KEBIJAKAN GLOBAL PELAYANAN KEBIDANAN090222 18-Nov-2022 07-29-34.ppt
KONSEP LANJSIA
1. 4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Lansia
1. Pengertian Lansia
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 67 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan
Lanjut Usia di Pusat Kesehatan Masyarakat disebutkan bahwa lanjut usia
(lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun
ke atas. Lansia adalah seseorang yang berusia lebih dari 65 tahun, yang
selanjutnya terbagi ke dalam usia 70-75 tahun, 76-80 tahun dan lebih dari
80 tahun (Noorkasiani, 2009 dalam Saputra, dkk, 2016). Sebagaimana
yang dijelaskan oleh Notoatmodjo (2007) dalam Raissa (2012) bahwa usia
lanjut adalah kelompok orang yang mengalami suatu proses perubahan
yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade.
Lanjut usia ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu usia kronologis
yang dihitung berdasarkan tahun kalender, usia biologis yang diterapkan
berdasarkan pematangan jaringan dan usia psikologis yang dikaitkan
dengan kemampuan seseorang untuk dapat mengadakan penyesuaian
terhadap setiap situasi yang dihadapinya (Noorkasiani, 2009).
Menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan
manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya
dimulai dari suatu waktu terrtentu, tetapi dimulai sejak permulaan
kehidupan. Menjadi tua merupakan suatu proses alamiah, yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa dan
tua. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya
kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut
memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan
semakin memburuk, gerakan lambat dan figur tubuh yang tidak
proporsional (Nugroho, 2008).
2. 5
Dari beberapa pengertian di atas, usia lanjut dapat kita artikan
sebagai seseorang yang berusia 60 tahun keatas dimana proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya.
2. Klasifikasi dan Batasan Usia Lanjut
Lanjut usia dibagi oleh sejumlah pihak dalam berbagai klasifikasi
dan batasan (Ratnawati, 2017).
a. Menurut WHO batasan usia lanjut meliputi:
1) Middle Age : 45-59 tahun
2) Elderly : 60-70 tahun
3) Old : 75-90 tahun
4) Very Old : Di atas 90 tahun
b. Maryam (2008) mengklasifikasikan lansia antara lain:
1) Pralansia (prasenilis)
Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun
2) Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
3) Lansia Risiko Tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/ seseorang yang berusia
60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2003).
4) Lansia Potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/ atau kegiatan
yag dapat menghasilkan barang/ jasa (Depkes RI, 2003).
5) Lansia Tidak Potensial
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya
bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).
c. Menurut Kementrian Kesehatan RI (2015) lanjut usia dikelompokan
menjadi usia lanjut (60-69 tahun) dan usia lanjut dengan risiko tinggi
(lebih dari 70 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan).
3. 6
3. Teori Penuaan
a. Teori Wear and Tear (Dipakai dan Rusak)
Teori ini menjelaskan bahwa terjadinya penumpukan berbagai zat
yang tidak berguna dalam tubuh seperti radikal bebas menyebabkan
penurunan berbagai fungsi sistem tubuh (Stanley & Beare, 2006).
Kaitan teori ini dengan terjadinya konstipasi pada lansia yaitu dampak
penumpukan sampah metabolik yakni feses dalam sistem pencernaan
lansia dapat menyebabkan konstipasi (Wulandari, 2016).
b. Teori Kebutuhan Dasar
Menurut teori Maslow, kebutuhan fisiologis seperti makan dan
minum merupakan kebutuhan dasar pertama yang harus terpenuhi oleh
manusia (Potter & Perry, 2005) menurut teori Henderson, terdapat 14
kebutuhan dasar yang harus terpenuhi yang juga mencakup kebutuhan
fisiologis seperti kebutuhan eliminasi (Potter & Perry, 2005). Oleh
karen aitu, terjadinya konstipasi pada lansia mengganggu pemenuhan
kebutuhan dasar lansia (Wulandari, 2016).
4. Sistem Pencernaan Lansia dan Perubahannya
Dalam Wulandari (2016) dijelaskan bahwa sistem pencernaan lansia
mengalami beberapa perubahan fisiologis dan proses pencernaannya pun
mengalami penurunan (Potter & Perry, 2005). Pada usus halus lansia
terjadi penurunan motilitas atau pergerakan usus dan absorbsi zat-zat
makanan juga menjadi lebih lambat (Kozier, Erb & Berman, 2011). Pada
usus besar lansia terjadi penurunan elastisitas dinding usus, persepsi otak
terhadap penuhnya rektum, tonus otot usus, serta gerak peristaltik (Miller,
2012). Selain itu, terjadi penurunan kepekaan saraf, pengosongan usus
tidak tuntas, dan ketidakmampuan meneruskan rangsangan untuk defekasi
juga terjadi pada sistem pencernaan lansia (Stanley & Beare, 2006).
