SlideShare a Scribd company logo
1 of 46
Download to read offline
Advokasi
Berbasis Hak
di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari
Negara-negara Asia Tenggara
Pius Ginting
Meliana Lumbantoruan
Ronald Allan Barnacha
Advokasi
Berbasis Hak
di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara
Pius Ginting
Meliana Lumbantoruan
Ronald Allan Barnacha
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara
ii
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara
ISBN : .....
KDT : .....
Penulis
Pius Ginting
Kepala Unit Kajian, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
Meliana Lumbantoruan.
Manajer Riset dan Pengetahuan, Publish What You Pay Indonesia
Ronald Allan Barnacha
Staf advokasi, Philippines Rural Reconstruction Movement (PRRM)
Peninjau
Christina Hill
Koordinator advokasi pertambangan, Oxfam Australia
Maryati Abdullah
Koordinator Nasional, Publish What You Pay Indonesia
Hak cipta dilindungi
Edisi Pertama, 2015
Makalah ini diterbitkan oleh Yayasan Transparasi Sumberdaya Ekstraktif-Publish What
YouPayIndonesia,dengandukungandariNaturalResourceGovernanceInstitute,United
Stated Agency for International Development (USAID). Isi makalah adalah tanggung
jawab Publish What You Pay (PWYP) Indonesia dan tidak serta-merta mencerminkan
pandangan USAID, pemerintah Amerika Serikat, atau Natural Resource Governance
Institute (NRGI).
Publish What You Pay Indonesia
Jl. Tebet Utara 2C No.22B, Jakarta Selatan 12810, Indonesia
Telp/Fax :+62-21-8355560 | E: sekretariat@pwyp-indonesia.org
iii
Daftar Isi
Latar belakang........................................................................................................................................................................4
Pentingnya hak komunitas dalam rantai nilai industri ekstraktif............................................................5
Pentingnya advokasi berbasis hak komunitas......................................................................................................7
Definisi dan Kerangka Internasional.........................................................................................................................8
Pendekatan Berbasis Hak...........................................................................................................................................8
Persetujuan atas dasar Informasi Awal tanpa Paksaan.............................................................................8
FPIC dalam kerangka pandangan ICMM.........................................................................................................12
Hak terhadap Informasi............................................................................................................................................17
Studi Kasus dari Asia Tenggara...................................................................................................................................18
Studi Kasus Indonesia................................................................................................................................................18
Sejarah Advokasi Hak Komunitas dan FPIC di Indonesia................................................................20
Kerangka Regulasi FPIC di Indonesia...........................................................................................................21
Peran CSO dalam Membangun Kesadaran dan Memberdayakan Komunitas....................... 23
Studi Kasus Filipina ................................................................................................................................................... 26
Kerangka Regulation............................................................................................................................................. 26
Konstitusi Filipina 1987.........................................................................................................................................27
Undang-undang hak asasi masy. adat 1997 (IPRA)................................................................................ 28
Perkembangan terbaru FPIC di dalam undang-undang Filipina...................................................31
Bagi hasil kepada masyarakat adat............................................................................................................... 35
Advokasi komunitas berbasis hak terkait operasi industri ekstraktif.......................................36
Perjuangan berlanjut............................................................................................................................................38
Peran organisasi masyarakat sipil.................................................................................................................38
Pengalaman Global .......................................................................................................................................................... 42
Studi Kasus Australia................................................................................................................................................. 42
Studi Kasus Norwegia: Bagaimana Menghormati Masyarakat Adat Mancanegara................43
Pelajaran dan Rekomendasi.........................................................................................................................................44
Pelajaran tentang Kerangka Regulasi................................................................................................................44
Pelajaran tentang Peran CSO dan Pemberdayaan Komunitas.............................................................44
Pelajaran tentang Kebijakan dan Advokasi Kelembagaan.....................................................................45
Daftar Pustaka....................................................................................................................................................................46
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara
iv
Kata Pengantar
I
ndustri ekstraktif (extractive industries/
EI) telah memainkan peran yang lebih aktif
di negara-negara Asia Tenggara. Dalam hal
itu, terdapat hak-hak masyarakat yang harus
dihormati. Salah satu pendekatan yang sering
digunakan adalah pendekatan berbasis hak
asasi manusia, atau disingkat advokasi berbasis
hak, biasanya diasosiasikan dengan advokasi
berbasis kebutuhan. Dalam advokasi berbasis
hak, persoalan ekonomi, sosial dan politik yang
dihadapi sebuah komunitas dilihat dari hak
yang tidak dapat dicabut (inalienable rights)
dilindungi dan dihormati dan menganggap hak
asasi manusia tak terlindungi, tak terpenuhi dan
tak terduga dan dengan mengakses hak-haknya,
komunitas tersebut bisa secara bertanggung jawab
menggunakannya untuk menciptakan kehidupan
komunitas yang konstruktif. Sementara itu, dalam
advokasi komunitas berbasis kebutuhan, sebuah
komunitas dipandang sebagai kelompok yang
berurusan dengan masalah dan butuh menjadi
target tindakan karitatif.
Pendekatan berbasis hak harus diterapkan
di dalam keseluruhan mata rantai industri
ekstraktif. Perhatian utama di tahapan ini ialah
hak-hak masyarakat terhadap lingkungan yang
aman dan hak atas tanah dan jaminan bahwa
pengembangan “tingkat kandungan lokal, adanya
pemantauan partisipatif yang berkeadilan dalam
distribusi pendapatan dan dari sektor ekstraktif,
dan memastikan jaminan pasca operasi tambang
dengan melakukan rehabilitasi lingkungan untuk
memastikan standar keamanan dan lingkungan.
Tulisan ini akan mengulas tentang beberapa
pengalaman advokasi komunitas berbasis hak dari
negara Asia Tenggara, antara lain Indonesia dan
Filipina. Ulasannya mencakup pada sisi regulasi
hak komunitas, peran masyarakat sipil dalam
advokasi dan menampilkan beberapa studi kasus
dari pengalaman masing-masing negara. Selain
membahas pengalaman dan pembelajaran dari
Asia Tenggara, dalam tulisan ini juga memaparkan
pembelajaran Internasional, yaitu dari Negara
Australia dan Norwegia.
Kami ucapkan terima kasih atas kerjasama
segenap pihak yang membantu para penulis
untuk menyelesaikan tulisan ini. Terselesaikannya
tulisan ini tidak luput dari dukungan USAID,
Natural Resource Governance Institute (NRGI),
dan terkhusus buat Chritina Hill yang sudah mau
memberikan masukan untuk isi tulisan ini, dan
terkahir tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih
untuk dukungan seluruh rekan-rekan Sekretariat
Nasional PWYP Indonesia.
Jakarta, Mei 2015
Maryati Abdullah
Koordinator Nasional Publish What You Pay
Indonesia
1
P
endekatan berbasis hak asasi manusia,
atau disingkat advokasi berbasis hak,
biasanya diasosiasikan dengan advokasi
berbasis kebutuhan. Namun, keduanya sebetulnya
dapat dibedakan. Di dalam advokasi berbasis
hak, persoalan ekonomi, sosial dan politik yang
dihadapi sebuah komunitas dilihat dari hak yang
tidak dapat dicabut (inalienable rights) dilindungi
dan dihormati. Sementara itu, di dalam advokasi
komunitas berbasis kebutuhan, sebuah komunitas
dipandang sebagai kelompok yang berurusan
dengan masalah dan butuh menjadi target
tindakan karitatif. Di dalam pendekatan berbasis
kebutuhan, sebuah komunitas memandang
dirinya sendiri sebagai kelompok yang dirugikan
dan memerlukan bantuan. Sebaliknya, pendekatan
berbasis hak menganggap hak asasi manusia
tak terlindungi, tak terpenuhi dan tak terduga
dan dengan mengakses hak-haknya, komunitas
tersebut bisa secara bertanggung jawab
menggunakannya untuk menciptakan kehidupan
komunitas yang konstruktif.
Industri ekstraktif (extractive industries/EI)
telah memainkan peran yang lebih aktif di negara-
negara Asia Tenggara sebagaimana dapat dilihat
dari tren data perdagangan di sektor ekstraktif.
Menurut data perdagangan, ekspor dan impor
intra- dan ekstra-ASEAN pada 2013 di sektor
ekstraktif menduduki tempat kedua tertinggi
di dalam total perdagangan terbesar ASEAN.
Total nilai perdagangan intra dan ekstra di sector
ekstraktif per 2013 adalah US$493988 juta (nilai
ekspor: US$ 220166 juta dan nilai impor: US$273821
juta).Andil nilai perdagangan keseluruhan sektor
ekstraktif adalah 19,7% terhadap perdagangan
total ASEAN.
Tren tersebut juga terjadi di Indonesia pasca
krisis ekonomi 1998 sebagaimana dibuktikan oleh
peningkatan jumlah izin dari kurang dari 4.000
di dalam periode sebelum krisis menjadi 10.918
pada 2014.1
Nilai ekspor dari sektor ekstraktif juga
mengikuti tren kenaikan dengan nilai ekspor
batubara melonjak tajam hingga 600% dari hampir
US$ 4 milyar di 2005 ke US$ 24 milyar di 2013 seperti
ditunjukkan grafik di bawah ini.
Gambar 1. Nilai Ekspor Tiga Komoditas Mineral
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Namun, meskipun nilai ekonominya besar,
aktivitas intensif di sektor EItidaklah secara
otomatis memperbaiki kehidupan warga yang
mendiami wilayah di sekitar lokasi pertambangan.
Nyatanya, banyak wilayah dengan EIdi Indonesia
masih terbelakang. Misalnya, Sumbawa Barat,
Mimika, Bangka Selatan, Morowali, danKutai
Barat.2Hingga batas tertentu, factor-faktor
geografis di daerah-daerah terpencil menimbulkan
tantangan untuk membangun infrastruktur yang
diperlukan agar bisa mengangkat suatu wilayah
dari status keterbelakangannya. Tetapi tampaknya
1	 Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi
danSumber Daya Mineral Maret 2014.
2	http://www.kemenegpdt.go.id/hal/300027/183-kab-daerah-tertinggal
Latar Belakang
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
4,354.1
6,085.7 6,681.4
10,485.2
13,817.1
Export Value (US$ 000.000)
US$000.000
18,499.4
27,221.9 26,166.3
24,501.4
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara
2
industri ekstraktif justru punya andil terhadap
keadaan ini karena meskipun jangka waktu operasi
yang lama di daerah-daerah ini, ia tidak mampu
menyejahterakan penduduk setempat.
Dalam hal pekerjaan, sektor ekstraktif
hanya mempekerjakan 1.555.564 orang(1% dari
jumlah seluruh pekerjaan yang ada). Angka
ini relatif kecil dibandingkanpertanian,
perkebunan, danperikanan yang menyerap
35% dari angkatan kerja (Badan Pusat
Statistik Indonesia).Menurut Kementerian
Perindustrian, dari 2009 ke 2013 industri ini
telah menciptakan sekitar 60.000 lapangan
kerja.3
Sektor pertambangan menyerap lebih
sedikit tenaga kerja karena industri ekstraktif
bergantung pada teknologi mekanis yang tidak
membutuhkan banyak orang.
Karena di bawah mekanisme pasar warga lokal
tidak secara otomatis dipekerjakan di industri
ekstraktif, advokasi berbasis hak wajib diterapkan.
Untuk mencegah keterbelakangan komunitas
yang menghuni wilayah di sekeliling lokasi
industri ekstraktif, konsensus untuk melakukan
kegiatan-kegiatan industri ini harus lahir hanya
melalui pertimbangan persetujuan atas dasar
informasi tanpa paksaan (free informed consent).
Banyak komunitas merasa putus asa dan frustrasi
karena operasi industri ekstraktif di dalam ruang
hidupnya. Industri ekstraktif dipandang sebagai
penyebab gangguan di dalam pola kehidupan
tradisional mereka, mencemari air, udara dan laut,
serta memicu perampasan lahan. Mereka juga
mengeluhkan bahwa industry ekstraktif memiliki
kekuasaan dan sekutu yang kuat. Oleh karena
itu, komunitas merasa mereka tidak memiliki
harapan selain menerima dampak negatif industri
ekstraktif.
Pentingnya hak komunitas dalam rantai
nilai industri ekstraktif
Industri ekstraktif mungkin menimbulkan
beragam dampak lingkungan dan sosio-
ekonomis. IEseharusnya berkontribusi
terhadap pembangunan berkelanjutan sehingga
pengembangan IE seharusnya dipandu oleh
3	 http://www.pwc.com.au/asia-practice/indonesia/assets/publications/
mineIndonesia-May-2013.pdf, page 28
tata kelola yang kuat dan prinsip-prinsip yang
transparan dari penyerapan kontrak dan lisensi,
melaluioperasiladangminyak,hinggapemungutan
dan penggunaan akhir dari hasil sewa. Berikut
Rantai Pasok IE:
Bagan1 :Rantai Nilai Industri Ekstraktif
Sumber: E Mayorga Alba, 2009 - EI Value Chain: A
comprehensive integrated approach to developing EI
Pendekatan berbasis hak harus diterapkan di
dalam keseluruhan mata rantai industri ekstraktif.
Tahap pertama dari rantai tersebut adalah
persiapan wilayah pertambangan. Perhatian
utama di tahapan ini ialah hak-hak masyarakat
terhadap lingkungan yang aman dan hak atas
tanah dan jaminan bahwa pengembangan “tingkat
kandungan lokal” (local content)– termasuk
konsultasi lokal dan penggunaan tenaga kerja,
barang dan jasa setempat – adalah aspek kunci di
dalam proyek hidrokarbon dan pertambangan.
Apabila ditetapkan secara tepat, kewajiban tingkat
kandungan lokal bisa meningkatkan manfaat
ekonomi dan sosial proyek dan membantu
mengurangi risiko jangka panjang.
Pada rantai kedua, selama fase operasi,
masyarakat harus berjuang untuk mendapatkan
perhatian bagi isu-isu lingkungan seperti
keterlibatan di dalam konsultasi awal dan praktik
pemantauan partisipatif serta keadilan dalam
distribusi pendapatan dan dari sektor ekstraktif.
Kapasitas administratif dan audit serta jaminan
akan adanya pelaporan publik yang regular adalah
rantai ketiga. Rantai keempat ialah memastikan
bahwa bagi penghasilan antara pemerintah pusat
danpemeritahdaerahditetapkanmelaluikonstitusi
negara ataupun perangkat hukum. Lalu rantai
kelima adalah mendorong evaluasi proyek-proyek
IE yang menyertakan estimasi dampak lingkungan
dan sosialnya, dan manfaat sosioekonomi yang
diharapkan serta keberlanjutannya dalam jangka
panjang, dan juga menaruh perhatian pada isu-isu
3
terkait penonaktifan ladang minyak dan gas serta
tambang yang patut diperhatikan secara cermat,
termasuk pemantauan pasca penutupan.
Operasi pasca penambangan dan rehabilitasi
lingkungan yang rusak krusial untuk memastikan
standar keamanan dan lingkungan. Selain itu,
kegiatan ekonomi pasca penambangan juga harus
menjadi perhatian. Jika masyarakat sadar akan
hak-haknya dan mampu memperjuangkan agar
hal itu dipenuhi, isu-isu ini bisa ditangani dengan
baik dan mereka tidak akan menjadiwarga negara
yang lemah dan terus berada dalam ketidakpastian
seperti halnya dalam pendekatan karitatif.
Pendekatan berbasis hak di dalam industri
ekstraktif vital untuk menjamin bahwa orang-
orang ini bisa memperoleh dampak positif dari
kehadiran industri tersebut dan ini tidak hanya
dirasakan oleh segelintir elit, tetapi juga oleh
seluruh komunitas. Penerapan pendekatan
berbasis hak akan mengatasi efek-efek negatif dari
kegiatan industri ekstraktif, yang menghasilkan
fenomena kutukan sumber daya (resource-curse
phenomenon), karena hak komunitas dilindungi,
dihormati dan dipenuhi berdasarkan aturan
hukum internasional dan nasional sebagaimana
kebutuhannya untuk menerapkan pembangunan
partisipatif.
Karena industri ekstraktif memiliki karakter
yang spesifik, yang membawa dampak lingkungan
yang besar terhadap warga sekitarnya dan
mencakup serangkaian kegiatan di bidang
pertambangan/ekstraksi, maka pendekatan
berbasis hal ideal diberlakukan di tiap fase
kegiatan – (1) di dalam konsensus apakah
pertambangan tersebut dilakukan atau tidak(2)
selama produksi, seperti peningkatan produksi
dan aspek-aspek lingkungan di seluruh proses
produksi, (3) transportasi hasil tambang yang bisa
menghasilkandebusepanjangrute,dan(4)kegiatan
pasca-pertambangan. Fase-fase ini diilustrasikan
di dalam gambar berikut.
Gambar 2 : Titik Krusial dalam Siklus Pertambangan bagi FPIC
Sumber:Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (diolah)
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara
4
Pentingnya advokasi
berbasis hak
komunitas
A
dvokasiadalahprosespemanfaataninformasi
secara strategis untuk mengubah kebijakan
yang mempengaruhi hidup masyarakat
yang dirugikan (disadvantaged people). Seringkali
ia melibatkan lembaga-lembaga lobi pembangunan
dan politik di belahan Utara. Keterampilan advokasi
digunakan untuk menggugat kebijakan lokal,
nasional dan internasional, memperkuat struktur
yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi
dalam perumusan kebijakan yang mengendalikan
hidup mereka dan membuka kesempatan agar
masyarakat dapat terlibat di dalam perubahan
kebijakan. Salah satu jenis advokasi dikenal sebagai
advokasi berbasis hak komunitas.
Advokasi berbasis hak komunitas telah
dipromosikan dan dilakukan oleh organisasi-
organisasi masyarakat sipil. Advokasi tipe ini
berbeda dengan advokasi yang menawarkan
bantuan kepada suatu komunitas tanpa
menyediakan suatu kerangka yang solid mengenai
hak-hakmasyarakatdanyangmemandangmereka
sebagai penerima alih-alih objek dengan hak-hak
yang kuat.
Signifikansi advokasi berbasis hak didasarkan
pada asumsi bahwa sebuah komunitas bisa
memperoleh kehidupan yang lebih baik apabila
negara memenuhi hak-haknya dan di dalam suatu
negara demokratis yang mengindahkan hukum,
hak-hak yang diakui tersebut memadai untuk
mewujudkan hidup yang bermartabat. Jika hak-
hak tersebut masih belum ada, mereka haruslah
diperjuangkan oleh organisasi masyarakat
sipil dan komunitas. Advokasi berbasis hak
memastikan bahwa jasa-jasa untuk memenuhi
hak-hak komunitas akan berlangsung melampaui
masa advokasi dan ini agak berbeda dengan
pendekatan berbasis bantuan, di mana jasa-jasa
untuk menyalurkan bantuan akan terhenti ketika
program terhenti karena pertimbangan tertentu.
5
Definisi&Kerangka
Internasional
Pendekatan berbasis hak
Pendekatan berbasis hak bisa dilacak dari
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights) dan perjanjian
lainnya yang membentuk Perundang-undangan
Hak Internasional (International Bill of Rights).
Hak-hak yang dicakup oleh perjanjian tersebut
meliputihakataskehidupan,kemerdekaan(liberty)
dan keamanan seseorang; hak persamaan di
hadapan hukum; hak atas pendidikan dasar secara
cuma-cuma; hak atas pekerjaan dan upah yang adil;
hak atas kebebasan berpindah tempat, bertempat
tinggal dan kebangsaan; kebebasan berpendapat,
hati nurani, berkepercayaan, beragama dan hak
untuk memiliki dan mengungkapkan pendapat
tanpa intervensi. Negara-negara yang telah
menyetujui hak-hak asasi manusia yang mendasar
ini mempunyai kewajiban hukum danmoral untuk
menjamin pelaksanaan hak-hak tersebut. Mereka
adalah penanggung kewajiban hukumdari hak-hak
ini dan harus menghormati kewajiban terhadap
warga negaranya tersebut. Dengan deklarasi ini,
hak komunitas disebut berdasarkan hak asasi
manusia.
Pendekatan berbasis hak asasi manusia
merupakan kerangka konseptual bagi proses
perkembangan manusia yang secara normatif
berlandaskan standar-standar hak asasi manusia
internasional dan secara operasional diarahkan
untukmempromosikandanmelindungimanusiadi
dalam permasalahan pembangunan dan menyasar
praktik-praktik diskriminasi dan distribusi
kekuasaan yang tidak merata yang menghambat
kemajuan pembangunan. Di dalam pendekatan
hak asasi manusia, rencana, kebijakan dan proses
pembangunan ditambatkan pada sistem hak
dan kewajiban yang terkait dengannya yang
ditetapkan lewat hukum internasional. Dengan
demikian, pendekatan ini dapat mempromosikan
keberlanjutan pembangunan, pemberdayaan,
khususnya pada kelompok masyarakat yang paling
marjinal,untukberperansertadidalamperumusan
kebijakan dana menuntut pertanggungjawaban
terhadap mereka yang berkewajiban untuk
bertindak.
Pendekatan berbasis hak mengakui penyebab
kemiskinan, penderitaan dan ketidakadilan
terletak pada pelanggaran hak-hak masyarakat
dan mereka yang hak-hak asasi paling
mendasarnya diingkari memiliki posisi secara
hukum untukmengadvokasi demi perubahan.
Paradigma ini ditransformasikan dari paradigma
yang memandang masyarakat sebagai ‘warga yang
membutuhkan’ ke paradigma yang memandang
bahwa apa yang secara fundamendal dan legal
menjadi hak-hak masyarakat diingkari. Oleh
karena itu, tugas utama di dalam mengadopsi
pendekatan berbasis hak di dalam pembangunan
komunitas adalah untuk menentukan bagaimana
isu-isuyangdiidentifikasiolehmasyarakattersebut
berkorespondensi dengan hak-hak asasi yang
hakiki, dan menggali bagaimana cara terbaik untuk
menerapkan hak-hak ini di ranah lokal, nasional
dan internasional. Lebih jauh, pendekatan berbasis
hak bertujuan untuk memperkuat kemampuan
negara untuk memenuhi kewajibannya sebagai
penyandang kewajiban (duty bearers) dan
memperluas kesempatan dialog yang konstruktif
dengan penyandang hak.
Persetujuan atas dasar Informasi awal tanpa
paksaan (Free,prior and informed consent/
FPIC)
Salah satu syarat advokasi berbasis hak adalah
persetujuan atas dasar informasi awal tanpa
paksaan (Free and Prior Informed Consent). FPIC
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara
6
ialah mekanisme dan proses di mana masyarakat
adat (indigenous peoples/IPs) mengambil
keputusan mereka sendiri atau independen
kolektif mengenai persoalan-persoalan yang
mempengaruhi mereka sebagai perwujudan hak
atas tanah mereka, wilayah and sumber daya; hak
mereka untuk menentukan nasib sendiri (self-
determination); dan integritas budaya. FPIC dibuat
sebagai suatu perangkat hukum lunak di dalam
Deklarasi Masyarakat Adat PBB (United Nations
Declarations on the Rights of Indigenous Peoples/
UNRIP). FPIC bertujuan untuk menciptakan dialog
dengan masyarakat dan mencapai kesepakatan
tentang kapan dan di mana untuk melakukan
kegiatan-kegiatan yang mungkin memiliki
dampak signifikan pada masyarakat lokal dan
lingkungan, dan sifat dari kompensasi dan paket
manfaat yang terkait, mengatasi perbedaan
kekuasaan dalam negosiasi di mana komunitas-
komunitas semuanya terlalu sering memiliki suara
yang jauh lebih lemah ketimbang pemerintah dan
perusahaan-perusahaan. 4
Meski tidak memiliki definisi universal,
FPIC umumnya menghendaki agar komunitas-
komunitas diberi informasi secara memadai
mengenai proyek-proyek pembangunan tepat
pada waktunya dan diberikan kesempatan untuk
menyetujui atau menolak proyek-proyek ini
lepas dari tekanan yang tidak semestinya. FPIC
merupakan hak yang disandang masyarakat adat
berdasarkanhukuminternasionaldanmengemuka
secara luas sebagai prinsip praktik terbaik bagi
pembangunan berkelanjutan. FPIC juga bisa
dilihat dari tingkat internasional dan regional.
Berikut penjelasan dari kerangka tersebut:
I.	 Tingkat Internasional
Konvensi Organisasi Perburuhan
Internasional mengenai Masyarakat Adat dan
Suku Asli di Negara-negara Merdeka (International
LaborOrganizations’ Convention on Indigenous
and Tribal Peoples in Independent Countries) -
169/1989 merujuk pada prinsip persetujuan atas
dasar informasi tanpa paksaan di dalam konteks
4	 Abbi Buxton and Emma Wilson, FPIC and Extractive
Industries. IIED:UK. 2013, hlm. 4
relokasi masyarakat adat dari tanah mereka di
pasal 6.Dalam pasal 6, 7 dan 15, konvensi tersebut
bermaksud memastikan bahwa tiap upaya yang
dilakukan Negara telah melalui konsultasi penuh
dengan Masyarakat Adat terkait pembangunan,
tanah dan sumber daya. 5
Naskah Deklarasi PBB mengenai Hak-hak
MasyarakatAdat(UnitedNationsDraftDeclaration
on the Rights of Indigenous People/’UNDD’) (Sub-
komisi resolusi 1994/45, tambahan) merupakan
instrumen yang mengemuka terkait hak-hak
masyarakat asli yang secara eksplisit mengakui
prinsipFPIC di dalamartikel 1, 12, 20, 27 dan 30.
UNDD mengacu pada hak Masyarakat Adat untuk
menentukan dan mengembangkan prioritas-
prioritas dan strategi-strategi pembangunan atau
menggunakan tanah, wilayah dan sumber daya
lain yang mereka miliki, termasuk FPIC dari negara
terkait dengan pembangunan dan pemanfaatkan
sumber permukaan dan sumber sub-permukaan
seperti:
a) Pasal 10 tentang relokasi paksa;
b)Pasal12tentangbudayadankekayaanintelektual;
c) Article 20 terkait tindakan legislatif dan
administratif yang diambil oleh Negara
d) Article 27 terkait tanah, wilayah dan sumber
daya masyarakat adat;
e) Article 30 dengan perencanaan pembangunan.6
Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi
Racial (UN Committee on the Elimination of
Racial Discrimination/‘CERD’)membuat observasi
dan rekomendasi mengenai kewajiban Negara di
bawah konvensi dan menghimbau Negara untuk
‘memastikan bahwa para anggota masyarakat adat
memiliki hak-hak terkait peran serta yang efektif
di dalam kehidupan publik dan bahwa tidak ada
keputusan yang secara langsung berhubungan
denganhak-hakdankepentingannyadiambiltanpa
persetujuan atas dasar informasi’ (Rekomendasi
Umum XXIII 51 mengenai Orang-orang Asli yang
diadopsi pada Pertemuan Komite ke 1235, 1997).
5	 Ronald busiinge, FPIC Concepts to responsible mining in sustaining
rivers and community, http://archive.riversymposium.com/index.
php?element=BUSIINGE
6	 Parshuram Tamang. An Overview of the Principle of Free, Prior and
Informed Consent and Indigenous Peoples in International and Domestic
Law and Practices. New York: 2005
7
Pada 2000, di dalam kesimpulan observasinya
terhadap laporan Australia, CERD menegaskan,
rekomendasinya bahwa pihak Negara menjamin
peran serta yang efektif dari komunitas-
komunitas asli di dalam pelbagai keputusan
yang mempengaruhi hak-hak mereka atas tanah,
sebagaimana dituntut pasal 5C dari Konvensi
dan Rekomendasi Umum XXIII dari Komite, yang
menekankan pentingnya menjamin ‘persetujuan
atas dasar informasi’ dari masyarakat adat.7
	
