SlideShare a Scribd company logo
1 of 19
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Lansia
1. Pengertian Lansia
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 67 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan
Lanjut Usia di Pusat Kesehatan Masyarakat disebutkan bahwa lanjut usia
(lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun
ke atas. Lansia adalah seseorang yang berusia lebih dari 65 tahun, yang
selanjutnya terbagi ke dalam usia 70-75 tahun, 76-80 tahun dan lebih dari
80 tahun (Noorkasiani, 2009 dalam Saputra, dkk, 2016). Sebagaimana
yang dijelaskan oleh Notoatmodjo (2007) dalam Raissa (2012) bahwa usia
lanjut adalah kelompok orang yang mengalami suatu proses perubahan
yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade.
Lanjut usia ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu usia kronologis
yang dihitung berdasarkan tahun kalender, usia biologis yang diterapkan
berdasarkan pematangan jaringan dan usia psikologis yang dikaitkan
dengan kemampuan seseorang untuk dapat mengadakan penyesuaian
terhadap setiap situasi yang dihadapinya (Noorkasiani, 2009).
Menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan
manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya
dimulai dari suatu waktu terrtentu, tetapi dimulai sejak permulaan
kehidupan. Menjadi tua merupakan suatu proses alamiah, yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa dan
tua. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya
kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut
memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan
semakin memburuk, gerakan lambat dan figur tubuh yang tidak
proporsional (Nugroho, 2008).
5
Dari beberapa pengertian di atas, usia lanjut dapat kita artikan
sebagai seseorang yang berusia 60 tahun keatas dimana proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya.
2. Klasifikasi dan Batasan Usia Lanjut
Lanjut usia dibagi oleh sejumlah pihak dalam berbagai klasifikasi
dan batasan (Ratnawati, 2017).
a. Menurut WHO batasan usia lanjut meliputi:
1) Middle Age : 45-59 tahun
2) Elderly : 60-70 tahun
3) Old : 75-90 tahun
4) Very Old : Di atas 90 tahun
b. Maryam (2008) mengklasifikasikan lansia antara lain:
1) Pralansia (prasenilis)
Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun
2) Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
3) Lansia Risiko Tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/ seseorang yang berusia
60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2003).
4) Lansia Potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/ atau kegiatan
yag dapat menghasilkan barang/ jasa (Depkes RI, 2003).
5) Lansia Tidak Potensial
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya
bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).
c. Menurut Kementrian Kesehatan RI (2015) lanjut usia dikelompokan
menjadi usia lanjut (60-69 tahun) dan usia lanjut dengan risiko tinggi
(lebih dari 70 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan).
6
3. Teori Penuaan
a. Teori Wear and Tear (Dipakai dan Rusak)
Teori ini menjelaskan bahwa terjadinya penumpukan berbagai zat
yang tidak berguna dalam tubuh seperti radikal bebas menyebabkan
penurunan berbagai fungsi sistem tubuh (Stanley & Beare, 2006).
Kaitan teori ini dengan terjadinya konstipasi pada lansia yaitu dampak
penumpukan sampah metabolik yakni feses dalam sistem pencernaan
lansia dapat menyebabkan konstipasi (Wulandari, 2016).
b. Teori Kebutuhan Dasar
Menurut teori Maslow, kebutuhan fisiologis seperti makan dan
minum merupakan kebutuhan dasar pertama yang harus terpenuhi oleh
manusia (Potter & Perry, 2005) menurut teori Henderson, terdapat 14
kebutuhan dasar yang harus terpenuhi yang juga mencakup kebutuhan
fisiologis seperti kebutuhan eliminasi (Potter & Perry, 2005). Oleh
karen aitu, terjadinya konstipasi pada lansia mengganggu pemenuhan
kebutuhan dasar lansia (Wulandari, 2016).
4. Sistem Pencernaan Lansia dan Perubahannya
Dalam Wulandari (2016) dijelaskan bahwa sistem pencernaan lansia
mengalami beberapa perubahan fisiologis dan proses pencernaannya pun
mengalami penurunan (Potter & Perry, 2005). Pada usus halus lansia
terjadi penurunan motilitas atau pergerakan usus dan absorbsi zat-zat
makanan juga menjadi lebih lambat (Kozier, Erb & Berman, 2011). Pada
usus besar lansia terjadi penurunan elastisitas dinding usus, persepsi otak
terhadap penuhnya rektum, tonus otot usus, serta gerak peristaltik (Miller,
2012). Selain itu, terjadi penurunan kepekaan saraf, pengosongan usus
tidak tuntas, dan ketidakmampuan meneruskan rangsangan untuk defekasi
juga terjadi pada sistem pencernaan lansia (Stanley & Beare, 2006).
Jumlah neuron pleksus mienterika berkurang dan respon terhadap
rangsangan menurun sehingga persarafan mienterika yang berfungsi
7
dalam proses percernaan tidak berfungsi optimal (Gallegos-Orozco, et al,
2012).
Defekasi terjadi ketika penumpukan feses menyebabkan rektum
meregang sehingga merangsang sfingter ani internal untuk melemas dan
kolon sigmoid serta rektum berkontraksi selanjutnya feses dapat
dikeluarkan atau defekasi terjadi ketika sfinter ani eksternal juga melemas
(Sherwood, 2012). Peregangan rektum menyebabkan rasa ingin defekasi,
namun jika defekasi tidak dibutuhkan maka pengencangan pada sfingter
ani eksternal dapat mencegah terjadinya defekasi (Sherwood, 2012).
Tindakan ini dapat menyebabkan rektum yang meregang menjadi
melemas hingga adanya penumpukan kembali feses dalam rektum yang
merangsang defekasi kembali (Sherwood, 2012). Oleh karena itu, defekasi
merupakan suatu kebutuhan.
B. Konsep Konstipasi
1. Pengertian Konstipasi
Konstipasi secara luas didefinisikan sebagai frekuensi jarang atau
kesulitan pergerakan feses, feses kering (Leueckenotte, 2000). Menurut
Stanley (2007) Konstipasi adalah suatu penurunan frekuensi pergerakan
usus yang disertai dengan perpanjangan waktu dan kesulitan pergerakan
feses. Sebagaimana yang dijelaskan dalam NANDA, bahwa konstipasi
adalah penurunan frekuensi defekasi pada seseorang yang disertai dengan
pengeluaran feses yang sulit, tidak tuntas, keras dan kering (Herdman &
Kamitsuru, 2014).
Dharmika (2009) dalam Saputra, dkk, (2016) juga menambahkan
bahwa konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar berupa
berkurangnya frekuensi buang air besar, sensasi tidak puas/lampiasnya
buang air besar, terdapat rasa sakit, perlu ekstra mengejan atau feses yang
keras. Dalam praktek sehari-hari dikatakan konstipasi bila buang air besar
kurang dari 3 kali seminggu atau 3 hari tidak buang air besar atau buang air
besar diperlukan mengejan secara berlebihan.
8
2. Manifestasi Klinis
Menurut Stanley (2007) :
a. Mengejan berlebihan saat BAB
b. Massa feses yang keras
c. Perasaan tidak puas saat BAB
d. Sakit pada daerah rektum saat BAB
e. Menggunakan jari-jari untuk mengeluarkan feses
3. Makanan yang Menyebabkan Konstipasi
Berikut beberapa makanan umum yang dapat menyebabkan
konstipasi :
a. Makanan yang Tinggi Lemak
Contoh : minyak kacang tanah, minyak kelapa sawit, minyak kelapa,
ayam, daging sapi, mentega, margarin, keju, susu kental manis, tepung
susu, dan sebagainya.
b. Makanan yang tinggi gula
Seperti makanan yang manis-manis, keju, dan makanan olahan
4. Makanan yang Tidak Menyebabkan Konstipasi
Berikut beberapa makanan yang tidak menyebabkan konstipasi :
a. Buah-Buahan Segar
Contoh : alpukat, anggur, belimbing, jambu biji, jeruk bali, jeruk sitrun,
mangga, melon, nanas, pepaya, pisang, semangka, sirsat, srikaya, dan
sebagainya.
b. Sayuran
Contoh : bayam, kangkung, daun pepaya, daun singkong, sawi hijau,
kubis, kacang panjang, buncis, dan sebagainya.
c. Makanan Tinggi Serat
Contoh : tepung maizena, beras ketan, ubi merah, ubi putih, oncom
merah, oncom putih, kacang hijau, kacang tanah, dan sebagainya.
9
d. Makanan yang Menyediakan Asam Lemak Omega-3
Terdapat dalam daun-daunan, beberapa minyak biji-bijian, termasuk
minyak kacang kedelai, minyak biji rami, minyak biji rape, minyak
ikan, ikan, kecambah, gandum (Almatsier, 2010).
5. Akibat Konstipasi
Akibat konstipasi pada Lansia (Wulandari, 2016):
Impaksi atau feses yang menumpuk dan mengeras dapat disebabkan karena
konstipasi, kemudian impaksi feses tersebut dapat mengakibatkan
gangguan eliminasi urin berupa inkontinensia ataupun retensi urin
(Woodward, et al., 2002). Pada lansia, konstipasi menyebabkan gangguan
perkemihan akibat dari penumpukan feses pada kolon bagian bawah dan
rektum (Ginsberg, dkk., 2007). Konstipasi pada lansia juga menyebabkan
gangguan anorektal seperti hemmoroid, prolaps rektum, dan volvulus
sigmoid (Chu, Zhong, Zhang, Zhang & Hou, 2014).
6. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Konstipasi pada Lansia
Penyebab konstipasi pada lansia antara lain obat-obatan; penyakit
neuropati dan miopati; idiopatik; anoreksia; dehidrasi; defekasi yang
ditahan; diet yang tidak adekiat, rendah serat, tinggi protein, bahkan serat
yang berlebihan; hiperglikemi; hipokalemi; hipotiroid; gangguan
psikologis; gaya hidup kurang gerak; serta gangguan pada saraf pusat
(Gallegos-Orozco, et al, 2012 dalamWulandari, 2016).
Menurut Dudek (1997, dalam Leueckenotte, 2000), kejadian
konstipasi pada lansia dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu :
a. Asupan Serat
1) Pengertian
Serat makanan (diatery fiber) adalah komponen dalam
tanaman yang tidak tercerna secara enzimatik menjadi bagian-
bagian yang dapat diserap di saluran pencernaan (Almatsier, 2010).
10
2) Ragam Serat makanan
Menurut Wirakusumah (2003) ada dua istilah yang sering
digunakan dalam kaitannya dengan serat yaitu :
a) Dietary fiber (serat makanan) ialah semua jenis serat yang tetap
dalam kolon setelah pencernaan, baik serat larut air maupun
serat tidak larut air.
b) Crude fiber (serat kasar) ialah serat tumbuhan yang tidak larut
dalam air, misalnya selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Adapun
serat yang larut dalam air adalah pektin, gum, gel dan
mucilages.
3) Klasifikasi Serat
Klasifikasi serat menurut karakteristik kelarutan dalam air, yaitu :
a) Serat larut air (Soluble fibre)
Serat larut air adalah serat yang larut dalam air kemudian
membentuk gel dalam saluran pencernaan dengan cara
menyerap air. Soluble fiber meliputi pectin, gum, mucilage, dan
beberapa hemicelluloses. Bentuk lain soluble fiber/serat larut
ditemukan pada gandum, padi dan polong. Pengaruh serat larut
dalam saluran cerna berhubungan dengan kemampuan mereka
untuk menahan air dan membentuk gumpalan/gel.
b) Serat tidak larut air (Insoluble fibre )
Serat tidak larut air yaitu serat yang tidak dapat larut dalam
air dan juga dalam sistem pencernaan, tetapi memiliki
kemampuan menyerap air dan meningkatkan tekstur dan
volume tinja. Insoluble fiber terutama terdiri dari cellulose dan
hemicelluloses. Sumber utama serat ini berada dalam padi,
sereal dan biji-bijian (Devi, 2010).
4) Anjuran Konsumsi
