Tiga kalimat:
Budaya formalitas PNS dipandang penting untuk menerapkan mekanisme pendisiplinan melalui proses normalisasi dan evaluasi perilaku guna memenuhi standar yang diharapkan masyarakat dalam pelayanan publik.
Slide Kick Off for Public - Google Cloud Arcade Facilitator 2024.pptx
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 26 maret 2016-8 mei 2016
1. 1
DAFTAR ISI
HIDUP PANTANG MENYERAH
Benny Susetyo 4
BUDAYA FORMALITAS PNS
Nanang Martono 7
MEMBANTU MENGAKHIRI EPIDEMI TB
FX Wikan Indrarto 10
PETANI YANG TERANIAYA DALAM SEJARAH
Mohamad Sobary 13
AUNG SAN SUU KYI DAN NOBEL PERDAMAIAN
Emerson Yuntho 16
ETIKA SOSIAL DALAM BERCANDA
Sudjito 19
MENGAJAR KELUARGA ADAM MALIK
Komaruddin Hidayat 22
BIMA
Sarlito Wirawan Sarwono 24
DUH, IURAN JKN
Hasbullah Thabrany 27
MODEL MANAJEMEN PENDIDIKAN TINGGI ERA DIGITAL
Ama Suyanto 30
PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN RASA TAKUT
Benny Susetyo 33
KE NEGERI ABU NAWAS
Komaruddin Hidayat 36
WAJAH NABI
Sarlito Wirawan Sarwono 38
RUANG HENING “SOLILOKUI”: PEMULIA KEHIDUPAN?
Mudji Sutrisno 41
DUA SISTEM UJIAN NASIONAL
Azaki Khoirudin 45
ORIENTASI AKADEMIK ATAU KEKUASAAN?
2. 2
Mohamad Sobary 48
NEGARA (TAK) BOLEH KALAH
Rhenald Kasali 52
AHOK & GAIRAH PENGGUSURAN
Laode Ida 55
PYONGYANG YANG CANTIK
Komaruddin Hidayat 58
KE MANA DIMENSI MANUSIA?
M Alfan Alfian 60
TRAGEDI REKLAMASI DI KOTA SERIBU RAWA
Nyoto Santoso 63
ABG
Sarlito Wirawan Sarwono 67
MELAWAN SEBAGAI PANGGILAN HIDUP
Mohamad Sobary 70
TABIAT BURUK “EMOSI TAK SADAR”
Fikri Suadu 73
SEMANGAT BELA NEGARA PARA ILMUWAN
Nanang Martono 76
KEZALIMAN PENGUASA DAN UTILITARIANISME
Ahmad Sahidah 80
PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DAN KARTINI MASA KINI
Muhbib Abdul Wahab 84
BANGKITKAN KEMBALI SEMANGAT KARTINI
Melani Leimena Suharli 88
HARUS ADA KARTINI DALAM DIRI WANITA INDONESIA
Laily Fitriah Liza Min Nelly 92
POROS BARU STUDI ISLAM
Komaruddin Hidayat 94
HARAP CEMAS KEPADA AHOK
Jannus TH Siahaan 96
POLITIK DAN AIR MATA KARTINI
Fauzun Nihayah 99
3. 3
SESAT PIKIR
Sarlito Wirawan Sarwono 103
NAK, MAUKAH KAU JADI POLISI?
Reza Indragiri Amriel 106
TARI DAN PUISI DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Mohamad Sobary 109
BIAS KELAS MENENGAH PADA KEBIJAKAN RELOKASI
Geger Riyanto 112
TOKOH MODERAT DAN APA ADANYA
Bachtiar Nasir 115
PESONA ISTANBUL
Komaruddin Hidayat 117
KH ALI MUSTAFA YAQUB DAN PENGARUH ARAB
Ahmad Najib Burhani 119
PENDIDIK TUNATULADHA
Jejen Musfah 122
KEARIFAN MENYIKAPI NON-MUSLIM MASUK MASJID
Hasan Asy’ari 125
PENDIDIKAN BERKARAKTER DAN BERKEMAJUAN
Jazuli Juwaini 129
ISRA MI’RAJ DAN SALAT TRANSFORMATIF
Muhbib Abdul Wahab 132
TERWUJUDNYA DAMAI
Benny Susetyo 136
SOLO BERTASBIH DALAM TARI
Mohamad Sobary 139
YUYUN
Dinna Wisnu 142
HENTIKAN KEKERASAN PADA PEREMPUAN DAN ANAK
Marwan Mas 145
LAYANAN INFRASTRUKTUR UNTUK PEREMPUAN
Ninik Rahayu 149
GERAKAN TUTUP MULUT
Sarlito Wirawan Sarwono 153
4. 4
Hidup Pantang Menyerah
26-03-2016
Tema pastoral Gerakan Aksi Puasa Pembangunan (APP) Tahun 2016 ini adalah Hidup
Pantang Menyerah: Tekun, Ulet, dan Sabar.
Melalui tema ini, kita diajak untuk membangun dan mewujudkan perubahan dan pembaruan
dalam dua hal. Pertama, menghargai dan menghormati hidup sebagai anugerah yang berasal
dan bersumber dari kasih Allah melalui ketekunan, keuletan, dan kesabaran dalam
menghadapi tantangan hidup. Kedua, menggali dan menemukan daya kehidupan yang
bersumber dari kekuatan Allah untuk menjadi landasan hidup dalam mencapai kesejahteraan
hidup lahir dan batin.
Hidup pantang menyerah berarti tidak menyerah pada kesulitan dan penderitaan. Hidup yang
tidak menyerah pada yang bersifat sementara. Hal itu dilandasi keyakinan bahwa hidup itu
mempunyai nilai abadi karena berasal dari Tuhan. Hidup pantang menyerah berarti seperti
para martir dan pahlawan yang memperjuangkan kebenaran dan kesejahteraan bagi banyak
orang. Misalnya saja menjaga, merawat, dan melestarikan bumi sebagai rumah kita bersama,
menghargai hak sesama, serta menghemat dan berugahari.
Hidup adalah anugerah dari Tuhan. Tanpa anugerah itu kita tidak dapat menikmati apa pun
keindahan ciptaan Tuhan ini. Karena itu, hidup harus diperjuangkan supaya berbuah dengan
mengembangkannya melalui solidaritas dengan sesama, berani berkorban demi keselamatan
orang lain, bahkan berani mengorbankan kepentingan diri agar kesejahteraan umum tercapai.
Paskah mengajak kita berani menjadi saksi kehidupan dengan mengaktualisasi nilai-nilai
Kerajaan Allah. Kerajaan Allah hadir ketika kasih menjadi landasan hidup beriman. Lalu, apa
makna dalam Paskah kita kali ini?
***
Di tengah kebuasan sistem birokrasi yang penuh rekayasa dan nafsu, kita diajak
merenungkan kembali keimanan kita. Adakah sudah menjelma menjadi daya pendorong bagi
kita untuk meningkatkan kepedulian sosial? Dalam Paskah ini kita juga diundang pesta di
tengah kepanikan masyarakat yang tidak lagi merasa aman karena harga-harga selalu
melambung tinggi. Di tengah segala ketidakpastian dan harapan, akankah pemilihan umum
(pemilu) bisa melahirkan perubahan?
Kita diundang pesta di tengah ketidakpastian segala hal. Kita diundang untuk merayakan
perjamuan Tuhan. Perayaan perjamuan ialah sebuah kemenangan karena Tuhan tidak
5. 5
membalas tindakan pengkhianatan dengan kekerasan, tetapi dengan cinta kasih. Cinta kasih
yang begitu besar yang ada di dalam diri Tuhan itulah yang membuat Ia melakukan tindakan
yang sulit diterima akal.
Dia mengundang para murid bukan sekadar merayakan liturgi Paskah. Dia mau menyatakan
tindakan para murid itu diampuni-Nya. Dia tahu bahwa di antara mereka ada yang menjadi
pengkhianat, bunglon, dan penipu, tapi semua itu disadari Yesus Kristus bahwa kerapuhan
para murid tak mungkin disangkal. Yesus sadar dan tahu bahwa saatnya akan tiba. Dia
melakukan tindakan yang hina dan hanya akan dilakukan para budak.
Para murid terkejut mengapa semua ini harus diperbuat? Bukankah hal ini tidak masuk akal?
Seorang rabi yang memiliki kuasa dan wibawa luar bisa tiba-tiba dia melakukan perbuatan
yang hina-dina? Bukankah hal ini pelecehan terhadap sebuah wibawa? Demikian pikir para
murid. Namun, dalam Paskah kita belajar bahwa semua bahasa dan perilaku kekerasan
dilebur dalam bahasa kasih. Kasih akan menjadi nyata bukan hanya dengan penghalusan
kata-kata, melainkan yang lebih penting ialah bagaimana praktiknya dalam realitas sosial.
Kasih adalah sebuah tindakan nyata seperti Tuhan sendiri merelakan harga diri mau menjadi
hamba dengan membasuh kaki. Itu bukan sekadar pengakuan bahwa dosa-dosa sudah
diampuni. Lebih jauh lagi, jika engkau menyebut diri sebagai murid, engkau harus
melakukan hal seperti diperbuat Tuhan. Dalam Paskah kali ini, kita perlu memperjuangkan
terwujudnya kasih sebab kasih itu membebaskan manusia dari segala kejahatan!
***
Sebagai insan yang memahami kasih, kita perlu membela wong cilik, membela mereka yang
tergusur, membela mereka yang tertindas. Setidaknya hal itu dilakukan dengan cara tidak
memilih para politikus busuk serta para pemimpin korup yang tidak mau empati terhadap
penderitaan rakyat kecil.
Kasih ditegaskan oleh Paus Fransiksus dalam pesannya kepada umat Bulla berjudul
”Misericordiae Vultus” atau ”Wajah Kerahiman”, dimulai dengan mengatakan bagaimana
Yesus merupakan ”wajah” belas kasihan Bapa-Nya. Bulla juga menjelaskan bahwa tanggal
pembukaan tahun suci itu, 8 Desember 2015, Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung
Tanpa Dosa dan Peringatan 50 Tahun Penutupan Konsili Vatikan II. Tanggal penutupan, 20
November 2016, merupakan Hari Raya Kristus Raja Semesta. Pintu Suci Basilika Santo
Petrus dibuka 8 Desember 2015 dan Pintu-Pintu Kudus Basilika Kepausan lain dibuka pada
hari-hari berikutnya.
Bapa Suci juga meminta agar setiap keuskupan di seluruh dunia membuka pintu kerahiman
yang sama sebagai tanda persekutuan dengan gereja dan sebagai cara untuk perayaan lokal
Yubileum itu. Paus Fransiskus menyebut pihak-pihak tertentu yang secara khusus diundang
untuk menjalankan pertobatan antara lain para pelaku dan organisasi-organisasi kriminal,
para koruptor, dan orang-orang yang menjadikan uang sebagai berhala baru.
6. 6
Kita semua pun diajak untuk bertobat, memperbarui haluan hidup, dan mewujudkannya
dalam tindakan nyata. Seperti orang banyak di dalam kisah Injil, kita diajak untuk selalu
berbagi kehidupan (Luk. 3:10- 11); seperti para pemungut cukai kita diundang untuk
mengembangkan sikap hidup yang tulus dan jujur dalam menjalankan tugas (ayat 12-13);
seperti para prajurit kita dituntut untuk tidak pernah menggunakan kekerasan dalam bentuk
apa pun demi tujuan apa pun (ayat 14).
Apa pun yang baik dapat kita lakukan untuk mewartakan kerahiman Allah yang membaharui
kehidupan. Itulah yang kiranya dimaksudkan oleh Rasul Paulus dengan mengatakan
”Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang” (Flp. 4:5).
Paskah mengembalikan wajah manusia kerapkali hidup di lingkaran dosa, dan membiarkan
orang miskin tetap miskin, karena struktur kekuasaan yang menindas orang kecil dengan
kebijakan yang selama ini dimanipulasi demi menguntungkan pihak tertentu. Saatnya kita
tidak boleh menyerah ke kejahatan, tetapi mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Itulah
Paskah sejati.
BENNY SUSETYO Pr
Rohaniwan
7. 7
Budaya Formalitas PNS
26-03-2016
Reformasi mental menjadi semboyan ”yang dijual” Presiden Joko Widodo pada masa
kampanye capres lebih setahun yang lalu. Semangat ini pun menjadi roh yang menjiwai
seluruh program kerja Jokowi.
Kinerja aparat pemerintah (PNS) pun selalu menjadi sorotan publik. Di era digital, isu-isu
yang berhubungan dengan kinerja pelayan masyarakat mudah sekali tersebar melalui media
sosial. Masyarakat menjadi ”semakin berani” melaporkan segala tindakan tidak pantas yang
dilakukan oknum PNS.
Pendisiplinan
Foucault, seorang sosiolog Prancis, menyebutkan bahwa kekuasaan bisa menjadi mekanisme
mengatur perilaku individu. Ia memaknai kekuasaan bukan sebatas konsep yang berhubungan
larangan, hukuman fisik, pemaksaan, dan mekanisme lainnya. Mekanisme kekuasaan yang
efektif untuk mengatur perilaku dilakukan melalui ritual pendisiplinan.
Ini adalah mekanisme untuk membentuk perilaku individu yang patuh, didasarkan pada
seperangkat norma melalui serangkaian sistem kontrol. Pembentukan disiplin merupakan
perbaikan ketaatan dan kesetiaan melalui pengaturan sehingga individu menjadi lebih
canggih, efisien, dan ekonomis karena mereka selalu berada di bawah pengawasan.
Mekanisme berikutnya adalah penyusunan serangkaian standar perilaku atau disebut
normalisasi. Normalisasi merupakan serangkaian prosedur untuk menentukan sejumlah
norma yang mampu membedakan ”budaya baik” dan ”budaya buruk”. Norma merupakan
pembatas perilaku individu. Melalui norma ini pula, masyarakat bisa membedakan mana
perilaku aparat yang baik dan mana yang buruk.
Mekanisme pendisiplinan terakhir adalah proses evaluasi. Foucault menyebut proses ini
sebagai proses individualisasi. Dalam tahap ini, setiap individu akan dinilai dan
dikelompokkan sesuai dengan norma yang telah ditentukan pada tahap sebelumnya. Dengan
norma tersebut, setiap individu akan dikelompokkan apakah ia masuk dalam kelompok
individu yang taat, disiplin, memiliki kinerja yang baik, atau justru sebaliknya. Bila individu
berada dalam kelompok yang tidak diinginkan masyarakat maka ia mendapatkan sanksi.
Budaya Formal(itas)
8. 8
Dalam kehidupan sosial, ketiga tahap tersebut sebenarnya telah dilakukan untuk mengawasi
setiap perilaku pelayan masyarakat serta mengawasi perilaku masyarakat. Dalam penilaian
kinerja, norma menjadi alat kontrol pasif, sementara respons masyarakat menjadi alat kontrol
aktif. Mereka mampu memberikan reaksi ketika ada aparat yang bekerja tidak sesuai dengan
harapan mereka. Masyarakat akan komplain, protes, atau bahkan melakukan demonstrasi.