Konvensi Keanekaragaman Biologis
(Convention on Biological Diversity/’CBD’) 1992
di dalam pasal 8(J) meminta Negara-negara yang
terikat kontrak menghormati, melestarikan dan
mempertahankan pengetahuan, inovasi dan
praktik komunitas-komunitas lokal dan asli untuk
mempromosikan penerapannya secara lebih luas
dengan persetujuan dan keterlibatan pemangku
kepentingan dari aset tersebut.
Konferensi PBB tentang Lingkungan dan
Pembangunan (United Nations Conference on
Environment and Development) 1992 menerima
masyarakat adat sebagai kelompok utama
implementasi Agenda 21. Pasal 22 Deklarasi Rio
secara eksplisitmenyebutkan bahwa masyarakat
adat dan komunitasnya dan komunitas lokal
lainnya berperan vital di dalam pengelolaan
lingkungandanpembangunankarenapengetahuan
dan praktik-praktik tradisional mereka. Negara
seharusnya mengakui dan sepatutnya mendukung
identitas, budaya dan kepentingan mereka, dan
memungkinkan peran serta mereka secara efektif
untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
Agenda 21 dan Prinsip-prinsi Hutan mengakui: hak-
hak adat terhadap tanah dan kekayaan intelektual
dan budaya dan mempertahankan praktik adat
dan administratifnya; kebutuhan akan partisipasi
yang lebih besar; nilai dari keterlibatan mereka di
dalam pengelolaan dan pelestarian hutan.
II.	 Tingkat Regional
Naskah Deklarasi Amerika tentang Hak-hak
Masyarakat Adat dari Organisasi Negara-negara
Bagian Amerika (American Declaration on the
Rights of Indigenous Peoples of the Organization
of American States/‘OAS’)pada pasal XVII dan
7	 Opcit, hlm. 5
XXIII menyatakan bahwa Negara memperoleh
FPIC sebelum persetujuan proyek apapun yang
mempengaruhi tanah, wilayah dan sumber daya
masyarakatadat,khususnyaterkaitpembangunan,
pemanfaatan atau eksplorasi mineral, air dan
sumber daya.
Komisi Hak Asasi Inter-Amerika (Inter-
American Commission on Human Rights/‘IACHR’)
telah mengembangkan jurisprudensi yang luas
mengenai FPIC. Komisi tersebut telah menyatakan
hukum hak asasi manusia Inter-Amerika
membutuhkan ‘langkah-langkah khusus untuk
menjamin pengakuan terhadap kepentingan
khusus dan kolektif yang masyarakat adat miliki di
dalampekerjaandanpenggunaanlahantradisional
dan sumber daya mereka serta hak untuk tidak
dicerabut dari kepentingan ini, kecuali dengan
persetujuan tanpa paksaan atas dasar informasi’.
Pada 2003, IACHRmenyatakan bahwa FPIC secara
umum dapat diterapkan pada ‘keputusan oleh
Negara yang akan membawa dampak kepada
tanah masyarakat adat dan komunitasnya, seperti
pemberian konsesi untuk mengeksploitasi sumber
daya alama di wilayah-wilayah adat’.8
Strategi dan Prosedur pada Isu-isu Sosio-
budaya yang terkait dengan Lingkungan Bank
Pembangunan Inter-Amerika (Inter-American
Development Bank/‘IADB’) 1990 menetapkan
bahwa secara umum IDB tidak akan mendukung
proyek-proyek yang mengenai tanah dan wilayah
kesukuan, kecuali jika disetujui masyarakat suku
asli’. FPIC sudah disertakan di dalam kebijakan
IADB menenai Transmigrasi Non-Sukarela.
Pada 1998Dewan Menteri Uni Eropa(European
Union/EU) mengadopsi sebuah Resolusi yang
berjudul Masyarakat Suku Asli di dalam Kerangka
Kerjasama Pembangunan Komunitas dan Negara-
negara Anggota. Kerangka tersebut menetapkan
bahwa ‘masyarakat asli berhak menentukan jalur
pembangunannya sendiri, yang mencakup hak
terhadap objek-objek, khususnya di lingkungan
tradisional mereka. Hal ini diteguhkan lagi pada
2002 oleh Komisi Europa, yang menyatakan bahwa
EU mengartikan penyataan ini setara dengan FPIC.
8	 Fergus Mackey, A Guide to Indigenous Peoples’ Rights in the Inter-
American Human Rights System. FPP: 2001
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara
8
Sementara itu, negara-negara di wilayah Asia
Tenggaramengadopsiinstrumenhakasasimanusia
kawasan pertama kali pada 18 November 2012
yang disebut sebagaiDeklarasi Hak Asasi Manusia
ASEAN (ASEAN Human Right Declaration/AHRD)
- Pernyataan Phnom Penh.9
AHRD merupakan
tata carastandar pertama, dokumen politik untuk
mengkodifikasikan hak-hak asasi mendasar dan
kebebasan fundamental di negara-negara anggota
ASEAN yang harus mereka hormati, promosikan
dan lindungi.Deklarasi ini juga merupakan
perwujudan komitmen para pemerintah ASEAN
untuk mengamankan hak-hak asasi manusia dan
kebebeasan fundamental masyarakat ASEAN.
AHRD sejalan dengan komitmen ASEAN di dalam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Di sisi lain, pembukaan Naskah Perjanjian
ASEAN tentang Akses terhadap Sumber Daya
Biologis dan Genetis (Southeast Asian Nations
DraftAgreementonAccesstoBiologicalandGenetic
Resources) (2000) mengakui prinsip fundamental
bahwa persetujuan atas dasar informasi tanpa
paksaan dari Negara Anggota dan masyarakat asli
serta komunitasnya yang mengejawantahkan gaya
hidup tradisional haruslah dijamin sebelum akses
dapat terjadi.10
III.	Tingkat Nasional
Filipina, Malaysia, Australia, Venezuela,
Peru, dan sebagainya memiliki legislasi nasional
mengenai persetujuan atas dasar informasi tanpa
paksaan masyarakat adat untuk seluruh kegiatan
yang berdampak pada tanah dan wilayahnya,
sebagai contoh.
Di Filipina Undang-undang Hak-hak
Masyarakat Adat (1997) mengakui hak masyarakat
adat terhadap FPIC untuk semua kegiatan yang
mempengaruhi tanah dan wilayahnya termasuk:
a)	Eksplorasi, pembangunan dan penggunaan
sumber daya alam;
b) 	 Penelitian bioprospecting;
c) 	 Pemindahan dan relokasi;
9	 AICHR:What you need to know (2nd edition). 2012, The ASEAN Secretariat
: Jakarta
10	 Makalah Kebijakan. Framework for incorporating indigenous communities
within the rules accompanying the Sabah Biodiversity Enactment 2000.
November : 2004
d) 	 Eksplorasi arkeologis;
e)	Kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi
Masyarakat Adat seperti Perintah Eksektutif
263 (Pengelolaan Hutan Berbasis Komunitas);
f) 	 Masuknya militer.
Venezuela mengadopsi sebuah hukum tentang
keanekaragaman hayati (biodiversity)pada Mei
2000. Pasal 39 menetapkan bahwa pelestarian
keanekaragaman budaya melalui pengakuan dan
promosi pengetahuan tradisional (traditional
knowledge/’TK’) danPasal 44 memilik ketentuan
bahwa penyandang TK ini dapat menentang
penyerahan akses terhadap sumber daya atau
materigenetisatauprojekTKdiwilayahmerekaatau
meminta pemberhentian kegiatan yang mereka
takutkan akan berdampak terhadap warisan
budaya dan keanekaragaman hayatinya.11
Negara
bagian Sarawak, Malaysia, menyetujui Ordonansi
Pusat Keanekaragaman Hayati Sarawak 1977, dan
kemudian Regulasi-regulasi Keanekaragaman
Hayati Sarawak 1998 (Akses, Koleksi dan
Penelitian). Dewan Sarawak bertanggungjawab
atas pengaturan akses, koleksi, riset, proteksi,
pemanfaatan dan ekspor sumber daya biologis
Negara bagian. Pada 2004, Negara Bagian Sabah
di dalam ‘Kerangka untuk mempersatukan
masyarakat adat dengan peraturan-peraturan
yang menyertai Undang-undang Keanekaragaman
Hayati Sabah 2000’ menciptakan system aturan
yang menjamin bahwa masyarakat asli ‘akan
sepanjang waktu dan senantiasa menjadi pencipta,
penggunadanpemeliharapengetahuantradisional
dan akan secara kolektif menikmati manfaat dari
penggunaan pengalaman semacam itu.
Di lima negara bagian Australia, persetujuan
tanpa paksaan telah diperoleh melalui Dewan
Pertanahan yang dikendalikan masyarakat asli
secara hukum di kawasan tambang selama lebih
dari 30 tahun. Prosedur persetujuan ini diulas
oleh Institut Penelitian Ekonomi dan Industri
Nasional pada 1999, yang mendapati bahwa
mereka telah sukses di dalam mengawal kontrol
masyarakat Aborigin terhadap tanahnya dan juga
11	 Gupta, Anil K. (2004), WIPO-UNEP Study on the Role of Intellectual
Property Rights in the Sharing of Benefits Arising from the Use of
Biological Resources and Associated Traditional Knowledge, WIPO AND
UNEP.Study No. 4.
9
ICMM member commitments
10 principles for sustainable development + 6 position statements
1.	 Implement ethical business
practices and apply good
corporate governance
2.	 Integrate SD in corporate
decision-making
3.	 Uphold fundamental human
rights
4.	 Manage risks based on sound
science
5/6.	Improve environment, health
and safety performance
continuously
7.	 Conserve biodiversity &
contribute to integrated land
use planning
8.	 Encourage a life cycle approach
to materials management
9.	 Contribute to community
development
10.	 Publicy report, independently
assure and engage openly and
transparently
Mining and Protected Areas
Mining: Partnerships for
Development
Climate Change
Mining and Indigenous
Peoples
Mercury Risk Management
Transparency of Mineral
Revenues
ICMM at a glance
ICMM Vision
leading mining and
metals companies
working together
and with others
to strengthen
the contribution
to sustainable
development
Fundamental
implication
creating value for
shareholders while
simultaneously
creating value for
the communities and
societies in which they
operate
Our role: a catalyst for improving enviromental and
social performance in the mining and metal’s industry
Sumber: Pertambangan untuk Pembangunan (Presentasi untuk Forum Antar-pemerintah mengenai
Pertambangan, Mineral, Logam dan Pembangunan Berkelanjutan), FernandesDiez (www.icmm.com)
menetapkan bahwa sebuah proses negosiasi yang
memungkinkan peningkatan porsi lahan Aborigin
di Teritori tersedia bagi eksplorasi mineral.
Secara keseluruhan, syarat utama FPIC ialah
partisipatoris. Partisipatoris diperlukan karena
di dalam proses FPIC keputusan-keputusan yang
diambil akan mengarah pada pembangunan
sumber daya yang secara sosial dapat diterima
dan secara politik berkelanjutan, sertaakan
menyediakan pertimbangan yang berimbang
dari pemerintah, perusahaan-perusahaan dan
masyarakat sipil.
FPIC tentang Pandangan Kerangka ICMM
Di samping kerangka tersebut di atas, terdapat
pula kerangka dan pandangan lain mengenai
FPIC. Dewan Internasional Tambang dan Logam
(International Council on Mining and Metals/
ICMM) didirikan pada 2001 untuk memperbaiki
kinerja pembangunan yang berkelanjutan di
industri tambang dan logam. Sasaran utama
ICMM ialah untuk membangun hubungan yang
konstruktif antara perusahaan-perusahaan
tambang dan logam dengan masyarakat asli
berdasarkan saling menghormati, keterlibatan
yang bermakna, kepercayaan dan manfaat
bersama.
Di dalam kerangka ICMM, FPIC meliputi
suatu proses dan hasil. Melalui proses ini,
Masyarakat Adat: (i) mampu mengambil
keputusan tanpa paksaan, intimidasi atau
manipulasi; (ii) diberi waktu yang cukup untuk
terlibat di dalam pembuatan keputusan proyek
sebelum keputusan-keputusan kunci dibuat dan
dampaknya terjadi; dan (iii) diinformasikan secara
penuh mengenai proyek tersebut serta dampak
dan manfaat potensialnya. Hasilnya, Masyarakat
Asli bisa memberi atau menahan persetujuan
tanpa paksaan terhadap suatu proyek, melalui
sebuah proses yang diusahakan konsisten
dengan proses pembuatan keputusan tradisional
mereka sembari menghormati hak-hak asasi
manusia yang diakui secara internasional dan
berdasarkan pada perundingan dengan itikad
baik. Komitmen di dalam pernyataan posisi yang
terkait dengan persetujuan tanpa paksaan ini
berlaku bagi proyek-proyek baru dan mengubah
proyek-proyek yang sudah ada, yang mungkin
sekali akan memilik dampak yang signifikan bagi
komunitas masyarakat adat. Pernyataan posisi
ini tidak berlaku surut. Di mana masyarakat adat
dan bukan masyarakat adat kemungkinan akan
terdampak secara signifikan, para anggota boleh
memilih untuk memperluas komitmen yang
dicantumkan di dalam pernyataan posisi tersebut
kepada masyarakat di luar masyarakat adat.
Gambar 3: Visi dan Komitmen ICMM
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara
10
Mengenai kerangka ICMM, seluruh anggota
mengakui bahwa:
1.	 Masyarakat Adat memiliki hubungan
yang khusus dan mendalam dengan, dan
diidentifikasikan dengan, tanah dan air dan
unsur-unsur ini terikat pada kesejahteraan
fisik, spiritual, budaya dan ekonomi. Mereka
juga mungkin mempunyai pengetahuan dan
pengalaman tradisional yang berharga di dalam
mengelola lingkungan secara berkelanjutan.
Masyarakat Adat di banyak wilayah di seluruh
dunia sudah secara historis dirugikan dan
mungkin masih sering mengalami diskriminasi,
tingkat kemiskinan yang tinggi dan kerugian.
Proyek-proyek tambang dan logam bisa
memiliki imbas positif dan negatif yang
signifikan pada komunitas-komunitas lokal.
2. 	 Kepentingan-kepentingan Masyarakat Adat di
proyek-proyek tambang dan logam umumnya
diakui sebagai satu atau lebih dari hal-hal
berikut: pemilik sertifikat formal lahan atau
kepentinganhukumyangdiakuiataslahanatau
sumber daya; penuntut kepemilikan atas lahan
atau sumber daya; secara adat pemilik atau
penghuni lahan atau sumber daya; pengguna
lahan atau sumber daya untuk keperluan-
keperluan seperti berburu, memancing,
mengumpulkan benih/buah dan obat, atau
untuk keperluan spiritual atau ritual; berada
dalam objek material atau sumber daya budaya
yang bermakna; berada dalam lanskap yang
punya arti khusus karena asosiasi, tradisi atau
kepercayaan; anggota dari komunitas setempat
yang lingkungan sosial, ekonomi dan fisiknya
mungkin dipengaruhi oleh pertambangan dan
kegiatan terkait.
3.	 Masyarakat Adat memiliki hak-hak dan
kepentingan-kepentingan individu dan kolektif
dan secara internasional diakui bahwa hak-hak
mereka ini harus dilindungi oleh pemerintah
dan dihormati oleh perusahaan-perusahaan
yang terkait. Dua instrumen internasional
kunci di dalam bidang ini adalah Konvensi
Organisasi Perburuhan Internasional No. 169
mengenai Masyarakat Adat dan Suku Asli
(1989), danDeklarasi PBB mengenai Hak-Hak
Masyarakat Adat (UN Declaration on the Rights
of Indigenous Peoples/UNDRIP)yang diadopsi
oleh Sidang Umum PBB pada September
200712
. “UNDRIP meletakkan hak-hak yang
seharusnya dicita-citakan oleh negara-negara
untuk bisa diakui, dijamin dan dilaksanakan”
dan “membentuk sebuah kerangka diskusi dan
dialog antara Masyarakat Adat dan Negara.”13
4. 	 Proyek-proyek tambang dan logam yang
sukses membutuhkan dukungan jajaran pihak-
pihak yang berkepentingan dan terdampak.
Ini meliputi baik persetujuan legal formal dan
regulatoris yang dianugerahi oleh negara dan
dukungan yang luas dari masyarakat setempat
yang menerima perusahaan. Masyarakat Adat
seringkali memiliki karakteristik budaya,
struktur tata kelola dan cara berinteraksi dan
membuat keputusan yang menjauhkannya dari
penduduk yang bukan masyarakat asli. Hal
tersebut menuntut perusahaan-perusahaan
untuk terlibat dengan cara-cara yang pantas
secara budaya dan menaruh perhatian
pada kapasitas, hak-hak dan kepentingan-
kepentingan Masyarakat Adat di dalam
konteks keterlibatan komunitas yang lebih
luas. Negara memiliki hak untuk mengambil
keputusan tenang pembangunan sumber daya
menurut aturan hukum nasional yang berlaku,
termasuk aturan hukum yang melaksanakan
kewajiban negara penerima di bawah hukum
internasional. Beberapa negara telah membuat
penetapan persetujuan secara eksplisit melalui
hukum nasional dan sub-nasional. Akan tetapi
di kebanyakan negara, “baik Masyarakat
Adat ataupun kelompok penduduk lainnya
memperoleh hak untuk memveto proyek-
proyek pembangunan yang mempengaruhi
mereka”, sehingga FPIC harus dipandang
sebagai sebuah “prinsip untuk dihargai
setinggi-tingginya di dalam perencanaan dan
implementasi”.14
5. 	 Negara juga mempunyai peran penting yang
harus ia mainkan di dalam mengikutsertakan
Masyarakat Adat. Mereka mungkin terlibat
12	 Per October 2012, 22 negara telah meratifikasi ILO 169 yang bersifat
mengikat secara hukum di negara-negara tersebut.
13	 Sebagaimana dinyatakan dalam UN Development Group’s Guidelines on
Indigenous Peoples’ Issues (2008).
14	 Sebagaimana diungkapkan dalam in the UN’s Department of Economic
and Social Affairs Resource Kit on Indigenous Peoples’ Issues (2008).
11
dalam menentukan komunitas mana saja yang
harus dianggap asli, membentuk proses untuk
mencapai FPIC dan menentukan bagaimana
ini terkait dengan proses-proses yang diatur
yntuk memastikan peran serta komunitas di
dalam pengambilan keputusan. Mengingat
peran mereka di dalam menyeimbangkan hak-
hak dan kepentingan-kepentingan Masyarakat
Adat dengan masyarakat yang lebih luas,
negara juga punya tugas penting di dalam
mencari resolusi dari perselisihan pendapat
yang mungkin timbul antara Masyarakat Adat
dan perusahaan untuk mencapai FPIC.
6. 	 Di beberapa negara, istilah asli (indigenous)
mungkin kontroversial dan istilah-istilah
setempat yang kurang lebih setara mungkin
digunakan (seperti masyarakat suku asli/
tribal peoples, masyarakat pertama/first
peoples, masyarakat pribumi/native people,
dan masyarakat aborigin. Di dalam situasi
lainnya, mungkin tidak ada pengakuan akan
pelecehan oleh negara, atau istilah tersebut
mungkin memiliki asosiasi negatif sehingga
menghalangi orang untuk mengakui identitas
asli.
Terlepas dari konteks lokal, para anggota
ICMM menolak segala bentuk diskriminasiatau
kekurangan yang terkait dengan budaya, identitas,
kerentanadanakanberusahamenerapkanprinsip-
prinsip yang diejawantahkan di dalam pernyataan
posisi ini terhadap kelompok-kelompok yang
memperlihatkan apa yang umumnya diterima
sebagai ciri-ciri Masyarakat Adat. 15
ICMM juga memiliki komitmen di dalam
Kerangka Pembangunan Berkelanjutan ICMM
di mana perusahaan-perusahaan anggota ICMM
berkomitmen untuk:
1. 	 Terlibat dengan Masyarakat Adat yang punya
potensi terkena dampak, dengan tujuan:
(i) menjamin bahwa pembangunan proyek
tambang dan logal memelihara penghormatan
terhadap hak-hak, kepentingan, aspirasi,
budaya dan penghidupan Masyarakat
15	 Sebagaimana didefinisikan adalam ILO 169 dan diringkas dalam bagian
section 1.3 dari ICMM’s Good Practice Guide: Indigenous Peoples and
Mining (2010).
Asli yang berbasis sumber daya alam; (ii)
menyusun proyek-proyek untuk menghindari
dampak yang merugikan dan meminimalisir,
mengelola atau memberi ganti rugi dampak-
dampak ikutan yang tak terhindarkan; dan (iii)
memastikan manfaat dan kesempatan yang
berkelanjutan bagi Masyarakat Asli melalu
pengembangan proyek-proyek tambang dan
logam.
2.	 Memahami dan menghormati hak-hak,
kepentingan dan perspektif Masyarakat
Adat terkait sebuah proyek dan dampak
potensialnya. Kajian dampak sosial dan
lingkungan atau analisis sosial dasar akan
dikerjakan untuk mengidentifikasi siapa
saja yang mungkin terkena dampak dari
suatu proyek dan juga sifat dan jangkauan
dampak potensial pada Masyarakat Adat dan
komunitas-komunitas yang punya potensi
terimbas. Pelaksanaan kajian semacam ini
seharusnya bersifat partisipatoris dan inklusif
untuk membantu membangun pemahaman
lintas budaya antara perusahaan-perusahaan
dan komunitas-komunitas, serta mendukung
sasaran sebagaimana digambarkan pada
komitmen 1 di atas.
3.	 Menyetujui keterlibatan yang sesuai dan
proses konsultasi dengan Masyarakat Asli
yang berpotensi terkena dampak dan pejabat
pemerintah yang berwenang sesegera
mungkin selama perencanaan proyek, untuk
memasitikan partisipasi Masyarakat Adat
yang berarti di dalam pembuatan keputusan.
Di mana diperlukan, dukungan harus
disediakan untuk mengembangkan kapasitas
komunitas demi perundingan dengan itikad
baik berdasarkan keadilan. Proses-proses ini
harus diusahakan konsisten dengan proses-
proses pengambilan keputusan Masyarakat
Asli dan mencerminkan hak-hak asasi
manusia yang diterima secara internasional,
dansepadan dengan skala dampak potensial
dan kerentanan komunitas yang terimbas.
Proses-proses ini seharusnya mewujudkan
ciri-ciri perundingan yang beritikad baik dan
didokumentasikan di dalam sebuah rencana
yang mengidentifikasi perwakilan-perwakilan
komunitas yang berpotensi terkena dampak
dan pemerintah, proses konsultasi dan protokol
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara
12
yang disetujui, tanggung jawab timbal balik
dari pihak-pihak terhadap proses keterlibatan
dan kesempatan untuk mencari jalan lain
ketika terjadi perselisihan pendapat atau
kebuntuan sebagaimana digambarkan oleh
komitmen 6 di bawah ini. Rencana tersebut
harus mendefinisikan apa yang merupakan
persetujuan tanpa paksaan dari komunitas-
komunitas adat yang akan terkena dampak
secara signifikan. Keterlibatan dan proses
konsultasi yang disepakati harus diterapkan
lewat kerjasama dengan komunitas-komunitas
adat yang potensial terkena dampak, melalui
cara yang menjamin partisipasinya secara
bermakna di dalam pembuatan keputusan.
4. 	 Pekerjaan untuk memperoleh persetujuan
tanpa paksaan dari komunitas-komunitas adat
untuk proyek-proyek baru (dan berlaku untuk
proyek-proyek yang sudah ada) terletak pada
lahan yang secara tradisional dimiliki oleh
atau di bawah penggunaan adat Masyarakat
Adat dan kemungkinan besar akan memiliki
imbas besar terhadap Masyarakat Adat,
termasuk di mana relokasi Masyarakat Adat
dan/atau di mana warisan budaya yang kritis
akan terkena dampak secara signifikan akan
terjadi16
. Proses-proses persetujuan tanpa
paksaan harus berfokus untuk mencapai
kesepakatan yang menjadi dasar suatu proyek
(perubahan atau proyek yg sudah ada) untuk
terus dilanjutkan. Proses-proses ini seharusnya
tidak memberikan hak veto terhadap individu-
individuatausub-kelompokmaupunmenuntut
dukungan persetujuan penuh dari Masyarakat
Adat yang berpotensi terkena dampak (kecuali
jika dimandatkan secara hukum). Proses-
proses persetujuan tanpa paksaan seharusnya
tidaklah menuntut perusahaan-perusahaan
untuk menyetujui aspek-aspek di luar kendali
mereka.
5. 	 Berkolaborasi dengan pejabat berwenang
yang bertanggung jawab untuk mencapai
hasil yang konseisten dengan komitmen-
komitmen di dalam pernyataan poisis ini,
dalam situasi di mana pemerintah bertanggung
jawab mengelola kepentingan-kepentingan
Masyarakat Adat dengan membatasi campur
16	 Relokasi Masyarakat Adat dan dampaknya terhadap warisan budaya
krisits haruslah dihindari sejauh yang dimungkinkan.
tangan perusahaan. Di mana pemerintah
setempat menuntut para anggota untuk
mengikuti proses-proses yang sudah disusun
untuk mencapai hasil melalui pernyataan
posisi ini, para anggota ICMM tidak diharapkan
menjalani proses-proses yang paralel.
6. 	 Mengantisipasikemungkinanbahwaperbedaan
pendapat akan muncul, yang dalam beberapa
kasus mungkin mengarah pada kemunduran
atau penundaan di dalam mencapai
kesepakatan yang sedang dirundingkan dalam
itikad baik. Perusahaan-perusahaan dan
komunitas-komunitas yang potensial terkena
dampak harus menyetujui ujian yang masuk
akal atau kesempatan untuk kembali ke awal,
yang akan diterapkan manakala perbedaan
pandangan muncul. Ini mungkin mencakup
mencari pertimbangan atau nasihat dari pihak-
pihakyangbisaditerimaolehkeduabelahkubu.
Di mana komitmen 4 berlaku dan persetujuan
tanpa paksaan tidak dicapai kendati seluruh
pihak sudah mencoba usaha terbaiknya, untuk
menyeimbangkan hak-hak dan kepentingan
Masyarakat Asli dan masyarakat yang lebih
luas, pemerintah mungkin menetapkan bahwa
suatu projek harus diteruskan dan memerinci
ketentuan-ketentuan yang harus berlaku.
Di dalam keadaan semacam in, para anggota
ICMM akan menentukan apakah mereka
seharusnya tetap terlibat di dalam sebuah
proyek.
Hak terhadap Informasi
Informasi merupakan kebutuhan fundamental
baik bagi individu maupun masyarakat secara luas.
Hak terhadap informasi juga dipandang sebagai
hak asasi manusia yang hakiki dan juga esensi dari
tata kelola yang baik dan demokrasi yang bekerja
dengan baik. Kebebasan informasi (Freedom of
Information/FOI)punya peran kunci di dalam
mendukung pengawasan terhadap pemerintah
dan pengelolaan informasi yang tepat adalah
bagian dari upaya untuk menciptakan masyarakat
yang melek informasi. Seluruh badan publik,
termasuk legislatif, eksekutif, dan yudikatif,
bertanggung jawab untuk menjamin kebebasan
informasi, dantanggung jawab ini juga meluas
hingga ke organisasi-organisasi non-pemerintah
yang terlibat di dalam menghantarkan jasa-jasa
13
publik.17
Hak terhadap informasi juga merupakan
ide dasar di balik gerakan yang lebih luas bagi
pemerintahan yang terbuka dan akuntabel
yang saat ini memperoleh daya dorong dan
pengakuan yang lebih luas. Perkembangan
yang patut diperhatikan di wilayah ini adalah
digulirkannnya Kemitraan Pemerintahan yang
Terbuka (Open Government Partnership) pada 2011
yang berpotensi membuka kesempatan baru bagi
masyarakat sipil untuk mendesak pengakuan dan
penghormatan yang lebih besar bagi hak terhadap
informasi.
Secara umum, hak terhadap informasi
mencakup hak untuk:
1.	 Memeriksa pekerjaan, dokumen dan rekaman.
2.	 Membuat catatan, ringkasan atau kopi
dokumen atau rekaman yang sah.
3.	 Mengambil sampel materi yang sah.
4.	 Memperoleh informasi dalam bentuk material
cetak, disket, floppy, pita, video, dan kaset
atau di dalam bentuk elektronik apapun atau
melalui materi cetak.
Ada beberapa prinsip hak terhadap kebebasan
informasi yang dikemukakan oleh rezim
nasional maupun internasional yang harus
dipertimbangkan, seperti:
Pertama-tama, penyingkapan maksimal
(maximum disclosure)yang terdiri atas praduga
bahwa seluruh informasi yang dipegang badan
publik tunduk pada penyingkapan dan bahwa
praduga ini boleh dilampaui hanya di dalam
keadaan-keadaan yang sangat terbatas. Lebih
jauh, prinsip ini merangkum alasan mendasar
yang mendasari konsep kebebasan informasi itu
sendiri dan idealnya ia seharusnya ditetapkan di
dalam Konstitusi untuk memperjelas bahwa akses
terhadap informasi resmi adalah hak mendasar.
Tujuan sampingan legislasi seharusnya adalah
untuk mengimplementasikan penyingkapan
maksimaldi dalam praktik. Badan-badan publik
memiliki kewajiban untuk menyingkap informasi
dan setiap anggota masyarakat memilik hak yang
bersesuaian untuk menerima informasi.
17	 Ahmad Faisol, dkk. Fulfilling The Right To Information: Yayasan TIFA, 2010
Kedua, kewajiban untuk mengumumkan
prinsip dan badan publik yang wajib menyiarkan
informasi. Kekebasan informasi menyiratkan
tidak hanya badan publik tersebut mengabulkan
permintaan informasi, melainkan juga menyiarkan
dan menyebarkan secara luas dokumen-dokumen
yang berkenaan dengan kepentingan public,
tunjuk hanya terhadap batasan-batasan yang
proporsional terhadap sumber daya dan kapasitas.
Informasi harus disiarkan dan bergantung pada
badan publik terkait. Hukum harus menetapkan
baik kewajiban umum untuk menyiarkan
informasi dan kategori-kategori kunci informasi
yang harus disiarkan. Badan-badan public harus
berkewajiban untuk menyiarkan informasi dalam
kategori sebagai berikut:
a)	 informasi operasional mengenai bagaimana
badan publik tersebut berfungsi, termasuk
biaya, tujuan, akun yang diaudit, standar,
capaian, danseterusnya, khususnya di mana
badan tersebut menyediakan jasa langsung
kepada publik;
b)	 informasi berdasarkan permintaan apa saja,
keluhan atau tindakan langsung yang diambil
oleh anggota masyarakat terkait dengan badan
publik tersebut;
c)	 panduan yang dengannya para anggota
masyarakat mungkin melayangkan masukan
bagi proposal kebijakan dan perundang-
undangan;
d)	 tipe informasi yang dipegang badan tersebut
dan bentuknya; dan
e)	 isi dari keputusan atau kebijakan apa saja
yang mempengaruhi publik, bersama dengan
alasan-alasan bagi keputusan tersebut dan
materi latar belakang mengenai pentingnya
merumuskan keputusan tersebut.
Ketiga, mempromosikan pemerintahan yang
terbuka. Ini berarti badan publik ini harus secara
aktif mengkampanyekan dan mempromosikan
Pemerintahan yang Terbuka (Open Government).
Praktik dari kegiatan-kegiatan mendasar ini akan
bervariasi dari negara ke negara, tergantung
pada faktor-faktor seperti bagaimana jasa-jasa
sipil diselenggarakan, hambatan kunci terhadap
penyingkapan informasi secara bebas, taraf literasi
dan tingkat kesadaran masyarakat umum.
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara
14
Studi Kasus dari
Asia Tenggara
Studi Kasus Indonesia
SejarahPartisipasiWargaNegaradierareformasi
(Misalnya pada anggaran, pembuatan kebijakan
publik, perencanaan pembangunan nasional serta
pada sektor industri ekstraktif juga menyebutkan
momentum pembentukan hukum keterbukaan
informasi publik, UU Mineral Dan Batubara dan
Pertambangan Mineral, Hukum Lingkungan serta
Keputusan Mahkamah Konstitusi diperkuat oleh
Majelis Permusyawaratan Keputusan Nomor
IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Keputusan
Mahkamah Konstitusi pada judicial review
tentang Pertambangan Mineral dan Pertambangan
Batubara Hukum dan keputusan lain Mahkamah
Konstitusi pada judicial review UU Kehutanan.
Di bawah rezim Soeharto, komunitas dan para
aktivis pendamping melakukan kegiatan-kegiatan
advokasi dengan membantu komunitas secara
langsung mempertahankan dan memperjuangkan
hak-haknya. Salah satu contoh kasus di bidang
industri ekstraktif ialah yang terkait dengan kasus
tambang PT Freeport Indonesia. Merespons protes
keras warga Amungme terhadap hilangnya ruang
hidup mereka, PT Freeport Indonesia menyepakati
Perjanjian Januari 1974. Kelahiran Perjanjian
Januari disebut-sebut sebagai peristiwa bersejarah
bagi suku ini karena perjanjian tersebut menjadi
perjanjian formal antara Freeport dan warga
Amungme di bawah pengawasan rexim Soeharto
yang diwakili oleh pemerintah provinsi Papua.
Dengan kesepakatan ini, suku Amungme harus
secara sukarela melepaskan tanahnya untuk
dijadikan kawasan pertambangan dan sebagai
gantinya, Freeport akan menyediakan berbagai
fasilitas sosial dan kesempatan bekerja. Fasilitas-
fasilitas tersebut dibangun dalam lima tahun dan
menghabiskan US$14 juta per tahunnya.
Amiruddin (2003) menyatakan bahwa isi
perjanjian tersebut secara substansial tidak
membawa perbaikan apapun bagi kehidupan
suku Amungme karena pelaksanaannya sangatlah
tergantung pada rencana pemerintah daerah,
pemerintah pusat di Jakarta dan Freeport. Alhasil,
orang-orang Amungme tidak lebih dari sekadar
objek pembangunan baik bagi pemerintah
maupun Freeport.18
Kasus ini membuktikan bahwa
dana bantuan yang diberikan kepada komunitas
tidaklah efektif jika warganya diposisikan sebagai
objek bantuan atau aksi karikatif alih-alih sebagai
pihak yang hak-haknya harus dipenuhi. Situasi
ini bisa makin bertambah buruk manakala dana
bantuan kian menipis. Persoalan yang dihadapi
suku Amungme ini sulit dihindarkan karena di
bawah rezim Soeharto, ruang partisipasi warga
sangatlah terbatas. Kegiatan pertambangan adalah
keniscayaan oleh komunitas sesuai dengan UU No.
11 of 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan.
Perubahan politik yang berhembus pasca
lengsernya Soeharto membuka jalan bagi
penguatan hak-hak komunitas seperti yang
ditetapkan melalui TAP MPR No. IX/2011 mengenai
Reformasi Agraria danPengelolaan Sumber Daya
Alam. Terkait dengan industri ekstraktif, hak-
hak masyarakat untuk berpartisipasi tertuang
dalam UU Kehutanan, UU Minyak dan Gas, UU
Pertambangan Mineral dan Batubara. Upaya ini
juga diperkuat melalui Keputusan Mahkamah
Konstitusi terhadap uji materi UU Pertambangan
Mineral dan Batubara, serta Keputusan Mahkamah
Konstitusi terhadap uji materi UU Kehutanan.
YangtakkalahpentingialahkeberadaanUUNo.
14 Tahun 2008 mengenai Keterbukaan Informasi
Publik. Namun, pemerintah melalui Kementerian
EnergidanSumberDayaMineralbarumenetapkan
apakah kontrak-kontrak pertambangan termasuk
kategori informasi publik atau tidak pada 2013.
Akibatnya, komunitas masih harus berjuang
18	 Amiruddin&Aderito Jesus de Soares, PerjuanganAmungme
Antara Freeport danMiliter , ELSAM, 2003, www.elsam.or.id/
downloads/1296452697_Perjuangan_Amungme.pdf
15
untuk mengetahui apakah hak-haknya dijamin di
dalam kontrak pertambangan yang dibuat oleh
pemerintah dan perusahaan. Sumber daya mineral
dan batubara dimiliki oleh negara dan diklaim
digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Tetapi nyatanya, negara mengontrolnya
dan tidak menawarkan kesempatan yang luas bagi
partisipasi warga.
Pendekatan berbasis hak-hak komunitas di
industri ekstraktif sangatlah sulit diterapkan
di negara yang tidak demokratis dan tidak
memberikan ruang bagi komunitas untuk benar-
benarberpartisipasi.Menyusuljatuhnyarezimorde
Baru, kesempatan pun tersedia bagi masyarakat
untuk membela hak-haknya melalui pendekatan
ini. Advokasi yang dipimpin oleh masyarakat sipil
kemudian mendesakkan perubahan peraturan,
antara lain TAP MPR No. IX/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam. Ketetapan ini menyatakan bahwa
pembaruanagraria dan pengelolaan sumber daya
alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-
prinsip di antaranya:
a.	 menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak
asasi manusia;
b.	 mengembangkan demokrasi, kepatuhan
hukum, transparansi dan optimalisasi
partisipasi rakyat;
c.	 mengakui dan menghormati hak-hak
masyarakat adat dan keberagaman budaya
bangsa yang berdasarkan sumber daya agraria
dan sumber daya alam.
Pendampingan masyarakat menggunakan
pendekatan berbasis hak terus berlanjut melalui
uji materi terhadap beberapa aturan, seperti UU
Pertambangan Mineral dan Batubara dan UU
Kehutanan, yang bertujuan untuk memastikan
hak-hak komunitas sebagaimana dituangkan di
situ secara tegas mengakui hak-hak masyarakat.
Oleh karena itu, advokasi terhadap masyarakat
dilakukan bukan sekadar karena mereka
membutuhkan, melainkan juga untuk mencari
hak-hak apa saja yang dilanggar, memulihkan
hak-hak tersebut dan mengukuhkannya di dalam
aturan, misalnya lewat uji materi perundang-
undangan. Kegiatan-kegiatan paralegal dan
pemberian informasi tentang hak-hak warga yang
terdampak oleh industri ekstraktif pun menjadi
mungkin.
Sejarah Advokasi Hak Komunitas dan FPIC
di Indonesia
Pada masa pemerintahan Soeharto, UU No.
11 of 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan
ialah kebijakan pengelolaan sumber daya
esktratif yang paling penting. Undang-undang
ini tidak menyediakan ruang bagi masyarakat
untuk melaksanakan persetujuan tanpa
paksaan atas dasar informasi. Jika negara telah
menetapkan sebuah kawasan untuk menjadi
lokasi pertambangan, penduduk yang tinggal di
sekitarnya haruslah mengalah dan menerimanya.
Pendekatan advokasi masyarakat berdasarkan
hak tidak mungkin diterpakan karena pemerintah
menganggap persetujuan rakyat terhadap rencana
pertambangantersebuttidaklahperlu.Pemerintah
mengklaim pertambangan ditujukan untuk
melayani kepentingan publik kendati dikelola oleh
pihak swasta.
Setelah kejatuhan Soeharto, perjuangan
komunitas untuk melindungi ruang hidupnya
dari kegiatan ekstraktif menguat. Izin-izin
pertambangan yang dikeluarkan selama periode
ini makin banyak, sehingga partisipasi warga
kian penting, mulai dari tuntutan masyarakat di
lapangan hingga perubahan kebijakan dan upaya
hukum. Di antaranya ialah uji materi terhadap
UU Pertambangan Mineral dan Batubara untuk
bisa memungkinan partisipasi warga. Kesuksesan
masyarakatsipillainnyaadalahujimateriterhadap
UU Kehutanan yang memungkinkan masyarakat
adat mengelola hutan secara penuh di bawah
hukum adat sebagai bagian dari haknya. Dengan
dipraktikkannya prinsip-prinsip ini, industri
ekstraktif yang hendak memanfaatkan hutan
masyarakat adat harus tunduk dengan mekanisme
FPIC agar dapat memperoleh persetujuan warga.
Kerangka Regulasi FPIC di Indonesia
Konstitusi Indonesia telah meletakkan
landasan umum bagi warga negara/rakyat
untuk mempertahankan hak-haknya terhadap
sumber daya alam, ruang hidup dan mata
pencahariannya. Meskipun demikian, pengakuan
tersebut masih terlalu umum dan tidak dirinci
dalam Undang-undang dan pelbagai aturan
yang sudah ada. Kerangka regulasi yang bersifat
umum sebagaimana yang digambarkan di bawah
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara
16
ini terdiri dari 4 lapisan: (1) Konstitusi, (2) TAP
MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (3) beberapa
Undang-undang yang mengatur pengelolaan
sumber daya alam (pertambangan, minyak dan gas,
kehutanan) beserta Undang-undang Keterbukaan
Informasi Publik, dan (4) Keputusan Mahkamah
Konstitusi, termasuk mengenai pertambangan
mineral dan batubara serta kehutanan.
Konstitusi
•	 Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (Pasal 27 ayat2)
•	 Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak bisa diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapapun. (Pasal 28H ayat 4)
•	 Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat, serta memperoleh pelayanan kesehatan.(Pasal 28H ayat 1)
•	 Bumi, air dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Pasal 33 ayat 3)
TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Reformasi agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan
sesuai dengan prinsip-prinsip menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak
asasi manusia,mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan
mengoptimalkan partisipasi rakyat.
UU No. 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan
Informasi Publik
Information
Setiap orang berhak:
a. 	 melihat dan
mengetahui
Informasi Publik;
b.	menghadiri
pertemuan public
yang terbuka
untuk memperoleh
Informasi Publik;
c. 	 memperoleh salinan
Informasi Publik
melalui permohonan
sesuai dengan
Undang-undang ini;
dan/atau
d. 	 menvebarluaskan
Informasi Publik
sesuai dengan
peraturan
perundang-
undangan.
(Pasal 4)
UU No. 4 Tahun2009
tentang Pertambangan
Mineral danBatubara
Penetapan Wilayah
Pertambangan
dilaksanakan secara
transparan, partisipatif
dan bertanggung
jawab; secara terpadu
dengan memperhatikan
pendapat dari instansi
pemerintah terkait,
masyarakat, dandengan
mempertimbangkan
aspek ekologi, ekonomi,
sosial budaya, serta
berwawasan lingkungan;
(Pasal 10).
UU No. 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas
Bumi
1.	 Kontrak kerjasama
wajib memuat, antara
lain, pengembangan
masyarakat sekitarnya
dan jaminan hak-hak
masyarakat adat; (Pasal
11)
2.	 Kegiatan usaha Minyak
dan Gas Bumi tidak
dapat dilaksanakan
pada: tempat
pemakaman, tempat
yang dianggap suci,
tempat umum, sarana
dan prasarana umum,
cagar alam, cagar
budaya, serta tanah
milik masyarakat adat;
(Pasal 33)
UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan
(1)	 Masyarakat berhak
menikmati kualitas
lingkungan hidup yang
dihasilkan hutan.
(2)	Masyarakat dapat:
a. memanfaatkan hutan
danhasil hutan sesuai dengan
peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
b. mengetahui rencana
peruntukan hutan,
pemanfaatan hasil hutan dan
informasi kehutanan;
c. memberi informasi, saran
serta pertimbangan dalam
pembangunan kehutanan;
dan
d. melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan
pembangunan kehutanan
baik langsung maupun tidak
langsung.
(Pasal68)
17
Keputusan Mahkamah
Konstitusi atas Uji
Materi UU No. 4
Tahun 2009 tentang
Pertambangan
Mineral danBatubara1
(Keputusan MK No. 32
Tahun 2010)
UU No. 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan
Mineral bertentangan
secara bersyarat
terhadap UUD 1945
sepanjang frasa “…
memperhatikan
pendapat masyarakat”
dalam tidak dimaknai
“wajib melindungi,
menghormati dan
memenuhi kepentingan
masyarakat yang
wilayah maupun
tanah miliknya akan
dimasukkan ke dalam
wilayah pertambangan
dan masyarakat yang
akan terkena dampak.”
Keputusan Mahkamah
Konstitusi atas Uji Materia UU
No. 41 Tahun 1999 (Keputusan
MK No. 35 Tahun 2012)
Hutan adat adalah hutan
yang berada di dalam wilayah
masyarakat hukum adat.
Keputusan ini menghentikan
monopolipenguasaan negara atas
hutan dan memberikan landasan
hukum bagi masyarakat adat
untuk mengelola kawasan hutan.
Masyarakat sipil dan organisasi lingkungan
hidup telah menggunakan sarana regulasi ini
untuk memperkuat persetujuan atas dasar
informasi awal tanpa paksaan bagi warga. Tetapi,
Indonesia masih memerlukan aturan-aturan yang
lebih rinci, konkret dan mampu melindungi hak-
hak warga lewat persetujuan atas dasar informasi
awal tanpa paksaan.
Peran Organisasi Masyarakat Sipil
(Civil Society Organizations/CSO)
dalam Membangun Kesadaran dan
Memberdayakan Komunitas
Kasus Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta
Masyarakat Kulonprogo umumnya hidup dari
bertani. Mereka menghabiskan waktu luangnya
dengan beternak, seperti lembu, kambing dan
bebek, dan pada umumnya mereka memiliki
ternak. Mereka juga menanam pisang dan
manga di pekarangan. Warga hidup bergotong
royong, misalnyanya dengan membersihkan jalan
bersama-sama.
Pada 2005 sebuah rencana untuk membuka
penambangan pasir besi pun mengemuka dan ini
ditolak oleh sebagian besar warga. Persetujuan
terhadap usulan tersebut hanya diberikan
oleh mereka yang tinggal di luar daerah yang
direncanakan sebagai wilayah pertambangan.
Rencana tersebut akan berdampak pada tiga
kecamatan, yakni Galur, Panjatan and Wates.
Warga di ketiga kecamatan ini menolak
wilayah mereka dijadikan kawasan tambang pasir
besi karena penghidupan mereka seluruhnya
bergantung dari bertani, yang mereka warisi dari
nenek moyang mereka. Pertanian sudah cukup
mencukupi penghidupan 50,000 orang warga
tersebut. Mereka membandingkan efek positif
dari bercocok tanam: pada tahun 1970-an, tak satu
pun dari mereka yang bersekolah hingga sekolah
menengah atas ataupun univesitas. Namun,
situasi berubah setelah mereka mengolah lahan
di tepian pantai, yang berujung pada perbaikan
ekonomi. Sekarang banyak di antara warga yang
bisa melanjutkan pendidikan, bahkan hingga
universitas di tengah melambungnya biaya
pendidikan saat ini.
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara
18
Salah satu warga yang bernama Maryanto
mengatakan bahwa mereka tidak akan berhenti
bertani karena mereka lebih suka menjadi petani
daripada penambang pasir. Mereka tidak perlu
memperoleh ijazah maupun berurusan dengan
jadwal kerja yang ketat.Apa yang mereka kerjakan
juga berhasil menciptakan lapangan kerja bagi
warga lainnya. Buruh pemetik cabai dari ketiga
kecamatan yang terkena dampak bersatu padu
dan menghadang rencana penambangan tersebut.
Mereka mendirikan Paguyuban Petani Lahan
Pantai (PPLP) pada April 2006.
Perusahaan yang mereka hadapi adalah PT
JogjaMagasaIronyangmemperolehKontrakKarya
(KK/Work Contract) yang ditandatanganinya
dengan pemerintah Republik Indonesia pada
4 November 2008. Proyek tambang pasir besi
di Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa
Yogyakarta,ini dinyatakan akan membangun
industrypembuatanbesiterpadu.Kontrakkerjaini
ialah yang pertama di Pulau Jawa dan merupakan
kontrak karya pertama yang dikeluarkan sejak
krisis ekonomi dan penyelenggaraan otonomi
daerah.
Naskah kontrak karya tersebut telah
direkomendasikan oleh Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) dan dikonsultasikan
denganDewanPerwakilanRakyat(DPR).Meskipun
demikian, warga di sekitar wilayah tambang yang
direncanakan tersebut tidak pernah dilibatkan
atau dimintai persetujuannya sebelum kontrak
tersebut dibuat.
Saham PT Jogja Magasa Iron 30 persen dimiliki
perusahaan Indonesia, PT Jogja Magasa Mining,
dan 70 persen dipegang oleh perusahaan asal
Australia, Indo Mines Limited. Cadangan besi yang
ditemukan dalam pasir besi di lokasi tersebut
berjumlah 33.6 juta ton Fe dan produksinya
direncanakan mencapai 1 juta ton per tahun.
Cadangan ini diperoleh dari konsentrat pasir besi.
Proyek ini akan menambang bagan galian pasir
besi dengan sistem tambang terbuka (open pit) dan
hasilnya akan diolah menjadi konsentrat untuk
kemudian menghasilkan besi kasar (pig iron)
dengan kandungan Fe>94%. Menutur rencana,
perusahaan tersebut akan memulai kegiatan
penambangan pada 2011 dan memproduksi besi
kasar pada 2012. Namun, karena protes warga
petani, proyek tersebut hingga kini belum
beroperasi.
Pada tahap konstruksi perusahaan akan
menyerap 5.000 tenaga kerja lokal, sementara di
fase awal produksi ia akan mempekerjakan 3.000
orang. Angka ini lebih rendah dari jumlah petani
yangakanterkenadampakinvestasiiniyaitu50.000
orang, sehingga ini berarti industri pertambangan
tersebut tidak mampu menyediakan lapangan
kerja yang cukup bagi warga.
Investasi dari perusahaan tersebut secara total
akan mencapai US$1,1 milyar, yang terdiri dari US$5
juta untuk persediaan (bahan baku), US$ 6 million
untuk pemasangan rel (rail sliding), US$350 juta
untuk pembangunan pembangkit tenaga listrik
350 megawatt (MW), US$10 juta untuk fasilitas
pelabuhan dan US$600 juta untuk investasi
pertambangan. Proyek ini diharapkan setiap
tahun menyumbang US$20 juta ke penerimaan
negara melalui setoran pajak, US$ 11,25 juta dari
royalty, US$7 juta dari pendanaan lokal dan US$55
juta melalui pengeluaran operasional.
Pada 10 tahun pertama PT Jogja Magasa
Iron diperkirakan akan menyumbang 1,5% dari
penjualannya masing-masing ke pemerintah
daerah dan ke pengembangan komunitas
(community development), yang setelah
periode tersebut akan ditingkatkan menjadi
2%.Kendati demikian, tawaran ini dinilai tidak
dapat menyejahterakan warga dan mereka lebih
memilih bertani di lahan tepian pantai. Komunitas
tersebut mempertahankan ruang hidupnya dari
pertambangan melalui penolakan langsung yang
disampaikan ke instansi pemerintah terkait dan
pendidikan terhadap warga.
Komunitas menyatakan:
“Sejak 2006, kami, penghuni tepian pantai
Kabupaten Kulonprogo Regency, telah berjuang
mempertahankan Hak-hak Asasi kami
(sebagaimana dijamin oleh UU No. 39 Tahun
1999), Hak-hak Ekonomi, Sosial danBudaya
(sebagaimana dijamin oleh UU No. 11 Tahun 2005),
danHak-hak atas Tanah (sebagaimana dijamin
oleh UU No. 5 Tahun 1960). Kehadiran hak-hak ini
19
dan masa depannya di bawah ancaman karena
kebijakan pemerintah Kabupaten Kulonprogo
Regency untuk menambang pasir besi dan
membangun pabrik baja di wilayah yang dihuni
oleh dan menyediakan mata pencaharian bagi
penduduknya. Hanya dengan mengetahui rencana
ini saja, pertambangan ini telah memicu konflik
antara masyarakat dan pemerintah, tanpa akhir di
depan mata.”19
Proses yang menetapkan ruang hidup mereka
sebagai kawasan tambang tidak bersesuaian
denganperaturan-peraturanyangberlaku.Kontrak
Karya PT Jogja Magasa Mining dibuat tatkala
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menyatakan
bahwa wilayah pesisir didesain sebagai kawasan
pertanian, turisme dan perikanan. Komite khusus
RTRW 2009 dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD)secara jelasmenunjukkan bahwa wilayah
tersebut tidak diperuntukkan bagi pertambangan.
Berlawanan dengan keputusan ini, pemerintah
provinsi dan Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral secara sepihak menunjukkan sebagai
wilayah pertambangan.
Yogyakarta adalah satu-satunya provinsi di
Indonesiayangdikendalikanolehkekuasaanfeudal
sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2012. Warga yang
menolak penambangan menghadapi intimidasi
dan kriminalisasi. Sekelompok orang menyerang
pos penjagaan dan poskamlingyang didirikan
warga. Insiden ini terjadi pada 2008. Sekitar 200
orang bersenjata merusak fasilitas-fasilitas umum,
seperti poskamling, pos ronda dan rumah-rumah
warga. Polisi menindak pelaku sebagai respons
terhadap aduan warga, tetapi tidak menyasar para
pelaku utama, menurut laporan lanjutan warga
19	http://325.nostate.net/library/position-paper-summary.pdf
kepada Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Selain ke polisi, warga juga melaporkan
insiden perusakan kepada Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM). Namun sayangnya,
mereka tidak dapat memperoleh hasil sesuai yang
diharapkan.
Kemudian pada 2000, warga setempat
dikriminalisasi dengan dakwaan melanggar Pasal
355 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),
yaitu merampas kebebasan hak orang lain.
Tukijo, salah satu pemimpin yang mengorganisir
perjuangan warga melawan pertambangan pasir
besi tersebut, divonis bersalah dan ia dihukum
dengan kurungan tiga tahun penjara.
Warga Kulonprogo mampu memperjuangkan
hak-haknya karena mereka memiliki keahlian
organisasional yang baik. Warga mendirikan
sebuah organisasi yang dinamai Paguyuban
Petani Lahan Pantai (PPLP) pada 2007. Organisasi
warga ini berusaha untuk tidak bergantung pada
organisasi non-pemerintah. Akan tetapi, mereka
juga membuka peluang untuk berkerjasama
dengan organisasi semacam itu di dalam
perlawanannya. Bersama-sama dengan Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, PPLP melawan
kriminalisasi terhadapnya dan bersama dengan
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI),
ia berjuang melawan pelanggaran rencana
tata ruang pemerintah Kabupaten Kulonprogo
dan menuntut uji materi UU No. 4 Tahun 2009
untuk bisa mendapatkan persetujuan atas dasar
informasi tanpa paksaan dari warga setempat
sebelum menjadikan suatu wilayah sebagai
kawasan tambang.
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara
20
Studi Kasus Filipina
Kerangka Regulasi
Masyarakat adat Filipina terdiri dari sejumlah
besar suku bangsa asli yang tinggal di negara
tersebut. Mereka adalah keturunan penduduk
asli Filipina. Mereka tidak tersapu oleh kolonisasi
berabad-abad oleh Spanyol dan Amerika Serikat
di Kepulauan Filipina, dan sepanjang proses
tersebut mereka mempertahankan adat-istiadat
dan tradisi mereka. Masyarakat adat Filipina telah
mencapai langkah signifikan di dalam upayanya
melindungi wilayah kekuasaan leluhur mereka
beserta identitasnya. Kendati berhadapan dengan
marjinalisasi politik dan ekonomi, mereka berhasil
mendapatkan traksi hukum di dalamperjuangan
mempertahankan diri dari beragam ancaman.
Pada 1997, Kongres Filipina menegakkan
Undang-undang Hak-hak Masyarakat Adat
(Indigenous Peoples’ Rights Act/IPRA Law)
atau Undang-undang Republik No. 8371, yang
mengakui, melindungi dan mempromosikan
hak-hak masyarakat budaya adat/masyarakat
adat, menetapkan mekanisme implementasi,
menyisihkan dana dan mencapai tujuan-tujuan
lainnya. 20
Undang-undang ini mengakui hak
masyarakat adat untuk menentukan nasibnya
sendiridanmenyediakanmekanismeperlindungan
wilayah kekuasaan leluhur masyarakat adat dan
segala sumber daya yang terkandung di dalamnya.
IPRA mengadopsi konsep “persetujuan atas dasar
informasi awal tanpa paksaan” (FPIC) sebagai
alat untuk membentengi hak-hak masyarakat
adat dan memberi mereka ruang untuk berbicara
tentang persoalan-persoalan yang berimbas pada
mereka. FPIC di dalam konteks ini menuntut agar
komunitas masyarakat adat diperlengkapi dengan
informasi yang memadai dan dapat diakses, dan
bahwa consensus ditentukan sesuai dengan
hukum adat dan praktik-praktik masyarakat
adatdan bebas dari segala bentuk manipulasi
maupun koersi dari luar. IPRA menuntut agar
20	 Republic of the Philippines, The Indigenous Peoples’ Rights Act of 1997,
Republic Act No. 8371 (1997)
FPIC diperolah sebelum ekstraksi sumber daya
dari wilayah kekuasaan leluhur dan tanah adat.
Jika berjalan secara efektif, FPIC melambangkan
alat yang kritis untuk mewujudkan penentuan
nasib sendiri (indigenous self-determination),
mempromosikan partisipasi warga di dalam
pembuatan keputusan dan memitigasi risiko
konflik di sekitar proyek sumber daya alam.
Sayangnya, meski ada aturan keras
yang berlaku, masyarakat adat di Filipina
menghadapi kendala-kendala yang berarti di
dalam merealisasikan haknya untuk memberi
atau menahan FPIC. Catatan kebijakan ini
menggambarkan perlindungan hukum kunci bagi
FPIC di Filipina maupun rintangan bagi efektifnya
pelaksanaan FPIC di masa lalu. Selain itu, catatan
kebijakan ini juga menyoroti corak pelaksanaan
aturan yang diadopsi pemerintah pada 2012 unutk
mempromosikan implementasi FPIC yang lebih
baik di masa mendatang.
Konstitusi Filipina 1987
Konstitusi Filipina mengandung ketentuan
eksplisit mengenai perlindungan hak-hak
masyarakat adat. Konstitusi ini menjamin hak-
hak masyarakat adat terhadap ranah kekuasaan
leluhur dan tanah. Konstitusi 1987 memperlihatkan
pergeseran kebijakan “dari asimilasi dan integrasi
menuju pengakuan dan pelestarian.21
Berikutpasal-pasalyangrelevandariKonstitusi
tersebut:
•	 Bag. 22 dari Pasal II. Negara mengakui dan
mempromosikan hak-hak komunitas budaya
adat ada di dalam kerangka kesatuan nasional
dan pembangunan.
•	 Bag. 5 dari Pasal VI. Selama tiga masa berlaku
berturut-turut setelah diratifikasinya
Konstitusi ini, setengah dari bangku yang
21	 Reynato S. Puno, The IPRA: Indigenous Peoples and their Rights (2008).
21
dialokasikan bagi para perwakilan daftar
partai 22
akan diisi, sebagaimana ditetapkan
oleh hukum, melalui seleksi atau pemungutan
suara dari buruh, petani, kaum miskin kota,
komunitas budaya adat, perempuan, kaum
muda, dankelompok lainnya yang serupa
seperti ditetapkan hukum, kecuali kelompok
keagamaan.
•	 Bag. 5 dari Art. XII. Negara, tunduk pada
ketentuan Konstitusiand kebijakan dan
program pembangunan nasional, akan
melindungi hak-hak masyarakat budaya adat
di tanah leluhur mereka untuk memastikan
kesejahteraan ekonomi, sosial dan budayanya.
•	 Kongres mungkin mempersiapkan kondisi
yang memungkinkan penerapan hukum adat
yang mengatur hak milik atau hubungan-
hubungan yang menentukan kepemilikannya
dan luas wilayah kekuasaan leluhur.
•	 Bag. 6 dari Pasal XIII. Negara akan menerapkan
prinsip-prinsip pembaruan agraria atau
penatalayanan (stewardship), kapan saja dapat
diterapkan sesuai dengan Undang-undang,
dalam disposisi atau pemanfaatan sumber
daya alam lainnya, termasuk tanah di ranah
publik yang sedang disewakan atau dalam
konsesi yang cocok untuk pertanian, tunduk
pada hak-hak sebelumnya, hak-hak atas rumah
dan pekarangan dari penghuni skala kecil,
dan hak-hakmasyarakat adat terhadap tanah
leluhur mereka.
•	 Bag. 17 dariPasal XIV. Negara akan mengakui,
menghormati dan melindungi hak-hak The
State shall recognize, respect, and protect the
rights of indigenous cultural communities to
preserve and develop their cultures, traditions,
and institutions. It shall consider these rights
in the formulation of national plans and
policies.
•	 Bag. 12 dari Pasal XVI. Kongresmungkin
membentuk badan konsultasi untuk
memberikan nasihat kepada Presiden
mengenai kebijakan-kebijakan yang
berdampak pada komunitas budaya adat,
yang mayoritas anggotanya akan berasal dari
22	 Menurut Konstitusi, perwakilan daftar partai berjumlah 20% dari jumlah
total perwakilan di daftar tersebut.
komunitas semacam itu.
Undang-undang hak asasi masyarakat adat
1997 (Indigineous Peoples’ Rights Act/IPRA)
Mantan president Fidel Valdez Ramos
memprakarsai pertemuan-pertemuan badan
legislatif dan eksekutif wilayah dan masyarakat
sipil untuk merumuskan satu agenda
pembangunan bersama. Agenda ini menjadi
kerangka komprehensif pemerintah di dalam
mengentaskan kemiskinan. Sebuah “daftar hal-hal
yang dapat dikerjakan” (doable list)dirumuskan,
memprioritaskan agenda sektor-sektor dasar
melalui “capaian consensus danproses kolaborasi
konsultatif” dari badan-badan pemerintah
nasional dan masyarakat sipil. Agenda ini telah
menjadi “Agenda Reformasi Sosial” (Social Reform
Agenda/SRA).23
” SRA ialah seperangkat reformasi
utama yang terpadu untuk memperbaiki proses-
proses demokratis dan memungkinkan warga
negara untuk a) memenuhi kebutuhan insani yang
mendasar dan menjalani kehidupan yang layak;
b) memperluas andil sumber daya yang darinya
mereka bisa hidup atau meningkatkan hasil
dari kerja; dan c) memungkinkan mereka untuk
berperan serta secara efektif di dalam proses
pembuatan keputusan yang mempengaruhi hak-
hak, kepentingan dan kesejahteraan mereka.24
SRA menghasilkan berbagai undang-undang yang
penting, termasuk IPRA.
IPRA melaksanakan ketetapan konstitusi
yang memberikan pengakuan terhadap hak-hak
dan kepentingan masyarakat adat terkait wilayah
kekuasaan leluhur mereka.25
Penegakan IPRA yang
menonjol menandai pergeseran dua paradigm di
dalam cara pemerintah memandang masyarakat
adat. Pertama, hal ini menggugat gagasan bahwa
negara memonopoli pelaksanaan undang-undang.
IPRA mengakui sistem hukum masyarakat adat
23	 Carlos Bueno, The Social Reform Agenda, MetroPost
24	 United Nations, Social Aspects of Sustainable Development in the
Philippines (April 1998)
25	 Pasal XII Konstitusi menetapkan: Bagian 5. Negara, tunduk pada
ketentuan Konstitusi ini dan kebijakan serta program pembangunan
nasional, akan melindungi hak-hak komunitas budaya adat atas wilayah
lelulurnya untuk menjamin kesejateraan ekonomi, sosial dan budayanya.
Kongres mungkin bisa memfasilitasi diterapkannya hukum adat yang
mengatur hak milik atau hubungan-hubungan yang mengatur kepemilikan
dan cakupan wilayah leluhur.
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara
22
yang bisa dipergunakan untuk menyelesaikan
perselisihan, mengidentifikasi luas wilayah
kekuasaan leluhur, dan memutuskan eksploitasi
sumber daya, antara lain. Kedua, ia memutus
persepsi bahwa masyarakat adat menyebabkan
perusakan hutan. 26
Sebelum ada IPRA, wacana
yang tersebar luas adalah bahwa masyarakat adat
merusak hutan melalui sistem pertanian “tebang
dan bakar” (slash and burn).
Segera sesudah diloloskannya IPRA, Ketua
MahkamahAgungpurna-tugashakimagungIsagani
Cruz danpengacara Cesar Europemengajukan
gugatan yang mempertanyakan kesesuaian
undang-undang baru tersebut dengan konstitusi.
Di dalam gugatan tersebut, mereka mengklaim
bahwa aturan ini melanggar hak Negara
untuk “mengontrol danmengawasi ekplorasi,
pembangunan, pemanfaatan dan pelestarian
sumber daya alam nasional.”27
Beberapa pengkritik
IPRA, termasuk misalnya Kamar Dagang
Pertambangan Filipina, meyakini bahwa undang-
undang tersebut bertentangan dengan dua prinsip
hukum yang telah ditetapkan: bahwa hanya
Negara yang bisa memiliki tanah dan bahwa
Departement Lingkungan Hidup dan Sumber
Daya Alam memegang yurisdiksi tunggal terhadap
hutan dan sumber daya mineral.28
Perwakilan Biro
Pertambangan dan Geosains mengklaim bahwa
“memberikan hak-hak prioritas atas sumber
daya mineral kepada masyarakat adat di wilayah
leluhur mereka … sama dengan menyerahkan
kontrol penuh negara atas seluruh sumber daya.”29
Di dalamCruz v. Sekretaris Lingkungan Hidup
dan Sumber Daya Alam,30
Mahkamah Agung
Filipina menjunjung konstitusionalitas IPRA
dengan batasan setipis mungkin.31
Keputusan
tesebut menjelaskan bahwa IPRA tidaklah
melanggar Doktrin Kerajaan (Regalian Doctrine)
26	 June Prill-Brett, Contested Domains: The Indigenous Peoples Rights
Act (IPRA) and Legal Pluralism in the Northern Philippines, 55 J. LEGAL
PLURALISM& UNOFFICIAL L., 11, 16-17 (2007).
27	 New Law on Indigenous Peoples Faces Legal Challenge, Philippine Center for
Investigative Journalism (1998)
28	 ibid
29	 ibid
30	 G.R. No. 135385 (December 6, 2000)
31	 Ketika Hakim memutuskan bahwa suara mereka seri: 7-7 (Tertunjuk paling
baru di Mahkamah Agung tidak ikut serta dalam pembahasan kasus ini
dan tidak memberikan suara). Hakimmengangkat kasus tersebut lagi
tetapi pemungutan suara tetap tidak berubah. Tuntutan terhadap Aturan
56, Bagian 7 dari Ketentuan Prosedur Sipil, petisiHakim Cruz dibatalkan,
(yang berpandangan bahwa Negara memiliki
semua tanah dan air yang berada di ranah publik)
karena wilayah kekuasaan leluhur adalah tanah
privat. Tanah yang sudah dikuasai sejak dahulu
kala dianggap tidak pernah bersifat publik.
Mahkamah Agung AS mengumumkan doktrin
ini secara resmi dalam kaitan dengan hak milik
kaum pribumi di Filipina lebih dari satu abad
yang lalu melalui kasus Cariño versusPemerintah
Kepulauan,32
yang membenarkan kepemilikan
berdasarkan kepemilikan sedari dulu kala.
Keputusan Mahmakah Agung Filipina mengakui
sifat privat dari wilayah kekuasaan leluhur,
memisahkannya dari ranah publik dan konsep
hukumyangbiasadipergunakanuntukmenggugat
konsitusionalitas IPRA. Penggabungan FPIC ke
dalam IPRA memunculkan harapan bahwa Filipina
dapat mencegah penggusuran masyarakat adat.
FPIC mempunyai dasar perundang-undangan
yang jelas di dalam hukum Filipina, dan adalah
salah satu elemen IPRA yang paling penting.
33
IPRA mendefinisikan FPIC sebagai: konsensus
dari seluruh anggota masyarakat budaya adat
(Indigenous Cultural Communities/ICCs)/
masyarakat adat (Indigenous Peoples/IPs)yang
ditentukan sesuai dengan hukum dan praktik
adatnya masing-masing, bebas dari manipulasi,
campur tangan dan paksaan pihak luar, dan
diperoleh setelah mengungkapkan keseluruhan
tujuan dan cakupan kegiatan tersebut, di dalam
Bahasa yang bisa dipahami komunitas tersebut.
FPIC disebutkan berulang kali di dalam
IPRA dengan tujuan melindungi kepentingan
masyarakat adat di wilayah kekuasaan leluhurnya.
DalamkonteksIPRA<FPICsecarakhususmengacu
pada hak masyarakat asli untuk tinggal di batas
wilayah mereka; hak terhadap situs keagaaman
dan budaya serta upacara; hak untuk memberi
atau menahan akses ke sumber daya biologis
dan genetis serta pengetahuan adat yang terkait
dengan pelestarian, penggunaan dan perbaikan
sumber daya ini; danhak untuk menebus di
dalam kasus-kasus di mana hak kepemilikan/
tanah telah dialihkan tanpa persetujuan tanpa
32	 212 US 449 (1909)
33	 Republic of the Philippines, The Indigenous Peoples Rights Act of
1997, Republic Act No. 8371 (1997)
23
paksaan mereka. IPRA juga menuntut FPIC untuk
“mengeksplorasi, menggali ataupun melakukan
penggalian pada situs arkeologis” dari masyarakat
adat dan “sebelum penyerahan lisensi, sewa atau
izin eksploitasi sumber daya alam” yang dapat
berdampak pada kepentingan masyarakat adat.34
Definisi IPRA mengenai wilayah kekuasaan
dan tanah leluhur cukup komprehensif. Wilayah
kekuasaan leluhur dimiliki secara kolektif dan
bisa meliputi tanah, perairan darat, area tepi
pantai, dansumber daya alam yang terkandung di
dalamnya (termasuk mineral). Tanah kekuasaan
leluhur, yang pengertiannya lebih sempit
ketimbang wilayah kekuasaan leluhur, mungkin
berada di bawah kepemilikan individu atau
kelompok tradisional. Undang-undang ini juga
menetapkan sendiri batas-batas (self-delineation)
wilayah kekuasaan leluhur, termasuk tanah yang
tidak lagi mereka huni namun secara tradisional
telah menggunakan:
BAGIAN 51. Penentuan Batas Tanah dan
Pengakuan Wilayah Kekuasaan Leluhur. —
Penentuan sendiri batas-batas akan menjadi
prinsip pemandu di dalam mengidentifikasi
dan menetapkan garis batas tanah di wilayah
kekuasaan leluhur. Dengan demikian, masyarakat
budaya adat atau masyarakat adat yang terkait
akan mempunyai peran penentu di dalam seluruh
kegiatan yang terkait. Pernyataan Tersumpah
dari Para Tetua hingga cakupan teritori dan
perjanjian/pakta yang dibuat dengan ICCs/
IPs,kalaupun ada, akan sangatlah penting di dalam
menentukan teritori tradisional ini. Pemerintah
harus mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk mengidentifikasi tanah yang
secara tradisional dihuni ICCs/IPs dan menjamin
perlindungan akan hak-hak mereka secara efektif
atas kepemilikan dan barang milik yang terkait.
Dalam pelbagai kasus yang sesuai, berbagai
tindakan akan diambil untuk mengamankan hak
ICCs/IPs yang berkenaan dengan tanah yang
mungkin sudah tidak lagi mereka tempat secara
eksklusif, tetapi yang secara tradisional menjamin
kelangsungan kegiatan subsistensi dan kegiatan
tradisional mereka, khususnya ICCs/IPs yang
masih berpindah-pindah (nomadic)dan/atau
34	 ibid
peladang berpindah.
IPRA juga menetapkan peran pemerintah di
dalam mengidentifikasi dan juga menentukan
batas-batas wilayah kekuasaan leluhur melalui
Komisi Nasioanl Masyarakat Adat (National
Commission on Indigenous Peoples/NCIP).
IPRA membentuk NCIP, badan pemerintah yang
bertanggung jawab atas pengembangan dan
implementasi kebijakan dan program untuk
melindungi dan mempromosikan hak-hak
masyarakat adat. Komisi ini beranggotakan tujuh
KomisioneryangditunjukolehPresiden(semuanya
anggota komunitas masyarakat adat) yang
memilik kekuasaan administratif,kuasi-yudisial
dan kuasi-legislatif. NCIP bertugas mengeluarkan
sertifikat hak milik wilayah kekuasaan leluhur dan
sertifikat sebagai prasyarat untuk pemberian izin,
sewa dan hibah (kepada perusahaan, pemerintah
ataupun entitas lainnya) bagi penggunakan
sebagian wilayah kekuasaan leluhur tersebut.
IPRA menuntut NCIP menerangkan secara resmi
bahwa warga memberikan persetujuan tanpa
paksaan bagi eksploitasi sumber daya alam di
wilayah kekuasaan leluhur mereka sebagai syarat
untuk persetujuan proyek. (Bagian 46 (a)).
Meskipun merupakan undang-undang yang
kuat, IPRA juga punya beberapa kelemahan. Ada
keprihatinan tentang caranya menyederhanakan
dan menstandarisasi konsep seperti masyarakat
adat, hukum adat dan konsepsi mengenai wilayah
kekuasaan leluhur.35
Hal ini menjadi catatan
mengenai berbagai perbedaan yang ada di antara
beragam komunitas masyarakat adat di Filipina.
IPRA juga dilemahkan oleh undang-undang
mengenai sumber daya alam lainnya seperti
Undang-undang Pertambangan, yang berakibat
pada ketidakjelasan implementasinya. 36
Meskipun demikian, terlepas dari tantangan
semacam ini, undang-undang tersebut secara tegas
memperkuat hak-hak masyarakat adat terhadap
wilayah kekuasaan leluhur dan integritas budaya
mereka. Banyak upaya telah dilakukan untuk
memperlunak ketetapan undang-undang tersebut,
namun sejauh ini masyarakat adat dan organisasi
35	 Celeste Ann Castillo Llaneta, The Road Ahead for the Indigenous Peoples
(2012)
36	 ibid
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara
24
masyarakat sipil di Filipina telah berhasil
mempertahankannya.
Perkembangan terbaru FPIC di dalam
undang-undang Filipina
Pemerintahan sekarang ini – yang dipimpin
olehPresidenBenignoAquinoIII–telahmengambil
tindakan untuk memperbaiki keadaan komunitas
masyarakat adat.Pemerintah mengembalikan
lagi NCIP di bawah Kantor Presiden,37
“untuk
memastikan upaya terpadu untuk merumuskan
dan melaksanakan kebijakan, program dan
proyek yang arahnya untuk melindungi dan
mempromosikan hak-hak dan kesejahteraan ICCs/
IPs.”38
Pemerintah juga mengalokasikan anggaran
tambahan untuk NCIP agar ia bisa membentuk
pengadilan kuasi-yudisial. Pengadilan ini mencoba
menuntaskan isu-isu terkait IPRA, mengurangi,
kalaupun tidak menghapuskan, perlunya litigasi
di pengadilan lain.39
Selain itu, pemerintah juga
menunjuk ZenaidaBrigida Hamada-Pawid, yang
bekerja di organisasi masyarakat sipil sebelum
bergabung dengan pemerintah,sebagai ketua
NCIP. Dengan rekam jejaknya membela hak-
hak masyarakat adat, tidaklah mengherankan
jika terjadi reformasi progresif di dalam masa
jabatannya.
NCIP mengeluarkan aturan baru untuk
melaksanakan FPIC.40
Aturan ini bermaksud
mengklarifikasi ketentuan-ketentuan yang paling
rentan terhadap penyalahgunaan, misinterpretasi,
misrepresentasi,sogok,dankorupsi.41
KamarDagang
Pertambangan Filipina memprotes aturan tersebut
dengan alasan NCIP gagal berkonsultasi dengan
pemangku kepentingan mengenai revisi aturan
ini dan mengutip kehilangan potensi investasi
dan penundaan di sejumlah proyek eksplorasi
dan penambangan kunci. Biro Pertambangan dan
Geosains Departement Lingkungan Hidup dan
Sumber Daya Alam turut mempertanyakan aturan
37	 Perseus Echeminada, NCIP welcomes its return to the Office of the
President, Philippine Star, (November 11, 2010)
38	 Executive Order No. 11, s. 2010
39	 Log cit, Celeste Ann Castillo Llaneta: 2012
40	 Republic of the Philippines, Administrative Order No. 03-12 or The Revised
Guidelines on Free and Prior Informed Consent (FPIC) and Related Processes
of 2012 (April 2012)
41	 Celeste Ann Castillo Llaneta, The Road Ahead for the Indigenous Peoples,
(2012) quoting NCIP Chair ZenaidaBrigida Hamada-Pawid
tersebut dan menuding bahwa ia akan mengurangi
investasi pertambangan.
Akan tetapi, NCIP menerbitkan revisi aturan
tersebut pada 16 Mei 2012 sebagai upaya mengatasi
tantangan-tantangan implementasi yang sudah
dijelaskan di bagian terdahulu. Bagian 3 dari
Perintah Administratif No. 03-12 atau “Revisi
Pedoman Persetujuan atas dasar Informasi Awal
tanpa Paksaan dan Proses Terkait pada 2012”
memuat Deklarasi Kebijakan, dengan menyatakan
bahwa:
1. 	FPIC mewujudkan dan memperkuat
pelaksanaan hak ICCs/IPs atas Wilayah
Kekuasaan Leluhur, Keadilan Sosial dan
Hak Asasi Manusia, Swa-Tata Kelolat dan
Pemberdayaan dan Integritas Budaya;
2.	Hak ICCs/IPs untuk mengelola,
mengembangkan, menggunakan dan
memanfaatkan tanah dan sumber daya di
dalam wilayah kekuasaan leluhur mereka akan
diperhatikan secara penuh;
3. 	Tidak aka nada konsensi, lisensi, izin atau
sewa, perjanjian bagi-hasil ataupun usaha lain
yang akan mempengaruhi wilayah kekuasaan
leluhurakandiberikanataudiperbaharuitanpa
prosesyang diuraikan oleh undang-undang dan
Pedoman ini.
Beberapa ciri utama dari aturan pelaksana
yang secara umum bersifat progresif tersebut
ialah:
1. 	 Mencantumkan dengan jelas bahwa
masyarakat adat punya hak untuk
mengembangkan resolusi persetujuan tanpa
paksaan (a resolution of consent) atau resolusi
bukan-persetujuan (resolution of non-
consent).Kedua jenis resoulusi ini diadopsi oleh
masyarakat adat yang terdampak atau melalui
tetua/pimpinan adat yang berwenang dan
memungkinkan warga untuk menyampaikan
persetujuan atau penolakan terhadap usulan
rencana, program, proyek atau kegiatan. Dalam
hal penolakan, resolusi bukan-persetujuan juga
harus menyertakan alasan tindakan tersebut.
(Bagian 5).
25
2.	Menyediakan “investigasi lapangan” yang
terdiri dari penelitian lapangan untuk
menentukan apakah proyek tersebut tumpeng
tindih dengan/berdampak pada tanah
masyarakat serta mengidentifikasi siapa di
antara warga yang mau menyerahkan FPIC
atau menahannya. Ketentuan ini menuntut
keikutsertaan para pemimpin masyarakat
adat di dalam tim penelitian lapangan.
Pimpinan masyarakat adat, sponsor proyek
dan badan pemerintah yang terkait harus
menyepakati isu-isu seperti biaya, format untuk
mendokumentasikan kegiatan (foto, video,
dsb) serta proses lain yang relevan, serta hasil
investigasi lapangan tersebut harus disahkan
oleh majelis komunitas.
3.	 Memfasilitasi pembentukan Tim FPIC di tiap
provinsi. Tim ini meliputi pejabat provinsi,
pejabat hukum provinsi, ahli teknik dari kantor
provinsi atau daerah, kepala tim investigasi
lapangan dan dua tetua atau pimpinan
masyarakat adat yang dipilih warga (Bagian 16).
Tim FPIC mengemban tugas sebagai berikut
(berdasarkan Bagian 18):
a.	Dengan pemberitahuan sebelumnya,
mengadakan siding majelis yang
pertama untuk mengesahkan: (1) laporan
investigasi lapangan; (2) identitastetua
dan pemimpin masyarakat adat; (3) proses
pengambilang keputusan; (4) sensus warga
(migran atau sebaliknya/pendatang); (5)
daerah terdampak; (6) keberadaan konflik
perbatasan dengan wilayah kekuasaan
leluhur lainnya;
b.	Mendokumentasikan dan menjembatani
mekanisme resolusi konflik, jika ada, oleh
tetua/pimpinan masyarakat adat terpilih;
c.	Memfasilitasi dan mendokumentasikan
gerak-gerik majelis dan bertanggung
jawab atas penafsiran, terjemahan,
klarifikasi, ataupun elaborasi masalah yang
didiskusikan atau diangkat;
d.	Mengarahkan peserta ke ketentuan-
ketentuan IPRA yang terkait di tiap
tahapan;
e. 	 Mempresentasikan hasil yang disepakati
dan rencana keuangan selama
berlangsungnya sidang majelis;
f. 	Mengundang pakar independen yang
sesuai, jika ada, untuk membagikan
pandangannya atas aspek apa saja dari
proyek tersebut;
g.	 Jika komunitas masyarakat adat setuju
dengan kegiatan tersebut, membantu
membuat naskah Resolusi persetujuan
tanpa paksaan dan nota kesepakatan
(Memorandum of Agreement/MoA), atau
Resolusi Bukan-Persetujuan;
h.	 Membuat catatan akuntansi, sesuai dengan
standar akuntansi dan audit yang diterima
secara umum, dari segala uang dan barang
yang diterima terkait pelaksanaan FPIC;
dan
i.	 Mempersiapkan dan menyerahkan laporan
FPIC dengan rekomendasi, dan ringkasan
inti laporan tersebut, yang keduanya
sewajarnya ditandatangani di bawah
sumpah oleh pimpinan tim dan para
anggotanya.
4. 	 Menyediakan aplikasi ganda FPIC sepanjang
berlangsungnya proyek.Ketentuan ini
menghendaki bahwa: “Kecuali jika secara
khusus disebutkan di dalam MoA, pelaksanaan
FPIC secara terpisah berlaku untuk tiap fase
utama dari kegiatan yang diusulkan seperti
Ekplorasi;OperasiatauPengembangan;Kontrak
operator; dan sejenisnya” (Bagian 20).
5. Meminta pelaksanaan sidang majelis
masyarakat adat sebanyak dua kali. Sidang
pertama diadakan segera sesudah dana FPIC
42
diberikan. Selain pemberitahuan resmi
kepada wakil dari wilayah kekuasaan leluhur
dan yang lainnya, pengumuman tertulis juga
harus ditaruh, “tujuh (7) hari sebelum kegiatan
42	 RevisiPanduan FPIC dari NCIP 2012 memuat ketentuan mengenai iuran
FPIC. Iuran tersebut dibayarkan oleh aplikan (perusahaan) berdasarkan
kerja dan rencana keuangan untuk investifasi lapangan atau konferensi
FPIC. Rencana keuangan harus disetujui aplikan, perwakilan masyarakat
adat yang bersangkutan dan NCIP selama pra-konferensi tentang
investigasi lapangan/rencana keuangan. Rencana keuangan harus
meliputi (a) biaya makanan dan makanan ringan, ongkos transportasi dan
pengeluaran bagi mereka yang terlibat dalam investigasi lapangan; (b)
dokumentasi kegiatan investigasi seperti foto dan/atau video, rekaman
kaset dan pengembangan, reproduksi dokumen; dan (c) Lainnya akan
disepakati seluruh pihak sebelum konferensi. Komputasi pengeluaran
atau biaya haruslah berdasarkan tarif yang bisa diterapkan di daerah
tertentu tempat investifasi atau FPIC dilaksanakan. Uang tersebut disetor
di akun piutang yang dibuat untuk tujuan tersebut oleh kantor perwakilan
daerah NCIP.
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif
Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