Belum ada AKG untuk serat. Namun, untuk diet 2.000 kalori
untuk orang dewasa, paling sedikit 1.000-2.000 kalori harus berasal
dari karbohidrat kompleks. Diet serat yang dianjurkan adalah 20
11
gram-35 gram per hari dan cukup untuk pemeliharaan tanpa efek
negatif terhadap kesehatan (Devi, 2010).
5) Keuntungan Serat
Keuntungan-keuntungan serat antara lain: (1) berfungsi untuk
mengontrol berat badan (2) mencegah/meringankan risiko
konstipasi, Irritable Bowel Syndrome, penyakit divertikular, dan
haemorrhoid (3) mencegah kanker kolon (4) menurunkan kadar
Low Density Lipoprotein dan kolesterol (5) memperlambat absorbsi
glukosa (berguna untuk meregulasi kadar gula darah) (Devi, 2010).
6) Asupan Serat dan Konstipasi
Konsumsi serat makanan, khususnya serat tak larut (tak
dapat dicerna dan tak larut air panas) menghasilkan kotoran yang
lembek. Insoluble fibre bersifat menahan air pada fragmen serat
sehingga menghasilkan tinja yang lebih banyak dan berair.
Akibatnya akan terjadi stimulasi gerakan peristaltik, mempercepat
waktu transit kolon, peningkatan frekuensi defekasi, dan penurunan
tekanan di dalam kolon (Wirakusumah E. , 2003).
b. Intake Cairan
Pada lansia, proses penuaan normal dapat mempengaruhi
keseimbangan cairan. Perubahan fisiologi yang terjadi antara lain
respons haus sering menjadi tumpul, nefron (unit fungsional ginjal)
menjadi kurang mampu menahan air, penurunan TBW (total body water)
yang berhubungan dengan FFM (Fat Free Mass). Perubahan normal
karena penuaan ini meningkatkan resiko dehidrasi (Audrey Berman et.al,
2009). Angka kecukupan air untuk usia di atas 50 tahun keatas menurut
AKG, tahun 2004 dalam Devi (2010) adalah 1,5-2 liter/hari.
Intake cairan berpengaruh pada eliminasi fekal. Kolon
menggunakan banyak air untuk memecah makanan padat. Bahan sisa
metabolisme dalam saluran cerna akan membawa sejumlah air yang telah
digunakan untuk mencairkan makanan, dan hal ini tergantung pada
12
ketersediaan air di dalam tubuh. Air yang membawa sisa metabolisme
akan bertindak sebagai pelumas untuk membantu sisa metabolisme ini
bergerak di sepanjang kolon. Semakin tubuh membutuhkan air, semakin
besar usahanya untuk menyerap kembali air yang tersedia di dalam usus.
Proses ini memberikan tekanan besar pada sisa metabolisme agar airnya
dapat diabsorbsi kembali oleh mukosa atau dinding selaput dari kolon.
Dampaknya tinja menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses
yang keras (Guyton & Hall, 1996).
c. Aktivitas Fisik
Mempertahankan mobilisasi optimal sangat penting untuk kesehatan
mental dan fisik semua lansia. Pada umumnya, para lansia akan
mengalami penurunan aktifitas fisik. Salah satu faktor penyebabnya
adalah pertambahan usia yang dapat menyebabkan terjadinya
kemunduran biologis. Kondisi ini setidaknya akan membatasi aktifitas
yang menuntut ketangkasan fisik. Aktivitas fisik juga merangsang
terhadap timbulnya peristaltik. Penurunan aktivitas fisik dapat
mengakibatkan terjadinya penurunan gerak peristaltik dan dapat
menyebabkan melambatnya feses menuju rectum dalam waktu lama dan
terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga feses mengeras. Aktivitas fisik
juga membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot. Tonus otot
yang baik dari otot-otot abdominal, otot pelvis dan diafragma sangat
penting bagi defekasi (Asmadi, 2008).
C. Asuhan Keperawatan Konstipasi pada Lansia
1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
Identitas atau data demografi mencakup inisial nama, usia, riwayat
pendidikan dan pekerjaan, serta alamat tempat tinggal (Widyatuti &
Nurviyandari, 2013 dalam Wulandari, 2016).
13
b. Riwayat Kesehatan
Dalam Wulandari (2016), riwayat kesehatan meliputi riwayat
terdahulu dan saat ini serta riwayat keluarga (Widyatuti &
Nurviyandari, 2013). Riwayat kesehatan terdahulu mencakup riwayat
pembedahan, riwayat penyakit yang pernah diderita dan riwayat
dirawat, serta riwayat obat-obatan yang juga mencakup pengetahuan
klien tentang obat, kepatuhan minum obat, dan efek obat yang
dirasakan (Stanhope & Knollmueller, 2008). Pengkajian riwayat lansia
juga mencakup riwayat sosial (Stanhope & Knollmueller, 2008).
Riwayat sosial mencakup sosioekonomi, kemampuan beraktivitas,
serta hubungan dengan keluarga dan sesama lansia (Stanhope &
Knollmueller, 2008). Riwayat konstipasi juga dikaji pada masalah
konstipasi (Arenson, et al., 2009).
c. Kebiasaan Sehari-hari
Kebiasaan sehari-hari meliputi pola makan, minum, tidur, eliminasi
urin dan fekal, aktivitas sehari-hari dan rekreasi (Widyatuti &
Nurviyandari, 2013). Pada pengkajian konstipasi, pola eliminasi fekal
yang dapat dikaji meliputi frekuensi defekasi, perubahan pada pola
defekasi, kesulitan saat defekasi seperti mengedan, karakteristik feses
yang keras, kering, dan sulit dikeluarkan, penggunaan pencahar, serta
ada atau tidaknya nyeri dan darah saat defekasi (Miller, 2012 dalam
Wulandari, 2016).
d. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan menyeluruh mencakup
kepala, dada, abdomen, ekstremitas, serta pemeriksaan tanda-tanda
vital, keadaan umum, dan tingkat kesadaran (Widyatuti &
Nurviyandari, 2013). Pemeriksaan fisik termasuk dalam pengkajian
konstipasi pada lansia (Arenson, et al., 2009). Pemeriksaan fisik pada
masalah konstipasi dilakukan terhadap abdomen dan rectum (Miller,
14
2012). Pemeriksaan rektum dilakukan pada posisi miring (Miller,
2012). Pemeriksaan abdomen dilakukan pada posisi supine (Miller,
2012). Pada inspeksi, penemuan distensi abdomen dan jaringan parut
akibat tindakan bedah perlu dicatat (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza,
2006).
Selanjutnya dilakukan auskultasi bising usus untuk mengetahui
gerak peristaltik (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006). Pada
pemeriksaan bising usus, diafragma stetoskop digunakan untuk
mendengarkan bising usus mulai dari kuadran kanan bawah hingga
kuadran kiri bawah abdomen selama minimal 60 detik (Nusyirwan,
2008). Secara normal, pada lansia, dapat terdengar bising usus dengan
nilai normal 5-15 kali per menit (Miller, 2012). Bell stetoskop
digunakan untuk mendengarkan bunyi vaskuler pada area arteri renalis,
iliaka, dan femoralis dengan cara meletakkan bell pada area sejajar
garis midklavikula di samping aorta di atas umbilikus (Nusyirwan,
2008). Penyumbatan parsial pada usus menghasilkan suara yang
gaduh, sedangkan penyumbatan total menghasilkan suara gemerincing
dan sangat kencang (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006).
Kemudian dilakukan perkusi hepar untuk memperkirakan ukuran hepar
sehingga mengetahui ada atau tidaknya gangguan hepar (Gallo,
Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006). Selain itu, dilakukan perkusi di atas
organ abdomen untuk mengetahui suara yang dihasilkan yaitu timpani
atau dullness yang mana timpani adalah suara normal dan dullness
menunjukkan adanya obstruksi (Burger, 2008).
Terakhir adalah palpasi. Pada konstipasi, feses mudah dipalpasi
namun hasil yang teraba berbeda dengan massa tumor (Gallo, Bogner,
Fulmer, & Paveza, 2006). Massa abdomen yang tidak dapat digerakkan
menandakan tumor gastrointestinal (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza,
2006). Selain itu, adanya aneurisme pada aorta abdomen dapat
dirasakan seperti adanya denyutan pada massa abdomen, namun
denyutan ini dapat dirasakan normal pada lansia dengan tubuh yang
15
kurus (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006) dalam (Wulandari,
2016).
e. Constipation Scoring System (CSS)
Konstipasi dapat juga diidentifikasi melalui Constipation Scoring
System (CSS). Pertanyaan dalam CSS mencakup frekuensi defekasi,
usaha mengedan, defekasi yang tidak tuntas, nyeri abomen, lama
defekasi (menit), bantuan yang digunakan untuk dapat defekasi, tidak
dapat defekasi dalam 24 jam, dan riwayat konstipasi dalam setahun
(Agachan, et al., 1996 dalam Kristamuliana, 2015). Total skor CSS
adalah 30 dimana semakin besar skor, semakin tinggi tingkat keparahan
konstipasi yang dialami (McClurg, Hagen, Hawkins, & Lowe-Strong,
2011) dalam (Wulandari, 2016).
2. Perumusan Diagnosis
Berdasarkan NANDA, beberapa diagnosis keperawatan yang dapat
ditegakkan dari masalah konstipasi yaitu konstipasi, risiko konstipasi,
konstipasi kronik fungsional, risiko konstipasi kronik fungsional, dan
konstipasi yang dirasakan (perceived constipation) (Herdman &
Kamitsuru, 2014). Berdasarkan NANDA, diagnosis konstipasi dapat
ditegakkan jika terdapat data antara lain nyeri abdomen, penurunan
frekuensi defekasi dan banyaknya feses yang dikeluarkan, feses yang
keras, bising usus yang hiperaktif ataupun hipoaktif, tidak dapat defekasi,
nyeri saat defekasi, teraba massa abdomen atau rektum, suara dullness
pada abdomen, rektum penuh, tekanan pada rektum, dan mengedan saat
defekasi (Herdman & Kamitsuru, 2014). Diagnosis risiko konstipasi
didefinisikan sebagai kerentanan mengalami konstipasi (Herdman &
Kamitsuru, 2014). Diagnosis konstipasi kronik fungsional ditegakkan jika
konstipasi telah terjadi selama 3-12 bulan terakhir (Herdman &
Kamitsuru, 2014). Konstipasi ini ditandai dengan antara lain adanya ≥ 2
gejala pada klasifikasi Rome III yaitu feses keras atau mengedan ≥ 25%
16
defekasi; defekasi tidak tuntas atau sensasi adanya penyumbatan pada
anorektal ≥ 25% defekasi; bantuan manual membantu ≥ 25% defekasi atau
defekasi ≤ 3 kali seminggu (Herdman & Kamitsuru, 2014). Diagnosis
risiko konstipasi kronik fungsional didefinisikan sebagai kerentanan
mengalami konstipasi kronik fungsional akibat adanya faktor risiko
seperti obat-obatan, diet tinggi lemak dan protein, kurang gerak, dan
gangguan mobilisasi (Herdman & Kamitsuru, 2014). Diagnosis konstipasi
yang dirasakan didefinisikan sebagai konstipasi yang didiagnosis oleh diri
klien sendiri disertai adanya penggunaan laxatif, enema, atau suppositoria
(Herdman & Kamitsuru, 2014) dalam (Wulandari, 2016).
3. Rencana Keperawatan
Berdasarkan NIC, intervensi keperawatan dalam mengatasi
diagnosis konstipasi meliputi manajemen bowel, latihan bowel,
manajemen konstipasi/impaksi, diet, enema, manajemen cairan/eletrolit,
manajemen cairan, pemantauan cairan, obat, manajemen nutrisi, dan
manajemen rektal yang prolaps (Bulechek, Butcher, Dochterman, &
Wagner, 2013).
Manajemen bowel adalah tindakan memelihara pola eliminasi yang
teratur (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas
yang dilakukan antara lain mencatat defekasi terakhir, memantau
karakteristik defekasi, bising usus, dan tanda gejala konstipasi,
melaporkan peningkatan atau penurunan bising usus, mengajarkan klien
mencatat karakteristik fesesnya, mendorong konsumsi diet tinggi serat
dan makanan rendah gas, memberikan air hangat setelah makan,
mengevaluasi efek medikasi terhadap gastrointestinal, dan memberikan
obat suppositoria ke dalam rektal (Bulechek, Butcher, Dochterman, &
Wagner, 2013).
Latihan usus besar adalah tindakan melatih usus untuk defekasi pada
