Hubungan Indonesia dan Singapura memiliki dinamika yang kompleks, dengan sentimen saling benci namun rindu. Beberapa isu seperti kebakaran hutan, penolakan perjanjian pertahanan, stereotip masyarakat, reklamasi pantai, dan insiden Usman-Harun pernah menimbulkan ketegangan. Namun demikian, kedua negara tetap membutuhkan kerja sama di berbagai bidang.
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut merupakan catatan hukum terhadap putusan sela perkara tindak pidana korupsi Moch. Chamim Badruzzaman dengan 3 poin utama.
2. Surat dakwaan ditolak karena tidak memenuhi syarat materiil sesuai UU KUHAP yaitu tidak menjelaskan unsur-unsur delik secara jelas.
3. Ada beberapa jenis surat dakwaan seperti
Hukum pidana khusus - Hukum formil tindak pidana korupsi (Idik Saeful Bahri)Idik Saeful Bahri
Dokumen tersebut membahas tentang hukum pidana khusus korupsi di Indonesia, mulai dari proses penyelidikan oleh KPK, penyidikan, penuntutan, hingga persidangan di pengadilan khusus korupsi. KPK diberi kewenangan luas dalam proses tersebut, termasuk penyadapan dan pembekuan aset tersangka. Pengadilan khusus wajib memutus perkara korupsi dalam waktu tertentu.
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut merupakan catatan hukum terhadap putusan sela perkara tindak pidana korupsi Moch. Chamim Badruzzaman dengan 3 poin utama.
2. Surat dakwaan ditolak karena tidak memenuhi syarat materiil sesuai UU KUHAP yaitu tidak menjelaskan unsur-unsur delik secara jelas.
3. Ada beberapa jenis surat dakwaan seperti
Hukum pidana khusus - Hukum formil tindak pidana korupsi (Idik Saeful Bahri)Idik Saeful Bahri
Dokumen tersebut membahas tentang hukum pidana khusus korupsi di Indonesia, mulai dari proses penyelidikan oleh KPK, penyidikan, penuntutan, hingga persidangan di pengadilan khusus korupsi. KPK diberi kewenangan luas dalam proses tersebut, termasuk penyadapan dan pembekuan aset tersangka. Pengadilan khusus wajib memutus perkara korupsi dalam waktu tertentu.
Dokumen tersebut merupakan penjelasan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ringkasannya adalah: (1) Undang-Undang ini mengatur tentang penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia yang merdeka dari pengaruh kekuasaan lain, (2) diatur pula tentang asas-asas, jaminan hukum bagi warga negara, kedudukan hakim dan panitera, pelaksanaan putusan pengad
Optimalisasi peran penyidik tipikor dalam upaya pengembalian kerugian keuanga...Andy Susanto
1. Pengembalian kerugian keuangan negara diatur dalam UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara, dimana pihak yang menyebabkan kerugian wajib mengganti kerugiannya dan dapat dikenai sanksi administratif dan/atau pidana.
2. Penyidik memiliki peran dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara pada tahap penyelidikan dengan cara mengumpulkan bukti dan meminta pernyataan tanggung jawab dari terlap
Sudikno Mertokusumo
Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yg mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.
Retnowulan Sutantio
Hukum Acara Perdata disebut juga hukum perdata formil yaitu kesemuanya kaidah hukum yg menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yg diatur dalam hukum perdata materiil
Dokumen tersebut membahas tentang hukum acara pidana dan hubungannya dengan hukum pidana, asas-asas hukum acara pidana, fungsi dan wewenang penyelidik dan penyidik, laporan dan pengaduan tindak pidana, penahanan, acara pemeriksaan dalam sidang pengadilan perkara pidana, dan surat dakwaan.
Pertemuan ke-10 membahas tentang Surat Dakwaan dalam Hukum Acara Pidana di pengadilan
Note = Saran dan perbaikan sangat diharapkan untuk masa depan generasi Indonesia, terimakasih
1. Kejahatan terhadap tanah meliputi delik penipuan, pemalsuan, dan menguasai tanah tanpa hak yang diatur dalam KUHP beserta unsur-unsur subyektif dan obyektifnya; 2. Unsur-unsur kejahatan terhadap tanah antara lain maksud merugikan, objek tindakan seperti menghancurkan batas tanah, serta keterangan palsu dalam dokumen tanah; 3. Pertanggungjawaban setiap pasal berkaitan dengan sank
Hukum acara pidana mengatur tata cara penegakan hukum pidana. Mencakup proses penyelidikan oleh polisi, penyidikan oleh penyidik, penuntutan oleh jaksa, dan persidangan di pengadilan. Tujuannya mencari kebenaran dan memberikan putusan terhadap tersangka.
Ahli Waris Pengganti dalam Buku II supaya direvisi, sesuai hasil Rakernas 2010 hanya kepada cucu saja. Dengan demikian sekaligus menyatakan bahwa ketentuan dalam Buku II Edisi Revisi 2010, hal. 167 huruf c) angka 2) s.d. 6) yang berkaitan dengan ahli waris pengganti tidak berlaku.
Hukum acara perdata mengatur tentang cara menjamin ditaatinya hukum perdata melalui perantaraan hakim dengan mengatur proses pengajuan tuntutan hak, pemeriksaan perkara di sidang, dan pelaksanaan putusan hakim. Hukum acara perdata berdasarkan pada asas-asas seperti hakim bersifat menunggu, ius curia novit, dan mendengar kedua belah pihak.
6 ruang lingkup, sumber hukum dan penyidikanGradeAlfonso
Pertemuan ke-6 membahas tentang Ruang Lingkup dan Sumber Hukum Acara Pidana di pengadilan
Note = Saran dan perbaikan sangat diharapkan untuk masa depan generasi Indonesia, terimakasih
Akta Pembagian Hak Bersama (APHB) adalah bentuk peralihan hak atas tanah milik bersama menjadi milik satu atau lebih pemilik dengan jumlah yang lebih sedikit. APHB dibuat di hadapan PPAT untuk membuktikan kesepakatan pembagian dan dapat memuat satu atau lebih bidang tanah. Tujuan APHB antara lain untuk memberikan hak atas tanah kepada satu pemilik atau lebih.
Putusan Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian undang-undang Hukum Acara Pidana terhadap UUD 1945. Putusan menjelaskan bahwa Hukum Acara Pidana bertujuan untuk melindungi hak asasi tersangka dan terdakwa sesuai UUD, dan pembatasan hak asasi hanya dapat dilakukan untuk menjamin hak orang lain. Perlindungan hak asasi dalam proses hukum adalah tanggung jawab negara
Dokumen tersebut membahas tentang hukum acara perdata Indonesia yang mencakup pengertian, sejarah, asas-asas, dan bab-bab pokok seperti gugatan, penyitaan, pemeriksaan perkara, pembuktian, putusan hakim, upaya hukum, dan eksekusi putusan.
Dokumen tersebut membahas berbagai topik terkait hukum acara di Indonesia, meliputi hukum acara pidana, perdata, tata usaha negara, dan lainnya. Secara garis besar, dokumen menjelaskan pengertian hukum acara, landasan hukum, asas-asas, dan alur-alur prosesnya pada berbagai bidang hukum acara.
(Sindonews.com) Opini ekonomi 6 juni 2016-19 juli 2016ekho109
Tekanan defisit anggaran yang semakin membesar membutuhkan langkah penyelamatan. Upaya yang dilakukan pemerintah adalah mengurangi belanja negara sebesar Rp50 triliun dan transfer ke daerah Rp21 triliun, serta menaikkan penerimaan melalui tax amnesty senilai Rp160 triliun. Langkah ini tepat, namun perlu didukung dengan merelokasi anggaran dari belanja rutin ke belanja modal untuk menjadi stimulus ekon
The document suggests that people rarely succeed unless they enjoy what they are doing. It also states that collaborating with others by coming together is just the beginning, while continuing to work as a team leads to progress, and cooperating together ultimately results in success.
Dokumen tersebut merupakan penjelasan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ringkasannya adalah: (1) Undang-Undang ini mengatur tentang penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia yang merdeka dari pengaruh kekuasaan lain, (2) diatur pula tentang asas-asas, jaminan hukum bagi warga negara, kedudukan hakim dan panitera, pelaksanaan putusan pengad
Optimalisasi peran penyidik tipikor dalam upaya pengembalian kerugian keuanga...Andy Susanto
1. Pengembalian kerugian keuangan negara diatur dalam UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara, dimana pihak yang menyebabkan kerugian wajib mengganti kerugiannya dan dapat dikenai sanksi administratif dan/atau pidana.
2. Penyidik memiliki peran dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara pada tahap penyelidikan dengan cara mengumpulkan bukti dan meminta pernyataan tanggung jawab dari terlap
Sudikno Mertokusumo
Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yg mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.
Retnowulan Sutantio
Hukum Acara Perdata disebut juga hukum perdata formil yaitu kesemuanya kaidah hukum yg menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yg diatur dalam hukum perdata materiil
Dokumen tersebut membahas tentang hukum acara pidana dan hubungannya dengan hukum pidana, asas-asas hukum acara pidana, fungsi dan wewenang penyelidik dan penyidik, laporan dan pengaduan tindak pidana, penahanan, acara pemeriksaan dalam sidang pengadilan perkara pidana, dan surat dakwaan.
Pertemuan ke-10 membahas tentang Surat Dakwaan dalam Hukum Acara Pidana di pengadilan
Note = Saran dan perbaikan sangat diharapkan untuk masa depan generasi Indonesia, terimakasih
1. Kejahatan terhadap tanah meliputi delik penipuan, pemalsuan, dan menguasai tanah tanpa hak yang diatur dalam KUHP beserta unsur-unsur subyektif dan obyektifnya; 2. Unsur-unsur kejahatan terhadap tanah antara lain maksud merugikan, objek tindakan seperti menghancurkan batas tanah, serta keterangan palsu dalam dokumen tanah; 3. Pertanggungjawaban setiap pasal berkaitan dengan sank
Hukum acara pidana mengatur tata cara penegakan hukum pidana. Mencakup proses penyelidikan oleh polisi, penyidikan oleh penyidik, penuntutan oleh jaksa, dan persidangan di pengadilan. Tujuannya mencari kebenaran dan memberikan putusan terhadap tersangka.
Ahli Waris Pengganti dalam Buku II supaya direvisi, sesuai hasil Rakernas 2010 hanya kepada cucu saja. Dengan demikian sekaligus menyatakan bahwa ketentuan dalam Buku II Edisi Revisi 2010, hal. 167 huruf c) angka 2) s.d. 6) yang berkaitan dengan ahli waris pengganti tidak berlaku.
Hukum acara perdata mengatur tentang cara menjamin ditaatinya hukum perdata melalui perantaraan hakim dengan mengatur proses pengajuan tuntutan hak, pemeriksaan perkara di sidang, dan pelaksanaan putusan hakim. Hukum acara perdata berdasarkan pada asas-asas seperti hakim bersifat menunggu, ius curia novit, dan mendengar kedua belah pihak.
6 ruang lingkup, sumber hukum dan penyidikanGradeAlfonso
Pertemuan ke-6 membahas tentang Ruang Lingkup dan Sumber Hukum Acara Pidana di pengadilan
Note = Saran dan perbaikan sangat diharapkan untuk masa depan generasi Indonesia, terimakasih
Akta Pembagian Hak Bersama (APHB) adalah bentuk peralihan hak atas tanah milik bersama menjadi milik satu atau lebih pemilik dengan jumlah yang lebih sedikit. APHB dibuat di hadapan PPAT untuk membuktikan kesepakatan pembagian dan dapat memuat satu atau lebih bidang tanah. Tujuan APHB antara lain untuk memberikan hak atas tanah kepada satu pemilik atau lebih.
Putusan Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian undang-undang Hukum Acara Pidana terhadap UUD 1945. Putusan menjelaskan bahwa Hukum Acara Pidana bertujuan untuk melindungi hak asasi tersangka dan terdakwa sesuai UUD, dan pembatasan hak asasi hanya dapat dilakukan untuk menjamin hak orang lain. Perlindungan hak asasi dalam proses hukum adalah tanggung jawab negara
Dokumen tersebut membahas tentang hukum acara perdata Indonesia yang mencakup pengertian, sejarah, asas-asas, dan bab-bab pokok seperti gugatan, penyitaan, pemeriksaan perkara, pembuktian, putusan hakim, upaya hukum, dan eksekusi putusan.
Dokumen tersebut membahas berbagai topik terkait hukum acara di Indonesia, meliputi hukum acara pidana, perdata, tata usaha negara, dan lainnya. Secara garis besar, dokumen menjelaskan pengertian hukum acara, landasan hukum, asas-asas, dan alur-alur prosesnya pada berbagai bidang hukum acara.
(Sindonews.com) Opini ekonomi 6 juni 2016-19 juli 2016ekho109
Tekanan defisit anggaran yang semakin membesar membutuhkan langkah penyelamatan. Upaya yang dilakukan pemerintah adalah mengurangi belanja negara sebesar Rp50 triliun dan transfer ke daerah Rp21 triliun, serta menaikkan penerimaan melalui tax amnesty senilai Rp160 triliun. Langkah ini tepat, namun perlu didukung dengan merelokasi anggaran dari belanja rutin ke belanja modal untuk menjadi stimulus ekon
The document suggests that people rarely succeed unless they enjoy what they are doing. It also states that collaborating with others by coming together is just the beginning, while continuing to work as a team leads to progress, and cooperating together ultimately results in success.
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016ekho109
Tantangan pemimpin generasi kedua perusahaan keluarga di Indonesia adalah mentransformasikan perusahaan dari bentuk semula yang bersifat entrepreneurial menjadi perusahaan modern dan profesional dengan menerapkan sistem manajemen baru. Pemimpin generasi kedua umumnya memiliki gaya kepemimpinan transformatif untuk mengubah organisasi serta budaya perusahaan.
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 26 maret 2016-8 mei 2016ekho109
Tiga kalimat:
Budaya formalitas PNS dipandang penting untuk menerapkan mekanisme pendisiplinan melalui proses normalisasi dan evaluasi perilaku guna memenuhi standar yang diharapkan masyarakat dalam pelayanan publik.
A Bibliography women and planning produced for the RTPI Equal Opps PanelDory Reeves
This document provides a bibliography on women and planning issues from pre-1990 and 1990-1996. It is produced for the RTPI Equal Opportunities Panel and reproduced in 2014. The bibliography contains references organized by topic, including general issues, design, development planning, disadvantaged groups, housing, participation and consultation, and women's roles. It acknowledges several sources of information and individuals who provided assistance.
The document lists players on the national soccer teams of the United States, Colombia, Costa Rica, Paraguay, Brazil, Ecuador, Haiti, and Peru including their names, club teams, positions, and dates of birth. It provides rosters for each country's team with jersey numbers, players' names, the clubs they play for, and their dates of birth.
Holly.meredith power pointpresentation_unit 1HollyMeredtih
The document discusses how companies can benefit from social media by creating brand awareness and increased revenue through community building, personalization, and engaging target audiences on popular platforms like Facebook, Twitter, and LinkedIn. It recommends that companies use social media to create buzz around their brand, focus messaging on positive exchanges to stay aware of customer interests, and develop effective strategies tailored to each network's audience.
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 31 agustus 2016-8 oktober 2016ekho109
Rumah Amanah Rakyat didirikan untuk mencerahkan masyarakat dalam memilih pemimpin yang tepat. Pemimpin harapan rakyat adalah pemimpin yang dapat menjalankan amanah dengan jujur, bersih, tegas, cerdas, dan beradab. Sosok pemimpin amanah rakyat diimpikan memiliki jiwa Pancasila, yaitu beragama, adil, dan beradab dalam pikiran, sikap, dan tindakannya.
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016ekho109
Nabi Adam merupakan makhluk pertama yang diciptakan Allah setelah sebelumnya menciptakan berbagai tumbuh-tumbuhan dan hewan. Nabi Adam dipandang sebagai kaca semesta pertama yang memungkinkan Allah melihat diri-Nya sendiri. Kehadiran manusia, khususnya yang beriman, memberikan ruh bagi alam semesta sehingga tujuan penciptaan dapat terwujud.
Honors awards & accolades of Percept Group - Celebrating 30 yearsPerceptLtd
Percept has achieved significant honors and accolades for its work in cricket tournaments, film productions, advertising campaigns, and live events over the past 30 years from 1984 to 2014. Some of the key awards received include 17 cricket championship trophies, multiple national film awards for films like 'Firaaq' and 'Kanchivaram', and recognition at Cannes, Montreux, and other international advertising and film festivals for advertising campaigns and live events like Sunburn. The document outlines Percept's ongoing success and recognition for its creative work across different industries.
This document contains information about a SCADA system for Pekalongan Batang, including:
- The SCADA system includes sensors, communication systems, RTUs, actuators, and the Survalent monitoring software.
- Key components of the Survalent system include IED devices, concentrators, and an ICON+ server connected via fiber optic network.
- A diagram shows the control room layout and staff schedules for control room operators and ancillary staff.
