmer organizations”.
Kondisi ini selalu berulang sejak era Bimas tahun 1970-an sampai sekarang.
Organisasi petani masih diharapkan sebagai komponen pokok dalam
pembangunan pertanian, namun kondisinya belum memuaskan. Peran
organisasi petani sebagai fungsi komunikasi, partisipasi, ekonomi, dan
representatif harus dapat diaktifkan sehingga keberadaaannya bisa lebih
optimal. Kegiatan pengorganisasian petani yang telah dijalankan lebih dari
enam dasawarsa, belum banyak memberikan hasil. Pemahaman kalangan
pemerintah atau birokrasi cenderung lemah. Dukungan kebijakan dan peran
pemerintah sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Pemerintah
belum mampu menciptakan kondisi yang sesuai untuk berkembangnya
organisasi petani.
Saat ini pemerintah sudah berada dalam kondisi iklim politik yang lebih
terbuka,telahmemberikondisi,dankesempatanbaruterhadapberkembangnya
organisasi petani secara lebih demokratis, terutama setelah keluarnya UU No
19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (P3), serta
revisinya oleh Mahkamah Konstitusi tahun 2014.
Pengaturan tentang organisasi petani dalam UU No 19 tahun 2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani tercantum pada pasal 69, 70, dan
71. Sejak rancangan UU ini disusun, sebenarnya telah muncul banyak
ketidaksepahaman mengenai isi dalam pasal tersebut. Oleh karena itu, pada
Desember tahun 2014, khusus untuk Pasal 70 dan 71 tersebut telah dibatalkan
dan dirubah isinya oleh Mahkamah Konstitusi.
Sumber Penulisan
Materi buku ini berasal dari penelitian tahun 2014 di Pusat Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian, berjudul “Kajian Peran Organisasi Petani Dalam
Mendukung Pembangunan Pertanian” (Syahyuti et al. 2014). Buku ini
berupaya mempelajari kondisi organisasi petani terbaru yang dihubungkan
12. Pendahuluan
3
dengan berbagai kesempatan dan dukungan dari berbagai kebijakan terkini,
serta bagaimana mengimplementasikan kebijakan ini ke depan.
Penelitian dilakukan terhadap lima kabupaten yang tersebar di tiga provinsi,
yaitu Kabupaten Majalengka dan Garut (Jawa Barat), Kabupaten Gresik dan
Malang (Jawa Timur), dan Kabupaten Agam (Sumatera Barat). Narasumber
penelitian dimulai dari tingkat instansi pusat sampai dengan tingkat provinsi
yang berasal dari instansi terkait dengan organisasi petani, yaitu Kementerian
Pertanian, Kementerian Koperasi, UMKM, Dinas Pertanian, dan Dinas
Koperasi. Penelitian menggali berbagai organisasi petani yang sudah
berkembang serta yang belum serta mencakup yang di desa atau lebih luas.
Data yang dikaji berasal dari data sekunder dan primer. Data utama penelitian
ini berupa data primer kualitatif, diperoleh secara langsung melalui wawancara
terhadap sumber informasi dan pelaku yang terlibat dalam organisasi petani,
baik sebagai pengurus maupun anggota. Selain itu, dilakukan juga pengkajian
informasi dan persepsi dari berbagai informan kunci di pemerintahan, pihak
pemberdaya, serta pemimpin lokal. Sumber informasi untuk seluruh informasi
di atas berasal dari berbagai kalangan. Kalangan pemerintah, mencakup
pimpinan dan aparat pemerintah kabupaten sampai dengan petugas lapang,
terutama kalangan penyuluh pertanian yang paling banyak terlibat di desa
sehari-hari. Narasumber utama adalah pengurus organisasi petani, tokoh
petani, serta petani individual, dan narasumber lain (swasta, pedagang
sarana produksi, pedagang hasil-hasil pertanian, dan aparat desa serta tokoh
masyarakat). Pengkajian informasi menggunakan pendekatan traingulasi,
yakni menggunakan metode wawancara, baik wawancara individual maupun
kelompok, studi dokumen, dan observasi visual.
Analisis informasi menggunakan pendekatan kualitatif dengan fokus
kepada permasalahan; bagaimana implementasi kebijakan atau program
pengorganisasian petani di lapangan, bagaimana petani memahaminya, dan
bagaimana sepesifikasi kebijakan tersebut mempengaruhi individu yang berada
dalam kondisi kulturalnya dalam kehidupannya sehari-hari (how it plays out
for individuals in specific cultural contexts living complex daily lives). Selain
itu, juga dipelajari bagaimana petani mempersepsikan persoalan dirinya dan
menjadikan organisasi petani sebagai solusi dan alat untuk pengembangan
ekonomi usahanya.
13. Organisasi Kesejahteraan Petani
4
Jenis dan jumlah narasumber penelitian (orang)
Aspek Narasumber Jabar Jatim Sumbar Total
Pengetahuan dan
persepsi terhdap
kebijakan
Untuk aparat pemerintah
di Badan Penyuluhan,
koperasi, dan ketahanan
pangan
6 6 4 16
Organisasi petani 12 13 5 32
a.Kelompok tani 3 1 1 5
b.Gapoktan 3 7 2 12
c.Koperasi 2 1 1 6
d.Asosiasi komoditas
pertanian
2 3 0 5
e.KTNA 2 2 1 5
Politik lokal Tokoh petani, tokoh
pemerintah, dll.
8 4 4 16
Pengorganisasian
buruh tani
Tokoh petani, tokoh
pemerintah, petugas
lapang, dll.
21 22 10 53
Sosaial ekonomi
rumah tangga
buruh tani
Buruh tani 19 20 8 47
Peran penyuluh
pertanian
Penyuluh Pertanian
Lapangan
14 7 9 30
TOTAL 80 72 40 195
Pendekatan yang digunakan adalah penelitian kualitatif, namun dibantu
dukungan data kuantitatif. Justifikasi pemilihan pendekatan ini misalnya
dapat diperoleh dari makna penelitian etnografi menurut Creswell (2007),
yaitu ” … describe how a cultural group works and to explore the beliefs, language,
behaviours, and issues such as power, resistance, and dominance”. Analisis
kebijakan dipandang sesuai dengan objek ini karena bersifat retrospektif yakni
mempelajari konsep dan teori yang diterapkan, dihadapkan dengan aplikasi,
dan masalah di lapangan. Dari sisi tingkatan, studi ini merupakan analisis
kebijakan pada tingkat mikro yang memperhatikan masalah dan solusi yang
dipilih individu, sesuai persepsi mereka dalam konteks teknis-ekonomis yaitu
pada ukuran keefektifan dan keefisienan.
14. Pendahuluan
5
Sistematika Buku
Buku ini merupakan format populer dari laporan penelitian yang ditambahkan
analisis terhadap perkembangan terakhir, terutama dengan semakin diakuinya
kebebasan petani mengorganisasikan dirinya sesuai dengan dikabulkannya
revisi UU P3 oleh Mahkamah Konsitutsi. Narasi diawali dengan sedikit
tinjauan perihal “kelembagaan dan organisasi” sebagai dasar kerangka pikir
dalam studi ini. Pemahaman tentang ini menggunakan Teori Kelembagaan
Baru (New Institutionalism) dalam bidang sosiologi dari Scott (2008).
Berikutnya dipaparkan tinjauan review sikap pemerintah selama ini dalam
mengorganisasikan petani, serta ringkasan polemik, dan revisi tentang
UU P3. Kemudian diikuti dengan deskripsi temuan lapang, yang dibatasi
hanya kepada beberapa organisasi petani yang utama, yaitu kelompok tani,
Gapoktan, koperasi, asosiasi, dan organisasi Kontak Tani Nelayan Andalan
(KTNA).
Pada bagian akhir disampaikan rancangan bagaimana sebaiknya organisasi
petani ke depan sehingga mampu menjadikan petani sebagai subjek yang aktif,
dan memiliki otonomi pada dirinya sendiri. Organisasi demikian tidak hanya
mendukung dan memudahkan tugas pembangunan dari pemerintah, namun
dapat menjadi alat perjuangan petani mendapatkan kesejahteraannya.
******
15.
16. Bab II
Teori Organisasi dan Organisasi
Petani
Kita biasa menyebut “organisasi” (organization) dengan “lembaga” atau “kelembagaan”.
Akibatnya, baru memilih ketua, pengurus, membuat AD/ART, dan memasang papan
nama; sudah disebut membangun kelembagaan. Itu baru tahap membuat organisasi,
namun sering diklaim sebagai telah membangun kelembagaan.
Aspek lembaga (institution) dan kelembagaan (instituional) jauh lebih lengkap, luas,
dan lebih komprehensif. Lembaga terdiri atas aspek regulasi, ditambah norma, kultural
kognitif, dan ditambah organisasi. Jadi, ...... organisasi hanya satu komponen dalam
lembaga.
Rekonseptualisasi “Lembaga” dan “Organisasi”
Pengorganisasian petani dalam studi ini ditelaah melalui teori ”lembaga”
(institutions) dan ”organisasi” (organization) karena kedua konsep ini dinilai
paling dekat dan juga cukup kuat kaitannya untuk menganalisa serta
menjelaskan fenomena ini. Organisasi petani lebih tepat dipelajari dalam
teori kelembagaan, sebagaimana menurut Scott (2008: viii), “It is my strong
conviction that institutional theory provides the most promising and productive
lens for viewing organizations in contemporary society”.
Powell dan DiMaggio (1991) memperkenalkan konsep “new institutionalism”
dengan menolak model aktor rasional dari ekonomi klasik. Menurut Scott
(2008: 36), teori kelembagaan baru adalah tentang bagaimana menggunakan
pendekatan kelembagaan baru dalam mempelajari sosiologi organisasi.
Richard Scott merumuskan lembaga sebagai “…are comprised of regulative,
normative and cultural-cognitive elements that, together with associated activities
and resources, provide stability and meaning to social life” (Scott 2008: 48).
17. Organisasi Kesejahteraan Petani
8
Akar teoretisnya berasal dari teori kognitif, kultural, fenomenologi, dan
etnometodologi. Terdapat tiga unsur yang disebut dengan pilar (pillar) yang
membangun lembaga yakni aspek regulatif, normatif, dan aspek kultural-
kognitif. Dalam penelitian ini digunakan rekonseptualisasi sebagaimana
matriks berikut.
Dengan demikian, ”lembaga” adalah terjemahan langsung dari ”institution”,
sedangkanorganisasiadalahterjemahanlangsungdari”organization”.Keduanya
merupakan kata benda. Sementara, ”kelembagaan” adalah terjemahan dari
”institutional” yang bermakna ”berbagai hal yang berhubungan dengan
lembaga”. Sementara itu, ”keorganisasian” (dari terjemahan ”organizational”)
bermakna ”berbagai hal yang berhubungan dengan organisasi”.
“Lembaga” dapat dirumuskan sebagai hal yang berisi norma, regulasi, dan
kultural-kognitif yang menyediakan pedoman, sumber daya, serta sekaligus
hambatan untuk bertindak bagi aktor. Fungsi lembaga adalah menyediakan
stabilitas dan keteraturan (order) dalam masyarakat, meskipun lembaga
tersebut dapat berubah. Demikian pula untuk petani, lembaga memberikan
pedoman bagi petani dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari khususnya
dalam bidang agribisnis. Berbagai norma yang hidup di masyakat termasuk
norma-norma pasar berserta seperangkat regulasi, menjadi pertimbangan
petani untuk bertindak sebagaimana dipahaminya (kultural-kognitif).
18. Teori Organisasi dan Organisasi Petani
9
Rekonseptulasisasi konsep “lembaga” dan “organisasi”
Terminologi in
english
Sering
diterjemahkan
menjadi
Terminologi
semestinya
Batasan dan materinya
1. institution Kelembagaan,
institusi
Lembaga Berisi norma, nilai,
regulasi, pengetahuan,
dll. Menjadi pedoman
dalam berperilaku
aktor (individu dan
organisasi)
2. institutional Kelembagaan,
institusi
Kelembagaan Hal-hal berkenaan
dengan lembaga.
3. organization Organisasi, lembaga Organisasi Adalah social group,
aktor sosial, yg
sengaja dibentuk,
punya anggota, untuk
mencapai tujuan
tertentu, dimana aturan
dinyatakan tegas. Misal:
koperasi, kelompok
tani, kantor pemerintah.
4.
organizational
Keorganisasian,
kelembagaan
Keorganisasian Hal-hal berkenaan
dengan organisasi.
Misal: kepemimpinan,
keanggotaan,
manajemen, keuangan
organisasi, kapasitas
organisasi, relasi dgn
organisasi lain.
Sumber: Scott (2008) diolah
Lembaga tak hanya berisi batasan-batasan, tetapi juga menyediakan berbagai
kriteria sehingga individu dapat memanfaatkan apa yang disukainya. Lembaga
memiliki dimensi preskriptif, evaluatif, dan obligatory dari kehidupan sosial
(Blom-Hansen 1997) serta memberi kerangka sehingga identitas individu
terbentuk (March and Olsen 1984, 1989; Scott 1995). Hal ini sejalan dengan
Nee (2005) yang berpendapat bahwa “aktor ekonomi” bukan seperti atom-
atom yang lepas dari konteks masyarakat tempatnya hidup, tetapi tidak pula
sepenuhnya patuh pada aturan sosial yang hidup.