Jumlah neuron pleksus mienterika berkurang dan respon terhadap
rangsangan menurun sehingga persarafan mienterika yang berfungsi
4. 7
dalam proses percernaan tidak berfungsi optimal (Gallegos-Orozco, et al,
2012).
Defekasi terjadi ketika penumpukan feses menyebabkan rektum
meregang sehingga merangsang sfingter ani internal untuk melemas dan
kolon sigmoid serta rektum berkontraksi selanjutnya feses dapat
dikeluarkan atau defekasi terjadi ketika sfinter ani eksternal juga melemas
(Sherwood, 2012). Peregangan rektum menyebabkan rasa ingin defekasi,
namun jika defekasi tidak dibutuhkan maka pengencangan pada sfingter
ani eksternal dapat mencegah terjadinya defekasi (Sherwood, 2012).
Tindakan ini dapat menyebabkan rektum yang meregang menjadi
melemas hingga adanya penumpukan kembali feses dalam rektum yang
merangsang defekasi kembali (Sherwood, 2012). Oleh karena itu, defekasi
merupakan suatu kebutuhan.
B. Konsep Konstipasi
1. Pengertian Konstipasi
Konstipasi secara luas didefinisikan sebagai frekuensi jarang atau
kesulitan pergerakan feses, feses kering (Leueckenotte, 2000). Menurut
Stanley (2007) Konstipasi adalah suatu penurunan frekuensi pergerakan
usus yang disertai dengan perpanjangan waktu dan kesulitan pergerakan
feses. Sebagaimana yang dijelaskan dalam NANDA, bahwa konstipasi
adalah penurunan frekuensi defekasi pada seseorang yang disertai dengan
pengeluaran feses yang sulit, tidak tuntas, keras dan kering (Herdman &
Kamitsuru, 2014).
Dharmika (2009) dalam Saputra, dkk, (2016) juga menambahkan
bahwa konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar berupa
berkurangnya frekuensi buang air besar, sensasi tidak puas/lampiasnya
buang air besar, terdapat rasa sakit, perlu ekstra mengejan atau feses yang
keras. Dalam praktek sehari-hari dikatakan konstipasi bila buang air besar
kurang dari 3 kali seminggu atau 3 hari tidak buang air besar atau buang air
besar diperlukan mengejan secara berlebihan.
5. 8
2. Manifestasi Klinis
Menurut Stanley (2007) :
a. Mengejan berlebihan saat BAB
b. Massa feses yang keras
c. Perasaan tidak puas saat BAB
d. Sakit pada daerah rektum saat BAB
e. Menggunakan jari-jari untuk mengeluarkan feses
3. Makanan yang Menyebabkan Konstipasi
Berikut beberapa makanan umum yang dapat menyebabkan
konstipasi :
a. Makanan yang Tinggi Lemak
Contoh : minyak kacang tanah, minyak kelapa sawit, minyak kelapa,
ayam, daging sapi, mentega, margarin, keju, susu kental manis, tepung
susu, dan sebagainya.
b. Makanan yang tinggi gula
Seperti makanan yang manis-manis, keju, dan makanan olahan
4. Makanan yang Tidak Menyebabkan Konstipasi
Berikut beberapa makanan yang tidak menyebabkan konstipasi :
a. Buah-Buahan Segar
Contoh : alpukat, anggur, belimbing, jambu biji, jeruk bali, jeruk sitrun,
mangga, melon, nanas, pepaya, pisang, semangka, sirsat, srikaya, dan
sebagainya.
b. Sayuran
Contoh : bayam, kangkung, daun pepaya, daun singkong, sawi hijau,
kubis, kacang panjang, buncis, dan sebagainya.
c. Makanan Tinggi Serat
Contoh : tepung maizena, beras ketan, ubi merah, ubi putih, oncom
merah, oncom putih, kacang hijau, kacang tanah, dan sebagainya.
6. 9
d. Makanan yang Menyediakan Asam Lemak Omega-3
Terdapat dalam daun-daunan, beberapa minyak biji-bijian, termasuk
minyak kacang kedelai, minyak biji rami, minyak biji rape, minyak
ikan, ikan, kecambah, gandum (Almatsier, 2010).
