SlideShare a Scribd company logo
1
DAFTAR ISI
KASUS HAK TANAH SUMBER WARAS
Romli Atmasasmita 4
ARAH BARU HUBUNGAN INDONESIA-SINGAPURA
Tantowi Yahya 7
PILIHAN PROGRESIF PRESIDEN JOKOWI
Marwan Mas 11
LAGI, PENYANDERAAN DI FILIPINA
Dinna Wisnu 14
TEMAN AHOK & ILUSI KEBANGKITAN MASYARAKAT SIPIL
Hurriyah 18
GAGAL PAHAM PEMBATALAN PERDA
Ahmad Yani 21
MENGHADAPI ANCAMAN SI TRIO
Moh Mahfud MD 25
DERADIKALISASI VS BRUTALITAS PELAKU TEROR
Bambang Soesatyo 28
MENANTI KAPOLRI
Amzulian Rifai 31
GRATIFIKASI DAN SUAP
Romli Atmasasmita 35
MENAGIH JANJI JENDERAL TITO
M Nasir Djamil 38
TITO, POLRI, DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
Vishnu Juwono 41
BERAGAMA ADALAH BERNEGARA
Moh Mahfud MD 44
KUDETA DAN PUBLIK
Muradi 47
ANDAI RESHUFFLE, SEPAKBOLA
M Alfan Alfian 50
TURKI PASKA-KUDETA
2
Dinna Wisnu 53
MENGEMBALIKAN POLRI KEPADA FITRAHNYA
Tjatur Sapto Edy 57
TEWASNYA SANTOSO: AKHIR PERBURUAN TERORIS?
Frega Wenas Inkiriwang 60
TEROR NICE DAN TEWASNYA SANTOSO
Amidhan Shaberah 63
G30S PKI BUKAN PELANGGARAN HAM BERAT, TAPI MAKAR
Romli Atmasasmita 66
JANGAN MATIKAN HUKUMAN MATI
M Nasir Djamil 70
ASEAN DAN KONSENSUS
Dinna Wisnu 73
MENCARI MENTERI BISA BEKERJA
Benny Susetyo 76
RESHUFFLE JILID 2: UNJUK KEKUATAN JOKOWI?
Hurriyah 79
KABINET KOMPROMI JOKOWI
Gun Gun Heryanto 82
RESHUFFLE DALAM BAYANG-BAYANG OLIGARKI
Firman Noor 85
AKANKAH JEPANG KEMBALI KE JALAN SAMURAI?
Agus Trihartono 88
PPI MENYOAL KEDAULATAN
Moh Mahfud MD 91
PROPORSIONAL DAFTAR TERTUTUP VS TERBUKA
Janedjri M Gaffar 94
JANGAN PAKSA TNI TANGANI PIDANA TERORISME
Bambang Soesatyo 97
POLEMIK MENUNDA EKSEKUSI MATI
Marwan Mas 100
MORAL & POLITIK
Dinna Wisnu 103
3
KEMANUSIAAN DI ATAS HUKUM
Sudjito 106
POLRI, FREDDY, DAN HARIS
Ahmad Riza Patria 109
PILKADA DAN PENCERDASAN PUBLIK
Iding Rosyidin 113
HARUSKAH PARPOL DISUBSIDI NEGARA?
Arya Fernandes 116
TENTANG KUDETA DI ZAMAN KITA
M Alfan Alfian 119
HARIS AZHAR DAN DAVID GALE
Moh Mahfud MD 122
HUBUNGAN SETNOV-JOKOWI YANG DIPAKSAKAN
Tjipta Lesmana 124
SEPARUH JALAN PINDAD
Susaningtyas Nefo Kertopati 128
NARKOBA DAN KORUPSI
Dinna Wisnu 132
PEMBEBASAN WNI SANDERA ABU SAYYAF
Bagong Suyanto 135
URGENSI PERDA STANDAR KOMPETENSI
Dewi Aryani 138
CUTI PILKADA DAN HUKUMAN KORUPTOR
Moh Mahfud MD 141
AHOK MENANTANG, PDIP MENAKAR
Prijanto 144
PROKLAMASI DAN KONSTITUSI
Sudjito 150
SPIRIT KEMERDEKAAN, PANCASILA, DAN UUD 1945
Hendardji Soepandji 153
PARADOKS HAK TERPIDANA MATI DAN KHUSUS
Romli Atmasasmita 157
REMISI DAN ALASAN TAK MASUK AKAL
Bambang Soesatyo 160
4
Kasus Hak Tanah Sumber Waras
23-06-2016
Proses pengadaan tanah oleh Pemda DKI melalui transaksi pelepasan hak atas tanah Yayasan
Kesehatan Sumber Waras (YKSW) kepada Pemda DKI dengan pemberian ganti kerugian
sebesar Rp755.689.550.000,00.