19. Organisasi Kesejahteraan Petani
10
Selanjutnya, dalam hal konsep ”organisasi”, organisasi merupakan elemen
dari lembaga. Acuan utama dalam hal ini adalah ahli ekonomi kelembagaan
(North dan Robbins) dan dari pendekatan kelembagaan baru (Scott 1995;
2008). Menurut Scott (2008:36), dalam Teori Kelembagaan Baru digunakan
pendekatan kelembagaan dalam mempelajari sosiologi organisasi. Proses
kelembagaan memiliki kaitan dengan struktur organisasi dan perilaku. Teori
Kelembagaan Baru tidak sebagaimana ”old institutionalism”, menyediakan
jalan untuk melihat organisasi pada masyarakat kontemporer.
Peran Ideal Organisasi Petani
Secara teoretis, organisasi petani merupakan komponen penting dalam
pembangunan pertanian yang dibentuk untuk berbagai kebutuhan, bahkan
untuk menghadapi tantangan abad ke-21 sekalipun. Organisasi petani
diharapkan dapat berperan dalam memerangi kemiskinan, memperbaiki
dagradasi sumber daya alam, meningkatkan keterlibatan perempuan,
kesehatan, pendidikan, dan sosial politik.
“The traditional approaches to organizing farmers and forming cooperatives
need to be revised to meet the following development challenges of the twenty-
first century ….the increasing sociopolitical unrest among the communities”
(Chamala and Shingi 2007).
Penunia (2011) menyampaikan bahwa petani mengorganisasikan dirinya
dalam berbagai kebutuhan mulai dari untuk menghadapi kelaparan dan
kemiskinan sampai dalam hal politik dan ekonomi.
“Farmers’ organizations (FOs) are essential institutions for the empowerment,
poverty alleviation and advancement of farmers and the rural poor. Politically,
FOs strengthen the political power of farmers, by increasing the likelihood
that their needs and opinions are heard by policy makers and the public.
Economically, FOs can help farmers gain skills, access inputs, form enterprises,
process and market their products more effectively to generate higher incomes”.
Dengan mengorganisasikan diri, petani lebih mudah memperoleh informasi,
mencapai economies of scale, menekan biaya, dan juga memfasilitasi kegiatan
pengolahan serta pemasaran. Organisasi petani yang disebut dengan
“Marketing-oriented Farmer Organizations”, membantu anggotanya dalam
pembelian input dan proses pemasaran.
20. Teori Organisasi dan Organisasi Petani
11
Riset Liverpool-Tasie (2014) yang mempelajari sistem distribusi pupuk
berupa “fertilizer voucher program” di Nigeria, mendapatkan keterlibatan
kelompok mempengaruhi keberhasilan program distribusi, distribusi terbaik
adalah apabila pupuk sampai di level kelompok (group level). Organisasi petani
berperan dalam koordinasi yang lebih baik. Ini sejalan dengan penelitian
Bratton (1986) di Zimbabwe, yang mendapatkan, “...farmer groups improve
access to household assets and agricultural services for their members”. Selain itu,
organisasi juga mampu memperkuat posisi perempuan tani.
“In mixed organizations, while women may be well represented as members,
there are generally few women in leadership positions – and increasingly
fewer as one moves from local to provincial, to national, or to international
tingkats” (Penunia 2011).
Riset Yang dan Liu (2012) dengan metode Simultaneous Equations Model,
sejumlah 2445 desa di Cina mendapatkan bahwa “the development of farmer
economic organization is an effective way to raise the level of agricultural
specialization”. Penyebab positifnya adalah karena partisipasi petani dalam
organisasi, karakter petani, dan kondisi lingkungan organisasi, serta kebijakan
relevan yang mendukung keberadaaan organisasi petani, dalam hal ini adalah
organisasi ekonomi (farmer economic organization). Peran organisasi petani
terbukti kuat dalam meningkatkan pendapatan petani. Demikian dalam
pemasaran hasil pertanian.
Penelitian Trebbin (2014) menjelaskan, peran penting organisasi petani
dalam meningkatkan posisinya pada sistem rantai pasok komoditas pertanian
(”...producer companies are a promising tool to strengthen famers’ position in their
relationship with supermarket chains”). Organisasi petani sebagai produsen
(producer companies) menjadi komponen penting dalam rantai pasok
agribisnis.
Organisasi petani juga menjalankan peran penting sebagai mitra dalam
penelitian dan penyuluhan (agricultural research and extension system). Melalui
organisasi petani (rural producer organizations) maka pelaksana proyek dapat
meraih petani-petani miskin di sub Saharan, Africa. Melalui organisasi, petani
kecil bisa ditingkatkan komersialisasinya dan performa pemasaran hasilnya
(Bernard and Spielman 2009). Satu hal yang menarik bahwa petani kecil
cenderung kurang suka berorganisasi
21. Organisasi Kesejahteraan Petani
12
“Based on a combination of nationally-representative household- and
cooperative-level survey data, we find that poorer farmers tend not to participate
in these organizations although they may indirectly benefit from them”.
Meskipun para petani kecil masuk dalam organsiasi, namun mereka kurang
terlibat dalam pembuatan keputusan. Selain peran ekonomi dan komunikasi
ini, organisasi petani merupakan strategi pokok bagi petani untuk mengakses
kekuasaan (politik). Menurut pandangan Pertev (1994) misalnya, organisasi
merupakan komponen pokok dalam konteks politik yakni “Farmers’ voice
cannot be obtained without farmers’ organizations”.
Petani memerlukan:
“…the representative organizations, the farmers’ organizations, structured
from grassroots to the international tingkat, as their legitimate voice. This is
why farmers’ movement gives a lot of importance to farmers’ organizations,
organizations by farmers and for farmers, as an important pillar of today’s
society”.
Organisasi petani merupakan sebuah pilar penting masyarakat modern. Ini
sejalan dengan temuan Glover (1987), meskipun keberhasilan kemitraan
(contract farming) merupakan relasi personal, namun tidak bisa lepas dari
intervensi pemerintah maupun organisasi petani. Mbeche and Dorward
(2014) juga menyatakan bahwa organisasi petani sangat penting dalam
meningkatkan pelayanan, mereduksi biaya transaski, dan berkontribusi pada
pembangunan negara.
Dari uraian ini terlihat bahwa pada hakikatnya organisasi petani dapat
‘memainkan’ lima peran sekaligus. Fungsi utama bagi pihak pemerintah ialah
untuk memperlancar komunikasi dan memuluskan administrasi program.
Sementara bagi petani, organisasi sangat penting untuk berbagai fungsi
ekonomi kolektif, yakni meningkatkan skala usaha. Sementara dari sisi
politik, organisasi petani merupakan wadah untuk menjalankan partisipasi
pembangunan dan juga sebagai fungsi perwakilan di hadapan kekuasaan.
22. Bab III
Sikap Pemerintah Terhadap Petani
dan Organisasi Petani
Suka atau tidak suka, senang atau tidak senang; pembangunan pertanian baru sebatas
komoditas. Kita terperangkap produksi, produktivitas, dan .......... swasembada. Petani
barulah faktor produksi demi mencapai swasembada. Petani adalah “sumber daya”
maka kita menyebutnya dengan “sumber daya manusia”.
Kebijakan dari Era Bimas sampai dengan
Keluarnya UU Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani
Sesungguhnya sejak era Bimas sampai dengan saat ini tidak banyak perubahan
berarti dalam penanganan organsasi petani. Meskipun di akhir tahun 2014
revisi UU Perlindungan dan Pemberdayaan telah direvisi dan memberi nuansa
yang lebih demokratis dan terbuka, namun implementasinya belum ada.
Penelitian Bourgeois et al. (2003) mewakili pendekatan kita selama ini dalam
organisasi petani. Menurut Bourgeois, kemampuan aparat pemerintah lemah
dalam kegiatan pemberdayaan.
“Most of them, derived from the traditional government induced ‘kelompok
tani’ are embodied in a socioeconomic and political environment that
strongly limits their capacity or willingness to emerge as farmer organizations”
(Bourgeois, et al. 2003: 73).
Kondisi ini selalu berulang sejak era Bimas tahun 1970-an sampai sekarang.
Persoalan mendasarnya adalah karena berbagai kebijakan tentang petani
masih bersifat umum dan kurang sensitif kepada perbedaan karakteristik
petani yang beragam.
23. Organisasi Kesejahteraan Petani
14
Di sisi petani, organisasi formal atau sebelum dikenal organisasi formal, petani
telah mengorganisasikan dirinya (self organizing) sedemikian rupa, dengan
menyesuaikan pada kondisi dan hambatan alam, infrastruktur maupun sosial
politik. Petani mengorganisasikan diri agar dapat memenuhi semua kebutuhan
hidup ekonominya. Petani membangun dan menjalankan berbagai relasi
sosial atas berbagai basis relasi yaitu (1) menggunakan basis relasi patron-
klien yang berpola tradisional, (2) relasi berbasiskan sentimen kekerabatan,
(3) relasi berbasiskan sentimen teritoral, dan (4) pengorganisasian berbasis
personal (misalnya subak di Bali, “Ulu-Ulu” di wilayah Jawa Barat, dan
“Kapalo Banda” di Sumatera Barat). Meskipun saat ini desa-desa di Indonesia
telah lama berada dalam intervensi modernisasi, namun ketiga bentuk
basis relasi serta pola pengorganisasian tersebut masih terjaga eksistensinya
walaupun terbatas. Hal ini misalnya terlihat dari bentuk pengorganisasian
dirinya (petani) yang tidak sepenuhnya menerapkan organisasi formal yang
dipandang lebih moden.
Penelitian Collier dalam Trijono (1994) menjelaskan, basis sentimen
teritorial mengendor serta hilangnya rasa tanggung jawab sosial lapisan atas.
Organisasi petani cenderung memiliki aksesibilitas yang terbuka sehingga
petani begitu mudah dikontrol oleh pihak pemerintah. Tjondronegoro
(1977) mengemukakan bahwa pengembangan organisasi dari atas desa selalu
menggunakan gugus kepamongan sehingga partisipasi dari masyarakat kurang
muncul.
Sesuai dengan informasi lapangan, diakui oleh berbagai pihak bahwa selama
ini petani “diwajibkan” masuk dalam organisasi. Salah satu bentuknya adalah
segala bantuan dan program harus dijalankan melalui organisasi, terutama
kelompok tani dan Gapoktan. Sesungguhnya semenjak era Bimas sampai
sekarang petani diharuskan berorganisasi secara formal sehingga nama dan
jenisnya pun sudah ditetapkan dari atas.
Selama ini pemerintah secara umum melakukan intervensi kekuasaan yang
besar terhadap petani, organisasi formal merupakan alat untuk berhubungan
dengan petani. Relasi kekuasaan antara pemerintah dan petani berada dalam
iklim modernisasi. Melalui kata kunci untung dan efisien (“agriculture regarded
as a bussiness”) dalam pendekatan agribisnis, pertanian mesti dijalankan
dengan “memperbesar skala” usaha yakni dengan menghimpun petani dalam
organisasi. Intervensi pemerintah yang top-down telah menumbuhkan sikap
pasif pada petani, termasuk ketika pemerintah mengintroduksikan organisasi
baru.
24. Sikap Pemerintah Terhadap Petani dan Organisasi Petani
15
Gapoktan menjadi organisasi yang semestinya mengkoordinasi kelompok-
kelompok tani di dalamnya sehingga Gapoktan yang bagus hanya dapat dicapai jika
kelompok-kelompok tani di dalamnya juga bagus.
Persepsi terhadap Petani, Petani Kecil dan
Buruh Tani
Istilah “petani kecil” pada intinya tidak ditemukan dalam seluruh kebijakan
baik pada undang-undang maupun turunannya. Artinya, pemerintah hanya
mengenal satu jenis petani tanpa membedakan berdasarkan skala usahanya.
Sikap yang agak berbeda mulai tampak pada UU 19 Tahun 2013, yakni
luas penguasaan lahan yang dimiliki petani dijadikan basis dalam upaya
perlindungan dan pemberdayaan.
Pengertian tentang “petani” di Indonesia cenderung umum dan dangkal.
Petani didefinisikan sebagai orang yang bekerja di sektor pertanian dan
sebagian besar penghasilannya berasal dari sektor pertanian. Bagi statistika,
batasan jam kerja menjadi indikator tunggalnya. Pengertian seperti ini tidak
25. Organisasi Kesejahteraan Petani
16
memasukkan unsur motivasi misalnya. Saat ini banyak masyarakat di desa yang
sedang tidak bertani, tetapi sangat berkeinginan menjadi petani dan seringkali
hanya itu keterampilan yang mereka miliki, namun mereka tidak memiliki
lahan sehingga tidak bisa bertani. Dalam statistika petani masuk ke bagian
“tenaga kerja” yang disebut dengan “tenaga kerja pertanian”. “Tenaga kerja”
(employed) dibedakan atas 3 macam, yaitu tenaga kerja penuh (full employed),
tenaga kerja tidak penuh atau setengah pengangguran (under employed), dan
tenaga kerja yang belum bekerja atau sementara tidak bekerja (unemployed).