Inilah bentuk kekuasaan, yang sebenarnya tidak hanya dimiliki oleh pemerintah atau aparat
keamanan.
Masyarakat juga memiliki kekuasaan mengatur pemerintah dengan segala cara. Kolom surat
pembaca sebagai sarana menyampaikan aspirasi melalui surat kabar merupakan alat
komunikasi efektif untuk mewujudkan kekuasaan individu sebagai pengguna layanan
masyarakat. Setiap hari kolom-kolom surat pembaca penuh dengan berbagai kritik dari
masyarakat.
Di sisi lain, pemerintah juga memiliki mekanisme untuk mengontrol kinerja bawahannya
melalui situs LAPOR (Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat). Melalui situs ini,
masyarakat dapat bebas menyampaikan keluhannya secara online. Namun masalahnya,
efektifkah mekanisme tersebut mengubah kinerja aparat pelayan masyarakat? Bagi sebagian
individu, mekanisme ini efektif, namun bagi sebagian yang lain, ini tidak memberikan
banyak perubahan.
Pertama, dalam sebagian instansi pemerintahan, kritik masyarakat dipandang angin lalu saja.
Bahkan, kritik tersebut tidak mampu menjadi alat ampuh untuk sekadar memberikan sanksi
sosial maupun sanksi administratif bagi oknum pegawai yang tidak bekerja sesuai standar.
Siapa yang berhak menilai dan mengontrol oknum tersebut? Dalam peraturan kepegawaian,
pegawai diawasi dan dinilai oleh ”atasan”. Faktor inilah yang sering kali menjadi kendala
karena atasan para pegawai adalah ”teman baik” para oknum pegawai. Mereka tidak mungkin
memberikan sanksi dengan sangat mudah.
Masalah lain, para pejabat di sebuah instansi tidak dipilih berdasarkan pertimbangan kualitas
personal, mereka dipilih menjadi pejabat bukan karena memiliki track record yang baik.
Banyak pejabat di instansi pemerintahan dipilih karena alasan politis, mereka memiliki
kedekatan dengan pemimpin daerah. Jabatan kepala dinas dan sebagainya, menjadi jabatan
untuk membayar hutang budi pimpinan daerah. Ini yang harus segera direformasi.
Kedua, budaya kerja di instansi pemerintahan (termasuk lembaga pendidikan) masih
didasarkan pada kepentingan formalitas belaka. Mekanisme absen sebagai pengawas status
kehadiran PNS sebenarnya hanyalah formalitas belaka. Secara de facto, frekuensi kehadiran
sampai penghitungan jam dan menit kedatangan dan kepulangan seorang PNS tidak
berkorelasi dengan kualitas kerja mereka. Mereka hanya ”hadir” di kantor, tapi mesin absen
tidak bisa mengontrol aktivitas mereka di kantor.
9. 9
Penghitungan frekuensi kehadiran hanya berkorelasi pada jumlah uang makan yang diterima
PNS. Bila ini yang terjadi maka banyak anggaran terbuang sia-sia. Mereka mendapat uang
makan setiap hari namun mereka tidak mengimbanginya dengan kinerja yang baik.
Di lembaga pendidikan, banyak beban kerja guru dan dosen adalah formalitas belaka. Guru
dan dosen menyusun rencana pembelajaran setiap semester sebenarnya hanya untuk
memenuhi dokumen formalitas. Tim pengawas yang datang dari dinas pendidikan juga hanya
melakukan pengawasan formalitas. Sebagian besar dari mereka hanya mengawasi
kelengkapan dokumen administratif. Bahkan, ada oknum pengawas yang meminta ”uang
saku” dari sekolah ketika melakukan tugas pengawasan.
Ketika dosen di perguruan tinggi melakukan penelitian, mereka justru disibukkan dengan
tugas-tugas yang bersifat formalitas belaka: mengumpulkan bukti-bukti keuangan dan
dokumen administratif lainnya. Sementara Dikti tidak ambil pusing pada masalah proses dan
substansi hasil penelitian. Seolah bagi mereka, yang penting semua pengeluaran ada bukti
hitam di atas putih, dan anggaran habis terserap.
Begitu pun dalam tugas pendidikan dan pengajaran, dosen atau guru hanya memenuhi jumlah
tatap muka. Masalah dosen atau guru memiliki kemampuan mengajar yang baik atau tidak,
mereka kreatif atau tidak, bukanlah pertimbangan utama. Yang penting bagi pemerintah,
mereka bisa mengajar sekian SKS. Simpel, indikator kinerja hanyalah formalitas.
Bila mengacu pada tesis Foucault, masalah utama sebenarnya berada ada ”standar norma”.
Selama ini PNS berada dalam ”zona nyaman” karena peraturan tentang PNS sangat longgar.
Dalam masalah absen, seorang PNS hanya bisa dipecat bila ia tidak masuk tanpa alasan
setelah sekian hari berturut-turut.
Untuk mereformasi kerja aparat pemerintah, pemerintah harus mengubah standar kerja.
Standar kerja bukanlah sebatas formalitas sehingga standar tersebut harus diikuti dengan
standar penilaian kerja.
”Zona nyaman” PNS harus dihapus. Bila memungkinkan, semua PNS diposisikan sebagai
PNS kontrak. Konsekuensinya, kinerja PNS dievaluasi secara berkala. Hasil evaluasi
digunakan untuk menentukan apakah mereka layak memperpanjang kontrak atau tidak.
NANANG MARTONO
Dosen Sosiologi Pendidikan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
10. 10
Membantu Mengakhiri Epidemi TB
26-03-2016
Hari Tuberkulosis (TB) Sedunia yang diadakan setiap 24 Maret mengingatkan kita semua
tentang epidemi global TB dan upaya pembasmian penyakit tersebut.
Pada Hari TB Sedunia, 24 Maret 2016, WHO menyerukan untuk ”Bersatu Membasmi TB”
(”Unite to End TB”) dan mengingatkan kita bahwa pada 24 Maret 1882 Dr Robert Koch
menemukan penyebab penyakit TB yaitu bakteri Mycobacterium tuberculosis. Saat Dr Koch
mengumumkan penemuannya di Berlin, waktu itu TB mewabah di seluruh Eropa dan
Amerika, bahkan menyebabkan kematian satu dari setiap tujuh orang penderitanya.
Bagaimana permasalahan TB tahun ini? Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular sebagai
penyebab kematian tertinggi di seluruh dunia. Pada 2014 sekitar 9,6 juta orang menderita TB
dan 1,5 juta meninggal. Lebih dari 95% kematian akibat TB terjadi di negara berpenghasilan
rendah dan menengah, dan TB juga salah satu dari lima penyebab kematian bagi perempuan
usia subur yaitu 15 sampai 44 tahun yang berdampak pada bayi dan anaknya.
Pada 2014 diperkirakan 1 juta anak sakit TB dan 140.000 anak meninggal. Pada 2014 jumlah
terbesar kasus TB baru terjadi di 22 negara Asia Tenggara dan Pasifik Barat yaitu mencapai
58% dari kasus baru secara global. Pada 2014 sekitar 80% dari kasus TB yang dilaporkan
terjadi di enam negara yaitu India, Indonesia, Nigeria, Pakistan, Tiongkok, dan Afrika
Selatan.
TB adalah penyakit yang dapat diobati dan disembuhkan. Penyakit TB aktif, yang peka
terhadap obat, dapat disembuhkan dengan lama pengobatan enam bulan, menggunakan empat
obat anti-mikroba standar yang disediakan dengan informasi, serta pengawasan dan
dukungan kepada pasien oleh petugas kesehatan atau sukarelawan terlatih. Tanpa dukungan
tersebut, kepatuhan terhadap keteraturan pengobatan akan sulit dan penyakit ini dapat
menyebar.
Sebagian besar kasus TB dapat disembuhkan apabila obat-obatan yang disediakan digunakan
dengan benar. Pada periode 2000 dan 2014 diperkirakan 43 juta jiwa telah diselamatkan
melalui prosedur diagnosis dan pengobatan TB yang baik.
Setidaknya sepertiga dari orang yang hidup dengan HIV di seluruh dunia pada 2014, juga
terinfeksi bakteri TB, sehingga mereka 20 sampai 30 kali lebih mungkin untuk berkembang
menjadi TB aktif, dibandingkan orang yang tanpa HIV. Bahkan, HIV dan TB membentuk
kombinasi penyakit yang mematikan, masing-masing mempercepat keparahan yang lain.
11. 11
Pada 2014 sekitar 0,4 juta orang meninggal karena TB terkait HIV dan sekitar sepertiga dari
kematian di antara orang HIV positif tersebut terbukti karena TB. Pada 2014 diperkirakan ada
1,2 juta kasus baru TB di antara orang-orang yang HIV positif.
Standar obat anti-TB telah digunakan selama beberapa dekade dan resistensi terhadap obat
telah tersebar secara luas. Strain bakteri yang resisten terhadap obat anti-TB tunggal telah
didokumentasikan di hampir setiap negara. Multidrug-Resistant Tuberculosis (MDRTB)
adalah bentuk TB yang disebabkan oleh bakteri yang tidak musnah, setidaknya terhadap
isoniazid dan rifampicin, 2 jenis obat anti-TB yang paling kuat dan lini pertama atau standar.
Penyebab utama dari MDR-TB adalah pengobatan yang tidak prosedural, penggunaan dosis
obat anti-TB yang salah, atau penggunaan obat yang berkualitas buruk.
MDR-TB dapat diobati dan disembuhkan, tetapi harus menggunakan obat anti-TB lini kedua
yang pilihan pengobatannya terbatas dan bahkan mungkin tidak selalu tersedia. Selain itu,
periode pengobatan yang diperlukan juga lebih lama, mencapai dua tahun pengobatan, lebih
mahal, dan dapat menyebabkan reaksi obat yang merugikan pasien.
Dalam beberapa kasus, resistensi obat yang lebih parah dapat berkembang menjadi Ekstensif
Resistan Tuberculosis (XDR-TB), adalah bentuk TB yang resistan terhadap lini kedua obat
anti-TB yang paling efektif. Sekitar 480.000 orang telah berkembang menjadi MDR-TB di
dunia pada 2014. Lebih dari setengah dari kasus ini berada di India, Tiongkok, dan Rusia.
Diperkirakan bahwa sekitar 9,7% dari kasus MDR-TB menjadi XDR-TB.
***
Sejak 2016 ini, mengakhiri epidemi TB merupakan salah satu target kesehatan dalam Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (SDG) periode 2016-2030 dan ”End TB Strategy” oleh WHO
periode 2016-2035. ”End TB Strategy” yang diadopsi oleh Majelis Kesehatan Dunia pada
Mei 2014 adalah peta jalan bagi semua negara untuk mengakhiri epidemi TB dengan
menekan kejadian dan kematian TB, bahkan menghilangkan biaya bencana (catastrophic
costs).
Target global adalah mengurangi kematian TB sebesar 90% dan untuk menekan kasus baru
sebesar 80% pada 2015-2030, dan untuk memastikan bahwa tidak ada keluarga dibebani
dengan biaya bencana akibat TB. Strategi ini memiliki tiga pilar strategis yang secara efektif
akan mengakhiri epidemi yaitu pilar 1: pencegahan dan perawatan pasien terintegrasi; pilar 2:
kebijakan kesehatan yang berani dan mendukung sistem; dan pilar 3: penelitian dan inovasi
yang intensif.
Keberhasilan strategi akan bergantung pada empat prinsip utama yaitu apakah negara
melaksanakan intervensi berikut: monitoring dan evaluasi dengan akuntabilitas baik, koalisi
yang kuat dengan organisasi masyarakat sipil, perlindungan dan promosi hak asasi manusia,
etika dan ekuitas, serta adaptasi strategi dan target di tingkat negara dengan kolaborasi
global.
12. 12
Saat ini kita berada di jalur yang benar untuk mencapai target TB global dalam Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (SDG) periode 2016-2030 dan ”Bersatu Membasmi TB”
(”Unite to End TB”). Sudahkah Anda terlibat membantu?
FX WIKAN INDRARTO
Dokter Spesialis Anak di RS Bethesda Yogyakarta; Alumnus S-3 UGM
13. 13
Petani yang Teraniaya dalam Sejarah
30-03-2016
Peta dunia pertanian pada abad ke-18, ke-19, dan awal abad ke-20—abad yang belum lama
lewat—menggambarkan suasana penuh gejolak, keresahan, dan pertumpahan darah.
Pada abad-abad tersebut, di negeri Cina, Rusia, Vietnam, Indonesia, dan negara-negara
Amerika Latin, kaum tani menjadi kekuatan paling revolusioner di dunia. Sejarah petani
negeri-negeri tersebut merupakan sejarah pergolakan revolusi. Mungkin dari sinilah Bung
Karno menemukan gagasan bahwa petani merupakan soko guru revolusi.
Kelihatannya Bung Karno membuat generalisasi bahwa kaum tani yang melakukan gerakan
seperti itu bukan hanya kaum tani Indonesia. Soko guru revolusi menjadi bahasa politik yang
sakral. Mungkin bahkan tampak ”garang”. Dan kaum tani, yang kemudian bermetamorfosis
menjadi kaum marhaen, ditampilkan dengan penuh harga diri. Petani dianggap kekuatan
mahadahsyat.
Dari dalam diri golongan orang-orang yang kelihatannya diam, penuh kesabaran, dan nrimo
apa pun yang terjadi, timbul ledakan ”amuk” massa yang tak terkendali. Jiwa petani tampak
seperti dinamit yang siap membuat ledakan demi ledakan tak terduga selama abad-abad
tersebut, di negeri-negeri tersebut.
Tapi demi keadilan sejarah, kelihatannya ada yang harus dikatakan lagi: petani berani
menjadi pemberang, menjadi kekuatan revolusioner yang mudah meledak karena ada yang
”menjadikannya”. Sebaiknya disebutkan di sini bahwa petani merupakan bahan mentah yang
baik untuk ”dijadikan” kekuatan revolusioner. Dengan kata lain, petani menjadi kekuatan
revolusioner itu karena ada kepemimpinan yang memungkinkannya demikian.
Petani Banten kelihatannya tak akan mungkin tampil sebagai kekuatan revolusioner kalau
dunia pesantren, terutama kalangan kiai tarekat, tidak turun tangan untuk menawarkan
kepemimpinan yang begitu efektif dan penuh kewibawaan. Karisma para kiai tarekat yang
membagikan jimat-jimat, yang akan membuat mereka kebal peluru, telah membuat petani tak
gentar menggempur kaum kafir yang berkuasa di negeri Banten, sebagaimana ditulis
sejarawan Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 itu.