Penggantian itu berdasarkan perhitungan nilai jual objek pajak (NJOP) di lokasi alamat Kyai
Tapa sebesar Rp20.755.000,00/m2 dengan luas tanah 36.410 m2. Transaksi terjadi di hadapan
notaris Tri Firdaus Akbarsyah SH (Akta Notaris Nomor 37 tanggal 17 Desember 2014).
Akta notaris tersebut ditandatangani oleh pihak Pemda DKI diwakili Kepada Dinas
Kesehatan Pemda DKI, dan pihak YKSW diwakili oleh pengurusnya. Di dalam akta notaris
tersebut disetujui klausul-klausul antara lain semua gugatan perdata atau tuntutan pidana
merupakan tanggung jawab pihak Pemda DKI.
Di dalam proses transaksi pelepasan hak atas tanah YKSW ketika itu (2014), terdapat fakta
bahwa status tanah tersebut ketika terjadi transaksi pelepasan hak, tidak dalam keadaan
”clean and clear”. Yaitu, pertama, status tanah RS Sumber Waras belum jelas hak
kepemilikannya. Selain itu, tanah juga sedang dalam proses gugatan perdata antara pengurus
YKSW, Kartini Mulyadi dkk., dan anggota pengurus lain I Wayan Suparmin (IWS).
Kedua, YKSW masih menunggak pajak bumi dan bangunan (PBB) selama kurang-lebih
delapan tahun senilai Rp10.603.718.309,00 (sepuluh miliar enam ratus tiga juta tujuh ratus
delapan belas ribu tiga ratus sembilan rupiah). Total tunggakan terdiri atas PBB terutang dan
denda administrasi sesuai basis data SIM PBB-P2 Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI
Jakarta sehingga pihak YKSW termasuk wajib pajak (WP) yang tidak patuh.
Penetapan nilai tanah hak guna bangunan (HGB) YKSW ditetapkan berdasarkan
NJOP. Sedangkan baik Undang-Undang (UU) Nomor 2/2012 dan perpres pelaksanaannya
hanya dapat dilakukan oleh tim penilai (appraisal). Adapun peraturan menteri keuangan
terkait pengadaan tanah hanya mengatur tentang dana operasional dan pendukung.
Dispute mengenai letak tanah seharusnya tidak hanya membaca sertifikat Badan Pertanahan
Nasional (BPN), melainkan juga perlu dilihat lokasinya secara riil untuk mengetahui kondisi
nyata. Aspek hukum pidana tidak hanya menemukan kebenaran formal berdasarkan
dokumen/surat, melainkan juga kebenaran materiil dari suatu peristiwa dengan mengetahui
secara faktual dan motivasi dari suatu perbuatan terkait kasus ini adalah kebijakan Pemda
DKI.
5
***
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga independen dan bagian dari sistem
peradilan pidana sesuai dengan UU Badan Pemeriksa Keuangan dan UU KPK seharusnya
tetap berpegang pada hasil audit BPK, sekalipun ada perbedaan penilaian mengenai kerugian
negara.
KPK harus menghormati antarsesama lembaga, apalagi hasil audit investigasi BPK adalah
atas permintaan BPK. Dan, BPK berdasarkan UUD dan UU BPK merupakan lembaga auditor
negara yang diakui, serta pelanggaran atas rekomendasi BPK RI merupakan tindak pidana
dan dapat diancam pidana.
BPK RI telah menyerahkan hasil audit investigasi pada 7 Desember 2015 dengan kesimpulan
telah terjadi kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya sebesar Rp173.129.550.000,00
(seratus tujuh puluh tiga miliar seratus dua puluh sembilan juta lima ratus lima puluh ribu
rupiah).
Persoalan kekeliruan hasil penghitungan bukanlah kewenangan pihak siapa pun, termasuk
KPK, untuk memberikan penilaian. Masing-masing lembaga telah diatur kewenangannya
dalam undang-undang sendiri, serta tugas dan wewenang KPK berdasarkan UU KPK Nomor
30/2002 tidak termasuk memberikan penilaian ada-tidak ada kerugian negara.
Pernyataan KPK yang menyatakan secara terbuka di dalam rapat dengar pendapat dengan
Komisi III DPR RI bahwa dalam kasus YKSW tidak terdapat unsur perbuatan melawan
hukum terlalu dini dan terdapat kekeliruan tafsir mengenai ketentuan Pasal 121 di dalam
perubahan Perpres 40/2014. Yang pada intinya, pertama, perubahan luas lahan dan terkait
hubungan transaksional langsung dengan pemegang hak atas tanah, diperkuat oleh Pasal 53
PerKa BPN Nomor 5/2012 yang telah diubah dengan PerKa BPN Nomor 6/2015 tentang
petunjuk teknis pelaksanaan pengadaan tanah.