5. Akibat Konstipasi
Akibat konstipasi pada Lansia (Wulandari, 2016):
Impaksi atau feses yang menumpuk dan mengeras dapat disebabkan karena
konstipasi, kemudian impaksi feses tersebut dapat mengakibatkan
gangguan eliminasi urin berupa inkontinensia ataupun retensi urin
(Woodward, et al., 2002). Pada lansia, konstipasi menyebabkan gangguan
perkemihan akibat dari penumpukan feses pada kolon bagian bawah dan
rektum (Ginsberg, dkk., 2007). Konstipasi pada lansia juga menyebabkan
gangguan anorektal seperti hemmoroid, prolaps rektum, dan volvulus
sigmoid (Chu, Zhong, Zhang, Zhang & Hou, 2014).
6. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Konstipasi pada Lansia
Penyebab konstipasi pada lansia antara lain obat-obatan; penyakit
neuropati dan miopati; idiopatik; anoreksia; dehidrasi; defekasi yang
ditahan; diet yang tidak adekiat, rendah serat, tinggi protein, bahkan serat
yang berlebihan; hiperglikemi; hipokalemi; hipotiroid; gangguan
psikologis; gaya hidup kurang gerak; serta gangguan pada saraf pusat
(Gallegos-Orozco, et al, 2012 dalamWulandari, 2016).
Menurut Dudek (1997, dalam Leueckenotte, 2000), kejadian
konstipasi pada lansia dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu :
a. Asupan Serat
1) Pengertian
Serat makanan (diatery fiber) adalah komponen dalam
tanaman yang tidak tercerna secara enzimatik menjadi bagian-
bagian yang dapat diserap di saluran pencernaan (Almatsier, 2010).
7. 10
2) Ragam Serat makanan
Menurut Wirakusumah (2003) ada dua istilah yang sering
digunakan dalam kaitannya dengan serat yaitu :
a) Dietary fiber (serat makanan) ialah semua jenis serat yang tetap
dalam kolon setelah pencernaan, baik serat larut air maupun
serat tidak larut air.
b) Crude fiber (serat kasar) ialah serat tumbuhan yang tidak larut
dalam air, misalnya selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Adapun
serat yang larut dalam air adalah pektin, gum, gel dan
mucilages.
3) Klasifikasi Serat
Klasifikasi serat menurut karakteristik kelarutan dalam air, yaitu :
a) Serat larut air (Soluble fibre)
Serat larut air adalah serat yang larut dalam air kemudian
membentuk gel dalam saluran pencernaan dengan cara
menyerap air. Soluble fiber meliputi pectin, gum, mucilage, dan
beberapa hemicelluloses. Bentuk lain soluble fiber/serat larut
ditemukan pada gandum, padi dan polong. Pengaruh serat larut
dalam saluran cerna berhubungan dengan kemampuan mereka
untuk menahan air dan membentuk gumpalan/gel.
b) Serat tidak larut air (Insoluble fibre )
Serat tidak larut air yaitu serat yang tidak dapat larut dalam
air dan juga dalam sistem pencernaan, tetapi memiliki
kemampuan menyerap air dan meningkatkan tekstur dan
volume tinja. Insoluble fiber terutama terdiri dari cellulose dan
hemicelluloses. Sumber utama serat ini berada dalam padi,
sereal dan biji-bijian (Devi, 2010).
4) Anjuran Konsumsi
Belum ada AKG untuk serat. Namun, untuk diet 2.000 kalori
untuk orang dewasa, paling sedikit 1.000-2.000 kalori harus berasal
dari karbohidrat kompleks. Diet serat yang dianjurkan adalah 20
8. 11
gram-35 gram per hari dan cukup untuk pemeliharaan tanpa efek
negatif terhadap kesehatan (Devi, 2010).
5) Keuntungan Serat
Keuntungan-keuntungan serat antara lain: (1) berfungsi untuk
mengontrol berat badan (2) mencegah/meringankan risiko
konstipasi, Irritable Bowel Syndrome, penyakit divertikular, dan
haemorrhoid (3) mencegah kanker kolon (4) menurunkan kadar
Low Density Lipoprotein dan kolesterol (5) memperlambat absorbsi
glukosa (berguna untuk meregulasi kadar gula darah) (Devi, 2010).
6) Asupan Serat dan Konstipasi
Konsumsi serat makanan, khususnya serat tak larut (tak
dapat dicerna dan tak larut air panas) menghasilkan kotoran yang
lembek. Insoluble fibre bersifat menahan air pada fragmen serat
sehingga menghasilkan tinja yang lebih banyak dan berair.
Akibatnya akan terjadi stimulasi gerakan peristaltik, mempercepat
waktu transit kolon, peningkatan frekuensi defekasi, dan penurunan
tekanan di dalam kolon (Wirakusumah E. , 2003).
b. Intake Cairan
Pada lansia, proses penuaan normal dapat mempengaruhi
keseimbangan cairan. Perubahan fisiologi yang terjadi antara lain
respons haus sering menjadi tumpul, nefron (unit fungsional ginjal)
menjadi kurang mampu menahan air, penurunan TBW (total body water)
yang berhubungan dengan FFM (Fat Free Mass). Perubahan normal
karena penuaan ini meningkatkan resiko dehidrasi (Audrey Berman et.al,
2009). Angka kecukupan air untuk usia di atas 50 tahun keatas menurut
AKG, tahun 2004 dalam Devi (2010) adalah 1,5-2 liter/hari.