More Related Content

What's hot

Pemberdayaan dan Kelembagaan Masyarakat Pesisir
Pemberdayaan dan Kelembagaan Masyarakat PesisirPemberdayaan dan Kelembagaan Masyarakat Pesisir
Pemberdayaan dan Kelembagaan Masyarakat Pesisir
Sugeng Budiharsono
 
02. menuju co profesional
02. menuju co profesional02. menuju co profesional
02. menuju co profesional
jselv
 
03. peran community organizer
03. peran community organizer03. peran community organizer
03. peran community organizer
jselv
 

What's hot (20)

Pemberdayaan p4 s denpasar b (yuti)
Pemberdayaan p4 s   denpasar b (yuti)Pemberdayaan p4 s   denpasar b (yuti)
Pemberdayaan p4 s denpasar b (yuti)
 
Komparasi konsep pedesaan pertanian
Komparasi konsep pedesaan pertanianKomparasi konsep pedesaan pertanian
Komparasi konsep pedesaan pertanian
 
Lembaga dan Organisasi Petani
Lembaga dan Organisasi PetaniLembaga dan Organisasi Petani
Lembaga dan Organisasi Petani
 
Kelembagaan kelautan perikanan kkp (yuti)
Kelembagaan kelautan perikanan kkp (yuti)Kelembagaan kelautan perikanan kkp (yuti)
Kelembagaan kelautan perikanan kkp (yuti)
 
Pemberdayaan dan Kelembagaan Masyarakat Pesisir
Pemberdayaan dan Kelembagaan Masyarakat PesisirPemberdayaan dan Kelembagaan Masyarakat Pesisir
Pemberdayaan dan Kelembagaan Masyarakat Pesisir
 
Kul 5. sosper. lembaga, kelompok &amp; organisasi sosial pertanian
Kul 5. sosper. lembaga, kelompok &amp; organisasi sosial pertanianKul 5. sosper. lembaga, kelompok &amp; organisasi sosial pertanian
Kul 5. sosper. lembaga, kelompok &amp; organisasi sosial pertanian
 
Bangka tengah 3 korporasi sebagai organisasi petani (yuti)
Bangka tengah 3   korporasi sebagai organisasi petani (yuti)Bangka tengah 3   korporasi sebagai organisasi petani (yuti)
Bangka tengah 3 korporasi sebagai organisasi petani (yuti)
 
Bimtek psekp 2 kelembagaan (yuti)
Bimtek psekp 2   kelembagaan (yuti)Bimtek psekp 2   kelembagaan (yuti)
Bimtek psekp 2 kelembagaan (yuti)
 
02. menuju co profesional
02. menuju co profesional02. menuju co profesional
02. menuju co profesional
 
Metode kelembagaan penyuluhan bp2 tp (yuti)
Metode kelembagaan   penyuluhan bp2 tp (yuti)Metode kelembagaan   penyuluhan bp2 tp (yuti)
Metode kelembagaan penyuluhan bp2 tp (yuti)
 
03. peran community organizer
03. peran community organizer03. peran community organizer
03. peran community organizer
 
Organisasi petani (yuti)
Organisasi petani (yuti)Organisasi petani (yuti)
Organisasi petani (yuti)
 
Bangka tengah 2 kelembagaan agribisnis (yuti)
Bangka tengah 2   kelembagaan agribisnis (yuti)Bangka tengah 2   kelembagaan agribisnis (yuti)
Bangka tengah 2 kelembagaan agribisnis (yuti)
 
Coffee morning konstrantani (yuti)
Coffee morning   konstrantani (yuti)Coffee morning   konstrantani (yuti)
Coffee morning konstrantani (yuti)
 
Direktori Pelaku Pengurangan Risiko Bencana 2015 Platfrom Nasional PRB
Direktori Pelaku Pengurangan Risiko Bencana 2015 Platfrom Nasional PRBDirektori Pelaku Pengurangan Risiko Bencana 2015 Platfrom Nasional PRB
Direktori Pelaku Pengurangan Risiko Bencana 2015 Platfrom Nasional PRB
 
Studi banding tentang pertanian
Studi banding tentang pertanianStudi banding tentang pertanian
Studi banding tentang pertanian
 
Modul iii kb3 gerakan pemberdayaan masyarakat
Modul iii kb3 gerakan pemberdayaan masyarakatModul iii kb3 gerakan pemberdayaan masyarakat
Modul iii kb3 gerakan pemberdayaan masyarakat
 
Studi banding
Studi bandingStudi banding
Studi banding
 
Ekdes 6
Ekdes 6Ekdes 6
Ekdes 6
 
Peran serta dalam pengembangan masyarakat
Peran serta dalam pengembangan masyarakatPeran serta dalam pengembangan masyarakat
Peran serta dalam pengembangan masyarakat
 

Similar to Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Perkembangan Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al Azhar - Pengantar Manajeman (M...
Perkembangan Yayasan Pesantren Islam (YPI)  Al Azhar - Pengantar Manajeman (M...Perkembangan Yayasan Pesantren Islam (YPI)  Al Azhar - Pengantar Manajeman (M...
Perkembangan Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al Azhar - Pengantar Manajeman (M...
M Abdul Aziz
 
20 contoh institusi sosial dalam kehidupan sehari hari
20 contoh institusi sosial dalam kehidupan sehari hari20 contoh institusi sosial dalam kehidupan sehari hari
20 contoh institusi sosial dalam kehidupan sehari hari
Isroah0410
 
Eksistensi Mahasiswa sebagai Warga Negara
Eksistensi Mahasiswa sebagai Warga NegaraEksistensi Mahasiswa sebagai Warga Negara
Eksistensi Mahasiswa sebagai Warga Negara
qhusnul
 
Eksistensi mahasiswa sebagai warga negara
Eksistensi mahasiswa sebagai warga negaraEksistensi mahasiswa sebagai warga negara
Eksistensi mahasiswa sebagai warga negara
nurlisa01
 
Diseminasi-Penelitian-Filantropi-Islam-berkeadilan-sosial-AF-27mar2018.ppt
Diseminasi-Penelitian-Filantropi-Islam-berkeadilan-sosial-AF-27mar2018.pptDiseminasi-Penelitian-Filantropi-Islam-berkeadilan-sosial-AF-27mar2018.ppt
Diseminasi-Penelitian-Filantropi-Islam-berkeadilan-sosial-AF-27mar2018.ppt
JhonAnwar3
 

Similar to Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif (20)

Jejak Langkah Menciptakan Pengacara Rakyat
Jejak Langkah Menciptakan Pengacara RakyatJejak Langkah Menciptakan Pengacara Rakyat
Jejak Langkah Menciptakan Pengacara Rakyat
 
Memahami Dimensi-dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat
Memahami Dimensi-dimensi Kemiskinan Masyarakat AdatMemahami Dimensi-dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat
Memahami Dimensi-dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat
 
Proposal himapa 2015 ok
Proposal himapa 2015 okProposal himapa 2015 ok
Proposal himapa 2015 ok
 
Melindungi Anak-Anak Dari Eksploitasi Seksual & Kekerasan Seksual Dalam Situa...
Melindungi Anak-Anak Dari Eksploitasi Seksual & Kekerasan Seksual Dalam Situa...Melindungi Anak-Anak Dari Eksploitasi Seksual & Kekerasan Seksual Dalam Situa...
Melindungi Anak-Anak Dari Eksploitasi Seksual & Kekerasan Seksual Dalam Situa...
 