Peraturan Kepala (PerKa) BPN yang sesungguhnya merupakan salah satu saja dari seluruh
tahapan penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, di samping tahap
perencanaan, tahap persiapan, dan tahap penyerahan hasil (Pasal 13 UU Nomor 2/2012).
***
Kekeliruan tafsir hukum dan ketidaktelitian Pemda DKI atas ketentuan pasal tersebut yang
mengakibatkan seluruh prosedur tahapan dalam UU a quo dianggap tidak perlu diikuti
sepenuhnya. Pertanyaannya, jika demikian tafsir hukum tersebut, bagaimana suatu Perpres
dan PerKa BPN dapat menegasikan seluruh ketentuan UU dengan dalih apa pun? Bahkan,
jika benar demikian, Perpres dan PerKa BPN batal demi hukum (van rechtnieteg).
Bukti-bukti temuan BPK RI menunjukkan bahwa seluruh tahapan pengadaan tanah terkait
transaksi pelepasan hak atas tanah HBG YKSW tertanggal 17 Desember 2014 tidak didahului
6
dengan dokumen pendukung dan pembentukan satuan kerja. Namun, kemudian seluruh
dokumen terkait telah dilengkapi Pemda DKI dengan pembubuhan tanggal mundur (back-
date) hasil audit investigasi BPK RI terdapat tujuh penyimpangan.
Pola pembubuhan tanggal mundur pada dokumen pendukung juga di dalam Peraturan
Gubernur DKI mengenai penetapan NJOP tertanggal 27 Desember 2013. Tetapi,
pembubuhan paraf pada peraturan gubernur DKI tersebut terjadi pada 21 Januari 2014
merupakan perbuatan melawan hukum, bahkan merupakan perbuatan dengan sengaja (dolus)
bukan semata-mata kekeliruan atau kelalaian (culpa).
Terkait kasus pelepasan hak atas tanah atas nama pengurus YKSW, tidaklah relevan
menghubungkannya dengan pengertian lex posteriori derogat lege priori, lex specialis
derogat lege generali, atau pun perihal ”in dubio pro reo”.
Pengertian hukum yang pertama suatu kemustahilan bahwa Perpres Nomor 40/2014
merupakan lex specialis terhadap ketentuan yang sama (Pasal 121) di dalam Perpres Nomor
71/2012 karena sifatnya hanya perubahan demi kepastian hukum yang telah disesuaikan
dengan perkembangan kebutuhan pengadaan tanah di bawah 5 ha.
Pengertian kedua adalah mustahil jika peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang dapat menegasikan berlakunya suatu undang-undang. Dan, pengertian hukum ketiga
terkait kasus YKSW, tidak ada keragu-raguan mengenai tafsir hukum atas perpres perubahan
dimaksud (2014) dan PerKa BPN (2015). Secara hierarkis dan rumusan ketentuan tersebut
telah memenuhi asas lex certa.
Yang tidak kalah pentingnya dari kasus transaksi pelepasan hak atas tanah YKSW dan Pemda
DKI adalah, jika temuan dan rekomendasi BPK RI tidak ditindaklanjuti oleh Pemda DKI dan
KPK, tetap bersikukuh pada pendirian bahwa tidak ada unsur melawan hukum dalam
kebijakan Pemda DKI, maka, terhentinya kasus ini pada tahap penyelidikan merupakan
preseden buruk dalam tata kelola negara berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang
baik dan dibenarkan. Selain itu, diikuti oleh pejabat daerah provinsi, kotamadya, dan
kabupaten di seluruh Indonesia dalam transaksi pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum. Quo vadis KPK?
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
7
Arah Baru Hubungan Indonesia-Singapura
23-06-2016
Benci, tapi rindu. Mungkin terma tersebut bisa menggambarkan dinamika hubungan
Indonesia dengan salah satu negara tetangga terdekat, Singapura.
Paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir muncul sejumlah riak (dinamika) diplomasi yang
mewarnai hubungan dua negara. Di antaranya ”serangan” asap akibat kebakaran hutan di
Indonesia yang kerap berulang dan melumpuhkan perekonomian Singapura. Lalu, penolakan
proposal Kesepakatan Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement) atau yang
biasa disebut DCA oleh Indonesia yang dianggap kurang memberikan manfaat yang setara.
Isu lain tentang stereotip Singapura di kalangan masyarakat Indonesia, di mana Negeri Singa
tersebut kerap dianggap sebagai bungker koruptor Indonesia. Belum lagi isu reklamasi pantai
Singapura yang dianggap merusak keseimbangan ekosistem di Kepulauan Natuna dan
sekitarnya. Dan, yang terakhir dan selalu menjadi ganjalan tentang sejarah Usman-Harun
yang dilihat berbeda oleh rakyat di dua negara.