waktu yang dijadwalkan (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner,
2013). Aktivitas yang dilakukan hampir sama ditambah dengan membuat
17
jadwal defekasi yang konsisten, mengajarkan klien prinsip latihan,
mengajarkan olahraga, menjaga privasi defekasi, dan memodifikasi
program latihan (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013).
Manajemen konstipasi/impaksi adalah tindakan mencegah atau
mengurangi konstipasi/impaksi (Bulechek, Butcher, Dochterman, &
Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan hampir sama ditambah dengan
mengidentifikasi faktor penyebab dan menjelaskan penyebab konstipasi
dan rasional tindakan kepada klien, mengajarkan klien tentang
penggunaan laxatif yang sesuai, hubungan diet, olahraga, dan cairan
terhadap konstipasi, dan proses pencernaan yang normal, mengevaluasi
nutrisi, mengukur berat badan teratur, dan melakukan pengeluaran feses
secara manual (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013).
Manajemen cairan/eletrolit adalah tindakan mengatur dan mencegah
komplikasi kekurangan cairan atau elektrolit (Bulechek, Butcher,
Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan antara lain
memantau tanda gejala dehidrasi, memberi cairan yang sesuai,
meningkatkan asupan cairan secara oral seperti menyediakan cairan yang
diinginkan klien dan mudah dijangkau, mencatat masukan dan haluaran
cairan, dan mengontrol kehilangan cairan seperti akibat penggunaan
antipiretik (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013).
Manajemen cairan juga hampir sama ditambah dengan memantau status
hidrasi seperti kelembaban membran mukosa, keadekuatan nadi, dan
tekanan darah (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013).
Pemantauan cairan mencakup aktivitas memantau jumlah dan jenis cairan
yang dikonsumsi serta memantau tanda perubahan cairan seperti pusing
(Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013).
Diet staging adalah tindakan membatasi diet (Bulechek, Butcher,
Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dapat dilakukan antara lain
mengkaji adanya bising usus dan memberikan diet bertahap hingga diet
khusus atau biasa (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013).
Manajemen nutrisi adalah tindakan menyediakan nutrisi yang
18
seimbang (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas
yang dilakukan antara lain menentukan status nutrisi dan jenis nutrisi yang
dibutuhkan, menyesuaikan diet, dan mengajarkan diet yang dibutuhkan
lansia yaitu tinggi serat untuk mengatasi konstipasi.
Manajemen rektal yang prolaps adalah tindakan mencegah atau
mengurangi prolaps rektum secara manual (Bulechek, Butcher,
Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan antara lain
mengkaji riwayat, mendorong klien menghindari mengedan, mengajarkan
untuk teratur dalam diet, olahraga, dan obat, serta mengajarkan posisi saat
terjadi prolaps (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013).
Dalam intervensi keperawatan pada lansia yang mengalami
konstipasi, edukasi kesehatan juga dapat dilakukan. Materi edukasi dapat
mencakup diet tinggi serat, menghindari laxatif dan enema, pemilihan obat
yang meningkatkan defekasi seperti jenis bulk forming seperti psyllium
atau methylcellulose, tidak menahan defekasi, serta olahraga teratur
(Miller, 2012). Edukasi mengenai pentingnya diet, olahraga, dan toilet
training merupakan juga dapat dilakukan pada lansia (Gallegos-Orozco,
Foxx-Orenstein, Sterler, & Stoa, 2012) dalam (Wulandari, 2016).
4. Intervensi Utama (MassaseAbdomen, Posisi Defekasi,dan Pemberian
Cairan)
a. Massase Abdomen
Massase abdomen adalah tindakan pemijatan pada abdomen.
Massase abdomen merupakan salah satu manajemen usus (bowel
management) (NHS, 2014). Massase mengurangi konstipasi pada
orang dewasa (Wang & Yin, 2015). Massase abdomen meningkatkan
fungsi sistem pencernaan (NHS, 2014). Massase abdomen dan
pemberian posisi defekasi meningkatkan frekuensi defekasi,
mempercepat defekasi, dan rasa nyaman saat defekasi (Kristamuliana,
2015). Berdasarkan penelitian McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-
Strong (2011), pemberian massase abdomen pada klien multiple
19
sclerosis yang mengalami konstipasi dapat meningkatkan frekuensi
defekasi. Selain itu, massase abdomen juga meningkatkan tekanan
intraabdomen sehingga mengurangi mengedan (McClurg & Lowe-
Strong, 2011). Meskipun demikian, massase abdomen tidak dapat
dilakukan pada klien dengan riwayat obstruksi usus maligna, riwayat
penyakit inflamasi usus, penyakit Crohn’s, atau kolitis ulseratif, spasme
kolon pada klien dengan sindrom iritasi usus, cedera saraf tulang
belakang yang tidak stabil, dan jaringan parut pada abdomen atau
bedah abdomen baru (NHS, 2014). Oleh karena kontraindikasi
tersebut, pemeriksaan yang lengkap perlu dilakukan sebelum
memberikan massase abdomen untuk memastikan bahwa massase
abdomen dapat dilakukan atau tidak.
Massase abdomen dapat dilakukan selama 15 menit (McClurg,
Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong, 2011). Menurut NHS (2014), dapat
juga dilakukan selama 10-20 menit. Alat dan bahan yang dapat
digunakan antara lain sarung tangan bersih, minyak, bantal, dan selimut
atau handuk. Menurut Chung dan Choi (2011) dalam Wang dan Yin
(2015), aromaterapi pada minyak tidak memberikan efek pada
penanganan konstipasi, namun menurut Kim, Sakong, Kim, dan Kim
(2005) dalam Wang dan Yin (2015), minyak esensial membantu
penanganan konstipasi pada lansia. Minyak bayi atau baby oil
merupakan salah satu minyak esensial sehingga dapat digunakan dalam
massase abdomen pada lansia.
Setelah persiapan diri perawat, alat, dan klien dengan
memosisikan klien supine dengan kepala didukung bantal dan selimut
untuk menutupi bagian tubuh lain, massase abdomen dilakukan dengan
menggunakan beberapa teknik. Teknik massase abdomen yang dapat
digunakan yaitu berdasarkan penelitian McClurg, Hagen, Hawkins, dan
Lowe-Strong (2011) yang kemudian diaplikasikan dalam penelitian
Kristamuliana (2015) terhadap lansia. Teknik tersebut dipilih karena
telah diteliti pada pasien dengan multipel sklerosis atau gangguan
20
neurologi yang memiliki kesamaan dengan kondisi penurunan saraf
pada lansia sehingga menyebabkan konstipasi. Selain itu, teknik
tersebut termasuk yang terkini dan telah banyak digunakan sebagai
acuan pada penelitian selanjutnya. Teknik massase abdomen tersebut
meliputi (1) melakukan pengusapan pada saraf vagus, dari puncak
iliaka hingga ke kedua sisi panggul yaitu pada pangkal paha; (2)
melakukan pengusapan pada kolon dari kolon asenden, transversum,
hingga desenden dengan tekanan yang semakin meningkat untuk
merangsang kontraksi kolon sehingga feses terdorong; (3) melakukan
pemerasan pada kolon dari asenden, transversum, hingga desenden
untuk memecahkan feses; (4) melakukan pengusapan lagi sepanjang
kolon kemudian melakukan pengusapan melintang ringan di atas
abdomen; serta (5) melakukan vibrasi pada dinding abdomen untuk
menghasilkan flatus (Wulandari, 2016).
b. Posisi Defekasi
Berdasarkan hasil penelitian Kristamuliana (2015), pemberian
posisi defekasi dengan menggunakan topangan kursi setinggi 8 inchi
pada kaki lansia membantu mengurangi konstipasi pada lansia.
Menurut Wallis, et al (2003) dan Wilson (2005) dalam Kristamuliana
(2015), ketinggian kursi yang dapat diberikan yaitu 7-9 inchi.
Penurunan dasar panggul dengan sudut rektoanal lurus, kontraksi otot
abdomen, serta relaksasi otot puborektal dan sfingter anal eksternal
diperlukan untuk dapat defekasi secara normal (Leung, Riutta, Kotecha,
& Rosser, 2011). Berdasarkan penelitian Sikirov (2003), terjadi
pengosongan usus yang lebih cepat dan lebih memuaskan dengan posisi
jongkok saat defekasi. Selain itu, posisi jongkok atau posisi duduk
dengan panggul difleksikan dapat mengurangi mengedan (Sakakibara,
et al., 2010). Hal tersebut dikarenakan posisi defekasi dengan panggul
difleksikan akan membuat sudut rektoanal menjadi lurus sehingga
mengedan tidak dibutuhkan (Sikirov, 2003). Pada lansia wanita,
21
rektoanal menjadi tidak membuka secara optimal sehingga feses
menjadi sulit dikeluarkan (Gallegos-Orozco, Foxx-Orenstein, Sterler,
& Stoa, 2012). Defekasi dengan meninggikan kaki pada posisi duduk
dapat membantu mengefektifkan penggunaan otot abdomen dan dasar
panggul (Woodward, Moran, Ellicott, Lourens, & Saunders, 2002)
dalam (Wulandari, 2016).
c. Pemberian Cairan
Berdasarkan penelitian Tampubolon (2008), pemberian air dapat
meningkatkan frekuensi defekasi dan membuat lebih cepat terjadi
defekasi pada klien konstipasi. Menurut Patel, Patel, Patel, dan Sen
(2015), pemberian air hangat secara teratur terutama di pagi hari dapat
meningkatkan kerja usus sehingga membantu eliminasi fekal.
Meningkatkan asupan cairan dan minum air hangat setelah makan
merupakan intervensi keperawatan dalam mengatasi konstipasi
(Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Pemberian cairan
dapat merangsang aktivitas kolon (Wallace, 2008). Konsumsi cairan
1,5-2 liter per hari dapat mencegah konstipasi (Wallis, 2004).
Kebutuhan cairan untuk lansia adalah 30-35 cc/kg berat badan per hari
(National Collaborating Center for Acute Care, 2006 dalam Wallace,
2008). Semua jenis cairan kecuali yang mengandung kafein dan
pemanis disarankan dalam mengatasi konstipasi pada lansia (Capezuti,
Siegler, & Mezey, 2008) dalam (Wulandari, 2016).
5. Evaluasi
Evaluasi terhadap implementasi yang telah dilakukan pada lansia
yang mengalami konstipasi dapat dilakukan dengan mengidentifikasi
konstipasi yang dialami, faktor yang menyebabkan konstipasi, serta pola
defekasi dan masalah teratasi jika lansia dapat defekasi secara teratur
dengan karakteristik feses yang lembut, tanpa mengedan atau rasa tidak
nyaman saat defekasi (Miller, 2012). Evaluasi juga dapat dilakukan
22
melalui CSS setelah intervensi selesai (McClurg, Hagen, Hawkins, &
Lowe-Strong, 2011; Kristamuliana (2015) Hasil yang diharapkan dari
intervensi keperawatan terhadap konstipasi yaitu hidrasi, eliminasi fekal,
respon terhadap medikasi, dan kontrol gejala (Miller, 2012). Berdasarkan
NOC, hasil yang diharapkan dari intervensi keperawatan terhadap
diagnosis konstipasi yaitu eliminasi fekal dengan indikator keberhasilan
yang mencakup peningkatan pola eliminasi fekal, pengontrolan
pergerakan usus, jumlah feses sesuai diet, feses lunak dan berbentuk,
kemudahan pengeluaran feses, peningkatan tonus sfingter anal, tonus otot
untuk mengeluarkan feses, pengeluaran feses tanpa bantuan, dan bising
usus meningkat, warna feses dipertahankan, tidak ada lemak, darah, dan
lendir pada feses, berkurangnya konstipasi, nyeri saat pengeluaran feses,
penggunaan bantuan eliminasi fekal yang berlebihan (Moorhead, Johnson,
Maas, & Swanson, 2013). Hasil tersebut dapat dievaluasi kembali terhadap
intervensi keperawatan yang dilakukan (Wulandari, 2016).