Dalam UU No. 12/ 1992 tentang Sistem Budi daya Tanaman, tidak ada
batasan tentang “petani”, demikian pula dalam UU No. 7 tahun 1996
Tentang Pangan. Baru pada UU pangan yang baru (UU No 18 tahun 2012)
ada batasan untuk petani.
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dalam UU No. 41
tahun 2009, “petani” didefinsikan sebagai “warga negara Indonesia beserta
keluarganya yang mengusahakan lahan untuk komoditas pangan pokok di
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan”. Artinya, petani yang diperhatikan
tidak di seluruh lahan, tetapi hanya di kawasan tertentu yakni kawasan yang
ditetapkan secara khusus sebagai lahan pangan berkelanjutan.
Istilah “Pelaku utama” dalam kegiatan pertanian” yang mencakup petani,
pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, beserta
keluarga intinya terdapat Dalam UU No. 16 Tahun 2006 Tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Ini dibedakan dengan
“pelaku usaha” yakni warga negara Indonesia (perorangan) atau korporasi
yang dibentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola usaha pertanian,
perikanan, dan kehutanan. Dalam UU ini “petani” didefinsikan sebagai
warga negara Indonesia (perorangan) beserta keluarganya atau korporasi
yang mengelola usaha di bidang pertanian, wanatani, minatani, agropasture,
penangkaran satwa dan tumbuhan, di dalam dan di sekitar hutan, yang
meliputi usaha hulu, usaha tani, agroindustri, pemasaran, dan jasa penunjang.
Selanjutnya, juga ada pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, serta
pengolah ikan.
Petani dalam produk legislatif pemerintah adalah warga negara yang
mengelola komoditas. Selain itu, dalam UU pemberdayaan dan perlindungan
petani, misalnya dalam Pasal 1 ayat 1 disebutkan, petani adalah warga negara
Indonesia perseorangan dan/atau beserta keluarganya yang melakukan
26. Sikap Pemerintah Terhadap Petani dan Organisasi Petani
17
usaha tani di bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/
atau peternakan. Pembagian atas komoditas begitu penting, padahal dalam
kenyataannya seorang petani kadang kala menjalankan banyak bidang usaha
lain sekaligus. Batasan ini disusun menurut persepsi penguasa karena struktur
organisasi Kementerian Pertanian juga disusun atas direktorat jenderal
berbasis komoditas.
Batasan ini juga berkaitan erat dengan persepsi petani, secara resmi
dimaknai sebagai “sumber daya manusia”. Terdapat wadah bernama Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia di Kementerian Pertanian dan petani
adalah salah satu objeknya. Sesuai penelusuran konseptual, istilah “sumber
daya manusia” merupakan terjemahan langsung dari bahasa Inggris “human
resource”, memiliki hubungan yang erat pula dengan “human capital” dan
“human labour”. Ketiganya memiliki banyak kesamaan, yakni manusia lebih
dipandang dari kaca mata ekonomi yang cenderung sempit serta mengabaikan
banyak sisi lain dari manusia yang sesungguhnya dapat diperhatikan. Sesuai
dengan Davis (1996), manusia yang dapat disebut sebagai sumber daya
manusia hanya mereka yang yang siap, ingin, dan berkontribusi nyata dalam
proses produksi. Human labor datang dari konsep dalam ilmu ekonomi dan
ekonomi politik, manusia hanyalah satu dari dua faktor produksi lainnya
yaitu tanah dan modal.
Pendefinisian “petani” sebenarnya tidak sesederhana kelihatannya. Definisi
inilah yang mempengaruhi kebijakan pertanian secara keseluruhan. Siapakah
petani? apakah mereka yang punya sawah banyak, tetapi tidak pernah turun
menggarap lahan? Mereka yang punya sawah kecil, tetapi sepenuhnya
menggantungkan hidup pada hasil sawah? Ataukah mereka yang tidak punya
sawah, tetapi setiap hari bekerja menggarap lahan tersebut? Pilihan terhadap
opsi ini merupakan sebuah keberpihakan. Pendekatan teknis-finansial selama
ini telah meminggirkan aspek humanity dari petani. Target pembangunan
yang fokus pada swasembada sesuai pendekatan Revolusi Hijau, telah
meminggirkan petani dengan pendekatan “dipaksa, terpaksa, dan biasa”.
Persepsi pemerintah terhadap petani di Indonesia, petani berada dalam format
relasi “negara-rakyat”, petani sebagai sumber daya untuk pembangunan, dan
basis petani adalah komoditas. Petani juga dipersepsikan lemah, di bawah,
dan kurang memiliki pengetahuan. Mereka yang dicatat sebagai petani
hanya petani yang secara temporer sedang bertani dan “petani potensial”
tidak termasuk didalamnya, yaitu mereka yang ingin bertani yang memiliki
27. Organisasi Kesejahteraan Petani
18
keterampilan bertani, tetapi sedang tidak bertani karena tidak memiliki
lahan. Ciri yang paling utama adalah tidak ada istilah “petani kecil” secara
khusus. Semua batasan cenderung sempit dan tidak mempertimbangkan
banyak sisi lain seorang petani, terutama lemahnya pemahaman sosiologis
dan politisnya.
Siapa yang disebut pemerintah dengan istilah “petani”? Atau, “petani” dengan
skala usaha berapa yang dilindungi oleh pemerintah sesuai UU P3? Pada Pasal
12 (ayat 2) disebutkan bahwa perlindungan petani diberikan kepada; (a)
Petani penggarap tanaman pangan yang tidak memiliki lahan Usaha Tani dan
menggarap paling luas 2 ha, (b) Petani yang memiliki lahan dan melakukan
usaha budi daya tanaman pangan pada lahan paling luas 2 ha; dan/atau (c)
Petani hortikultura, pekebun, atau peternak skala usaha kecil sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lebih jauh pada Pasal 58 (ayat) disebutkan bahwa pemberian tanah negara
bebas yang telah ditetapkan sebagai kawasan pertanian (sebelumnya disebut
“sewa”, lalu telah diubah oleh MK) kepada petani hanya maksimal 2 hektare
per petani. Pasal 58 ayat 4, dalam hal memperoleh pinjaman modal dan
lain-lain adalah bagi yang memiliki usaha di bawah 2 hektare, baik milik
sendiri maupun bukan. Batasan penguasaan 2 hektare juga digunakan
untuk kemudahan mengakses lahan pemerintah (Pasal 60). Terlihat dengan
jelas bahwa petani yang dilindungi adalah petani dengan penguasaan lahan
maksimal 2 hektare. Petani yang telah mengolah lahan pemerintah selama
lima tahun dengan lahan seluas 2 hektare akan mendapatkan kemudahan
memperoleh lahan pemerintah. Dengan demikian, petani (maksimal lahan
2 ha) tersebutlah yang digolongkan sebagai petani yang harus dilindungi,
meskipun tidak disebutkan sebagai “petani kecil”.
Jika boleh dikritisi, sebenarnya batasan 2 ha ini tidaklah berisi petani dengan
karakter sosial ekonomi yang seragam. Sebagai contoh, petani sawah dengan
lahan 2 ha jelas sangat berbeda karakternya dengan petani kebanyakan saat
ini yang hanya di bawah 0,5 ha. Ini yang disebut BPS (Badan Pusat Statistik)
dengan istilah “petani gurem”. Dalam dokumen Sensus Pertanian tahun 2013
menyatatakan, “Rumah Tangga Petani Gurem”,
28. Sikap Pemerintah Terhadap Petani dan Organisasi Petani
19
“Rumah tangga (RT) pertanian pengguna lahan dengan penguasaan kurang
dari 0,5 ha (mencakup lahan pertanian dan lahan bukan pertanian), RT budi
daya ikan, penangkapan ikan, pemungutan hasil hutan, penangkapan satwa
liar, dan jasa pertanian bukan pengguna lahan” (BPS 2013).
Selanjutnya dari seluruh pasal pada Undang-undang juga “terbaca” bahwa
pemerintah tidak memberikan perlindungan kepada para buruh tani. Istilah
“buruhtani”tidakdikenaldalamUUini.Satuhalyangperlumenjadiperhatian
adalah buruh tani yang bekerja di perusahaan pertanian dengan lahan lebih
luas karena sebagaimana dipaparkan dalam UU tersebut, pemerintah tidak
banyak “campur tangan” pada usaha pertanian dengan luas di atas 2 ha. Oleh
karena itu, untuk jutaan buruh tani yang bekerja dan hidup di dalamnya,
tidaklah menjadi perhatian pemerintah.
Jadi, menurut persepektif pemerintah, buruh tani bukanlah petani. Mereka
dimaknai dalam hal sumbangannya pada produksi komoditas. Apakah
mereka hidup berkecukupan, sejahtera, bermartabat atau tidak; tidak menjadi
perhatian dalam kebijakan pemerintah.
Dari seluruh responden di tingkat instansi yang diwawancarai, sebagian telah
pernah membaca UU 19 tahun 2013 sepintas, namun seluruhnya tidak ada
yang paham bagaimana petani didefinisikan dalam UU ini, sedangkan pada
tingkat daerah, dari ke-5 Pemda, tidak ada satupun yang punya perhatian
dan program khusus untuk buruh tani. Satu hal yang perlu dicatat adalah
pemahaman aparat dan petani tentang sosok organisasi petani ke depan
ini belum banyak dipahami. Selain itu, banyak kesiapan kelembagaan yang
belum tersedia. Sebagai contoh, jika berbentuk PT, CV, dan/atau asosiasi,
siapa pembina yang akan memperhatikan dan mendukung?
Menurut hasil observasi lapangan di lima kabupaten dan banyak lokasi lain di
Indonesia, buruh tani di 5 kabupaten tersebut umumnya telah berumur tua,
berpendidikan rendah, dan pengalaman kerja telah puluhan tahun. Kalangan
muda cenderung kurang menyukai kerja menjadi buruh karena gajinya kecil,
kerja berat, tidak kontinu, dan gengsinya rendah. Di Malang dan Gresik
misalnya, sangat jarang tenaga kerja muda mau menjadi buruh tani. Hal ini
terjadi karena banyak peluang kerja di sektor industri baik di swasta maupun
BUMN yang jauh lebih “baik” daripada menjadi buruh tani. Akibatnya,
ketersediaan buruh tani di wilayah ini menjadi langka. Kesempatan ini diisi
oleh buruh tani dari kabupaten lain, yang datang secara rombongan dengan
bekerja selama 1 - 2 minggu.
29. Organisasi Kesejahteraan Petani
20
Keberadaan buruh tani dari semua lokasi desa yang telah dikunjungi, secara
umum jumlahnya tetap. Hal ini bersuaian dengan kebutuhan tenaga kerja
“upahan” untuk kegiatan pertanian yang cenderung juga tidak berubah
banyak. Sementara, luas lahan yang cenderung menurun dengan pola tanam
tidak berubah banyak maka daya serap tenaga kerja berburuh juga tidak
berubah.
Pekerjaan yang dilakukan buruh tani mulai dari pengolahan tanah,
pemeliharaan,sampaidenganpanen.Buruhtanilaki-lakibanyakpadapekerjaan
pengolahan tanah, sedangkan unutk penanaman seluruhnya dikerjakan buruh
perempuan. Namun, di Gresik untuk penanaman padi dilakukan dengan
tugal karena lahan ladah hujan, buruh yang terlibat mencakup laki-laki dan
perempuan. Sementara, untuk pekerjaan pemeliharaan, melibatkan buruh
laki-laki maupun perempuan.
Tidak ada program khusus yang dijalankan pemerintah untuk para buruh
tani dalam konteks sebagai tenaga kerja pertanian. Meskipun seluruh
responden menerima bantuan Raskin, tetapi dasar penetapannya bukan
karena status sebagai buruh tani, melainkan tergolong sebagai rumah tangga
miskin. Pemerintah daerah sama sekali belum memiliki program khusus.
Dari wawancara dengan para pejabat dan staf di tingkat kabupaten, belum
ada pemikiran terhadap keberadaaan buruh tani. Dalam hal keterlibatan pada
program pemerintah, dapat dikatakan bahwa kalangan buruh tani merupakan
golongan yang tidak dilibatkan. Hal ini disebabkan umumnya buruh tani
tidak menjadi anggota kelompok tani, kecuali bagi mereka yang mengelola
lahan baik menyewa maupun menyakap.
Buruh tani bekerja secara pribadi, perjanjian kerja dengan pemilik juga
dilakukan secara personal. Tidak ditemukan kelompok kerja buruh yang solid,
bahkan pada buruh migran pendatang (kasus di Malang, Gresik, dan Agam)
sekalipun. Satu temuan menarik di Agam, para petani yang sesungguhnya
lebih tepat disebut sebagai “buruh tani”, karena proporsi pendapatannya
lebih besar dari berburuh dibandingkan dengan menyakap, membentuk satu
kelompok tani sendiri yang isinya agak ekslusif.