Semua isu di atas selalu muncul dan menjadi topik hangat dalam tiap diskusi tentang
Indonesia-Singapura. Seperti yang penulis alami bulan lalu saat memberikan insight
mengenai hubungan Indonesia-Singapura kepada civil servant Singapura di Kedutaan
Singapura di Jakarta.
Dalam kesempatan tersebut, peserta juga menyinggung tentang DCA dan Usman-Harun. Itu
artinya bahwa perlu ada upaya yang serius dari pemimpin dua negara untuk lebih
meningkatkan lagi dialog dan kerja sama sehingga peluang kesalahpahaman di masa depan
bisa diminimalisasi.
Menariknya, di luar jalur diplomasi formal, bagi rakyat Singapura dan Indonesia, hubungan
baik dua jiran sangatlah penting, seiring ada fakta bahwa ketergantungan masyarakat di dua
negara, khususnya kelas menengahnya. Kota Singapura bagi kelas menengah Jakarta dan
kota-kota besar di Indonesia ibarat destinasi rutin yang entah kenapa sulit tergantikan—
misalnya dengan Kuala Lumpur atau Bangkok.
Meskipun predikat sebagai surga belanja kini tak lagi melekat bagi Singapura—dan
maraknya mal-mal di Jakarta yang melebihi Singapura, tetap saja minat warga Indonesia
untuk melancong ke Negeri Singa tersebut tetap tinggi. Tercatat selama 2015 tak kurang dari
2,7 juta kelas menengah Indonesia menghabiskan akhir pekannya di Singapura.
Menutup Luka Lama
8
Sebaliknya bagi warga Singapura, Indonesia merupakan destinasi terdekat yang atraktif dan
menawarkan sesuatu yang berbeda dengan Kota Singapura yang sempit. Keindahan Bali yang
sudah mendunia tetap menjadi tujuan utama pelancong Singapura, selain Batam, Jakarta, dan
kota lain. Pada 2015 BKPM mencatat Singapura sebagai investor terbesar Indonesia dengan
nilai investasi sebesar USD5,9 miliar, melewati Malaysia (USD3,1 miliar), Jepang (USD2,9
miliar), Belanda (USD1,3 miliar), dan Korea Selatan (USD1,2 miliar).
Untuk meningkatkan kerja sama dan menjaga stabilitas di masa depan, dua negara harus
melakukan transformasi khususnya dalam pemaknaan sejarah. Terutama pada isu Usman-
Harun yang sensitif di telinga warga Singapura maupun Indonesia. Tak jarang setiap
ketegangan hubungan dua negara, isu Usman-Harun kerap diungkit kembali.
Usman dan Harun merupakan prajurit TNI AL Indonesia yang dituduh melakukan
pengeboman di Orchard Road, 1965, bertepatan politik konfrontasi Indonesia-
Malaysia. Setelah insiden tersebut, di masa-masa awal pemerintahannya, Presiden Soeharto
secara terbuka meminta kepada PM Lee Kuan Yew untuk memberikan keringanan hukuman
kepada dua prajurit tersebut. Namun, ternyata permintaan Indonesia ditolak dan Usman-
Harun dieksekusi pada 17 Oktober 1968.
Merespons langkah Singapura yang dianggap berlebihan kala itu, Jakarta ”membekukan”
hubungan dengan Singapura. Secara simbolik kedatangan jenazah Usman dan Harun ke
Tanah Air disambut besar-besaran.
Beberapa tahun setelah momen tersebut, Lee merasa harus memperbaiki hubungan dengan
Jakarta. Ia mengambil langkah yang cukup kontroversial guna meredakan hubungan
Singapura-Indonesia. Pada 1973 PM Lee melakukan kunjungan kenegaraan. Mendengar
keinginan Lee, Presiden Soeharto mengajukan syarat agar pemimpin Singapura itu
melakukan tabur bunga di makam Usman-Harun sebagai bentuk simpati. Secara
mengejutkan, Lee menyetujui syarat tersebut.
Apa yang dicontohkan Lee dan Soeharto merupakan simbol bagaimana dua negara—
meskipun mempunyai ganjalan sejarah—mampu mendahulukan kepentingan nasional
masing-masing dalam mengatasi tantangan yang makin kompleks. Setiap momen dalam
sejarah hendaknya menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya untuk mengambil manfaat dan
membumikan nilai-nilai kebangsaan di tengah perubahan zaman yang terus berjalan.
Kini Indonesia-Singapura memiliki tantangan untuk meningkatkan hubungan bagi
kepentingan dua bangsa. Salah satu tantangan yang masih mengganjal—sebagaimana penulis
singgung di atas—tak lain mengenai DCA dan perjanjian ekstradisi.