Intake cairan berpengaruh pada eliminasi fekal. Kolon
menggunakan banyak air untuk memecah makanan padat. Bahan sisa
metabolisme dalam saluran cerna akan membawa sejumlah air yang telah
digunakan untuk mencairkan makanan, dan hal ini tergantung pada
9. 12
ketersediaan air di dalam tubuh. Air yang membawa sisa metabolisme
akan bertindak sebagai pelumas untuk membantu sisa metabolisme ini
bergerak di sepanjang kolon. Semakin tubuh membutuhkan air, semakin
besar usahanya untuk menyerap kembali air yang tersedia di dalam usus.
Proses ini memberikan tekanan besar pada sisa metabolisme agar airnya
dapat diabsorbsi kembali oleh mukosa atau dinding selaput dari kolon.
Dampaknya tinja menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses
yang keras (Guyton & Hall, 1996).
c. Aktivitas Fisik
Mempertahankan mobilisasi optimal sangat penting untuk kesehatan
mental dan fisik semua lansia. Pada umumnya, para lansia akan
mengalami penurunan aktifitas fisik. Salah satu faktor penyebabnya
adalah pertambahan usia yang dapat menyebabkan terjadinya
kemunduran biologis. Kondisi ini setidaknya akan membatasi aktifitas
yang menuntut ketangkasan fisik. Aktivitas fisik juga merangsang
terhadap timbulnya peristaltik. Penurunan aktivitas fisik dapat
mengakibatkan terjadinya penurunan gerak peristaltik dan dapat
menyebabkan melambatnya feses menuju rectum dalam waktu lama dan
terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga feses mengeras. Aktivitas fisik
juga membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot. Tonus otot
yang baik dari otot-otot abdominal, otot pelvis dan diafragma sangat
penting bagi defekasi (Asmadi, 2008).
C. Asuhan Keperawatan Konstipasi pada Lansia
1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
Identitas atau data demografi mencakup inisial nama, usia, riwayat
pendidikan dan pekerjaan, serta alamat tempat tinggal (Widyatuti &
Nurviyandari, 2013 dalam Wulandari, 2016).
10. 13
b. Riwayat Kesehatan
Dalam Wulandari (2016), riwayat kesehatan meliputi riwayat
terdahulu dan saat ini serta riwayat keluarga (Widyatuti &
Nurviyandari, 2013). Riwayat kesehatan terdahulu mencakup riwayat
pembedahan, riwayat penyakit yang pernah diderita dan riwayat
dirawat, serta riwayat obat-obatan yang juga mencakup pengetahuan
klien tentang obat, kepatuhan minum obat, dan efek obat yang
dirasakan (Stanhope & Knollmueller, 2008). Pengkajian riwayat lansia
juga mencakup riwayat sosial (Stanhope & Knollmueller, 2008).
Riwayat sosial mencakup sosioekonomi, kemampuan beraktivitas,
serta hubungan dengan keluarga dan sesama lansia (Stanhope &
Knollmueller, 2008). Riwayat konstipasi juga dikaji pada masalah
konstipasi (Arenson, et al., 2009).
c. Kebiasaan Sehari-hari
Kebiasaan sehari-hari meliputi pola makan, minum, tidur, eliminasi
urin dan fekal, aktivitas sehari-hari dan rekreasi (Widyatuti &
Nurviyandari, 2013). Pada pengkajian konstipasi, pola eliminasi fekal
yang dapat dikaji meliputi frekuensi defekasi, perubahan pada pola
defekasi, kesulitan saat defekasi seperti mengedan, karakteristik feses
yang keras, kering, dan sulit dikeluarkan, penggunaan pencahar, serta
ada atau tidaknya nyeri dan darah saat defekasi (Miller, 2012 dalam
Wulandari, 2016).
d. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan menyeluruh mencakup
kepala, dada, abdomen, ekstremitas, serta pemeriksaan tanda-tanda
vital, keadaan umum, dan tingkat kesadaran (Widyatuti &
Nurviyandari, 2013). Pemeriksaan fisik termasuk dalam pengkajian
konstipasi pada lansia (Arenson, et al., 2009). Pemeriksaan fisik pada
masalah konstipasi dilakukan terhadap abdomen dan rectum (Miller,
11. 14
2012). Pemeriksaan rektum dilakukan pada posisi miring (Miller,
2012). Pemeriksaan abdomen dilakukan pada posisi supine (Miller,
2012). Pada inspeksi, penemuan distensi abdomen dan jaringan parut
akibat tindakan bedah perlu dicatat (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza,
2006).