Dokumen tersebut membahas tentang pertimbangan hukum yang diberikan oleh Jaksa Pengacara Negara kepada negara atau pemerintah dalam bentuk pendapat hukum dan/atau pendampingan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara serta audit hukum di bidang perdata. Jaksa Pengacara Negara akan melakukan analisis hukum untuk menentukan lingkup tugas, mengantisipasi benturan kepentingan, serta memberikan pendapat hukum secara tert
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang politik hukum pertanahan di Indonesia, termasuk pengertian pendaftaran tanah, proses pendaftaran tanah pertama kali, dan kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dokumen ini juga membahas manfaat dan tujuan dilakukannya pendaftaran tanah.
Putusan Mahkamah Konstitusi menguji Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Putusan menjelaskan prosedur pembentukan undang-undang dan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian konstitusionalitas undang-undang.
Jual beli tanah hak milik yang bertanda bukti petuk pajak bumiSumardi Arahbani
Jual beli tanah hak milik yang dibuktikan dengan petuk pajak bumi (kutipan letter C) harus memenuhi syarat sah. Syarat sahnya adalah adanya perbuatan hukum jual beli yang dibuktikan dengan akta pejabat pembuat akta tanah, bukan hanya akta di bawah tangan.
Dokumen tersebut membahas tentang pengertian dan jenis-jenis sumber hukum tata negara Indonesia, meliputi sumber hukum formal seperti UUD 1945, TAP MPR, undang-undang, dan peraturan pemerintah, serta faktor-faktor pendukung seperti yurisprudensi dan pendapat umum para ahli hukum.
Dokumen tersebut merangkum sejarah singkat hukum acara pidana di Indonesia sejak zaman pra-kolonial hingga saat ini. Ia juga menjelaskan pengertian dan tujuan hukum acara pidana serta asas-asas dan sumber-sumber hukum acara pidana menurut undang-undang. Termasuk di dalamnya ilmu-ilmu bantu yang relevan dengan hukum acara pidana.
Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful Bahri)Idik Saeful Bahri
Dokumen tersebut membahas tentang hukum pidana khusus korupsi di Indonesia, meliputi definisi korupsi secara etimologis, terminologis, dan hukum, delik-delik korupsi menurut UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, instrumen hukum terkait, serta titik rawan terjadinya korupsi."
Dokumen tersebut membahas tentang peraturan daerah (PERDA) dalam kerangka otonomi daerah dan NKRI. Pembahasan mencakup jenis dan bentuk produk hukum daerah, prosedur penyusunan produk hukum daerah, perda inisiatif, dan legal drafting.
Perkara Peradilan Tata Usaha Negara di dalam Hukum Administrasi NegaraDella Mega Alfionita
Dokumen tersebut merupakan tugas kelompok mata kuliah Hukum Administrasi Negara yang membahas analisis perkara peradilan tata usaha negara. Dibahas mengenai pengadilan tata usaha negara, prosedur beracara di tingkat pengadilan tata usaha negara, dan contoh kasus untuk memberikan pemahaman penyelesaian sengketa tata usaha negara.
[Ringkasan]
Dokumen tersebut membahas tentang fungsi Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) pada Kejaksaan Republik Indonesia. Datun bertugas memberikan bantuan hukum, pertimbangan hukum, dan tindakan hukum lain kepada lembaga negara, instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD di bidang perdata dan tata usaha negara. Datun juga bertugas melakukan penegakan hukum, seperti mengajukan gugatan ke pengadilan unt
Pembagian hukum dapat dilakukan berdasarkan sumber, isi, kekuatan mengikat, dasar pemeliharaan, wujud, tempat berlaku, waktu berlaku, bentuk, dan penerapannya."
Similar to (Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016 (20)
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
1. 1
DAFTAR ISI
KASUS HAK TANAH SUMBER WARAS
Romli Atmasasmita 4
ARAH BARU HUBUNGAN INDONESIA-SINGAPURA
Tantowi Yahya 7
PILIHAN PROGRESIF PRESIDEN JOKOWI
Marwan Mas 11
LAGI, PENYANDERAAN DI FILIPINA
Dinna Wisnu 14
TEMAN AHOK & ILUSI KEBANGKITAN MASYARAKAT SIPIL
Hurriyah 18
GAGAL PAHAM PEMBATALAN PERDA
Ahmad Yani 21
MENGHADAPI ANCAMAN SI TRIO
Moh Mahfud MD 25
DERADIKALISASI VS BRUTALITAS PELAKU TEROR
Bambang Soesatyo 28
MENANTI KAPOLRI
Amzulian Rifai 31
GRATIFIKASI DAN SUAP
Romli Atmasasmita 35
MENAGIH JANJI JENDERAL TITO
M Nasir Djamil 38
TITO, POLRI, DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
Vishnu Juwono 41
BERAGAMA ADALAH BERNEGARA
Moh Mahfud MD 44
KUDETA DAN PUBLIK
Muradi 47
ANDAI RESHUFFLE, SEPAKBOLA
M Alfan Alfian 50
TURKI PASKA-KUDETA
2. 2
Dinna Wisnu 53
MENGEMBALIKAN POLRI KEPADA FITRAHNYA
Tjatur Sapto Edy 57
TEWASNYA SANTOSO: AKHIR PERBURUAN TERORIS?
Frega Wenas Inkiriwang 60
TEROR NICE DAN TEWASNYA SANTOSO
Amidhan Shaberah 63
G30S PKI BUKAN PELANGGARAN HAM BERAT, TAPI MAKAR
Romli Atmasasmita 66
JANGAN MATIKAN HUKUMAN MATI
M Nasir Djamil 70
ASEAN DAN KONSENSUS
Dinna Wisnu 73
MENCARI MENTERI BISA BEKERJA
Benny Susetyo 76
RESHUFFLE JILID 2: UNJUK KEKUATAN JOKOWI?
Hurriyah 79
KABINET KOMPROMI JOKOWI
Gun Gun Heryanto 82
RESHUFFLE DALAM BAYANG-BAYANG OLIGARKI
Firman Noor 85
AKANKAH JEPANG KEMBALI KE JALAN SAMURAI?
Agus Trihartono 88
PPI MENYOAL KEDAULATAN
Moh Mahfud MD 91
PROPORSIONAL DAFTAR TERTUTUP VS TERBUKA
Janedjri M Gaffar 94
JANGAN PAKSA TNI TANGANI PIDANA TERORISME
Bambang Soesatyo 97
POLEMIK MENUNDA EKSEKUSI MATI
Marwan Mas 100
MORAL & POLITIK
Dinna Wisnu 103
3. 3
KEMANUSIAAN DI ATAS HUKUM
Sudjito 106
POLRI, FREDDY, DAN HARIS
Ahmad Riza Patria 109
PILKADA DAN PENCERDASAN PUBLIK
Iding Rosyidin 113
HARUSKAH PARPOL DISUBSIDI NEGARA?
Arya Fernandes 116
TENTANG KUDETA DI ZAMAN KITA
M Alfan Alfian 119
HARIS AZHAR DAN DAVID GALE
Moh Mahfud MD 122
HUBUNGAN SETNOV-JOKOWI YANG DIPAKSAKAN
Tjipta Lesmana 124
SEPARUH JALAN PINDAD
Susaningtyas Nefo Kertopati 128
NARKOBA DAN KORUPSI
Dinna Wisnu 132
PEMBEBASAN WNI SANDERA ABU SAYYAF
Bagong Suyanto 135
URGENSI PERDA STANDAR KOMPETENSI
Dewi Aryani 138
CUTI PILKADA DAN HUKUMAN KORUPTOR
Moh Mahfud MD 141
AHOK MENANTANG, PDIP MENAKAR
Prijanto 144
PROKLAMASI DAN KONSTITUSI
Sudjito 150
SPIRIT KEMERDEKAAN, PANCASILA, DAN UUD 1945
Hendardji Soepandji 153
PARADOKS HAK TERPIDANA MATI DAN KHUSUS
Romli Atmasasmita 157
REMISI DAN ALASAN TAK MASUK AKAL
Bambang Soesatyo 160
4. 4
Kasus Hak Tanah Sumber Waras
23-06-2016
Proses pengadaan tanah oleh Pemda DKI melalui transaksi pelepasan hak atas tanah Yayasan
Kesehatan Sumber Waras (YKSW) kepada Pemda DKI dengan pemberian ganti kerugian
sebesar Rp755.689.550.000,00.
Penggantian itu berdasarkan perhitungan nilai jual objek pajak (NJOP) di lokasi alamat Kyai
Tapa sebesar Rp20.755.000,00/m2 dengan luas tanah 36.410 m2. Transaksi terjadi di hadapan
notaris Tri Firdaus Akbarsyah SH (Akta Notaris Nomor 37 tanggal 17 Desember 2014).
Akta notaris tersebut ditandatangani oleh pihak Pemda DKI diwakili Kepada Dinas
Kesehatan Pemda DKI, dan pihak YKSW diwakili oleh pengurusnya. Di dalam akta notaris
tersebut disetujui klausul-klausul antara lain semua gugatan perdata atau tuntutan pidana
merupakan tanggung jawab pihak Pemda DKI.
Di dalam proses transaksi pelepasan hak atas tanah YKSW ketika itu (2014), terdapat fakta
bahwa status tanah tersebut ketika terjadi transaksi pelepasan hak, tidak dalam keadaan
”clean and clear”. Yaitu, pertama, status tanah RS Sumber Waras belum jelas hak
kepemilikannya. Selain itu, tanah juga sedang dalam proses gugatan perdata antara pengurus
YKSW, Kartini Mulyadi dkk., dan anggota pengurus lain I Wayan Suparmin (IWS).
Kedua, YKSW masih menunggak pajak bumi dan bangunan (PBB) selama kurang-lebih
delapan tahun senilai Rp10.603.718.309,00 (sepuluh miliar enam ratus tiga juta tujuh ratus
delapan belas ribu tiga ratus sembilan rupiah). Total tunggakan terdiri atas PBB terutang dan
denda administrasi sesuai basis data SIM PBB-P2 Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI
Jakarta sehingga pihak YKSW termasuk wajib pajak (WP) yang tidak patuh.
Penetapan nilai tanah hak guna bangunan (HGB) YKSW ditetapkan berdasarkan
NJOP. Sedangkan baik Undang-Undang (UU) Nomor 2/2012 dan perpres pelaksanaannya
hanya dapat dilakukan oleh tim penilai (appraisal). Adapun peraturan menteri keuangan
terkait pengadaan tanah hanya mengatur tentang dana operasional dan pendukung.
Dispute mengenai letak tanah seharusnya tidak hanya membaca sertifikat Badan Pertanahan
Nasional (BPN), melainkan juga perlu dilihat lokasinya secara riil untuk mengetahui kondisi
nyata. Aspek hukum pidana tidak hanya menemukan kebenaran formal berdasarkan
dokumen/surat, melainkan juga kebenaran materiil dari suatu peristiwa dengan mengetahui
secara faktual dan motivasi dari suatu perbuatan terkait kasus ini adalah kebijakan Pemda
DKI.
5. 5
***
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga independen dan bagian dari sistem
peradilan pidana sesuai dengan UU Badan Pemeriksa Keuangan dan UU KPK seharusnya
tetap berpegang pada hasil audit BPK, sekalipun ada perbedaan penilaian mengenai kerugian
negara.
KPK harus menghormati antarsesama lembaga, apalagi hasil audit investigasi BPK adalah
atas permintaan BPK. Dan, BPK berdasarkan UUD dan UU BPK merupakan lembaga auditor
negara yang diakui, serta pelanggaran atas rekomendasi BPK RI merupakan tindak pidana
dan dapat diancam pidana.
BPK RI telah menyerahkan hasil audit investigasi pada 7 Desember 2015 dengan kesimpulan
telah terjadi kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya sebesar Rp173.129.550.000,00
(seratus tujuh puluh tiga miliar seratus dua puluh sembilan juta lima ratus lima puluh ribu
rupiah).
Persoalan kekeliruan hasil penghitungan bukanlah kewenangan pihak siapa pun, termasuk
KPK, untuk memberikan penilaian. Masing-masing lembaga telah diatur kewenangannya
dalam undang-undang sendiri, serta tugas dan wewenang KPK berdasarkan UU KPK Nomor
30/2002 tidak termasuk memberikan penilaian ada-tidak ada kerugian negara.
Pernyataan KPK yang menyatakan secara terbuka di dalam rapat dengar pendapat dengan
Komisi III DPR RI bahwa dalam kasus YKSW tidak terdapat unsur perbuatan melawan
hukum terlalu dini dan terdapat kekeliruan tafsir mengenai ketentuan Pasal 121 di dalam
perubahan Perpres 40/2014. Yang pada intinya, pertama, perubahan luas lahan dan terkait
hubungan transaksional langsung dengan pemegang hak atas tanah, diperkuat oleh Pasal 53
PerKa BPN Nomor 5/2012 yang telah diubah dengan PerKa BPN Nomor 6/2015 tentang
petunjuk teknis pelaksanaan pengadaan tanah.
Peraturan Kepala (PerKa) BPN yang sesungguhnya merupakan salah satu saja dari seluruh
tahapan penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, di samping tahap
perencanaan, tahap persiapan, dan tahap penyerahan hasil (Pasal 13 UU Nomor 2/2012).
***
Kekeliruan tafsir hukum dan ketidaktelitian Pemda DKI atas ketentuan pasal tersebut yang
mengakibatkan seluruh prosedur tahapan dalam UU a quo dianggap tidak perlu diikuti
sepenuhnya. Pertanyaannya, jika demikian tafsir hukum tersebut, bagaimana suatu Perpres
dan PerKa BPN dapat menegasikan seluruh ketentuan UU dengan dalih apa pun? Bahkan,
jika benar demikian, Perpres dan PerKa BPN batal demi hukum (van rechtnieteg).
Bukti-bukti temuan BPK RI menunjukkan bahwa seluruh tahapan pengadaan tanah terkait
transaksi pelepasan hak atas tanah HBG YKSW tertanggal 17 Desember 2014 tidak didahului
6. 6
dengan dokumen pendukung dan pembentukan satuan kerja. Namun, kemudian seluruh
dokumen terkait telah dilengkapi Pemda DKI dengan pembubuhan tanggal mundur (back-
date) hasil audit investigasi BPK RI terdapat tujuh penyimpangan.
Pola pembubuhan tanggal mundur pada dokumen pendukung juga di dalam Peraturan
Gubernur DKI mengenai penetapan NJOP tertanggal 27 Desember 2013. Tetapi,
pembubuhan paraf pada peraturan gubernur DKI tersebut terjadi pada 21 Januari 2014
merupakan perbuatan melawan hukum, bahkan merupakan perbuatan dengan sengaja (dolus)
bukan semata-mata kekeliruan atau kelalaian (culpa).
Terkait kasus pelepasan hak atas tanah atas nama pengurus YKSW, tidaklah relevan
menghubungkannya dengan pengertian lex posteriori derogat lege priori, lex specialis
derogat lege generali, atau pun perihal ”in dubio pro reo”.
Pengertian hukum yang pertama suatu kemustahilan bahwa Perpres Nomor 40/2014
merupakan lex specialis terhadap ketentuan yang sama (Pasal 121) di dalam Perpres Nomor
71/2012 karena sifatnya hanya perubahan demi kepastian hukum yang telah disesuaikan
dengan perkembangan kebutuhan pengadaan tanah di bawah 5 ha.
Pengertian kedua adalah mustahil jika peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang dapat menegasikan berlakunya suatu undang-undang. Dan, pengertian hukum ketiga
terkait kasus YKSW, tidak ada keragu-raguan mengenai tafsir hukum atas perpres perubahan
dimaksud (2014) dan PerKa BPN (2015). Secara hierarkis dan rumusan ketentuan tersebut
telah memenuhi asas lex certa.
Yang tidak kalah pentingnya dari kasus transaksi pelepasan hak atas tanah YKSW dan Pemda
DKI adalah, jika temuan dan rekomendasi BPK RI tidak ditindaklanjuti oleh Pemda DKI dan
KPK, tetap bersikukuh pada pendirian bahwa tidak ada unsur melawan hukum dalam
kebijakan Pemda DKI, maka, terhentinya kasus ini pada tahap penyelidikan merupakan
preseden buruk dalam tata kelola negara berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang
baik dan dibenarkan. Selain itu, diikuti oleh pejabat daerah provinsi, kotamadya, dan
kabupaten di seluruh Indonesia dalam transaksi pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum. Quo vadis KPK?
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
7. 7
Arah Baru Hubungan Indonesia-Singapura
23-06-2016
Benci, tapi rindu. Mungkin terma tersebut bisa menggambarkan dinamika hubungan
Indonesia dengan salah satu negara tetangga terdekat, Singapura.
Paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir muncul sejumlah riak (dinamika) diplomasi yang
mewarnai hubungan dua negara. Di antaranya ”serangan” asap akibat kebakaran hutan di
Indonesia yang kerap berulang dan melumpuhkan perekonomian Singapura. Lalu, penolakan
proposal Kesepakatan Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement) atau yang
biasa disebut DCA oleh Indonesia yang dianggap kurang memberikan manfaat yang setara.