Beruntung kita punya Bung Karno, yang memandang peran sejarah kaum tani dengan sikap
romantis seorang tokoh pergerakan. Dan untung kita punya Bung Karno yang kaya akan
ungkapan metaforis. Kalau tidak, kita tak mungkin akan punya marhaen, yang dikapitalisasi
menjadi marhaenisme dalam politik, yang begitu berwibawa dan memesona. Kalau petani
disebut petani, datar, dan cenderung apa adanya begitu saja, siapa yang tergetar secara
14. 14
ideologis? Bung Karno punya itu. Dan para pemimpin yang lain, sampai hari ini, tidak punya.
Kecuali anak-anak ideologis Bung Karno.
Kemampuan menempatkan petani ke dalam ungkapan ideologis-metaforis, menjadi marhaen,
atau kaum marhaen, telah mengubah realitas sosiologis petani menjadi realitas ideologis
tanpa menghapus kenyataan bahwa kaum marhaen itu petani yang teraniaya dalam sejarah.
Kaum marhaen lalu menjadi kekuatan perjuangan revolusioner untuk membela keteraniayaan
itu.
Dan secara ideologis, kaum marhaen tetap kaum marhaen dalam kategori sosiologis
sekarang: marhaen kita itu petani-petani yang tetap teraniaya dalam sejarah. Kaum marhaen,
dan marhaenisme dalam ideologi kelihatannya tak akan pernah basi selama kaum nasionalis
masih tetap nasionalis.
Di dalam politik kita yang belum bisa bersikap adil pada masyarakat, dan otomatis juga
belum bisa berbagi kemakmuran secara merata, kaum marhaen tetap menjadi bahasa
perjuangan— ada kalanya bahasa perlawanan—yang tetap memiliki sentuhan emosional
yang menggetarkan.
Ketika kekuatan partai politik yang mengagungkan marhaenisme sedang menjadi partai
penguasa seperti sekarang, perjuangan kaum marhaen seharusnya tidak di jalanan. Mereka
tidak sibuk merespons kebijakan pemerintah yang tak sensitif terhadap kehidupan kaum
marhaen, melainkan bermain dengan baik di dalam perumusan kebijakan publik yang menata
kehidupan mereka.
Politisi-politisi mereka di dalam partai maupun di parlemen seharusnya lebih sensitif
mengamati menteri dan lembaga yang berurusan dengan kaum marhaen agar kaum marhaen
diberi perlakuan sebaik-baiknya di dalam kebijakan publik yang mereka rumuskan. Kalau
partai marhaen berkuasa, tetapi kaum marhaen masih telantar, maka apa gunanya
kekuasaan? Apa pula gunanya perjuangan ideologis lewat partai, untuk memuliakan kaum
marhaen, petani, yang tetap teraniaya? Kalau ketika berkuasa saja tidak bisa menggunakan
kekuasaannya, apa yang bisa dilakukan ketika tak berkuasa?
Kaum marhaen, petani, saat ini ibarat kata tercekik oleh banyak tekanan. Menyempitnya
lahan pertanian karena desakan kebutuhan untuk membuat rumah, jelas mempersempit napas
perekonomian mereka. Tekanan-tekanan pasar global dan perdagangan global yang rakus,
serakah, dan ekspansif, tak bisa dibiarkan begitu saja. Pemerintah, yang memiliki
kewenangan regulasi pasar, harus turun tangan dan mengatur dengan bijaksana apa landasan
ideologis beroperasinya sistem perdagangan.
Tidak bisa pemerintah yang berkuasa hampir atas segalanya, tapi malah menyerahkan hampir
segalanya pula kepada pasar? Pasar bukan pemerintah. Maka pasar harus tunduk pada
pemerintah yang memegang kekuasaan regulasi tadi. Apa yang sudah didominasi kekuatan
15. 15
global, dan yang segalanya sudah telanjur menjadi bagian aturan global, tak berarti kita sudah
tak berdaya.
Di tingkat pelaksanaan, yang teknis-teknis, pada tingkat lokal, dan tersebar di berbagai
wilayah negara kita, kekuasaan kita masih besar. Dengan kata lain, aturan-aturan yang sudah
terlanjur menjadi porsi kekuatan global itu masih memiliki celah-celah dan di sana sini masih
belum diatur dengan baik.
Di situ kita bermain. Di situ rakyat, kaum marhaen, petani, diberi kesempatan mengatur
dirinya dengan baik. Syukur pula bila pemerintah memiliki sedikit keberanian dan kreativitas
untuk meninjau kembali apa yang berupa peraturan serba global yang serakah itu.
Ideologi perjuangan yang bertumpu pada kaum marhaen, petani, dalam kekuasaan
pemerintahan hanya merupakan cuilan kecil yang seharusnya tak terlampau sukar ditata
untuk membuat kaum marhaen, petani, tak merasa terjajah dan teraniaya terus menerus oleh
kekuatan-kekuatan besar yang tak terlawan.
Kaum marhaen, petani, terutama petani tembakau, yang disorot dari luar dengan mata
setajam pitung penyukur, tujuh ketajaman silet tergabung menjadi satu, yang membuat
mereka bergetar ketakutan, kepada siapa mereka berlindung kalau ketika partai berlandaskan
marhaenisme yang sedang berkuasa saja tak mampu memberi perlindungan?
Perjuangan pembebasan ini begitu nyata, begitu jelas di depan mata. Hari ini, dan dalam
situasi seperti ini, bukan lagi saatnya berteriak secara ideologis, yang hanya menambah polusi
kata-kata di udara. Perjuangan partai, perjuangan para tokoh di parlemen dan para pemegang
kebijakan publik di pemerintahan, berhadapan dengan persoalan teknis yang sama. Apa
sulitnya melindungi petani, agar hidup mereka tak selamanya teraniaya?
MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
dandanggula@hotmail.com
16. 16
Aung San Suu Kyi dan Nobel Perdamaian
30-03-2016
Aung San Suu Kyi, pejuang demokrasi dari Myanmar dan peraih Nobel Perdamaian tahun
2012, belum lama ini menjadi perbincangan banyak orang dari berbagai belahan dunia.
Polemik muncul setelah Peter Popham, jurnalis The Independent pada Maret 2016 ini
meluncurkan buku biografi berjudul The Lady and The Generals- Aung San Suu Kyi and
Burmas Strunggle for Freedom.
Sebagaimana diberitakan sejumlah media, dalam buku biografi tersebut muncul pernyataan
Suu Kyi yang dinilai kontroversial, yaitu ”Tak seorang pun memberi tahu bahwa saya akan
diwawancara oleh seorang muslim”. Kalimat ini muncul setelah Suu Kyi diwawancarai oleh
presenter acara BBC Today, Mishal Husain, pada 2013.
Muncul dugaan kekesalan Suu Kyi disebabkan pertanyaan yang diajukan Husain mengenai
penderitaan yang dialami oleh etnis Rohingya yang beragama Islam dan menjadi kaum
minoritas di Myanmar. Suu Kyi juga kesal diminta mengecam mereka yang anti-muslim dan
melakukan berbagai tindak kekerasan sehingga umat muslim suku Rohingya terpaksa
meninggalkan Myanmar.
Jujur saja, banyak orang yang terkejut bahwa kata-kata yang bernada rasis itu keluar dari
mulut Suu Kyi. Pernyataan Suu Kyi barangkali hanya satu kalimat, namun maknanya sangat
mendalam bagi kehidupan berdemokrasi dan upaya perdamaian umat muslim di Myanmar
dan juga berbagai negara.
Bagi para aktivis pro-demokrasi di sejumlah negara— termasuk Indonesia—sosok Suu Kyi
dianggap sebagai ikon demokrasi. Selama ini orang mengenal Suu Kyi sebagai figur
perempuan penyabar, berjuang dalam damai selama lebih dari 28 tahun, dan hingga akhirnya
berhasil merebut kekuasaan dari tangan junta militer di Myanmar. Begitu populernya Suu
Kyi di mata rakyat Myanmar yang mayoritas Buddha, Partai Liga Nasional Demokrasi
dinyatakan menang telak lebih dari 80% suara dalam pemilihan umum bersejarah pada 2015
lalu.
Namun, pernyataan kontroversial Suu Kyi yang mempermasalahkan seorang jurnalis muslim
dari BBC pada akhirnya membuat banyak orang kecewa dan marah terhadapnya. Padahal,
demokrasi dan hak asasi manusia mengajarkan kita semua untuk menghormati setiap
perbedaan keyakinan dan menjunjung tinggi persaudaraan. Apa pun agamanya, seharusnya
Suu Kyi dan kita semua harus tetap saling menghormati setiap orang dan tidak bertindak
diskriminatif sebagai sesama manusia.
17. 17
Sebagai pejuang demokrasi, seharusnya Suu Kyi paham betul bahwa pernyataan bersifat rasis
sungguh tidak pantas diucapkan karena merusak nilai-nilai demokrasi yang menghargai
perbedaan keyakinan dan perbedaan. Sebagai peraih perdamaian pernyataan rasis justru
membuat perdamaian menjadi semu, memunculkan sikap saling curiga bahkan potensi
konflik berbau agama di Myanmar.
Pernyataan Suu Kyi yang tidak seharusnya juga membuka kembali pertanyaan dunia
internasional tentang sikap Suu Kyi terhadap kaum minoritas muslim di Myanmar. Suu Kyi
dinilai tidak mengeluarkan pernyataan mengecam terkait pelanggaran hak asasi manusia yang
dialami oleh etnis minoritas muslim Rohingya. Selama tiga tahun terakhir, lebih dari 140.000
etnis muslim Rohingya terusir dari wilayahnya dan hidup sengsara di sejumlah kamp
pengungsi di Myanmar, Malaysia, dan termasuk di Indonesia.
Nobel Perdamaian adalah penghargaan tertinggi yang diberikan khusus ”untuk orang-orang
yang memberikan upaya terbesar atau terbaik bagi persaudaraan antar bangsa...” Nilai-nilai
perdamaian dan persaudaraan ini harus tetap dijaga para penerima Nobel Perdamaian—
termasuk Suu Kyi, hingga akhir hayatnya. Jika penerima Nobel tidak bisa menjaga
”perdamaian” maka demi perdamaian dan persaudaraan sudah selayaknya perhargaan yang
diterimanya harus dikembalikan atau dicabut oleh Komite Nobel di Norwegia.
Pada dasarnya, pencabutan penghargaan atau gelar atau kehormatan terhadap seseorang yang
pernah menerimanya adalah bukanlah suatu yang tabu dan bahkan dapat dilakukan. Pada
tahun 2012 di bidang olahraga, Badan Balap Sepeda Internasional pernah mencabut tujuh
gelar juara bergengsi Tour De France yang diraih oleh pembalap Amerika, Lance
Amstrong. Pencabutan gelar ini karena Amstrong terbukti menggunakan doping sepanjang
kariernya bersepeda. Tidak hanya kehilangan gelar, Amstrong juga diminta mengembalikan
bonus jutaan dolar yang pernah diterimanya dari pihak sponsor.
Perancang Inggris John Galliano juga kehilangan tanda penghargaan yang terhormat di
Prancis, Legion d’Honneur pada 2012. Keputusan pencabutan gelar yang dilakukan oleh
Presiden Prancis Francois Hollande dilakukan karena Galliano terbukti bersalah
mengeluarkan pernyataan anti-semit pada 2010 dan 2011. Galliano juga kehilangan
pekerjaannya sebagai direktur di rumah mode yang terkenal di Prancis, Dior.
Peristiwa terbaru terjadi pada Desember 2015, ketika sebuah universitas di Aberdeen
Skotlandia mencabut gelar kehormatan yang pernah diberikan kepada Donald Trump,
kandidat calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik. Pencabutan gelar doktor
kehormatan bidang administrasi bisnis yang diterima pada 2010 ini dilakukan setelah dalam
kampanye pemilu, Trump telah melontarkan pernyataan yang bersifat rasis dengan berniat
melarang muslim memasuki Amerika Serikat.
18. 18
Hukuman sosial juga muncul terhadap Trump. Masih pada tahun 2015, lebih dari 350.000
petisi dibuat oleh warga Inggris yang meminta pemerintah melarang Trump mengunjungi
negara tersebut.
Sejumlah pertimbangan di atas pada akhirnya menjadi dasar bagi sejumlah individu di
Indonesia pada Senin, 28 Maret 2016, untuk membuat petisi online change.org meminta
Ketua Komite Nobel untuk mencabut Nobel Perdamaian yang diberikan untuk Suu Kyi.
Belum genap 24 jam sudah terkumpul lebih dari 34.000 dukungan warga dari sejumlah
negara yang meminta pencabutan penghargaan Nobel tersebut.
Desakan Publik
Ini sudah seharusnya menjadi perhatian Komite Nobel di Norwegia untuk melakukan
tindakan penyelamatan terhadap keluhuran Nobel Perdamaian. Agar proses menjadi fair,
sebaiknya pihak Komite Nobel dapat menyelidiki peristiwa memalukan yang melibatkan Suu
Kyi.
Jika terbukti melakukan pernyataan rasis, tidak ada pilihan bagi Komite untuk segera
mencabut Nobel Perdamaian yang diberikan untuk Suu Kyi. Harus dipahami bahwa Nobel
Perdamaian hanya layak disandang oleh mereka yang tidak rasis dan sungguh-sungguh
menjaga kedamaian dan persaudaraan.
EMERSON YUNTHO
Anggota Badan Pekerja ICW; Salah Satu Penggagas Petisi untuk Mencabut Nobel
Perdamaian untuk Aung San Suu Kyi
19. 19
Etika Sosial dalam Bercanda
31-03-2016
Di Barat, 1 April diperingati sebagai April Mop atau April Fools’ Day. Pada hari itu setiap
orang diperbolehkan bercanda, bersenda-gurau dengan kebohongan, kepalsuan, atau
penipuan kepada pihak lain tanpa bisa dipersalahkan.
Aspek historis maupun orientasi April Mop itu sampai sekarang masih simpang-siur, muncul
dalam berbagai versi, dan sulit dilacak benang merah kebenarannya. Ada versi Spanyol, versi
Prancis, versi Perang Salib, dan versi Islam. Memercayai satu versi dan menolak versi lain
memang boleh, tetapi dapat berkonsekuensi negatif, yakni perpecahan bangsa, etnik atau
perang agama.
April Mop merupakan bagian dari tradisi Barat. Untuk Indonesia tradisi demikian tidak perlu
ditiru. Jalinan antarsesama warga negara agar tetap terajut dalam keakraban dan kehangatan,
terhubung dalam suasana aman, nyaman, dan tenteram perlu didasarkan pada nilai-nilai
sosial-budaya yang bersumber pada Pancasila.
Dalam perspektif Pancasila, bercanda itu boleh, sehat, dan mengasyikkan bila dilakukan
secara proporsional, empan papan, dan duga prayoga. Bercanda itu fitrah manusia sebagai
homo luden, yakni makhluk sosial yang gemar bermain (bercanda). Akan tetapi, kalau
bercanda sudah kebablasan, dipastikan hal itu akan menuai masalah, bahkan bisa fatal.