Relasi antar buruh tani secara horizontal cenderung lemah, meskipun di antara
mereka saling mengenal. Beberapa bentuk relasi yang terjalin secara horizontal
yaitu (1) berbagi informasi pekerjaan, (2) berbagi informasi tentang berapa
banyak upah yang diterima, (3) mengajak buruh lain bekerja jika dibutuhkan
30. Sikap Pemerintah Terhadap Petani dan Organisasi Petani
21
beberapa buruh sekaligus, dan (4) saling berkomunikasi untuk “menyekapati”
tentang kenaikan upah. Buruh tani di Gresik, besarnya upah didasarkan dari
Upah Minimum Regional (UMR). Tingkat upah di wilayah ini jauh lebih
tinggi karena pengaruh industri, yakni sekitar 50 - 60 ribu rupiah per “HOK”
sampai sore.
Relasi yang sesungguhnya lebih kuat adalah relasi vertical yaitu antara buruh
dan pemilik tanah langganannya. Relasi ini lebih kuat dan dijaga dengan
baik karena saling membutuhkan (pola relasi “patron klien”, namun tidak
sempurna). Pemilik tanah merasa perlu menjaga relasi ini karena ada jaminan
akan memperoleh buruh saat membutuhkan dengan kualitas kerja yang sudah
diketahui baik. Demikian pula sebaliknya, para buruh tani juga merasa perlu
menjaga dan memperkuat relasi ini karena ada jaminan pekerjaan pada orang
yang sudah diketahui sikap dan perlakuannya. Sentimen primordial tidak
selalu menjadi basis pada relasi ini.
Memahami Arah Kebijakan Setelah Revisi UU
P3 oleh Mahkamah Konstitusi
Kelahiran UU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani (P3) merupakan tonggak penting dalam pengorganisasian petani.
Dalam UU ini dicantumkan garis kebijakan yang jelas dan tegas. Pada pasal
71 UU No. 19 tahun 2013 tertulis “Petani berkewajiban bergabung dan
berperan aktif dalam Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal
70 ayat (1)”. Organisasi dimaksud -dalam UU ini disebut dengan “lembaga”
atau kadang-kadang “kelembagaan”- terdapat empat bentuk yaitu Kelompok
Tani, Gabungan Kelompok Tani, Asosiasi Komoditas Pertanian, dan Dewan
Komoditas Pertanian Nasional.
Selain yang disebut dengan jelas tersebut, untuk bentuk organisasi yang lebih
bebas dikelompokkan ke dalam istilah “Kelembagaan Ekonomi Petani” yang
dimaknai sebagai “lembaga yang melaksanakan kegiatan Usaha Tani yang
dibentuk oleh, dari, dan untuk Petani, guna meningkatkan produktivitas dan
efisiensi Usaha Tani, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum” (Pasal 1). Dalam konteks ini, bisa berupa koperasi, baik koperasi
primer maupun sekunder, serta badan usaha lainnya. Sangat memungkinkan
jika petani ingin membentuk Perseroan Terbatas (PT) ataupun commanditaire
vennootschap (CV) atau sering disebut dengan Persekutuan Komanditer.
31. Organisasi Kesejahteraan Petani
22
Untuk penjabaran lebih jauh, khusus untuk kelompok tani dan Gapoktan
telah dikeluarkan kebijakan terbaru yaitu Peraturan Menteri Pertanian Nomor
82/Permentan/Ot.140/8/2013 Tentang Pedoman Pembinaan Kelompoktani
Dan Gabungan Kelompoktani. Disebutkan bahwa tujuan lahirnya Pedoman
Penumbuhan dan Pengembangan Poktan serta Gapoktan ini adalah (1)
meningkatkan jumlah poktan dan gapoktan, (2) meningkatkan kemampuan
poktan dan gapoktan dalam menjalankan fungsinya, dan (3) mendorong
poktan dan gapoktan meningkatkan kapasitasnya menjadi kelembagaan
ekonomi petani.
Jadi, dalam hal berorganisasi, UU No. 19 tahun 2013 hanya mengakui lima
jenis organisasi, yaitu kelompok tani, Gapoktan, asosiasi komoditas, dewan
komoditas, dan kelembagaan ekonomi petani berupa BUMP. “Kelompok
Tani” adalah “kumpulan Petani/peternak/pekebun yang terbentuk atas dasar
kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan sosial, ekonomi, dan
sumber daya; kesamaan komoditas, dan keakraban untuk meningkatkan serta
mengembangkan usaha anggota”. Sementara, “Gabungan Kelompok Tani”
adalah “kumpulan beberapa Kelompok Tani yang bergabung dan bekerja sama
untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha”.
Selanjutnya, pada tingkat lebih tinggi “Asosiasi Komoditas Pertanian” adalah
“kumpulan dari Petani, Kelompok Tani, dan/atau Gabungan Kelompok Tani
untuk memperjuangkan kepentingan Petani”. Artinya, asosiasi ini menjalankan
satu komoditas yang sama, namun cakupan wilayahnya lebih luas, bisa
beberapa desa, satu kabupaten, bahkan provinsi. Untuk tingkat nasional,
asosiasi ini haruslah menjadi “Dewan Komoditas Pertanian Nasional” yang
dimaknai sebagai “suatu lembaga yang beranggotakan Asosiasi Komoditas
Pertanian untuk memperjuangkan kepentingan Petani”.
Sementara, untuk bentuk organisasi yang lebih bebas dikelompokkan ke dalam
istilah “Kelembagaan Ekonomi Petani” yang dimaknai sebagai “lembaga yang
melaksanakan kegiatan Usaha Tani yang dibentuk oleh, dari, dan untuk Petani
guna meningkatkan produktivitas dan efisiensi Usaha Tani, baik yang berbadan
hukum maupun yang tidak berbadan hukum”. Dalam konteks ini bisa berupa
koperasi baik koperasi primer maupun sekunder, serta badan usaha lainnya.
Sangat memungkinkan pula jika petani ingin membentuk Perseroan Terbatas
(PT) ataupun CV. Organisasi usaha yang tidak berbadan hukum pun juga
mesti menjadi perhatian pemerintah, sesuai dengan pemaknaan pada pasal 1
UU No 19 tahun 2013 ini.
32. Sikap Pemerintah Terhadap Petani dan Organisasi Petani
23
Jadi, kelompok tani dan Gapoktan adalah “organisasi sementara”. Pada
akhirnya, kelompok tani dan Gapotan mestilah menjadi “kelembagaan
ekonomi petani” yakni BUMP. Selanjutnya, dalam Permentan (Peraturan
Kementerian Pertanian) ini disebutkan bahwa terdapat tiga fungsi kelompok
tani yaitu sebagai kelas belajar, wahana kerjasama, dan sebagai unit produksi.
Sementara, fungsi Gapoktan lebih banyak yaitu sebagai sebagai unit usaha
penyedia sarana dan prasarana produksi, unit usaha tani atau produksi, usaha
pengolahan, pemasaran, serta keuangan mikro (simpan pinjam).
Dari seluruh responden di tingkat instansi yang diwawancarai dalam studi
ini, sebagian telah pernah membaca UU 19 tahun 2013 sepintas, tetapi
seluruhnya tidak ada yang paham bagaimana petani didefinisikan dalam
UU ini. Satu hal yang perlu dicatat adalah pemahaman aparat dan petani
tentang sosok organisasi petani ke depan ini belum banyak dipahami. Selain
itu, banyak kesiapan kelembagaan yang belum tersedia. Sebagai contoh, jika
berbentuk PT atau CV dan asosiasi, siapa pembina yang akan memperhatikan
dan mendukung?
Tidak lama setelah keluarnya UU P3, timbul beberapa kritik dari kalangan
masyarakat,yangdiwakiliNGO.Padapasal69sesungguhnyasudahdisebutkan
bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban mendorong dan memfasilitasi terbentuknya Kelembagaan Petani
dan Kelembagaan Ekonomi Petani”. Pembentukan kelembagaan (mestinya
“organisasi”) tersebut dilaksanakan dengan perpaduan dari budaya, norma,
nilai, dan kearifan lokal Petani.
Persoalan lahir dari pasal 70 ayat 1 dan pasal 71 ayat 1. Namun, kebijakan
yang cenderung mengikat petani dalam UU ini telah dilonggarkan oleh
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 5 November 2014 dengan mengabulkan
tuntutan dari beberapa NGO petani nasional. Dalam amar putusan pemohon
No. 87/PUU-XI/2013, kebebasan berorganisasi dijamin pada tuntutan pasal-
pasal selanjutnya. Aturan mengenai organisasi tani menjadi tak mengikat
hanya milik pemerintah. Petani pun tidak berkewajiban ikut organisasi milik
pemerintah sehingga bisa saja ikut organisasi yang telah ada, atau membentuk
sendiri. Sesuai Pasal 70 ayat 1 yang baru, tidak hanya kelompok tani dan
Gapoktan saja yang diakui oleh negara, teteapi juga organisasi atau kelompok
tani yang dibentuk dan didirikan oleh petani. Kemudian pasal 71 tentang
“kewajiban” juga dianggap bertentangan. Artinya, petani tidak wajib ikut
kelompok tani dan Gapoktan.
33. Organisasi Kesejahteraan Petani
24
Permohonan diajukan oleh beberapa NGO di antaranya Human Rights
Committee for Social Justice (IHCS), WALHI, Sekretariat Bina Desa,
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI),
FIELDS, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya. Pasal 70 ayat 1
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk kelembagaan petani
yang dibentuk oleh para petani”. Dengan demikian, tidak hanya Kelompok
Tani (Poktan) dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) saja yang diakui
oleh negara, namun juga organisasi atau kelompok tani yang dibentuk dan
didirikan oleh petani juga harus diakui. Selain itu, pasal 71 tentang kata
“berkewajiban” juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Perubahan dimaksud disampaikan
pada tabel berikut.
Perubahan isi UU No 19 tahun 2013 oleh Mahkamah Konstitusi
Pasal
UU No 19 tahun 2013 Revisi oleh MK
Pasal 70
ayat 1
“Kelembagaan petani sebagai dimaksud
dalam pasal 69 ayat (1) terdiri atas:
(a) Kelompok Tani, (b) Gabungan
Kelompok Tani, (c) Asosiasi Komoditas
Pertanian, dan (d) Dewan Komoditas
Pertanian Nasional”
(Dibatalkan)
Pasal 71
ayat 1
“Petani berkewajiban bergabung dan
berperan aktif dalam Kelembagaan
Petani sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 70 ayat (1)”.
“Petani bergabung dan
berperan aktif dalam
kelembagaan petani
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 70 ayat 1”
Undang-undang pasal 69 ayat (2) dan pasal 71 ayat (2) menjadi konsisten
karena perubahan ini. Bagian lain dari UU ini yaitu Pasal 69 ayat (2):
“Pembentukan kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
dengan perpaduan dari budaya, norma, nilai, dan kearifan lokal Petani”, dan
juga Pasal 71 ayat (2): “Pembentukan Kelompok Tani memperhatikan lembaga-
lembaga adat Petani yang sudah ada dan memperhatikan keterlibatan Petani
perempuan”.
34. Sikap Pemerintah Terhadap Petani dan Organisasi Petani
25
Menurut Mahkamah Konstitusi (putusan MK) Pasal 70 ayat 1 menyebabkan
diskriminasi sehingga bertentangan dengan pasal 28I ayat 2 UUD 1945.
Alasannya adalah pertama, praktek korporatisme negara yaitu negara
memfasilitasi ternbentuknya dan menentukan bentuk lembaga petani
(sentralisme). Ini dilakukan rezim Orde Baru, yaitu pemberlakuan organisasi
petani dalam wadah tunggal yang dikooptasi oleh negara, petani hanya
diberikan kesempatan berorganisasi dalam wadah yang sudah ditentukan.
Kedua, Pasal 70 lama ini mengabaikan bentuk organisasi lain dalam pasal 69
ayat 2 yaitu Serikat Petani, kelembagaan Subak (Bali), kelompok perempuan
tani dan sebagainya. Pasal 69 ayat 2 juga sudah menyebutkan bahwa
pembentukan organisasi petani (dalam UU ini disebut dengan “kelembagaan”)
harus dengan perpaduan dari budaya, norma, nilai, dan kearifan petani lokal.
Artinya, memungkinkan terbentuknya organisasi petani yang beragam sesuai
dengan sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat.
Ketiga, pembentukan organisasi petani secara sepihak oleh pemerintah
berpotensi mengakibatkan petani bergabung dengan organisasi lain tidak
diperhatikandantidakdiberdayakan.Artinya,akanmenimbulkandiskriminasi
bagi petani sehingga bertentangan pula dengan Pasal 28I UUD 1945. Dengan
demikian, Pasal 70 ayat (1) ini dibatalkan karena bertentangan dengan UUD
1945 sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan
segala akibat hukumnya.