Perspektif kemanusiaan act
Perspektif kemanusiaan actPerspektif kemanusiaan act
Perspektif kemanusiaan act
 
Buku 1 org kesejahteraan petani (yuti)
Buku 1   org kesejahteraan petani (yuti)Buku 1   org kesejahteraan petani (yuti)
Buku 1 org kesejahteraan petani (yuti)
 
Perkembangan Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al Azhar - Pengantar Manajeman (M...
Perkembangan Yayasan Pesantren Islam (YPI)  Al Azhar - Pengantar Manajeman (M...Perkembangan Yayasan Pesantren Islam (YPI)  Al Azhar - Pengantar Manajeman (M...
Perkembangan Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al Azhar - Pengantar Manajeman (M...
 
Materi Pemberdayaan Masyarakat.ppt
Materi Pemberdayaan  Masyarakat.pptMateri Pemberdayaan  Masyarakat.ppt
Materi Pemberdayaan Masyarakat.ppt
 
Upaya Menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Upaya Menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Upaya Menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Upaya Menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
 
Profil KPSI
Profil KPSIProfil KPSI
Profil KPSI
 
FUNGSI NGO DALAM PENYATUAN MASYARAKAT.pdf
FUNGSI NGO DALAM PENYATUAN MASYARAKAT.pdfFUNGSI NGO DALAM PENYATUAN MASYARAKAT.pdf
FUNGSI NGO DALAM PENYATUAN MASYARAKAT.pdf
 
20 contoh institusi sosial dalam kehidupan sehari hari
20 contoh institusi sosial dalam kehidupan sehari hari20 contoh institusi sosial dalam kehidupan sehari hari
20 contoh institusi sosial dalam kehidupan sehari hari
 
Eksistensi Mahasiswa sebagai Warga Negara
Eksistensi Mahasiswa sebagai Warga NegaraEksistensi Mahasiswa sebagai Warga Negara
Eksistensi Mahasiswa sebagai Warga Negara
 
Eksistensi mahasiswa sebagai warga negara
Eksistensi mahasiswa sebagai warga negaraEksistensi mahasiswa sebagai warga negara
Eksistensi mahasiswa sebagai warga negara
 
KEWIRAUSAHAAN - Pengertian Entrepreneurship
KEWIRAUSAHAAN - Pengertian  EntrepreneurshipKEWIRAUSAHAAN - Pengertian  Entrepreneurship
KEWIRAUSAHAAN - Pengertian Entrepreneurship
 
Profil yicm
Profil yicmProfil yicm
Profil yicm
 
Pemberdayaan komunitas untuk meningkatkan kemandirian rehabilitant di masyarakat
Pemberdayaan komunitas untuk meningkatkan kemandirian rehabilitant di masyarakatPemberdayaan komunitas untuk meningkatkan kemandirian rehabilitant di masyarakat
Pemberdayaan komunitas untuk meningkatkan kemandirian rehabilitant di masyarakat
 
Profil yicm
Profil yicmProfil yicm
Profil yicm
 
Regional Conference of Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitat...
Regional Conference of Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitat...Regional Conference of Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitat...
Regional Conference of Legal Protection for Child Victims of Sexual Exploitat...
 
Diseminasi-Penelitian-Filantropi-Islam-berkeadilan-sosial-AF-27mar2018.ppt
Diseminasi-Penelitian-Filantropi-Islam-berkeadilan-sosial-AF-27mar2018.pptDiseminasi-Penelitian-Filantropi-Islam-berkeadilan-sosial-AF-27mar2018.ppt
Diseminasi-Penelitian-Filantropi-Islam-berkeadilan-sosial-AF-27mar2018.ppt
 

More from Publish What You Pay (PWYP) Indonesia

Tata Kelola Pelayanan Informasi Publik pada Masa Darurat Kesehatan Masyarakat...
Tata Kelola Pelayanan Informasi Publik pada Masa Darurat Kesehatan Masyarakat...Tata Kelola Pelayanan Informasi Publik pada Masa Darurat Kesehatan Masyarakat...
Tata Kelola Pelayanan Informasi Publik pada Masa Darurat Kesehatan Masyarakat...
Publish What You Pay (PWYP) Indonesia
 

More from Publish What You Pay (PWYP) Indonesia (20)

Newsletter Voicing for Life April 2020 - English Version
Newsletter Voicing for Life April 2020 - English VersionNewsletter Voicing for Life April 2020 - English Version
Newsletter Voicing for Life April 2020 - English Version
 
Newsletter Voicing for Life Desember 2019
Newsletter Voicing for Life Desember 2019Newsletter Voicing for Life Desember 2019
Newsletter Voicing for Life Desember 2019
 
Newsletter Voicing for Life Desember 2019 - English Version
Newsletter Voicing for Life Desember 2019 - English VersionNewsletter Voicing for Life Desember 2019 - English Version
Newsletter Voicing for Life Desember 2019 - English Version
 
Newsletter Voicing for Life April 2020
Newsletter Voicing for Life April 2020Newsletter Voicing for Life April 2020
Newsletter Voicing for Life April 2020
 
Revenue and Fiscal System of Oil and Gas in Indonesia
Revenue and Fiscal System of Oil and Gas in IndonesiaRevenue and Fiscal System of Oil and Gas in Indonesia
Revenue and Fiscal System of Oil and Gas in Indonesia
 
Keterbukaan Kontrak dalam EITI
Keterbukaan Kontrak dalam EITIKeterbukaan Kontrak dalam EITI
Keterbukaan Kontrak dalam EITI
 
Akses Informasi Publik dan Keterbukaan Kontrak/Izin Industri Ekstraktif di 6 ...
Akses Informasi Publik dan Keterbukaan Kontrak/Izin Industri Ekstraktif di 6 ...Akses Informasi Publik dan Keterbukaan Kontrak/Izin Industri Ekstraktif di 6 ...
Akses Informasi Publik dan Keterbukaan Kontrak/Izin Industri Ekstraktif di 6 ...
 
Opportunities and Challenges of Contract Transparancy in the Implementation o...
Opportunities and Challenges of Contract Transparancy in the Implementation o...Opportunities and Challenges of Contract Transparancy in the Implementation o...
Opportunities and Challenges of Contract Transparancy in the Implementation o...
 
Acces to Public Information and Openess of Extractive Industry Contract / lic...
Acces to Public Information and Openess of Extractive Industry Contract / lic...Acces to Public Information and Openess of Extractive Industry Contract / lic...
Acces to Public Information and Openess of Extractive Industry Contract / lic...
 
Newsletter - Open Contracting - Juli 2020
Newsletter - Open Contracting - Juli 2020Newsletter - Open Contracting - Juli 2020
Newsletter - Open Contracting - Juli 2020
 
Newsletter - Open Contracting - July 2020
Newsletter - Open Contracting - July 2020Newsletter - Open Contracting - July 2020
Newsletter - Open Contracting - July 2020
 
Newsletter - Open Contracting - Mei 2020
Newsletter - Open Contracting - Mei 2020Newsletter - Open Contracting - Mei 2020
Newsletter - Open Contracting - Mei 2020
 
Newsletter - Open Contracting - May 2020
Newsletter - Open Contracting - May 2020Newsletter - Open Contracting - May 2020
Newsletter - Open Contracting - May 2020
 
Newsletter - Open Contracting - April 2020
Newsletter - Open Contracting - April 2020Newsletter - Open Contracting - April 2020
Newsletter - Open Contracting - April 2020
 
Newsletter - Open Contracting - Desember 2019
Newsletter - Open Contracting - Desember 2019Newsletter - Open Contracting - Desember 2019
Newsletter - Open Contracting - Desember 2019
 
Tata Kelola Pelayanan Informasi Publik pada Masa Darurat Kesehatan Masyarakat...
Tata Kelola Pelayanan Informasi Publik pada Masa Darurat Kesehatan Masyarakat...Tata Kelola Pelayanan Informasi Publik pada Masa Darurat Kesehatan Masyarakat...
Tata Kelola Pelayanan Informasi Publik pada Masa Darurat Kesehatan Masyarakat...
 
Kerangka Hukum keterbukaan Kontrak Migas dan Minerba di indonesia
Kerangka Hukum keterbukaan Kontrak Migas dan Minerba di indonesiaKerangka Hukum keterbukaan Kontrak Migas dan Minerba di indonesia
Kerangka Hukum keterbukaan Kontrak Migas dan Minerba di indonesia
 
Contract Disclosure and Beneficial Ownership Transparency
Contract Disclosure and Beneficial Ownership TransparencyContract Disclosure and Beneficial Ownership Transparency
Contract Disclosure and Beneficial Ownership Transparency
 
Peluang dan Tantangan Keterbukaan Kontrak dalam Pelaksanaan Standar EITI
Peluang dan Tantangan Keterbukaan Kontrak dalam Pelaksanaan Standar EITIPeluang dan Tantangan Keterbukaan Kontrak dalam Pelaksanaan Standar EITI
Peluang dan Tantangan Keterbukaan Kontrak dalam Pelaksanaan Standar EITI
 
Legal Framework of Contract Disclosure of Oil and Gas, Mineral and Coal Secto...
Legal Framework of Contract Disclosure of Oil and Gas, Mineral and Coal Secto...Legal Framework of Contract Disclosure of Oil and Gas, Mineral and Coal Secto...
Legal Framework of Contract Disclosure of Oil and Gas, Mineral and Coal Secto...
 