More Related Content

What's hot

DIET PENYAKIT JANTUNG KELOMPOK 4
DIET PENYAKIT JANTUNG KELOMPOK 4DIET PENYAKIT JANTUNG KELOMPOK 4
DIET PENYAKIT JANTUNG KELOMPOK 4Indri Wati
 
Konsep Istirahat dan Tidur
Konsep Istirahat dan TidurKonsep Istirahat dan Tidur
Konsep Istirahat dan TidurSulistia Rini
 
PPT HIPERTENSI DAN DM.pptx
PPT HIPERTENSI DAN DM.pptxPPT HIPERTENSI DAN DM.pptx
PPT HIPERTENSI DAN DM.pptxParawitaBelitung
 
Cairan dan elektrolit
Cairan dan elektrolitCairan dan elektrolit
Cairan dan elektrolitryan ryno
 
Anemia power point 2
Anemia power point 2Anemia power point 2
Anemia power point 2Warnet Raha
 
Pemenuhan kebutuhan aktivitas pada pasien
Pemenuhan kebutuhan aktivitas pada pasienPemenuhan kebutuhan aktivitas pada pasien
Pemenuhan kebutuhan aktivitas pada pasienValny Majid
 
Pengkajian keperawatan
 Pengkajian keperawatan Pengkajian keperawatan
Pengkajian keperawatanpjj_kemenkes
 
pemberian obat dalam keperawatan
pemberian obat dalam keperawatanpemberian obat dalam keperawatan
pemberian obat dalam keperawatanindah puspa pratiwi
 
Sop peemberian insulin
Sop peemberian insulinSop peemberian insulin
Sop peemberian insulinDasuki Suke
 
Kontrasepsi pemakaian pil kb
Kontrasepsi pemakaian pil kbKontrasepsi pemakaian pil kb
Kontrasepsi pemakaian pil kbmiftaulmi95
 
PPT Promosi Kesehatan
PPT Promosi KesehatanPPT Promosi Kesehatan
PPT Promosi KesehatanRiski Eka
 
Ppt atritis reumatoid pada lansia
Ppt atritis reumatoid pada lansiaPpt atritis reumatoid pada lansia
Ppt atritis reumatoid pada lansiaKANDA IZUL
 

What's hot (20)

DIET PENYAKIT JANTUNG KELOMPOK 4
DIET PENYAKIT JANTUNG KELOMPOK 4DIET PENYAKIT JANTUNG KELOMPOK 4
DIET PENYAKIT JANTUNG KELOMPOK 4
 
Obesitas.ppt
Obesitas.pptObesitas.ppt
Obesitas.ppt
 
Konsep Istirahat dan Tidur
Konsep Istirahat dan TidurKonsep Istirahat dan Tidur
Konsep Istirahat dan Tidur
 
PPT HIPERTENSI DAN DM.pptx
PPT HIPERTENSI DAN DM.pptxPPT HIPERTENSI DAN DM.pptx
PPT HIPERTENSI DAN DM.pptx
 
Konsep keperawatan komunitas
Konsep  keperawatan komunitasKonsep  keperawatan komunitas
Konsep keperawatan komunitas
 
Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Addison
Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan AddisonAsuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Addison
Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Addison
 
Cairan dan elektrolit
Cairan dan elektrolitCairan dan elektrolit
Cairan dan elektrolit
 
Bab ii uap artritis gout.pdf
Bab ii uap artritis gout.pdfBab ii uap artritis gout.pdf
Bab ii uap artritis gout.pdf
 
Santi askep dm
Santi askep dmSanti askep dm
Santi askep dm
 
Anemia power point 2
Anemia power point 2Anemia power point 2
Anemia power point 2
 
Pemenuhan kebutuhan aktivitas pada pasien
Pemenuhan kebutuhan aktivitas pada pasienPemenuhan kebutuhan aktivitas pada pasien
Pemenuhan kebutuhan aktivitas pada pasien
 
Pathways diabetes
Pathways diabetesPathways diabetes
Pathways diabetes
 
Pengkajian keperawatan
 Pengkajian keperawatan Pengkajian keperawatan
Pengkajian keperawatan
 
Askep diabetes mellitus AKPER PEMDA MUNA
Askep diabetes mellitus AKPER PEMDA MUNA Askep diabetes mellitus AKPER PEMDA MUNA
Askep diabetes mellitus AKPER PEMDA MUNA
 
Kebutuhan aktivitas
Kebutuhan aktivitasKebutuhan aktivitas
Kebutuhan aktivitas
 
pemberian obat dalam keperawatan
pemberian obat dalam keperawatanpemberian obat dalam keperawatan
pemberian obat dalam keperawatan
 
Sop peemberian insulin
Sop peemberian insulinSop peemberian insulin
Sop peemberian insulin
 
Kontrasepsi pemakaian pil kb
Kontrasepsi pemakaian pil kbKontrasepsi pemakaian pil kb
Kontrasepsi pemakaian pil kb
 
PPT Promosi Kesehatan
PPT Promosi KesehatanPPT Promosi Kesehatan
PPT Promosi Kesehatan
 
Ppt atritis reumatoid pada lansia
Ppt atritis reumatoid pada lansiaPpt atritis reumatoid pada lansia
Ppt atritis reumatoid pada lansia
 

Similar to KONSEP LANJSIA

Masalah gizi pada lansia
Masalah gizi pada lansiaMasalah gizi pada lansia
Masalah gizi pada lansiaeka1400
 
Bab ii tinjauan pustaka (repaired)
Bab ii tinjauan pustaka (repaired)Bab ii tinjauan pustaka (repaired)
Bab ii tinjauan pustaka (repaired)Nika Meiliana
 
Pelayanan Usia Lanjut Poltekkes Surakarta
Pelayanan Usia Lanjut Poltekkes SurakartaPelayanan Usia Lanjut Poltekkes Surakarta
Pelayanan Usia Lanjut Poltekkes SurakartaYunita Dipra
 
Resita tobing asuhan keperawatan lanjut usia gangguan sistem endokrin diabete...
Resita tobing asuhan keperawatan lanjut usia gangguan sistem endokrin diabete...Resita tobing asuhan keperawatan lanjut usia gangguan sistem endokrin diabete...
Resita tobing asuhan keperawatan lanjut usia gangguan sistem endokrin diabete...Universitas Katolik Musi Charitas
 
PELAYANAN LANSIA YANG BERKAITAN DENGAN KESEHATAN REPRODUKSI DI MASYARAKAT
PELAYANAN LANSIA    YANG BERKAITAN DENGANKESEHATAN REPRODUKSI DI MASYARAKATPELAYANAN LANSIA    YANG BERKAITAN DENGANKESEHATAN REPRODUKSI DI MASYARAKAT
PELAYANAN LANSIA YANG BERKAITAN DENGAN KESEHATAN REPRODUKSI DI MASYARAKATikemaharaniw
 
Bab ii tinjauan pustaka i11ama
Bab ii tinjauan pustaka  i11amaBab ii tinjauan pustaka  i11ama
Bab ii tinjauan pustaka i11amanurleli
 
METODOLOGI PENELITIAN meliputi latar belakamg
METODOLOGI PENELITIAN meliputi latar belakamgMETODOLOGI PENELITIAN meliputi latar belakamg
METODOLOGI PENELITIAN meliputi latar belakamgfipingmeiarsih
 
Proses menua dan implikasinya
Proses menua dan implikasinyaProses menua dan implikasinya
Proses menua dan implikasinyaMulkan Fadhli
 
Booklet Epidemiologi pada Lansia
Booklet Epidemiologi pada  LansiaBooklet Epidemiologi pada  Lansia
Booklet Epidemiologi pada LansiaSariana Csg
 
asuhan keperawatan lanjut usia gangguan sistem endokrin diabetes melitus deng...
asuhan keperawatan lanjut usia gangguan sistem endokrin diabetes melitus deng...asuhan keperawatan lanjut usia gangguan sistem endokrin diabetes melitus deng...
asuhan keperawatan lanjut usia gangguan sistem endokrin diabetes melitus deng...Universitas Katolik Musi Charitas
 
Konsep dasar gerontik
Konsep dasar gerontikKonsep dasar gerontik
Konsep dasar gerontikWarung Bidan
 

Similar to KONSEP LANJSIA (20)

Masalah gizi pada lansia
Masalah gizi pada lansiaMasalah gizi pada lansia
Masalah gizi pada lansia
 
Bab ii tinjauan pustaka (repaired)
Bab ii tinjauan pustaka (repaired)Bab ii tinjauan pustaka (repaired)
Bab ii tinjauan pustaka (repaired)
 
Pelayanan Usia Lanjut Poltekkes Surakarta
Pelayanan Usia Lanjut Poltekkes SurakartaPelayanan Usia Lanjut Poltekkes Surakarta
Pelayanan Usia Lanjut Poltekkes Surakarta
 
Resita tobing asuhan keperawatan lanjut usia gangguan sistem endokrin diabete...
Resita tobing asuhan keperawatan lanjut usia gangguan sistem endokrin diabete...Resita tobing asuhan keperawatan lanjut usia gangguan sistem endokrin diabete...
Resita tobing asuhan keperawatan lanjut usia gangguan sistem endokrin diabete...
 