Karenanya, perhatikan etika sosialnya dan berhati-hatilah, utamanya untuk tiga hal berikut
ini. Pertama, bercanda tentang ideologi. Seorang artis harus berhadapan dengan aparat
penegak hukum gara-gara dilaporkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) karena
candaannya di televisi telah kebablasan, menghina Pancasila. Pancasila itu way of life, perlu
dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Semua komponen bangsa mempunyai
tanggung jawab moral untuk mengamalkannya dalam setiap kesempatan.
Dalam desain acara maupun aksi perilaku, semua pihak yang terlibat dalam tayangan televisi
semestinya disemangati pengamalan Pancasila. Kalau komitmen ideologi ini kuat, dipastikan
tidak ada lagi artis keseleo lidah ketika menghibur pemirsa.
Kedua, bercanda tentang keselamatan jiwa. Pernah terjadi, seorang calon penumpang pesawat
udara bercanda soal bom, saat akan masuk ruang tunggu, atau sudah berada di dalam
pesawat. Soal bom itu masalah serius. Lebih-lebih di saat negara berada dalam darurat
terorisme. Keselamatan jiwa dalam penerbangan atau bencana tidak boleh dimain-mainkan.
Tiada ampun bagi pecanda yang nekat, terpaksa harus diproses secara hukum.
20. 20
Ketiga, jangan bercanda soal keimanan. Dahulu kala, ada orang-orang yang gemar bercanda
dengan olok-olok. Ketika berjumpa orang-orang beriman, mereka berkata: “Kami telah
beriman.” Tapi ketika kembali ke kelompoknya (orang kafir), mereka berkata: “Tadi saya
hanya berolok-olok.” Awas, candaan tentang keimanan begini akan dilaknat Allah SWT.
***
Ketiga contoh di atas merupakan pelajaran berharga dan selayaknya diingat oleh siapa pun.
Supaya fitrah manusia sebagai homo luden dapat terekspresikan dengan baik, kita
diseyogiakan secara arif-bijaksana belajar dari beberapa candaan ala Indonesia.
Di Yogyakarta dikenal guyon pari kena, yakni metode penyampaian kritik sosial melalui
humor (guyon) tapi santun sehingga pesan moralnya sampai (kena) pada sasaran tanpa
menyakitkan dikarenakan rasa hormat kepada sasaran terjaga. Kritik sosial disampaikan
dalam bingkai etika sosial, terangkum dalam ungkapan, kena iwake ning ora bhutek banyune,
artinya didapat ikannya, tetapi airnya tidak keruh. Di situlah nilai-nilai kemanusiaan yang adil
dan beradab terejawantahkan dalam pergaulan.
Contoh klasik guyon pari kena gaya Yogya adalah “mung seket njaluk slamet”, artinya,
hanya uang lima puluh rupiah, tetapi minta dijamin keselamatannya. Candaan semacam ini
diutarakan oleh tukang becak sebagai representasi wong cilik terhadap penumpang becak
(orang kaya) yang pelit. Ketika dalam perjalanan becak menabrak (kecelakaan) dan
penumpang marah, protes atas jaminan keselamatannya, maka candaan itulah yang keluar
dari mulut tukang becak. Candaan demikian mestinya mengusik hati-sanubari orang kaya,
pejabat, dan golongan ningrat agar peduli terhadap keselamatan lalu-lintas dan nasib kaum
duafa.
Di tingkat nasional, Gur Dur tergolong manusia langka, piawai perihal candaan berkualitas.
Ceritanya: ada tukang becak asal Madura kepergok polisi ketika memasuki kawasan “becak
dilarang masuk”. Tukang becak nyelonong dan polisi datang menyemprit. “Apa kamu tidak
melihat gambar itu? Becak tak boleh masuk jalan ini,” kata polisi membentak. “Oh saya lihat
Pak, tapi itu kan gambarnya becak kosong tidak ada orangnya. Becak saya kan ada orangnya,
berarti boleh masuk,” jawab tukang becak.
“Bodoh, apa kamu tidak bisa baca? Di bawah gambar kan ada tulisan becak dilarang masuk!”
bentak Pak Polisi lagi. “Tidak Pak, saya tidak bisa baca. Kalau saya bisa baca ya saya pasti
jadi polisi seperti sampeyan, bukan jadi tukang becak begini,” jawab tukang becak
cengengesan.
Dengan candaan itu kita disadarkan bahwa adagium “semua orang dianggap tahu hukum dan
dapat baca tulis” ternyata secara sosiologis salah atau disikapi dengan licik sehingga dapat
menimbulkan permasalahan hukum. Kritik semacam ini sehat dan mestinya diperhatikan
pihak yang terkait.
21. 21
Bercanda merupakan kebutuhan spiritual manusia untuk mencerahkan kehidupan bersama.
Bagaimana mungkin perang dapat diubah menjadi damai bila hidup tanpa canda-tawa, senda-
gurau, dan kasih-sayang. Mari, kita kembangkan budaya guyon pari kena dan canda gaya
Indonesia sekaligus kita singkirkan tradisi April Mop dari negeri Pancasila ini. Wallahu
a’lam.
PROF DR SUDJITO, SH, MSi
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
22. 22
Mengajar Keluarga Adam Malik
01-04-2016
Suatu hari di tahun 1979, Prof Harun Nasution, masih Rektor IAIN Syarif Hidayatullah saat
itu, memanggil saya untuk memberi pelajaran Islam bagi keluarga Wakil Presiden Adam
Malik, terutama anak-anaknya.
Pak Adam Malik minta didatangkan guru agama ke rumahnya di Jalan Diponegoro, lalu Pak
Harun mempercayakan tugas itu kepada saya. Mereka memerlukan guru agama dengan
pendekatan rasional. Mereka lama tinggal di luar negeri. Orang-orangnya senang berdiskusi.
“Tipikal orang Batak,” kata Pak Harun, “kamu yang cocok mengajari mereka.” Pengalaman
bekerja sebagai wartawan dan pernah aktif di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) membuat
saya cukup percaya diri menerima permintaan ini.
Sesuai jadwal, saya pun datang ke kediaman Adam Malik, Jalan Diponegoro 29. Karena ini
tempat kediaman wakil presiden, ketika masuk mesti melewati pemeriksaan, ditanya KTP
dan tujuannya apa. Penjagaan ketat, standar rumah pejabat tinggi negara. Saya menghadap
Bu Endang, sekretaris Wapres, kemudian diantar ke ruang belajar. Keluarga sudah berkumpul
di ruang terbuka dekat taman belakang. Sangat nyaman untuk ruang pertemuan keluarga.
Acara ini saya lakukan setiap hari Jumat, dimulai pukul 9 pagi. Saya mengajar untuk mereka
sekitar empat tahun, mengajar layaknya memberi kuliah kepada mahasiswa. Saya buat
silabus dan saya bagi buku rujukan pokok. Salah satunya buku Pengantar Studi Islam karya
Miftah Farid yang berisikan tema-tema pokok ajaran Islam yang dia persiapkan untuk
mahasiswa ITB (Institut Teknologi Bandung).
Peserta intinya adalah putra Pak Adam Malik, yaitu Otto, Budi, Ilham, Rini, dan beberapa
keluarga dekat serta staf sekretariat, sehingga rata-rata 10 orang setiap pertemuan. Karena
mereka pernah belajar dan tinggal di luar negeri, wawasannya terlihat luas dan terbiasa
berdiskusi secara bebas.
Setiap datang ke rumah Wapres, penjaganya selalu berganti-ganti. Mungkin mereka heran
ketika saya lapor mau mengajar agama, mengingat penampilan saya bukan tipikal ustaz.
Kesan saya, keluarga itu begitu kompak dan rukun. Senang berkumpul dan pergi bareng-
bareng, termasuk juga salat Jumat pindah-pindah masjid di wilayah Jakarta.
Sosok Pak Adam Malik dan Bu Nelly bagaikan rumah tempat anak cucu berkumpul dan
berteduh dalam suasana yang selalu hangat. Meski anak-anaknya sudah dewasa dan tinggal di
rumah masing-masing, tetap saja rumah di Jalan Diponegoro seakan jadi rumah utama
mereka. Jika muncul problem keluarga, orang tua ikut menyelesaikan. Saya sendiri ikut
23. 23
merasakan keakraban keluarga ini. Sehabis salat Jumat lalu makan bareng sambil ngobrol ke
sana kemari. Gosip-gosip politik dan anekdot yang lucu tak pernah lepas dari obrolan.
Pak Adam pernah bercanda, suatu saat temannya kehilangan jam di New York. Lalu Pak
Adam Malik memberi respons,”Wah, wah, rupanya ada juga orang Batak yang kerja di sini,”
candanya.
Saya surprised ketika Pak Adam Malik memberi buku tentang filsafat tasawuf yang rupanya
pernah dibacanya. Antara lain tentang tokoh sufi Idries Shah dan buku yang membahas
wahdatul wujud, konsep menyatunya sang hamba dan Tuhannya. Manunggaling kawula
Gusti.
Lima tahun saya bergaul dekat dengan keluarga Pak Adam Malik. Pernah suatu hari dia
menyatakan kekecewaan kepada Pak Harto, gara-gara mengetahui posisinya berakhir sebagai
wapres hanya melalui berita surat kabar. Katanya, apa beratnya kalau Pak Harto memberi
tahu langsung secara lisan, toh sama-sama teman seperjuangan, sebelum keputusan itu
disampaikan ke publik. Ini tidak etis dan melukai persahabatan.
Sebelum menjabat wakil presiden untuk periode 1978-1983, Adam Malik (1917-1984)
pernah menjabat duta besar RI (1959), juga pernah menjabat menteri luar negeri pada 1966-
1978. Untuk mengenang jasa-jasanya, pada 5 September 1985 Ibu Tien Soeharto meresmikan
rumah kediaman di Jalan Diponegoro 29 itu menjadi Museum Adam Malik.
Semasa hidup Adam Malik, rumah di Jalan Diponegoro itu berfungsi lebih dari sekadar
rumah tempat tinggal, melainkan juga museum pribadi yang menarik minat para
pengunjung. Banyak benda-benda antik seperti batu permata dan guci buatan Cina yang
usianya cukup tua. Koleksi yang paling khas dan tak ada duanya adalah berbagai ragam
bentuk dan merek kamera atau tustel yang dipakai sejak Pak Adam Malik meniti karier
sebagai wartawan pada zaman pra-kemerdekaan. Lalu koleksi suvenir yang diterima selama
berkarier sebagai diplomat.
Begitu banyak kenangan saya yang bersifat humanis dengan keluarga Adam Malik. Mereka
kaya dengan cerita humor dan anekdot politik maupun kehidupan sehari-hari. Saya sendiri
sejak itu merasa akrab dengan Istana Wapres dan sosok wapres penerus Adam Malik karena
sering diminta memberi khotbah Jumat dan ceramah pada hari-hari besar keagamaan.
Pada 1985 saya meninggalkan Jakarta, meneruskan kuliah tingkat master dan doktor di Turki,
sebuah pergulatan baru menjadi mahasiswa miskin dimulai lagi. Beredarnya berita bahwa
Museum Adam Malik mengalami kebangkrutan dan banyak koleksinya hilang membuat hati
saya ikut teriris sedih.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
24. 24
Bima
03-04-2016
Dalam pewayangan, Bima adalah nomor dua dari lima bersaudara Pandawa. Seperti tokoh-
tokoh wayang lainnya, Bima juga punya banyak nama alias, di antaranya yang terkenal
adalah Bratasena, Werkudara, dan Kusumayuda atau Kusumadilaga.
Dua yang terakhir berarti bunga peperangan atau pahlawan perang (”kusuma” artinya bunga,
”yuda” atau ”laga” artinya perang) dan yang diperangi oleh para Pandawa adalah
kemungkaran, kebatilan, dan kejahatan. Werkudara, nama lain Bima, berarti perut serigala,
yaitu perut yang dalam istilah anak muda sekarang dinamakan six pack, kencang, berotot, dan
tampak seperti enam kotak, tiga di kiri dan tiga di kanan, jauh dari gendut.
Adapun tubuh Bima paling tinggi besar di antara saudara-saudaranya. Bahkan di antara
semua sosok wayang kulit yang dijejer di layar (pekayon), sosok Bima paling menonjol. Di
antara senjatanya yang sakti adalah Gada Rujakpala yang bisa menghancurkan kepala raksasa
sebesar gunung dan Kuku Pancanaka yang melekat di kedua ibu jari tangannya yang mampu
memburaikan usus dari perut penjahat yang paling sakti sekalipun.
Yang juga menjadi ciri khas Bima adalah bahwa dia tidak bisa berbahasa Jawa kromo (halus,
tingkat tinggi), apalagi kromo inggil (tingkat bahasa Jawa tertinggi yang biasanya diucapkan
hanya kepada raja atau orang yang sangat dihormati). Bima hanya bisa berbahasa Jawa
ngoko, yaitu bahasa Jawa kasar, tingkat rendah yang biasa digunakan oleh sesama pemulung
di Solo atau oleh bangsawan terhadap hamba sahayanya.
Bahkan kepada Dewa yang turun dari kayangan Bima berbicara ngoko, sementara semua
tokoh wayang yang lain, termasuk kakaknya, Yudhistira (sulung dari Pandawa) dan Batara
Kresna (manusia setengah dewa, penasihat Pandawa) berbahasa kromo inggil kepada sang
Dewa. Tapi tidak ada yang marah kepada Bima, apalagi mem-bully dia melalui Twitter
karena semua orang tahu bahwa Bima berhati lembut, baik hati, welas asih kepada yang
lemah, membela orang kecil, dan yang terpenting Bima selalu berbicara apa adanya, selalu
jujur, tidak pernah berbohong, tidak pernah ”menusuk dari belakang”.
Bahkan dalam lakon Bale sigala-gala Bima menangis sampai mencucurkan air mata ketika
menunggui ibu dan saudara-saudaranya yang ketiduran berbantalkan batu karena kelelahan
ketika keluarga Pandawa diusir ke hutan selama 12 tahun oleh saudara-saudara sepupu
mereka para Kurawa.
Dalang kondang Ki Narto Sabdo (almarhum) yang dianggap empu dari semua dalang
menggambarkan Bima dalam pocapannya (kalimat indah untuk memperkenalkan sosok atau
25. 25
menggambarkan situasi tertentu) dengan kata-kata, ”Yen atos kaya waja, yen lemes kaya
kinarya tali” (kalau keras bagaikan baja, tetapi kalau lemah lembut bagaikan tali). Jadi Bima
ini memang salah satu tokoh yang luar biasa dalam dunia pewayangan, khususnya dalam
kisah Mahabarata. Walau demikian, itu belum segalanya.