Isu lain tentang stereotip Singapura di kalangan masyarakat Indonesia, di mana Negeri Singa
tersebut kerap dianggap sebagai bungker koruptor Indonesia. Belum lagi isu reklamasi pantai
Singapura yang dianggap merusak keseimbangan ekosistem di Kepulauan Natuna dan
sekitarnya. Dan, yang terakhir dan selalu menjadi ganjalan tentang sejarah Usman-Harun
yang dilihat berbeda oleh rakyat di dua negara.
Semua isu di atas selalu muncul dan menjadi topik hangat dalam tiap diskusi tentang
Indonesia-Singapura. Seperti yang penulis alami bulan lalu saat memberikan insight
mengenai hubungan Indonesia-Singapura kepada civil servant Singapura di Kedutaan
Singapura di Jakarta.
Dalam kesempatan tersebut, peserta juga menyinggung tentang DCA dan Usman-Harun. Itu
artinya bahwa perlu ada upaya yang serius dari pemimpin dua negara untuk lebih
meningkatkan lagi dialog dan kerja sama sehingga peluang kesalahpahaman di masa depan
bisa diminimalisasi.
Menariknya, di luar jalur diplomasi formal, bagi rakyat Singapura dan Indonesia, hubungan
baik dua jiran sangatlah penting, seiring ada fakta bahwa ketergantungan masyarakat di dua
negara, khususnya kelas menengahnya. Kota Singapura bagi kelas menengah Jakarta dan
kota-kota besar di Indonesia ibarat destinasi rutin yang entah kenapa sulit tergantikan—
misalnya dengan Kuala Lumpur atau Bangkok.
Meskipun predikat sebagai surga belanja kini tak lagi melekat bagi Singapura—dan
maraknya mal-mal di Jakarta yang melebihi Singapura, tetap saja minat warga Indonesia
untuk melancong ke Negeri Singa tersebut tetap tinggi. Tercatat selama 2015 tak kurang dari
2,7 juta kelas menengah Indonesia menghabiskan akhir pekannya di Singapura.
Menutup Luka Lama
8. 8
Sebaliknya bagi warga Singapura, Indonesia merupakan destinasi terdekat yang atraktif dan
menawarkan sesuatu yang berbeda dengan Kota Singapura yang sempit. Keindahan Bali yang
sudah mendunia tetap menjadi tujuan utama pelancong Singapura, selain Batam, Jakarta, dan
kota lain. Pada 2015 BKPM mencatat Singapura sebagai investor terbesar Indonesia dengan
nilai investasi sebesar USD5,9 miliar, melewati Malaysia (USD3,1 miliar), Jepang (USD2,9
miliar), Belanda (USD1,3 miliar), dan Korea Selatan (USD1,2 miliar).
Untuk meningkatkan kerja sama dan menjaga stabilitas di masa depan, dua negara harus
melakukan transformasi khususnya dalam pemaknaan sejarah. Terutama pada isu Usman-
Harun yang sensitif di telinga warga Singapura maupun Indonesia. Tak jarang setiap
ketegangan hubungan dua negara, isu Usman-Harun kerap diungkit kembali.
Usman dan Harun merupakan prajurit TNI AL Indonesia yang dituduh melakukan
pengeboman di Orchard Road, 1965, bertepatan politik konfrontasi Indonesia-
Malaysia. Setelah insiden tersebut, di masa-masa awal pemerintahannya, Presiden Soeharto
secara terbuka meminta kepada PM Lee Kuan Yew untuk memberikan keringanan hukuman
kepada dua prajurit tersebut. Namun, ternyata permintaan Indonesia ditolak dan Usman-
Harun dieksekusi pada 17 Oktober 1968.
Merespons langkah Singapura yang dianggap berlebihan kala itu, Jakarta ”membekukan”
hubungan dengan Singapura. Secara simbolik kedatangan jenazah Usman dan Harun ke
Tanah Air disambut besar-besaran.
Beberapa tahun setelah momen tersebut, Lee merasa harus memperbaiki hubungan dengan
Jakarta. Ia mengambil langkah yang cukup kontroversial guna meredakan hubungan
Singapura-Indonesia. Pada 1973 PM Lee melakukan kunjungan kenegaraan. Mendengar
keinginan Lee, Presiden Soeharto mengajukan syarat agar pemimpin Singapura itu
melakukan tabur bunga di makam Usman-Harun sebagai bentuk simpati. Secara
mengejutkan, Lee menyetujui syarat tersebut.
Apa yang dicontohkan Lee dan Soeharto merupakan simbol bagaimana dua negara—
meskipun mempunyai ganjalan sejarah—mampu mendahulukan kepentingan nasional
masing-masing dalam mengatasi tantangan yang makin kompleks. Setiap momen dalam
sejarah hendaknya menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya untuk mengambil manfaat dan
membumikan nilai-nilai kebangsaan di tengah perubahan zaman yang terus berjalan.
Kini Indonesia-Singapura memiliki tantangan untuk meningkatkan hubungan bagi
kepentingan dua bangsa. Salah satu tantangan yang masih mengganjal—sebagaimana penulis
singgung di atas—tak lain mengenai DCA dan perjanjian ekstradisi.
Bagi Indonesia, ekstradisi sangat mendesak karena kita membutuhkan banyak dana yang
parkir di luar negeri (termasuk Singapura) untuk membiayai pembangunan di banyak daerah,
khususnya infrastruktur. Namun, Singapura mengindikasikan akan menyetujui perjanjian
9. 9
ekstradisi bila Indonesia juga meloloskan DCA. Ini tentu bukan langkah yang bijak karena
menyatukan dua perjanjian yang berbeda rezim sangat sulit untuk dicapai kesepakatan.
Berpikir Out of The Box
Perjanjian Kerja Sama Pertahanan Indonesia dan Singapura yang ditandatangani pada 6 Mei
2007 di Bali memuat banyak pasal yang di samping mengganggu kedaulatan kita di darat,
laut, dan udara juga dapat merusak lingkungan, ekosistem di laut, serta mengancam
keamanan para nelayan kita.
Beberapa poin krusial dari perjanjian tersebut yang tidak mungkin untuk diratifikasi DPR RI
antara lain pasal di mana Angkatan Udara Singapura diizinkan untuk melakukan test flight di
area Alpha-1 dan latihan militer di Alpha-2 yakni di perairan sekitar Selat Malaka. Lalu, ada
lagi pasal yang menyatakan Angkatan Laut Singapura dengan dukungan AU bisa melakukan
latihan menembak peluru kendali sampai empat kali dalam setahun di area Bravo.
Bagi Indonesia, secara geopolitik area Alpha 1, Alpha 2, dan Bravo merupakan checkpoint
zone di wilayah Barat NKRI. Ini zona strategis yang tidak mungkin ada pembagian kontrol
dengan negara lain karena menyalahi prinsip kedaulatan negara.
Kedua, ada klausul latihan mandiri bagi militer Singapura dan pelibatan negara ketiga yang
ditentukan Singapura juga tidak mungkin disetujui oleh Indonesia karena secara psikologi
politik tidak tepat dan sulit diterima. Apalagi bila negara ketiga ikut serta dalam latihan di
darat. Sebagai negara yang meraih kemerdekaannya melalui revolusi fisik, memori kolektif
masyarakat Indonesia cenderung menolak kehadiran tentara asing dalam jumlah besar di
wilayah daratnya.
Ketiga, dalam dokumentasi rapat Komisi I DPR mulai 2006 hingga 2015 dengan mitra
kerjanya seperti menteri pertahanan, panglima TNI, dan menteri luar negeri, tidak ada
perubahan sikap dari parlemen terhadap DCA. Walaupun dibahas di tiga periode parlemen
(2004-2009, 2009-2014, dan 2014-sekarang), sikap DPR tetap sama, menolak substansi DCA
yang dianggap tidak menguntungkan Indonesia. Dengan kata lain, ke depan sulit untuk
menggambarkan DCA akan disetujui dengan konsep seperti yang ada hari ini.
Untuk keluar dari lingkaran yang tidak berujung ini, penulis menyarankan agar pemimpin di
dua negara berpikir melampaui ihwal teknis dan pragmatis semata. Apa yang dicontohkan
PM Lee Kuan Yew dan Presiden Soeharto di masa lalu bisa menjadi best practices bagi
pemimpin saat ini untuk berpikir out of the box.
Indonesia dan Singapura adalah dua negara bertetangga yang memiliki saling ketergantungan
dalam banyak bidang. Tidaklah nyaman apabila kedekatan ini terganggu oleh beberapa
pending matters yang sesungguhnya bisa dicarikan solusi dengan pemikiran out of the box.
Perihal kerja sama militer, harus diakui bahwa tanpa DCA pun militer Singapura kerap
10. 10
berlatih dengan TNI di wilayah Indonesia. Karena sebenarnya Perjanjian Kerja Sama
Pertahanan antara dua negara sudah lama terjalin, meliputi kegiatan latihan bersama,
pendidikan, pertukaran perwira, serta visit program. Kerja sama tersebut diselenggarakan di
bawah organisasi Annual Meeting antara panglima angkatan bersenjata dua negara. Pola
semacam ini bisa dilanjutkan di masa depan.
Lalu, mengenai ekstradisi, Singapura harus melihat hal ini secara utuh dan tidak
menggabungkannya dalam satu paket dengan DCA karena jelas keduanya tidak berada pada
rezim yang sama. Dengan membahasnya secara mandiri, itu bisa diartikan bahwa Singapura
juga melihat gerakan antikorupsi global sebagai sesuatu yang penting.
TANTOWI YAHYA
Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKASP) dan Anggota Komisi 1 DPR RI
11. 11
Pilihan Progresif Presiden Jokowi
24-06-2016
Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Tito Karnavian dengan mulus dapat melewati uji
kepatutan dan kelayakan oleh Komisi III DPR RI. Tito yang saat ini menjabat kepala Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) akan dilantik menjadi kepala Kepolisian
Republik Indonesia (Kapolri), menggantikan Jenderal Polisi Badrodin Haiti yang akan
memasuki masa pensiun.
Pilihan Presiden merupakan pilihan progresif, yang saya kira sangat terkait pada dua aspek
yang menyertainya. Pertama, Tito adalah perwira tinggi termuda berpangkat komjen polisi
yang diyakini Presiden akan mampu merangkul perwira tinggi senior untuk melaksanakan
amanah rakyat Indonesia. Tito punya prestasi yang membanggakan di kepolisian sehingga
akan diterima dengan baik oleh perwira tinggi senior lainnya.
Kedua, dalam tubuh Polri setelah melampaui tahap kedua reformasi sampai tahun 2014
dengan sasaran ”membangun kerja sama yang erat (partnership building) dengan berbagai
komponen masyarakat”, selalu mengedepankan kualitas profesionalisme sekaligus
kompetensi dalam menduduki jabatan. Apalagi, Presiden Jokowi meminta agar Tito
melakukan reformasi Polri secara komprehensif dan meningkatkan kualitas pemberantasan
narkotika, terorisme, dan korupsi. Dua fokus yang diamanatkan itu tentu sudah dipikirkan
matang oleh presiden.
Tito adalah jenderal polisi yang ”intelektual”, sekaligus perwira tinggi yang sudah matang
dalam tugas-tugas di lapangan. Perpaduan intelektual dan kemampuan menguasai tugas Polri
saat berhadapan dengan masyarakat, setidaknya akan mengantarkan reformasi Polri kepada
sasarannya. Tentu saja dengan melanjutkan reformasi yang dilakukan kapolri sebelumnya.
Pemberantasan terhadap tiga kejahatan luar biasa itu, bukan barang baru bagi Tito.
Reformasi Total
Perpaduan yang nyaris lengkap itu, tentu harus tetap diawasi. Sebab tidak ada manusia yang
tidak punya kelemahan dan kesalahan. Maka itu, mereformasi Polri secara total harus dimulai
dari internal barulah melangkah ke luar.
Memperbaiki institusi penegak hukum berbaju cokelat itu bukan persoalan gampang di
tengah tuntutan besar masyarakat, sebab kepentingan untuk menciptakan rasa aman bagi
masyarakat dan penegakan hukum yang profesional tidak semudah membalikkan telapak
tangan.
12. 12
Reformasi Polri tahap kedua harus menjadi acuan untuk melangkah ke arah pelaksanaan
tugas yang penuh dengan tantangan baru. Saat reformasi tahap pertama 2005-2010, Polri
telah membangun trust building, yaitu membangun kepercayaan publik terhadap Polri dalam
melaksanakan tugas, wewenang, dan fungsinya sebagai aparat negara yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).
Saat ini Polri melangkah pada reformasi tahap ketiga 2016-2025, yaitu sebagai strive for
exellence. Di sini polisi akan berupaya atau setidaknya membangun ”pelayanan publik yang
unggul dan terbaik” sekaligus dipercaya publik. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi Kapolri
baru tentang bagaimana membangun pelayanan terbaik bagi masyarakat.
Layak diakui, hasil reformasi tahap kedua belum sepenuhnya dirasakan masyarakat. Salah
satu penyebabnya karena personel Polri kurang mampu menggalang keterlibatan luas
stakeholder masyarakat.
Sebetulnya amat sederhana harapan masyarakat terhadap polisi. Mereka berharap agar polisi
menjadi sosok yang merakyat dan dapat dipercaya dalam mengemban tugas dan
kewenangannya. Kehadirannya tidak menimbulkan kegelisahan lantaran mampu memberikan
pelayanan terbaik. Tidak ada tindakan yang menonjolkan kekerasan tanpa dilandasi hukum,
penegakan hukum selalu terukur, dan tidak menyakiti hati rakyat. Kapolri baru juga harus
memperbaiki citra Polri dari tudingan ”setoran terhadap atasan” berkaitan dengan
penempatan personil Polri pada jabatan tertentu.
Peran penting bagi kapolri baru adalah mendesain ”polisi sipil” yang merakyat dengan
mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan golongan, apalagi kepentingan
kekuasaan. Polisi sipil modern harus dekat dengan rakyat sebagai bagian dari upaya
memotivasi mereka membantu tugas-tugas Polri. Caranya, memberikan ruang, kesempatan,
dan tantangan untuk mewujudkan rasa aman sebagai bagian dari membangun civil society.
Kekuasaan Menegakkan Hukum
Sinergi Polri dan masyarakat yang sampai kini masih dipandang berada di atas awang-awang,
bukan tidak mungkin reformasi Polri berjalan tertatih-tatih. Betapa tidak, keterlibatan aktif
anggota Polri saat penggusuran warga miskin di Jakarta yang dilakukan pemerintah daerah
dan saat itu Komjen Tito sebagai kapolda DKI Jakarta, membuat mereka yang tergusur dari
tempat tinggalnya merasa dizalimi.
Jikapun polisi hadir mengamankan kebijakan pemerintah daerah sebagai bagian dari
penegakan hukum, tidak berarti mengabaikan hak-hak rakyat untuk hidup sejahtera dan
bertempat tinggal di bumi Indonesia, yang dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Membangun hubungan yang baik antara masyarakat dengan Polri, tidak bisa hanya berdasar
pada tataran normatif. Apalagi masyarakat begitu merindukan sosok polisi yang bisa
dibanggakan karena jujur, bersih, profesional, dan berwibawa. Apabila ada kasus yang
13. 13
meresahkan masyarakat berhasil dibongkar polisi, dipastikan akan mendapat sambutan dan
respek luar biasa.
Kita tidak ingin pelaksanaan kekuasaan besar yang dipunyai Polri membuat hubungannya
dengan masyarakat menjadi renggang. Harus selalu diyakini, bahwa Polri dan masyarakat
adalah dua entitas yang tidak mungkin dipisahkan. Keduanya saling membutuhkan, polisi
hadir karena dibutuhkan oleh masyarakat. Sebaliknya, tugas-tugas polisi tidak akan mungkin
berhasil dengan baik tanpa partisipasi masyarakat. Maka itu, warga masyarakat selalu
berharap agar kekuasaan besar polisi dalam menegakkan hukum senantiasa didasarkan pada
aturan hukum yang menyertainya.
Kekuasaan yang besar sangat berpotensi diselewengkan dalam melakukan penegakan hukum.
Ini salah satu aspek yang perlu menjadi perhatian serius kapolri baru ke depan. Apalagi kalau
tindakan itu semata-mata dibalut dengan kepentingan penertiban dan penegakan hukum,
tetapi ujung-ujungnya membuat masyarakat gerah lantaran tidak proporsional.
Untuk lebih mendekatkan polisi dengan masyarakat, kiranya reformasi Polri tidak boleh
mengabaikan kebutuhan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan. Persoalan itu selalu menjadi
jualan setiap pergantian Kapolri, tetapi realitasnya belum berjalan maksimal karena warga
masyarakat masih sering melihat anggota Polri sebagai sosok yang menyusahkan. Antara
lain, warga masyarakat selalu merasa dicari-cari kesalahannya dengan mengabaikan
pendekatan persuasif.
