2. DEFINISI
Tetanus adalah penyakit infeksi akut
disebabkan oleh eksotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani
menyerang sistem saraf pusat, ditandai
dengan peningkatan kekakuan umum
dan kejang-kejang otot rangka tanpa
gangguan kesadaran (Ngurah Putu
3. ETIOLOGI
Penyakit tetanus disebabkan oleh Kuman
tetanus yang dikenal sebagai Clostridium
tetani. Kuman tetanus ini membentuk
spora, Sifat spora ini tahan dalam air
mendidih selama 4 jam dan obat
antiseptik tetapi mati dalam autoklaf bila
dipanaskan selama 15–20 menit pada
suhu 121°C.
4. Bila tidak terkena cahaya, maka spora
dapat hidup di tanah berbulan-bulan
bahkan sampai tahunan. Spora akan
berubah menjadi bentuk vegetatif dalam
anaerob dan kemudian berkembang biak
(Wati Safrida & Syahrul, 2014).
5. MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3–21 hari, namun
dapat singkat hanya 1–2 hari dan kadang–kadang lebih
dari 1 bulan (Wati Safrida & Syahrul, 2014). Gambaran
klinis tetanus awalnya timbul kejang otot sekitar luka,
gelisah,lemah, cemas, mudah tersinggung dan sakit
kepala. Kemudian kaku pada rahang, perut dan punggung
yang mengeras dan kesukaran untuk menelan.
6. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran yang spesifik adalah kekakuan dan kejang
otot. Kekakuan mengenai 3 kelompok utama yaitu:
otot masseter, otot-otot perut dan otot-otot
punggung, dimana penderita selalu sadar penuh.
Gejala-gejala sistemik dapat timbul, seperti panas
akibat sepsis (Ngurah Putu Puja Astawa, 2014).
7. KLASIFIKASI
• Tetanus Local
• Tetanus Sefalik
• Tetanus Generalisata
Tetanus generalisata yang merupakan bentuk paling sering.
Spasme otot, kaku kuduk, nyeri tenggorokan, kesulitan membuka
mulut, rahang terkunci (trismus), disfagia. Timbul kejang
menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bagian
bawah.
• Tetanus Neonatorum
8. PATOFISIOLOGI
Tetanus biasanya terjadi setelah tubuh terluka dan
kebanyakan luka tusukan, luka yang terkontaminasi
oleh clostridium tetani. Kerusakan jaringan
menyebabkan menurunnya potential oksidasi sehingga
menyebabkan lingkungan yang cocok untuk
pertumbuhan clostridium tetani.
9. Tetanus disebabkan oleh neurotoksin Yang kuat yaitu
tetanospasmin, yangdihasilkan sebagai protein
protoplasmik oleh bentuk vegetatif c. Tetani pada tempat
infeksi terutama ketika terjadi lisis bakteri. Tetanospasmin
dapat terikat secara kuat pada gangliosida dan tempat
masuknya yang terpenting kedalam syaraf. Bila jumlah
tetanospasmin cukup besar untuk menyebar melalui
pembuluh darah dan limfe diseluruh tubuh, yang terkena
lebih dahulu adalah otot dengan jalur saraf terpendek.
10. Suntikan tetanospasmin kedalam otak dapat
menimbulkan kejang. Tetanospasmin dapat pula
memudahkan kontraksi otot spontan tanpa
potensial aksi pada saraf eferen. Aliran eferen
yang tak terkendali akan menyebabkan proses
inflamasi dijaringan otak dan perubahan tingkat
kesadaran.
11. Terdapat trias klinis berupa spasme otot,
disfungsi otonomik, rigiditas. Rigiditas
menyebabkan epistotonus dan gangguan
respirasi dengan menurunnya kelenturan
dinding dada serta menyebabkan penurunan
reflek batuk sehingga terjadi obstruksi jalan
nafas (Batticaca, 2012).
12.
13. KOMPLIKASI
Komplikasi yang bisa terjadi pada penyakit tetanus
yaitu henti napas pada saat kejang-kejang terutama
akibat rangsangan pada waktu memasukkan pipa
lambung, aspirasi sekret pada saat atau setelah
kejang, yang dapat menimbulkan aspirasi
pneumoni, atelektasis, atau abses baru. Pada
jantung bisa terjadi takikardi dan aritmia oleh
karena rangsangan simpatis yang lama (Ngurah
Putu Puja Astawa, 2014).
14. DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan klinis
dan riwayat luka infeksi. Pemeriksaan
laboratorium kurang menunjang dalam
diagnosis. Namun pada pemeriksaan rutin
dapat dilakukan darah rutin, elektrolit, ureum,
kreatinin, mioglobin Urin, AGD, EKG serial dan
kultur untuk infeksi.
15. PENATALAKSANAAN
Pengobatan tetanus adalah dengan pemberian
antitoksin tetanus, pemberian antibiotik,
pemberian cairan untuk nutrisi dan obat-obatan
untuk mengontrol kejang. Pada pasien yang
terdapat luka serta disertai jaringan nekrotik
dilakukan debridement (Ngurah Putu Puja
Astawa, 2014).