Bagi Indonesia, ekstradisi sangat mendesak karena kita membutuhkan banyak dana yang
parkir di luar negeri (termasuk Singapura) untuk membiayai pembangunan di banyak daerah,
khususnya infrastruktur. Namun, Singapura mengindikasikan akan menyetujui perjanjian
9
ekstradisi bila Indonesia juga meloloskan DCA. Ini tentu bukan langkah yang bijak karena
menyatukan dua perjanjian yang berbeda rezim sangat sulit untuk dicapai kesepakatan.
Berpikir Out of The Box
Perjanjian Kerja Sama Pertahanan Indonesia dan Singapura yang ditandatangani pada 6 Mei
2007 di Bali memuat banyak pasal yang di samping mengganggu kedaulatan kita di darat,
laut, dan udara juga dapat merusak lingkungan, ekosistem di laut, serta mengancam
keamanan para nelayan kita.
Beberapa poin krusial dari perjanjian tersebut yang tidak mungkin untuk diratifikasi DPR RI
antara lain pasal di mana Angkatan Udara Singapura diizinkan untuk melakukan test flight di
area Alpha-1 dan latihan militer di Alpha-2 yakni di perairan sekitar Selat Malaka. Lalu, ada
lagi pasal yang menyatakan Angkatan Laut Singapura dengan dukungan AU bisa melakukan
latihan menembak peluru kendali sampai empat kali dalam setahun di area Bravo.
Bagi Indonesia, secara geopolitik area Alpha 1, Alpha 2, dan Bravo merupakan checkpoint
zone di wilayah Barat NKRI. Ini zona strategis yang tidak mungkin ada pembagian kontrol
dengan negara lain karena menyalahi prinsip kedaulatan negara.
Kedua, ada klausul latihan mandiri bagi militer Singapura dan pelibatan negara ketiga yang
ditentukan Singapura juga tidak mungkin disetujui oleh Indonesia karena secara psikologi
politik tidak tepat dan sulit diterima. Apalagi bila negara ketiga ikut serta dalam latihan di
darat. Sebagai negara yang meraih kemerdekaannya melalui revolusi fisik, memori kolektif
masyarakat Indonesia cenderung menolak kehadiran tentara asing dalam jumlah besar di
wilayah daratnya.
Ketiga, dalam dokumentasi rapat Komisi I DPR mulai 2006 hingga 2015 dengan mitra
kerjanya seperti menteri pertahanan, panglima TNI, dan menteri luar negeri, tidak ada
perubahan sikap dari parlemen terhadap DCA. Walaupun dibahas di tiga periode parlemen
(2004-2009, 2009-2014, dan 2014-sekarang), sikap DPR tetap sama, menolak substansi DCA
yang dianggap tidak menguntungkan Indonesia. Dengan kata lain, ke depan sulit untuk
menggambarkan DCA akan disetujui dengan konsep seperti yang ada hari ini.
Untuk keluar dari lingkaran yang tidak berujung ini, penulis menyarankan agar pemimpin di
dua negara berpikir melampaui ihwal teknis dan pragmatis semata. Apa yang dicontohkan
PM Lee Kuan Yew dan Presiden Soeharto di masa lalu bisa menjadi best practices bagi
pemimpin saat ini untuk berpikir out of the box.
Indonesia dan Singapura adalah dua negara bertetangga yang memiliki saling ketergantungan
dalam banyak bidang. Tidaklah nyaman apabila kedekatan ini terganggu oleh beberapa
pending matters yang sesungguhnya bisa dicarikan solusi dengan pemikiran out of the box.
Perihal kerja sama militer, harus diakui bahwa tanpa DCA pun militer Singapura kerap
10
berlatih dengan TNI di wilayah Indonesia. Karena sebenarnya Perjanjian Kerja Sama
Pertahanan antara dua negara sudah lama terjalin, meliputi kegiatan latihan bersama,
pendidikan, pertukaran perwira, serta visit program. Kerja sama tersebut diselenggarakan di
bawah organisasi Annual Meeting antara panglima angkatan bersenjata dua negara. Pola
semacam ini bisa dilanjutkan di masa depan.
Lalu, mengenai ekstradisi, Singapura harus melihat hal ini secara utuh dan tidak
menggabungkannya dalam satu paket dengan DCA karena jelas keduanya tidak berada pada
rezim yang sama. Dengan membahasnya secara mandiri, itu bisa diartikan bahwa Singapura
juga melihat gerakan antikorupsi global sebagai sesuatu yang penting.
TANTOWI YAHYA
Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKASP) dan Anggota Komisi 1 DPR RI
11
Pilihan Progresif Presiden Jokowi
24-06-2016
Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Tito Karnavian dengan mulus dapat melewati uji
kepatutan dan kelayakan oleh Komisi III DPR RI. Tito yang saat ini menjabat kepala Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) akan dilantik menjadi kepala Kepolisian
Republik Indonesia (Kapolri), menggantikan Jenderal Polisi Badrodin Haiti yang akan
memasuki masa pensiun.