Saatnya menggelorakan bahwa Polri adalah sahabat dan mitra bagi masyarakat. Bukan sosok
yang selalu dihindari dan dicurigai, sehingga menjadi saksi pun dalam suatu kasus hukum
dihindari. Jika ini mampu diemban Tito, saya yakin sosok anggota Polri ke depan akan
memiliki tampilan baru yang lebih progresif. Polri yang profesional, berintegritas, tegas, dan
bersahabat dengan rakyat.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar
14. 14
Lagi, Penyanderaan di Filipina
29-06-2016
Sebulan berlalu sejak 10 awak kapal Indonesia yang disandera di perairan Filipina Selatan
dilepaskan, kemudian 4 orang lagi yang akhirnya dibebaskan dan kali ini ada 7 orang lagi
disandera di wilayah itu.
Semua kapal-kapal itu dalam tugas berlayar mengantar batu bara dari Kalimantan ke Filipina.
Dalam semua kejadian disinyalir keterlibatan grup Abu Sayyaf, di mana mereka meminta
uang tebusan dalam jumlah yang signifikan dan selalu mengancam untuk membunuh
tawanan dengan keji.
Kejadian-kejadian penyanderaan ini lumayan membuat geram Pemerintah
Indonesia. Beragam upaya sudah dilakukan, baik yang bisa diungkap ke publik maupun yang
tidak. Tetapi intinya Indonesia juga memilih menuntut haknya untuk mendapatkan jaminan
keamanan atas warga negaranya yang masuk ke wilayah otoritas Filipina.
Menyusul penyanderaan 14 orang pertama, pimpinan militer, intelijen, dan sipil Indonesia
berjumpa dengan otoritas Filipina. Di situ dieksplorasi opsi-opsi penanganannya. Terkait
keamanan jalur laut, Indonesia sepakat untuk bersama-sama Malaysia dan Filipina
melakukan patroli bersama di jalur yang biasa dilalui kapal-kapal Indonesia dan Malaysia.
Level menteri pertahanan sudah berupaya membuka dan mengikat kerja sama di situ, tetapi
karena terjadi perubahan kepemimpinan dan konstelasi politik di Filipina, sejumlah hal
terhenti. Walhasil, upaya pemerintah Indonesia perlu kita cermati dalam konteks situasi lokal
di Filipina.
Besok, 30 Juni 2016 pukul 12.00 waktu setempat, presiden terpilih Rodrigo Duterte akan
dilantik di Istana Malacanang Filipina. Beliau sudah berpesan agar pelantikannya sederhana
karena demikianlah yang diharapkannya diingat warga negara Filipina. Sebagai individu,
gaya kepemimpinan Duterte memang lain dari biasanya di Filipina.
Dia tidak datang dari wilayah utara Filipina, tetapi dari wilayah selatan, dari kawasan
Mindanao. Duterte adalah mantan wali kota Davao, kota di Filipina Selatan yang terkenal
sebagai pusat perdagangan dan penghubung ke pulau-pulau lain di kawasan itu, termasuk ke
bagian tengah dan timur Indonesia. Meskipun wewenang Duterte lebih di perkotaan, daerah
kekuasaannya masuk dalam Provinsi Davao. Davao termasuk bagian dari kawasan selatan
Mindanao dan sejak 2001 kawasan Mindanao Selatan ini disebut Davao Region.
Davao adalah kota terbesar nomor 3 di Filipina setelah Cebu dan Manila dengan penduduk
sekitar 1,6 juta jiwa. Davao dikenal sebagai pusat durian di Filipina. Sebagai provinsi, Davao
15. 15
dikenal relatif aman, kecuali jika pergi sekitar 700 km ke arah pulau-pulau yang mendekati
Kalimantan dan Malaysia. Karena di kawasan itu dikenal ada jaringan kelompok bersenjata
yang tidak segan merompak dan membunuh.
Masalah perompakan ini menjadi tantangan bagi Presiden Duterte. Selain karena ia berasal
dari kawasan itu, dan sudah rahasia umum bahwa ia juga mengenal para pelaku politik dari
kawasan Mindanao, dampak dari masalah ini tidak lagi sebatas problem Davao atau Filipina
Selatan, tetapi juga kepada Filipina secara keseluruhan dan negara-negara tetangga
khususnya ASEAN. Yang paling meresahkan adalah karena kegiatan penyanderaan seperti
kejadian rutin, yang kabarnya meningkat saat Ramadan. Dan hampir dipastikan para penculik
meminta tebusan uang dan permintaan jumlah tebusannya makin hari semakin besar.
***
Dalam beberapa kasus penculikan yang lalu, khususnya terhadap warga negara Indonesia
dalam satu tahun terakhir ini, sudah ada pembicaraan antarpihak berwenang di Indonesia dan
Filipina baik yang terbuka untuk umum maupun yang sifatnya rahasia. Bagaimana pun
bentuknya, dari tiga negara yang wilayahnya berdampingan dengan lokasi penculikan,
Malaysia, Indonesia, dan Filipina, sudah memiliki kesepakatan. Mereka sepakat menjaga agar
laut yang menjadi jalur transportasi batu bara dan pencarian ikan dari Indonesia dan Malaysia
ke Filipina bisa senantiasa dijaga dan dijamin keselamatannya.
Per 20 Juni 2016 sudah ada kesepakatan di tingkat menteri pertahanan ketiga negara untuk
mencari jalur aman, termasuk antara lain menjaga koridor transit di wilayah yang rawan.
Tetapi implementasinya terbukti tidak sederhana. Di sisi Filipina, para pelaku penculikan
memiliki keterkaitan dengan problem sosial di dalam negeri, khususnya dengan kelompok
militan Abu Sayyaf.
Kelompok Abu Sayyaf ini punya sejarah panjang dengan gerakan yang menginginkan
kemerdekaan di Filipina Selatan, tetapi kemudian terpecah-pecah dan berkembang makin
radikal. Radikalisasi ini subur karena bebasnya peredaran senjata di kawasan itu. Juga karena
dari tahun ke tahun daerah tempat orang-orang ini tinggal memang sangat terisolasi dari
pembangunan.
Secara sosial, kelompok militan ini tidaklah satu kelompok. Mereka terpecah-pecah menjadi
faksi-faksi kecil yang saling berkompetisi dan mencari penghidupan dengan cara apa pun,
termasuk dengan cara merompak dan membunuh. Artinya tidak semua faksi mengandalkan
keinginan untuk membentuk negara Islam merdeka lagi seperti dulu ketika pecah dari
kelompok revolusioner Moro.
Melihat pola tersebut, Indonesia memang perlu lebih cerdik mengatasi masalah keamanan
wilayah. Pertama, kelompok bisnis Indonesia yang biasa mengantar barang dari Indonesia ke
Filipina perlu memahami juga batasan dan keterbatasan hal yang bisa dinegosiasikan dengan
otoritas Filipina.
16. 16
Menengok tingkat kemiskinan dan kompleksitas penanganan kekerasan dari grup-grup
radikal yang saling berkompetisi tentu tidak mudah. Artinya perlu ada alternatif solusi juga
jika di tataran politik ada yang terhenti atau tidak berjalan secepat yang diharapkan oleh para
pengusaha.
Kedua, masalah ini perlu diangkat juga ke level kerja sama ASEAN khususnya di bagian
penanganan kejahatan transnasional dan kontraterorisme. Di ASEAN sudah ada mekanisme
pertemuan tingkat tinggi untuk masalah-masalah kejahatan transnasional (disebut sebagai
SOMTC) dan juga Kerja Sama Kontraterorisme (melalui ACCT). SOMTC di Indonesia
dikoordinasi oleh Polri dan ACCT dikoordinasi oleh Kementerian Luar Negeri. Dalam
tataran praktis, kedua model kerja sama ini membutuhkan dukungan dari kelembagaan yang
teknis dan juga kalangan bisnis serta masyarakat sipil.
Sayangnya, mekanisme melalui ASEAN hampir bisa dipastikan berjalan perlahan karena
negara yang dilibatkan ada 10 dan dibutuhkan konsensus. Namun mengingat bahwa kerja
sama trilateral Indonesia-Malaysia-Filipina pun berjalan lambat, maka artinya memang
dibutuhkan ”pendorong” ekstra untuk menciptakan solusi permanen.
Permintaan moratorium pengiriman batu bara dari Indonesia ke Filipina seperti disampaikan
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi adalah contoh bahwa opsi solusi tidaklah semudah
membalikkan tangan. Filipina bahkan belum menjawab permintaan Indonesia tersebut karena
ada pergantian presiden.
Solusi sosial juga dibutuhkan, mengingat bahwa Indonesia pun memiliki pengalaman yang
mirip tentang betapa sulitnya merengkuh kelompok masyarakat di perbatasan yang terlibat
aksi kejahatan transnasional karena kurangnya opsi mencari nafkah di wilayah tempatnya
tinggal. Pengalaman dari masyarakat sipil patut didengar.
Di tingkat politik dalam negeri, kita masih harus menunggu aksi dari Presiden Duterte untuk
Filipina Selatan. Presiden Duterte juga tengah memikirkan untuk melakukan dialog dengan
para pemberontak yang sampai saat ini masih terus mengonsolidasikan kekuatannya di
hutan.
Namun menjadi kesulitan tersendiri untuk Presiden Duterte, karena kebanyakan para milisi
bersenjata yang berlandaskan keagamaan atau pun politik lokal memiliki motivasi yang lebih
terkait dengan aksi kriminalitas ketimbang ideologis. Hal ini yang bisa menjelaskan mengapa
pemberontakan Moro bisa diselesaikan dengan cara-cara damai karena gerakan Moro
berlandaskan ideologis tertentu yang masih dapat diajak dialog dan dicari titik tengahnya
untuk bisa dilanjutkan dengan kompromi atau konsensi tertentu. Kesabaran dan kegigihan
kita dalam mencari solusi tengah diuji.
17. 17
DINNA WISNU, PhD
Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of
Diplomacy
@dinnawisnu
18. 18
Teman Ahok & Ilusi Kebangkitan
Masyarakat Sipil
29-06-2016
Sepak terjang Teman Ahok dan keberhasilannya mengumpulkan 1 juta KTP untuk
mendukung pencalonan Ahok sebagai calon independen dalam Pilgub DKI Jakarta 2017
memunculkan kembali euforia soal peran anak muda dalam politik Indonesia.
Fenomenalnya sepak terjang Teman Ahok pun kemudian memunculkan berbagai glorifikasi
terhadap Teman Ahok. Ada yang menyebutnya sebagai gerakan politik, gerakan relawan,
partisipasi politik anak muda, atau bahkan sebagai bentuk penolakan generasi Y terhadap
oligarki parpol. Ada juga yang menyebutnya sebagai anomali politik dan upaya deparpolisasi
partai di Indonesia.
Klaim sebagai gerakan relawan (civic voluntarism) juga beberapa kali disampaikan oleh para
pengurus Teman Ahok, yang kemudian juga diafirmasi oleh beberapa kalangan sebagai
kekuatan masyarakat sipil.
Kebangkitan Masyarakat Sipil?
Jika ditelisik ke belakang, wacana mengenai kebangkitan sipil mulai banyak disuarakan sejak
beberapa tahun lalu. Momen Pilgub DKI 2012 yang berlanjut dengan Pilpres 2014 diyakini
sebagai momentum kebangkitan masyarakat sipil. Saat itu kekuatan masyarakat sipil muncul
dalam berbagai bentuk, mulai dari koalisi organisasi masyarakat sipil sampai pada relawan
politik—yang juga dianggap menjadi fenomena baru dalam politik Indonesia.
Aktivisme politik masyarakat sipil saat itu juga terlihat sangat beragam: ada yang tetap
menjalankan fungsinya sebagai watchdog yang menjaga integritas pemilu, ada yang
memosisikan diri sebagai kelompok oposisi terhadap kandidat tertentu, ada juga yang
memilih bersikap netral, dan ada juga yang justru melibatkan diri sebagai pendukung atau
bahkan tim pemenangan kandidat.
Menurut Agus Sudibyo, aktivisme semacam ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan
pola lama di mana masyarakat sipil umumnya mengambil jarak dari pertarungan politik
memperebutkan kursi, dan lebih memosisikan diri sebagai “pendamping” masyarakat
(2014). Boleh jadi, konteks politik saat itu menjadi salah satu alasan yang menjelaskan
mengapa aktivisme politik masyarakat sipil menguat dan bahkan menjadi partisan.
19. 19
Laporan riset Puskapol pada Desember 2014 menyebutkan bahwa polarisasi dua kandidat
dalam pilpres mendorong masyarakat sipil mengekspresikan pilihan politik secara terbuka
dan lebih “politis”. Kemenangan Jokowi dalam Pilgub 2012 dan Pilpres 2014 juga tak lepas
dari peran aktif masyarakat sipil. Mereka mewujud sebagai kekuatan politik riil yang tidak
hanya memosisikan dirinya di luar dan berhadapan secara vis a vis dengan kekuatan besar
oligarki parpol, tetapi juga menjadi basis pendukung, pemilih dan sekaligus menjadi juru
kampanye (spoke person) bagi pasangan Jokowi.
Sekilas, keyakinan tentang bangkitnya masyarakat sipil tidak terbantahkan. Sefsani &
Ziegenhain (2015) menyebutnya sebagai faktor penentu kemenangan. Pujian yang agak
bombastis bahkan menyebut masyarakat sipil sebagai the political celebrity of the election
(bintang pemilu) dan savior of Indonesia’s democracy (penyelamat demokrasi).
Singkat kata, keberhasilan masyarakat sipil sebagai mesin yang menumbuhkan semangat
voluntarisme politik, aktivisme individual, monitoring publik, dan aksi kolektif yang
memengaruhi proses pemilu merupakan wujud kebangkitan masyarakat sipil. Fenomena
Teman Ahok pada akhirnya memperkuat kembali keyakinan soal kebangkitan masyarakat
sipil sebagai pivotal player dalam politik pemilu di Indonesia.
Glorifikasi
Glorifikasi terhadap masyarakat sipil bukan hal baru dalam diskursus akademik. Mereka
sering dipuja-puji sebagai mesin pendorong demokratisasi, dan diasumsikan memiliki
kontribusi positif terhadap demokratisasi. Masyarakat sipil bahkan diyakini merupakan
prasyarat bagi tercapainya konsolidasi demokrasi (Putnam 1993, Gellner 1994, Fukuyama
1996, Diamond 1999). Putnam misalnya meyakini masyarakat sipil yang aktif sebagai obat
mujarab (panacea) untuk berbagai penyakit dalam demokrasi, terutama untuk mengatasi
apatisme, ketidakpuasan, dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi pemerintah.
Glorifikasi ini belakangan banyak digugat. Omar Encarnacion (2003) dalam bukunya, The
Myth of Civil Society, mengkritisi pandangan tentang “kesempurnaan” masyarakat sipil
sebagai agen demokrasi sebagai keyakinan bersifat problematis bahkan nyaris mendekati
mitos. Sebaliknya, keberadaan masyarakat sipil yang aktif justru bisa menjadi penghambat
demokratisasi, terutama jika demokrasinya masih dikarakterisasi dengan inefisiensi dan
lemahnya institusi-institusi politik.
Dalam konteks Indonesia, glorifikasi masyarakat sipil juga menyisakan banyak persoalan
serius. Politik “partisan” masyarakat sipil dalam pemilu ternyata membawa dampak pada
melemahnya fungsi pembangunan demokrasi yang semestinya melekat dalam dirinya. Narasi
mengenai keterlibatan masyarakat sipil yang awalnya bicara soal penolakan terhadap
cengkeraman oligarki parpol serta upaya menyelamatkan demokrasi Indonesia pada akhirnya
justru terdegradasi menjadi real partisan: menjadi buzzer dan pembela mati-matian politisi
yang didukungnya.
20. 20
Bahkan, tak jarang pembungkaman kritik terhadap pemerintah justru dilakukan oleh sesama
kelompok masyarakat sipil sendiri. Dalam banyak kasus di mana kebebasan bersuara semakin
ditekan dan pelanggaran HAM terus terjadi, sikap masyarakat sipil terbelah dan cenderung
berstandar ganda. Isu reklamasi dan penggusuran daerah kumuh di Jakarta misalnya menjadi
contoh sempurna yang memperlihatkan keterbelahan dan standar ganda sikap masyarakat
sipil.
Agaknya, sikap partisan saat pemilu menjadi harga mati untuk terus mendukung figur
pilihannya ketika dihadapkan pada situasi di mana kelompok non-pendukung masih saja
gencar memosisikan dirinya sebagai pengkritik utama pemerintah. Dalam kasus Teman
Ahok, glorifikasi terhadap mereka juga sama problematiknya.
Terlepas dari berbagai apresiasi terhadap keberhasilan mereka, atau bahkan tuduhan-tuduhan
yang dialamatkan kepada mereka belakangan ini, tulisan ini ingin mengingatkan pembaca
agar kita tidak terjebak pada glorifikasi yang bisa jadi ternyata hanya ilusi. Karena, aktivisme
masyarakat sipil yang sesungguhnya semestinya didasarkan pada dukungan terhadap gagasan
(ideas), bukan figuritas (persona). Bagaimana pun Ahok adalah politisi. Rekam jejaknya
sebagai politisi jauh lebih mudah ditelusuri dan menjadi bukti daripada imaji yang dibangun
dan dipoles lewat proses branding dan marketing yang boleh jadi juga mengandung ilusi.