Yang paling inti dari kepribadian Bima adalah pencarian Bima untuk menemukan, bertemu
dan berdialog dengan Yang Maha Tahu. Ia ingin mencari tahu siapa dirinya dan ingin
mencari kebenaran yang paling sejati. Maka Bima pun berangkat melanglang buana untuk
memenuhi rasa penasarannya. Waktu itu belum ada Transjakarta, apalagi pesawat Garuda,
jadi dia cuma mengandalkan langkahnya yang secepat angin karena Bima adalah titisan
Betara Bayu (Dewa Angin).
Singkat cerita, setelah kelelahan dan hampir putus asa, akhirnya Bima menemukan apa yang
dicarinya di dasar samudra yang terdalam, yaitu suatu sosok bernama Dewa Ruci, yang
ternyata sangat mirip dengan dirinya, tetapi dalam versi mini. Ternyata Bima sebenarnya
tidak perlu jauh-jauh mencari karena Dewa Ruci itu adalah hati nurani sendiri.
***
Sebagai penggemar wayang, dalam konstelasi politik menjelang Pilgub DKI saat ini, saya
jadi teringat kepada sosok Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama atau BTP (seperti wayang,
namanya pun pakai banyak alias). Kebetulan BTP ini bertubuh tinggi besar. Di antara
kerumunan, BTP paling mudah dikenali karena kepalanya paling mencuat di antara yang
lainnya. Badannya pun atletis.
Ngomongnya juga kasar dan keras. Kadang-kadang bahkan kata-kata jorok keluar dari
mulutnya, yang ditujukan kepada orang-orang atau anak buahnya yang curang, tidak jujur,
menipu, pokoknya jahat lah, tetapi membuat orang lain yang mendengar (yang bukan sasaran
kemarahan BTP) ikut merah padam mukanya dan deg-degan jantungnya. Berkali-kali kawan-
kawannya menasihati BTP untuk mengendalikan mulutnya, tetapi tidak mempan, bahkan di
suatu acara live show di TV, saking marahnya kepada orang-orang tertentu, BTP
mengucapkan kata-kata paling kotor sedunia yang membuat saya pun terkaget-kaget
menontonnya dari rumah.
Tapi itulah BTP alias Ahok. Tidak banyak yang bisa kita perbuat untuk mengubahnya. Walau
demikian, BTP punya ciri ke-Bima-an seperti yang diucapkan empu dalang Ki Narto Sabdo,
”Yen atos kaya waja, yen lemes kaya kinarya tali.” Betapa tidak. Untuk warga DKI yang
terpaksa kena gusur karena program bebas dari banjir seperti di Kampung Pulo dan Kalijodo,
BTP selaku gubernur Pemprov DKI menyiapkan unit-unit di rumah susun untuk menampung
mereka. Menampung bukan sekadar menampung, tetapi menyiapkan hunian yang layak,
lengkap dengan perizinan sampai perabotan rumah.
Bukan itu saja, ia mengumrahkan para takmir (pengurus) masjid se-DKI, padahal BTP sendiri
bukan muslim. Bahkan terhadap agama sendiri dia tidak hanya membeo. Dia kritik ajaran
26. 26
atau kebiasaan agamanya yang menurut dia salah. Karena ukuran moral, ukuran baik-buruk
untuk BTP adalah hati nurani sendiri. Persis seperti Bima dengan sang Dewa Rucinya.
Mungkin hanya istrinya yang tahu apakah BTP juga menangis pada malam hari ketika
melihat masih banyak warga Jakarta yang masih menderita.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
27. 27
Duh, Iuran JKN
04-04-2016
Horee, iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak jadi naik. Tapi cuma yang kelas III.
Sebelumnya, ada politisi menuding JKN memberatkan rakyat. Ada pemda mengancam
menunda bergabung dengan JKN. Ada RSUD mengancam tidak mau lagi melayani peserta
JKN. Ada anggota DPR meminta pemerintah tidak tergesa-gesa menaikkan iuran. Padahal,
setahun lalu, ia sudah menyuarakan kenaikan iuran.
Di sisi lain, selama dua tahun pertama JKN media memberitakan berbagai masalah JKN
mulai dari defisit BPJS sampai peserta JKN ditolak secara halus. Begitu banyak peserta yang
“dibohongi”. Ada peserta dipaksa membayar sebagian, dipaksa bolak-balik pemeriksaan, RS
membatasi jumlah pasien JKN, atau dipaksa menunggu lama. Ada RS yang “membohongi
peserta” dengan kata-kata “jatah BPJS sudah habis”, “pemeriksaan ini tidak dijamin BPJS”,
atau “obat ini tidak masuk Fornas”. Padahal, JKN menjamin semua jenis pengobatan. Peserta
tidak boleh dipungut biaya ketika berobat karena peserta sudah bayar iuran.
Dalam media sosial beredar juga, entah benar atau hoax, kegundahan Presiden Jokowi atas
layanan diskriminatif peserta JKN di RS. Alasannya sama, bayaran JKN ke RS dan dokter
terlalu kecil.
Mengapa iuran harus naik? Sejak awal, bayaran ke RS dan dokter, khususnya yang swasta,
memang jauh di bawah harga keekonomian. Besaran tarif kapitasi dan CBG untuk fasilitas
kesehatan swasta sama sekali belum layak, belum sesuai dengan UU SJSN. Inflasi saja
selama dua tahun sudah mencapai 12% lebih. Jika bayaran tidak dinaikkan, peserta akan jadi
korban. Semakin banyak peserta yang tidak dilayani dengan baik.
Rumah sakit dan dokter harus hidup layak. Mereka bukan lembaga amal, yang harus
menolong semua yang sakit. Negaralah yang harus hadir. Untuk menaikkan bayaran ke
fasilitas kesehatan, diperlukan kenaikan iuran. Itulah gotong-royong.
Rakyat Tidak Mampu?
Data BPS menunjukkan di tahun 2013, sebelum JKN, rata-rata rumah tangga membelanjakan
Rp24.169 per orang per bulan (POPB) untuk kesehatan, tetapi belanja rokok mereka
mencapai Rp43.930 POPB. Kok beli rokok mampu? Pada kelompok termiskin di tahun 2014,
kelompok termiskin menghabiskan rata-rata Rp6.006 POPB untuk rokok, tetapi hanya
menghabiskan Rp853 untuk kesehatan. Belanja rokok tujuh kali lebih banyak.
28. 28
Selama 15 tahun terakhir penduduk Indonesia menghabiskan uang untuk membeli rokok 2-3
kali lebih banyak bila dibandingkan untuk biaya kesehatan. Percayakah kita bahwa iuran JKN
memberatkan? Di tahun 2016, hampir 70 juta pria Indonesia, umumnya kepala rumah tangga,
menghabiskan 1-2 bungkus rokok per hari dengan menghabiskan Rp360.000-720.000 per
bulan. Mengapa iuran JKN yang cuma Rp30.000 POPB memberatkan?
Iuran untuk keluarga dengan dua anak hanya sepertiga belanja rokok sebulan. Dengan iuran
sebesar itu mereka dapat berobat kanker atau operasi jantung yang berbiaya Rp300 juta.
Terlalu mahalkah Rp30.000? Apa ukurannya?
Dampak Keputusan Politik
Ternyata pendengaran Presiden cukup sensitif. Iuran kelas III pekerja bukan penerima upah
(PBPU) tidak dinaikkan. Apa dampaknya? Sudah barang tentu, total penerimaan BPJS
Kesehatan akan berkurang dari prediksi semula.
Selain itu, dapat terjadi perpindahan pilihan peserta penerima upah (PPU) dan PBPU yang
tadinya memilih kelas II dan kelas I ke kelas III yang iurannya tetap pada Rp25.500. Ada
insentif baru, peserta yang membayar iuran kelas III dapat pindah kelas ketika dia dirawat
inap dengan membayar selisih biaya perawatan. Jika BPJS Kesehatan lengah, bisa jadi PPU
pindah. Hal itu tidak boleh terjadi, sebab hal itu merupakan moral hazard peserta. Untuk
mencegah hal itu, BPJS harus mengembangkan sistem informasi yang baik.
Pembatalan kenaikan iuran kelas III adalah keputusan politik. Padahal, besar-kecilnya uang—
sebagai alat gotong-royong— haruslah keputusan teknis prinsip asuransi. Begitu juga
pembatasan upah untuk perhitungan iuran yang hanya Rp8 juta per bulan merupakan
keputusan politik. Dengan pembatasan tersebut, pekerja dengan upah tinggi, misalnya Rp30
juta, mengiur sama dengan peserta yang mempunyai upah Rp8 juta. Hal ini tidak sesuai
dengan prinsip gotong-royong luas dalam UU SJSN. Dampaknya adalah tidak optimalnya
penerimaan BPJS.
Jika pemerintah menetapkan iuran lebih rendah dari harga keekonomian, seharusnya
pemerintah menyuntikkan dana ke BPJS. Prinsip subsidi BBM tidak berbeda dengan subsidi
iuran. Pada subsidi BBM, ketika Pertamina menghitung, misalnya harga keekonomian solar
Rp6.000 dan pemerintah menetapkan harga jual solar Rp5.000, pemerintah mengucurkan
Rp1.000 ke Pertamina. Seharusnya pemerintah membayar iuran sesuai dengan harga
keekonomian kepada BPJS dan BPJS membayar fasilitas kesehatan dengan harga
keekonomian.
Apakah bayaran BPJS Kesehatan ke fasilitas kesehatan sudah sesuai dengan harga
keekonomian? Belum. Secara makro, bayaran BPJS Kesehatan di tahun 2015 barulah sekitar
13-15% dari belanja kesehatan nasional. Padahal jumlah peserta JKN sudah mencakup 60%
penduduk. Artinya, belanja kesehatan bersama dari dana amanat seluruh peserta baru
29. 29
mencakup 25% dari belanja seharusnya. Jangan heran jika layanan JKN masih jelek. Banyak
peserta yang “diakali” atau “dibohongi”.
Apakah pejabat tinggi tidak tahu? Mereka tahu. Sebab mereka mendapat jaminan kesehatan
dengan iuran yang besar, yaitu lebih dari Rp1.700.000 per pejabat per bulan. Premi asuransi
kesehatan swasta dengan jaminan kelas III dan tidak selengkap jaminan pada JKN tidak ada
yang di bawah Rp100.000 POPB. Ada kualitas ada harga. Jadi jangan heran jika RS
mendahulukan pasien “umum” ketimbang pasien BPJS.
Solusi Ada di Depan Mata asal Mau
Solusi logis dan rasional ada di depan mata. Pemerintah dan BPJS bisa melakukan kampanye
mengurangi konsumsi rokok sepertiganya untuk membayar iuran JKN. Dengan pengurangan
itu, terjadi pergeseran dana sebesar Rp110 triliun. Tahun 2015 rakyat Indonesia membakar
Rp330 triliun dengan mengonsumsi rokok. Dana pemerintah untuk membayari iuran bagi 90
juta penduduk termiskin hanya sekitar Rp25 triliun.
Peserta PBPU umumnya juga perokok. Maka menaikkan harga dan cukai rokok akan
menaikkan pendapatan pemerintah. Dengan begitu, PBPU membayar iuran secara tidak
langsung. Kini, tingkat kolektabilitas PBPU hanya sedikit lebih dari 50%. Tidak ada bukti di
dunia, sistem jaminan kesehatan dapat mengumpulkan iuran langsung dari PBPU.
Untuk membayari iuran JKN kepada 150 juta PBPU kelas II, Rp51.000 POPB, hanya
dibutuhkan dana Rp91,8 triliun. Tidak sampai 60% dana cukai rokok yang diterima tahun ini
yang ditargetkan hampir Rp140 triliun. Pemerintah Filipina mengucurkan 80% dana cukai
rokok untuk jaminan kesehatan rakyatnya. Mengapa Indonesia tidak bisa?
HASBULLAH THABRANY
Guru Besar Universitas Indonesia; Anggota KUPASI, Kumpulan Penulis Asuransi Indonesia
30. 30
Model Manajemen Pendidikan Tinggi Era
Digital
06-04-2016
Aksi mogok massal sopir angkutan umum di Jakarta beberapa waktu lalu sangat menarik
untuk dikaji. Penolakan terhadap layanan transportasi publik berbasis aplikasi ini dapat
menjadi bukti bahwa secara mental sebagian masyarakat Indonesia belum sepenuhnya
mampu mengimbangi perubahan zaman yang disebabkan oleh kemajuan teknologi informasi
dan komunikasi (TIK). Padahal, pengaruh perkembangan TIK terhadap kehidupan manusia
merupakan suatu keniscayaan yang tidak terhindarkan.
CK Prahalad pernah mengatakan, ”If you learn you will change, but if you don’t change you
will die”. Kendati demikian, perubahan bukan hal yang mudah untuk diterima. Setidaknya
ada lima alasan mengapa orang cenderung menolak perubahan.
Kelimanya yaitu persepsi selektif, kurangnya informasi, perasaan takut terhadap hal yang
tidak diketahui, kebiasaan, serta penolakan terhadap pihak yang menggagas perubahan
(Likert, 1997). Dalam kasus ini bisa jadi penolakan terjadi karena faktor kurangnya informasi
serta perasaan takut terhadap hal yang tidak diketahui.
Indonesia bukanlah bangsa tertutup yang alergi terhadap perubahan terutama perubahan
sosial yang dipengaruhi teknologi. Buktinya adalah jumlah pengguna internet di Indonesia
yang diperkirakan mencapai 93,4 juta orang pada 2015 (e-Marketer, 2014). Sayangnya,
antusiasme ini tidak dibarengi dengan perubahan kultur baik secara individu maupun
organisasi dalam rangka menyikapi dampak kehadiran teknologi baru.
Sebagaimana diungkapkan dalam sejumlah teori perubahan organisasi, dari tiga dimensi
perubahan yaitu dimensi struktural, fungsional, dan kultural, dimensi kulturallah yang paling
sulit untuk berubah. Ini tentu tantangan tersendiri bagi para pengelola pendidikan, khususnya
pendidikan tinggi. Institusi pendidikan merupakan wadah yang paling efektif dalam
membentuk dimensi kultural seseorang, di luar keluarga dan lingkungan pergaulan.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 Pasal 16 Ayat (1) menyebutkan bahwa perguruan
tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan
akademis dan profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan menciptakan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan kesenian. Artinya, pendidikan di perguruan tinggi menjadi
tumpuan bangsa ini dalam menciptakan agen-agen perubahan yang berperan aktif dalam
menjaga stabilitas nasional.
31. 31
Setidaknya ada tiga aspek yang perlu diperhatikan agar pendidikan tinggi dapat memenuhi
tantangan perkembangan zaman yaitu kurikulum, sumber daya manusia (SDM), dan
infrastruktur. Agar mampu mengadaptasi perubahan dan tuntutan zaman, kurikulum
perguruan tinggi harus fleksibel dan adaptif. Saat ini teknologi terus berkembang dalam
hitungan detik. Bagaimana mungkin kurikulum pendidikan tinggi yang berubah empat tahun
sekali dapat mengimbanginya?