PELAYANAN LANSIA YANG BERKAITAN DENGAN KESEHATAN REPRODUKSI DI MASYARAKAT
PELAYANAN LANSIA    YANG BERKAITAN DENGANKESEHATAN REPRODUKSI DI MASYARAKATPELAYANAN LANSIA    YANG BERKAITAN DENGANKESEHATAN REPRODUKSI DI MASYARAKAT
PELAYANAN LANSIA YANG BERKAITAN DENGAN KESEHATAN REPRODUKSI DI MASYARAKAT
 
Bab 1
Bab 1Bab 1
Bab 1
 
Bab ii tinjauan pustaka i11ama
Bab ii tinjauan pustaka  i11amaBab ii tinjauan pustaka  i11ama
Bab ii tinjauan pustaka i11ama
 
METODOLOGI PENELITIAN meliputi latar belakamg
METODOLOGI PENELITIAN meliputi latar belakamgMETODOLOGI PENELITIAN meliputi latar belakamg
METODOLOGI PENELITIAN meliputi latar belakamg
 
Pbl 1 malnutrition
Pbl 1 malnutritionPbl 1 malnutrition
Pbl 1 malnutrition
 
prinsip - prinsip ilmu gizi
prinsip - prinsip ilmu giziprinsip - prinsip ilmu gizi
prinsip - prinsip ilmu gizi
 
makalah Askep lansia
makalah Askep lansiamakalah Askep lansia
makalah Askep lansia
 
kesehatan lansia rs kustati.pptx
kesehatan lansia rs kustati.pptxkesehatan lansia rs kustati.pptx
kesehatan lansia rs kustati.pptx
 
Proses menua dan implikasinya
Proses menua dan implikasinyaProses menua dan implikasinya
Proses menua dan implikasinya
 
Booklet Epidemiologi pada Lansia
Booklet Epidemiologi pada  LansiaBooklet Epidemiologi pada  Lansia
Booklet Epidemiologi pada Lansia
 
asuhan keperawatan lanjut usia gangguan sistem endokrin diabetes melitus deng...
asuhan keperawatan lanjut usia gangguan sistem endokrin diabetes melitus deng...asuhan keperawatan lanjut usia gangguan sistem endokrin diabetes melitus deng...
asuhan keperawatan lanjut usia gangguan sistem endokrin diabetes melitus deng...
 
Karya ilmiah makanan sehat
Karya ilmiah makanan sehatKarya ilmiah makanan sehat
Karya ilmiah makanan sehat
 
Karya ilmiah makanan sehat
Karya ilmiah makanan sehatKarya ilmiah makanan sehat
Karya ilmiah makanan sehat
 
ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA PASIEN DENGAN KONSTIPASI
ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA PASIEN DENGAN KONSTIPASIASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA PASIEN DENGAN KONSTIPASI
ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA PASIEN DENGAN KONSTIPASI
 
Konsep dasar gerontik
Konsep dasar gerontikKonsep dasar gerontik
Konsep dasar gerontik
 
Kel 13 stroke
Kel 13 strokeKel 13 stroke
Kel 13 stroke
 

More from Rini Wahyuni

Angka Kesakitan DBD Per 100.000 Penduduk Tahun 2013-2018
Angka Kesakitan DBD Per 100.000 Penduduk Tahun 2013-2018Angka Kesakitan DBD Per 100.000 Penduduk Tahun 2013-2018
Angka Kesakitan DBD Per 100.000 Penduduk Tahun 2013-2018Rini Wahyuni
 
Tetanus kelompok 4
Tetanus kelompok 4Tetanus kelompok 4
Tetanus kelompok 4Rini Wahyuni
 
Slide Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Jumlah Penderita Peny...
Slide Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Jumlah Penderita Peny...Slide Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Jumlah Penderita Peny...
Slide Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Jumlah Penderita Peny...Rini Wahyuni
 
Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Jumlah Penderita Diabetes M...
Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Jumlah Penderita Diabetes M...Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Jumlah Penderita Diabetes M...
Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Jumlah Penderita Diabetes M...Rini Wahyuni
 
Praktik penyajian data sistem informasi kesehatan mengenai malaria
Praktik penyajian data sistem informasi kesehatan mengenai malariaPraktik penyajian data sistem informasi kesehatan mengenai malaria
Praktik penyajian data sistem informasi kesehatan mengenai malariaRini Wahyuni
 
Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Malaria
Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang MalariaPenyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Malaria
Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang MalariaRini Wahyuni
 
Makalah Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan Tentang Estimasi Jumlah Pen...
Makalah Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan Tentang Estimasi Jumlah Pen...Makalah Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan Tentang Estimasi Jumlah Pen...
Makalah Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan Tentang Estimasi Jumlah Pen...Rini Wahyuni
 
Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Estimasi Penderita Diabetes...
Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Estimasi Penderita Diabetes...Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Estimasi Penderita Diabetes...
Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Estimasi Penderita Diabetes...Rini Wahyuni
 

More from Rini Wahyuni (9)

Angka Kesakitan DBD Per 100.000 Penduduk Tahun 2013-2018
Angka Kesakitan DBD Per 100.000 Penduduk Tahun 2013-2018Angka Kesakitan DBD Per 100.000 Penduduk Tahun 2013-2018
Angka Kesakitan DBD Per 100.000 Penduduk Tahun 2013-2018
 
BENCANA
BENCANABENCANA
BENCANA
 
Tetanus kelompok 4
Tetanus kelompok 4Tetanus kelompok 4
Tetanus kelompok 4
 
Slide Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Jumlah Penderita Peny...
Slide Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Jumlah Penderita Peny...Slide Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Jumlah Penderita Peny...
Slide Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Jumlah Penderita Peny...
 
Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Jumlah Penderita Diabetes M...
Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Jumlah Penderita Diabetes M...Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Jumlah Penderita Diabetes M...
Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Jumlah Penderita Diabetes M...
 
Praktik penyajian data sistem informasi kesehatan mengenai malaria
Praktik penyajian data sistem informasi kesehatan mengenai malariaPraktik penyajian data sistem informasi kesehatan mengenai malaria
Praktik penyajian data sistem informasi kesehatan mengenai malaria
 
Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Malaria
Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang MalariaPenyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Malaria
Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Malaria
 
Makalah Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan Tentang Estimasi Jumlah Pen...
Makalah Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan Tentang Estimasi Jumlah Pen...Makalah Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan Tentang Estimasi Jumlah Pen...
Makalah Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan Tentang Estimasi Jumlah Pen...
 
Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Estimasi Penderita Diabetes...
Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Estimasi Penderita Diabetes...Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Estimasi Penderita Diabetes...
Penyajian Data Sistem Informasi Kesehatan tentang Estimasi Penderita Diabetes...
 

Recently uploaded

implementasi Revisi Usulan Proposal MHKes PPJ.docx
implementasi Revisi Usulan Proposal MHKes PPJ.docximplementasi Revisi Usulan Proposal MHKes PPJ.docx
implementasi Revisi Usulan Proposal MHKes PPJ.docxhurufd86
 
Diagnosis Diferensial and Mnemonic_Materi 2.pdf
Diagnosis Diferensial and Mnemonic_Materi 2.pdfDiagnosis Diferensial and Mnemonic_Materi 2.pdf
Diagnosis Diferensial and Mnemonic_Materi 2.pdfAlanRahmat
 
mater kuliah tentang KELAINAN TELINGA LUAR
mater kuliah tentang KELAINAN TELINGA LUARmater kuliah tentang KELAINAN TELINGA LUAR
mater kuliah tentang KELAINAN TELINGA LUARGregoryStevanusGulto
 
PPT TUGAS PEMBIAYAAN RS DI ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL.pptx
PPT TUGAS PEMBIAYAAN RS DI ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL.pptxPPT TUGAS PEMBIAYAAN RS DI ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL.pptx
PPT TUGAS PEMBIAYAAN RS DI ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL.pptxnoviariansari
 
METODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptx
METODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptxMETODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptx
METODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptxika291990
 
DASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptx
DASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptxDASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptx
DASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptxNadiraShafa1
 
PENGORGANISASIAN dan struktur organisasi.ppt
PENGORGANISASIAN dan struktur organisasi.pptPENGORGANISASIAN dan struktur organisasi.ppt
PENGORGANISASIAN dan struktur organisasi.pptssuser940815
 
MATERI PRESENTASI IPE IPC (kelompok 1).pdf
MATERI PRESENTASI IPE IPC (kelompok 1).pdfMATERI PRESENTASI IPE IPC (kelompok 1).pdf
MATERI PRESENTASI IPE IPC (kelompok 1).pdfestidiyah35
 
Bimtek TKH 2024.pptxRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR
Bimtek TKH 2024.pptxRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRBimtek TKH 2024.pptxRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR
Bimtek TKH 2024.pptxRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRJessieArini1
 
PROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdf
PROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdfPROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdf
PROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdfMeiRianitaElfridaSin
 
PENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptx
PENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptxPENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptx
PENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptxandibtv
 
KEBIJAKAN GLOBAL PELAYANAN KEBIDANAN090222 18-Nov-2022 07-29-34.ppt
KEBIJAKAN GLOBAL PELAYANAN KEBIDANAN090222 18-Nov-2022 07-29-34.pptKEBIJAKAN GLOBAL PELAYANAN KEBIDANAN090222 18-Nov-2022 07-29-34.ppt
KEBIJAKAN GLOBAL PELAYANAN KEBIDANAN090222 18-Nov-2022 07-29-34.pptmutupkmbulu
 

Recently uploaded (12)

implementasi Revisi Usulan Proposal MHKes PPJ.docx
implementasi Revisi Usulan Proposal MHKes PPJ.docximplementasi Revisi Usulan Proposal MHKes PPJ.docx
implementasi Revisi Usulan Proposal MHKes PPJ.docx
 
Diagnosis Diferensial and Mnemonic_Materi 2.pdf
Diagnosis Diferensial and Mnemonic_Materi 2.pdfDiagnosis Diferensial and Mnemonic_Materi 2.pdf
Diagnosis Diferensial and Mnemonic_Materi 2.pdf
 
mater kuliah tentang KELAINAN TELINGA LUAR
mater kuliah tentang KELAINAN TELINGA LUARmater kuliah tentang KELAINAN TELINGA LUAR
mater kuliah tentang KELAINAN TELINGA LUAR
 
PPT TUGAS PEMBIAYAAN RS DI ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL.pptx
PPT TUGAS PEMBIAYAAN RS DI ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL.pptxPPT TUGAS PEMBIAYAAN RS DI ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL.pptx
PPT TUGAS PEMBIAYAAN RS DI ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL.pptx
 
METODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptx
METODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptxMETODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptx
METODE FOOD RECORD (pENGUKURAN FOOD.pptx
 
DASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptx
DASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptxDASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptx
DASAR DASAR EMOSI BIOPSIKOLOGI, PSIKOLOGI.pptx
 
PENGORGANISASIAN dan struktur organisasi.ppt
PENGORGANISASIAN dan struktur organisasi.pptPENGORGANISASIAN dan struktur organisasi.ppt
PENGORGANISASIAN dan struktur organisasi.ppt
 
MATERI PRESENTASI IPE IPC (kelompok 1).pdf
MATERI PRESENTASI IPE IPC (kelompok 1).pdfMATERI PRESENTASI IPE IPC (kelompok 1).pdf
MATERI PRESENTASI IPE IPC (kelompok 1).pdf
 
Bimtek TKH 2024.pptxRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR
Bimtek TKH 2024.pptxRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRBimtek TKH 2024.pptxRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR
Bimtek TKH 2024.pptxRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR
 
PROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdf
PROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdfPROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdf
PROMOSI KESEHATAN & KESEJAHTERAAN LANSIA compress.pdf
 
PENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptx
PENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptxPENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptx
PENGAMBILAN SAMPEL DARAH ARTERI DAN ANALISA GAS DARAH.pptx
 
KEBIJAKAN GLOBAL PELAYANAN KEBIDANAN090222 18-Nov-2022 07-29-34.ppt
KEBIJAKAN GLOBAL PELAYANAN KEBIDANAN090222 18-Nov-2022 07-29-34.pptKEBIJAKAN GLOBAL PELAYANAN KEBIDANAN090222 18-Nov-2022 07-29-34.ppt
KEBIJAKAN GLOBAL PELAYANAN KEBIDANAN090222 18-Nov-2022 07-29-34.ppt
 