Praktik trial and error dalam berdemokrasi selama 17 tahun terakhir semestinya cukup
memberi kita pelajaran bahwa percaya pada mesias politik tidak akan membawa kita sampai
pada cita-cita demokrasi.
HURRIYAH
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
21. 21
Gagal Paham Pembatalan Perda
30-06-2016
Polemik pembatalan secara sepihak peraturan daerah (perda) oleh pemerintah pusat (dalam
hal ini Kementerian Dalam Negeri) seakan menjadi ”bola liar” yang menimbulkan
perdebatan panjang di antara semua pemangku kepentingan (stakeholder).
Tak kurang 3.143 perda menjadi objek dari kewenangan menteri dalam negeri (mendagri) di
dalam melakukan deregulasi terhadap berbagai perda dari berbagai daerah di Indonesia.
Tentunya apa yang dilakukan pemerintah perlu dikritisi sebagai sebuah kebijakan (beleid)
yang tidak memperhatikan dan mengedepankan aspek legal-konstitusional (UUD 1945), serta
rezim pengaturan dari beberapa peraturan terkait, yakni UU Nomor 12/2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) dan UU Nomor 23/2014 tentang
Pemerintah Daerah (UU PEMDA).
Selain itu, catatan penting dari kebijakan deregulasi perda oleh pemerintah ialah tidak ada
kajian yang komprehensif yang terlebih dahulu dilakukan sebelum kebijakan deregulasi
tersebut dilaksanakan. Selain itu minimnya ruang (komunikasi) atau setidak-tidaknya forum
(koordinasi) bagi pemerintah daerah sesaat sebelum kebijakan pembatalan (pra-deregulasi)
ini diberlakukan.
Tentu langkah pemerintah di dalam mengambil kebijakan deregulasi terhadap berbagai perda
yang ada akan sangat kontraproduktif terhadap semangat dan cita-cita pemerintah yang
diserukan di dalam mewujudkan tata kelola birokrasi yang efektif dan efisien (good
governance). Setidaknya polemik deregulasi perda oleh pemerintah pada hakikatnya dapat
dilihat dari dua arah yakni aspek substantif dan aspek non-substantif.
Aspek Substantif
Secara substantif dalam perspektif yuridis normatif, polemik pembatalan perda secara
sepihak oleh mendagri dapat dilihat dengan mengacu pada tiga rezim hukum yang saling
terkait. Pertama, dengan melihat ketentuan secara konstitusional, yang ada di dalam Pasal
24A UUD 1945, yang mana secara rigid dan letterlecht, hanya memberikan ruang judicial
review terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UUD. Artinya, proses dan tahapan
pembatalan perda tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh pemerintah (eksekutif), kecuali
melalui proses ajudikasi di Mahkamah Agung (judicial review).
Tentu jika mengacu pada landasan hukum yang tertinggi, sebagaimana yang ada di dalam
Pasal 24A UUD 1945, jelaslah bahwa konstitusi tidak memberikan ruang terhadap proses
pembatalan peraturan daerah secara sepihak tanpa melalui proses judicial review di
22. 22
MA. Filosofi mekanisme ini ialah untuk mengantisipasi agar kewenangan yudikatif (dalam
konteks judicial review) tidak boleh ”dicampuradukkan” dengan kewenangan eksekutif
(dalam konteks pengawasan administratif).
Kedua, paralel dengan ketentuan yang ada di dalam Pasal 24A UUD 1945, hal tersebut juga
dikuatkan di dalam UU Nomor 12/2011, khususnya yang ada di dalam Pasal 9, yang
menyatakan bahwa dalam hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
diduga bertentangan dengan undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah
Agung.
Secara prinsip perlulah dipahami ”original intent” munculnya Pasal 9 di dalam UU
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Penulis yang juga merupakan anggota
pansus di dalam pembentukan UU PPP pada periode yang lalu turut terlibat secara langsung
(aktif dan partisipatif) di dalam proses pembahasan dan perkembangan serta dinamika
(internal) di dalam pembentukan UU PPP.
Sebenarnya adapun nilai (value) historis-filosofis munculnya ketentuan di dalam Pasal 9 ini
disadari oleh pembentuk UU pada waktu itu bahwa tidaklah dapat dibenarkan dalam konteks
ketatanegaraan praktik pembatalan perda secara sepihak oleh pemerintah pusat (mendagri).
Selanjutnya juga para pembentuk UU menginsyafi, praktik judicial review sebelumnya
terhadap perda yang ada di MA; yang mana ruang lingkup yang diberikan kepada pemerintah
daerah yang bersangkutan (yang perdanya dibatalkan) ialah hanya terhadap output
”pembatalan” yang dilakukan oleh mendagri, bukan terhadap perda yang dibatalkan (secara
substansi).
Artinya, proses ajudikasi sebagaimana dimaksud menitikberatkan kepada aspek ”sah atau
tidaknya” pembatalan perda tersebut yang dilakukan mendagri. Karena itu, pembentuk
undang-undang pada saat itu menginisiasi munculnya ketentuan dalam Pasal 9 dalam UU
PPP agar membatasi dan tidak memberi kewenangan berlebihan kepada eksekutif (executive
heavy) dalam ranah pembatalan perda.
Dalam ketentuan pasal ini pun memberikan ruang yang lebih kepada semua pihak
(stakeholder) yang keberatan terhadap perda yang diberlakukan dalam arti bahwa siapa pun
yang berkepentingan terhadap perda yang akan dibatalkan memiliki legal standing
(kedudukan hukum) untuk menguji (judicial review) peraturan daerah tersebut ke Mahkamah
Agung.
Secara nyata, juga dapat dilihat bahwa ketentuan yang ada di dalam Pasal 9 UU PPP
merupakan turunan secara vertikal (derivasi langsung) dari Pasal 24A UUD 1945. Dengan
begitu, dalam ranah pembatalan perda haruslah mengacu pada UU PPP.
Ketiga, melihat pada ketentuan yang ada pada Pasal 251 UU Nomor 23/2014 tentang
Pemerintah Daerah, secara jelas dan nyata juga memberikan kewenangan kepada menteri
(mendagri) untuk membatalkan perda, yang bertentangan dengan peraturan perundang-
23. 23
undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Tetapi, tentu klausul ini
secara filosofis harus dimaknai hanya dalam konteks tata kelola pemerintahan (good
governance), bukan dalam arti praktis-empirik bagi mendagri untuk secara serta-merta secara
sepihak dan ”semau-mau”-nya membatalkan peraturan daerah yang secara subjektif dimaknai
tidak selaras dengan tiga limitasi-batasan sebagaimana dimaksud atau di luar batasan
(limitasi) tersebut.
Tentu hal ini, dalam konteks kenegaraan dan tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance), akan menimbulkan preseden buruk. Ke depan (forward looking) bukan tidak
mungkin dapat saja preseden ini akan dijadikan justifikasi (dasar, alasan dan/atau
pembenaran) bagi rezim kekuasaan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Disharmonisasi Peraturan Perundang-undangan
Perlu juga untuk disadari bahwa realitas yang terjadi masih ada disharmonisasi pada level
peraturan perundang-undangan. Hal tersebut secara jelas dapat dilihat di dalam dua rezim
hukum peraturan perundang-undangan secara horizontal yang ada pada UU PPP dan UU
Pemda.
Dalam konteks UU Pemda memang dapatlah dilihat bahwa terdapat kekeliruan dan
missleading norma (hukum) yang ada di dalam UU Nomor 23/ 2014 tentang Pemda, yang
tentu akan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Seharusnya pembentuk UU secara
linier tunduk dan patuh pada ketentuan konstitusi yang menyatakan bahwa pembatalan atau
pencabutan perda karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi hanya bisa dilakukan melalui judicial review oleh MA.
Secara lebih lanjut juga patut dikritisi proses harmonisasi yang ada di Badan Legislasi DPR
RI pada saat pembahasan sebelum pengesahan UU Pemda. Sekiranya proses harmonisasi
tersebut berjalan secara maksimal, kecil kemungkinan terjadi disharmonisasi antara UU PPP
dan UU Pemda. Seharusnya jikalau proses harmonisasi tersebut berjalan secara optimal,
ketentuan yang ada pada Pasal 251 UU Pemda tidaklah perlu muncul, yang secara nyata tidak
selaras dan harmonis dengan ketentuan yang ada pada Pasal 24A UUD 1945 dan Pasal 9 UU
PPP.
Aspek Non-substantif
Memang perlu disadari oleh semua pihak (stakeholder) di dalam memahami polemik ini tidak
boleh terjebak pada opini (subjektif), melainkan harus memandang realitas persoalan ini
secara objektif, konstruktif, dan proporsional. Namun, pada posisi yang subjektif dengan
pandangan (penilaian) yang objektif dapatlah dilihat bahwa munculnya polemik ini karena
gagalnya pemerintah (atau dalam hal ini mendagri) di dalam menjalankan fungsi executive
review terhadap peraturan daerah yang dianggap atau berpotensi bermasalah dan
bertentangan, baik secara vertikal atau pun horizontal.
24. 24
Secara non-substantif, melihat persoalan ini memang perlu dilakukan secara cermat, teliti,
dan hati-hati. Terhadap dua arus pandangan (pro dan kontra) di dalam menyikapi polemik ini,
seharusnya memang dapat ditengahi dengan jalan dan cara berpikir yang runtut, sistematis,
dan terarah. Secara runtut melihat polemik deregulasi ini, harus dicermati dengan mengacu
serta mendasarkan pada ketentuan (dasar hukum) yang lebih tinggi terlebih dahulu.
Asumsinya apabila pihak yang melihat persoalan ini dengan mengacu pada ketentuan yang
ada di UU Pemda terlebih dahulu, langkah dan kebijakan deregulasi perda ini mungkin
dapatlah dibenarkan secara legal. Tetapi, apabila melihat persoalan ini dengan mengacu pada
landasan hukum (tertinggi) terlebih dahulu, baru setelahnya merujuk pada aturan turunan
terkait (systematic approachment) yakni UUD 1945, setelah itu UU PPP, barulah UU Pemda,
dapatlah disimpulkan bahwa langkah dan kebijakan deregulasi yang dilakukan pemerintah
(mendagri) secara sepihak terhadap 3.143 perda merupakan langkah yang tidak lazim dan
tidaklah dapat dibenarkan. Langkah yang terakhir inilah yang ideal dan konstitusional.
AHMAD YANI, SH, MH
Founder and Researcher Pusat Pengkajian Peradaban Bangsa
25. 25
Menghadapi Ancaman si Trio
09-07-2016
”Apakah tidak ada segi-segi positif dan titik terang yang bisa mendorong Indonesia menjadi
lebih baik dan selamat dari perusakan-perusakan yang menderanya? Analisis Bapak tadi
membuat dada sesak dan mencemaskan. Apa yang bisa kita lakukan?”. Demikian seorang
dosen bertanya kepada saya ketika Selasa (28/6) pekan lalu saya memberi studium generale
di Universitas Islam Kadiri (Uniska), Kediri.
Di forum ilmiah itu saya memang mengupas problem masa depan Indonesia yang tampaknya
dirongrong oleh buruknya penegakan hukum. Saya katakan, berbagai persoalan yang
sekarang melilit bangsa ini akan selesai lebih dari separuhnya jika hukum ditegakkan dengan
benar. Kerusakan di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan sebagainya
yang terjadi sekarang ini disebabkan oleh terjadinya pengangkangan atas hukum oleh para
koruptor, entah itu pejabat, entah itu swasta.
Tiga pekan lalu, melalui kolom di koran ini, saya menulis bahwa hukum kita banyak dikuasai
oleh cukong-cukong sehingga—meminjam istilah Komisioner KPK Laode M Syarif,
muncullah gejala grand corruption. Cukong-cukong membeli hukum, bukan hanya saat
menghadapi kasus konkret ketika terlibat perkara di pengadilan, melainkan juga sudah
membeli hukum ketika hukum akan dibuat sebagai peraturan yang abstrak. Kita bisa dengan
mudah menunjuk kasus, politisi (legislator) dihukum atau ditangkap tangan oleh KPK, karena
menjual hukum yang akan dimasukkan ke dalam undang-undang (UU) atau peraturan daerah
(perda).
Jadi, isi UU maupun perda bisa dibeli oleh cukong. Artinya, selain mengangkangi proses
peradilan jika menghadapi kasus konkret (in concreto) di pengadilan melalui penyuapan
kepada penegak hukum, cukong juga membeli isi peraturan perundang-undangan yang
bersifat pengaturan secara abstrak (regeling, in abstracto) kepada legislator.
Cukong adalah korporasi atau orang yang punya modal, tak terbatas pada etnis atau suku
tertentu. Karena jual-beli hukum dengan cukong itu maka belakangan ini banyak hakim
maupun panitera, pejabat maupun politisi, yang ditangkap dan digelandang ke pengadilan
oleh KPK.
Dulu saya pernah mengantarkan politikus AM Fatwa menghadap ketua Mahkamah Agung
untuk melaporkan kasus perampasan tanah warga Betawi secara sewenang-wenang oleh
pengembang. Sang warga Betawi yang menempati dan mempunyai tanah yang diwarisi
secara turun-temurun dari kakeknya tiba-tiba digusur oleh pengembang.
26. 26
Ketika melapor kepada yang berwajib, eh, malah sang warga Betawi itu yang diajukan ke
pengadilan dengan dakwaan telah menyerobot tanah orang. Dia pun sudah menunjukkan
bukti-bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan selama bertahun-tahun, tetapi ternyata
pihak pengembang sudah memiliki sertifikat. Di negara ini banyak mafia tanah yang
melibatkan kongkalikong antara cukong dan pejabat-pejabat.
Sebenarnya peran cukong dalam korupsi sudah lama berlangsung. Sebuah grup diskusi dunia
maya yang melibatkan kelirumolog Jaya Suprana, Salim Said, HS Dillon, dan lain-lain pekan
lalu mendiskusikan isu ”Ancaman Trio Cukong, Pejabat, dan Politisi” yang dulu pernah
dilontarkan oleh Wilopo.
Wilopo yang pada masa demokrasi liberal pernah menjadi perdana menteri dan pada masa
Orde Baru menjadi ketua Dewan Pertimbangan Agung, pernah memperingatkan tentang
bahaya tiga begundal korupsi dan perusak negara. ”Awas bahaya!! Indonesia terancam Trio
Persekongkolan, yaitu antara cukong, pejabat, dan petualang politik,” teriak Wilopo saat
menjadi anggota Komite Empat. Komite Empat adalah Komisi Pemberantasan Korupsi yang
dibentuk oleh Presiden Soeharto pada 1970.
Ternyata, sampai era Reformasi, trio jahat ini bukannya berkurang melainkan semakin
menancapkan kukunya dalam jagat raya penegakan hukum di Indonesia. Sekarang ini ada
cukong membeli hukum, ada pejabat menjual hukum, dan ada politisi menjadi pedagang
hukum. Di sana-sini mulai ada juga orang atau orang LSM yang katanya anti-korupsi dan
pro-demokrasi dan supremasi hukum, tetapi mulai ikut bermain dalam kubangan kumuh
pemberantasan korupsi.
Ketika hukum sudah dikangkangi seperti itu maka semua upaya perbaikan menjadi macet,
kesejahteraan rakyat semakin jauh panggang dari api, kemiskinan merajalela, kesenjangan
antara si kaya dan si miskin semakin menganga. Sungguh sangat mencemaskan bagi masa
depan bangsa dan negara.
***
Kembali ke pertanyaan yang diajukan oleh dosen Uniska tadi. Adakah segi-segi positif yang
bisa membuat kita optimistis untuk bisa memperbaiki keadaan yang membuat kita resah ini?
Jawabannya, ” ada asal mau”. Kita sangat kaya dengan sumber daya alam dan mempunyai
bonus demografi yang besar.
McKensey menyebut potensi Indonesia untuk menjadi negara maju sangat besar. Pada 2012,
Indonesia menempati peringkat ke-16 kekuatan ekonomi dunia dan posisi ini akan naik ke
peringkat 7 pada 2030. Begitu besarnya kekayaan sumber daya alam dan bonus demografi
kita, sehingga dengan dikelola secara biasa-biasa saja Indonesia akan tetap melesat ke posisi
ketujuh.
Ada modal lain yang juga bagus, yakni kebebasan pers yang semakin maju dan bisa dibangun
27. 27
untuk ikut mengarahkan dan mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan. Bukan
pers yang berpolitik secara sempit dalam permainan jangka pendek. Dukungan masyarakat
yang menggebu-gebu terhadap upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum juga
menjadi modal yang baik.
Kalaulah kita meyakini bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi memerlukan
pemimpin yang kuat maka kita juga mempunyainya. Presiden Jokowi terbilang bersih, istri
dan anak-anaknya tidak ikut bermain dalam bisnis dan politik. Presiden Jokowi tidak
terbebani dan tidak tersandera untuk memimpin upaya penegakan hukum dan pemberantasan
korupsi. Jadi, ada harapan asalkan kita mau.