Jika benar kita serius membangun kurikulum yang berorientasi masa depan, kita harus
terbuka dengan segala sumber pengetahuan yang relevan, terutama teknologi informasi dan
komunikasi. Sumber daya manusia (SDM) yang dimaksud adalah semua orang yang bekerja
dalam institusi pendidikan tinggi, dari mulai tenaga penunjang akademik (TPA) hingga
dosen. Seluruhnya harus merupakan orang-orang yang berwawasan luas dan memiliki visi
masa depan. Para TPA yang melek TIK dan memiliki kesempatan untuk mengembangkan
hard skill dan soft skill-nya akan mendorong pengelolaan pendidikan tinggi menjadi lebih
kreatif dan solutif. Demikian pula dengan para tenaga pengajar atau dosen.
Era digital seperti sekarang mereka dituntut untuk berpikiran terbuka, menyerap segala
perubahan yang terjadi baik lokal maupun global, sehingga mampu menyelenggarakan
kegiatan belajar yang adaptif dan inovatif. Harus diakui bahwa kegiatan belajar di kelas kini
tak lagi menjadi satu-satunya sumber belajar bagi para peserta didik. Cukup dengan
berselancar di internet, mereka bisa mendapatkan segala informasi yang mereka butuhkan
dari artikel ilmiah, materi kuliah, jurnal, hasil penelitian, hingga buku-buku teks. Knowledge
is one click away. Dengan demikian, seorang dosen harus menguasai banyak sumber
informasi yang valid dan mampu memprediksi perkembangan ilmu pengetahuan masa
depan.
Lalu, infrastruktur sebagai aspek ketiga, dalam hal ini berfungsi untuk mengakselerasi
pelaksanaan kurikulum dan maksimalisasi SDM. Infrastruktur yang dimaksud tak hanya
meliputi infrastruktur konvensional seperti ruang belajar, laboratorium, perpustakaan, dan
ruang kerja, tetapi juga mencakup infrastruktur digital yang memungkinkan pendidikan tinggi
untuk melakukan revolusi pendidikan.
Sebuah era pendidikan baru. Dengan infrastruktur digital pendidikan tinggi dapat
menyelenggarakan pendidikan online sekaligus menekan biaya pendidikan. Bayangkan
dampaknya terhadap angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi Indonesia yang saat ini
masih berada di angka 31%. Pendidikan tinggi akan menjadi lebih mudah untuk diakses oleh
calon-calon peserta didik pendidikan tinggi di daerah-daerah di Indonesia.
Di lain pihak, infrastruktur digital juga akan membuat biaya pendidikan menjadi lebih efisien
karena terbukanya peluang sharing economic antara perguruan tinggi dan mitra di berbagai
daerah dan negara. Inilah model pendidikan tinggi era digital, di mana pendidikan juga tak
lagi mengenal batas geografis dan sosial.
33. 33
Pendidikan yang Membebaskan Rasa
Takut
07-04-2016
Kini ujian nasional (UN) tak lagi serumit seperti beberapa tahun silam. Tolok ukurnya bukan
lagi soal lulus dan tidak lulus, melainkan berada pada level sangat baik, baik, cukup, dan
kurang.
Awal 2015 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menyatakan UN tidak lagi
menjadi penentu kelulusan siswa. ”Kita lebih fokus, apakah nilai UN sudah mencapai nilai
kompetensi yang sudah diharapkan siswa atau belum. Nanti sekolah yang berhak menentukan
apakah siswa layak lulus atau tidak.”
Keputusan mendikbud itu menjawab kontroversi seputar kelayakan UN jadi penentu
kelulusan siswa yang telah dikritik sejak zaman Menteri Pendidikan Nasional Bambang
Sudibyo. Kebijakan UN sebagai penentu kelulusan lantas dilanjutkan pada periode Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menyerahkan penilaian siswa secara
menyeluruh ke sekolah. Dengan demikian, diharapkan Anies, siswa akan dapat melihat UN
sebagai proses pembelajaran dan bukan semata-mata syarat kelulusan yang menakutkan. UN
dalam hal ini menjadi alat ukur pemetaan pendidikan di Indonesia.
Anies meminta siswa jangan tegang menghadapi UN yang kini tidak lagi menentukan
kelulusan. Orientasi ujian nasional sekadar alat ukur prestasi bagi sistem belajar dan
mengajar di sekolah, bukan sebagai alat mengukur kelulusan bagi siswa. Orientasi
pendidikan harus menjadikan manusia memiliki jiwa merdeka, yang mampu menyerap ilmu
pengetahuan untuk menjadi manusia yang memiliki jiwa inovasi, difusi, dan kreatif.
Tantangan zaman saat ini ditandai ilmu pengetahuan, teknologi, dan komunikasi.
”Knowledge is power”, kata Francis Bacon dalam Novum Organum (1620). Pengetahuan
adalah kekuasaan. Bagi seorang teknokrat, kepintaran terhadap ilmu (science) dan
pengetahuan (knowledge) adalah sumber kekuasaan yang bersifat strategis-politis.
Teknokrat menjadikan ilmu-pengetahuan sebagai unsur politik (kebijakan) dalam upaya
melakukan perubahan. Karena itu, teknokrat mengandalkan keahlian ilmiah. Seseorang yang
memiliki ilmu akan memiliki sebuah paradigma yang berbeda. Mungkin sebuah contoh
konkret dari kehidupan bernegara adalah kebijakan-kebijakan yang diambil para pemimpin
bangsa (yang notabene orang yang berilmu).
34. 34
Pendidikan adalah proses menjadi manusia yang merdeka karena siswa dapat menentukan
masa depan sendiri bila pendidikan mengacu pada nilai-nilai pembebasan dari rasa takut tidak
lulus, tertekan oleh suasana belajar yang berorientasi pada nilai, tetapi siswa tidak mengalami
suasana kegembiraan.
Sekolah menjadi tempat bermain bagi siswa untuk memperoleh pengetahuan dan nilai-nilai
kehidupan yang ditimba dalam realitas kehidupan. Siswa diajak untuk merefleksikan
kehidupan yang ada di sekitarnya lewat pengetahuan yang diperoleh di sekolah. Orientasi
pendidikan bukan semata-mata pada hasil, melainkan juga pada proses menjadi manusia yang
memiliki keunggulan karakter serta mampu membaca realitas zaman.
Dalam situasi sekarang perlu didesakkan kepada pemerintah untuk kembali memikirkan
ihwal mendasar tentang landasan pendidikan kita. Kembali membaca bahwa pendidikan
bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan suatu kemerdekaan
manusia yang bermartabat, bukan sekadar soal angka dan dunia bendawi lain.
Kembali harus direnungkan dan disadari, selama ini elite politik bangsa ini masih enggan
memahami dan memiliki kemauan menjalankan amanat konstitusi UUD 1945. Hal yang perlu
diselami oleh hati nurani para elite tersebut bahwa tujuan utama kemerdekaan ini kecerdasan
dan kesejahteraan masyarakat. Dua hal ini sering dilupakan dalam berbagai kebijakan para
elite politik.
Selama elite berkuasa, mereka berpura-pura tidak memahami tujuan tersebut. Dalam
konstitusi jelas dinyatakan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab negara. Negara
berkewajiban memberikan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Visi pendidikan sudah seharusnya berangkat dari nation and character building. Di Amerika,
dari warna kulit dan agama apa pun anak didik, mereka mengatakan, ”I am American!” Tapi,
di negara kita, dapat dirasakan orang mulai merasa malu mengaku sebagai ”Indonesia”. Ini
tentu hal ironis.
Dari bangku sekolah seharusnya kebudayaan dibangun sebagai jembatan bagi proses integrasi
sosial dan bangsa. Bukan media yang menumbuhkembangkan diskriminasi dengan
membedakan kasta sosial berlapis-lapis. Mulai dari mereka yang kaya dan pintar; mereka
yang kaya, tapi bodoh; mereka yang miskin, tapi pintar; serta mereka yang miskin dan bodoh.
Pendidikan sudah seharusnya mencerminkan realitas objektif masyarakat. Bila kondisi sosial,
ekonomi, dan geografi Indonesia adalah maritim, bagaimana kesadaran dan sistem maritim
melekat dalam kurikulum pendidikan. Jadi, hal yang dibutuhkan sebenarnya adalah ada
orientasi yang jelas agar pendidikan mampu membawa perubahan dalam kehidupan.
Menyedihkan sekali untuk mengatakan para elite kita terlalu rendah kadar kesadaran
pendidikannya. Elite-elite lebih banyak berpikir sempit dan jangka pendek. Ketulusan dan
35. 35
perjuangan bagaimana agar pendidikan bangsa ini maju, luntur karena pikiran-pikiran sempit
ini.
Upaya memajukan pendidikan bangsa ini sebuah pekerjaan panjang dan tidak mungkin
selesai besok. Sudah waktunya menyadari bahwa kemajuan bangsa ini dicerminkan dari
sejauh mana kebijakan pendidikan memberikan fasilitas terbaik bagi warganya. Keberhasilan
utama pemerintah dalam pendidikan adalah dalam konteks menyosialisasikan arti penting
pendidikan bagi masyarakat.
Pendidikan harusnya membawa siswa menjadi manusia cerdas, kreatif, dan memiliki karakter
sebagai anak Indonesia yang memiliki keunggulan dan kualitas hidup. Pendidikan bukan alat
mekanistis yang mengejar kelulusan belaka, namun akhirnya menciptakan rasa takut tidak
lulus.
Pendidikan harus membawa kegembiraan untuk mencari pengetahuan di sekolah. Sekolah
adalah tempat bermain dan berkreativitas untuk menemukan jati diri seseorang untuk
kemudian menjadi manusia yang dewasa dalam wawasannya.
BENNY SUSETYO Pr
Budayawan
36. 36
Ke Negeri Abu Nawas
08-04-2016
Pada bulan April 1983 saya memperoleh undangan dari Kedutaan Irak di Jakarta untuk
menghadiri konferensi internasional Islam di Baghdad. Ini perjalanan kedua kalinya ke luar
negeri. Sejak masih di pesantren saya sudah mengagumi negeri ini melalui cerita-cerita
jenaka Abu Nawas dan dongeng fantastis Negeri Seribu Satu Malam.
Saya diundang selaku wartawan majalah Panji Masyarakat asuhan almarhum Buya Hamka.
Sejak keberangkatan dari Jakarta, saya sudah menduga bahwa forum ini merupakan forum
politik, media propaganda Saddam Hussein untuk mencari dukungan dunia Islam melawan
Iran.
Kita masih ingat, tahun 1980-1988 meletus Perang Iran-Irak yang dikenal sebagai Perang
Teluk I mengingat pada tahun 1991 meletus lagi Perang Teluk II antara Irak dan Amerika
Serikat (AS) serta sekutunya. Yang jadi alasan pada Perang Teluk I adalah sengketa historis
jalur air Syath al-Arab.
Opini yang muncul, Saddam Hussein khawatir akan kebangkitan komunitas Syiah di Irak
selatan akibat Revolusi Iran tahun 1979 sehingga tentara Irak lebih dahulu menerobos masuk
wilayah sengketa pada 22 September 1980. Kekhawatiran Saddam ini bisa dipahami
mengingat Ayatullah Khomeini ingin mengekspor revolusinya ke wilayah-wilayah kantong
Syiah di Timur Tengah, sementara Irak selatan merupakan basis komunitas Syiah. Lebih dari
itu, Saddam Hussein ingin menjadi jagoan padang pasir yang tak tertandingi di wilayah
Timur Tengah.
Menurut cerita teman Kedutaan Indonesia di Irak, sebelum perang, masyarakat Irak cukup
makmur hidupnya. Pemerintah banyak membangun gedung-gedung baru dan jalan raya.
Mahasiswa Indonesia penerima beasiswa juga betah tinggal di sana. Masyarakat Irak sangat
senang kepada mahasiswa Indonesia. Bahkan sopir taksi kadang menolak dibayar setelah
tahu penumpangnya adalah mahasiswa Indonesia.
Tapi setelah perang meletus, suasananya berubah drastis. Anggaran pembangunan tersedot
untuk membeli senjata dan biaya perang. Irak yang semula dikenal kaya-raya lalu merosot
seketika. Kekayaannya banyak dibelanjakan untuk membeli senjata dan ongkos perang.
Popularitas Saddam menurun, terutama di mata komunitas Syiah dan jajaran intelektualnya,
tergerus oleh sikap keras kepala dan ambisi kekuasaannya.
Kondisi Irak semakin kacau ketika Saddam Hussein mencaplok wilayah Kuwait yang
merupakan sumber minyak melimpah, pada 2 Agustus 1990 yang pada urutannya memicu
37. 37
meletusnya Perang Teluk II. Invasi Irak atas wilayah Kuwait ini mengundang reaksi dunia
sehingga pada 8 Agustus 1990, AS, Inggris, Prancis, Australia dan negara Liga Arab
melakukan operasi gurun pasir untuk menggertak tentara Irak agar keluar dari Kuwait.
Ternyata Saddam tidak mau mundur sehingga pada 16 Januari 1991, AS dan sekutunya
menyerang Irak secara militer selama 100 jam.
Berbagai opini dimunculkan oleh Barat bahwa Saddam memiliki senjata pemusnah massal
yang ternyata tidak terbukti. Saddam juga telah melakukan kejahatan kemanusiaan,
membantai 148 warga Syiah di Dujail tahun 1982.
Sungguh tragis, Saddam yang semasa hidupnya gagah perkasa mesti berakhir di tiang
gantungan pada 30 Desember 2006 di usianya yang ke-66 tahun. Pemenangnya tak lain
adalah George W Bush dengan meminjam legitimasi PBB untuk mengakhiri ambisi Saddam
Hussein sebagai orang terkuat di wilayah Teluk, bahkan di dunia Arab. Pabrik dan pedagang
senjata panen setiap terjadi perang adu senjata.
Selama di Baghdad saya tinggal di Hotel Al-Manshur. Sempat melihat pertahanan militer
Irak dari udara di wilayah pertempuran dengan menaiki pesawat helikopter yang hanya cukup
diisi empat orang bersama pilotnya. Dalam hatiku bertanya, baik tentara Iran maupun Irak
sama-sama muslim, sama-sama mengaku berjihad di jalan Allah, lalu siapa yang berhak
masuk surga kalau meninggal dalam peperangan?
Sebelum kembali ke Jakarta, saya bertamu ke Kantor Kedutaan RI Bagdad diterima oleh
Dubes Abdurrahman Gunadirdja. Di luar dugaan, saya malah ditawari meneruskan umrah ke
Tanah Suci atas bantuan Pak Gunadirdja. Rupanya almarhum Lukman Harun, Sekjen Komite
Solidaritas Dunia Islam, sudah mengontak Dubes Gunadirdja agar saya dibantu selama
berada di Irak.