Pilihan Presiden merupakan pilihan progresif, yang saya kira sangat terkait pada dua aspek
yang menyertainya. Pertama, Tito adalah perwira tinggi termuda berpangkat komjen polisi
yang diyakini Presiden akan mampu merangkul perwira tinggi senior untuk melaksanakan
amanah rakyat Indonesia. Tito punya prestasi yang membanggakan di kepolisian sehingga
akan diterima dengan baik oleh perwira tinggi senior lainnya.
Kedua, dalam tubuh Polri setelah melampaui tahap kedua reformasi sampai tahun 2014
dengan sasaran ”membangun kerja sama yang erat (partnership building) dengan berbagai
komponen masyarakat”, selalu mengedepankan kualitas profesionalisme sekaligus
kompetensi dalam menduduki jabatan. Apalagi, Presiden Jokowi meminta agar Tito
melakukan reformasi Polri secara komprehensif dan meningkatkan kualitas pemberantasan
narkotika, terorisme, dan korupsi. Dua fokus yang diamanatkan itu tentu sudah dipikirkan
matang oleh presiden.
Tito adalah jenderal polisi yang ”intelektual”, sekaligus perwira tinggi yang sudah matang
dalam tugas-tugas di lapangan. Perpaduan intelektual dan kemampuan menguasai tugas Polri
saat berhadapan dengan masyarakat, setidaknya akan mengantarkan reformasi Polri kepada
sasarannya. Tentu saja dengan melanjutkan reformasi yang dilakukan kapolri sebelumnya.
Pemberantasan terhadap tiga kejahatan luar biasa itu, bukan barang baru bagi Tito.
Reformasi Total
Perpaduan yang nyaris lengkap itu, tentu harus tetap diawasi. Sebab tidak ada manusia yang
tidak punya kelemahan dan kesalahan. Maka itu, mereformasi Polri secara total harus dimulai
dari internal barulah melangkah ke luar.
Memperbaiki institusi penegak hukum berbaju cokelat itu bukan persoalan gampang di
tengah tuntutan besar masyarakat, sebab kepentingan untuk menciptakan rasa aman bagi
masyarakat dan penegakan hukum yang profesional tidak semudah membalikkan telapak
tangan.
12
Reformasi Polri tahap kedua harus menjadi acuan untuk melangkah ke arah pelaksanaan
tugas yang penuh dengan tantangan baru. Saat reformasi tahap pertama 2005-2010, Polri
telah membangun trust building, yaitu membangun kepercayaan publik terhadap Polri dalam
melaksanakan tugas, wewenang, dan fungsinya sebagai aparat negara yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).
Saat ini Polri melangkah pada reformasi tahap ketiga 2016-2025, yaitu sebagai strive for
exellence. Di sini polisi akan berupaya atau setidaknya membangun ”pelayanan publik yang
unggul dan terbaik” sekaligus dipercaya publik. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi Kapolri
baru tentang bagaimana membangun pelayanan terbaik bagi masyarakat.
Layak diakui, hasil reformasi tahap kedua belum sepenuhnya dirasakan masyarakat. Salah
satu penyebabnya karena personel Polri kurang mampu menggalang keterlibatan luas
stakeholder masyarakat.
Sebetulnya amat sederhana harapan masyarakat terhadap polisi. Mereka berharap agar polisi
menjadi sosok yang merakyat dan dapat dipercaya dalam mengemban tugas dan
kewenangannya. Kehadirannya tidak menimbulkan kegelisahan lantaran mampu memberikan
pelayanan terbaik. Tidak ada tindakan yang menonjolkan kekerasan tanpa dilandasi hukum,
penegakan hukum selalu terukur, dan tidak menyakiti hati rakyat. Kapolri baru juga harus
memperbaiki citra Polri dari tudingan ”setoran terhadap atasan” berkaitan dengan
penempatan personil Polri pada jabatan tertentu.
Peran penting bagi kapolri baru adalah mendesain ”polisi sipil” yang merakyat dengan
mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan golongan, apalagi kepentingan
kekuasaan. Polisi sipil modern harus dekat dengan rakyat sebagai bagian dari upaya
memotivasi mereka membantu tugas-tugas Polri. Caranya, memberikan ruang, kesempatan,
dan tantangan untuk mewujudkan rasa aman sebagai bagian dari membangun civil society.
Kekuasaan Menegakkan Hukum
Sinergi Polri dan masyarakat yang sampai kini masih dipandang berada di atas awang-awang,
bukan tidak mungkin reformasi Polri berjalan tertatih-tatih. Betapa tidak, keterlibatan aktif
anggota Polri saat penggusuran warga miskin di Jakarta yang dilakukan pemerintah daerah
dan saat itu Komjen Tito sebagai kapolda DKI Jakarta, membuat mereka yang tergusur dari
tempat tinggalnya merasa dizalimi.