KONSEP LANJSIA

  • 1. 4 BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Lansia 1. Pengertian Lansia Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia di Pusat Kesehatan Masyarakat disebutkan bahwa lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Lansia adalah seseorang yang berusia lebih dari 65 tahun, yang selanjutnya terbagi ke dalam usia 70-75 tahun, 76-80 tahun dan lebih dari 80 tahun (Noorkasiani, 2009 dalam Saputra, dkk, 2016). Sebagaimana yang dijelaskan oleh Notoatmodjo (2007) dalam Raissa (2012) bahwa usia lanjut adalah kelompok orang yang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade. Lanjut usia ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu usia kronologis yang dihitung berdasarkan tahun kalender, usia biologis yang diterapkan berdasarkan pematangan jaringan dan usia psikologis yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang untuk dapat mengadakan penyesuaian terhadap setiap situasi yang dihadapinya (Noorkasiani, 2009). Menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu terrtentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan suatu proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa dan tua. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat dan figur tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2008).
  • 2. 5 Dari beberapa pengertian di atas, usia lanjut dapat kita artikan sebagai seseorang yang berusia 60 tahun keatas dimana proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya. 2. Klasifikasi dan Batasan Usia Lanjut Lanjut usia dibagi oleh sejumlah pihak dalam berbagai klasifikasi dan batasan (Ratnawati, 2017). a. Menurut WHO batasan usia lanjut meliputi: 1) Middle Age : 45-59 tahun 2) Elderly : 60-70 tahun 3) Old : 75-90 tahun 4) Very Old : Di atas 90 tahun b. Maryam (2008) mengklasifikasikan lansia antara lain: 1) Pralansia (prasenilis) Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun 2) Lansia Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih 3) Lansia Risiko Tinggi Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/ seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2003). 4) Lansia Potensial Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/ atau kegiatan yag dapat menghasilkan barang/ jasa (Depkes RI, 2003). 5) Lansia Tidak Potensial Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003). c. Menurut Kementrian Kesehatan RI (2015) lanjut usia dikelompokan menjadi usia lanjut (60-69 tahun) dan usia lanjut dengan risiko tinggi (lebih dari 70 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan).
  • 3. 6 3. Teori Penuaan a. Teori Wear and Tear (Dipakai dan Rusak) Teori ini menjelaskan bahwa terjadinya penumpukan berbagai zat yang tidak berguna dalam tubuh seperti radikal bebas menyebabkan penurunan berbagai fungsi sistem tubuh (Stanley & Beare, 2006). Kaitan teori ini dengan terjadinya konstipasi pada lansia yaitu dampak penumpukan sampah metabolik yakni feses dalam sistem pencernaan lansia dapat menyebabkan konstipasi (Wulandari, 2016). b. Teori Kebutuhan Dasar Menurut teori Maslow, kebutuhan fisiologis seperti makan dan minum merupakan kebutuhan dasar pertama yang harus terpenuhi oleh manusia (Potter & Perry, 2005) menurut teori Henderson, terdapat 14 kebutuhan dasar yang harus terpenuhi yang juga mencakup kebutuhan fisiologis seperti kebutuhan eliminasi (Potter & Perry, 2005). Oleh karen aitu, terjadinya konstipasi pada lansia mengganggu pemenuhan kebutuhan dasar lansia (Wulandari, 2016). 4. Sistem Pencernaan Lansia dan Perubahannya Dalam Wulandari (2016) dijelaskan bahwa sistem pencernaan lansia mengalami beberapa perubahan fisiologis dan proses pencernaannya pun mengalami penurunan (Potter & Perry, 2005). Pada usus halus lansia terjadi penurunan motilitas atau pergerakan usus dan absorbsi zat-zat makanan juga menjadi lebih lambat (Kozier, Erb & Berman, 2011). Pada usus besar lansia terjadi penurunan elastisitas dinding usus, persepsi otak terhadap penuhnya rektum, tonus otot usus, serta gerak peristaltik (Miller, 2012). Selain itu, terjadi penurunan kepekaan saraf, pengosongan usus tidak tuntas, dan ketidakmampuan meneruskan rangsangan untuk defekasi juga terjadi pada sistem pencernaan lansia (Stanley & Beare, 2006). Jumlah neuron pleksus mienterika berkurang dan respon terhadap rangsangan menurun sehingga persarafan mienterika yang berfungsi
  • 4. 7 dalam proses percernaan tidak berfungsi optimal (Gallegos-Orozco, et al, 2012). Defekasi terjadi ketika penumpukan feses menyebabkan rektum meregang sehingga merangsang sfingter ani internal untuk melemas dan kolon sigmoid serta rektum berkontraksi selanjutnya feses dapat dikeluarkan atau defekasi terjadi ketika sfinter ani eksternal juga melemas (Sherwood, 2012). Peregangan rektum menyebabkan rasa ingin defekasi, namun jika defekasi tidak dibutuhkan maka pengencangan pada sfingter ani eksternal dapat mencegah terjadinya defekasi (Sherwood, 2012). Tindakan ini dapat menyebabkan rektum yang meregang menjadi melemas hingga adanya penumpukan kembali feses dalam rektum yang merangsang defekasi kembali (Sherwood, 2012). Oleh karena itu, defekasi merupakan suatu kebutuhan. B. Konsep Konstipasi 1. Pengertian Konstipasi Konstipasi secara luas didefinisikan sebagai frekuensi jarang atau kesulitan pergerakan feses, feses kering (Leueckenotte, 2000). Menurut Stanley (2007) Konstipasi adalah suatu penurunan frekuensi pergerakan usus yang disertai dengan perpanjangan waktu dan kesulitan pergerakan feses. Sebagaimana yang dijelaskan dalam NANDA, bahwa konstipasi adalah penurunan frekuensi defekasi pada seseorang yang disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, tidak tuntas, keras dan kering (Herdman & Kamitsuru, 2014). Dharmika (2009) dalam Saputra, dkk, (2016) juga menambahkan bahwa konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar berupa berkurangnya frekuensi buang air besar, sensasi tidak puas/lampiasnya buang air besar, terdapat rasa sakit, perlu ekstra mengejan atau feses yang keras. Dalam praktek sehari-hari dikatakan konstipasi bila buang air besar kurang dari 3 kali seminggu atau 3 hari tidak buang air besar atau buang air besar diperlukan mengejan secara berlebihan.
  • 5. 8 2. Manifestasi Klinis Menurut Stanley (2007) : a. Mengejan berlebihan saat BAB b. Massa feses yang keras c. Perasaan tidak puas saat BAB d. Sakit pada daerah rektum saat BAB e. Menggunakan jari-jari untuk mengeluarkan feses 3. Makanan yang Menyebabkan Konstipasi Berikut beberapa makanan umum yang dapat menyebabkan konstipasi : a. Makanan yang Tinggi Lemak Contoh : minyak kacang tanah, minyak kelapa sawit, minyak kelapa, ayam, daging sapi, mentega, margarin, keju, susu kental manis, tepung susu, dan sebagainya. b. Makanan yang tinggi gula Seperti makanan yang manis-manis, keju, dan makanan olahan 4. Makanan yang Tidak Menyebabkan Konstipasi Berikut beberapa makanan yang tidak menyebabkan konstipasi : a. Buah-Buahan Segar Contoh : alpukat, anggur, belimbing, jambu biji, jeruk bali, jeruk sitrun, mangga, melon, nanas, pepaya, pisang, semangka, sirsat, srikaya, dan sebagainya. b. Sayuran Contoh : bayam, kangkung, daun pepaya, daun singkong, sawi hijau, kubis, kacang panjang, buncis, dan sebagainya. c. Makanan Tinggi Serat Contoh : tepung maizena, beras ketan, ubi merah, ubi putih, oncom merah, oncom putih, kacang hijau, kacang tanah, dan sebagainya.
  • 6. 9 d. Makanan yang Menyediakan Asam Lemak Omega-3 Terdapat dalam daun-daunan, beberapa minyak biji-bijian, termasuk minyak kacang kedelai, minyak biji rami, minyak biji rape, minyak ikan, ikan, kecambah, gandum (Almatsier, 2010). 5. Akibat Konstipasi Akibat konstipasi pada Lansia (Wulandari, 2016): Impaksi atau feses yang menumpuk dan mengeras dapat disebabkan karena konstipasi, kemudian impaksi feses tersebut dapat mengakibatkan gangguan eliminasi urin berupa inkontinensia ataupun retensi urin (Woodward, et al., 2002). Pada lansia, konstipasi menyebabkan gangguan perkemihan akibat dari penumpukan feses pada kolon bagian bawah dan rektum (Ginsberg, dkk., 2007). Konstipasi pada lansia juga menyebabkan gangguan anorektal seperti hemmoroid, prolaps rektum, dan volvulus sigmoid (Chu, Zhong, Zhang, Zhang & Hou, 2014). 6. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Konstipasi pada Lansia Penyebab konstipasi pada lansia antara lain obat-obatan; penyakit neuropati dan miopati; idiopatik; anoreksia; dehidrasi; defekasi yang ditahan; diet yang tidak adekiat, rendah serat, tinggi protein, bahkan serat yang berlebihan; hiperglikemi; hipokalemi; hipotiroid; gangguan psikologis; gaya hidup kurang gerak; serta gangguan pada saraf pusat (Gallegos-Orozco, et al, 2012 dalamWulandari, 2016). Menurut Dudek (1997, dalam Leueckenotte, 2000), kejadian konstipasi pada lansia dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu : a. Asupan Serat 1) Pengertian Serat makanan (diatery fiber) adalah komponen dalam tanaman yang tidak tercerna secara enzimatik menjadi bagian- bagian yang dapat diserap di saluran pencernaan (Almatsier, 2010).
  • 7. 10 2) Ragam Serat makanan Menurut Wirakusumah (2003) ada dua istilah yang sering digunakan dalam kaitannya dengan serat yaitu : a) Dietary fiber (serat makanan) ialah semua jenis serat yang tetap dalam kolon setelah pencernaan, baik serat larut air maupun serat tidak larut air. b) Crude fiber (serat kasar) ialah serat tumbuhan yang tidak larut dalam air, misalnya selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Adapun serat yang larut dalam air adalah pektin, gum, gel dan mucilages. 3) Klasifikasi Serat Klasifikasi serat menurut karakteristik kelarutan dalam air, yaitu : a) Serat larut air (Soluble fibre) Serat larut air adalah serat yang larut dalam air kemudian membentuk gel dalam saluran pencernaan dengan cara menyerap air. Soluble fiber meliputi pectin, gum, mucilage, dan beberapa hemicelluloses. Bentuk lain soluble fiber/serat larut ditemukan pada gandum, padi dan polong. Pengaruh serat larut dalam saluran cerna berhubungan dengan kemampuan mereka untuk menahan air dan membentuk gumpalan/gel. b) Serat tidak larut air (Insoluble fibre ) Serat tidak larut air yaitu serat yang tidak dapat larut dalam air dan juga dalam sistem pencernaan, tetapi memiliki kemampuan menyerap air dan meningkatkan tekstur dan volume tinja. Insoluble fiber terutama terdiri dari cellulose dan hemicelluloses. Sumber utama serat ini berada dalam padi, sereal dan biji-bijian (Devi, 2010). 4) Anjuran Konsumsi Belum ada AKG untuk serat. Namun, untuk diet 2.000 kalori untuk orang dewasa, paling sedikit 1.000-2.000 kalori harus berasal dari karbohidrat kompleks. Diet serat yang dianjurkan adalah 20