Selanjutnya dilakukan auskultasi bising usus untuk mengetahui
gerak peristaltik (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006). Pada
pemeriksaan bising usus, diafragma stetoskop digunakan untuk
mendengarkan bising usus mulai dari kuadran kanan bawah hingga
kuadran kiri bawah abdomen selama minimal 60 detik (Nusyirwan,
2008). Secara normal, pada lansia, dapat terdengar bising usus dengan
nilai normal 5-15 kali per menit (Miller, 2012). Bell stetoskop
digunakan untuk mendengarkan bunyi vaskuler pada area arteri renalis,
iliaka, dan femoralis dengan cara meletakkan bell pada area sejajar
garis midklavikula di samping aorta di atas umbilikus (Nusyirwan,
2008). Penyumbatan parsial pada usus menghasilkan suara yang
gaduh, sedangkan penyumbatan total menghasilkan suara gemerincing
dan sangat kencang (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006).
Kemudian dilakukan perkusi hepar untuk memperkirakan ukuran hepar
sehingga mengetahui ada atau tidaknya gangguan hepar (Gallo,
Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006). Selain itu, dilakukan perkusi di atas
organ abdomen untuk mengetahui suara yang dihasilkan yaitu timpani
atau dullness yang mana timpani adalah suara normal dan dullness
menunjukkan adanya obstruksi (Burger, 2008).
Terakhir adalah palpasi. Pada konstipasi, feses mudah dipalpasi
namun hasil yang teraba berbeda dengan massa tumor (Gallo, Bogner,
Fulmer, & Paveza, 2006). Massa abdomen yang tidak dapat digerakkan
menandakan tumor gastrointestinal (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza,
2006). Selain itu, adanya aneurisme pada aorta abdomen dapat
dirasakan seperti adanya denyutan pada massa abdomen, namun
denyutan ini dapat dirasakan normal pada lansia dengan tubuh yang
12. 15
kurus (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006) dalam (Wulandari,
2016).
e. Constipation Scoring System (CSS)
Konstipasi dapat juga diidentifikasi melalui Constipation Scoring
System (CSS). Pertanyaan dalam CSS mencakup frekuensi defekasi,
usaha mengedan, defekasi yang tidak tuntas, nyeri abomen, lama
defekasi (menit), bantuan yang digunakan untuk dapat defekasi, tidak
dapat defekasi dalam 24 jam, dan riwayat konstipasi dalam setahun
(Agachan, et al., 1996 dalam Kristamuliana, 2015). Total skor CSS
adalah 30 dimana semakin besar skor, semakin tinggi tingkat keparahan
konstipasi yang dialami (McClurg, Hagen, Hawkins, & Lowe-Strong,
2011) dalam (Wulandari, 2016).
2. Perumusan Diagnosis
Berdasarkan NANDA, beberapa diagnosis keperawatan yang dapat
ditegakkan dari masalah konstipasi yaitu konstipasi, risiko konstipasi,
konstipasi kronik fungsional, risiko konstipasi kronik fungsional, dan
konstipasi yang dirasakan (perceived constipation) (Herdman &
Kamitsuru, 2014). Berdasarkan NANDA, diagnosis konstipasi dapat
ditegakkan jika terdapat data antara lain nyeri abdomen, penurunan
frekuensi defekasi dan banyaknya feses yang dikeluarkan, feses yang
keras, bising usus yang hiperaktif ataupun hipoaktif, tidak dapat defekasi,
nyeri saat defekasi, teraba massa abdomen atau rektum, suara dullness
pada abdomen, rektum penuh, tekanan pada rektum, dan mengedan saat
defekasi (Herdman & Kamitsuru, 2014). Diagnosis risiko konstipasi
didefinisikan sebagai kerentanan mengalami konstipasi (Herdman &
Kamitsuru, 2014). Diagnosis konstipasi kronik fungsional ditegakkan jika
konstipasi telah terjadi selama 3-12 bulan terakhir (Herdman &
Kamitsuru, 2014). Konstipasi ini ditandai dengan antara lain adanya ≥ 2
gejala pada klasifikasi Rome III yaitu feses keras atau mengedan ≥ 25%
13. 16
defekasi; defekasi tidak tuntas atau sensasi adanya penyumbatan pada
anorektal ≥ 25% defekasi; bantuan manual membantu ≥ 25% defekasi atau
defekasi ≤ 3 kali seminggu (Herdman & Kamitsuru, 2014). Diagnosis
risiko konstipasi kronik fungsional didefinisikan sebagai kerentanan
mengalami konstipasi kronik fungsional akibat adanya faktor risiko
seperti obat-obatan, diet tinggi lemak dan protein, kurang gerak, dan
gangguan mobilisasi (Herdman & Kamitsuru, 2014). Diagnosis konstipasi
yang dirasakan didefinisikan sebagai konstipasi yang didiagnosis oleh diri
klien sendiri disertai adanya penggunaan laxatif, enema, atau suppositoria
(Herdman & Kamitsuru, 2014) dalam (Wulandari, 2016).