Jikapun polisi hadir mengamankan kebijakan pemerintah daerah sebagai bagian dari
penegakan hukum, tidak berarti mengabaikan hak-hak rakyat untuk hidup sejahtera dan
bertempat tinggal di bumi Indonesia, yang dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Membangun hubungan yang baik antara masyarakat dengan Polri, tidak bisa hanya berdasar
pada tataran normatif. Apalagi masyarakat begitu merindukan sosok polisi yang bisa
dibanggakan karena jujur, bersih, profesional, dan berwibawa. Apabila ada kasus yang
13
meresahkan masyarakat berhasil dibongkar polisi, dipastikan akan mendapat sambutan dan
respek luar biasa.
Kita tidak ingin pelaksanaan kekuasaan besar yang dipunyai Polri membuat hubungannya
dengan masyarakat menjadi renggang. Harus selalu diyakini, bahwa Polri dan masyarakat
adalah dua entitas yang tidak mungkin dipisahkan. Keduanya saling membutuhkan, polisi
hadir karena dibutuhkan oleh masyarakat. Sebaliknya, tugas-tugas polisi tidak akan mungkin
berhasil dengan baik tanpa partisipasi masyarakat. Maka itu, warga masyarakat selalu
berharap agar kekuasaan besar polisi dalam menegakkan hukum senantiasa didasarkan pada
aturan hukum yang menyertainya.
Kekuasaan yang besar sangat berpotensi diselewengkan dalam melakukan penegakan hukum.
Ini salah satu aspek yang perlu menjadi perhatian serius kapolri baru ke depan. Apalagi kalau
tindakan itu semata-mata dibalut dengan kepentingan penertiban dan penegakan hukum,
tetapi ujung-ujungnya membuat masyarakat gerah lantaran tidak proporsional.
Untuk lebih mendekatkan polisi dengan masyarakat, kiranya reformasi Polri tidak boleh
mengabaikan kebutuhan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan. Persoalan itu selalu menjadi
jualan setiap pergantian Kapolri, tetapi realitasnya belum berjalan maksimal karena warga
masyarakat masih sering melihat anggota Polri sebagai sosok yang menyusahkan. Antara
lain, warga masyarakat selalu merasa dicari-cari kesalahannya dengan mengabaikan
pendekatan persuasif.
Saatnya menggelorakan bahwa Polri adalah sahabat dan mitra bagi masyarakat. Bukan sosok
yang selalu dihindari dan dicurigai, sehingga menjadi saksi pun dalam suatu kasus hukum
dihindari. Jika ini mampu diemban Tito, saya yakin sosok anggota Polri ke depan akan
memiliki tampilan baru yang lebih progresif. Polri yang profesional, berintegritas, tegas, dan
bersahabat dengan rakyat.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar
14
Lagi, Penyanderaan di Filipina
29-06-2016
Sebulan berlalu sejak 10 awak kapal Indonesia yang disandera di perairan Filipina Selatan
dilepaskan, kemudian 4 orang lagi yang akhirnya dibebaskan dan kali ini ada 7 orang lagi
disandera di wilayah itu.
Semua kapal-kapal itu dalam tugas berlayar mengantar batu bara dari Kalimantan ke Filipina.
Dalam semua kejadian disinyalir keterlibatan grup Abu Sayyaf, di mana mereka meminta
uang tebusan dalam jumlah yang signifikan dan selalu mengancam untuk membunuh
tawanan dengan keji.
Kejadian-kejadian penyanderaan ini lumayan membuat geram Pemerintah
Indonesia. Beragam upaya sudah dilakukan, baik yang bisa diungkap ke publik maupun yang
tidak. Tetapi intinya Indonesia juga memilih menuntut haknya untuk mendapatkan jaminan
keamanan atas warga negaranya yang masuk ke wilayah otoritas Filipina.
Menyusul penyanderaan 14 orang pertama, pimpinan militer, intelijen, dan sipil Indonesia
berjumpa dengan otoritas Filipina. Di situ dieksplorasi opsi-opsi penanganannya. Terkait
keamanan jalur laut, Indonesia sepakat untuk bersama-sama Malaysia dan Filipina
melakukan patroli bersama di jalur yang biasa dilalui kapal-kapal Indonesia dan Malaysia.
Level menteri pertahanan sudah berupaya membuka dan mengikat kerja sama di situ, tetapi
karena terjadi perubahan kepemimpinan dan konstelasi politik di Filipina, sejumlah hal
terhenti. Walhasil, upaya pemerintah Indonesia perlu kita cermati dalam konteks situasi lokal
di Filipina.