16. Pada penatalaksanaan umum, hal-hal yang
harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
– Tercukupinya kebutuhan cairan dan nutrisi
– Menjaga saluran napas agar tetap bebas.
– Penanganan spasme, diazepam menjadi pilihan
pertama.
– Mencari port d’entree.
18. PENGKAJIAN
1. Identitas
2. Status Kesehatan Saat Ini
– Keluhan Utama
– Alasan Masuk Rumah Sakit
– Riwayat Penyakit Sekarang
– Riwayat Penyakit Sebelumnya
– Riwayat Pengobatan
– Riwayat Psikososial
19. 3. Pemeriksaan Fisik
– Keadaan Umum
• Kesadaran
Kesadaran klien biasaanya composmentis, pada
keadaan lanjut tingkat kesadaran klien tetanus
mengalami penurunan pada tingkat letargi,
stupor, dan semikomatosa.
• Tanda-tanda vital
20. • Tekanan darah : biasanya tekanan darah pada pasien tetanus
normal
• Nadi : penurunan deenyut nadi terjadi berhubungan dengan
perfusi jaringan di otak (Muttaqin, 2008).
• RR : Frekuensi pernappassan pada pasien tetanus meningkat
karena berhubungan dengan peningkatan laju metabolism
umum
• Suhu : pada pasien tetanus biasanya peningkatan suhu
tubuh lebih dari normal 38-40°C (Batticaca, 2012).
21. 4. Body System
• Sistem Pernapasan
• Sistem Kardiovaskuler
• Sistem Persarafan
• Sistem Perkemihan
• Sistem pencernaan
• Sistem Integumen
• Sistem Muskuloskeletal
• Sistem Imun
22. DIAGNOSA KEPERAWATAN
• Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungan dengan terkumpulnya liur di dalam
rongga mulut (adanya spasme pada otot faring)
• Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot
pernafasan
• Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
• Penurunan kapasitas adaptif intrakranial
23. • Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan keleithan
otot pernafasan karena adanya obstruksi trachea brachial
• Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan efek
toksin (bakterimia)
• Resiko cidera
• Nyeri akut berhubungan dengan agen ijury fisik, spasme otot,
gerakan fragmen tulang
25. EVIDENCE BASED PRACTICE
1. Debridement Luka Tetanus
Berdasarkan penelitian disarankan untuk melakukan
debridement focus inokulasi. Prosedur ini dilakukan 1
hingga 6 jam setelah pemberian immunoglobulin.
Rekomendasi untuk melakukan debridement 1 hingga 6 jam
setelah HTIG atau ATS sistemik dibeikan didasarkan ada
alasan bahwa interval ini akan memungkinkan netralisasi
toksin yang tepat pada luka, dan untuk mencegah
penyebaran toksin selama luka.
26. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan :
• Buka luka jika dicurigai terdapat nanah
• Bersihkan luka dengan cairan desinfektan
• Tutup ringan luka dengan kasa lembap. Ganti balutan setiap hari, lebih
sering bila perlu
• Berikan antibiotik sampai selulitis sekitar luka sembuh (biasanya dalam
waktu 5 hari).
• Berikan kloksasilin oral (25–50 mg/kgBB/dosis 4 kali sehari) karena
sebagian besar luka biasanya mengandung Staphylococus.
• Berikan ampisilin oral (25–50 mg/kgBB/dosis 4 kali sehari), gentamisin (7.5
mg/kgBB IV/IM sekali sehari) dan metronidazol (7.5 mg/kgBB/dosis 3 kali
sehari) jika dicurigai terjadi pertumbuhan bakteri saluran cerna
27. EVIDENCE BASED PRACTICE
2. Trakeostomi
Trakeostomi harus dilakukan sesegera mungkin
dalam 24 jam pertama setelah intubasi
orotrakeal pada pasien dengan tetanus sedang
dan berat yang membutuhkan perlindungan
jalan napas atau ventilasi mekanis.
28. EVIDENCE BASED PRACTICE
Di masa lalu, penyabab utama morbiditas dan
mortalitas pada tetanus termasuk kegagalan
pernapasan karena kerusakan otot pernapasan
dan kejang laring, komplikasi yang terkait
dengan penggunaan penghambat
neuromuskuler, dan masalah ventilasi
mekanis, seperti terputusnya respirator atau
kesulitan dengan ventilasi karena otot dada
mengalami kekakuan.
29. EVIDENCE BASED PRACTICE
Intubasi orotrakeal dapat dilakukan pada
awalnya. Namun, adanya tuba endotrakeal
dapat memicu atau memperburuk kejang
laring dan kejang umum. Untuk menghindari
komplikasi ini, yang dapat menyebabkan
kebutuhan otot yang tidak perlu, dan untuk
memfasilitasi dukungan ventilasi, trakeostomi
harus dilakukan sejak dini.