Selanjutnya, khusus untuk pasal 71 ayat 1, kata “berkewajiban” dianggap
bertentangan dengan Pasal 28E ayat 3 UUD 1945, yaitu, “Setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Pertimbangan MK, berorganisasi adalah sebuah yang memberikan keleluasaan
kepada pemegang hak, mempergunakan haknya atau tidak, bukan satu
kewajiban.
Sesuai dengan putusan MK tersebut, disampaikan bahwa pemerintah
tidak perlu mengintervensi dan menentukan bentuk organisasi petani, dan
semestinya melindungi keanekaragaman bentuk-bentuk yang ada. Pemerintah
juga seharusnya memberikan kebebasan petani atas kesadarannya untuk
menentukan jenis organisasi dan keikutsertaannya. Pemerintah hanya perlu
mengakui dan melindunginya. Penetapan bentuk dan nama organisasi petani
secara sepihak dan di luar inisiatif petani, bertentangan dengan kemerdekaan
atau kebebasan untuk berserikat (putusan MK hal 34).
35. Organisasi Kesejahteraan Petani
26
Kesimpulan MK, pasal 70 ayat (1) dan pasal 71 UU 19 tahun 2013 adalah
sebagai berikut: (1) Telah menimbulkan pelanggaran hak asasi petani, (2)
menyebabkan ketidakpastian hukum, (3) tidak dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat, dan (4) merugikan hak-hak konstitusional para
pemohon.
Implikasi Revisi UU P3 oleh MK terhadap
Pengorganisasian Petani
Terdapat beberapa implikasi yang cukup besar atas dikabulkannya judici al
review UU P3 oleh MK, dalam konteks manajemen dan sistem administratif
pelaksanaan program pembangunan. Implikasi tersebut di antaranya:
Pertama, nama dan bentuk organisasi petani ke depan bisa lebih bervariasi.
Selain Kelompok Tani dan Gapoktan yang sudah dikenal luas, petani juga
bebas membentuk organisasi lain dengan nama lain, dan basisnya pun bisa
berupa komoditas ataupun wilayah. Artinya, memungkinkan petani untuk
membuat organisasi seperti kelompok berbasis komoditas, misalnya dengan
nama “kelompok tani bawang”, “kelompok tani jeruk”, “kelompok peternak
itik lokal”, dan lain-lain. Bahkan basis keanggotaannya pun bisa lintas desa
atau lebih luas lagi.
Kedua, karena nama organisasi petani dapat berbeda-beda, banyak pedoman
kegiatan yang harus direvisi termasuk aturan tentang pemberian bantuan
sosial (Bansos). Peraturan utama yang harus direvisi adalah Permentan No.82
tahun 2013 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok tani dan Gabungan
Kelompok tani. Aturan ini baru memuat tentang kelompok tani dan
Gapoktan bahkan asosiasi dan Badan Usaha Milik Petani pun belum diatur
di dalamnya sehingga dibutuhkan Permentan baru.
Ketiga, inti dari kebijakan ini adalah seluruh organsiasi formal yang anggotanya
petani haruslah menjadi perhatian pemerintah khususnya Kementerian
Pertanian. Organisasi formal yang cakupannya paling luas adalah “organisasi
kemasyarakatan”. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang
Organisasi Kemasyarakatan menyebutkan bahwa “Organisasi Kemasyarakatan
adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela
berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan,
dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.”
36. Sikap Pemerintah Terhadap Petani dan Organisasi Petani
27
Dalam konteks ini, Permendagri No 32 Tahun 2011 Tentang Pedoman
Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial, sesungguhnya sudah sejalan karena
basis pemberian bantuan sosial adalah Ormas. Pada Pasal 6 disebutkan
bahwa “Hibah kepada organisasi kemasyarakatan diberikan kepada organisasi
kemasyarakatan yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
Khusus untuk lingkup Kementan, salah satu turunan dari peraturan ini
misalnya adalah Pedoman Pelaksanaan Pengajuan Pengelolaan Dana Bantuan
Sosial Tahun Anggaran 2012, Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Aturan ini menyebutkan bahwa kelompok
sasaran yang dapat menerima hibah Bansos adalah kelompok yang telah
ada dan menjalankan usaha agribisnis dan/atau ketahanan pangan. Kriteria
umum calon penerima dana bantuan sosial ialah yang “....tergabung dalam
suatu kelompok usaha, harus memiliki nama kelompok, nama ketua kelompok,
dan alamat yang jelas”.
Implikasi berikutnya, Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan
(PUAP) misalnya tidak harus diberikan kepada Gapoktan saja. Selama ini
PUAP ekslusif hanya untuk Gapoktan yang jumlahnya satu unit per desa.
Pada halaman-22 Pedoman Pelaksanaan PUAP terbaca bahwa “PUAP
memfasilitasi modal usaha bagi petani kecil, buruh tani, dan rumah tangga tani
miskin kepada sumber permodalan dilaksanakan melalui: (a) penyaluran BLM
PUAP kepada pelaku agribisnis melalui Gapoktan; .....dst”.
Keempat, pemerintah tidak hanya memperhatikan organisasi petani sebagai
produsen, namun juga pelaku agribisnis lain. Oleh karena itu, berbagai
asosiasi yang saat ini telah ada perlu memperoleh pembinaan, misalnya
asosiasi komoditas ataupun bentuk asosiasi lain yang berbasiskan wilayah dan
kepentingan tertentu, misalnya berbasiskan pertanian organik.
Kelima, pedoman kerja penyuluhan juga akan berubah karena belum
memasukkan organisasi lain di luar kelompok tani dan Gapoktan. Perubahan
dibutuhkan setidaknya terhadap Permentan Nomor: 25/Permentan/
Ot.140/5/ 2009 Tentang Pedoman Penyusunan Program Penyuluhan
Pertanian, dan Permentan Nomor 91/Permentan/Ot.140/9/2013 tentang
Pedoman Evaluasi Kinerja Penyuluh Pertanian. Tupoksi penyuluh pertanian
tentu saja kemudian harus diperluas untuk berbagai bentuk organisasi petani
yang lain.
*****
37.
38. Bab IV
Eksistensi dan Karakter Organisasi
Petani Saat Ini
….. untuk sekadar ada, organisasi petani sudah bisa sampai tahap tertentu, namun
belum dapat mengubah tingkat kesejahteraan petani secara umum, apalagi petani
kecil…..
Kondisi, Permasalahan, dan Potensi
Pengorganisasian Petani
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pemerintah menjadikan organisasi
formal sebagai pendekatan. Organisasi formal menjadi syarat pelibatan petani
dalam program dan kegiatan penyuluhan. Kondisi ini lebih tegas seperti
terdapat di Kabupaten Gresik dan Malang (Jawa Timur), organisasi petani
dan organisasi pemerintahan desa dibuat “berhimpit”. Banyak Kepala Dusun
menjabat langsung sebagai ketua kelompok tani.
Secara umum, selama ini pemerintah melakukan intervensi kekuasaan
yang besar terhadap petani. Sementara, organisasi formal merupakan alat
pemerintah untuk berhubungan dengan petani. Relasi kekuasaan antara
pemerintah dan petani berada dalam iklim modernisasi. Menurut pendekatan
agribisnis (“agriculture regarded as a bussiness”), melalui kata kunci untung dan
efisien maka pertanian harus dijalankan dengan “memperbesar skala” usaha
dengan menghimpun petani dalam organisasi.
Intervensi pemerintah yang top-down telah menumbuhkan sikap pasif pada
petani termasuk ketika pemerintah mengintroduksikan organisasi baru.
Namun, kondisi terakhir menunjukkan bahwa kebebasan petani berorganisasi
telah mulai lahir. Telihat dengan terbentuknya berbagai organisasi petani
39. Organisasi Kesejahteraan Petani
30
yang agak “di luar skenario” pemerintah dan tidak ditargetkan, yaitu asosiasi.
Telah berdiri Asosiasi Pengusaha Lele Majalengka (Aplema) di Kabupaten
Majalengka yang merupakan inisiatif petani lele tersebut, demikian pula
dengan asosiasi petani cabe dan domba di Kabupaten Gresik. Asosiasi petani
tembakau di Garut bahkan mampu menjembatani permasalahan bisnis yang
selama ini tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah. Ide pembentukan asosiasi
datang dari mereka sendiri (petani), dan juga berkembang dengan kekuatan
sendiri.
Karakter kelompok tani di Jawa Timur cukup berbeda dengan lokasi lain.
Semua petani, dalam hal ini petani padi, diharuskan masuk dalam kelompok
tani. Satu dusun umumnya terdiri atas satu kelompok tani, sebagian ada yang
dua, dan tidak ada anggota kelompok tani lintas dusun. Oleh karena itu,
banyak nama kelompok tani persis sama dengan nama dusun. Alasannya
adalah untuk memudahkan penyusunan RDKK dan pendistribusian pupuk
bersubsidi.
Dapat dikatakan bahwa dalam hal relasi negara dengan petani, kelompok
tani, dan Gapoktan dijadikan sebagai alat atau wadah untuk memudahkan
kontrol oleh negara. Dalam konteks ini, pendistribusian pupuk di Gresik
dan Malang (Jawa Timur) umumnya relatif lebih tertata. Kekuasaan (power)
pemerintahan desa dijadikan jalan untuk memuluskan kegiatan.
40. Eksistensi Dan Karakter Organisasi Petani Saat Ini
31
Nama Gapoktan disamakan dengan nama desa, dan seringkali ketua kelompok tani
adalah Kepala Dusun setempat
Di tingkat lapang, tokoh petani menjadi motor penting atas berkembangnya
organisasi petani. Mereka inilah yang biasanya melakukan terobosan untuk
meningkatkan taraf kehidupan anggota komunitasnya. Keberhasilan Koperasi
Mekar Mulya di Kabupaten Majalengka, sangat bergantung kepada peran
ketuanya yang juga seorang guru SMP. Selain berhasil mengembangkan
koperasi susu, pemeliharaan sapi perah sebanyak 240 ekor juga telah
41. Organisasi Kesejahteraan Petani
32
memberikan tambahan pendapatan, serta pengolahan pupuk organik dari
kotoran sapi (produksi 14 - 15 ton/bulan). Keuntungan koperasi sudah cukup
memadai untuk SHU anggota dan menggaji pengurus.
Penyuluh dalam mengembangkan organisasi di luar kelompok tani dan
Gapoktan,bekerjasebatasmenyampaikanpesandaripemerintahsesuaidengan
tupoksi mereka. Sementara itu, pemerintah daerah belum memperlihatkan
komitmen yang menggembirakan. Pembangunan-pertanian baru sebatas
komoditas, produksi, dan produktivitas; belum ke pembangunan petani.
42. Eksistensi Dan Karakter Organisasi Petani Saat Ini
33
Karakteritikumumorganisasipetanisampelberdasarkanjenisnya
KelompoktaniGapoktanKoperasiAsosiasiKTNA
Jumlahsampel5unit12unit6unit5unit5unit
AreakerjaTingkatdusundan
neighborhood
DesaKomunitas,
berbasiskan
wilayahdesa,
ataukomoditas
Lintasdesa,
bahkanlintas
kabupaten
Desasampaikabupaten
Komoditas
ataubidang
utama
Padi,jagung,cabe,
kambing,domba
Padi,jagung,cabe,
kambing,domba
Susu,tebu,
simpanpinjam
Lele,jagung,
cabe,
tembakau,
kambingdan
domba
Non-komoditas
Fungsiyang
dijalankan
selamaini
Menyalurkanbenihdan
pupukbantuan,wadah
penyuluhan,dll.
Umumnya
menjalankan
programpemerintah
(PUAP,LDPM,dll.)
Koperasi
komoditas,
menyalurkan
pupukbersubsidi
(KUD)
Masih
baru,tahap
konsolidasi
MembantuRDKKdan
kelancaranpasokan
input,advokasipetani,
perencanaandan
monitoringpembangunan
Inisiasi
pembentukan
Umumnyadariluar,
untukadministrasi
program
Umumnyadariluar,
untukadministrasi
program
Ada
organizational
learning
Untuk
komunikasi,
danmemberi
pendampingan
kepetani
Daripemerintah(sejak
1980-an),mulaitumbuh
kesadaraninternal
44. Eksistensi Dan Karakter Organisasi Petani Saat Ini
35
Pengorganisasian Petani dalam Pengaruh
Politik Lokal
Otonomi daerah yang telah berjalan secara administratif sejak tahun
2000, memberi suasana yang cukup menentukan terhadap terbentuk dan
berkembangnya organisasi petani. Eksistensi petani dalam percaturan politik
local, sampai saat ini belum mengandalkan organisasi formal, namun lebih
kepada tokoh. Tokoh petani terutama dari kalangan KTNA, sudah cukup
diakui oleh pimpinan daerah terutama di Kabupaten Agam dan Gresik.
Untuk fungsi politik, KTNA mulai mendapatkan posisi politik yang
diperhitungkan di daerah. KTNA diberi fasilitas ruangan kantor dan sedikit
biaya operasional, serta juga cukup dekat dengan Bupati di Kabupaten Garut,
Gresik, dan Agam. Tokoh ketua KTNA di Gresik dan Agam sangat dekat
dengan Bupati.