  • 8. 11 gram-35 gram per hari dan cukup untuk pemeliharaan tanpa efek negatif terhadap kesehatan (Devi, 2010). 5) Keuntungan Serat Keuntungan-keuntungan serat antara lain: (1) berfungsi untuk mengontrol berat badan (2) mencegah/meringankan risiko konstipasi, Irritable Bowel Syndrome, penyakit divertikular, dan haemorrhoid (3) mencegah kanker kolon (4) menurunkan kadar Low Density Lipoprotein dan kolesterol (5) memperlambat absorbsi glukosa (berguna untuk meregulasi kadar gula darah) (Devi, 2010). 6) Asupan Serat dan Konstipasi Konsumsi serat makanan, khususnya serat tak larut (tak dapat dicerna dan tak larut air panas) menghasilkan kotoran yang lembek. Insoluble fibre bersifat menahan air pada fragmen serat sehingga menghasilkan tinja yang lebih banyak dan berair. Akibatnya akan terjadi stimulasi gerakan peristaltik, mempercepat waktu transit kolon, peningkatan frekuensi defekasi, dan penurunan tekanan di dalam kolon (Wirakusumah E. , 2003). b. Intake Cairan Pada lansia, proses penuaan normal dapat mempengaruhi keseimbangan cairan. Perubahan fisiologi yang terjadi antara lain respons haus sering menjadi tumpul, nefron (unit fungsional ginjal) menjadi kurang mampu menahan air, penurunan TBW (total body water) yang berhubungan dengan FFM (Fat Free Mass). Perubahan normal karena penuaan ini meningkatkan resiko dehidrasi (Audrey Berman et.al, 2009). Angka kecukupan air untuk usia di atas 50 tahun keatas menurut AKG, tahun 2004 dalam Devi (2010) adalah 1,5-2 liter/hari. Intake cairan berpengaruh pada eliminasi fekal. Kolon menggunakan banyak air untuk memecah makanan padat. Bahan sisa metabolisme dalam saluran cerna akan membawa sejumlah air yang telah digunakan untuk mencairkan makanan, dan hal ini tergantung pada
  • 9. 12 ketersediaan air di dalam tubuh. Air yang membawa sisa metabolisme akan bertindak sebagai pelumas untuk membantu sisa metabolisme ini bergerak di sepanjang kolon. Semakin tubuh membutuhkan air, semakin besar usahanya untuk menyerap kembali air yang tersedia di dalam usus. Proses ini memberikan tekanan besar pada sisa metabolisme agar airnya dapat diabsorbsi kembali oleh mukosa atau dinding selaput dari kolon. Dampaknya tinja menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses yang keras (Guyton & Hall, 1996). c. Aktivitas Fisik Mempertahankan mobilisasi optimal sangat penting untuk kesehatan mental dan fisik semua lansia. Pada umumnya, para lansia akan mengalami penurunan aktifitas fisik. Salah satu faktor penyebabnya adalah pertambahan usia yang dapat menyebabkan terjadinya kemunduran biologis. Kondisi ini setidaknya akan membatasi aktifitas yang menuntut ketangkasan fisik. Aktivitas fisik juga merangsang terhadap timbulnya peristaltik. Penurunan aktivitas fisik dapat mengakibatkan terjadinya penurunan gerak peristaltik dan dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rectum dalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga feses mengeras. Aktivitas fisik juga membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot. Tonus otot yang baik dari otot-otot abdominal, otot pelvis dan diafragma sangat penting bagi defekasi (Asmadi, 2008). C. Asuhan Keperawatan Konstipasi pada Lansia 1. Pengkajian a. Identitas Pasien Identitas atau data demografi mencakup inisial nama, usia, riwayat pendidikan dan pekerjaan, serta alamat tempat tinggal (Widyatuti & Nurviyandari, 2013 dalam Wulandari, 2016).
  • 10. 13 b. Riwayat Kesehatan Dalam Wulandari (2016), riwayat kesehatan meliputi riwayat terdahulu dan saat ini serta riwayat keluarga (Widyatuti & Nurviyandari, 2013). Riwayat kesehatan terdahulu mencakup riwayat pembedahan, riwayat penyakit yang pernah diderita dan riwayat dirawat, serta riwayat obat-obatan yang juga mencakup pengetahuan klien tentang obat, kepatuhan minum obat, dan efek obat yang dirasakan (Stanhope & Knollmueller, 2008). Pengkajian riwayat lansia juga mencakup riwayat sosial (Stanhope & Knollmueller, 2008). Riwayat sosial mencakup sosioekonomi, kemampuan beraktivitas, serta hubungan dengan keluarga dan sesama lansia (Stanhope & Knollmueller, 2008). Riwayat konstipasi juga dikaji pada masalah konstipasi (Arenson, et al., 2009). c. Kebiasaan Sehari-hari Kebiasaan sehari-hari meliputi pola makan, minum, tidur, eliminasi urin dan fekal, aktivitas sehari-hari dan rekreasi (Widyatuti & Nurviyandari, 2013). Pada pengkajian konstipasi, pola eliminasi fekal yang dapat dikaji meliputi frekuensi defekasi, perubahan pada pola defekasi, kesulitan saat defekasi seperti mengedan, karakteristik feses yang keras, kering, dan sulit dikeluarkan, penggunaan pencahar, serta ada atau tidaknya nyeri dan darah saat defekasi (Miller, 2012 dalam Wulandari, 2016). d. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan menyeluruh mencakup kepala, dada, abdomen, ekstremitas, serta pemeriksaan tanda-tanda vital, keadaan umum, dan tingkat kesadaran (Widyatuti & Nurviyandari, 2013). Pemeriksaan fisik termasuk dalam pengkajian konstipasi pada lansia (Arenson, et al., 2009). Pemeriksaan fisik pada masalah konstipasi dilakukan terhadap abdomen dan rectum (Miller,
  • 11. 14 2012). Pemeriksaan rektum dilakukan pada posisi miring (Miller, 2012). Pemeriksaan abdomen dilakukan pada posisi supine (Miller, 2012). Pada inspeksi, penemuan distensi abdomen dan jaringan parut akibat tindakan bedah perlu dicatat (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006). Selanjutnya dilakukan auskultasi bising usus untuk mengetahui gerak peristaltik (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006). Pada pemeriksaan bising usus, diafragma stetoskop digunakan untuk mendengarkan bising usus mulai dari kuadran kanan bawah hingga kuadran kiri bawah abdomen selama minimal 60 detik (Nusyirwan, 2008). Secara normal, pada lansia, dapat terdengar bising usus dengan nilai normal 5-15 kali per menit (Miller, 2012). Bell stetoskop digunakan untuk mendengarkan bunyi vaskuler pada area arteri renalis, iliaka, dan femoralis dengan cara meletakkan bell pada area sejajar garis midklavikula di samping aorta di atas umbilikus (Nusyirwan, 2008). Penyumbatan parsial pada usus menghasilkan suara yang gaduh, sedangkan penyumbatan total menghasilkan suara gemerincing dan sangat kencang (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006). Kemudian dilakukan perkusi hepar untuk memperkirakan ukuran hepar sehingga mengetahui ada atau tidaknya gangguan hepar (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006). Selain itu, dilakukan perkusi di atas organ abdomen untuk mengetahui suara yang dihasilkan yaitu timpani atau dullness yang mana timpani adalah suara normal dan dullness menunjukkan adanya obstruksi (Burger, 2008). Terakhir adalah palpasi. Pada konstipasi, feses mudah dipalpasi namun hasil yang teraba berbeda dengan massa tumor (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006). Massa abdomen yang tidak dapat digerakkan menandakan tumor gastrointestinal (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006). Selain itu, adanya aneurisme pada aorta abdomen dapat dirasakan seperti adanya denyutan pada massa abdomen, namun denyutan ini dapat dirasakan normal pada lansia dengan tubuh yang
  • 12. 15 kurus (Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006) dalam (Wulandari, 2016). e. Constipation Scoring System (CSS) Konstipasi dapat juga diidentifikasi melalui Constipation Scoring System (CSS). Pertanyaan dalam CSS mencakup frekuensi defekasi, usaha mengedan, defekasi yang tidak tuntas, nyeri abomen, lama defekasi (menit), bantuan yang digunakan untuk dapat defekasi, tidak dapat defekasi dalam 24 jam, dan riwayat konstipasi dalam setahun (Agachan, et al., 1996 dalam Kristamuliana, 2015). Total skor CSS adalah 30 dimana semakin besar skor, semakin tinggi tingkat keparahan konstipasi yang dialami (McClurg, Hagen, Hawkins, & Lowe-Strong, 2011) dalam (Wulandari, 2016). 2. Perumusan Diagnosis Berdasarkan NANDA, beberapa diagnosis keperawatan yang dapat ditegakkan dari masalah konstipasi yaitu konstipasi, risiko konstipasi, konstipasi kronik fungsional, risiko konstipasi kronik fungsional, dan konstipasi yang dirasakan (perceived constipation) (Herdman & Kamitsuru, 2014). Berdasarkan NANDA, diagnosis konstipasi dapat ditegakkan jika terdapat data antara lain nyeri abdomen, penurunan frekuensi defekasi dan banyaknya feses yang dikeluarkan, feses yang keras, bising usus yang hiperaktif ataupun hipoaktif, tidak dapat defekasi, nyeri saat defekasi, teraba massa abdomen atau rektum, suara dullness pada abdomen, rektum penuh, tekanan pada rektum, dan mengedan saat defekasi (Herdman & Kamitsuru, 2014). Diagnosis risiko konstipasi didefinisikan sebagai kerentanan mengalami konstipasi (Herdman & Kamitsuru, 2014). Diagnosis konstipasi kronik fungsional ditegakkan jika konstipasi telah terjadi selama 3-12 bulan terakhir (Herdman & Kamitsuru, 2014). Konstipasi ini ditandai dengan antara lain adanya ≥ 2 gejala pada klasifikasi Rome III yaitu feses keras atau mengedan ≥ 25%
  • 13. 16 defekasi; defekasi tidak tuntas atau sensasi adanya penyumbatan pada anorektal ≥ 25% defekasi; bantuan manual membantu ≥ 25% defekasi atau defekasi ≤ 3 kali seminggu (Herdman & Kamitsuru, 2014). Diagnosis risiko konstipasi kronik fungsional didefinisikan sebagai kerentanan mengalami konstipasi kronik fungsional akibat adanya faktor risiko seperti obat-obatan, diet tinggi lemak dan protein, kurang gerak, dan gangguan mobilisasi (Herdman & Kamitsuru, 2014). Diagnosis konstipasi yang dirasakan didefinisikan sebagai konstipasi yang didiagnosis oleh diri klien sendiri disertai adanya penggunaan laxatif, enema, atau suppositoria (Herdman & Kamitsuru, 2014) dalam (Wulandari, 2016). 3. Rencana Keperawatan Berdasarkan NIC, intervensi keperawatan dalam mengatasi diagnosis konstipasi meliputi manajemen bowel, latihan bowel, manajemen konstipasi/impaksi, diet, enema, manajemen cairan/eletrolit, manajemen cairan, pemantauan cairan, obat, manajemen nutrisi, dan manajemen rektal yang prolaps (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Manajemen bowel adalah tindakan memelihara pola eliminasi yang teratur (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan antara lain mencatat defekasi terakhir, memantau karakteristik defekasi, bising usus, dan tanda gejala konstipasi, melaporkan peningkatan atau penurunan bising usus, mengajarkan klien mencatat karakteristik fesesnya, mendorong konsumsi diet tinggi serat dan makanan rendah gas, memberikan air hangat setelah makan, mengevaluasi efek medikasi terhadap gastrointestinal, dan memberikan obat suppositoria ke dalam rektal (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Latihan usus besar adalah tindakan melatih usus untuk defekasi pada waktu yang dijadwalkan (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan hampir sama ditambah dengan membuat