3. Rencana Keperawatan
Berdasarkan NIC, intervensi keperawatan dalam mengatasi
diagnosis konstipasi meliputi manajemen bowel, latihan bowel,
manajemen konstipasi/impaksi, diet, enema, manajemen cairan/eletrolit,
manajemen cairan, pemantauan cairan, obat, manajemen nutrisi, dan
manajemen rektal yang prolaps (Bulechek, Butcher, Dochterman, &
Wagner, 2013).
Manajemen bowel adalah tindakan memelihara pola eliminasi yang
teratur (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas
yang dilakukan antara lain mencatat defekasi terakhir, memantau
karakteristik defekasi, bising usus, dan tanda gejala konstipasi,
melaporkan peningkatan atau penurunan bising usus, mengajarkan klien
mencatat karakteristik fesesnya, mendorong konsumsi diet tinggi serat
dan makanan rendah gas, memberikan air hangat setelah makan,
mengevaluasi efek medikasi terhadap gastrointestinal, dan memberikan
obat suppositoria ke dalam rektal (Bulechek, Butcher, Dochterman, &
Wagner, 2013).
Latihan usus besar adalah tindakan melatih usus untuk defekasi pada
waktu yang dijadwalkan (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner,
2013). Aktivitas yang dilakukan hampir sama ditambah dengan membuat
14. 17
jadwal defekasi yang konsisten, mengajarkan klien prinsip latihan,
mengajarkan olahraga, menjaga privasi defekasi, dan memodifikasi
program latihan (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013).
Manajemen konstipasi/impaksi adalah tindakan mencegah atau
mengurangi konstipasi/impaksi (Bulechek, Butcher, Dochterman, &
Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan hampir sama ditambah dengan
mengidentifikasi faktor penyebab dan menjelaskan penyebab konstipasi
dan rasional tindakan kepada klien, mengajarkan klien tentang
penggunaan laxatif yang sesuai, hubungan diet, olahraga, dan cairan
terhadap konstipasi, dan proses pencernaan yang normal, mengevaluasi
nutrisi, mengukur berat badan teratur, dan melakukan pengeluaran feses
secara manual (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013).
Manajemen cairan/eletrolit adalah tindakan mengatur dan mencegah
komplikasi kekurangan cairan atau elektrolit (Bulechek, Butcher,
Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan antara lain
memantau tanda gejala dehidrasi, memberi cairan yang sesuai,
meningkatkan asupan cairan secara oral seperti menyediakan cairan yang
diinginkan klien dan mudah dijangkau, mencatat masukan dan haluaran
cairan, dan mengontrol kehilangan cairan seperti akibat penggunaan
antipiretik (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013).
Manajemen cairan juga hampir sama ditambah dengan memantau status
hidrasi seperti kelembaban membran mukosa, keadekuatan nadi, dan
tekanan darah (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013).
Pemantauan cairan mencakup aktivitas memantau jumlah dan jenis cairan
yang dikonsumsi serta memantau tanda perubahan cairan seperti pusing
(Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013).
Diet staging adalah tindakan membatasi diet (Bulechek, Butcher,
Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dapat dilakukan antara lain
mengkaji adanya bising usus dan memberikan diet bertahap hingga diet
khusus atau biasa (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013).
Manajemen nutrisi adalah tindakan menyediakan nutrisi yang
15. 18
seimbang (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas
yang dilakukan antara lain menentukan status nutrisi dan jenis nutrisi yang
dibutuhkan, menyesuaikan diet, dan mengajarkan diet yang dibutuhkan
lansia yaitu tinggi serat untuk mengatasi konstipasi.
Manajemen rektal yang prolaps adalah tindakan mencegah atau
mengurangi prolaps rektum secara manual (Bulechek, Butcher,
Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan antara lain
mengkaji riwayat, mendorong klien menghindari mengedan, mengajarkan
untuk teratur dalam diet, olahraga, dan obat, serta mengajarkan posisi saat
terjadi prolaps (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013).