Keberadaan tokoh petani sudah mulai diperhitungkan dalam konstelasi politik
lokal. Para pengurus KTNA tidak hanya sering diundang pada rapat di Dinas
Pertanian dan Badan Koordinasi Penyuluhan, namun ke tingkat Sekda dan
Bupati. Bahkan di Gresik, ketua KTNA kabupaten baru saja terpilih menjadi
seorang anggota legislatif untuk periode 2014-2019. Demikian pula di Jawa
Barat, sudah cukup banyak KTNA yang masuk sebagai anggota legislatif dan
sebagian juga aktif di partai politik. Ketua asosiasi Aplema di Majalengka
adalah juga pengurus cabang partai politik di wilayahnya. Artinya, telah mulai
tumbuh fenomena kesadaran politik petani, meskipun masih pragmatis dan
belum memiliki pola dan struktur perjuangan yang jelas.
Peran Penyuluhan di Belakang Eksistensi
Organisasi Petani
Keberadaan organisasi petani baik dari sisi jumlah maupun level
keorganisasiannya menunjukkan satu pola tertentu, meskipun bervariasi antar
daerah. Hal ini tentu saja tidak lepas dari sikap dan pola kerja pembinaan
yang sama. Organisasi petani yang selalu diperhatikan adalah kelompok tani
dan Gapoktan. Sementara, khusus untuk koperasi tani, hanya dibantu dalam
hal administrasi oleh Dinas Koperasi, namun Dinas Pertanian dan pihak
45. Organisasi Kesejahteraan Petani
36
penyuluhan “kurang merasa memiliki”. Bagaimanapun, tenaga penyuluhan
pertanian merupakan komponen pokok dalam pembangunan pertanian
termasuk dalam kemajuan organisasi petani.
Kelompok Tani dan Gapoktan paling tersebar keberadaanya. Peningkatan
jumlah Gapoktan terdorong karena program PUAP. Sebenarnya dana PUAP
sudah bisa untuk menjadi dana awal koperasi. Tahun ini dilakukan penataan
data kelompok tani dan Gapoktan karena banyak organisasi petani yang
dibuat tanpa prosedur yang benar.
Keberhasilan penumbuhan dan pembinaan organisasi petani harus
mempertimbangkan kemampuan tenaga lapang terutama penyuluh pertanian.
Keberadaan dan kinerja tenaga penyuluh cukup menentukan keberhasilan
organisasi petani. Kabupaten Gresik misalnya, mempunyai potensi wilayah
yang cukup besar baik di bidang usaha pertanian, perikanan, peternakan,
perkebunan maupun kehutanan yang secara administrasi tersebar di 18
kecamatan 117 desa. Namun, potensi ini tidak diimbangi dengan keberadaan
tenaga penyuluh yang saat ini hanya berjumlah 67 orang Penyuluh PNS, 45
orang Penyuluh THL – TBPP, total 117 orang penyuluh.
Penumbuhan dan pembinaan organisasi petani di lapangan mengandalkan
kepada penyuluh pertanian. Menurut persepsi PPL, mereka hanya ditugasi
menumbuhkan dan mengembangkan kelompok tani dan Gapoktan, namun
tidak untuk koperasi, asosiasi, dan juga KTNA. Hasil yang dicapai sangat
variatif, namun berada pada kategori rendah. Hal ini disebabkan mereka
merasa ini bukanlah tugas utamanya sehingga tidak ada target untuk
menjadikan seluruh kelompok tani mencapai kelas utama. Tentu ini sungguh
ironis. PPL “terperangkap” hanya pada target produksi komoditas, tidak pada
manusia (petani) yang sesungguhnya merupakan tugas utama mereka.
Secara umum, pembinaan yang berjalan untuk seluruh organisasi petani
bersifat parsial, terbatas, dan masih untuk kebutuhan administratif. Pihak
pertanian (yakni Dinas Pertanian dan Badan Penyuluhan) bahkan merasa
tidak “memiliki” koperasi sehingga data koperasi pertanian tidak dimilikinya.
Sementara, asosiasi sama sekali belum disentuh. KTNA sesungguhnya
organisasi petani lama, namun pembinaannya sangat terbatas.
Dengan demikian, pada umumnya keberadaan penyuluhan di ketiga provinsi
belum lah berada dalam kondisi yang ideal. Pihak penyuluhan banyak
mengeluh dengan kondisi ini. Perhatian Pemda baik provinsi maupun
46. Eksistensi Dan Karakter Organisasi Petani Saat Ini
37
kabupatenbelummenomorsatukanpenyuluhan.Contohsederhana,pendirian
Badan Koordinasi Penyuluhan di level provinsi baru 2 - 3 tahun belakangan
ini, sedangkan keberadaan kantor penyuluhan provinsi juga kurang memadai.
Sarana, prasarana, serta dukungan staf dirasakan tidak mencukupi. Namun
demikian, dukungan Pemda Jabar kepada penyuluhan ditunjukkan dengan
mengangkat para PPL THL yang anggarannya disediakan provinsi, sedangkan
di Sumbar ada gerakan optimalisasi penyuluan (GOP).
Karakteristik kinerja dan target PPL dalam pembinaan organisasi petani
Uraian Jabar Jatim Sumbar
Jumlah petani yang sudah masuk kelompok tani
(%)
48,4 54,6 55,5
Jumlah kelompok tani yang dibina (unit) 11−16 10−14 10−16
Jumlah berdasarkan kelas:
Kelas pemula (%) 37,2 43,4 56,2
Kelas lanjut (%) 37,2 38,6 31,2
Kelas madya (%) 18,6 18,0 12,6
Kelas utama (%) 7,0 0,0 0,0
Total 100,0 100,0 100,0
Target semua petani masuk kelompok tani (%) 100,0 100,0 100,0
Target semua kelompok menjadi kelas utama (%) 0,0 0,0 0,0
Jumlah petani yang sudah masuk koperasi (%) Tidak
tahu
Tidak
tahu
Tidak
tahu
Target semua petani masuk koperasi (%) 0,0 0,0 0,0
Pembinaan organisasi petani (%):
Kelompok tani 100,0 100,0 100,0
Gapoktan 100,0 100,0 100,0
Koperasi 12,5 27,2 18,7
Asosiasi petani 0,0 0,0 0,0
KTNA 0,0 0,0 0,0
Dilihat dari proporsinya, jumlah petani laki-laki dan petani perempuan
berimbang. Jumlah rumahtangga petani paling tinggi terdapat di Provinsi
Jawa Barat dan yang paling rendah terdapat di Provinsi Sumatera Barat.
Kisaran jumlah kelompok tani yang dibina oleh satu orang PPL di semua
lokasi kajian antara 10−16 unit. Sekitar 50 persen dari jumlah petani di semua
47. Organisasi Kesejahteraan Petani
38
lokasi kajian, sudah masuk menjadi anggota kelompok tani. Namun, tidak ada
satu pun PPL yang mengetahui jumlah petani yang sudah menjadi anggota
koperasi. Hal ini wajar karena pengkotakan kementerian membuat petugas
di dalamnya menjadi seperti memakai kacamata kuda, tidak mengetahui apa
yang dilakukan kementerian lain dan muncul ego-sektoral serta melaksanakan
pembangunan nasional. Hal ini juga tercermin dari jawaban PPL di semua
lokasi kajian yang tidak menargetkan petani masuk koperasi, walaupun semua
PPL menargetkan seluruh petani menjadi anggota kelompok tani.
Kelas kelompok tani diasumsikan menunjukkan kapasitas kelompok tani
dalam menjalankan usaha mencapai tujuannya. Kelas pemula dan lanjut
merupakan kelas kelompok-tani paling banyak dari semua lokasi kajian,
sedangkan kelas madya dimiliki oleh kurang dari 20 persen kelompok
tani. Provinsi kajian yang memiliki kelas utama hanya Provinsi Jawa Barat,
walaupun persentasenya masih kurang dari 10 persen. Tidak ada satu pun
PPL yang menargetkan kelompok tani menjadi kelas utama.
Pada kenyataannya kelas kelompok ini kecil keterkaitannya dengan prestasi
kelompok tani, terbukti dengan adanya kelompok tani di Provinsi Sumatera
Barat yang sudah sangat aktif secara ekonomi dan berprestasi (menjadi juara
kelompok tani nasional), tetapi kelas kelompoknya masih kelas pemula. Hal
ini mungkin saja terjadi karena terjadi kekeliruan dalam menetapkan indikator
penilaian kelas kelompok yang menggunakan kriteria administrasi dan
keuangan. Selain itu, mungkin juga penilaiannya sudah lama sekali dilakukan
sehingga tidak mencerminkan perubahan kondisi kelompok tani saat ini.
Semua PPL terlibat dalam pembinaan kelompok tani dan Gapoktan. Namun,
hanya sedikit sekali PPL yang terlibat dalam pembinaan koperasi, hanya pada
kisaran 12−28 persen. Dari seluruh lokasi kajian, lokasi di Provinsi Jawa
Timur adalah yang paling baik dalam integrasi penyuluhan pertanian dan
koperasi, walaupun masih kurang dari satu pertiga jumlah PPL yang terlibat
dalam melakukan penyuluhan pertanian dan perkoperasian.
Peran PPL dalam membina asosiasi petani tidak terlihat sama sekali.
Dengan begitu, asosiasi petani tidak pernah mendapatkan pembinaan atau
penyuluhan dari PPL. Hal ini dapat dipahami, mengingat para anggota atau
sebagian anggota asosiasi petani biasanya merupakan petani yang sudah relatif
memiliki koneksi atau hubungan dengan dunia luar sehingga kemungkinan
48. Eksistensi Dan Karakter Organisasi Petani Saat Ini
39
tidak lagi menjadi sasaran pembinaan oleh PPL. Kemungkinan lain yaitu dari
uraian tugas dan fungsi pokoknya, PPL tidak diwajibkan untuk membina
asosiasi petani.
Pemahaman yang menyamakan antara individual organization (kelompok tani) dan
secondary level organization (Gapoktan) menyebabkan Gapoktan memiliki anggota.
Semestinya petani adalah “anggota kelompok tani”, bukan “anggota Gapoktan”.
Kinerja dan output kerja penyuluh di lapangan berkaitan erat dengan kondisi
dan permasalahan yang dihadapinya. Karakter tenaga PPL sebagai responden
dalamstudiiniditampilkanpadatabelberikut.Rata-rataPPLlaki-lakidiketiga
provinsi lokasi kajian jumlahnya lebih banyak daripada PPL perempuan, di
Provinsi Jawa Barat, proporsi PPl laki-laki lebih besar dibandingkan dengan
kedua provinsi lainnya. Tingkat pendidikan PPL sudah cukup baik karena
sekitar 50 persen sudah menyelesaikan pendidikan jenjang strata satu (S1),
kecuali di Provinsi Jawa Barat. Selain itu, Provinsi Jawa Barat juga memiliki
proporsi paling tinggi untuk PPL dengan tingkat pendidikan SLTA. Dari
aspek bidang keahlian, semua provinsi mengalami kekurangan PPL dengan
bidang keahlian tertentu, misalnya Provinsi Jawa Barat kekurangan PPL
dengan bidang keahlian perikanan dan pascapanen, serta Provinsi Jawa Timur
dan Sumatera Barat kekurangan PPL bidang keahliannya sosial ekonomi.
49. Organisasi Kesejahteraan Petani
40
Karakteristik responden Penyuluh Pertanian Lapangan
Karakteristik
Provinsi
Jabar Jatim Sumbar
Rata-rata umur (tahun) 46,8 46,2 42,7
Jenis kelamin:
- Laki-laki (%)
- Perempuan (%)
61,6
38,4
54,6
45,4
55,5
44,5
TOTAL (%) 100,0 100,0 100,0
Pendidikan terakhir:
SLTA (%)
Diploma (%)
Sarjana (%)
S2 (%)
S3 (%)
Lainnya (%)
30,7
23,0
46,3
0
0
0
27,2
18,3
54,5
0
0
0
22,2
22,2
55,6
0
0
0
TOTAL (%) 100,0 100,0 100,0
Bidang keahlian:
Budi daya tanaman (%)
Peternakan (%)
Perikanan (%)
Sosial ekonomi (%)
Pascapanen (%)
Lainnya: (%)
62,0
7,6
0
15,2
0
15,2
58,4
9,2
16,2
0
16,2
0
66,7
11,1
11,1
0
11,1
0
TOTAL (%) 100,0 100,0 100,0
Rata-rata lama bertugas sebagai PPL
(tahun)
21,4 23,6 18,6
Untuk pengorganisasian petani dalam melakukan pembinaan terhadap petani
khususnya, para PPL menyatakan menggunakan pedoman tertentu. Pedoman
ini umumnya berupa leaflet, brosur atau booklet yang di produksi dinas terkait
setempat. Biasanya, dinas teknis yang membuat pedoman ini pun berorientasi
50. Eksistensi Dan Karakter Organisasi Petani Saat Ini
41
pada pedoman nasional yang dihasilkan oleh Kementerian Pertanian, dalam
hal ini Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian. Para PPL
tidak mengalami kesulitan dalam memahami pedoman yang ada.