Irak yang dalam sejarahnya pernah menjadi pusat peradaban Islam, hari ini kondisinya sangat
mengenaskan. Ledakan bom bunuh diri sering kali terjadi. Sumber minyak yang melimpah
dalam perut bumi menjadi objek sengketa kekuatan asing. Peperangan selalu
meluluhlantakkan bangunan peradaban yang dibangun dengan ratusan tahun, hancur hanya
dalam hitungan dekade.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
38. 38
Wajah Nabi
10-04-2016
Islam mengharamkan umatnya untuk menggambarkan wajah Rasulullah dalam bentuk apa
pun. Lukisan, patung, atau yang lainnya.
Maksud dari pengharaman penggambaran wajah Rasulullah itu, sejauh yang saya ketahui,
adalah untuk mencegah umat mengultuskan diri beliau. Yang harus ditiru dan diimani adalah
ajarannya, perilakunya, firman-firman Allah yang disampaikan melalui dirinya, bukan
sosoknya atau individunya, karena sebagai sosok atau sebagai individu, Nabi Muhammad
SAW adalah manusia biasa.
Tetapi betulkah asumsi atau dalam bahasa ilmiahnya: hipotesis, bahwa menggambarkan
wajah Nabi akan mengurangi, bahkan bisa mencegah sama sekali kecenderungan untuk
kultus individu? Marilah kita sejenak berpikir secara ilmiah tanpa mengaitkannya dengan
agama dulu.
Berlainan dengan Islam, mayoritas penganut Buddha mematungkan sosok Buddha Gautama.
Kaum buddhis sendiri tidak memandang sang Buddha sebagai nabi, apalagi Tuhan,
melainkan sebagai sumber inspirasi untuk terus-menerus melakukan kebaikan. Tetapi di
seluruh dunia, Buddha tetap dianggap sebagai agama, karena Buddha memenuhi kriteria
agama, termasuk memiliki kitab suci dan ritual-ritual tertentu yang harus diikuti umatnya.
Buat pembaca yang sudah pernah melihat patung Buddha di Candi Borobudur dan di
Thailand tentu bisa mengamati bahwa ada perbedaan antara patung-patung versi Borobudur
dan versi Thailand. Di Borobudur, wajah Buddha bulat seperti wajah orang Jawa pada
umumnya, dengan tubuh yang hitam (seperti kulit orang Jawa) karena bahan dasarnya adalah
batu yang diukir. Di Bangkok, patung-patung Buddha berwajah tyrus (bulat panjang), lebih
feminin, dan tubuhnya berwarna keemasan (mirip wajah dan warna kulit orang Thailand),
karena terbuat dari logam yang disepuh emas.
Bahkan di Jakarta, sepanjang saya tahu, ada sekte Buddha Nichiren yang tidak meletakkan
patung apa pun di altarnya, kecuali kaligrafi-kaligrafi tertentu sebagai ornamen. Maksudnya
sama dengan dalam Islam, yaitu untuk menghindari kultus individu.
Tetapi apa pun versi penggambaran sosoknya, saya tidak melihat umat Buddha disonan (tidak
senang) terhadap sosok Buddha tertentu. Setahun sekali umat Buddha dari seluruh dunia
hadir di Borobudur pada upacara Waisak dan tidak ada yang protes tentang sosok Buddha
versi Borobudur yang seperti orang Jawa itu.
39. 39
Sebaliknya, kawan saya, seorang dokter asli Bali, ketika berada di Nepal bersama saya dan
beberapa teman peneliti, untuk mengikuti sebuah kongres tentang kesehatan masyarakat di
Katmandu, sempat mengunjungi sebuah kuil (di Bali disebut: pura) Hindu di tepi sebuah
sungai yang besar. Karena KTP-nya bertuliskan ”agama: Hindu” dia saja yang diperkenankan
masuk ke kuil tersebut.
”Mau berdoa”, katanya. Tetapi baru beberapa menit, dia sudah keluar lagi dari kuil. Kawan-
kawannya yang di luar (termasuk saya) heran dan bertanya, ”Kenapa cepat amat berdoanya?”
Jawabnya, ”Nggak jadi berdoa, dewanya nggak ada yang saya kenal”. Jadi, dia disonan
dengan penggambaran dewa-dewa yang tidak sesuai dengan yang dibayangkannya.
Pada kesempatan lain, saya pernah ke Taiwan bersama istri saya dan bersama turis yang lain
dalam guided city tour. Kami diajak masuk ke sebuah kelenteng yang sangat besar. Di
dalamnya banyak patung dewa-dewi dan banyak pula umat yang sedang berdoa. Tetapi
mereka tidak berdoa di depan satu patung dewa besar di tengah kelenteng (mungkin patung
Konghucu), tetapi tersebar berdoa di depan patung dewa masing-masing yang ditempatkan
terpisah-pisah satu sama lain, walaupun tata cara berdoa mereka tetap sama (menggunakan
hio, melempar-lempar kepingan bambu dll).
Lain lagi dengan umat Katolik. Sosok Yesus Kristus dalam agama Katolik mempunyai peran
yang lebih sentral daripada di agama Kristen Protestan. Karena itu, penggambaran sosok
Nabi Yesus (dalam Islam: Nabi Isa AS) selalu ditampilkan, baik untuk ditempatkan di salib,
altar gereja, maupun untuk hiasan Natal dan lainnya. Sosok Yesus yang paling umum adalah
bule, rambut gondrong berwarna pirang dan mata biru, pas dengan wajah tipikal ras
Kaukasia. Tetapi di Jawa Tengah bisa ditemukan penggambaran kelahiran Yesus versi Jawa
dalam konteks Jawa: Yusuf mengenakan surjan lengkap dengan blangkonnya dan Bunda
Maria berkebaya cantik (Yesusnya tetap boneka).
Jadi, penggambaran nabi dalam agama-agama yang saya contohkan di atas, secara empiris
tidak menyebabkan kultus individu. Penggambaran itu hanya dimaksudkan sebagai lambang
pemujaan kepada Yang Kuasa. Sama saja dengan kaligrafi ”Allah” dalam Islam yang
dipasang di atas altar masjid untuk mengingatkan kita kepada kebesaran-Nya, dan sama juga
dengan kaligrafi huruf Cina di altar Buddha Nichiren.
***
Dampak dari pengharaman visualisasi sosok Rasulullah, sepanjang yang saya tahu, sampai
hari ini belum ada yang mengultuskan Muhammad SAW sebagai individu. Di sisi lain, justru
sosok lainlah yang dikultuskan seperti Osama bin Laden, Al Baghdadi, Abu Sayaf, Abu
Bakar Baasyir, dan lainnya, melalui gambar-gambar mereka di berbagai media massa, media
sosial, maupun kaus-kaus.
Mereka semua berpenampilan Arab, bersorban atau topi putih, jubah putih, dan janggut lebat.
Kemudian inilah yang di-copy paste oleh sebagian muslim Indonesia, ditambah lagi dengan
40. 40
celana tiga perempat dan sandal. Makin berkurang sosok muslim Indonesia yang berbaju
koko dan berpeci. Di kalangan umat perempuan yang tampil adalah jilbab, dan bahkan sudah
mulai banyak cadar. Semua ini perwujudan dari sosok Arab. Berbeda sekali dengan tahun
1960-an yang semuanya masih asli Islam Nusantara.
Celakanya, banyak di antara tersangka KPK yang justru berjenggot atau berjilbab. Jadinya
malah Islam sebagai keseluruhan terbawa jelek citranya, sehingga Islam pun dikait-kaitkan
dengan terorisme (karena memang tidak ada teroris yang berpeci).
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
41. 41
Ruang Hening ”Solilokui”: Pemulia
Kehidupan?
11-04-2016
Menapak jalan menuju tradisional, kemasan Art Neka’s Museum menikmati aliran lukisan
batuan, penestaan, transisi, lalu kontemporer.
Menaruh mata pada dialog goresan tiga pelukis Barat yang membuat ’Sekolah Pita Maha’
yaitu Rudolf Bonnet, Arie Smit dan Walter Spies, membuahkan yang tradisional bertemu
cara menggores kuas modern dan tetap menghormati tema alam, mitos, wayang, dan tradisi.
Menarik garis transisi antara yang tradisional dan yang Pita Maha mendalam dan mengendap
tidaknya bergantung pada ”olah warna”, dan latihan tekun menarik garis dan mengolah
ekspresi yang dilihat membawanya ke kanvas.
Museum Puri lukisan Ubud dan Museum Seni Neka dan Arma menampakkan garis kesamaan
mengikuti sejarah pertemuan antara yang tradisi, lalu Pita Maha, dan yang kontemporer. Ada
beberapa problem yang mengemuka. Pertama adalah uang menjadi penentu ketika
ekonomisasi global dan pembangunan ekonomis menjuarai tingkatan tertinggi.
Kedua, bergeloralah pergulatan antara mereka yang menekuni melukis dengan proses dan
mengembangkan ”kekhasan” lukisan-lukisan tradisi, dengan mereka yang cepat melukis
selera wisatawan mulai dari yang abstrak sampai sensual erotis bukan dalam penghayatan
lingga-yoni Bali itu sendiri.
Ketiga, posisi pemerintah sejak dulu merasa diri pelindung dan pengayom formal, tetapi
minim sumbangan dana. Apalagi visi menggairahkan dinamika kreatif yang di Bali sendiri
sejak awal mereka mandiri dan bersaing sendiri. Keempat, bagaimana jejaring bisa jadi
komunikasi penjualan dan apresiasi sekaligus tidak meminggirkan yang ”tidak punya
jaringan”?
***
Berbaring untuk merenung ternyata mampu merangkum olah hening pengalaman hari itu.
Hampir 100 tahun Arie Smit. Terbaring, sudah sepuh yang dirawat muridnya, yaitu Sutedja
Neka.
Jasa mendidik gaya Pita Maha yaitu berani memaknai garis baru, warna-warna cerah baru
dalam alam, sawah, mitologi membuat gaya lukisan tetap punya taksu tradisi, tetapi berwajah
42. 42
lebih cerah, lebih hidup, karena yang diburu Smit adalah cahaya dan cahaya mulai matahari
terbit sampai terbenam, bahkan terang bulan.
Arie Smit mengajak mata untuk merasakan warna-warni tropis Bali dengan segarnya
dedaunan pohon-pohon rindang, dengan merah bunga dan hijau sawah serta biru langit dan
memantul kebiruan di sawah-sawah basah Ubud. Belum lagi pura sesaji dan tempat
bersyukur atas hidup dijernihkan, dibuat terang dalam keheningan yang suci dan mendalam.
Berbaring tiduran ternyata sudah sekian lama menjadi latihan merasakan nafas hidup, dan
merasakan udara masuk sejuk segar dan udara keluar. Lalu merasakan jalan udara segar yang
dari hidung ke paru-paru dan mengalir pelan memberi nafas pada tubuhku. Ditambah latihan
mengutuhkan dan memproses keseimbangan antara energi tanah, udara, api, eter dan logam
menjadi sinergi di organ-organ tubuh sambil doa rahmat menyembuhkan luka. Dan juga
mendoakan yang membenci dan menyadari api adalah energi hidup sekaligus sumber
kemarahan dan kebencian dendam.
Ketika menyelami penyeimbangan proses terus-menerus dalam falsafah poleng (perpaduan
warna hitam dan putih), maka didalami bahwa hidup itu kadang begitu hitamnya. Namun
pasti menemukan ”putih total” yang akan berirama seimbang dalam ”hitam” lagi dan ”putih”
lagi. Tepat serupa dua kekuatan hidup yang saling melengkapi dan simbiosis serta bukan
dikotomi perlawanan dua kutub, yaitu Yin dan Yang.
Cara menyelaraskan dua energi cinta dan benci sampai membuahkan kisah epos perang
Kurusetra antara Pandawa dan Kurawa. Keduanya satu keluarga besar sebenarnya, klan
keluarga besar Bharata. Namun ”nafsu kuasa” dan ”kelobaan keserakahan” akhirnya
menghancurkan upaya penyelarasan menjadi perang habis-habisan antara angkara murka dan
kebaikan. Mengapa epos Bharatayudha menghasilkan perang habis-habisan antara simbol
baik versus jahat? Sementara, paham kebijaksanaan hidup ’Yin’ dan ’Yang’ justru
mengajarkan harmonisasi saling melengkapi dua energi dinamika hidup itu dalam simbiose
yang satu membutuhkan yang lain agar keseimbangan terjadi?
Tata keseimbangan atau harmoni dimengerti sebagai saling membutuhkannya daya negatif
dan daya positif agar eksistensi tata harmoni terwujud. Namun solilokui saya menukik dan
merenung pada tanah Bali di mana Arie Smit akhirnya kembali ke Pencipta bulan lalu saat
mendekati anugerah usia 100 tahun.
Bali mengenal model perang habis-habisan Bharatayudha karena serapan dan oase Hindu
dengan karmanya, yang dalam sejarah berani berperang habis-habisan untuk kebenaran
dalam perang puputan. Namun Bali yang sama mengenal praxis menjalani hidup dalam
keseimbangan antara ”gelap” hitam dan ”terang” putih dalam falsafah kain poleng.
Kehidupan sehari-hari dijelaskan dari dalam dengan makna silih berganti saat untung dan
malang, yang membuat sikap relatif harmonis ketika kemalangan menjelang. Tunggu dan
hayatilah saja, karena nanti akan datang saat keuntungan sama seperti kain poleng hitam
43. 43
diikuti putih, lalu hitam lagi dan putih lagi begitulah seterusnya silih bergantinya mati dan
hidup; duka dan suka dalam harmoni. Bukan untuk dipertentangkan atau dikotomi berhadap-
hadapan, tetapi saling mengganti.
Maka antara mati dan hidup, tulislah bedanya dalam perayaan ritual kehidupan. Keduanya
meriah. Keduanya dirayakan sampai pembakaran suci jasad menjadi abu. Dari api menjadi
abu lalu ditabur ke laut (air) setelah menjalani hidup di bumi (tanah). Sebuah siklus dari tanah
kembali ke tanah, dari air kembali ke air, dari api yang menyucikan membakarnya menjadi
yang miskala tak kelihatan atau menjadi ’ruh’.
***
Cakap-cakap atau bincang-bincang batin merupakan proses dialog diri manusia dengan
batinnya, nuraninya. Lebih mendalam dari kata kerja ”membatin” (bercakap-cakap),
menganalisa dengan budi. Merasakan dengan hati semuanya merupakan percakapan-
percakapan dalam ’batin’ seseorang. Mata batin ditajamkan melalui meditasi. Dialog batin
dihayati untuk diskresi. Sehingga putusan batin yang diproses dalam hening dengan dan
dalam dialog batin itu dinamai ’olah batin’ atau populernya olah ’roso’ untuk mengenal,
mengajak yang batin dari manusia menjadi ’ruang’ pengolahan pengalaman-pengalaman, dan
analisa peristiwa hidup dalam keheningan mendalam.