Dalam intervensi keperawatan pada lansia yang mengalami
konstipasi, edukasi kesehatan juga dapat dilakukan. Materi edukasi dapat
mencakup diet tinggi serat, menghindari laxatif dan enema, pemilihan obat
yang meningkatkan defekasi seperti jenis bulk forming seperti psyllium
atau methylcellulose, tidak menahan defekasi, serta olahraga teratur
(Miller, 2012). Edukasi mengenai pentingnya diet, olahraga, dan toilet
training merupakan juga dapat dilakukan pada lansia (Gallegos-Orozco,
Foxx-Orenstein, Sterler, & Stoa, 2012) dalam (Wulandari, 2016).
4. Intervensi Utama (MassaseAbdomen, Posisi Defekasi,dan Pemberian
Cairan)
a. Massase Abdomen
Massase abdomen adalah tindakan pemijatan pada abdomen.
Massase abdomen merupakan salah satu manajemen usus (bowel
management) (NHS, 2014). Massase mengurangi konstipasi pada
orang dewasa (Wang & Yin, 2015). Massase abdomen meningkatkan
fungsi sistem pencernaan (NHS, 2014). Massase abdomen dan
pemberian posisi defekasi meningkatkan frekuensi defekasi,
mempercepat defekasi, dan rasa nyaman saat defekasi (Kristamuliana,
2015). Berdasarkan penelitian McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-
Strong (2011), pemberian massase abdomen pada klien multiple
16. 19
sclerosis yang mengalami konstipasi dapat meningkatkan frekuensi
defekasi. Selain itu, massase abdomen juga meningkatkan tekanan
intraabdomen sehingga mengurangi mengedan (McClurg & Lowe-
Strong, 2011). Meskipun demikian, massase abdomen tidak dapat
dilakukan pada klien dengan riwayat obstruksi usus maligna, riwayat
penyakit inflamasi usus, penyakit Crohn’s, atau kolitis ulseratif, spasme
kolon pada klien dengan sindrom iritasi usus, cedera saraf tulang
belakang yang tidak stabil, dan jaringan parut pada abdomen atau
bedah abdomen baru (NHS, 2014). Oleh karena kontraindikasi
tersebut, pemeriksaan yang lengkap perlu dilakukan sebelum
memberikan massase abdomen untuk memastikan bahwa massase
abdomen dapat dilakukan atau tidak.
Massase abdomen dapat dilakukan selama 15 menit (McClurg,
Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong, 2011). Menurut NHS (2014), dapat
juga dilakukan selama 10-20 menit. Alat dan bahan yang dapat
digunakan antara lain sarung tangan bersih, minyak, bantal, dan selimut
atau handuk. Menurut Chung dan Choi (2011) dalam Wang dan Yin
(2015), aromaterapi pada minyak tidak memberikan efek pada
penanganan konstipasi, namun menurut Kim, Sakong, Kim, dan Kim
(2005) dalam Wang dan Yin (2015), minyak esensial membantu
penanganan konstipasi pada lansia. Minyak bayi atau baby oil
merupakan salah satu minyak esensial sehingga dapat digunakan dalam
massase abdomen pada lansia.
Setelah persiapan diri perawat, alat, dan klien dengan
memosisikan klien supine dengan kepala didukung bantal dan selimut
untuk menutupi bagian tubuh lain, massase abdomen dilakukan dengan
menggunakan beberapa teknik. Teknik massase abdomen yang dapat
digunakan yaitu berdasarkan penelitian McClurg, Hagen, Hawkins, dan
Lowe-Strong (2011) yang kemudian diaplikasikan dalam penelitian
Kristamuliana (2015) terhadap lansia. Teknik tersebut dipilih karena
telah diteliti pada pasien dengan multipel sklerosis atau gangguan
17. 20
neurologi yang memiliki kesamaan dengan kondisi penurunan saraf
pada lansia sehingga menyebabkan konstipasi. Selain itu, teknik
tersebut termasuk yang terkini dan telah banyak digunakan sebagai
acuan pada penelitian selanjutnya. Teknik massase abdomen tersebut
meliputi (1) melakukan pengusapan pada saraf vagus, dari puncak
iliaka hingga ke kedua sisi panggul yaitu pada pangkal paha; (2)
melakukan pengusapan pada kolon dari kolon asenden, transversum,
hingga desenden dengan tekanan yang semakin meningkat untuk
merangsang kontraksi kolon sehingga feses terdorong; (3) melakukan
pemerasan pada kolon dari asenden, transversum, hingga desenden
untuk memecahkan feses; (4) melakukan pengusapan lagi sepanjang
kolon kemudian melakukan pengusapan melintang ringan di atas
abdomen; serta (5) melakukan vibrasi pada dinding abdomen untuk
menghasilkan flatus (Wulandari, 2016).
b. Posisi Defekasi
Berdasarkan hasil penelitian Kristamuliana (2015), pemberian
posisi defekasi dengan menggunakan topangan kursi setinggi 8 inchi
pada kaki lansia membantu mengurangi konstipasi pada lansia.
