Berdasarkan dokumen tersebut, terdapat beberapa pendapat mengenai penyebab korupsi yang semakin merajalela di era reformasi. Pertama, karena kecerdasan intelektual petinggi negara tidak disertai moral sehingga mereka semakin tidak malu melakukan korupsi. Kedua, sistem politik transaksional dan biaya tinggi mendorong petinggi negara melakukan korupsi untuk mencari keuntungan. Ketiga, kegagalan supremasi hukum
1. 1. Mengapa korupsi masih terjadi bahkan semakin merajalela di zaman reformasi?
Menurut Ahmad Ubaidillah, dalam harian Serambi Indonesia, korupsi masih terjadi
disebabkan karena kecerdasan intelektual para petinggi negara tidak disertai dengan
kecerdasan moral sehingga petinggi negara semakin tidak tahu malu untuk mengkorupsi uang
APBN dan APBD. Hal ini disebabkan petinggi negara kebanyakan berasal dari zaman Orde
Baru yang memiliki budaya korupsi yang kental, dan kondisi ini diperparah dengan
penyimpangan moral dari penerus-penerus bangsa yang lahir di zaman reformasi. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa tidak adanya komitmen dan keseriusan dari seluruh warga Indonesia
justru menyuburkan tindak korupsi dan seakan-akan memang tidak ada tindakan perubahan
untuk menyelesaikan masalah ini (Ubaidillah 2013).
Editorial harian Berdikari Online menjelaskan hal yang kurang lebih sama. Dalam
tulisannya, ia berpendapat bahwa tidak adanya langkah nyata pemberantasan korupsi
memperburuk fenomena korupsi. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) bahkan hanya
menjadi “alat politik” dalam rezim tertentu. Ia menambahka, sistem politik transaksional dan
berbiaya tinggi menyebabkan petinggi negara cenderung melakukan korupsi untuk “mencari
nafkah” (Berdikari 2013).
Jupri dalam situs negarahukum.com mengutarakan opini yang berbeda. Korupsi pada
zaman reformasi lebih disebabkan oleh kegagalan supremasi hukum yang parah. Supremasi
hukum terlihat dalam bentuk politik desentralisasi yang malah menjadi lahan korupsi, bukan
alat untuk mengembangkan daerah-daerah otonom. Selain itu, penuntasan kasus megakorupsi
belum menunjukkan hasilnya. Kebanyakan kasus malah tenggelam begitu saja tanpa ada
kejelasan tentang hukuman bagi para koruptor karena pelakunya adalah petinggi negara
(Jupri 2012).
Menurut kelompok kami, korupsi semakin merajalela lebih disebabkan karena adanya
kesempatan yang diberikan oleh masyarakat. Hal ini dipicu oleh ketidakpedulian masyarakat
akan nilai-nilai dasar Pancasila yang masih terasa seperti “alat propaganda” zaman Orde Baru
dengan sistem P4-nya. Padahal, dengan penanaman nilai-nilai Pancasila yang benar inilah
jiwa memiliki bangsa dan pengabdian kepada bangsa akan tumbuh dan mendasari setiap
perbuatan, sehingga siapapun yang menjadi petinggi negara berkonsentrasi penuh terhadap
kemajuan bangsanya. Kesempatan korupsi menjadi terbuka saat pengawasan dari warga
negara berkurang, dan sistem birokrasi dan pemerintahan yang buruk memperlebar
kesempatan tersebut. Apabila reformasi tidak menjangkau mental dan etika masyarakat,
praktik korupsi akan semakin tidak tersentuh solusi dan malah semakin dilindungi.