Keberadaan kelembagaan penyuluhan di daerah belum ideal. Dari 38 (tiga
puluh delapan) daerah tingkat II di Jawa Timur, baru terdapat dua kabupaten
yaitu Kabupaten Blitar dan Gresik yang sudah memiliki kantor penyuluhan
sendiri. Jumlah personil penyuluh sangat tidak memadai dan sudah diusulkan
pengangkatan pegawai baru, namun jatah penyuluh yang diperoleh dipakai
oleh dinas lain. Dengan demikian, dari jumlah penyuluh yang tersedia
dibandingkan dengan luas dan beratnya pekerjaan, Kabupaten Gresik dalam
kondisi “darurat penyuluh”.
DiKabupatenGresik,dilakukanpertemuansetiapbulansatukaliyangdihadiri
oleh seluruh SKPD dan dipimpin langsung oleh Bupati. Pertemuan tersebut
dinamakan “Temu Bisnis Sambung Rasa”, ada juga yang menamakan “Tilik
Deso” dan “Temu Mitra”. Pertemuan ini diprakarsai oleh Bapeluh sejak tahun
2011, diadakan di eks kawedanan yang terdiri atas 3−4 kecamatan, dihadiri
oleh 600–1000 bahkan pernah mencapai 2000 orang. Acara pertemuan
dilakukan secara bergilir, sebanyak 10 kali dalam satu tahun.
Pertemuan ini dilaporkan sangat efektif, sebagai salah satu strategi
pembangunan karena seluruh SKPD hadir sehingga langsung mendengar
permasalahan yang dihadapi petani dan masyarakat secara umum. Semua
permasalahan yang dilaporkan masyarakat dicatat, direkam, dan disiarkan
televisi, serta segera ditindaklanjuti atau diselesaikan sebelum pertemuan
selanjutnya.
Secara administrasi Kabupaten Gresik tersebar di 18 kecamatan dan 117 desa,
memiliki potensi wilayah yang cukup besar baik di bidang usaha pertanian,
perikanan, peternakan, perkebunan maupun kehutanan. Namun, potensi ini
tidak diimbangi tenaga penyuluh, saat ini hanya berjumlah 67 orang Penyuluh
PNS, 45 orang Penyuluh THL–TBPP, dengan jumlah total sebanyak 117
orang penyuluh.
Disamping memberdayakan kelembagaan ekonomi, Pemda Kabupaten
Malang juga menargetkan peningkatan kelas kelompok tani. Saat ini terdapat
900 kelompok pemula, 500 lanjut, dan madya sebanyak 47 unit. Target
tersebut sekaligus sebagai tolok ukur kinerja PPL. Jika tidak ada peningkatan,
PPL dianggap tidak bekerja sesuai pedoman. Kecuali, pada kasus tertentu
51. Organisasi Kesejahteraan Petani
42
seperti petani di wilayah dekat kota yang sudah mampu mandiri dalam
permodalan dan mengakses teknologi, mereka tidak suka berkelompok karena
dianggap membuang tenaga dan waktu.
Jumlah PPL di Kabupaten Malang saat ini 257 orang dari 390 desa/
kelurahan, terdiri atas THL sebanyak 123 orang, sisanya yaitu PPL PNS
yang mayoritas hampir pensiun. Target ‘satu desa satu PPL’ dirasakan masih
memprihatinkan, terlebih jika kondisi wilayah sulit dijangkau, sedangkan
jumlah petaninya cukup banyak. Namun, diakui adanya KTNA di setiap
kecamatan dapat membantu dan saat ini banyak juga petani yang pintar
sehingga memungkinkan seorang PPL mampu bertugas di 2 desa. Sebagai
bahan koreksi bisa mengacu pada era BIMAS yakni satu WKPP meliputi
1.000 Ha lahan sawah, sementara sekarang luas satu desa hanya beberapa
hektare dan bahkan lebih sempit lagi jika sudah dipecah.
52. Bab V
Rancangan Organisasi Petani Ke
Depan
Sekian lama organisasi petani baru sebatas menjadi alat pihak atas. Untuk
memuluskan dan mengontrol petani., sudah saatnya organisasi petani menjadi ALAT
PERJUANGAN bagi petani untuk tujuan yang lebih hakiki.
Menciptakan Organisasi Petani yang Mampu
“Memanusiakan” dan Mensejahterakan
Pada kasus organisasi yang dikategorikan berhasil, antara pemerintah dan
petani-berhasil ditumbuhkan sikap kepemilikan bersama (sense of shared
ownership). Dalam kondisi ini, organisasi disadari oleh petani sebagai “milik
bersama”. Hal ini berlaku untuk organisasi-organisasi bentukan pemerintah
yaitu kelompok tani dan Gapoktan untuk Kementerian Pertanian serta
koperasi untuk Kementerian Koperasi dan UKM.
Pemilihan organisasi petani didasarkan atas dasar bahwa organisasi
petani dibangun untuk memenuhi 2 kebutuhan yaitu fungsi administrasi
pembangunan misalnya untuk kepentingan penyaluran bantuan, serta fungsi
komunikasi secara horizontal dan vertikal. Sesungguhnya juga diharapkan
muncul fungsi kolektivitas ekonomi, namun kurang berhasil. Selain itu,
terdapat dua fungsi lain yaitu fungsi partisipasi petani dalam pembangunan,
serta fungsi perwakilan atau representatif politis petani.
Kelompok tani dan Gapoktan masih sebatas untuk fungsi administrasi dan
komunikasi, meskipun sesungguhnya diharapkan juga untuk fungsi ekonomi,
namun kurang berhasil. Sementara, koperasi untuk dinas Koperasi lebih
kepada fungsi administrasi dan komunikasi, sedangkan bagi pihak pertanian
lebih sebagai fungsi ekonomi.
53. Organisasi Kesejahteraan Petani
44
Khusus untuk asosiasi, kebetulan baru untuk “asosiasi komoditas”, pihak
pemerintah belum memiliki sikap dan pemahaman yang jelas. Petani
membentuk asoiasi lebih utama untuk pemenuhan fungsi ekonomi, yakni
memudahkan berkomunikasi antar sesama pelaku, misalnya pada asosiasi
petani cabe di Gresik. Pengurus dan anggota asosiasi belum memiliki
pandangan bahwa asosiasi akan juga menjadi jalan untuk partisipasi politik,
meskipun secara teoretis berpeluang.
Sesuaidenganpendekatanpahamkelembagaanbaru(NewInstitutionalism)oleh
Scott (2008) dan juga Nee (2003, 2005), perilaku petani dipersepsikan sebagai
sebuah tindakan yang sadar dan rasional sejalan dengan konteks kelembagaan
yang melingkupi mereka. Pendekatan blue print dengan mengembangkan
organisasi yang seragam terbukti kurang sesuai bagi petani. Akibatnya,
petani kembali menata ulang manajemen dan struktur dalam organisasinya,
meskipun dari luar tidak kelihatan. Mereka seolah menjalankan organisasi
dengan etika formal (dari pihak luar), yang terbaca dari berbagai dokumen-
dokumen tertulis, namun sesungguhnya manajemen yang dijalankan adalah
prosedur non formal. Peranan faktual masing-masing pengurus tidak sesuai
lagi dengan panduan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga,
termasuk pula dalam hal tata cara eksekusi kegiatan dan monitoring.
Apa yang dimaksud dengan format pengorganisasian di sini adalah mencakup
di luar organisasi dan di dalam organisasi (formal). Paham kelembagaan baru
menjadikan organisasi sebagai aktor yang pokok dalam masyarakat. Dalam
konteksduniapertanian,meskipunpetanisesungguhnyabisasajamenjalankan
seluruh usahanya tanpa menggunakan organisasi formal, namun keberadaan
organisasi formal sampai saat ini masih dipandang sebagai keniscayaan dalam
tatanan dunia modern. Begitu banyak peluang yang dapat diperoleh petani
jika menjalankan usahanya dalam organisasi formal. Jika hanya mengandalkan
relasi-relasi pasar, pilihan ini bisa efektif untuk sementara, namun untuk
pengembangan lebih-jauh, hal tersebut tidak memadai. Apalagi di Indonesia,
petani kecil semakin banyak dan meluas salah satunya disebabkan proses
delandreformisasi; kebutuhan untuk berorganisasi merupakan hal yang sangat
masuk akal.
Dengan perubahan kebijakan yang cukup mendasar juga dihadapkan
kepada berbagai temuan lapang, serta peluang yang tersedia maka rancangan
organisasi petani ke depan lebih kurang. Bentuk rancangan organisasi petani
54. Rancangan Organisasi Petani Ke Depan
45
ke depan didasarkan bahwa organisasi petani dibangun untuk memenuhi
lima kebutuhan yaitu fungsi administrasi pembangunan, misalnya untuk
kepentingan penyaluran bantuan, fungsi komunikasi secara horizontal dan
vertikal, fungsi ekonomi, sebagai wadah partisipasi, serta fungsi perwakilan atau
representatif politis petani. Setiap fungsi memiliki arah-relasi yang berbeda.
Fungsi administratif memiliki bentuk relasi dari atas ke bawah, fungsi
komunikasi juga atas ke bawah, namun juga horizontal, sedangkan fungsi
ekonomi memiliki tipe relasi horizontal. Khusus untuk fungsi partisipasi
pembangunan dan representasi politik, memiliki bentuk relasi yang sebaliknya
yakni dari bawah ke atas.
Sampai saat ini kelompok tani dan Gapoktan masih sebatas sebagai fungsi
administrasi dan komunikasi, meskipun sesungguhnya diharapkan juga untuk
fungsi ekonomi, namun kurang berhasil. Sementara, koperasi bagi dinas
Koperasi sebagai fungsi administrasi dan komunikasi, sedangkan bagi pihak
pertanian sebagai fungsi ekonomi. Khusus untuk asosiasi, baru sebatas “asosiasi
komoditas”, dan secara umum pihak pemerintah belum memiliki sikap dan
pemahaman yang jelas. Petani membentuk asosiasi sebagai pemenuhan fungsi
ekonomi yakni memudahkan berkomunikasi antar sesama pelaku, misalnya
pada asosiasi petani cabe di Gresik. Pengurus dan anggota asosiasi belum
memiliki pandangan bahwa asosiasi akan juga menjadi jalan untuk partisipasi
politik, meskipun secara teoretis berpeluang. Ke depan, organisasi petani
semestinya bisa lebih berperan terutama untuk kontestasi politik di tingkat
kabupaten yakni dengan mengoptimalkan peran KTNA, HKTI, berbagai
asosiasi, dan menempatkan wakil-wakil petani di badan legislatif atau bahkan
dengan mendirikan “Partai Petani” sekalipun.
56. Rancangan Organisasi Petani Ke Depan
47
Format Keorganisasian Petani Ke Depan
Berdasarkan Tingkatannya
Organisasi petani mencakup organisasi dalam bentuk individual (individual
organization) yaitu bagaimana rancangan keorganisasian pada kelompok tani
misalnya, juga mencakup bagaimana rancangan antar organisasi petani, serta
mencakup satu area tertentu secara horizontal dan vertikal. Secara umum,
terdapat 3 tingkat organisasi petani yang perlu dibangun yakni tingkat
organisasi individual (individual organization), organisasi koordinasi (inter-
group organization), dan organisasi pendukung (supporting group). Meskipun
tidak kongruen, ini agak berhimpit juga dengan pemilahan berdasarkan
tingkat dusun, desa, dan kabupaten.
Satu, pilihan untuk organisasi individual adalah kelompok tani, kelompok
wanita tani, kelompok tani berdasarkan komoditas, dan koperasi primer.
Keberadaan organisasi ini tetap dibutuhkan ke depan.
Rancangan Organisasi Petani Ke Depan Berdasarkan Tingkat Wilayah
Tingkat
wilayah
Jenis
organisasi
Organisasi saat ini
Pilihan organisasi ke
depan
Dusun Organisasi
individual
Kelompok tani Kelompok tani, KWT,
koperasi primer
Desa Organisasi
koordinator
(inter-group
organization)
Gapoktan dan koperasi Koperasi dan Posluhdes
sebagai simpul relasi
Kabupaten Organization
interrelation,
dan supporting
organization
Dinas Pertanian, Badan
Penyuluhan, KTNA
(namun tidak menjadi
koordinator seluruh
organisasi petani
sekabupaten)
KTNA, Dinas Pertanian,
Bapeluh, asosiasi
Gapoktan, asosiasi
PPL swadaya, asosiasi
komoditas, NGO, dll.
Dua, organisasi koordinator (inter-group organization). Organisasi koordinator
adalah sebuah organisasi yang posisinya berada di atas individual organization,
berperan sebagai koordinator, menyatukan kegiatan dan sumber daya,
melayani kebutuhan organisasi, dan mewakili segala kebutuhan organisasi ke
luar. Pilihan organisasi koordinator adalah Gapoktan atau koperasi sekunder,
namun Gapoktan tidak akan bisa memiliki badan hukum.