Menurut Wallis, et al (2003) dan Wilson (2005) dalam Kristamuliana
(2015), ketinggian kursi yang dapat diberikan yaitu 7-9 inchi.
Penurunan dasar panggul dengan sudut rektoanal lurus, kontraksi otot
abdomen, serta relaksasi otot puborektal dan sfingter anal eksternal
diperlukan untuk dapat defekasi secara normal (Leung, Riutta, Kotecha,
& Rosser, 2011). Berdasarkan penelitian Sikirov (2003), terjadi
pengosongan usus yang lebih cepat dan lebih memuaskan dengan posisi
jongkok saat defekasi. Selain itu, posisi jongkok atau posisi duduk
dengan panggul difleksikan dapat mengurangi mengedan (Sakakibara,
et al., 2010). Hal tersebut dikarenakan posisi defekasi dengan panggul
difleksikan akan membuat sudut rektoanal menjadi lurus sehingga
mengedan tidak dibutuhkan (Sikirov, 2003). Pada lansia wanita,
18. 21
rektoanal menjadi tidak membuka secara optimal sehingga feses
menjadi sulit dikeluarkan (Gallegos-Orozco, Foxx-Orenstein, Sterler,
& Stoa, 2012). Defekasi dengan meninggikan kaki pada posisi duduk
dapat membantu mengefektifkan penggunaan otot abdomen dan dasar
panggul (Woodward, Moran, Ellicott, Lourens, & Saunders, 2002)
dalam (Wulandari, 2016).
c. Pemberian Cairan
Berdasarkan penelitian Tampubolon (2008), pemberian air dapat
meningkatkan frekuensi defekasi dan membuat lebih cepat terjadi
defekasi pada klien konstipasi. Menurut Patel, Patel, Patel, dan Sen
(2015), pemberian air hangat secara teratur terutama di pagi hari dapat
meningkatkan kerja usus sehingga membantu eliminasi fekal.
Meningkatkan asupan cairan dan minum air hangat setelah makan
merupakan intervensi keperawatan dalam mengatasi konstipasi
(Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Pemberian cairan
dapat merangsang aktivitas kolon (Wallace, 2008). Konsumsi cairan
1,5-2 liter per hari dapat mencegah konstipasi (Wallis, 2004).
Kebutuhan cairan untuk lansia adalah 30-35 cc/kg berat badan per hari
(National Collaborating Center for Acute Care, 2006 dalam Wallace,
2008). Semua jenis cairan kecuali yang mengandung kafein dan
pemanis disarankan dalam mengatasi konstipasi pada lansia (Capezuti,
Siegler, & Mezey, 2008) dalam (Wulandari, 2016).
5. Evaluasi
Evaluasi terhadap implementasi yang telah dilakukan pada lansia
yang mengalami konstipasi dapat dilakukan dengan mengidentifikasi
konstipasi yang dialami, faktor yang menyebabkan konstipasi, serta pola
defekasi dan masalah teratasi jika lansia dapat defekasi secara teratur
dengan karakteristik feses yang lembut, tanpa mengedan atau rasa tidak
nyaman saat defekasi (Miller, 2012). Evaluasi juga dapat dilakukan
19. 22
melalui CSS setelah intervensi selesai (McClurg, Hagen, Hawkins, &
Lowe-Strong, 2011; Kristamuliana (2015) Hasil yang diharapkan dari
intervensi keperawatan terhadap konstipasi yaitu hidrasi, eliminasi fekal,
respon terhadap medikasi, dan kontrol gejala (Miller, 2012). Berdasarkan
NOC, hasil yang diharapkan dari intervensi keperawatan terhadap
diagnosis konstipasi yaitu eliminasi fekal dengan indikator keberhasilan
yang mencakup peningkatan pola eliminasi fekal, pengontrolan
pergerakan usus, jumlah feses sesuai diet, feses lunak dan berbentuk,
kemudahan pengeluaran feses, peningkatan tonus sfingter anal, tonus otot
untuk mengeluarkan feses, pengeluaran feses tanpa bantuan, dan bising
usus meningkat, warna feses dipertahankan, tidak ada lemak, darah, dan
lendir pada feses, berkurangnya konstipasi, nyeri saat pengeluaran feses,
penggunaan bantuan eliminasi fekal yang berlebihan (Moorhead, Johnson,
Maas, & Swanson, 2013). Hasil tersebut dapat dievaluasi kembali terhadap
intervensi keperawatan yang dilakukan (Wulandari, 2016).