MOH MAHFUD MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-
HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
28. 28
Deradikalisasi vs Brutalitas Pelaku Teror
12-07-2016
Sepanjang bulan suci Ramadan hingga Idul Fitri tahun ini, dunia berselimut keprihatinan
akibat rangkaian teror bom di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Brutalitas
pelaku teror memuncak dengan tiga serangan bom bunuh diri yang mengguncang tiga kota di
Arab Saudi, sehari sebelum Idul Fitri; dan aksi serupa di Kota Solo, beberapa jam sebelum
umat menyelenggarakan malam takbiran.
Serangan bom bunuh diri dimulai di Bandara Ataturk, Istanbul, Turki yang berlanjut dengan
serangan di Dhaka, Bangladesh. Serangan di Dhaka menyebabkan 20 sandera tewas. Setelah
itu, ISIS meledakkan bom mobil di Pasar Karada di kota Baghdad, Irak, Minggu
(3/7). Jumlah korban tewas dari 200 orang, termasuk anak-anak.
Ketika perhatian masih terfokus pada tiga tragedi tadi, komunitas internasional dibuat
terhenyak sesaat karena Madinah, Qatif, dan Jeddah di Arab Saudi juga diguncang bom
bunuh diri, satu hari sebelum Idul Fitri. Brutalitas pelaku teror di Arab Saudi itu semakin sulit
dipahami karena ledakan bom di kota Madinah justru terjadi di dekat kompleks Masjid
Nabawi, bangunan suci yang bermakna sangat khusus bagi umat muslim sedunia. Pasalnya,
Masjid Nabawi dibangun oleh Nabi Muhammad SAW dan menjadi tempat makam dia serta
para sahabatnya.
Lalu ketika para pejabat tinggi negara dan tokoh agama di dalam negeri menyuarakan
kecaman atas serangan bom di dekat Masjid Nabawi itu, pelaku teror di dalam negeri
meledakkan bom bunuh di Polresta Solo pada Selasa (5/7). Kasus ini pun sulit dimengerti
karena pelakunya beraksi saat masyarakat sedang bersiap-siap menyongsong malam takbiran.
Setelah Solo, Dhaka kembali diguncang. Sebuah ledakan bom terjadi di Distrik Kishoreganj,
Bangladesh utara, saat lebih dari 200.000 umat muslim sedang melaksanakan ibadah salat
Idul Fitri. Seorang polisi tewas dan lima orang terluka akibat ledakan bom dan baku tembak
di sebuah lapangan.
Rangkaian bom bunuh diri sepanjang Ramadan memang memiliki keterkaitan dengan
kelompok milisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Pasalnya, pentolan ISIS telah
menyebar seruan kepada semua simpatisannya untuk melancarkan teror atau Amaliyah di
seluruh dunia. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ISIS telah melebarkan sayapnya
dari Afrika hingga Asia.
Untuk semua aksi bernuansa teror mematikan, ISIS menggunakan ungkapan Amaliyah. Dan
sebagaimana diungkap Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, ISIS berasumsi bahwa Amaliyah
29. 29
pada bulan suci adalah suatu tindakan yang baik dan akan mendapatkan pahala. Apakah
asumsi seperti itu patut diberi simpati atau apresiasi? Keyakinan seperti itu tidak hanya sulit
dipahami, tetapi tidak bisa diterima.
Maka sangat masuk akal jika serangan bom di dekat Masjid Nabawi dan di Solo dinilai
sebagai serangan terhadap umat muslim sedunia, dan juga umat muslim Indonesia khususnya.
Dengan begitu, para pelaku bom bunuh diri, aktor intelektual, dan para simpatisannya patut
diposisikan sebagai musuh bersama. Mereka sudah jelas-jelas ingin mencabik-cabik
keagungan agama. Mereka pun ingin merusak peradaban dengan memaksakan keyakinannya
kepada komunitas lain.
Milisi ISIS dan para simpatisannya mungkin ingin membangun dunia baru seturut
keyakinannya. Namun, mereka tidak boleh menghadirkan bencana bagi komunitas lain,
apalagi melancarkan serangan mematikan terhadap orang-orang yang tidak bersalah.
Komunitas internasional, termasuk masyarakat Indonesia, sudah merasakan kekejaman dan
kebrutalan ISIS dan para simpatisannya. Ketika para simpatisan ISIS meledakkan bom di
dekat Masjid Nabawi, sudah sangat jelas bahwa ISIS pun menunjukkan sikap bermusuhan
dengan komunitas muslim sedunia. Peristiwa di Kota Madinah semakin menegaskan kepada
setiap orang bahwa terorisme adalah musuh agama dan kemanusiaan.
Kewaspadaan Masyarakat
Menyikapi guncangan bom di negaranya, Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz berjanji
akan menggunakan ”tangan besi” terhadap orang-orang yang menyeret pemuda negeri itu ke
dalam ekstremisme agama. ”Kami akan membalas dengan ‘tangan besi’ terhadap mereka
yang mengincar para pemuda kami,” kata raja berusia 80 tahun itu. Lalu, bagaimana
Indonesia akan menyikapi kecenderungan serupa itu?
Semua elemen masyarakat tidak boleh tutup mata terhadap fakta tentang banyaknya orang
muda Indonesia yang nyaris terperangkap dalam ekstremisme agama. Contoh terbaru yang
paling ekstrem adalah ledakan bom bunuh diri di Solo itu. Sebagaimana penjelasan Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Tito Karnavian, pelakunya
memiliki keterkaitan dengan beberapa kelompok radikal yang juga sudah diidentifikasi oleh
intelijen Indonesia. Kelompok-kelompok itu berafiliasi dengan ISIS. Maka itu, sel-sel ISIS
sesungguhnya sudah berbaur dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Potret lain tentang sel ISIS di Indonesia tergambar pada kelompok Mujahidin Indonesia
Timur (MIT) pimpinan Santoso alias Abu Wardah yang masih bersembunyi kawasan hutan
Poso, Sulawesi Tengah. Santoso berambisi menjadikan kawasan hutan di Sulawesi Tengah
sebagai pusat latihan milisi bagi para simpatisan ISIS.
Sebagai negara yang menghormati prinsip-prinsip hukum, Indonesia tentunya tidak harus
menggunakan tangan besi untuk merespons kecenderungan itu. Negara, dengan dukungan
30. 30
para pendidik dan ulama, bisa mereduksi kecenderungan itu dengan program yang dapat
mengubah sikap dan cara pandang ekstrem menjadi lunak, toleran, pluralis, dan moderat
(deradikalisasi). Akan tetapi, menawarkan program deradikalisasi tidak boleh membuat
negara dan rakyat lengah.
Sebaliknya, kewaspadaan dan militansi harus ditingkatkan karena program deradikalisasi
belum tentu mujarab bagi semua orang yang berpandangan ekstrem. Pelaku ledakan bom
Solo dan Santoso dengan MIT-nya menjadi contoh tentang program deradikalisasi yang tidak
laku. Mereka memiliki jaringan di berbagai tempat. Jaringan-jaringan itulah yang harus
diwaspadai oleh semua elemen masyarakat.
Hari-hari ini masyarakat telah melalui periode bulan Ramadan dan perayaan Idul Fitri tahun
2016. Apakah teror bom akan berakhir dengan sendirinya? Belum tentu. Para simpatisan ISIS
terang-terangan telah mengancam Indonesia. Selain itu, sejumlah kelompok pelaku teror
masih menyimpan dendam terhadap institusi Polri. Maka cukup jelas bahwa ancaman teror
masih mengintai masyarakat.
Oleh karena itu, bahu-membahu dengan semua elemen masyarakat, segenap aparatur
keamanan negara perlu meningkatkan kewaspadaan dan kesigapan untuk mengantisipasi dan
merespons brutalitas pelaku teror yang beraksi atas alasan apa pun. Brutalitas pelaku teror
akhir-akhir ini tidak bisa ditoleransi lagi. Kebrutalan pelaku teror saat ini, mau tak mau, harus
disikapi dengan kebijakan serta langkah-langkah antiteror yang luar biasa pula.
Negara tidak boleh lagi memberi toleransi kepada siapa saja atau kelompok yang terindikasi
sebagai pelaku teror. Negara tidak boleh minimalis ketika masyarakat terancam oleh para
pelaku teror. Sebaliknya, negara harus bertindak ekstra keras dan lugas terhadap kelompok-
kelompok yang terindikasi akan melakukan serangan.
Untuk meningkatkan kesigapan merespons kebrutalan pelaku teror, Polri, TNI, BIN, dan
BNPT harus diberi kewenangan dan keleluasaan yang proporsional sesuai tupoksinya
masing-masing dengan potensi ancaman saat ini. Peran serta masyarakat dalam bentuk
berbagi informasi dengan Polri dan TNI tentu saja sangat diharapkan. Dan, untuk
mengidentifikasi dan memonitor pergerakan pelaku teror dari berbagai negara, pemerintah
hendaknya meningkatkan kerja sama dengan sejumlah negara terkait.
BAMBANG SOESATYO
Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
31. 31
Menanti Kapolri
12-07-2016
Sebenarnya sudah beberapa kali fit and proper test calon kapolri di DPR RI yang juga
menarik perhatian. Hanya, mungkin dalam bentuk gaduh yang berbeda.
Sebelumnya heboh itu karena ada perbedaan tajam baik antara eksekutif (lembaga pengaju)
berhadapan dengan legislatif (lembaga yang mempertimbangkan). Kegaduhan itu juga terjadi
di internal institusi masing-masing. Namun, lain ceritanya ketika Presiden Joko Widodo
mencalonkan Komjen Tito Karnavian sebagai kapolri menggantikan Jenderal Badrodin Haiti
yang mendekati masa purnabakti. Situasinya tetap heboh juga memang, tapi hebohnya lebih
karena publikasi dan penerimaan publik serta Komisi III yang meriah.
Ujian Promosi
Kebetulan saya mengisi acara talkshow di salah satu televisi swasta nasional bersama Prof
Indria Samego saat uji kelayakan calon kapolri berlangsung. Memang ada kritik bahwa uji
kelayakan oleh Komisi III DPR RI ”tidak menggigit” karena lebih banyak pujian dan
sanjungan saja yang mengemuka. Tapi, bagi saya, justru tidak heran dan memang seharusnya
seperti itulah kala uji kelayakan diselenggarakan.
Argumentasi sederhananya, jika dianalogikan dengan ujian tingkat doktor (S-3), uji
kelayakan di Komisi III DPR RI adalah ”ujian terbuka” (promosi) saja. Ujian tertutupnya itu
ada di lembaga kepresidenan. Saat ujian tertutup itulah harusnya semua aspek diuji,
diklarifikasi, bahkan ”dikuliti” secara mendalam, tanpa tersisa. Jika harus gugur, pada saat
ujian tertutup inilah eksekusinya. Namun, setelah seorang calon kapolri ”lulus ujian tertutup”
di tingkat Presiden, ujian di Komisi III adalah tahapan ujian terbuka. Ujian terbuka ini lebih
bersifat promosi saja.
Logikanya, apabila para penguji saat ujian tertutup sudah menguji dengan baik dan obyektif,
dapat dipastikan saat ”ujian terbuka” akan lempeng. Itulah yang terjadi dengan Komjen Tito
Karnavian, lulus mulus saat ”ujian promosi” di Komisi III karena memang di ujian tertutup ia
sudah gemilang.
Sebaliknya, apabila dibandingkan dengan para calon kapolri masa lalu, memang ada
persoalan pada tahapan ”ujian tertutupnya.” Ketika itu mungkin sangat subyektif dan
bermasalah pula. Tidak heran jika kemudian tidak mampu melalui ujian terbuka di Komisi III
karena sesungguhnya memang tidak lulus di ujian tertutup. Kelulusannya dengan nilai
”dipaksakan” sekadar meloloskan. Sepertinya ”para penguji saat ujian terbuka” memiliki
berbagai pertanyaan yang tidak sempat diajukan ketika ”ujian tertutup.”
32. 32
Bertambah runyam karena dalam kondisi itu publik juga beringas karena paham dengan
beberapa nilai kurang sang kandidat. Apalagi jika terjadi ”keadaan luar biasa” saat ujian
terbuka sebagaimana dialami Komjen Budi Gunawan, sekalipun ia polisi brilian juga.
Laporan Terbanyak
Saya meyakini ”di atas kertas” pimpinan Polri telah memiliki berbagai program, strategi,
bahkan hingga ke petunjuk pelaksanaan (juklak) agar menampilkan Polri yang profesional.
Namun, pada akhirnya semua itu direfleksikan seberapa banyak laporan/keluhan masyarakat
terkait kinerja dan pelayanan Polri. Tidak banyak pengaruhnya jika berbagai strategi
sempurna hanya ada di atas kertas, namun bermasalah dalam penerapannya.
Apalagi kini Polri dihadapkan kepada publik yang lebih berani ”berkawan” dengan media
yang nyaris sempurna kemajuannya. Gerak-gerik Polri menjadi tontonan terbuka. Akibatnya,
prestasi saja belum tentu dipuji, apalagi terhadap kelakuan mereka yang mungkin memang
salah.
Data di Ombudsman Republik Indonesia pada 2015, di antara total 6.549 laporan, Polri
sebagai lembaga kedua yang paling banyak dilapori masyarakat yaitu berjumlah 807
laporan. Jumlah laporan ini menggambarkan bagaimana sesungguhnya interaksi Polri dengan
masyarakat yang diurusinya.
Beberapa jenis dugaan maladministrasi kepolisian berupa keberpihakan, diskriminasi, dan
konflik kepentingan. Selain itu ”tuduhan” masyarakat bahwa oknum polisi telah melakukan
penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, hingga permintaan
imbalan atas pelayanan yang diberikan. Itu sebabnya sangat relevan apabila kapolri to be,
juga fokus terhadap pelayanan publik.
Salah satu kelemahan pelayanan publik di Indonesia karena kebanyakan dilakukan secara
manual untuk pelayanan yang dapat menggunakan teknologi. Pelayanan bidang lalu lintas
dan reserse selalu menjadi sorotan. Penggunaan teknologi dapat menekan praktik
menyimpang di tubuh Polri.
Tantangan dan Tentangan
Sebagai manusia biasa, tidak mungkin juga seolah-olah dengan penunjukan kapolri baru
semua bakal cespleng, semua persoalan terselesaikan dan berjalan sendiri seolah diawaki oleh
auto pilot saja. Tantangan dan tentangan pasti masih eksis, serendah apa pun skalanya.
Tantangan pertama justru dari internal Polri sendiri. Kapolri baru memecah tradisi yang
selama ini terjadi, terkait senioritas. Ada ”ratusan” jenderal yang dilompati oleh calon kapolri
periode ini. Apalagi sekitar lima angkatan terlewati. Mestinya sebagai Bhayangkara sejati,
pastilah ”lima angkatan itu” akan menerima apa pun putusan pimpinan tertinggi. Sudah
terkenal di lingkungan TNI/Polri bahwa taat dengan perintah atasan itu harga mati. Tidak
33. 33
boleh ada pertanyaan, apalagi membantah perintah. Namun, tetap saja ratusan orang itu
adalah manusia biasa. Ini artinya sekecil apa pun tetap ada retensi. Mungkin secara formal
dan verbal hal itu tidak mengemuka. Namun, senioritas itu tetap sebagai tantangan tidak
mudah. Untungnya, Komjen Tito telah berpengalaman memimpin ”para abangnya” dan kini
terulang lagi.
Potensi tentangan itu datang dari mereka yang nyaman dengan status quo yang eksis
”berkarat” selama ini. Bagi sebagian publik, tampilan Polri masih dipersepsikan sebagai
lembaga yang ”belum bersih,” masih belum menghadirkan lembaga pelindung/pengayom
masyarakat. Istilah to serve and to protect masih slogan saja. Ada banyak anggota Polri yang
berprofesi tandem dengan bisnis sampingannya. Menjadi soal karena bisnis itu atas nama
perseorangan, bukan kelembagaan.
Jika kapolri menggunakan strategi ”pokoknya” yang drastis misalnya pokoknya dilarang
bisnis, titik-full stop, tentangan itu pasti besar. Belum lagi sinergitas Polri dengan lembaga
penegak hukum lainnya. Bayang-bayang perumpamaan ”cicak versus buaya” tetap ada walau
mungkin dalam rupa dan skala berbeda. Kasus para petinggi KPK yang ditersangkakan kental
nuansa rivalitas lembaga, bukan murni aspek legal. Ini juga tantangan bagi kapolri yang
dinanti.
Menanti Kapolri
Kapolri profesional adalah idaman masyarakat. Profesionalisme itu akan tercapai jika tugas
pokok dan fungsi Polri berhasil diimplementasikan sebagaimana diatur dalam Pasal 13
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepolisian. Ditegaskan bahwa tugas pokok
Polri adalah: a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b) menegakkan hukum;
dan c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Selama ini Polri belum memenuhi semboyannya restra sewa kottama, abdi utama
masyarakat. Tingkat kepercayaan masyarakat masih rendah. Ada kompleksitas di tubuh Polri
untuk menjadikannya tampil dengan postur ideal. Kesejahteraan mereka umumnya juga
menjadi persoalan dihadapkan dengan kebutuhan minimal.