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

  • 1. Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara Pius Ginting Meliana Lumbantoruan Ronald Allan Barnacha
  • 2.
  • 3. Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara Pius Ginting Meliana Lumbantoruan Ronald Allan Barnacha
  • 4. Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara ii Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara ISBN : ..... KDT : ..... Penulis Pius Ginting Kepala Unit Kajian, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Meliana Lumbantoruan. Manajer Riset dan Pengetahuan, Publish What You Pay Indonesia Ronald Allan Barnacha Staf advokasi, Philippines Rural Reconstruction Movement (PRRM) Peninjau Christina Hill Koordinator advokasi pertambangan, Oxfam Australia Maryati Abdullah Koordinator Nasional, Publish What You Pay Indonesia Hak cipta dilindungi Edisi Pertama, 2015 Makalah ini diterbitkan oleh Yayasan Transparasi Sumberdaya Ekstraktif-Publish What YouPayIndonesia,dengandukungandariNaturalResourceGovernanceInstitute,United Stated Agency for International Development (USAID). Isi makalah adalah tanggung jawab Publish What You Pay (PWYP) Indonesia dan tidak serta-merta mencerminkan pandangan USAID, pemerintah Amerika Serikat, atau Natural Resource Governance Institute (NRGI). Publish What You Pay Indonesia Jl. Tebet Utara 2C No.22B, Jakarta Selatan 12810, Indonesia Telp/Fax :+62-21-8355560 | E: sekretariat@pwyp-indonesia.org
  • 5. iii Daftar Isi Latar belakang........................................................................................................................................................................4 Pentingnya hak komunitas dalam rantai nilai industri ekstraktif............................................................5 Pentingnya advokasi berbasis hak komunitas......................................................................................................7 Definisi dan Kerangka Internasional.........................................................................................................................8 Pendekatan Berbasis Hak...........................................................................................................................................8 Persetujuan atas dasar Informasi Awal tanpa Paksaan.............................................................................8 FPIC dalam kerangka pandangan ICMM.........................................................................................................12 Hak terhadap Informasi............................................................................................................................................17 Studi Kasus dari Asia Tenggara...................................................................................................................................18 Studi Kasus Indonesia................................................................................................................................................18 Sejarah Advokasi Hak Komunitas dan FPIC di Indonesia................................................................20 Kerangka Regulasi FPIC di Indonesia...........................................................................................................21 Peran CSO dalam Membangun Kesadaran dan Memberdayakan Komunitas....................... 23 Studi Kasus Filipina ................................................................................................................................................... 26 Kerangka Regulation............................................................................................................................................. 26 Konstitusi Filipina 1987.........................................................................................................................................27 Undang-undang hak asasi masy. adat 1997 (IPRA)................................................................................ 28 Perkembangan terbaru FPIC di dalam undang-undang Filipina...................................................31 Bagi hasil kepada masyarakat adat............................................................................................................... 35 Advokasi komunitas berbasis hak terkait operasi industri ekstraktif.......................................36 Perjuangan berlanjut............................................................................................................................................38 Peran organisasi masyarakat sipil.................................................................................................................38 Pengalaman Global .......................................................................................................................................................... 42 Studi Kasus Australia................................................................................................................................................. 42 Studi Kasus Norwegia: Bagaimana Menghormati Masyarakat Adat Mancanegara................43 Pelajaran dan Rekomendasi.........................................................................................................................................44 Pelajaran tentang Kerangka Regulasi................................................................................................................44 Pelajaran tentang Peran CSO dan Pemberdayaan Komunitas.............................................................44 Pelajaran tentang Kebijakan dan Advokasi Kelembagaan.....................................................................45 Daftar Pustaka....................................................................................................................................................................46
  • 6. Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara iv Kata Pengantar I ndustri ekstraktif (extractive industries/ EI) telah memainkan peran yang lebih aktif di negara-negara Asia Tenggara. Dalam hal itu, terdapat hak-hak masyarakat yang harus dihormati. Salah satu pendekatan yang sering digunakan adalah pendekatan berbasis hak asasi manusia, atau disingkat advokasi berbasis hak, biasanya diasosiasikan dengan advokasi berbasis kebutuhan. Dalam advokasi berbasis hak, persoalan ekonomi, sosial dan politik yang dihadapi sebuah komunitas dilihat dari hak yang tidak dapat dicabut (inalienable rights) dilindungi dan dihormati dan menganggap hak asasi manusia tak terlindungi, tak terpenuhi dan tak terduga dan dengan mengakses hak-haknya, komunitas tersebut bisa secara bertanggung jawab menggunakannya untuk menciptakan kehidupan komunitas yang konstruktif. Sementara itu, dalam advokasi komunitas berbasis kebutuhan, sebuah komunitas dipandang sebagai kelompok yang berurusan dengan masalah dan butuh menjadi target tindakan karitatif. Pendekatan berbasis hak harus diterapkan di dalam keseluruhan mata rantai industri ekstraktif. Perhatian utama di tahapan ini ialah hak-hak masyarakat terhadap lingkungan yang aman dan hak atas tanah dan jaminan bahwa pengembangan “tingkat kandungan lokal, adanya pemantauan partisipatif yang berkeadilan dalam distribusi pendapatan dan dari sektor ekstraktif, dan memastikan jaminan pasca operasi tambang dengan melakukan rehabilitasi lingkungan untuk memastikan standar keamanan dan lingkungan. Tulisan ini akan mengulas tentang beberapa pengalaman advokasi komunitas berbasis hak dari negara Asia Tenggara, antara lain Indonesia dan Filipina. Ulasannya mencakup pada sisi regulasi hak komunitas, peran masyarakat sipil dalam advokasi dan menampilkan beberapa studi kasus dari pengalaman masing-masing negara. Selain membahas pengalaman dan pembelajaran dari Asia Tenggara, dalam tulisan ini juga memaparkan pembelajaran Internasional, yaitu dari Negara Australia dan Norwegia. Kami ucapkan terima kasih atas kerjasama segenap pihak yang membantu para penulis untuk menyelesaikan tulisan ini. Terselesaikannya tulisan ini tidak luput dari dukungan USAID, Natural Resource Governance Institute (NRGI), dan terkhusus buat Chritina Hill yang sudah mau memberikan masukan untuk isi tulisan ini, dan terkahir tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih untuk dukungan seluruh rekan-rekan Sekretariat Nasional PWYP Indonesia. Jakarta, Mei 2015 Maryati Abdullah Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia
  • 7. 1 P endekatan berbasis hak asasi manusia, atau disingkat advokasi berbasis hak, biasanya diasosiasikan dengan advokasi berbasis kebutuhan. Namun, keduanya sebetulnya dapat dibedakan. Di dalam advokasi berbasis hak, persoalan ekonomi, sosial dan politik yang dihadapi sebuah komunitas dilihat dari hak yang tidak dapat dicabut (inalienable rights) dilindungi dan dihormati. Sementara itu, di dalam advokasi komunitas berbasis kebutuhan, sebuah komunitas dipandang sebagai kelompok yang berurusan dengan masalah dan butuh menjadi target tindakan karitatif. Di dalam pendekatan berbasis kebutuhan, sebuah komunitas memandang dirinya sendiri sebagai kelompok yang dirugikan dan memerlukan bantuan. Sebaliknya, pendekatan berbasis hak menganggap hak asasi manusia tak terlindungi, tak terpenuhi dan tak terduga dan dengan mengakses hak-haknya, komunitas tersebut bisa secara bertanggung jawab menggunakannya untuk menciptakan kehidupan komunitas yang konstruktif. Industri ekstraktif (extractive industries/EI) telah memainkan peran yang lebih aktif di negara- negara Asia Tenggara sebagaimana dapat dilihat dari tren data perdagangan di sektor ekstraktif. Menurut data perdagangan, ekspor dan impor intra- dan ekstra-ASEAN pada 2013 di sektor ekstraktif menduduki tempat kedua tertinggi di dalam total perdagangan terbesar ASEAN. Total nilai perdagangan intra dan ekstra di sector ekstraktif per 2013 adalah US$493988 juta (nilai ekspor: US$ 220166 juta dan nilai impor: US$273821 juta).Andil nilai perdagangan keseluruhan sektor ekstraktif adalah 19,7% terhadap perdagangan total ASEAN. Tren tersebut juga terjadi di Indonesia pasca krisis ekonomi 1998 sebagaimana dibuktikan oleh peningkatan jumlah izin dari kurang dari 4.000 di dalam periode sebelum krisis menjadi 10.918 pada 2014.1 Nilai ekspor dari sektor ekstraktif juga mengikuti tren kenaikan dengan nilai ekspor batubara melonjak tajam hingga 600% dari hampir US$ 4 milyar di 2005 ke US$ 24 milyar di 2013 seperti ditunjukkan grafik di bawah ini. Gambar 1. Nilai Ekspor Tiga Komoditas Mineral Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014 Namun, meskipun nilai ekonominya besar, aktivitas intensif di sektor EItidaklah secara otomatis memperbaiki kehidupan warga yang mendiami wilayah di sekitar lokasi pertambangan. Nyatanya, banyak wilayah dengan EIdi Indonesia masih terbelakang. Misalnya, Sumbawa Barat, Mimika, Bangka Selatan, Morowali, danKutai Barat.2Hingga batas tertentu, factor-faktor geografis di daerah-daerah terpencil menimbulkan tantangan untuk membangun infrastruktur yang diperlukan agar bisa mengangkat suatu wilayah dari status keterbelakangannya. Tetapi tampaknya 1 Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi danSumber Daya Mineral Maret 2014. 2 http://www.kemenegpdt.go.id/hal/300027/183-kab-daerah-tertinggal Latar Belakang 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 4,354.1 6,085.7 6,681.4 10,485.2 13,817.1 Export Value (US$ 000.000) US$000.000 18,499.4 27,221.9 26,166.3 24,501.4
  • 8. Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara 2 industri ekstraktif justru punya andil terhadap keadaan ini karena meskipun jangka waktu operasi yang lama di daerah-daerah ini, ia tidak mampu menyejahterakan penduduk setempat. Dalam hal pekerjaan, sektor ekstraktif hanya mempekerjakan 1.555.564 orang(1% dari jumlah seluruh pekerjaan yang ada). Angka ini relatif kecil dibandingkanpertanian, perkebunan, danperikanan yang menyerap 35% dari angkatan kerja (Badan Pusat Statistik Indonesia).Menurut Kementerian Perindustrian, dari 2009 ke 2013 industri ini telah menciptakan sekitar 60.000 lapangan kerja.3 Sektor pertambangan menyerap lebih sedikit tenaga kerja karena industri ekstraktif bergantung pada teknologi mekanis yang tidak membutuhkan banyak orang. Karena di bawah mekanisme pasar warga lokal tidak secara otomatis dipekerjakan di industri ekstraktif, advokasi berbasis hak wajib diterapkan. Untuk mencegah keterbelakangan komunitas yang menghuni wilayah di sekeliling lokasi industri ekstraktif, konsensus untuk melakukan kegiatan-kegiatan industri ini harus lahir hanya melalui pertimbangan persetujuan atas dasar informasi tanpa paksaan (free informed consent). Banyak komunitas merasa putus asa dan frustrasi karena operasi industri ekstraktif di dalam ruang hidupnya. Industri ekstraktif dipandang sebagai penyebab gangguan di dalam pola kehidupan tradisional mereka, mencemari air, udara dan laut, serta memicu perampasan lahan. Mereka juga mengeluhkan bahwa industry ekstraktif memiliki kekuasaan dan sekutu yang kuat. Oleh karena itu, komunitas merasa mereka tidak memiliki harapan selain menerima dampak negatif industri ekstraktif. Pentingnya hak komunitas dalam rantai nilai industri ekstraktif Industri ekstraktif mungkin menimbulkan beragam dampak lingkungan dan sosio- ekonomis. IEseharusnya berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan sehingga pengembangan IE seharusnya dipandu oleh 3 http://www.pwc.com.au/asia-practice/indonesia/assets/publications/ mineIndonesia-May-2013.pdf, page 28 tata kelola yang kuat dan prinsip-prinsip yang transparan dari penyerapan kontrak dan lisensi, melaluioperasiladangminyak,hinggapemungutan dan penggunaan akhir dari hasil sewa. Berikut Rantai Pasok IE: Bagan1 :Rantai Nilai Industri Ekstraktif Sumber: E Mayorga Alba, 2009 - EI Value Chain: A comprehensive integrated approach to developing EI Pendekatan berbasis hak harus diterapkan di dalam keseluruhan mata rantai industri ekstraktif. Tahap pertama dari rantai tersebut adalah persiapan wilayah pertambangan. Perhatian utama di tahapan ini ialah hak-hak masyarakat terhadap lingkungan yang aman dan hak atas tanah dan jaminan bahwa pengembangan “tingkat kandungan lokal” (local content)– termasuk konsultasi lokal dan penggunaan tenaga kerja, barang dan jasa setempat – adalah aspek kunci di dalam proyek hidrokarbon dan pertambangan. Apabila ditetapkan secara tepat, kewajiban tingkat kandungan lokal bisa meningkatkan manfaat ekonomi dan sosial proyek dan membantu mengurangi risiko jangka panjang. Pada rantai kedua, selama fase operasi, masyarakat harus berjuang untuk mendapatkan perhatian bagi isu-isu lingkungan seperti keterlibatan di dalam konsultasi awal dan praktik pemantauan partisipatif serta keadilan dalam distribusi pendapatan dan dari sektor ekstraktif. Kapasitas administratif dan audit serta jaminan akan adanya pelaporan publik yang regular adalah rantai ketiga. Rantai keempat ialah memastikan bahwa bagi penghasilan antara pemerintah pusat danpemeritahdaerahditetapkanmelaluikonstitusi negara ataupun perangkat hukum. Lalu rantai kelima adalah mendorong evaluasi proyek-proyek IE yang menyertakan estimasi dampak lingkungan dan sosialnya, dan manfaat sosioekonomi yang diharapkan serta keberlanjutannya dalam jangka panjang, dan juga menaruh perhatian pada isu-isu
  • 9. 3 terkait penonaktifan ladang minyak dan gas serta tambang yang patut diperhatikan secara cermat, termasuk pemantauan pasca penutupan. Operasi pasca penambangan dan rehabilitasi lingkungan yang rusak krusial untuk memastikan standar keamanan dan lingkungan. Selain itu, kegiatan ekonomi pasca penambangan juga harus menjadi perhatian. Jika masyarakat sadar akan hak-haknya dan mampu memperjuangkan agar hal itu dipenuhi, isu-isu ini bisa ditangani dengan baik dan mereka tidak akan menjadiwarga negara yang lemah dan terus berada dalam ketidakpastian seperti halnya dalam pendekatan karitatif. Pendekatan berbasis hak di dalam industri ekstraktif vital untuk menjamin bahwa orang- orang ini bisa memperoleh dampak positif dari kehadiran industri tersebut dan ini tidak hanya dirasakan oleh segelintir elit, tetapi juga oleh seluruh komunitas. Penerapan pendekatan berbasis hak akan mengatasi efek-efek negatif dari kegiatan industri ekstraktif, yang menghasilkan fenomena kutukan sumber daya (resource-curse phenomenon), karena hak komunitas dilindungi, dihormati dan dipenuhi berdasarkan aturan hukum internasional dan nasional sebagaimana kebutuhannya untuk menerapkan pembangunan partisipatif. Karena industri ekstraktif memiliki karakter yang spesifik, yang membawa dampak lingkungan yang besar terhadap warga sekitarnya dan mencakup serangkaian kegiatan di bidang pertambangan/ekstraksi, maka pendekatan berbasis hal ideal diberlakukan di tiap fase kegiatan – (1) di dalam konsensus apakah pertambangan tersebut dilakukan atau tidak(2) selama produksi, seperti peningkatan produksi dan aspek-aspek lingkungan di seluruh proses produksi, (3) transportasi hasil tambang yang bisa menghasilkandebusepanjangrute,dan(4)kegiatan pasca-pertambangan. Fase-fase ini diilustrasikan di dalam gambar berikut. Gambar 2 : Titik Krusial dalam Siklus Pertambangan bagi FPIC Sumber:Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (diolah)
  • 10. Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara 4 Pentingnya advokasi berbasis hak komunitas A dvokasiadalahprosespemanfaataninformasi secara strategis untuk mengubah kebijakan yang mempengaruhi hidup masyarakat yang dirugikan (disadvantaged people). Seringkali ia melibatkan lembaga-lembaga lobi pembangunan dan politik di belahan Utara. Keterampilan advokasi digunakan untuk menggugat kebijakan lokal, nasional dan internasional, memperkuat struktur yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam perumusan kebijakan yang mengendalikan hidup mereka dan membuka kesempatan agar masyarakat dapat terlibat di dalam perubahan kebijakan. Salah satu jenis advokasi dikenal sebagai advokasi berbasis hak komunitas. Advokasi berbasis hak komunitas telah dipromosikan dan dilakukan oleh organisasi- organisasi masyarakat sipil. Advokasi tipe ini berbeda dengan advokasi yang menawarkan bantuan kepada suatu komunitas tanpa menyediakan suatu kerangka yang solid mengenai hak-hakmasyarakatdanyangmemandangmereka sebagai penerima alih-alih objek dengan hak-hak yang kuat. Signifikansi advokasi berbasis hak didasarkan pada asumsi bahwa sebuah komunitas bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik apabila negara memenuhi hak-haknya dan di dalam suatu negara demokratis yang mengindahkan hukum, hak-hak yang diakui tersebut memadai untuk mewujudkan hidup yang bermartabat. Jika hak- hak tersebut masih belum ada, mereka haruslah diperjuangkan oleh organisasi masyarakat sipil dan komunitas. Advokasi berbasis hak memastikan bahwa jasa-jasa untuk memenuhi hak-hak komunitas akan berlangsung melampaui masa advokasi dan ini agak berbeda dengan pendekatan berbasis bantuan, di mana jasa-jasa untuk menyalurkan bantuan akan terhenti ketika program terhenti karena pertimbangan tertentu.
  • 11. 5 Definisi&Kerangka Internasional Pendekatan berbasis hak Pendekatan berbasis hak bisa dilacak dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan perjanjian lainnya yang membentuk Perundang-undangan Hak Internasional (International Bill of Rights). Hak-hak yang dicakup oleh perjanjian tersebut meliputihakataskehidupan,kemerdekaan(liberty) dan keamanan seseorang; hak persamaan di hadapan hukum; hak atas pendidikan dasar secara cuma-cuma; hak atas pekerjaan dan upah yang adil; hak atas kebebasan berpindah tempat, bertempat tinggal dan kebangsaan; kebebasan berpendapat, hati nurani, berkepercayaan, beragama dan hak untuk memiliki dan mengungkapkan pendapat tanpa intervensi. Negara-negara yang telah menyetujui hak-hak asasi manusia yang mendasar ini mempunyai kewajiban hukum danmoral untuk menjamin pelaksanaan hak-hak tersebut. Mereka adalah penanggung kewajiban hukumdari hak-hak ini dan harus menghormati kewajiban terhadap warga negaranya tersebut. Dengan deklarasi ini, hak komunitas disebut berdasarkan hak asasi manusia. Pendekatan berbasis hak asasi manusia merupakan kerangka konseptual bagi proses perkembangan manusia yang secara normatif berlandaskan standar-standar hak asasi manusia internasional dan secara operasional diarahkan untukmempromosikandanmelindungimanusiadi dalam permasalahan pembangunan dan menyasar praktik-praktik diskriminasi dan distribusi kekuasaan yang tidak merata yang menghambat kemajuan pembangunan. Di dalam pendekatan hak asasi manusia, rencana, kebijakan dan proses pembangunan ditambatkan pada sistem hak dan kewajiban yang terkait dengannya yang ditetapkan lewat hukum internasional. Dengan demikian, pendekatan ini dapat mempromosikan keberlanjutan pembangunan, pemberdayaan, khususnya pada kelompok masyarakat yang paling marjinal,untukberperansertadidalamperumusan kebijakan dana menuntut pertanggungjawaban terhadap mereka yang berkewajiban untuk bertindak. Pendekatan berbasis hak mengakui penyebab kemiskinan, penderitaan dan ketidakadilan terletak pada pelanggaran hak-hak masyarakat dan mereka yang hak-hak asasi paling mendasarnya diingkari memiliki posisi secara hukum untukmengadvokasi demi perubahan. Paradigma ini ditransformasikan dari paradigma yang memandang masyarakat sebagai ‘warga yang membutuhkan’ ke paradigma yang memandang bahwa apa yang secara fundamendal dan legal menjadi hak-hak masyarakat diingkari. Oleh karena itu, tugas utama di dalam mengadopsi pendekatan berbasis hak di dalam pembangunan komunitas adalah untuk menentukan bagaimana isu-isuyangdiidentifikasiolehmasyarakattersebut berkorespondensi dengan hak-hak asasi yang hakiki, dan menggali bagaimana cara terbaik untuk menerapkan hak-hak ini di ranah lokal, nasional dan internasional. Lebih jauh, pendekatan berbasis hak bertujuan untuk memperkuat kemampuan negara untuk memenuhi kewajibannya sebagai penyandang kewajiban (duty bearers) dan memperluas kesempatan dialog yang konstruktif dengan penyandang hak. Persetujuan atas dasar Informasi awal tanpa paksaan (Free,prior and informed consent/ FPIC) Salah satu syarat advokasi berbasis hak adalah persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (Free and Prior Informed Consent). FPIC
  • 12. Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara 6 ialah mekanisme dan proses di mana masyarakat adat (indigenous peoples/IPs) mengambil keputusan mereka sendiri atau independen kolektif mengenai persoalan-persoalan yang mempengaruhi mereka sebagai perwujudan hak atas tanah mereka, wilayah and sumber daya; hak mereka untuk menentukan nasib sendiri (self- determination); dan integritas budaya. FPIC dibuat sebagai suatu perangkat hukum lunak di dalam Deklarasi Masyarakat Adat PBB (United Nations Declarations on the Rights of Indigenous Peoples/ UNRIP). FPIC bertujuan untuk menciptakan dialog dengan masyarakat dan mencapai kesepakatan tentang kapan dan di mana untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mungkin memiliki dampak signifikan pada masyarakat lokal dan lingkungan, dan sifat dari kompensasi dan paket manfaat yang terkait, mengatasi perbedaan kekuasaan dalam negosiasi di mana komunitas- komunitas semuanya terlalu sering memiliki suara yang jauh lebih lemah ketimbang pemerintah dan perusahaan-perusahaan. 4 Meski tidak memiliki definisi universal, FPIC umumnya menghendaki agar komunitas- komunitas diberi informasi secara memadai mengenai proyek-proyek pembangunan tepat pada waktunya dan diberikan kesempatan untuk menyetujui atau menolak proyek-proyek ini lepas dari tekanan yang tidak semestinya. FPIC merupakan hak yang disandang masyarakat adat berdasarkanhukuminternasionaldanmengemuka secara luas sebagai prinsip praktik terbaik bagi pembangunan berkelanjutan. FPIC juga bisa dilihat dari tingkat internasional dan regional. Berikut penjelasan dari kerangka tersebut: I. Tingkat Internasional Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional mengenai Masyarakat Adat dan Suku Asli di Negara-negara Merdeka (International LaborOrganizations’ Convention on Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries) - 169/1989 merujuk pada prinsip persetujuan atas dasar informasi tanpa paksaan di dalam konteks 4 Abbi Buxton and Emma Wilson, FPIC and Extractive Industries. IIED:UK. 2013, hlm. 4 relokasi masyarakat adat dari tanah mereka di pasal 6.Dalam pasal 6, 7 dan 15, konvensi tersebut bermaksud memastikan bahwa tiap upaya yang dilakukan Negara telah melalui konsultasi penuh dengan Masyarakat Adat terkait pembangunan, tanah dan sumber daya. 5 Naskah Deklarasi PBB mengenai Hak-hak MasyarakatAdat(UnitedNationsDraftDeclaration on the Rights of Indigenous People/’UNDD’) (Sub- komisi resolusi 1994/45, tambahan) merupakan instrumen yang mengemuka terkait hak-hak masyarakat asli yang secara eksplisit mengakui prinsipFPIC di dalamartikel 1, 12, 20, 27 dan 30. UNDD mengacu pada hak Masyarakat Adat untuk menentukan dan mengembangkan prioritas- prioritas dan strategi-strategi pembangunan atau menggunakan tanah, wilayah dan sumber daya lain yang mereka miliki, termasuk FPIC dari negara terkait dengan pembangunan dan pemanfaatkan sumber permukaan dan sumber sub-permukaan seperti: a) Pasal 10 tentang relokasi paksa; b)Pasal12tentangbudayadankekayaanintelektual; c) Article 20 terkait tindakan legislatif dan administratif yang diambil oleh Negara d) Article 27 terkait tanah, wilayah dan sumber daya masyarakat adat; e) Article 30 dengan perencanaan pembangunan.6 Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Racial (UN Committee on the Elimination of Racial Discrimination/‘CERD’)membuat observasi dan rekomendasi mengenai kewajiban Negara di bawah konvensi dan menghimbau Negara untuk ‘memastikan bahwa para anggota masyarakat adat memiliki hak-hak terkait peran serta yang efektif di dalam kehidupan publik dan bahwa tidak ada keputusan yang secara langsung berhubungan denganhak-hakdankepentingannyadiambiltanpa persetujuan atas dasar informasi’ (Rekomendasi Umum XXIII 51 mengenai Orang-orang Asli yang diadopsi pada Pertemuan Komite ke 1235, 1997). 5 Ronald busiinge, FPIC Concepts to responsible mining in sustaining rivers and community, http://archive.riversymposium.com/index. php?element=BUSIINGE 6 Parshuram Tamang. An Overview of the Principle of Free, Prior and Informed Consent and Indigenous Peoples in International and Domestic Law and Practices. New York: 2005
  • 13. 7 Pada 2000, di dalam kesimpulan observasinya terhadap laporan Australia, CERD menegaskan, rekomendasinya bahwa pihak Negara menjamin peran serta yang efektif dari komunitas- komunitas asli di dalam pelbagai keputusan yang mempengaruhi hak-hak mereka atas tanah, sebagaimana dituntut pasal 5C dari Konvensi dan Rekomendasi Umum XXIII dari Komite, yang menekankan pentingnya menjamin ‘persetujuan atas dasar informasi’ dari masyarakat adat.7 Konvensi Keanekaragaman Biologis (Convention on Biological Diversity/’CBD’) 1992 di dalam pasal 8(J) meminta Negara-negara yang terikat kontrak menghormati, melestarikan dan mempertahankan pengetahuan, inovasi dan praktik komunitas-komunitas lokal dan asli untuk mempromosikan penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemangku kepentingan dari aset tersebut. Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development) 1992 menerima masyarakat adat sebagai kelompok utama implementasi Agenda 21. Pasal 22 Deklarasi Rio secara eksplisitmenyebutkan bahwa masyarakat adat dan komunitasnya dan komunitas lokal lainnya berperan vital di dalam pengelolaan lingkungandanpembangunankarenapengetahuan dan praktik-praktik tradisional mereka. Negara seharusnya mengakui dan sepatutnya mendukung identitas, budaya dan kepentingan mereka, dan memungkinkan peran serta mereka secara efektif untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Agenda 21 dan Prinsip-prinsi Hutan mengakui: hak- hak adat terhadap tanah dan kekayaan intelektual dan budaya dan mempertahankan praktik adat dan administratifnya; kebutuhan akan partisipasi yang lebih besar; nilai dari keterlibatan mereka di dalam pengelolaan dan pelestarian hutan. II. Tingkat Regional Naskah Deklarasi Amerika tentang Hak-hak Masyarakat Adat dari Organisasi Negara-negara Bagian Amerika (American Declaration on the Rights of Indigenous Peoples of the Organization of American States/‘OAS’)pada pasal XVII dan 7 Opcit, hlm. 5 XXIII menyatakan bahwa Negara memperoleh FPIC sebelum persetujuan proyek apapun yang mempengaruhi tanah, wilayah dan sumber daya masyarakatadat,khususnyaterkaitpembangunan, pemanfaatan atau eksplorasi mineral, air dan sumber daya. Komisi Hak Asasi Inter-Amerika (Inter- American Commission on Human Rights/‘IACHR’) telah mengembangkan jurisprudensi yang luas mengenai FPIC. Komisi tersebut telah menyatakan hukum hak asasi manusia Inter-Amerika membutuhkan ‘langkah-langkah khusus untuk menjamin pengakuan terhadap kepentingan khusus dan kolektif yang masyarakat adat miliki di dalampekerjaandanpenggunaanlahantradisional dan sumber daya mereka serta hak untuk tidak dicerabut dari kepentingan ini, kecuali dengan persetujuan tanpa paksaan atas dasar informasi’. Pada 2003, IACHRmenyatakan bahwa FPIC secara umum dapat diterapkan pada ‘keputusan oleh Negara yang akan membawa dampak kepada tanah masyarakat adat dan komunitasnya, seperti pemberian konsesi untuk mengeksploitasi sumber daya alama di wilayah-wilayah adat’.8 Strategi dan Prosedur pada Isu-isu Sosio- budaya yang terkait dengan Lingkungan Bank Pembangunan Inter-Amerika (Inter-American Development Bank/‘IADB’) 1990 menetapkan bahwa secara umum IDB tidak akan mendukung proyek-proyek yang mengenai tanah dan wilayah kesukuan, kecuali jika disetujui masyarakat suku asli’. FPIC sudah disertakan di dalam kebijakan IADB menenai Transmigrasi Non-Sukarela. Pada 1998Dewan Menteri Uni Eropa(European Union/EU) mengadopsi sebuah Resolusi yang berjudul Masyarakat Suku Asli di dalam Kerangka Kerjasama Pembangunan Komunitas dan Negara- negara Anggota. Kerangka tersebut menetapkan bahwa ‘masyarakat asli berhak menentukan jalur pembangunannya sendiri, yang mencakup hak terhadap objek-objek, khususnya di lingkungan tradisional mereka. Hal ini diteguhkan lagi pada 2002 oleh Komisi Europa, yang menyatakan bahwa EU mengartikan penyataan ini setara dengan FPIC. 8 Fergus Mackey, A Guide to Indigenous Peoples’ Rights in the Inter- American Human Rights System. FPP: 2001
  • 14. Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara 8 Sementara itu, negara-negara di wilayah Asia Tenggaramengadopsiinstrumenhakasasimanusia kawasan pertama kali pada 18 November 2012 yang disebut sebagaiDeklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN (ASEAN Human Right Declaration/AHRD) - Pernyataan Phnom Penh.9 AHRD merupakan tata carastandar pertama, dokumen politik untuk mengkodifikasikan hak-hak asasi mendasar dan kebebasan fundamental di negara-negara anggota ASEAN yang harus mereka hormati, promosikan dan lindungi.Deklarasi ini juga merupakan perwujudan komitmen para pemerintah ASEAN untuk mengamankan hak-hak asasi manusia dan kebebeasan fundamental masyarakat ASEAN. AHRD sejalan dengan komitmen ASEAN di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Di sisi lain, pembukaan Naskah Perjanjian ASEAN tentang Akses terhadap Sumber Daya Biologis dan Genetis (Southeast Asian Nations DraftAgreementonAccesstoBiologicalandGenetic Resources) (2000) mengakui prinsip fundamental bahwa persetujuan atas dasar informasi tanpa paksaan dari Negara Anggota dan masyarakat asli serta komunitasnya yang mengejawantahkan gaya hidup tradisional haruslah dijamin sebelum akses dapat terjadi.10 III. Tingkat Nasional Filipina, Malaysia, Australia, Venezuela, Peru, dan sebagainya memiliki legislasi nasional mengenai persetujuan atas dasar informasi tanpa paksaan masyarakat adat untuk seluruh kegiatan yang berdampak pada tanah dan wilayahnya, sebagai contoh. Di Filipina Undang-undang Hak-hak Masyarakat Adat (1997) mengakui hak masyarakat adat terhadap FPIC untuk semua kegiatan yang mempengaruhi tanah dan wilayahnya termasuk: a) Eksplorasi, pembangunan dan penggunaan sumber daya alam; b) Penelitian bioprospecting; c) Pemindahan dan relokasi; 9 AICHR:What you need to know (2nd edition). 2012, The ASEAN Secretariat : Jakarta 10 Makalah Kebijakan. Framework for incorporating indigenous communities within the rules accompanying the Sabah Biodiversity Enactment 2000. November : 2004 d) Eksplorasi arkeologis; e) Kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi Masyarakat Adat seperti Perintah Eksektutif 263 (Pengelolaan Hutan Berbasis Komunitas); f) Masuknya militer. Venezuela mengadopsi sebuah hukum tentang keanekaragaman hayati (biodiversity)pada Mei 2000. Pasal 39 menetapkan bahwa pelestarian keanekaragaman budaya melalui pengakuan dan promosi pengetahuan tradisional (traditional knowledge/’TK’) danPasal 44 memilik ketentuan bahwa penyandang TK ini dapat menentang penyerahan akses terhadap sumber daya atau materigenetisatauprojekTKdiwilayahmerekaatau meminta pemberhentian kegiatan yang mereka takutkan akan berdampak terhadap warisan budaya dan keanekaragaman hayatinya.11 Negara bagian Sarawak, Malaysia, menyetujui Ordonansi Pusat Keanekaragaman Hayati Sarawak 1977, dan kemudian Regulasi-regulasi Keanekaragaman Hayati Sarawak 1998 (Akses, Koleksi dan Penelitian). Dewan Sarawak bertanggungjawab atas pengaturan akses, koleksi, riset, proteksi, pemanfaatan dan ekspor sumber daya biologis Negara bagian. Pada 2004, Negara Bagian Sabah di dalam ‘Kerangka untuk mempersatukan masyarakat adat dengan peraturan-peraturan yang menyertai Undang-undang Keanekaragaman Hayati Sabah 2000’ menciptakan system aturan yang menjamin bahwa masyarakat asli ‘akan sepanjang waktu dan senantiasa menjadi pencipta, penggunadanpemeliharapengetahuantradisional dan akan secara kolektif menikmati manfaat dari penggunaan pengalaman semacam itu. Di lima negara bagian Australia, persetujuan tanpa paksaan telah diperoleh melalui Dewan Pertanahan yang dikendalikan masyarakat asli secara hukum di kawasan tambang selama lebih dari 30 tahun. Prosedur persetujuan ini diulas oleh Institut Penelitian Ekonomi dan Industri Nasional pada 1999, yang mendapati bahwa mereka telah sukses di dalam mengawal kontrol masyarakat Aborigin terhadap tanahnya dan juga 11 Gupta, Anil K. (2004), WIPO-UNEP Study on the Role of Intellectual Property Rights in the Sharing of Benefits Arising from the Use of Biological Resources and Associated Traditional Knowledge, WIPO AND UNEP.Study No. 4.