57. Organisasi Kesejahteraan Petani
48
Dalam format sebagai inter-group associations, Gapoktan merupakan tahap
lanjut dalam kegiatan pengorganisasian (a late development in the projects).
Gapoktan dikembangkan setelah kelompok tani berdiri dan berjalan dengan
kuat. Oleh karena itu, semestinya tidak ada Gapoktan yang dinilai bagus,
padahal seluruh KT di dalamnya pada kondisi rendah. Hal ini ditemukan
pada Gapoktan di Kabupaten Agam merupakan juara nasional, padahal
delapan unit KT di dalamnya seluruhnya hanya kelas pemula.
Organisasi koordinator harus mampu menjalankan banyak peran (managing
multiple services) karena posisinya melayani banyak kebutuhan internal dan
eksternal. Untuk membagi-bagi tugas, perlu dibentuk kelompok-kelompok
(task groups) atau sebuah service committees dengan tugas yang berbeda.
Tiga, untuk organisasi pendukung, selama ini hanya dinas dan Badan
penyuluhan. Ke depan, sangat berpotensi untuk mengoptimalkan peran
organisasi petani di tingkat kabupaten, yaitu KTNA, berbagai asosiasi
(asosiasi individual petani misalnya asosiasi petani organik, asosiasi Gapoktan
sekabupaten, dan asosiasi komoditas, dll). Bentuk asosiasi lebih variatif dan
tergolong sebagai farmers interest groups. Agar lebih efektif, elemen “supporting
group” atau “group promoters” ini semestinya berkoordinasi. Dibutuhkan
sebuah representatives of groups untuk petani yang didalamnya mencakup
stakeholders pemerintah daerah, organisasi petani, nonpemerintah, ataupun
tokoh-tokoh lokal. Untuk koperasi, dimungkinkan juga membentuk koperasi
sekunder tingkat kabupaten atau asosiasi koperasi sekabupaten (agriculture
cooperative society). Saat ini pola yang dimaksud belum ditemukan di lapang.
Untuk mengefektifkan koordinasi di tingkat desa, bisa mendayagunakan Pos
Penyuluhan Desa. Semua pihak dari atas yang akan melakukan penyuluhan
baik bidang pertanian, kehutanan, bahkan Keluarga Berencana dapat
menggunakan Posluhdes ini.
Maksud dari aspek keorganisasian (organizational) dalam konteks ini adalah
berkenaan dengan segala hal tentang organisasi petani seperti bangun-
strukturnya, keanggotaan, kepemimpinan, manajemen, dan lain-lain.
Selama ini keorganisasian yang diinisiasikan kepada petani (kelompok tani
dan Gapoktan) adalah bangun struktur organisasi formal yang ditandai oleh
manajemen formal, kepemimpinan terbagi, keanggotaan yang ketat, dan
stuktur yang terdiri atas berbagai bagian-bagian kecil. Namun, sebagaimana
58. Rancangan Organisasi Petani Ke Depan
49
temuan dari lapang, semua kesepakatan ini tidak diikuti dengan taat.
Manajemen yang berjalan cenderung non formal dan kepengurusan mengarah
kepada gejala “individualisasi” karena pengurus aktifnya hanya sedikit.
Format keorganisasian yang dibutuhkan adalah sebagai berikut: ukuran
organisasi (size of the organization) yang sedang (tidak sebesar di Jatim yang
sampai lebih dari 100 orang), keanggotaan yang lebih tegas, struktur organisasi
yang berkembang sesuai kebutuhan, kepemimpinan dan manajemen modern,
serta basis pembentukan. Organisasi petani bisa disusun atas kesamaan
komoditas yang diusahakan (commodity based organization) atau atas kesamaan
tempat tinggal dan tempat usaha (community based organization).
Penentuan pilihan harus mempertimbangkan apa saja relasi yang dicakupnya,
apakah relasi horizontal atau juga mencakup relasi vertikal? Pilihan lain adalah
menyusun organisasi individual berbasiskan komoditas untuk memperkuat
relasi horizontal, sedangkan untuk memperkuat relasi vertikal mengandalkan
organisasi koordinator.
Lingkungan Kelembagaan Untuk
Pengembangan Organisasi Petani
Sesuai dengan Scott (2008) ada tiga elemen lingkungan kelembagaan.
Organisasi petani hanyalah satu element dari banyak kondisi lain. Semua
harus ditata karena organisasi petani akan berjalan bila kondisi lingkungan
kelembagaannya mendukung. Namun, dalam bagian ini, elemen yang
dibahas berkenaan dengan perihal regulatif yang merupakan peran negara
yang lebih besar. Bagian ini merupakan yang paling mungkin untuk dikontrol
dibandingkan elemen lain.
Dibutuhkan perubahan lingkungan kelembagaan sehingga organisasi-
organisasi petani dapat tumbuh dan berperan secara efektif. Kondisi yang
dibutuhkan terutama pada perubahan kebijakan. Satu perubahan yang
perlu dilakukan ialah memperbaiki penggunaan konsep. Dalam Permentan
82 tahun 2013, ditemukan kekeliruan dalam penerapan konsep lembaga,
organisasi, dan advokasi. Dalam Permentan ini tidak disebutkan mengenai
arti “lembaga”, “kelembagaan”, maupun “organisasi”, padahal objek ini
merupakan hal yang sangat mendasar dan disebutkan berulang-ulang dalam
bagian batang tubuhnya.
59. Organisasi Kesejahteraan Petani
50
Gapoktan dipersepsikan sebagai sebuah “kelompok tani yang besar”, bukan
sebuah interrelation organization yang bangun-keorganisasiannya berbeda.
Sebagaimana struktur dalam Permentan ini( melekat erat tentang pedoman
pengisian RDKK), kelompok tani dan Gapoktan dikembangkan sangat
bernuansa untuk memuluskan pendistribusian benih dan pupuk bersubsidi
(sebagai fungsi administrasi dan komunikasi).
Partisipasi petani-anggota rendah karena terkesan bahwa organisasi petani
adalah agenda pemerintah. Hasil kegiatan McKone (1990) di berbagai negara,
menemukan stereotipe cara kerja orang-orang pemerintah. Mereka umumnya
terlalu menyederhanakan (oversimplified) dalam ‘melihat’ komunitas di
pedesaan. Petani diwajibkan untuk berorganisasi jika ingin memperoleh
bantuan.
“…unless they are organized into cooperatives or associations or groups, they will
not get government subsidies or access to credit and technical services. As a result,
several FOs were established overnight on paper” (Chamala dan Shingi, 2007).
Ke depan, perlu pendekatan baru untuk mengorganisasikan petani dan
membangkitkan kebutuhan bekerjasama (forming cooperatives need). Penyuluh
harus mempunyai kemampuan dalam hal mengorganisasikan komunitas
(community-organizing) dan keterampilan menajemen kelompok (group
management skills).
Seluruh perubahan ini diharapkan akan dapat menghindarkan fenomena
tumpang tindih organisasi petani. Ke depan juga diharapkan bahwa organisasi
petani tidak lagi menjadi alat untuk memperoleh proyek. Dengan demikian,
bagi pemerintah daerah, jumlah organisasi petani yang ada di wilayahnya
tidak lagi sebagai alat untuk memperoleh kegiatan.
Untuk menciptakan organisasi petani yang kuat, dibutuhkan hal-hal berikut:
Pertama, dari sisi teknis, dibutuhkan penyatuan berbagai organisasi-
organisasi yang kecil menjadi cukup besar hingga mencapai skala ekonomis
secara manajemen dan ekonomis. Sebagai contoh, untuk organisasi yang
bergerak dalam urusan permodalan (simpan pinjam), setidaknya saat ini ada
Lembaga Keuangan Miko Agribisnis (LKMA) PUAP di Gapoktan, Lembaga
Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM) juga di Gapoktan, Lumbung Pangan
Masyarakat (LPM) di kelompok tani, koperasi berbagai komoditas, dan
Koperasi Unit Desa (KUD). Masing-masing beroperasi dalam skala terbatas
sehingga tidak mampu menghidupi diri sendiri. Agar sustainable semuanya,
60. Rancangan Organisasi Petani Ke Depan
51
sebaiknya disatukan karena sesuai dengan UU No.1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro, harus segera memiliki badan hukum. Jika
disatukan dalam satu koperasi, akumulasi aset dapat mencapai 1−1,5 milyar
rupiah sehingga potensi pendapatan setahun bisa di atas 100 juta rupiah dan
dapat memberikan honor yang cukup untuk pengurus dan manajernya.
Kedua, dari sisi struktural, masing-masing intansi pemerintah harus
menghilangkan sifat egosektoralnya. Jumlah kelompok tani dan koperasi
yang selama ini menjadi basis pengajuan anggaran program, semestinya telah
dihilangkan.
Ketiga, dari sisi psikologis, sikap organisasi petani adalah milik petani,
memberi kesempatan kepada mereka untuk tumbuh dan berkembang
(learning organization). Berbagai kebijakan terbaru (terutama UU LKM,
UU P3, UU Pangan) telah memberikan kesempatan petani untuk “memiliki
dirinya sendiri”, bukan lagi “milik” pemerintah.
Keempat, dari sisi legislasi, dibutuhkan pelurusan konsep, konsistensi, dan
penjelasanlebihdetailterutamaberkenaandenganperbedaanantara“lembaga”
dan organisasi”. Jangan hanya mendirikan organisasi, tapi harus membangun
kelembagaan. Kelembagaan mencakup aspek regulatif, aspek regulatif, dan
aspek kultural kognitif, ditambah aspek keorganisasian. Organisasi petani
tidak bisa berkembang jika lingkungan kelembagaannya tidak kondusif.
Untuk menjadi aktor dalam dunia modern, relasi antar organisasi tidak
terhindarkan. “It is proven vital to sustain relationship between organizations
particularly between consumers and suppliers” (Redza et al. 2014). Basis dari
keberhasilan organisasi adalah modal sosial di dalamnya. Dengan modal sosial
yang kuat, dalam hal ini mencakup kombinasi dari roles, rules, norms, and values
pengelolaan irigasi tetap bisa mampu berjalan bahkan terbukti mampu tetap
memperoleh hasil produksi yang tinggi, meskipun sedang musim kemarau.
Tindakan kolektif yang dituju dengan organisasi petani dimungkinkan karena
ada basis modal sosial yang kuat (Uphoff dan Wijayaratna 2000).
Lebih jauh, dengan perubahan kebijakan penyuluhan pertanian di Indonesia
yang lebih terbuka, sesuai dengan UU No.16 Tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan bentuk dan peran
organisasi petani juga harus menyesuaikan. Yang et al. (2014) mempelajari
peran organisai petani dalam agricultural innovation system (AIS) dari tiga
kasus di Cina menyimpulkan bahwa organisasi petani memainkan peran
61. Organisasi Kesejahteraan Petani
52
penting dalam hal menciptakan pengetahuan yang lebih kontekstual dan
sesuai (contextual and integrated knowledge) untuk inovasi, melekat pada relasi
yang mengintermediasi inovasi, dan memposisikan diri sebagai perwakilan
(representative position) yang legitimatif untuk petani.
Segala perubahan ini menuntut syarat kondisi politik yang kondusif. Kondisi
politik yang dibutuhkan yaitu “Attention should focus on means of legitimising
rights and building capacity to, demand accountability” (Mbeche and,
Dorward 2014). Hal yang dibutuhkan adalah “...reconfiguring of structures
and coordinating stakeholder capacity in understanding the changes, is necessary
for successful reform”. Pemerintah perlu melegitimasi hak-hak petani kecil
(smallholder farmers’ rights) dan memperkuat kapasitas mereka.
Relasi antar-aktor lintas wilayah dan tingkat perlu dibenahi (Stock et al. 2014)
maka otonomi petani dengan organisasinya perlu diberikan makna baru. Pada
hakikatnya otonomi petani merupakan kekuatan utama pada diri petani.
Penelitian Stock dan Forney (2014) di Selandia Baru dan Swiss mendapatkan
bahwa “autonomy is a social tool used by farmers. ....Autonomy indicates a
freedom of lifestyle versus constraints on personal freedom. .....Autonomy as both
value and tool that help us understand farmers within a wider set of economic,
environmental and interpersonal relations”. Hal ini juga sejalan dengan temuan
Bebbington et al. (2006) tentang bagaimana memperkuat relasi politik dan
ekonomi petani melalui pemanfaatan modal sosial.
Organisasi Untuk Menjalankan Berbagai
Fungsi Agribisnis
Secara umum, terdapat 10 fungsi yang harus dijalankan dalam kegiatan
agribsinis. Tabel berikut menunjukkan kondisi eksisting yang ditemui
di lapangan serta rancangan pelaku ke depan. Selama ini tipe relasi yang
menjalankan fungsi-fungsi agribisnis mengandalkan pada kemampuan
sendiri. Relasi kolektif (melalui KT dan Gapoktan) baru sebatas pemenuhan
pupuk dan benih karena khusus untuk petani pangan sulit mendapatkan
pupuk nonsubsidi di kios.