Inikah samadhi hati yang dilatih dan dipertajam melalui kesadaran budi hening hingga
mampu ”mencapai” kesadaran budi tertinggi yang diusahakan bertemu dan ’menyatu’ dengan
budi ilahi dalam supreme consciousness? Inikah ruang hening ilham dari para sufi, seniman,
para mistikus, para ilahi dan para religius mengenalnya sebagai ’religiositas’ inti religi dan
’numinous’ atau ruang hening keilahian (bagi para numinous agama bumi yang bukan agama
kitab perwahyuan)?
Bila seorang ahli ilmu agama seperti Rudolf Otto sampai harus merumuskan istilah-istilah
dialogis untuk misteri Ilahi dalam pengalaman seni (estetis) dan religius lintas agama dalam
tiga kata kunci, yaitu yang numinosum (untuk yang Ilahi) yang selalu tampil dalam fenomen
pengalaman manusia yang menghayati-Nya sekaligus sebagai ”memukau” (fascinans), tetapi
juga seketika yang Ilahi dialami sebagai yang tremendum (menggetarkan, membuat sujud
getar takut karena menyadari kekecilan manusia sebagai ciptaan berhadapan yang Ilahi Maha
Agung).
Tiga kata kunci inilah yang paling mampu mempertemukan dialog-dialog batin solilokui
maupun dialog-dialog mengenai fenomen-fenomen pengalaman keindahan (estetis) yang
sekaligus religius manusia yaitu Numinosum, Fascinans dan Tremendum. Herankah kita bila
oase kreativitas pemuliaan kehidupan dan perayaannya ada di ruang hening numinous, estetis
sekaligus religius ini?
Di sinilah para mistikus, sufi, para seniman yang merupakan para ’kawi’ penyair dan pemulia
kehidupan setiap kali dan terus-menerus melakukan ’solilokui’ cakap-cakap batin untuk tugas
44. 44
memuliakan kehidupan. Di situ pulalah buah-buah para seniman, mistikus, rohaniwan,
budayawan akan berupa energi roh hidup dalam karya-karya yang merayakan bahwa hidup
ini indah.
Hidup yang dimuliakan dalam karya-karya seni dan karya budaya serta religi itulah test case
batu ujian ukurannya. Lawannya adalah anti-kehidupan, death culture merusak dan
menghancurkan hidup. Contoh misalnya: Nusantara pemulia atau ”penghancur”? Nusantara
sejatinya majemuk dan saling berbeda dengan keunikan ragam suku, warna-warna kearifan
dan menjunjung hidup yang dimuliakan, yang penuh daya hidup bersumber air, api, angin,
bumi, dan udara. Berbeda, beragam namun satu kehidupan.
Menyeimbangkan hubungan saling menguatkan sesama sumber energi hidup itulah yang
dikerjakan oleh para ”misionaris” planet bumi dalam menghayati hari bumi untuk bersyukur
dan mensyukuri berkah ibu bumi, ibu pertiwi dengan kemurahan-kemurahannya hingga kita
tetap hidup dari ”rahim”-nya.
Ternyata proses menyeimbangkan, menaruh dalam hubungan saling meneguhkan
antarsumber-sumber energi itu tidak cukup hanya: tidak merusak atau memerkosa alam.
Tidak cukup hanya merawat harmonisasi manusia dengan alam saja. Tidak cukup
”bersahabat”-nya manusia dengan flora dan fauna yang skala (tangiable) inderawi. Namun
perlu belajar dari ”mereka” untuk from within memberi ruang pada sumber-sumber energi
bisa berdampingan dan menguatkan daya tumbuh bumi. Tapi pula berelasi ”baik” dan
hormat, memberi ruang dan waktu dengan mereka yang sudah berada di alam miskala;
mereka yang sedang mencari ”tempat terang” di alam-alam miskala (tak tampak secara
inderawi) ini.
Apakah Anda sebagai arsitek di bumi Nusantara membangun rumah dengan memotong
pohon-pohonnya? Mentraktor bukit-bukitnya tanpa mendengarkan ”roh” mereka yang
meminta diberi ruang tumbuh dan ”usia” panjang sebagai pepohonan, sebagai bukit-bukit
hijau yang menjadi simpanan daya hidup bernama air itu? Bila kita menghancurkan alam,
maka udara menjadi kotor, banjir, polusi dan bencana menjadi ”karma” (buah dari perbuatan
kita sendiri).
Sama seperti ungkapan mata air berubah menjadi ”air mata” karena pola tingkah kelakuan
manusia yang tidak tahu terima kasih pada alam yang menjadi rahim penghidupannya dengan
unsur-unsur air, udara, angin, api, tanah dan logam.
MUDJI SUTRISNO, SJ
Budayawan
45. 45
Dua Sistem Ujian Nasional
11-04-2016
Ujian nasional (UN) tingkat SMA/sederajat telah berlangsung pada 4-6 April 2016.
Menariknya, pada UN 2016 kali ini merupakan irisan dari KTSP 2006 dan Kurikulum 2013.
Artinya Kurikulum KTSP 2006 dan Kurikulum 2013 belum pernah diajarkan kepada siswa
yang tahun ini sedang UN. Sangat mungkin soal yang diujikan belum pernah dipelajari oleh
siswa karena adanya perbedaan kurikulum. Di sinilah letak kelucuan dunia pendidikan kita.
Lagi-lagi siswa selalu menjadi korban kebijakan pemerintah.
Dari segi sistem, UN 2016 sangat berbeda dengan UN sebelumnya. Pada UN 2016 mulai
diterapkan sistem computer based test (CBT) atau UNBK (ujian nasional berbasis komputer).
Sekitar 2.000 dari 11.000-an peserta menjalankan UNBK, 8.000-an sisanya menggunakan
LJK seperti tahun-tahun sebelumnya.
Sebenarnya sistem CBT sangat baik jika diterapkan kepada menyeluruh sekolah. Namun, jika
hanya sebagian, hal itu akan membuka peluang siswa untuk melakukan kecurangan.
Kenyataannya, yang terjadi di lapangan adalah UNBK hanya dapat dimulai pada sebagian
peserta. Tidak sampai 20% persentasenya.
UNBK dilaksanakan satu mata pelajaran per hari, UNLJK dua mata pelajaran per
hari. UNBK dilaksanakan tiga sesi per hari, sedangkan UNLJK dilaksanakan satu sesi per
hari. Sepintas memang tidak ada yang janggal. Pembagian waktu pada dasarnya sah-sah saja.
Namun kenyataannya, pembagian waktu membuat ketidakseimbangan bagi peserta UN.
Peserta UNBK sudah pasti diuntungkan karena hanya ada satu mata pelajaran yang diujikan
dalam sehari, sedangkan dalam UNLJK ada dua mata pelajaran per hari. Dampaknya adalah
sebagian peserta UNBK dirugikan. Karena mereka mendapatkan sesi 2 atau sesi 3 yang
dilaksanakan siang hari, pada waktu yang lazimnya digunakan untuk istirahat.
UNBK membutuhkan waktu 6 hari, sedangkan UNLJK hanya membutuhkan waktu 3 hari.
UNLJK akan selesai lebih dahulu daripada UNBK. Itu berarti ada banyak sekali kesempatan
bagi peserta UNBK mendapatkan soal-soal UNLJK yang telah dikerjakan pada hari
tersebut. Soal-soal yang didapat jelas bisa digunakan karena sebagian mata pelajaran UNBK
belum diujikan.
Bisa saja kita mengasumsikan bahwa ada ratusan paket yang memungkinkan untuk diujikan
pada UNBK. Tapi kenyataannya soal-soal UNBK banyak sekali yang sama persis dengan
UNLJK. Itu berarti siswa yang mengetahui soal dan jawaban UNLJK akan dengan mudah
menjawab soal tersebut. Karena tinggal ”klik” sesuai dengan soal dan jawaban yang telah
46. 46
dipelajari dari soal UNLJK. Di sinilah kesempatan-kesempatan siswa untuk melakukan
kecurangan.
Belum lagi persoalan pada pelaksanaan UNBK yang berada di ruangan. UN diawasi oleh
guru dari sekolah yang bersangkutan. Bukan pengawas dari sekolah lain seperti UNLJK. Bisa
saja sistem dipercaya, program komputer dipercaya, tapi itu tidak adil bagi peserta UNLJK.
Peserta UNLJK mati-matian menjaga sikap dan mengatasi tekanan karena diawasi oleh guru
dari sekolah lain, sedangkan peserta UNBK sekadar dijaga oleh guru sendiri. Guru dari
sekolah bersangkutan sangat mungkin menginginkan nilai para siswa berkualifikasi baik.
Sedangkan guru dari sekolah lain pastinya fokus dengan tugas menjadi pengawas tanpa
peduli nilai siswa yang diawasi.
Pada UNLJK, satu meja untuk satu peserta. Jarak antar peserta sangat jauh, walhasil interaksi
yang dapat dilakukan pun sangat minim. Kemungkinan curang menjadi sangat minim. Tidak
begitu dengan UNBK, jarak antarpeserta begitu berdekatan. Sangat rentan terjadi kecurangan,
pun jika tidak curang sangat mudah terjadi satu siswa melihat soal siswa lainnya. Karena
kebanyakan soal hanya berbeda posisi dan bukan berbeda konten soalnya. Besar
kemungkinan soal yang dilihat muncul di paket soal yang dikerjakan. Sangat dimungkinkan
untuk saling contek antarpeserta UN.
Memang dulu nilai UN memiliki posisi yang sangat sakral, sekaligus menyeramkan, karena
sebagai penentu kelulusan. Saat ini tidak, kelulusan bukan lagi dinilai oleh tinggi-rendahnya
nilai UN. UN memiliki fungsi baru, sebagai tolok ukur kompetensi siswa serta menjadi
pertimbangan penerimaan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Betapa pun baiknya tujuan UN, sistem yang curang membuat keleluasaan justru berbalik
menjadi malapetaka. Peserta UNBK yang mendapatkan kemudahan (untuk curang) memiliki
peluang meraih nilai yang lebih tinggi daripada peserta UNLJK yang sangat ketat
pelaksanaannya.
***
UN 2016 merupakan tahun ke-11 dalam pelaksanaan UN SMA di Indonesia, sudah
melampaui usia 1 dekade. Namun kecurangan terus-terusan terjadi, bahkan sekarang ketika
sistem berganti, hal itu justru membuka banyak kesempatan terjadinya kecurangan. Dan
banyak sekali persoalan yang terjadi akibat UN. Karena itu, UN harus segera dihapuskan.
Disengaja atau tidak, disadari atau tidak, diakui atau tidak, saat ini bukan lagi siswa, guru,
atau pun oknum-oknum pejabat yang curang. Justru sistem UN yang mengajarkan
kecurangan.
Asumsi siswa tidak akan belajar jika tidak ada UN harus segera dihapuskan. Karena ini jelas
analisis pedagang yang melihat manusia sebagai barang dalam transaksi dagang: tidak ada
barang, tidak ada uang. Sudah cukuplah UN menghasilkan manusia-manusia robot yang tak
punya empati dan moral. Siswa belajar tiga tahun bukan untuk UN, tetapi menemukan
47. 47
keunikan, bakat, dan minat yang mengantarkannya menjadi insan paripurna yang berguna
bagi masyarakat.
Pemerintah dan jajarannya sibuk mencegah kecurangan dilakukan pejabat dan guru, pelaku
yang terkait pembocoran soal maupun kunci jawaban ditangkap dan diancam hukuman
pidana. Tapi, ternyata, kecurangan masih saja terjadi. Sekali lagi yang salah bukanlah pelajar,
tetapi sistem UN yang tidak cocok diterapkan di Indonesia. Jadi mau diubah berkali-kali
sistem UN seperti apa pun, tanpa disertai dengan peningkatan mutu pendidikan, hasilnya
nonsen, ”nol”.
AZAKI KHOIRUDIN
Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM)
48. 48
Orientasi Akademik Atau Kekuasaan?
14-04-2016
Siapakah yang dapat menjelaskan secara meyakinkan, mengapa, atau apa sebabnya, kata
“kearifan” selalu dianggap lokal dan harus lokal? Siapa yang mengharuskannya? Mengapa
kita tak pernah mempersoalkan ungkapan kearifan lokal yang dianggap telah menjadi
kebenaran umum? Apakah para akademisi tidak lagi tertarik untuk secara kritis menggugat
kemapanan tersebut? Bukankah kearifan adalah kearifan, sebagaimana lapar adalah lapar?
Kita menolak secara tegas predikat lokal yang memperkecil makna ungkapan tersebut.
Gagasan demokrasi di zaman Socrates tidak dapat dianggap kearifan lokal. Ketika gagasan
itu dimatangkan dan diangkat ke dalam dunia modern menjadi sejenis panduan dalam praktik
kehidupan berdemokrasi di seluruh dunia, hal itu makin tampak begitu jelasnya bahwa dari
filsuf itu telah lahir gagasan besar, global, universal, dan bukan lokal. Trias politika tak
pernah disebut kearifan lokal bukan karena pembagian kekuasaan itu lahir di dunia Barat,
melainkan karena pemikiran itu menjawab kebutuhan politik modern yang dirayakan dengan
gegap gempita di seluruh dunia.
Gagasan mengenai kekuasaan Jawa, sebagaimana ditulis oleh Ben Anderson dalam The Idea
of Power in Javanese Culture, oleh Ben Anderson sendiri tak pernah dianggap sebagai
pemikiran lokal, dan tidak pula disebut kearifan lokal? Tapi ketika menulis Local Knowledge,
dengan jelas Clifford Geertz menganggap pengetahuan yang ditulisnya bersifat lokal. Kalau
tidak salah dia mengutip ungkapan Minang: bulek aia di pambuluh, bulek kato di mufakek
(bulat air di bambu, bulat kata di mufakat). Ini disebut pengetahuan lokal. Dengan kata lain,
tampaknya secara logis akan disebut kearifan lokal.
Apakah hanya karena terjadi di negeri Minangkabau maka kata “mufakat” di dalam bulek
kato, dianggap lokal? Mufakat, sebagai konsep, sudah bersifat universal, dan tidak bisa
dilokalkan. Mufakat sebagai tindakan, cerminan cara berdemokrasi yang juga universal. Apa
yang menandakan lokal di sini?
Urutan-urutan kejadian sejak kita bicara demokrasi, trias politika, gagasan kekuasaan Jawa,
dan bulek kato di mufakek, di Yunani, Prancis, Jawa, Minangkabau, nama-nama kota, nama-
nama tempat tersebut bukan tanda lokalitas. Tampaknya orientasi nilai dan cakupan konsep
tersebut yang menandakan sesuatu bersifat lokal atau bukan lokal. Demi ketegasan, sesuatu
bersifat lokal atau global, dan universal.
Dengan begini, Pancasila yang digali dari anasir-anasir kehidupan masyarakat kita, yang
berbicara tentang Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan itu dengan