  • 15. 9 ICMM member commitments 10 principles for sustainable development + 6 position statements 1. Implement ethical business practices and apply good corporate governance 2. Integrate SD in corporate decision-making 3. Uphold fundamental human rights 4. Manage risks based on sound science 5/6. Improve environment, health and safety performance continuously 7. Conserve biodiversity & contribute to integrated land use planning 8. Encourage a life cycle approach to materials management 9. Contribute to community development 10. Publicy report, independently assure and engage openly and transparently Mining and Protected Areas Mining: Partnerships for Development Climate Change Mining and Indigenous Peoples Mercury Risk Management Transparency of Mineral Revenues ICMM at a glance ICMM Vision leading mining and metals companies working together and with others to strengthen the contribution to sustainable development Fundamental implication creating value for shareholders while simultaneously creating value for the communities and societies in which they operate Our role: a catalyst for improving enviromental and social performance in the mining and metal’s industry Sumber: Pertambangan untuk Pembangunan (Presentasi untuk Forum Antar-pemerintah mengenai Pertambangan, Mineral, Logam dan Pembangunan Berkelanjutan), FernandesDiez (www.icmm.com) menetapkan bahwa sebuah proses negosiasi yang memungkinkan peningkatan porsi lahan Aborigin di Teritori tersedia bagi eksplorasi mineral. Secara keseluruhan, syarat utama FPIC ialah partisipatoris. Partisipatoris diperlukan karena di dalam proses FPIC keputusan-keputusan yang diambil akan mengarah pada pembangunan sumber daya yang secara sosial dapat diterima dan secara politik berkelanjutan, sertaakan menyediakan pertimbangan yang berimbang dari pemerintah, perusahaan-perusahaan dan masyarakat sipil. FPIC tentang Pandangan Kerangka ICMM Di samping kerangka tersebut di atas, terdapat pula kerangka dan pandangan lain mengenai FPIC. Dewan Internasional Tambang dan Logam (International Council on Mining and Metals/ ICMM) didirikan pada 2001 untuk memperbaiki kinerja pembangunan yang berkelanjutan di industri tambang dan logam. Sasaran utama ICMM ialah untuk membangun hubungan yang konstruktif antara perusahaan-perusahaan tambang dan logam dengan masyarakat asli berdasarkan saling menghormati, keterlibatan yang bermakna, kepercayaan dan manfaat bersama. Di dalam kerangka ICMM, FPIC meliputi suatu proses dan hasil. Melalui proses ini, Masyarakat Adat: (i) mampu mengambil keputusan tanpa paksaan, intimidasi atau manipulasi; (ii) diberi waktu yang cukup untuk terlibat di dalam pembuatan keputusan proyek sebelum keputusan-keputusan kunci dibuat dan dampaknya terjadi; dan (iii) diinformasikan secara penuh mengenai proyek tersebut serta dampak dan manfaat potensialnya. Hasilnya, Masyarakat Asli bisa memberi atau menahan persetujuan tanpa paksaan terhadap suatu proyek, melalui sebuah proses yang diusahakan konsisten dengan proses pembuatan keputusan tradisional mereka sembari menghormati hak-hak asasi manusia yang diakui secara internasional dan berdasarkan pada perundingan dengan itikad baik. Komitmen di dalam pernyataan posisi yang terkait dengan persetujuan tanpa paksaan ini berlaku bagi proyek-proyek baru dan mengubah proyek-proyek yang sudah ada, yang mungkin sekali akan memilik dampak yang signifikan bagi komunitas masyarakat adat. Pernyataan posisi ini tidak berlaku surut. Di mana masyarakat adat dan bukan masyarakat adat kemungkinan akan terdampak secara signifikan, para anggota boleh memilih untuk memperluas komitmen yang dicantumkan di dalam pernyataan posisi tersebut kepada masyarakat di luar masyarakat adat. Gambar 3: Visi dan Komitmen ICMM
  • 16. Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara 10 Mengenai kerangka ICMM, seluruh anggota mengakui bahwa: 1. Masyarakat Adat memiliki hubungan yang khusus dan mendalam dengan, dan diidentifikasikan dengan, tanah dan air dan unsur-unsur ini terikat pada kesejahteraan fisik, spiritual, budaya dan ekonomi. Mereka juga mungkin mempunyai pengetahuan dan pengalaman tradisional yang berharga di dalam mengelola lingkungan secara berkelanjutan. Masyarakat Adat di banyak wilayah di seluruh dunia sudah secara historis dirugikan dan mungkin masih sering mengalami diskriminasi, tingkat kemiskinan yang tinggi dan kerugian. Proyek-proyek tambang dan logam bisa memiliki imbas positif dan negatif yang signifikan pada komunitas-komunitas lokal. 2. Kepentingan-kepentingan Masyarakat Adat di proyek-proyek tambang dan logam umumnya diakui sebagai satu atau lebih dari hal-hal berikut: pemilik sertifikat formal lahan atau kepentinganhukumyangdiakuiataslahanatau sumber daya; penuntut kepemilikan atas lahan atau sumber daya; secara adat pemilik atau penghuni lahan atau sumber daya; pengguna lahan atau sumber daya untuk keperluan- keperluan seperti berburu, memancing, mengumpulkan benih/buah dan obat, atau untuk keperluan spiritual atau ritual; berada dalam objek material atau sumber daya budaya yang bermakna; berada dalam lanskap yang punya arti khusus karena asosiasi, tradisi atau kepercayaan; anggota dari komunitas setempat yang lingkungan sosial, ekonomi dan fisiknya mungkin dipengaruhi oleh pertambangan dan kegiatan terkait. 3. Masyarakat Adat memiliki hak-hak dan kepentingan-kepentingan individu dan kolektif dan secara internasional diakui bahwa hak-hak mereka ini harus dilindungi oleh pemerintah dan dihormati oleh perusahaan-perusahaan yang terkait. Dua instrumen internasional kunci di dalam bidang ini adalah Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No. 169 mengenai Masyarakat Adat dan Suku Asli (1989), danDeklarasi PBB mengenai Hak-Hak Masyarakat Adat (UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples/UNDRIP)yang diadopsi oleh Sidang Umum PBB pada September 200712 . “UNDRIP meletakkan hak-hak yang seharusnya dicita-citakan oleh negara-negara untuk bisa diakui, dijamin dan dilaksanakan” dan “membentuk sebuah kerangka diskusi dan dialog antara Masyarakat Adat dan Negara.”13 4. Proyek-proyek tambang dan logam yang sukses membutuhkan dukungan jajaran pihak- pihak yang berkepentingan dan terdampak. Ini meliputi baik persetujuan legal formal dan regulatoris yang dianugerahi oleh negara dan dukungan yang luas dari masyarakat setempat yang menerima perusahaan. Masyarakat Adat seringkali memiliki karakteristik budaya, struktur tata kelola dan cara berinteraksi dan membuat keputusan yang menjauhkannya dari penduduk yang bukan masyarakat asli. Hal tersebut menuntut perusahaan-perusahaan untuk terlibat dengan cara-cara yang pantas secara budaya dan menaruh perhatian pada kapasitas, hak-hak dan kepentingan- kepentingan Masyarakat Adat di dalam konteks keterlibatan komunitas yang lebih luas. Negara memiliki hak untuk mengambil keputusan tenang pembangunan sumber daya menurut aturan hukum nasional yang berlaku, termasuk aturan hukum yang melaksanakan kewajiban negara penerima di bawah hukum internasional. Beberapa negara telah membuat penetapan persetujuan secara eksplisit melalui hukum nasional dan sub-nasional. Akan tetapi di kebanyakan negara, “baik Masyarakat Adat ataupun kelompok penduduk lainnya memperoleh hak untuk memveto proyek- proyek pembangunan yang mempengaruhi mereka”, sehingga FPIC harus dipandang sebagai sebuah “prinsip untuk dihargai setinggi-tingginya di dalam perencanaan dan implementasi”.14 5. Negara juga mempunyai peran penting yang harus ia mainkan di dalam mengikutsertakan Masyarakat Adat. Mereka mungkin terlibat 12 Per October 2012, 22 negara telah meratifikasi ILO 169 yang bersifat mengikat secara hukum di negara-negara tersebut. 13 Sebagaimana dinyatakan dalam UN Development Group’s Guidelines on Indigenous Peoples’ Issues (2008). 14 Sebagaimana diungkapkan dalam in the UN’s Department of Economic and Social Affairs Resource Kit on Indigenous Peoples’ Issues (2008).
  • 17. 11 dalam menentukan komunitas mana saja yang harus dianggap asli, membentuk proses untuk mencapai FPIC dan menentukan bagaimana ini terkait dengan proses-proses yang diatur yntuk memastikan peran serta komunitas di dalam pengambilan keputusan. Mengingat peran mereka di dalam menyeimbangkan hak- hak dan kepentingan-kepentingan Masyarakat Adat dengan masyarakat yang lebih luas, negara juga punya tugas penting di dalam mencari resolusi dari perselisihan pendapat yang mungkin timbul antara Masyarakat Adat dan perusahaan untuk mencapai FPIC. 6. Di beberapa negara, istilah asli (indigenous) mungkin kontroversial dan istilah-istilah setempat yang kurang lebih setara mungkin digunakan (seperti masyarakat suku asli/ tribal peoples, masyarakat pertama/first peoples, masyarakat pribumi/native people, dan masyarakat aborigin. Di dalam situasi lainnya, mungkin tidak ada pengakuan akan pelecehan oleh negara, atau istilah tersebut mungkin memiliki asosiasi negatif sehingga menghalangi orang untuk mengakui identitas asli. Terlepas dari konteks lokal, para anggota ICMM menolak segala bentuk diskriminasiatau kekurangan yang terkait dengan budaya, identitas, kerentanadanakanberusahamenerapkanprinsip- prinsip yang diejawantahkan di dalam pernyataan posisi ini terhadap kelompok-kelompok yang memperlihatkan apa yang umumnya diterima sebagai ciri-ciri Masyarakat Adat. 15 ICMM juga memiliki komitmen di dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan ICMM di mana perusahaan-perusahaan anggota ICMM berkomitmen untuk: 1. Terlibat dengan Masyarakat Adat yang punya potensi terkena dampak, dengan tujuan: (i) menjamin bahwa pembangunan proyek tambang dan logal memelihara penghormatan terhadap hak-hak, kepentingan, aspirasi, budaya dan penghidupan Masyarakat 15 Sebagaimana didefinisikan adalam ILO 169 dan diringkas dalam bagian section 1.3 dari ICMM’s Good Practice Guide: Indigenous Peoples and Mining (2010). Asli yang berbasis sumber daya alam; (ii) menyusun proyek-proyek untuk menghindari dampak yang merugikan dan meminimalisir, mengelola atau memberi ganti rugi dampak- dampak ikutan yang tak terhindarkan; dan (iii) memastikan manfaat dan kesempatan yang berkelanjutan bagi Masyarakat Asli melalu pengembangan proyek-proyek tambang dan logam. 2. Memahami dan menghormati hak-hak, kepentingan dan perspektif Masyarakat Adat terkait sebuah proyek dan dampak potensialnya. Kajian dampak sosial dan lingkungan atau analisis sosial dasar akan dikerjakan untuk mengidentifikasi siapa saja yang mungkin terkena dampak dari suatu proyek dan juga sifat dan jangkauan dampak potensial pada Masyarakat Adat dan komunitas-komunitas yang punya potensi terimbas. Pelaksanaan kajian semacam ini seharusnya bersifat partisipatoris dan inklusif untuk membantu membangun pemahaman lintas budaya antara perusahaan-perusahaan dan komunitas-komunitas, serta mendukung sasaran sebagaimana digambarkan pada komitmen 1 di atas. 3. Menyetujui keterlibatan yang sesuai dan proses konsultasi dengan Masyarakat Asli yang berpotensi terkena dampak dan pejabat pemerintah yang berwenang sesegera mungkin selama perencanaan proyek, untuk memasitikan partisipasi Masyarakat Adat yang berarti di dalam pembuatan keputusan. Di mana diperlukan, dukungan harus disediakan untuk mengembangkan kapasitas komunitas demi perundingan dengan itikad baik berdasarkan keadilan. Proses-proses ini harus diusahakan konsisten dengan proses- proses pengambilan keputusan Masyarakat Asli dan mencerminkan hak-hak asasi manusia yang diterima secara internasional, dansepadan dengan skala dampak potensial dan kerentanan komunitas yang terimbas. Proses-proses ini seharusnya mewujudkan ciri-ciri perundingan yang beritikad baik dan didokumentasikan di dalam sebuah rencana yang mengidentifikasi perwakilan-perwakilan komunitas yang berpotensi terkena dampak dan pemerintah, proses konsultasi dan protokol
  • 18. Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara 12 yang disetujui, tanggung jawab timbal balik dari pihak-pihak terhadap proses keterlibatan dan kesempatan untuk mencari jalan lain ketika terjadi perselisihan pendapat atau kebuntuan sebagaimana digambarkan oleh komitmen 6 di bawah ini. Rencana tersebut harus mendefinisikan apa yang merupakan persetujuan tanpa paksaan dari komunitas- komunitas adat yang akan terkena dampak secara signifikan. Keterlibatan dan proses konsultasi yang disepakati harus diterapkan lewat kerjasama dengan komunitas-komunitas adat yang potensial terkena dampak, melalui cara yang menjamin partisipasinya secara bermakna di dalam pembuatan keputusan. 4. Pekerjaan untuk memperoleh persetujuan tanpa paksaan dari komunitas-komunitas adat untuk proyek-proyek baru (dan berlaku untuk proyek-proyek yang sudah ada) terletak pada lahan yang secara tradisional dimiliki oleh atau di bawah penggunaan adat Masyarakat Adat dan kemungkinan besar akan memiliki imbas besar terhadap Masyarakat Adat, termasuk di mana relokasi Masyarakat Adat dan/atau di mana warisan budaya yang kritis akan terkena dampak secara signifikan akan terjadi16 . Proses-proses persetujuan tanpa paksaan harus berfokus untuk mencapai kesepakatan yang menjadi dasar suatu proyek (perubahan atau proyek yg sudah ada) untuk terus dilanjutkan. Proses-proses ini seharusnya tidak memberikan hak veto terhadap individu- individuatausub-kelompokmaupunmenuntut dukungan persetujuan penuh dari Masyarakat Adat yang berpotensi terkena dampak (kecuali jika dimandatkan secara hukum). Proses- proses persetujuan tanpa paksaan seharusnya tidaklah menuntut perusahaan-perusahaan untuk menyetujui aspek-aspek di luar kendali mereka. 5. Berkolaborasi dengan pejabat berwenang yang bertanggung jawab untuk mencapai hasil yang konseisten dengan komitmen- komitmen di dalam pernyataan poisis ini, dalam situasi di mana pemerintah bertanggung jawab mengelola kepentingan-kepentingan Masyarakat Adat dengan membatasi campur 16 Relokasi Masyarakat Adat dan dampaknya terhadap warisan budaya krisits haruslah dihindari sejauh yang dimungkinkan. tangan perusahaan. Di mana pemerintah setempat menuntut para anggota untuk mengikuti proses-proses yang sudah disusun untuk mencapai hasil melalui pernyataan posisi ini, para anggota ICMM tidak diharapkan menjalani proses-proses yang paralel. 6. Mengantisipasikemungkinanbahwaperbedaan pendapat akan muncul, yang dalam beberapa kasus mungkin mengarah pada kemunduran atau penundaan di dalam mencapai kesepakatan yang sedang dirundingkan dalam itikad baik. Perusahaan-perusahaan dan komunitas-komunitas yang potensial terkena dampak harus menyetujui ujian yang masuk akal atau kesempatan untuk kembali ke awal, yang akan diterapkan manakala perbedaan pandangan muncul. Ini mungkin mencakup mencari pertimbangan atau nasihat dari pihak- pihakyangbisaditerimaolehkeduabelahkubu. Di mana komitmen 4 berlaku dan persetujuan tanpa paksaan tidak dicapai kendati seluruh pihak sudah mencoba usaha terbaiknya, untuk menyeimbangkan hak-hak dan kepentingan Masyarakat Asli dan masyarakat yang lebih luas, pemerintah mungkin menetapkan bahwa suatu projek harus diteruskan dan memerinci ketentuan-ketentuan yang harus berlaku. Di dalam keadaan semacam in, para anggota ICMM akan menentukan apakah mereka seharusnya tetap terlibat di dalam sebuah proyek. Hak terhadap Informasi Informasi merupakan kebutuhan fundamental baik bagi individu maupun masyarakat secara luas. Hak terhadap informasi juga dipandang sebagai hak asasi manusia yang hakiki dan juga esensi dari tata kelola yang baik dan demokrasi yang bekerja dengan baik. Kebebasan informasi (Freedom of Information/FOI)punya peran kunci di dalam mendukung pengawasan terhadap pemerintah dan pengelolaan informasi yang tepat adalah bagian dari upaya untuk menciptakan masyarakat yang melek informasi. Seluruh badan publik, termasuk legislatif, eksekutif, dan yudikatif, bertanggung jawab untuk menjamin kebebasan informasi, dantanggung jawab ini juga meluas hingga ke organisasi-organisasi non-pemerintah yang terlibat di dalam menghantarkan jasa-jasa
  • 19. 13 publik.17 Hak terhadap informasi juga merupakan ide dasar di balik gerakan yang lebih luas bagi pemerintahan yang terbuka dan akuntabel yang saat ini memperoleh daya dorong dan pengakuan yang lebih luas. Perkembangan yang patut diperhatikan di wilayah ini adalah digulirkannnya Kemitraan Pemerintahan yang Terbuka (Open Government Partnership) pada 2011 yang berpotensi membuka kesempatan baru bagi masyarakat sipil untuk mendesak pengakuan dan penghormatan yang lebih besar bagi hak terhadap informasi. Secara umum, hak terhadap informasi mencakup hak untuk: 1. Memeriksa pekerjaan, dokumen dan rekaman. 2. Membuat catatan, ringkasan atau kopi dokumen atau rekaman yang sah. 3. Mengambil sampel materi yang sah. 4. Memperoleh informasi dalam bentuk material cetak, disket, floppy, pita, video, dan kaset atau di dalam bentuk elektronik apapun atau melalui materi cetak. Ada beberapa prinsip hak terhadap kebebasan informasi yang dikemukakan oleh rezim nasional maupun internasional yang harus dipertimbangkan, seperti: Pertama-tama, penyingkapan maksimal (maximum disclosure)yang terdiri atas praduga bahwa seluruh informasi yang dipegang badan publik tunduk pada penyingkapan dan bahwa praduga ini boleh dilampaui hanya di dalam keadaan-keadaan yang sangat terbatas. Lebih jauh, prinsip ini merangkum alasan mendasar yang mendasari konsep kebebasan informasi itu sendiri dan idealnya ia seharusnya ditetapkan di dalam Konstitusi untuk memperjelas bahwa akses terhadap informasi resmi adalah hak mendasar. Tujuan sampingan legislasi seharusnya adalah untuk mengimplementasikan penyingkapan maksimaldi dalam praktik. Badan-badan publik memiliki kewajiban untuk menyingkap informasi dan setiap anggota masyarakat memilik hak yang bersesuaian untuk menerima informasi. 17 Ahmad Faisol, dkk. Fulfilling The Right To Information: Yayasan TIFA, 2010 Kedua, kewajiban untuk mengumumkan prinsip dan badan publik yang wajib menyiarkan informasi. Kekebasan informasi menyiratkan tidak hanya badan publik tersebut mengabulkan permintaan informasi, melainkan juga menyiarkan dan menyebarkan secara luas dokumen-dokumen yang berkenaan dengan kepentingan public, tunjuk hanya terhadap batasan-batasan yang proporsional terhadap sumber daya dan kapasitas. Informasi harus disiarkan dan bergantung pada badan publik terkait. Hukum harus menetapkan baik kewajiban umum untuk menyiarkan informasi dan kategori-kategori kunci informasi yang harus disiarkan. Badan-badan public harus berkewajiban untuk menyiarkan informasi dalam kategori sebagai berikut: a) informasi operasional mengenai bagaimana badan publik tersebut berfungsi, termasuk biaya, tujuan, akun yang diaudit, standar, capaian, danseterusnya, khususnya di mana badan tersebut menyediakan jasa langsung kepada publik; b) informasi berdasarkan permintaan apa saja, keluhan atau tindakan langsung yang diambil oleh anggota masyarakat terkait dengan badan publik tersebut; c) panduan yang dengannya para anggota masyarakat mungkin melayangkan masukan bagi proposal kebijakan dan perundang- undangan; d) tipe informasi yang dipegang badan tersebut dan bentuknya; dan e) isi dari keputusan atau kebijakan apa saja yang mempengaruhi publik, bersama dengan alasan-alasan bagi keputusan tersebut dan materi latar belakang mengenai pentingnya merumuskan keputusan tersebut. Ketiga, mempromosikan pemerintahan yang terbuka. Ini berarti badan publik ini harus secara aktif mengkampanyekan dan mempromosikan Pemerintahan yang Terbuka (Open Government). Praktik dari kegiatan-kegiatan mendasar ini akan bervariasi dari negara ke negara, tergantung pada faktor-faktor seperti bagaimana jasa-jasa sipil diselenggarakan, hambatan kunci terhadap penyingkapan informasi secara bebas, taraf literasi dan tingkat kesadaran masyarakat umum.
  • 20. Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara 14 Studi Kasus dari Asia Tenggara Studi Kasus Indonesia SejarahPartisipasiWargaNegaradierareformasi (Misalnya pada anggaran, pembuatan kebijakan publik, perencanaan pembangunan nasional serta pada sektor industri ekstraktif juga menyebutkan momentum pembentukan hukum keterbukaan informasi publik, UU Mineral Dan Batubara dan Pertambangan Mineral, Hukum Lingkungan serta Keputusan Mahkamah Konstitusi diperkuat oleh Majelis Permusyawaratan Keputusan Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Keputusan Mahkamah Konstitusi pada judicial review tentang Pertambangan Mineral dan Pertambangan Batubara Hukum dan keputusan lain Mahkamah Konstitusi pada judicial review UU Kehutanan. Di bawah rezim Soeharto, komunitas dan para aktivis pendamping melakukan kegiatan-kegiatan advokasi dengan membantu komunitas secara langsung mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya. Salah satu contoh kasus di bidang industri ekstraktif ialah yang terkait dengan kasus tambang PT Freeport Indonesia. Merespons protes keras warga Amungme terhadap hilangnya ruang hidup mereka, PT Freeport Indonesia menyepakati Perjanjian Januari 1974. Kelahiran Perjanjian Januari disebut-sebut sebagai peristiwa bersejarah bagi suku ini karena perjanjian tersebut menjadi perjanjian formal antara Freeport dan warga Amungme di bawah pengawasan rexim Soeharto yang diwakili oleh pemerintah provinsi Papua. Dengan kesepakatan ini, suku Amungme harus secara sukarela melepaskan tanahnya untuk dijadikan kawasan pertambangan dan sebagai gantinya, Freeport akan menyediakan berbagai fasilitas sosial dan kesempatan bekerja. Fasilitas- fasilitas tersebut dibangun dalam lima tahun dan menghabiskan US$14 juta per tahunnya. Amiruddin (2003) menyatakan bahwa isi perjanjian tersebut secara substansial tidak membawa perbaikan apapun bagi kehidupan suku Amungme karena pelaksanaannya sangatlah tergantung pada rencana pemerintah daerah, pemerintah pusat di Jakarta dan Freeport. Alhasil, orang-orang Amungme tidak lebih dari sekadar objek pembangunan baik bagi pemerintah maupun Freeport.18 Kasus ini membuktikan bahwa dana bantuan yang diberikan kepada komunitas tidaklah efektif jika warganya diposisikan sebagai objek bantuan atau aksi karikatif alih-alih sebagai pihak yang hak-haknya harus dipenuhi. Situasi ini bisa makin bertambah buruk manakala dana bantuan kian menipis. Persoalan yang dihadapi suku Amungme ini sulit dihindarkan karena di bawah rezim Soeharto, ruang partisipasi warga sangatlah terbatas. Kegiatan pertambangan adalah keniscayaan oleh komunitas sesuai dengan UU No. 11 of 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan. Perubahan politik yang berhembus pasca lengsernya Soeharto membuka jalan bagi penguatan hak-hak komunitas seperti yang ditetapkan melalui TAP MPR No. IX/2011 mengenai Reformasi Agraria danPengelolaan Sumber Daya Alam. Terkait dengan industri ekstraktif, hak- hak masyarakat untuk berpartisipasi tertuang dalam UU Kehutanan, UU Minyak dan Gas, UU Pertambangan Mineral dan Batubara. Upaya ini juga diperkuat melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi UU Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi UU Kehutanan. YangtakkalahpentingialahkeberadaanUUNo. 14 Tahun 2008 mengenai Keterbukaan Informasi Publik. Namun, pemerintah melalui Kementerian EnergidanSumberDayaMineralbarumenetapkan apakah kontrak-kontrak pertambangan termasuk kategori informasi publik atau tidak pada 2013. Akibatnya, komunitas masih harus berjuang 18 Amiruddin&Aderito Jesus de Soares, PerjuanganAmungme Antara Freeport danMiliter , ELSAM, 2003, www.elsam.or.id/ downloads/1296452697_Perjuangan_Amungme.pdf
  • 21. 15 untuk mengetahui apakah hak-haknya dijamin di dalam kontrak pertambangan yang dibuat oleh pemerintah dan perusahaan. Sumber daya mineral dan batubara dimiliki oleh negara dan diklaim digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tetapi nyatanya, negara mengontrolnya dan tidak menawarkan kesempatan yang luas bagi partisipasi warga. Pendekatan berbasis hak-hak komunitas di industri ekstraktif sangatlah sulit diterapkan di negara yang tidak demokratis dan tidak memberikan ruang bagi komunitas untuk benar- benarberpartisipasi.Menyusuljatuhnyarezimorde Baru, kesempatan pun tersedia bagi masyarakat untuk membela hak-haknya melalui pendekatan ini. Advokasi yang dipimpin oleh masyarakat sipil kemudian mendesakkan perubahan peraturan, antara lain TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan ini menyatakan bahwa pembaruanagraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip- prinsip di antaranya: a. menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia; b. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat; c. mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat dan keberagaman budaya bangsa yang berdasarkan sumber daya agraria dan sumber daya alam. Pendampingan masyarakat menggunakan pendekatan berbasis hak terus berlanjut melalui uji materi terhadap beberapa aturan, seperti UU Pertambangan Mineral dan Batubara dan UU Kehutanan, yang bertujuan untuk memastikan hak-hak komunitas sebagaimana dituangkan di situ secara tegas mengakui hak-hak masyarakat. Oleh karena itu, advokasi terhadap masyarakat dilakukan bukan sekadar karena mereka membutuhkan, melainkan juga untuk mencari hak-hak apa saja yang dilanggar, memulihkan hak-hak tersebut dan mengukuhkannya di dalam aturan, misalnya lewat uji materi perundang- undangan. Kegiatan-kegiatan paralegal dan pemberian informasi tentang hak-hak warga yang terdampak oleh industri ekstraktif pun menjadi mungkin. Sejarah Advokasi Hak Komunitas dan FPIC di Indonesia Pada masa pemerintahan Soeharto, UU No. 11 of 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan ialah kebijakan pengelolaan sumber daya esktratif yang paling penting. Undang-undang ini tidak menyediakan ruang bagi masyarakat untuk melaksanakan persetujuan tanpa paksaan atas dasar informasi. Jika negara telah menetapkan sebuah kawasan untuk menjadi lokasi pertambangan, penduduk yang tinggal di sekitarnya haruslah mengalah dan menerimanya. Pendekatan advokasi masyarakat berdasarkan hak tidak mungkin diterpakan karena pemerintah menganggap persetujuan rakyat terhadap rencana pertambangantersebuttidaklahperlu.Pemerintah mengklaim pertambangan ditujukan untuk melayani kepentingan publik kendati dikelola oleh pihak swasta. Setelah kejatuhan Soeharto, perjuangan komunitas untuk melindungi ruang hidupnya dari kegiatan ekstraktif menguat. Izin-izin pertambangan yang dikeluarkan selama periode ini makin banyak, sehingga partisipasi warga kian penting, mulai dari tuntutan masyarakat di lapangan hingga perubahan kebijakan dan upaya hukum. Di antaranya ialah uji materi terhadap UU Pertambangan Mineral dan Batubara untuk bisa memungkinan partisipasi warga. Kesuksesan masyarakatsipillainnyaadalahujimateriterhadap UU Kehutanan yang memungkinkan masyarakat adat mengelola hutan secara penuh di bawah hukum adat sebagai bagian dari haknya. Dengan dipraktikkannya prinsip-prinsip ini, industri ekstraktif yang hendak memanfaatkan hutan masyarakat adat harus tunduk dengan mekanisme FPIC agar dapat memperoleh persetujuan warga. Kerangka Regulasi FPIC di Indonesia Konstitusi Indonesia telah meletakkan landasan umum bagi warga negara/rakyat untuk mempertahankan hak-haknya terhadap sumber daya alam, ruang hidup dan mata pencahariannya. Meskipun demikian, pengakuan tersebut masih terlalu umum dan tidak dirinci dalam Undang-undang dan pelbagai aturan yang sudah ada. Kerangka regulasi yang bersifat umum sebagaimana yang digambarkan di bawah
  • 22. Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara 16 ini terdiri dari 4 lapisan: (1) Konstitusi, (2) TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (3) beberapa Undang-undang yang mengatur pengelolaan sumber daya alam (pertambangan, minyak dan gas, kehutanan) beserta Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, dan (4) Keputusan Mahkamah Konstitusi, termasuk mengenai pertambangan mineral dan batubara serta kehutanan. Konstitusi • Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (Pasal 27 ayat2) • Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak bisa diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. (Pasal 28H ayat 4) • Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta memperoleh pelayanan kesehatan.(Pasal 28H ayat 1) • Bumi, air dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Pasal 33 ayat 3) TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Reformasi agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia,mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan mengoptimalkan partisipasi rakyat. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Information Setiap orang berhak: a. melihat dan mengetahui Informasi Publik; b. menghadiri pertemuan public yang terbuka untuk memperoleh Informasi Publik; c. memperoleh salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-undang ini; dan/atau d. menvebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundang- undangan. (Pasal 4) UU No. 4 Tahun2009 tentang Pertambangan Mineral danBatubara Penetapan Wilayah Pertambangan dilaksanakan secara transparan, partisipatif dan bertanggung jawab; secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dandengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; (Pasal 10). UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi 1. Kontrak kerjasama wajib memuat, antara lain, pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat; (Pasal 11) 2. Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi tidak dapat dilaksanakan pada: tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik masyarakat adat; (Pasal 33) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (1) Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. (2) Masyarakat dapat: a. memanfaatkan hutan danhasil hutan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku; b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan; c. memberi informasi, saran serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. (Pasal68)
  • 23. 17 Keputusan Mahkamah Konstitusi atas Uji Materi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral danBatubara1 (Keputusan MK No. 32 Tahun 2010) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral bertentangan secara bersyarat terhadap UUD 1945 sepanjang frasa “… memperhatikan pendapat masyarakat” dalam tidak dimaknai “wajib melindungi, menghormati dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak.” Keputusan Mahkamah Konstitusi atas Uji Materia UU No. 41 Tahun 1999 (Keputusan MK No. 35 Tahun 2012) Hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat. Keputusan ini menghentikan monopolipenguasaan negara atas hutan dan memberikan landasan hukum bagi masyarakat adat untuk mengelola kawasan hutan. Masyarakat sipil dan organisasi lingkungan hidup telah menggunakan sarana regulasi ini untuk memperkuat persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan bagi warga. Tetapi, Indonesia masih memerlukan aturan-aturan yang lebih rinci, konkret dan mampu melindungi hak- hak warga lewat persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan. Peran Organisasi Masyarakat Sipil (Civil Society Organizations/CSO) dalam Membangun Kesadaran dan Memberdayakan Komunitas Kasus Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta Masyarakat Kulonprogo umumnya hidup dari bertani. Mereka menghabiskan waktu luangnya dengan beternak, seperti lembu, kambing dan bebek, dan pada umumnya mereka memiliki ternak. Mereka juga menanam pisang dan manga di pekarangan. Warga hidup bergotong royong, misalnyanya dengan membersihkan jalan bersama-sama. Pada 2005 sebuah rencana untuk membuka penambangan pasir besi pun mengemuka dan ini ditolak oleh sebagian besar warga. Persetujuan terhadap usulan tersebut hanya diberikan oleh mereka yang tinggal di luar daerah yang direncanakan sebagai wilayah pertambangan. Rencana tersebut akan berdampak pada tiga kecamatan, yakni Galur, Panjatan and Wates. Warga di ketiga kecamatan ini menolak wilayah mereka dijadikan kawasan tambang pasir besi karena penghidupan mereka seluruhnya bergantung dari bertani, yang mereka warisi dari nenek moyang mereka. Pertanian sudah cukup mencukupi penghidupan 50,000 orang warga tersebut. Mereka membandingkan efek positif dari bercocok tanam: pada tahun 1970-an, tak satu pun dari mereka yang bersekolah hingga sekolah menengah atas ataupun univesitas. Namun, situasi berubah setelah mereka mengolah lahan di tepian pantai, yang berujung pada perbaikan ekonomi. Sekarang banyak di antara warga yang bisa melanjutkan pendidikan, bahkan hingga universitas di tengah melambungnya biaya pendidikan saat ini.