Namun, tidak kalah seriusnya persoalan di tubuh Polri terkait pola mutasi dan promosi,
termasuk penjenjangan/pendidikan. Kalangan internal Polri bahkan pernah berkirim surat ke
Ombudsman RI ”bercerita” kejanggalan seleksi pendidikan jenjang tertinggi di Polri.
Laporan yang mungkin mengandung kebenaran. Keluhan terhadap pelayanan Polri yang
belum memuaskan justru banyak tertuju kepada kepolisian sektor (polsek). Padahal, wajah
Polri sangat ditentukan oleh bagaimana tampilan polsek yang langsung bersentuhan dengan
masyarakat.
Menyimak kondite Komjen Tito Karnavian merupakan sosok yang lengkap untuk melakukan
pembenahan di tubuh Polri. Pengalaman lapangan dan akademik yang nyaris sempurna. Visi-
misi beliau jelas, hampir tanpa celah untuk menjadikan Polri profesional dan dicintai
34. 34
masyarakat. Ini semua sejalan pula dengan semboyan restra sewa kottama atau ungkapan to
serve and to protect. Persoalannya memang kapolri baru dihadapkan kepada berbagai kendala
di tubuh Polri yang di antaranya ”seumur-umur” sudah ada di situ. Bukankah visi-misi luar
biasa juga ditampilkan oleh para mantan calon kapolri periode-periode sebelumnya. Tapi,
apakah reformasi di tubuh Polri benar-benar sudah terjadi?
Walaupun mungkin ada banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh para calon kapolri
sebelumnya saat pencalonan, di antaranya dukungan meluas terhadap Tito Karnavian.
Dukungan meluas itu modal awal luar biasa dahsyatnya.
Pesta promosi calon kapolri sudah berlalu. Sejak awal tidak ada yang meragukan kepiawaian
kandidat lulus dalam ujian itu. Tinggal lagi kini bagaimana konsep perfect dan janji kepada
publik itu diimplementasikan. Wapres Jusuf Kalla bahkan turut mengingatkan Tito untuk
menjalankan janjinya mereformasi Polri.
Publik serepublik ini dengan berbagai pengalaman berinteraksi bersama polisi kini menanti
kapolri yang menjanjikan berbagai pembaharuan (reformasi) di tubuh Polri. Visi-misi yang
ditawarkan sungguh luar biasa dan meyakinkan Komisi III. Senyatanya kini ada tugas berat
di pundak kapolri yang dinanti.
PROF AMZULIAN RIFAI PhD
Ketua Ombudsman RI
35. 35
Gratifikasi dan Suap
13-07-2016
Kebiasaan lama sejak penjajahan Belanda dan semasa wilayah Nusantara terbelah dalam
beberapa kerajaan, pemberian upeti kepada sang raja dalam bentuk in-natura merupakan
suatu pertanda loyalitas rakyat kepada raja. Di kalangan Tionghoa dikenal dengan sebutan
”angpau”. Dalam bahasa Sunda, dikenal dengan istilah ”seba”.
Sejalan dengan perkembangan sistem pemerintahan modern, kebiasaan tersebut berlanjut
sejak era Soekarno, Soeharto dan sampai saat ini hanya diubah dengan sebutan ”imbalan”
atau ”balas budi”. Namun sejak era Reformasi, upeti, seba, angpau tersebut termasuk ke
dalam pengertian gratifikasi.
Pengertian gratifikasi itu sendiri berasal dari istilah ”gratitude”. Suatu penghormatan
terhadap pemimpin dalam bentuk memberikan sejumlah uang atau barang. Sikap masyarakat
ini dalam kosakata sosiologi disebut sikap dan budaya relasi “patron and client”, atau
”patron-client relationship”(PCR), dan integritas diidentikkan dengan loyalitas.
Akibat dari kekeliruan menafsirkan kedua kosakata tersebut maka integritas dan loyalitas
tidak ada perbedaan mendasar lagi. Karena integritas tanpa loyalitas di dalam sistem birokrasi
yang berbasis PCR seiring loyalitas (pada atasan) mengalahkan integritas (pada
pekerjaan). Bahkan dalam sistem birokrasi pemerintahan di Indonesia, pemberian kepada
atasan merupakan tolok ukur kesetiaan (loyalitas). Dan, angka kredit untuk promosi dan
mutasi ke kedudukan dan jabatan yang lebih tinggi bukan pada sistem ”reward and
punishment” atau meritokrasi.
Ketika Baharudin Lopa (alm.) menjabat menteri kehakiman (menkumham saat ini), telah
diinisiasi untuk memasukan ”pemberian” yang dikenal dengan upeti, seba, atau angpau
tersebut sebagai gratifikasi dalam konotasi negatif. Karena hal itu dapat ”menurunkan”
wibawa pemerintah, serta mendegradasi sistem meritokrasi, integritas, dan akuntabilitas
kinerja.
Lingkup gratifikasi di dalam Penjelasan Pasal 12B Undang-Undang (UU) RI Nomor 20/2001
tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31/1999. ”Dalam arti luas, yakni meliputi pemberian
uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik
yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik”.
***
36. 36
Norma gratifikasi di dalam pasal tersebut, berbunyi: ”Gratifikasi dianggap suap jika
dilakukan dalam hubungan kedudukan atau jabatannya”; dan pembuktian bahwa bukan
merupakan suap dibebankan kepada terdakwa (pembuktian terbalik) jika nilai pemberian
sampai Rp10 juta; beban pembuktian sebagai suap pada penuntut untuk nilai pemberian di
atas Rp10 juta.
Di dalam ketentuan gratifikasi (Pasal 12B), penerima gratifikasi diberi tenggat waktu 30 hari
untuk melaporkan gratifikasi kepada KPK, terhitung sejak ia menerima pemberian tersebut.
Dengan maksud menguji integritas penyelenggara negara selama ia memangku jabatannya.
Jika melampaui batas waktu tersebut, penerima gratifikasi dianggap memiliki mens-rea dan
merupakan petunjuk (awal) bahwa penyelenggara negara yang bersangkutan telah memiliki
itikad tidak baik. Karena sekecil apa pun nilai uang atau barang pemberian, tetap bukan hak
penyelenggara negara yang bersangkutan. Tuntutan ancaman hukuman tindak pidana
gratifikasi adalah pidana seumur hidup, dan paling singkat empat tahun, dan pidana denda
paling sedikit Rp200 juta, paling banyak Rp1 miliar.
Dimasukkannya gratifikasi sebagai salah satu tindak pidana korupsi mencerminkan bahwa
politik hukum pidana dalam pemberantasan korupsi sangat ”secure” dalam memberikan
penilaian perilaku seorang penyelenggara negara. Dengan pertimbangan bahwa
penyelenggara negara seharusnya menjadi panutan dari masyarakatnya bukan sebaliknya.
Nilai-nilai di balik ketentuan gratifikasi adalah integritas (integrity), akuntabilitas
(accountability), kejujuran (honesty), dan adil (fairness) dalam tata kelola pemerintahan.
Integritas yang dikehendaki oleh ketentuan Pasal 12 B adalah bahwa seharusnya penerima
dana memiliki iktikad baik, melaporkan dan menyerahkan penerimaannya kepada KPK.
Nilai (values) di balik ketentuan gratifikasi adalah bahwa setiap penerimaan oleh
penyelenggara negara atau abdi negara, dalam bentuk dan nilai seberapa pun adalah tidak
layak, tidak patut dan perbuatan tercela, selain penerimaan gajinya. Karena gratifikasi
tersebut merupakan ”keuntungan yang tidak patut/tercela” (undue advantage).
***
Pelaporan penerima gratifikasi kepada KPK harus tanpa paksaan atau faktor eksternal, dan
dalam batas waktu 30 hari. Jika pejabat/penyelenggara negara menerima gratifikasi kemudian
melaporkan kepada KPK dalam waktu 30 hari, dan kemudian ada bukti permulaan yang
cukup bahwa dana yang diterima dan dilaporkan tersebut merupakan imbalan atas perbuatan
penerima gratifikasi selaku penyelenggara negara/pegawai negeri, yang bertentangan dengan
kewajiban dalam kedudukannya sebagai penyelenggara negara atau pegawai negeri, dan
pemberian dana tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, maka
gratifikasi berubah, dan merupakan suap.
Karena, pertama pelaporan gratifikasi kepada KPK tidak dilandasi oleh itikad baik. Kedua,
pemberian ”gratifikasi” tersebut merupakan ”kick back” terhadap penerima gratifikasi. Niat
37. 37
jahat (mens-rea) pada penerima gratifikasi telah terbentuk ketika kemudian diketahui telah
terdapat ”kick back” sebagai imbalan untuk keputusan pejabat/pegawai negeri tersebut yang
bertentangan peraturan perundang-undangan. Pemberian dana oleh pihak lain dan penerimaan
dana yang didahului oleh tindakan pejabat/pegawai negeri yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk suap.
Mengapa ancaman untuk gratifikasi lebih tinggi dari suap? Hal ini disebabkan perbuatan
gratifikasi merupakan pengkhianatan terhadap integrasi, akuntabilitas, dan martabat seorang
penyelenggara negara. Sedangkan suap merupakan perbuatan atas dasar keserakahan semata-
mata (greedy).
Dalam hukum pidana, maksud dan tujuan baik dari suatu perbuatan tidak cukup menjadi
pertimbangan hakim, tetapi juga cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan baik
tersebut, yaitu harus tidak melanggar hukum. Contoh, seorang bendahara K/L
(kementerian/lembaga) memindahkan dana dari pos anggaran untuk biaya lelang kepada pos
perjalanan dinas, dengan alasan mendesak diperlukan dana untuk melakukan kunjungan dinas
ke daerah atau pengeluaran dana untuk bencana sosial yang diambil dari pos anggaran lain.
Perbuatan tersebut termasuk perbuatan melawan hukum-malaadministrasi namun tidak
mutatis mutandis mengandung unsur pidana. Perbuatan malaadministrasi menjadi tindak
pidana korupsi jika perbuatan tersebut menghasilkan ”keuntungan finansial” (kick back) bagi
bendahara yang bersangkutan atau bagi orang lain atau korporasi, yang diperoleh dari
rekanan-rekanan yang terlibat dalam penggunaan dana anggaran tersebut sehingga
mengakibatkan negara mengalami kerugian.
Dalam UU Pemberantasan Korupsi yang berlaku, sekalipun terdakwa tidak memperoleh
keuntungan, akan tetapi orang lain atau korporasi memperoleh keuntungan dan perbuatan
terdakwa dilakukan secara melawan hukum. Maka yang bersangkutan tetap dapat dituntut
melakukan tindak pidana korupsi, apalagi telah terjadi kerugian negara, dan pengembalian
kerugian keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar (Emeritus) Unpad/Direktur LPIKP
38. 38
Menagih Janji Jenderal Tito
14-07-2016
Jabatan kapolri resmi berpindah dari Jenderal Badrodin Haiti ke Jenderal Muhammad Tito
Karnavian. Ini juga bermakna bahwa mulai 13 Juli 2016, institusi Polri dari Sabang hingga
Merauke sepenuhnya berada di bawah kendali Jenderal Tito.
Akankah Jenderal Tito mampu mengemban amanah rakyat Indonesia untuk menghadirkan
polisi yang humanis dan antikorupsi? Mewujudkan lembaga Polri yang profesional, mandiri,
dan tidak mudah diintervensi dalam menegakkan hukum. Mampukah Jenderal Tito
merealisasikan sepuluh komitmen sebagaimana yang pernah disampaikannya saat menjalani
uji kepatutan dan kelayakan sebagai calon kapolri di DPR RI pada 23 Juni 2016?
Setiap kali pergantian kapolri, setiap itu pula harapan masyarakat kembali bersemi.
Maklumlah karena setiap kapolri selalu menjanjikan reformasi dan ingin menjadi teladan
dalam kepemimpinannya. Publik kini sadar bahwa tugas kepolisian berbeda dengan militer
yang mengamankan negara dari ancaman musuh, sedangkan kepolisian bertugas
mengamankan masyarakat agar tercipta ketertiban, rasa aman, perlindungan, dan menindak
pelanggaran serta pelaku kejahatan.
Meskipun terlihat sudah mulai lurus, upaya penegakan hukum dan keadilan oleh institusi
kepolisian masih dirasakan berliku dan terjal oleh masyarakat. Reformasi kepolisian
sesungguhnya bertujuan mengubah citra polisi dari yang militeristik ke polisi sipil (civilian
police) yang demokratik, harapannya, reformasi yang dilakukan dapat mengubah wajah
kepolisian sesuai dengan citra negara hukum.
Meskipun sudah terlihat berhasil, masih ada citra negatif yang hingga kini tersemat di korps
berbaju cokelat itu. Hal ini terlihat masih menonjolnya kekuasaan (power) yang berujung
kekerasan dan penyiksaan saat aparat polisi menjalankan tugasnya. Bukan sekadar isu lagi,
melainkan fakta bahwa kepolisian dengan ”force and power” yang dimilikinya masih
menggunakan pemerasan, korupsi, kekerasan, intimidasi, dan pelanggaran hak asasi manusia
dalam penegakan hukum.
Dalam catatan Kontras, sebuah LSM yang pro-hak asasi manusia, Polri masih menduduki
peringkat tertinggi sebagai aktor pelaku penyiksaan periode 2015-2016. Begitu juga dengan
potensi korupsi di tubuh Polri. Dalam satu jajak pendapat yang dilansir oleh satu media
nasional terbaca masih ada perbedaan yang kecil antara publik yang percaya dan tidak
percaya terkait pertanyaan apakah mereka percaya Jenderal Tito bisa memberantas korupsi di
kepolisian? Yang menjawab ”Tidak” hanya 46,5% dan yang menjawab ”Ya” sekitar 48,3%.
39. 39
Jenderal Tito berjanji akan membentuk tim internal anti-korupsi di institusi Polri. Seperti
menerapkan sistem laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) kepada pengawas
internal, optimalisasi whistleblower online untuk internal Polri, serta menerbitkan peraturan
kapolri untuk bisnis anggota Polri.
***
Pernyataan Tito yang menarik adalah pengakuan terhadap reformasi kultural di tubuh
kepolisian sejak 18 tahun era Reformasi menurutnya belum kunjung tiba dan sulit diterapkan.
Karena itu, menurut Tito, reformasi internal Polri akan fokus pada persoalan kultural Polri,
yang sering dianggap koruptif, hedonis, dan konsumtif, melalui beberapa langkah antara lain
perubahan dalam proses rekrutmen Polri, penempatan karier, serta perubahan postur anggaran
di kepolisian.
Menurut Tito, anggaran kepolisian saat ini sebanyak 62% untuk belanja pegawai, 28% untuk
operasional, sisanya untuk belanja modal. Ini bukti Polri tidak sehat. Karena itu, postur
anggaran Polri harus diubah agar mampu memberikan pelayanan yang lebih optimal.
Berkaitan dengan reformasi kultural di tubuh Polri, Tito menyebutkan, pihaknya akan
menyiapkan perekat yang dibuat sebagai mekanisme pencegahan sekaligus memperjuangkan
peningkatan kesejahteraan anggota Polri. Baik tunjangan kinerja, kesehatan, dan perbaikan
perumahan serta belanja operasional sampai ke polsek bisa meningkat secara bertahap. Selain
itu, Tito juga menjanjikan akan melakukan upaya profesionalisme Polri dalam layanan
umum, dalam penegakan hukum, dan penanganan gangguan kamtibmas.
Berkaitan dengan pelayanan publik, haruslah yang mudah diakses, regulasi proses di loket,
quick response, dan modernisasi teknologi. Dalam penegakan hukum, Tito berjanji
melakukan penanganan kasus yang menjadi perhatian publik yang meliputi kejahatan anak,
teroris, dan narkoba. Tito juga akan meningkatkan kemampuan penyidik seperti peningkatan
Laboratorium Forensik Polri.
***
Sejuta harapan kini berada di pundak Jenderal Tito. Usianya yang masih muda, karier yang
melesat, dan jejak rekam yang relatif ”clean and clear” diyakini oleh mayoritas publik
sebagai modal bagi Jenderal Tito untuk menaklukkan medan dan tantangannya sebagai
kapolri.
Juga mengatasi kebimbangan posisinya yang di satu sisi adalah penegak hukum, sementara di
sisi lain adalah ”bawahan” Presiden. Salah melangkah, Jenderal Tito akan menjadi ”Jenderal
Istana” alias menjadi ”tukang pukul” terhadap lawan-lawan politik penguasa.
Akhirnya, publik Indonesia dan masyarakat internasional tentu ingin menagih Jenderal Tito
untuk menunaikan janji-janjinya yaitu Polri menjadi institusi yang berdedikasi penuh kepada
40. 40
rakyat berlandaskan demokrasi; proaktif dalam mewujudkan masyarakat yang menjunjung
tinggi hukum dan rasa keadilan hak-hak asasi manusia; profesional dan akuntabel dalam
pelayanan pencegahan kejahatan, penegakan hukum, dan penciptaan rasa aman dan bebas
rasa takut yang meluas di masyarakat, serta dicintai secara nasional dan diakui secara
internasional; mewujudkan lembaga Polri yang mandiri, terbuka, bermoral, serta memiliki
kredibilitas dan kompetensi yang unggul dalam setiap perubahan lingkungannya.