  • 14. 17 jadwal defekasi yang konsisten, mengajarkan klien prinsip latihan, mengajarkan olahraga, menjaga privasi defekasi, dan memodifikasi program latihan (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Manajemen konstipasi/impaksi adalah tindakan mencegah atau mengurangi konstipasi/impaksi (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan hampir sama ditambah dengan mengidentifikasi faktor penyebab dan menjelaskan penyebab konstipasi dan rasional tindakan kepada klien, mengajarkan klien tentang penggunaan laxatif yang sesuai, hubungan diet, olahraga, dan cairan terhadap konstipasi, dan proses pencernaan yang normal, mengevaluasi nutrisi, mengukur berat badan teratur, dan melakukan pengeluaran feses secara manual (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Manajemen cairan/eletrolit adalah tindakan mengatur dan mencegah komplikasi kekurangan cairan atau elektrolit (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan antara lain memantau tanda gejala dehidrasi, memberi cairan yang sesuai, meningkatkan asupan cairan secara oral seperti menyediakan cairan yang diinginkan klien dan mudah dijangkau, mencatat masukan dan haluaran cairan, dan mengontrol kehilangan cairan seperti akibat penggunaan antipiretik (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Manajemen cairan juga hampir sama ditambah dengan memantau status hidrasi seperti kelembaban membran mukosa, keadekuatan nadi, dan tekanan darah (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Pemantauan cairan mencakup aktivitas memantau jumlah dan jenis cairan yang dikonsumsi serta memantau tanda perubahan cairan seperti pusing (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Diet staging adalah tindakan membatasi diet (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dapat dilakukan antara lain mengkaji adanya bising usus dan memberikan diet bertahap hingga diet khusus atau biasa (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Manajemen nutrisi adalah tindakan menyediakan nutrisi yang
  • 15. 18 seimbang (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan antara lain menentukan status nutrisi dan jenis nutrisi yang dibutuhkan, menyesuaikan diet, dan mengajarkan diet yang dibutuhkan lansia yaitu tinggi serat untuk mengatasi konstipasi. Manajemen rektal yang prolaps adalah tindakan mencegah atau mengurangi prolaps rektum secara manual (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Aktivitas yang dilakukan antara lain mengkaji riwayat, mendorong klien menghindari mengedan, mengajarkan untuk teratur dalam diet, olahraga, dan obat, serta mengajarkan posisi saat terjadi prolaps (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Dalam intervensi keperawatan pada lansia yang mengalami konstipasi, edukasi kesehatan juga dapat dilakukan. Materi edukasi dapat mencakup diet tinggi serat, menghindari laxatif dan enema, pemilihan obat yang meningkatkan defekasi seperti jenis bulk forming seperti psyllium atau methylcellulose, tidak menahan defekasi, serta olahraga teratur (Miller, 2012). Edukasi mengenai pentingnya diet, olahraga, dan toilet training merupakan juga dapat dilakukan pada lansia (Gallegos-Orozco, Foxx-Orenstein, Sterler, & Stoa, 2012) dalam (Wulandari, 2016). 4. Intervensi Utama (MassaseAbdomen, Posisi Defekasi,dan Pemberian Cairan) a. Massase Abdomen Massase abdomen adalah tindakan pemijatan pada abdomen. Massase abdomen merupakan salah satu manajemen usus (bowel management) (NHS, 2014). Massase mengurangi konstipasi pada orang dewasa (Wang & Yin, 2015). Massase abdomen meningkatkan fungsi sistem pencernaan (NHS, 2014). Massase abdomen dan pemberian posisi defekasi meningkatkan frekuensi defekasi, mempercepat defekasi, dan rasa nyaman saat defekasi (Kristamuliana, 2015). Berdasarkan penelitian McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe- Strong (2011), pemberian massase abdomen pada klien multiple
  • 16. 19 sclerosis yang mengalami konstipasi dapat meningkatkan frekuensi defekasi. Selain itu, massase abdomen juga meningkatkan tekanan intraabdomen sehingga mengurangi mengedan (McClurg & Lowe- Strong, 2011). Meskipun demikian, massase abdomen tidak dapat dilakukan pada klien dengan riwayat obstruksi usus maligna, riwayat penyakit inflamasi usus, penyakit Crohn’s, atau kolitis ulseratif, spasme kolon pada klien dengan sindrom iritasi usus, cedera saraf tulang belakang yang tidak stabil, dan jaringan parut pada abdomen atau bedah abdomen baru (NHS, 2014). Oleh karena kontraindikasi tersebut, pemeriksaan yang lengkap perlu dilakukan sebelum memberikan massase abdomen untuk memastikan bahwa massase abdomen dapat dilakukan atau tidak. Massase abdomen dapat dilakukan selama 15 menit (McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong, 2011). Menurut NHS (2014), dapat juga dilakukan selama 10-20 menit. Alat dan bahan yang dapat digunakan antara lain sarung tangan bersih, minyak, bantal, dan selimut atau handuk. Menurut Chung dan Choi (2011) dalam Wang dan Yin (2015), aromaterapi pada minyak tidak memberikan efek pada penanganan konstipasi, namun menurut Kim, Sakong, Kim, dan Kim (2005) dalam Wang dan Yin (2015), minyak esensial membantu penanganan konstipasi pada lansia. Minyak bayi atau baby oil merupakan salah satu minyak esensial sehingga dapat digunakan dalam massase abdomen pada lansia. Setelah persiapan diri perawat, alat, dan klien dengan memosisikan klien supine dengan kepala didukung bantal dan selimut untuk menutupi bagian tubuh lain, massase abdomen dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik. Teknik massase abdomen yang dapat digunakan yaitu berdasarkan penelitian McClurg, Hagen, Hawkins, dan Lowe-Strong (2011) yang kemudian diaplikasikan dalam penelitian Kristamuliana (2015) terhadap lansia. Teknik tersebut dipilih karena telah diteliti pada pasien dengan multipel sklerosis atau gangguan
  • 17. 20 neurologi yang memiliki kesamaan dengan kondisi penurunan saraf pada lansia sehingga menyebabkan konstipasi. Selain itu, teknik tersebut termasuk yang terkini dan telah banyak digunakan sebagai acuan pada penelitian selanjutnya. Teknik massase abdomen tersebut meliputi (1) melakukan pengusapan pada saraf vagus, dari puncak iliaka hingga ke kedua sisi panggul yaitu pada pangkal paha; (2) melakukan pengusapan pada kolon dari kolon asenden, transversum, hingga desenden dengan tekanan yang semakin meningkat untuk merangsang kontraksi kolon sehingga feses terdorong; (3) melakukan pemerasan pada kolon dari asenden, transversum, hingga desenden untuk memecahkan feses; (4) melakukan pengusapan lagi sepanjang kolon kemudian melakukan pengusapan melintang ringan di atas abdomen; serta (5) melakukan vibrasi pada dinding abdomen untuk menghasilkan flatus (Wulandari, 2016). b. Posisi Defekasi Berdasarkan hasil penelitian Kristamuliana (2015), pemberian posisi defekasi dengan menggunakan topangan kursi setinggi 8 inchi pada kaki lansia membantu mengurangi konstipasi pada lansia. Menurut Wallis, et al (2003) dan Wilson (2005) dalam Kristamuliana (2015), ketinggian kursi yang dapat diberikan yaitu 7-9 inchi. Penurunan dasar panggul dengan sudut rektoanal lurus, kontraksi otot abdomen, serta relaksasi otot puborektal dan sfingter anal eksternal diperlukan untuk dapat defekasi secara normal (Leung, Riutta, Kotecha, & Rosser, 2011). Berdasarkan penelitian Sikirov (2003), terjadi pengosongan usus yang lebih cepat dan lebih memuaskan dengan posisi jongkok saat defekasi. Selain itu, posisi jongkok atau posisi duduk dengan panggul difleksikan dapat mengurangi mengedan (Sakakibara, et al., 2010). Hal tersebut dikarenakan posisi defekasi dengan panggul difleksikan akan membuat sudut rektoanal menjadi lurus sehingga mengedan tidak dibutuhkan (Sikirov, 2003). Pada lansia wanita,
  • 18. 21 rektoanal menjadi tidak membuka secara optimal sehingga feses menjadi sulit dikeluarkan (Gallegos-Orozco, Foxx-Orenstein, Sterler, & Stoa, 2012). Defekasi dengan meninggikan kaki pada posisi duduk dapat membantu mengefektifkan penggunaan otot abdomen dan dasar panggul (Woodward, Moran, Ellicott, Lourens, & Saunders, 2002) dalam (Wulandari, 2016). c. Pemberian Cairan Berdasarkan penelitian Tampubolon (2008), pemberian air dapat meningkatkan frekuensi defekasi dan membuat lebih cepat terjadi defekasi pada klien konstipasi. Menurut Patel, Patel, Patel, dan Sen (2015), pemberian air hangat secara teratur terutama di pagi hari dapat meningkatkan kerja usus sehingga membantu eliminasi fekal. Meningkatkan asupan cairan dan minum air hangat setelah makan merupakan intervensi keperawatan dalam mengatasi konstipasi (Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013). Pemberian cairan dapat merangsang aktivitas kolon (Wallace, 2008). Konsumsi cairan 1,5-2 liter per hari dapat mencegah konstipasi (Wallis, 2004). Kebutuhan cairan untuk lansia adalah 30-35 cc/kg berat badan per hari (National Collaborating Center for Acute Care, 2006 dalam Wallace, 2008). Semua jenis cairan kecuali yang mengandung kafein dan pemanis disarankan dalam mengatasi konstipasi pada lansia (Capezuti, Siegler, & Mezey, 2008) dalam (Wulandari, 2016). 5. Evaluasi Evaluasi terhadap implementasi yang telah dilakukan pada lansia yang mengalami konstipasi dapat dilakukan dengan mengidentifikasi konstipasi yang dialami, faktor yang menyebabkan konstipasi, serta pola defekasi dan masalah teratasi jika lansia dapat defekasi secara teratur dengan karakteristik feses yang lembut, tanpa mengedan atau rasa tidak nyaman saat defekasi (Miller, 2012). Evaluasi juga dapat dilakukan
  • 19. 22 melalui CSS setelah intervensi selesai (McClurg, Hagen, Hawkins, & Lowe-Strong, 2011; Kristamuliana (2015) Hasil yang diharapkan dari intervensi keperawatan terhadap konstipasi yaitu hidrasi, eliminasi fekal, respon terhadap medikasi, dan kontrol gejala (Miller, 2012). Berdasarkan NOC, hasil yang diharapkan dari intervensi keperawatan terhadap diagnosis konstipasi yaitu eliminasi fekal dengan indikator keberhasilan yang mencakup peningkatan pola eliminasi fekal, pengontrolan pergerakan usus, jumlah feses sesuai diet, feses lunak dan berbentuk, kemudahan pengeluaran feses, peningkatan tonus sfingter anal, tonus otot untuk mengeluarkan feses, pengeluaran feses tanpa bantuan, dan bising usus meningkat, warna feses dipertahankan, tidak ada lemak, darah, dan lendir pada feses, berkurangnya konstipasi, nyeri saat pengeluaran feses, penggunaan bantuan eliminasi fekal yang berlebihan (Moorhead, Johnson, Maas, & Swanson, 2013). Hasil tersebut dapat dievaluasi kembali terhadap intervensi keperawatan yang dilakukan (Wulandari, 2016).