  • 24. Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara 18 Salah satu warga yang bernama Maryanto mengatakan bahwa mereka tidak akan berhenti bertani karena mereka lebih suka menjadi petani daripada penambang pasir. Mereka tidak perlu memperoleh ijazah maupun berurusan dengan jadwal kerja yang ketat.Apa yang mereka kerjakan juga berhasil menciptakan lapangan kerja bagi warga lainnya. Buruh pemetik cabai dari ketiga kecamatan yang terkena dampak bersatu padu dan menghadang rencana penambangan tersebut. Mereka mendirikan Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) pada April 2006. Perusahaan yang mereka hadapi adalah PT JogjaMagasaIronyangmemperolehKontrakKarya (KK/Work Contract) yang ditandatanganinya dengan pemerintah Republik Indonesia pada 4 November 2008. Proyek tambang pasir besi di Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta,ini dinyatakan akan membangun industrypembuatanbesiterpadu.Kontrakkerjaini ialah yang pertama di Pulau Jawa dan merupakan kontrak karya pertama yang dikeluarkan sejak krisis ekonomi dan penyelenggaraan otonomi daerah. Naskah kontrak karya tersebut telah direkomendasikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan dikonsultasikan denganDewanPerwakilanRakyat(DPR).Meskipun demikian, warga di sekitar wilayah tambang yang direncanakan tersebut tidak pernah dilibatkan atau dimintai persetujuannya sebelum kontrak tersebut dibuat. Saham PT Jogja Magasa Iron 30 persen dimiliki perusahaan Indonesia, PT Jogja Magasa Mining, dan 70 persen dipegang oleh perusahaan asal Australia, Indo Mines Limited. Cadangan besi yang ditemukan dalam pasir besi di lokasi tersebut berjumlah 33.6 juta ton Fe dan produksinya direncanakan mencapai 1 juta ton per tahun. Cadangan ini diperoleh dari konsentrat pasir besi. Proyek ini akan menambang bagan galian pasir besi dengan sistem tambang terbuka (open pit) dan hasilnya akan diolah menjadi konsentrat untuk kemudian menghasilkan besi kasar (pig iron) dengan kandungan Fe>94%. Menutur rencana, perusahaan tersebut akan memulai kegiatan penambangan pada 2011 dan memproduksi besi kasar pada 2012. Namun, karena protes warga petani, proyek tersebut hingga kini belum beroperasi. Pada tahap konstruksi perusahaan akan menyerap 5.000 tenaga kerja lokal, sementara di fase awal produksi ia akan mempekerjakan 3.000 orang. Angka ini lebih rendah dari jumlah petani yangakanterkenadampakinvestasiiniyaitu50.000 orang, sehingga ini berarti industri pertambangan tersebut tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi warga. Investasi dari perusahaan tersebut secara total akan mencapai US$1,1 milyar, yang terdiri dari US$5 juta untuk persediaan (bahan baku), US$ 6 million untuk pemasangan rel (rail sliding), US$350 juta untuk pembangunan pembangkit tenaga listrik 350 megawatt (MW), US$10 juta untuk fasilitas pelabuhan dan US$600 juta untuk investasi pertambangan. Proyek ini diharapkan setiap tahun menyumbang US$20 juta ke penerimaan negara melalui setoran pajak, US$ 11,25 juta dari royalty, US$7 juta dari pendanaan lokal dan US$55 juta melalui pengeluaran operasional. Pada 10 tahun pertama PT Jogja Magasa Iron diperkirakan akan menyumbang 1,5% dari penjualannya masing-masing ke pemerintah daerah dan ke pengembangan komunitas (community development), yang setelah periode tersebut akan ditingkatkan menjadi 2%.Kendati demikian, tawaran ini dinilai tidak dapat menyejahterakan warga dan mereka lebih memilih bertani di lahan tepian pantai. Komunitas tersebut mempertahankan ruang hidupnya dari pertambangan melalui penolakan langsung yang disampaikan ke instansi pemerintah terkait dan pendidikan terhadap warga. Komunitas menyatakan: “Sejak 2006, kami, penghuni tepian pantai Kabupaten Kulonprogo Regency, telah berjuang mempertahankan Hak-hak Asasi kami (sebagaimana dijamin oleh UU No. 39 Tahun 1999), Hak-hak Ekonomi, Sosial danBudaya (sebagaimana dijamin oleh UU No. 11 Tahun 2005), danHak-hak atas Tanah (sebagaimana dijamin oleh UU No. 5 Tahun 1960). Kehadiran hak-hak ini
  • 25. 19 dan masa depannya di bawah ancaman karena kebijakan pemerintah Kabupaten Kulonprogo Regency untuk menambang pasir besi dan membangun pabrik baja di wilayah yang dihuni oleh dan menyediakan mata pencaharian bagi penduduknya. Hanya dengan mengetahui rencana ini saja, pertambangan ini telah memicu konflik antara masyarakat dan pemerintah, tanpa akhir di depan mata.”19 Proses yang menetapkan ruang hidup mereka sebagai kawasan tambang tidak bersesuaian denganperaturan-peraturanyangberlaku.Kontrak Karya PT Jogja Magasa Mining dibuat tatkala Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menyatakan bahwa wilayah pesisir didesain sebagai kawasan pertanian, turisme dan perikanan. Komite khusus RTRW 2009 dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)secara jelasmenunjukkan bahwa wilayah tersebut tidak diperuntukkan bagi pertambangan. Berlawanan dengan keputusan ini, pemerintah provinsi dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral secara sepihak menunjukkan sebagai wilayah pertambangan. Yogyakarta adalah satu-satunya provinsi di Indonesiayangdikendalikanolehkekuasaanfeudal sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2012. Warga yang menolak penambangan menghadapi intimidasi dan kriminalisasi. Sekelompok orang menyerang pos penjagaan dan poskamlingyang didirikan warga. Insiden ini terjadi pada 2008. Sekitar 200 orang bersenjata merusak fasilitas-fasilitas umum, seperti poskamling, pos ronda dan rumah-rumah warga. Polisi menindak pelaku sebagai respons terhadap aduan warga, tetapi tidak menyasar para pelaku utama, menurut laporan lanjutan warga 19 http://325.nostate.net/library/position-paper-summary.pdf kepada Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selain ke polisi, warga juga melaporkan insiden perusakan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Namun sayangnya, mereka tidak dapat memperoleh hasil sesuai yang diharapkan. Kemudian pada 2000, warga setempat dikriminalisasi dengan dakwaan melanggar Pasal 355 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu merampas kebebasan hak orang lain. Tukijo, salah satu pemimpin yang mengorganisir perjuangan warga melawan pertambangan pasir besi tersebut, divonis bersalah dan ia dihukum dengan kurungan tiga tahun penjara. Warga Kulonprogo mampu memperjuangkan hak-haknya karena mereka memiliki keahlian organisasional yang baik. Warga mendirikan sebuah organisasi yang dinamai Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) pada 2007. Organisasi warga ini berusaha untuk tidak bergantung pada organisasi non-pemerintah. Akan tetapi, mereka juga membuka peluang untuk berkerjasama dengan organisasi semacam itu di dalam perlawanannya. Bersama-sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, PPLP melawan kriminalisasi terhadapnya dan bersama dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), ia berjuang melawan pelanggaran rencana tata ruang pemerintah Kabupaten Kulonprogo dan menuntut uji materi UU No. 4 Tahun 2009 untuk bisa mendapatkan persetujuan atas dasar informasi tanpa paksaan dari warga setempat sebelum menjadikan suatu wilayah sebagai kawasan tambang.
  • 26. Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara 20 Studi Kasus Filipina Kerangka Regulasi Masyarakat adat Filipina terdiri dari sejumlah besar suku bangsa asli yang tinggal di negara tersebut. Mereka adalah keturunan penduduk asli Filipina. Mereka tidak tersapu oleh kolonisasi berabad-abad oleh Spanyol dan Amerika Serikat di Kepulauan Filipina, dan sepanjang proses tersebut mereka mempertahankan adat-istiadat dan tradisi mereka. Masyarakat adat Filipina telah mencapai langkah signifikan di dalam upayanya melindungi wilayah kekuasaan leluhur mereka beserta identitasnya. Kendati berhadapan dengan marjinalisasi politik dan ekonomi, mereka berhasil mendapatkan traksi hukum di dalamperjuangan mempertahankan diri dari beragam ancaman. Pada 1997, Kongres Filipina menegakkan Undang-undang Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples’ Rights Act/IPRA Law) atau Undang-undang Republik No. 8371, yang mengakui, melindungi dan mempromosikan hak-hak masyarakat budaya adat/masyarakat adat, menetapkan mekanisme implementasi, menyisihkan dana dan mencapai tujuan-tujuan lainnya. 20 Undang-undang ini mengakui hak masyarakat adat untuk menentukan nasibnya sendiridanmenyediakanmekanismeperlindungan wilayah kekuasaan leluhur masyarakat adat dan segala sumber daya yang terkandung di dalamnya. IPRA mengadopsi konsep “persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan” (FPIC) sebagai alat untuk membentengi hak-hak masyarakat adat dan memberi mereka ruang untuk berbicara tentang persoalan-persoalan yang berimbas pada mereka. FPIC di dalam konteks ini menuntut agar komunitas masyarakat adat diperlengkapi dengan informasi yang memadai dan dapat diakses, dan bahwa consensus ditentukan sesuai dengan hukum adat dan praktik-praktik masyarakat adatdan bebas dari segala bentuk manipulasi maupun koersi dari luar. IPRA menuntut agar 20 Republic of the Philippines, The Indigenous Peoples’ Rights Act of 1997, Republic Act No. 8371 (1997) FPIC diperolah sebelum ekstraksi sumber daya dari wilayah kekuasaan leluhur dan tanah adat. Jika berjalan secara efektif, FPIC melambangkan alat yang kritis untuk mewujudkan penentuan nasib sendiri (indigenous self-determination), mempromosikan partisipasi warga di dalam pembuatan keputusan dan memitigasi risiko konflik di sekitar proyek sumber daya alam. Sayangnya, meski ada aturan keras yang berlaku, masyarakat adat di Filipina menghadapi kendala-kendala yang berarti di dalam merealisasikan haknya untuk memberi atau menahan FPIC. Catatan kebijakan ini menggambarkan perlindungan hukum kunci bagi FPIC di Filipina maupun rintangan bagi efektifnya pelaksanaan FPIC di masa lalu. Selain itu, catatan kebijakan ini juga menyoroti corak pelaksanaan aturan yang diadopsi pemerintah pada 2012 unutk mempromosikan implementasi FPIC yang lebih baik di masa mendatang. Konstitusi Filipina 1987 Konstitusi Filipina mengandung ketentuan eksplisit mengenai perlindungan hak-hak masyarakat adat. Konstitusi ini menjamin hak- hak masyarakat adat terhadap ranah kekuasaan leluhur dan tanah. Konstitusi 1987 memperlihatkan pergeseran kebijakan “dari asimilasi dan integrasi menuju pengakuan dan pelestarian.21 Berikutpasal-pasalyangrelevandariKonstitusi tersebut: • Bag. 22 dari Pasal II. Negara mengakui dan mempromosikan hak-hak komunitas budaya adat ada di dalam kerangka kesatuan nasional dan pembangunan. • Bag. 5 dari Pasal VI. Selama tiga masa berlaku berturut-turut setelah diratifikasinya Konstitusi ini, setengah dari bangku yang 21 Reynato S. Puno, The IPRA: Indigenous Peoples and their Rights (2008).
  • 27. 21 dialokasikan bagi para perwakilan daftar partai 22 akan diisi, sebagaimana ditetapkan oleh hukum, melalui seleksi atau pemungutan suara dari buruh, petani, kaum miskin kota, komunitas budaya adat, perempuan, kaum muda, dankelompok lainnya yang serupa seperti ditetapkan hukum, kecuali kelompok keagamaan. • Bag. 5 dari Art. XII. Negara, tunduk pada ketentuan Konstitusiand kebijakan dan program pembangunan nasional, akan melindungi hak-hak masyarakat budaya adat di tanah leluhur mereka untuk memastikan kesejahteraan ekonomi, sosial dan budayanya. • Kongres mungkin mempersiapkan kondisi yang memungkinkan penerapan hukum adat yang mengatur hak milik atau hubungan- hubungan yang menentukan kepemilikannya dan luas wilayah kekuasaan leluhur. • Bag. 6 dari Pasal XIII. Negara akan menerapkan prinsip-prinsip pembaruan agraria atau penatalayanan (stewardship), kapan saja dapat diterapkan sesuai dengan Undang-undang, dalam disposisi atau pemanfaatan sumber daya alam lainnya, termasuk tanah di ranah publik yang sedang disewakan atau dalam konsesi yang cocok untuk pertanian, tunduk pada hak-hak sebelumnya, hak-hak atas rumah dan pekarangan dari penghuni skala kecil, dan hak-hakmasyarakat adat terhadap tanah leluhur mereka. • Bag. 17 dariPasal XIV. Negara akan mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak The State shall recognize, respect, and protect the rights of indigenous cultural communities to preserve and develop their cultures, traditions, and institutions. It shall consider these rights in the formulation of national plans and policies. • Bag. 12 dari Pasal XVI. Kongresmungkin membentuk badan konsultasi untuk memberikan nasihat kepada Presiden mengenai kebijakan-kebijakan yang berdampak pada komunitas budaya adat, yang mayoritas anggotanya akan berasal dari 22 Menurut Konstitusi, perwakilan daftar partai berjumlah 20% dari jumlah total perwakilan di daftar tersebut. komunitas semacam itu. Undang-undang hak asasi masyarakat adat 1997 (Indigineous Peoples’ Rights Act/IPRA) Mantan president Fidel Valdez Ramos memprakarsai pertemuan-pertemuan badan legislatif dan eksekutif wilayah dan masyarakat sipil untuk merumuskan satu agenda pembangunan bersama. Agenda ini menjadi kerangka komprehensif pemerintah di dalam mengentaskan kemiskinan. Sebuah “daftar hal-hal yang dapat dikerjakan” (doable list)dirumuskan, memprioritaskan agenda sektor-sektor dasar melalui “capaian consensus danproses kolaborasi konsultatif” dari badan-badan pemerintah nasional dan masyarakat sipil. Agenda ini telah menjadi “Agenda Reformasi Sosial” (Social Reform Agenda/SRA).23 ” SRA ialah seperangkat reformasi utama yang terpadu untuk memperbaiki proses- proses demokratis dan memungkinkan warga negara untuk a) memenuhi kebutuhan insani yang mendasar dan menjalani kehidupan yang layak; b) memperluas andil sumber daya yang darinya mereka bisa hidup atau meningkatkan hasil dari kerja; dan c) memungkinkan mereka untuk berperan serta secara efektif di dalam proses pembuatan keputusan yang mempengaruhi hak- hak, kepentingan dan kesejahteraan mereka.24 SRA menghasilkan berbagai undang-undang yang penting, termasuk IPRA. IPRA melaksanakan ketetapan konstitusi yang memberikan pengakuan terhadap hak-hak dan kepentingan masyarakat adat terkait wilayah kekuasaan leluhur mereka.25 Penegakan IPRA yang menonjol menandai pergeseran dua paradigm di dalam cara pemerintah memandang masyarakat adat. Pertama, hal ini menggugat gagasan bahwa negara memonopoli pelaksanaan undang-undang. IPRA mengakui sistem hukum masyarakat adat 23 Carlos Bueno, The Social Reform Agenda, MetroPost 24 United Nations, Social Aspects of Sustainable Development in the Philippines (April 1998) 25 Pasal XII Konstitusi menetapkan: Bagian 5. Negara, tunduk pada ketentuan Konstitusi ini dan kebijakan serta program pembangunan nasional, akan melindungi hak-hak komunitas budaya adat atas wilayah lelulurnya untuk menjamin kesejateraan ekonomi, sosial dan budayanya. Kongres mungkin bisa memfasilitasi diterapkannya hukum adat yang mengatur hak milik atau hubungan-hubungan yang mengatur kepemilikan dan cakupan wilayah leluhur.
  • 28. Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara 22 yang bisa dipergunakan untuk menyelesaikan perselisihan, mengidentifikasi luas wilayah kekuasaan leluhur, dan memutuskan eksploitasi sumber daya, antara lain. Kedua, ia memutus persepsi bahwa masyarakat adat menyebabkan perusakan hutan. 26 Sebelum ada IPRA, wacana yang tersebar luas adalah bahwa masyarakat adat merusak hutan melalui sistem pertanian “tebang dan bakar” (slash and burn). Segera sesudah diloloskannya IPRA, Ketua MahkamahAgungpurna-tugashakimagungIsagani Cruz danpengacara Cesar Europemengajukan gugatan yang mempertanyakan kesesuaian undang-undang baru tersebut dengan konstitusi. Di dalam gugatan tersebut, mereka mengklaim bahwa aturan ini melanggar hak Negara untuk “mengontrol danmengawasi ekplorasi, pembangunan, pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam nasional.”27 Beberapa pengkritik IPRA, termasuk misalnya Kamar Dagang Pertambangan Filipina, meyakini bahwa undang- undang tersebut bertentangan dengan dua prinsip hukum yang telah ditetapkan: bahwa hanya Negara yang bisa memiliki tanah dan bahwa Departement Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam memegang yurisdiksi tunggal terhadap hutan dan sumber daya mineral.28 Perwakilan Biro Pertambangan dan Geosains mengklaim bahwa “memberikan hak-hak prioritas atas sumber daya mineral kepada masyarakat adat di wilayah leluhur mereka … sama dengan menyerahkan kontrol penuh negara atas seluruh sumber daya.”29 Di dalamCruz v. Sekretaris Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam,30 Mahkamah Agung Filipina menjunjung konstitusionalitas IPRA dengan batasan setipis mungkin.31 Keputusan tesebut menjelaskan bahwa IPRA tidaklah melanggar Doktrin Kerajaan (Regalian Doctrine) 26 June Prill-Brett, Contested Domains: The Indigenous Peoples Rights Act (IPRA) and Legal Pluralism in the Northern Philippines, 55 J. LEGAL PLURALISM& UNOFFICIAL L., 11, 16-17 (2007). 27 New Law on Indigenous Peoples Faces Legal Challenge, Philippine Center for Investigative Journalism (1998) 28 ibid 29 ibid 30 G.R. No. 135385 (December 6, 2000) 31 Ketika Hakim memutuskan bahwa suara mereka seri: 7-7 (Tertunjuk paling baru di Mahkamah Agung tidak ikut serta dalam pembahasan kasus ini dan tidak memberikan suara). Hakimmengangkat kasus tersebut lagi tetapi pemungutan suara tetap tidak berubah. Tuntutan terhadap Aturan 56, Bagian 7 dari Ketentuan Prosedur Sipil, petisiHakim Cruz dibatalkan, (yang berpandangan bahwa Negara memiliki semua tanah dan air yang berada di ranah publik) karena wilayah kekuasaan leluhur adalah tanah privat. Tanah yang sudah dikuasai sejak dahulu kala dianggap tidak pernah bersifat publik. Mahkamah Agung AS mengumumkan doktrin ini secara resmi dalam kaitan dengan hak milik kaum pribumi di Filipina lebih dari satu abad yang lalu melalui kasus Cariño versusPemerintah Kepulauan,32 yang membenarkan kepemilikan berdasarkan kepemilikan sedari dulu kala. Keputusan Mahmakah Agung Filipina mengakui sifat privat dari wilayah kekuasaan leluhur, memisahkannya dari ranah publik dan konsep hukumyangbiasadipergunakanuntukmenggugat konsitusionalitas IPRA. Penggabungan FPIC ke dalam IPRA memunculkan harapan bahwa Filipina dapat mencegah penggusuran masyarakat adat. FPIC mempunyai dasar perundang-undangan yang jelas di dalam hukum Filipina, dan adalah salah satu elemen IPRA yang paling penting. 33 IPRA mendefinisikan FPIC sebagai: konsensus dari seluruh anggota masyarakat budaya adat (Indigenous Cultural Communities/ICCs)/ masyarakat adat (Indigenous Peoples/IPs)yang ditentukan sesuai dengan hukum dan praktik adatnya masing-masing, bebas dari manipulasi, campur tangan dan paksaan pihak luar, dan diperoleh setelah mengungkapkan keseluruhan tujuan dan cakupan kegiatan tersebut, di dalam Bahasa yang bisa dipahami komunitas tersebut. FPIC disebutkan berulang kali di dalam IPRA dengan tujuan melindungi kepentingan masyarakat adat di wilayah kekuasaan leluhurnya. DalamkonteksIPRA<FPICsecarakhususmengacu pada hak masyarakat asli untuk tinggal di batas wilayah mereka; hak terhadap situs keagaaman dan budaya serta upacara; hak untuk memberi atau menahan akses ke sumber daya biologis dan genetis serta pengetahuan adat yang terkait dengan pelestarian, penggunaan dan perbaikan sumber daya ini; danhak untuk menebus di dalam kasus-kasus di mana hak kepemilikan/ tanah telah dialihkan tanpa persetujuan tanpa 32 212 US 449 (1909) 33 Republic of the Philippines, The Indigenous Peoples Rights Act of 1997, Republic Act No. 8371 (1997)
  • 29. 23 paksaan mereka. IPRA juga menuntut FPIC untuk “mengeksplorasi, menggali ataupun melakukan penggalian pada situs arkeologis” dari masyarakat adat dan “sebelum penyerahan lisensi, sewa atau izin eksploitasi sumber daya alam” yang dapat berdampak pada kepentingan masyarakat adat.34 Definisi IPRA mengenai wilayah kekuasaan dan tanah leluhur cukup komprehensif. Wilayah kekuasaan leluhur dimiliki secara kolektif dan bisa meliputi tanah, perairan darat, area tepi pantai, dansumber daya alam yang terkandung di dalamnya (termasuk mineral). Tanah kekuasaan leluhur, yang pengertiannya lebih sempit ketimbang wilayah kekuasaan leluhur, mungkin berada di bawah kepemilikan individu atau kelompok tradisional. Undang-undang ini juga menetapkan sendiri batas-batas (self-delineation) wilayah kekuasaan leluhur, termasuk tanah yang tidak lagi mereka huni namun secara tradisional telah menggunakan: BAGIAN 51. Penentuan Batas Tanah dan Pengakuan Wilayah Kekuasaan Leluhur. — Penentuan sendiri batas-batas akan menjadi prinsip pemandu di dalam mengidentifikasi dan menetapkan garis batas tanah di wilayah kekuasaan leluhur. Dengan demikian, masyarakat budaya adat atau masyarakat adat yang terkait akan mempunyai peran penentu di dalam seluruh kegiatan yang terkait. Pernyataan Tersumpah dari Para Tetua hingga cakupan teritori dan perjanjian/pakta yang dibuat dengan ICCs/ IPs,kalaupun ada, akan sangatlah penting di dalam menentukan teritori tradisional ini. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengidentifikasi tanah yang secara tradisional dihuni ICCs/IPs dan menjamin perlindungan akan hak-hak mereka secara efektif atas kepemilikan dan barang milik yang terkait. Dalam pelbagai kasus yang sesuai, berbagai tindakan akan diambil untuk mengamankan hak ICCs/IPs yang berkenaan dengan tanah yang mungkin sudah tidak lagi mereka tempat secara eksklusif, tetapi yang secara tradisional menjamin kelangsungan kegiatan subsistensi dan kegiatan tradisional mereka, khususnya ICCs/IPs yang masih berpindah-pindah (nomadic)dan/atau 34 ibid peladang berpindah. IPRA juga menetapkan peran pemerintah di dalam mengidentifikasi dan juga menentukan batas-batas wilayah kekuasaan leluhur melalui Komisi Nasioanl Masyarakat Adat (National Commission on Indigenous Peoples/NCIP). IPRA membentuk NCIP, badan pemerintah yang bertanggung jawab atas pengembangan dan implementasi kebijakan dan program untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak masyarakat adat. Komisi ini beranggotakan tujuh KomisioneryangditunjukolehPresiden(semuanya anggota komunitas masyarakat adat) yang memilik kekuasaan administratif,kuasi-yudisial dan kuasi-legislatif. NCIP bertugas mengeluarkan sertifikat hak milik wilayah kekuasaan leluhur dan sertifikat sebagai prasyarat untuk pemberian izin, sewa dan hibah (kepada perusahaan, pemerintah ataupun entitas lainnya) bagi penggunakan sebagian wilayah kekuasaan leluhur tersebut. IPRA menuntut NCIP menerangkan secara resmi bahwa warga memberikan persetujuan tanpa paksaan bagi eksploitasi sumber daya alam di wilayah kekuasaan leluhur mereka sebagai syarat untuk persetujuan proyek. (Bagian 46 (a)). Meskipun merupakan undang-undang yang kuat, IPRA juga punya beberapa kelemahan. Ada keprihatinan tentang caranya menyederhanakan dan menstandarisasi konsep seperti masyarakat adat, hukum adat dan konsepsi mengenai wilayah kekuasaan leluhur.35 Hal ini menjadi catatan mengenai berbagai perbedaan yang ada di antara beragam komunitas masyarakat adat di Filipina. IPRA juga dilemahkan oleh undang-undang mengenai sumber daya alam lainnya seperti Undang-undang Pertambangan, yang berakibat pada ketidakjelasan implementasinya. 36 Meskipun demikian, terlepas dari tantangan semacam ini, undang-undang tersebut secara tegas memperkuat hak-hak masyarakat adat terhadap wilayah kekuasaan leluhur dan integritas budaya mereka. Banyak upaya telah dilakukan untuk memperlunak ketetapan undang-undang tersebut, namun sejauh ini masyarakat adat dan organisasi 35 Celeste Ann Castillo Llaneta, The Road Ahead for the Indigenous Peoples (2012) 36 ibid
  • 30. Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif: Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara 24 masyarakat sipil di Filipina telah berhasil mempertahankannya. Perkembangan terbaru FPIC di dalam undang-undang Filipina Pemerintahan sekarang ini – yang dipimpin olehPresidenBenignoAquinoIII–telahmengambil tindakan untuk memperbaiki keadaan komunitas masyarakat adat.Pemerintah mengembalikan lagi NCIP di bawah Kantor Presiden,37 “untuk memastikan upaya terpadu untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan, program dan proyek yang arahnya untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak dan kesejahteraan ICCs/ IPs.”38 Pemerintah juga mengalokasikan anggaran tambahan untuk NCIP agar ia bisa membentuk pengadilan kuasi-yudisial. Pengadilan ini mencoba menuntaskan isu-isu terkait IPRA, mengurangi, kalaupun tidak menghapuskan, perlunya litigasi di pengadilan lain.39 Selain itu, pemerintah juga menunjuk ZenaidaBrigida Hamada-Pawid, yang bekerja di organisasi masyarakat sipil sebelum bergabung dengan pemerintah,sebagai ketua NCIP. Dengan rekam jejaknya membela hak- hak masyarakat adat, tidaklah mengherankan jika terjadi reformasi progresif di dalam masa jabatannya. NCIP mengeluarkan aturan baru untuk melaksanakan FPIC.40 Aturan ini bermaksud mengklarifikasi ketentuan-ketentuan yang paling rentan terhadap penyalahgunaan, misinterpretasi, misrepresentasi,sogok,dankorupsi.41 KamarDagang Pertambangan Filipina memprotes aturan tersebut dengan alasan NCIP gagal berkonsultasi dengan pemangku kepentingan mengenai revisi aturan ini dan mengutip kehilangan potensi investasi dan penundaan di sejumlah proyek eksplorasi dan penambangan kunci. Biro Pertambangan dan Geosains Departement Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam turut mempertanyakan aturan 37 Perseus Echeminada, NCIP welcomes its return to the Office of the President, Philippine Star, (November 11, 2010) 38 Executive Order No. 11, s. 2010 39 Log cit, Celeste Ann Castillo Llaneta: 2012 40 Republic of the Philippines, Administrative Order No. 03-12 or The Revised Guidelines on Free and Prior Informed Consent (FPIC) and Related Processes of 2012 (April 2012) 41 Celeste Ann Castillo Llaneta, The Road Ahead for the Indigenous Peoples, (2012) quoting NCIP Chair ZenaidaBrigida Hamada-Pawid tersebut dan menuding bahwa ia akan mengurangi investasi pertambangan. Akan tetapi, NCIP menerbitkan revisi aturan tersebut pada 16 Mei 2012 sebagai upaya mengatasi tantangan-tantangan implementasi yang sudah dijelaskan di bagian terdahulu. Bagian 3 dari Perintah Administratif No. 03-12 atau “Revisi Pedoman Persetujuan atas dasar Informasi Awal tanpa Paksaan dan Proses Terkait pada 2012” memuat Deklarasi Kebijakan, dengan menyatakan bahwa: 1. FPIC mewujudkan dan memperkuat pelaksanaan hak ICCs/IPs atas Wilayah Kekuasaan Leluhur, Keadilan Sosial dan Hak Asasi Manusia, Swa-Tata Kelolat dan Pemberdayaan dan Integritas Budaya; 2. Hak ICCs/IPs untuk mengelola, mengembangkan, menggunakan dan memanfaatkan tanah dan sumber daya di dalam wilayah kekuasaan leluhur mereka akan diperhatikan secara penuh; 3. Tidak aka nada konsensi, lisensi, izin atau sewa, perjanjian bagi-hasil ataupun usaha lain yang akan mempengaruhi wilayah kekuasaan leluhurakandiberikanataudiperbaharuitanpa prosesyang diuraikan oleh undang-undang dan Pedoman ini. Beberapa ciri utama dari aturan pelaksana yang secara umum bersifat progresif tersebut ialah: 1. Mencantumkan dengan jelas bahwa masyarakat adat punya hak untuk mengembangkan resolusi persetujuan tanpa paksaan (a resolution of consent) atau resolusi bukan-persetujuan (resolution of non- consent).Kedua jenis resoulusi ini diadopsi oleh masyarakat adat yang terdampak atau melalui tetua/pimpinan adat yang berwenang dan memungkinkan warga untuk menyampaikan persetujuan atau penolakan terhadap usulan rencana, program, proyek atau kegiatan. Dalam hal penolakan, resolusi bukan-persetujuan juga harus menyertakan alasan tindakan tersebut. (Bagian 5).
  • 31. 25 2. Menyediakan “investigasi lapangan” yang terdiri dari penelitian lapangan untuk menentukan apakah proyek tersebut tumpeng tindih dengan/berdampak pada tanah masyarakat serta mengidentifikasi siapa di antara warga yang mau menyerahkan FPIC atau menahannya. Ketentuan ini menuntut keikutsertaan para pemimpin masyarakat adat di dalam tim penelitian lapangan. Pimpinan masyarakat adat, sponsor proyek dan badan pemerintah yang terkait harus menyepakati isu-isu seperti biaya, format untuk mendokumentasikan kegiatan (foto, video, dsb) serta proses lain yang relevan, serta hasil investigasi lapangan tersebut harus disahkan oleh majelis komunitas. 3. Memfasilitasi pembentukan Tim FPIC di tiap provinsi. Tim ini meliputi pejabat provinsi, pejabat hukum provinsi, ahli teknik dari kantor provinsi atau daerah, kepala tim investigasi lapangan dan dua tetua atau pimpinan masyarakat adat yang dipilih warga (Bagian 16). Tim FPIC mengemban tugas sebagai berikut (berdasarkan Bagian 18): a. Dengan pemberitahuan sebelumnya, mengadakan siding majelis yang pertama untuk mengesahkan: (1) laporan investigasi lapangan; (2) identitastetua dan pemimpin masyarakat adat; (3) proses pengambilang keputusan; (4) sensus warga (migran atau sebaliknya/pendatang); (5) daerah terdampak; (6) keberadaan konflik perbatasan dengan wilayah kekuasaan leluhur lainnya; b. Mendokumentasikan dan menjembatani mekanisme resolusi konflik, jika ada, oleh tetua/pimpinan masyarakat adat terpilih; c. Memfasilitasi dan mendokumentasikan gerak-gerik majelis dan bertanggung jawab atas penafsiran, terjemahan, klarifikasi, ataupun elaborasi masalah yang didiskusikan atau diangkat; d. Mengarahkan peserta ke ketentuan- ketentuan IPRA yang terkait di tiap tahapan; e. Mempresentasikan hasil yang disepakati dan rencana keuangan selama berlangsungnya sidang majelis; f. Mengundang pakar independen yang sesuai, jika ada, untuk membagikan pandangannya atas aspek apa saja dari proyek tersebut; g. Jika komunitas masyarakat adat setuju dengan kegiatan tersebut, membantu membuat naskah Resolusi persetujuan tanpa paksaan dan nota kesepakatan (Memorandum of Agreement/MoA), atau Resolusi Bukan-Persetujuan; h. Membuat catatan akuntansi, sesuai dengan standar akuntansi dan audit yang diterima secara umum, dari segala uang dan barang yang diterima terkait pelaksanaan FPIC; dan i. Mempersiapkan dan menyerahkan laporan FPIC dengan rekomendasi, dan ringkasan inti laporan tersebut, yang keduanya sewajarnya ditandatangani di bawah sumpah oleh pimpinan tim dan para anggotanya. 4. Menyediakan aplikasi ganda FPIC sepanjang berlangsungnya proyek.Ketentuan ini menghendaki bahwa: “Kecuali jika secara khusus disebutkan di dalam MoA, pelaksanaan FPIC secara terpisah berlaku untuk tiap fase utama dari kegiatan yang diusulkan seperti Ekplorasi;OperasiatauPengembangan;Kontrak operator; dan sejenisnya” (Bagian 20). 5. Meminta pelaksanaan sidang majelis masyarakat adat sebanyak dua kali. Sidang pertama diadakan segera sesudah dana FPIC 42 diberikan. Selain pemberitahuan resmi kepada wakil dari wilayah kekuasaan leluhur dan yang lainnya, pengumuman tertulis juga harus ditaruh, “tujuh (7) hari sebelum kegiatan 42 RevisiPanduan FPIC dari NCIP 2012 memuat ketentuan mengenai iuran FPIC. Iuran tersebut dibayarkan oleh aplikan (perusahaan) berdasarkan kerja dan rencana keuangan untuk investifasi lapangan atau konferensi FPIC. Rencana keuangan harus disetujui aplikan, perwakilan masyarakat adat yang bersangkutan dan NCIP selama pra-konferensi tentang investigasi lapangan/rencana keuangan. Rencana keuangan harus meliputi (a) biaya makanan dan makanan ringan, ongkos transportasi dan pengeluaran bagi mereka yang terlibat dalam investigasi lapangan; (b) dokumentasi kegiatan investigasi seperti foto dan/atau video, rekaman kaset dan pengembangan, reproduksi dokumen; dan (c) Lainnya akan disepakati seluruh pihak sebelum konferensi. Komputasi pengeluaran atau biaya haruslah berdasarkan tarif yang bisa diterapkan di daerah tertentu tempat investifasi atau FPIC dilaksanakan. Uang tersebut disetor di akun piutang yang dibuat untuk tujuan tersebut oleh kantor perwakilan daerah NCIP.