Selamat bertugas Jenderal Tito. Menjadi pemimpin pada dasarnya siap untuk melayani,
bukan dilayani. Siap mempertahankan independensi dan menjaga jarak dengan setiap
kekuatan yang ingin membusukkan institusi Polri. Yakinlah bahwa ”Gusti Allah ora sare”
dan rakyat percaya bahwa Jenderal Tito akan mampu membentuk dan membangun tim yang
bekerja keras untuk melanjutkan dan mengembalikan Polri agar kembali dipercaya oleh
rakyatnya sendiri. Kepercayaan adalah modal utama untuk berdiri di atas panggung
pengabdian.
M NASIR DJAMIL
Anggota Komisi III DPR RI
41. 41
Tito, Polri, dan Pemberantasan Korupsi
15-07-2016
Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya melantik Jenderal Polisi Tito Karnavian, Rabu
(13/7) lalu, di Istana Negara sebagai kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Polri). Dalam acara pelantikan Kapolri tersebut, melalui pidatonya, Presiden Jokowi
menekankan pentingnya pelaksanaan reformasi internal untuk menyelamatkan wajah Polri.
Melalui artikel ini, penulis akan memfokuskan pada salah satu agenda reformasi Polri yang
mendesak terkait dengan pemberantasan korupsi di Indonesia. Ini akan menjadi pekerjaan
rumah yang besar bagi beliau saat secara resmi mengambil alih tongkat komando pimpinan
Polri dari Jenderal Badrodin Haiti.
Terlepas dari kemajuan dalam mempertahankan sistem demokrasi setelah hampir 20 tahun
belakangan ini, reformasi sistem penegakan hukum salah satu sektor yang tidak mengalami
kemajuan signifikan. Dalam survei yang dilakukan oleh the World Global Justice terhadap
100.000 keluarga dan 2.400 ahli mengenai pengalaman praktis terkait penegakan hukum,
Indonesia hanya memperoleh skor 0.52 (tertinggi 1) dan menempati peringkat ke-52 dari 102
negara yang disurvei. Dalam komponen absennya korupsi pada kepolisian/militer, Indonesia
hanya memperoleh skor 0.43.
Sedangkan dalam indeks kebebasan (freedom index) tahun 2016 yang menempatkan
Indonesia dalam kategori negara sebagian bebas (partly free), pada komponen penegakan
hukum Indonesia mendapat skor terendah, yakni 5 dari nilai maksimum 16.
Polri dan Kasus Korupsi
Polisi melepaskan diri dari militer yang waktu itu dikenal dengan nama Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI) pada 1999, merupakan salah satu mandat reformasi yang ingin
mengurangi dominasi militer yang sangat berkuasa di masa Orde Baru. Posisi polisi secara
politik menjadi lebih kuat dengan disahkannya Undang-Undang Kepolisian Nomor 2/2002.
Namun dalam perjalanannya berbagai kontroversi muncul dalam konteks penanganan kasus
korupsi besar, yang melibatkan petingginya, dan juga konflik dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Pada masa Kapolri Sutanto (2005-2008) terdapat beberapa usaha penertiban dalam organisasi
kepolisian saat menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan para petinggi
polisi. Hasilnya pada kasus penerbitan fiktif letter of credit dari Bank Nasional Indonesia
42. 42
(BNI), untuk pertama kalinya di era Reformasi petinggi polisi bintang tiga dan beberapa
perwira tinggi lainnya divonis bersalah oleh pengadilan karena kasus korupsi.
Dengan semakin berfungsinya KPK di era periode pertama Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (2004-2009), lagi-lagi beberapa kasus korupsi melibatkan beberapa perwira
tinggi polisi. Pertama kalinya mantan kapolri dan jenderal polisi bintang empat divonis
bersalah atas dugaan pungutan liar saat menjabat sebagai duta besar Malaysia.
Dan pada masa periode kedua Presiden SBY (2009-2014), KPK lagi-lagi mengungkapkan
kasus korupsi yang melibatkan perwira tinggi Polri. Dalam kasus pengadaan mesin driving
simulator untuk pengurusan surat izin mengemudi (SIM), mantan kepala Korlantas divonis
bersalah karena menurut temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), diduga terdapat
kerugian bagi negara di atas Rp121 miliar. Dalam kasus ini terdapat eskalasi konflik antara
KPK dan polisi yang menyebabkan Presiden SBY turun tangan dalam menurunkan tensi
politik antara kedua institusi, yang dipicu oleh upaya penangkapan penyidik KPK Novel
Baswedan.
Sementara di awal era Presiden Jokowi yang baru dilantik pada Oktober 2014, lagi-lagi
konflik antara KPK dan polisi kembali timbul. KPK yang saat itu yang dipimpin oleh
Abraham Samad menetapkan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka.
Namun pada akhirnya, Pengadilan Jakarta Selatan menggugurkan status tersangka BG
tersebut.
Namun, kejadian itu membawa implikasi politik selanjutnya di mana dua pimpinan KPK,
Bambang Widjajanto dan Abraham Samad, dijadikan tersangka oleh polisi. Keduanya terjerat
kasus lama. Namun setelah kasus ini dilimpahkan kepada kejaksaan, Jaksa Agung Prasetyo
akhirnya memutuskan untuk mengesampingkan perkara (deponering) dari Bambang dan
Abraham atas nama kepentingan publik yang lebih luas pada Maret 2016.
Identifikasi Masalah Polri
Berbagai macam studi yang telah dilakukan mencoba mengidentifikasikan berbagai masalah
di dalam institusi Polri. Dalam laporan yang diterbitkan oleh International Crisis Group
(ICG) pada 2012, berargumen bahwa budaya militer masih teramat kuat di institusi
kepolisian sehingga fungsi pelayanan masyarakat menjadi tidak maksimal.
Selain itu, juga ICG mengidentifikasikan masalah kualitas SDM di dalam kepolisian di mana
akibat rekrutmen yang tidak transparan dan akuntabel, sehingga sulit untuk menanamkan
budaya kerja secara profesional.
Riset yang dilakukan oleh Jacqui Baker dalam artikelnya berjudul the Rhizome State:
”Democratizing Indonesias off-budget Economy (2015)”, mengidentifikasikan bahwa
kekurangan biaya operasional dalam organisasi Polri memberikan insentif kepada para
perwira untuk berjiwa ”kewirausahaan” guna menutupi kekurangan dana tersebut. Akibatnya
43. 43
aktivitas ekonomi tidak resmi inilah, maka sistem organisasi kepolisian menjadi
disfungsional.
Sementara temuan dari penelitian yang dilakukan oleh akademisi Selandia Baru John W
Buttle and Sharyn Graham Davies bersama dengan Adrianus Meliala dari UI yang berjudul
”A Cultural Constraint Theory of police corruption: Understanding the persistence of police
corruption in contemporary Indonesia (2015)” adalah polisi tidak bisa disalahkan sepenuhnya
terhadap korupsi yang timbul di institusi mereka. Menurut John W Buttle dkk., norma dan
kebiasaan di dalam masyarakat Indonesia --misalnya dengan membayar suap-- turut
memperkuat praktek korupsi di kepolisian.
Tentu saja Tito sangat menyadari berbagai masalah di tubuh kepolisian tersebut. Seusai
dilantik, dia berjanji untuk mengurangi budaya koruptif institusi Polri, yang salah satunya
dengan mewajibkan pelaporan harta kekayaan para pejabat Polri, meski dilakukan secara
bertahap.
Dari segi kepangkatan, kualifikasi akademis, pengalaman dan prestasinya di atas kertas,
seharusnya Tito mampu mendorong reformasi kepolisian yang lebih progresif, dibandingkan
pendahulunya. Oleh karena itu, kualitas kepemimpinan beliau akan menjadi kunci untuk
dapat merealisasikan perubahan tersebut dengan tingkat resistensi yang minimal baik dari
pihak internal maupun eksternal Polri.
VISHNU JUWONO
Dosen Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi UI dan Kandidat Doktor di London
School of Economics and Political Science (LSE)
44. 44
Beragama adalah Bernegara
16-07-2016
Masih ada saja orang yang mempertentangkan antara tugas bernegara dan tugas beragama.
Mereka menganggap melaksanakan tugas agama (ibadah) tidak mempunyai kaitan dengan
melaksanakan tugas negara.
Di kalangan kaum muslimin di Indonesia, pendapat yang seperti ini ada juga. Padahal, dari
sudut Islam, melaksanakan tugas negara itu ya melaksanakan tugas agama. Pandangan ini
bisa dilihat dari misi kenabian. Ketika Nabi Muhammad mendapat wahyu untuk mengajak
umat manusia, utamanya kaum Qurais, menyembah Tuhan Yang Maha Esa atau mengajak
kembali ke tauhid, perintah ikutannya adalah melawan kezaliman dan membongkar struktur
sosial yang tidak berkeadilan. Nabi pun melawan tokoh-tokoh Qurais yang korup dan tidak
adil seperti Abu Jahal, Abu Lahab.
Nabi juga diperintahkan oleh Allah untuk mengajak umatnya berjuang mengentaskan
masyarakat kemiskinan dan mengangkat kaum lemah-papa (duafa). Di dalam ayat-ayat
Alquran yang turun pada periode Mekkah (sebelum Nabi hijrah ke Madinah), perintah
membangun kesejahteraan sosial itu sangat tegas.Di dalam Surat Al-Maun, misalnya,
disebutkan bahwa orang yang mengabaikan anak yatim dan tidak peduli kepada orang miskin
adalah pendusta (bohong dan berpura-pura saja) dalam beragama. Bahkan di surat yang sama
dikatakan bahwa orang yang salat itu akan diganjar dengan neraka (wayl) jika lalai dalam
salatnya. Lalai dalam salat bukan hanya berarti malas melakukan ritualnya sesuai dengan
rentang waktu-waktunya, melainkan juga lalai terhadap konsekuensi sosial dari salat.
Konsekuensi sikap sosial dari salat itu disimbolkan oleh gerakan terakhir salat, yakni
mengucapkan salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Salat dimulai dengan takbir
(Allahu Akbar) yang berarti hanya beriman dan akan menyembah Allah Yang Maha Esa
(vertikal). Salat diakhiri dengan salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri yang berarti
setelah salat akan memperhatikan keadaan di kanan dan di kiri (horizontal), yakni
memperhatikan kehidupan sekeliling dan siap membangun kesejahteraan masyarakat. Itulah
tugas dan kewajiban dalam beragama.
Tugas dan kewajiban yang bersumber dari agama tersebut sama belaka dengan tugas dan
kewajiban bernegara berdasar konstitusi di Indonesia. Menurut Alinea I Pembukaan UUD
1945 Indonesia memerdekakan diri dari penjajahan karena penjajahan tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
Selanjutnya menurut Alinea IV Pembukaan UUD 1945 salah satu tujuan negara kita adalah
memajukan kesejahteraan umum. Tujuan negara tentang pembangunan kesejahteraan sosial
45. 45
itu diperkuat lagi di dalam sila kelima dari dasar negara (Pancasila), yakni ”keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Bukan hanya itu. Di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dicantumkan juga
satu bab tersendiri tentang tugas membangun kesejahteraan masyarakat, yakni Bab XIV
tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Pada Pasal 33 yang merupakan
bagian dari Bab XIV tersebut ditekankan bahwa sumber daya alam kita dikuasai negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya pada Pasal 34 ditegaskan
juga bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara dan negara harus
membangun sistem jaminan sosial dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Dengan demikian secara mendasar ada perhimpitan dalam arti kesamaan kewajiban yang
dibebankan kepada kita oleh agama dan oleh negara, yakni membangun kesejahteraan umum
dan keadilan sosial, mengangkat kaum duafa dari keterpurukan. Jadi beragama adalah
bernegara, melaksanakan kewajiban agama adalah melaksanakan kewajiban negara. Isi Surat
Al-Maun dalam Alquran adalah sama dengan isi Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang
mewajibkan kita menolong anak yatim (telantar) dan memedulikan orang-orang miskin.
Karena ada perhimpitan misi dan tugas yang seperti itu, maka ada yang berpendapat bahwa
membayar pajak sebagai kewajiban terhadap negara itu sama wajibnya dengan membayar
zakat sebagai kewajiban dalam agama. Bahkan ada yang berpendapat lebih jauh dari itu,
membayar pajak itu dapat dijadikan sebagai ganti pembayaran zakat. Kita tidak harus
sependapat dengan hal tersebut, tetapi pesan dasar yang bisa disepakati adalah: membela
kaum lemah-papa (duafa), anak yatim telantar, dan fakir miskin merupakan kewajiban atau
tugas suci kita di dalam beragama dan bernegara.
Maka itu, siapa pun kita akan menjadi pendusta atau berpura-pura saja dalam beragama kalau
kita tidak mau menegakkan keadilan dan tidak ikut membangun struktur sosial dan politik
yang adil. Orang yang tak peduli dan tak berani menegakkan keadilan bagi kaum duafa juga
dapat dianggap tidak mempunyai nasionalisme atau sikap pembelaan terhadap eksistensi
bangsa dan negaranya.
Mengapa? Karena kemiskinan bisa menimbulkan kekufuran atau suka melanggar karena
terpaksa dan didesak oleh kebutuhan. Mengapa pula? Karena ketidakadilan menjadi bibit
runtuhnya sebuah negara.
Saya sering mengatakan, basis nasionalisme kita ke depan tidak dilakukan dengan perang
yang didukung peralatan perang fisik melawan agresi negara lain. Basis nasionalisme kita ke
depan adalah penegakan hukum dan keadilan. Kalau mau membela negara, tegakkanlah
hukum dan keadilan. Kalau kita tak mau menegakkan hukum dan keadilan untuk mengangkat
derajat kemanusiaan kaum lemah, bisa diartikan rasa nasionalisme kita tipis karena
membiarkan terjadinya ancaman bagi eksistensi negara dan bangsa.
46. 46
MOH MAHFUD MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-
HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
47. 47
Kudeta dan Publik
18-07-2016
Pertanyaan menarik seorang kolega via media sosial terkait dengan kudeta militer di Turki
yang gagal, apakah semata-mata karena internal militer Turki yang tidak solid atau pesona
politik Tayyip Erdogan yang begitu karismatik sehingga mampu mengendalikan keadaan?
Keduanya memang menjadi faktor penting, tapi yang terpenting dalam kasus Turki adalah
menguatnya konsolidasi publik dalam merespons ancaman yang datang dari manuver politik
sebagian faksi di tubuh militer Turki tersebut. Bahkan harus diakui bahwa mobilisasi massa
terkait penolakan kudeta militer tersebut juga menguatkan argumentasi bahwa integrasi
kepemimpinan politik sipil dengan dukungan masif publik akan mampu memproteksi sistem
politik demokrasi yang tengah berjalan tersebut.
Bahwa kemudian Erdogan memiliki agenda menggeser orientasi politik negara Turki dari
sekularisme Kemal Attaturk ke yang lebih agamais sebagaimana ideologi politik Partai
Keadilan & Pembangunan (AKP), respons yang baik dengan terlebih dahulu dilakukan
adalah mencegah praktik kekuasaan politik tidak demokratis yang coba dilakukan oleh faksi
militer Turki dalam bentuk kudeta militer.
Hal ini juga meyakinkan penulis bahwa ketika Erdogan mencoba merealisasikan agenda
politiknya dengan mengubah ideologi politik Turki dari sekularisme Kemal Atturk menjadi
ideologi yang lebih agamais, publik Turki juga akan melakukan penolakan yang kurang-lebih
sama dengan apa yang dilakukan saat menolak kudeta militer Turki.
Gerakan rakyat yang menjatuhkan rezim pemerintahan banyak terjadi di sejumlah
negara. Namun, hal yang berbeda adalah bagaimana publik memproteksi pemerintahan yang
tengah berkuasa di Turki. Saat Presiden Muhammad Mursi juga digoyang oleh kudeta militer
di Mesir, langkah yang sama juga coba dilakukan dengan membangun konsolidasi rakyat
untuk memproteksi kekuasaan Mursi. Karena publik sudah terpecah akibat kebijakan yang
kurang tepat Mursi, langkah untuk memproteksi kekuasaan pemerintahan sipil demokratis di
Mesir gagal dilakukan, militer Mesir melenggang merebut kekuasaan Mursi yang seumur
jagung.
Ada empat alasan mengapa konsolidasi publik sangat cepat dan efektif dalam melawan dan
mencegah kudeta militer berhasil di Turki, yakni: Pertama, pengalaman rakyat Turki yang
telah mengalami sejumlah kudeta militer sejak 1960 hingga 2016, empat kudeta sebelumnya
berhasil mengambil kekuasaan pemerintahan yang sah. Yang lainnya digagalkan karena
pemerintah yang berkuasa tersebut cepat mengindikasikan gerakan sekelompok militer yang
berupaya merebut kekuasaan. Pada 2003 rencana kudeta bahkan dapat digagalkan dan