Besok, 30 Juni 2016 pukul 12.00 waktu setempat, presiden terpilih Rodrigo Duterte akan
dilantik di Istana Malacanang Filipina. Beliau sudah berpesan agar pelantikannya sederhana
karena demikianlah yang diharapkannya diingat warga negara Filipina. Sebagai individu,
gaya kepemimpinan Duterte memang lain dari biasanya di Filipina.
Dia tidak datang dari wilayah utara Filipina, tetapi dari wilayah selatan, dari kawasan
Mindanao. Duterte adalah mantan wali kota Davao, kota di Filipina Selatan yang terkenal
sebagai pusat perdagangan dan penghubung ke pulau-pulau lain di kawasan itu, termasuk ke
bagian tengah dan timur Indonesia. Meskipun wewenang Duterte lebih di perkotaan, daerah
kekuasaannya masuk dalam Provinsi Davao. Davao termasuk bagian dari kawasan selatan
Mindanao dan sejak 2001 kawasan Mindanao Selatan ini disebut Davao Region.
Davao adalah kota terbesar nomor 3 di Filipina setelah Cebu dan Manila dengan penduduk
sekitar 1,6 juta jiwa. Davao dikenal sebagai pusat durian di Filipina. Sebagai provinsi, Davao
15
dikenal relatif aman, kecuali jika pergi sekitar 700 km ke arah pulau-pulau yang mendekati
Kalimantan dan Malaysia. Karena di kawasan itu dikenal ada jaringan kelompok bersenjata
yang tidak segan merompak dan membunuh.
Masalah perompakan ini menjadi tantangan bagi Presiden Duterte. Selain karena ia berasal
dari kawasan itu, dan sudah rahasia umum bahwa ia juga mengenal para pelaku politik dari
kawasan Mindanao, dampak dari masalah ini tidak lagi sebatas problem Davao atau Filipina
Selatan, tetapi juga kepada Filipina secara keseluruhan dan negara-negara tetangga
khususnya ASEAN. Yang paling meresahkan adalah karena kegiatan penyanderaan seperti
kejadian rutin, yang kabarnya meningkat saat Ramadan. Dan hampir dipastikan para penculik
meminta tebusan uang dan permintaan jumlah tebusannya makin hari semakin besar.
***
Dalam beberapa kasus penculikan yang lalu, khususnya terhadap warga negara Indonesia
dalam satu tahun terakhir ini, sudah ada pembicaraan antarpihak berwenang di Indonesia dan
Filipina baik yang terbuka untuk umum maupun yang sifatnya rahasia. Bagaimana pun
bentuknya, dari tiga negara yang wilayahnya berdampingan dengan lokasi penculikan,
Malaysia, Indonesia, dan Filipina, sudah memiliki kesepakatan. Mereka sepakat menjaga agar
laut yang menjadi jalur transportasi batu bara dan pencarian ikan dari Indonesia dan Malaysia
ke Filipina bisa senantiasa dijaga dan dijamin keselamatannya.
Per 20 Juni 2016 sudah ada kesepakatan di tingkat menteri pertahanan ketiga negara untuk
mencari jalur aman, termasuk antara lain menjaga koridor transit di wilayah yang rawan.
Tetapi implementasinya terbukti tidak sederhana. Di sisi Filipina, para pelaku penculikan
memiliki keterkaitan dengan problem sosial di dalam negeri, khususnya dengan kelompok
militan Abu Sayyaf.
Kelompok Abu Sayyaf ini punya sejarah panjang dengan gerakan yang menginginkan
kemerdekaan di Filipina Selatan, tetapi kemudian terpecah-pecah dan berkembang makin
radikal. Radikalisasi ini subur karena bebasnya peredaran senjata di kawasan itu. Juga karena
dari tahun ke tahun daerah tempat orang-orang ini tinggal memang sangat terisolasi dari
pembangunan.
Secara sosial, kelompok militan ini tidaklah satu kelompok. Mereka terpecah-pecah menjadi
faksi-faksi kecil yang saling berkompetisi dan mencari penghidupan dengan cara apa pun,
termasuk dengan cara merompak dan membunuh. Artinya tidak semua faksi mengandalkan
keinginan untuk membentuk negara Islam merdeka lagi seperti dulu ketika pecah dari
kelompok revolusioner Moro.
Melihat pola tersebut, Indonesia memang perlu lebih cerdik mengatasi masalah keamanan
wilayah. Pertama, kelompok bisnis Indonesia yang biasa mengantar barang dari Indonesia ke
Filipina perlu memahami juga batasan dan keterbatasan hal yang bisa dinegosiasikan dengan
otoritas Filipina.
16
Menengok tingkat kemiskinan dan kompleksitas penanganan kekerasan dari grup-grup
radikal yang saling berkompetisi tentu tidak mudah. Artinya perlu ada alternatif solusi juga
jika di tataran politik ada yang terhenti atau tidak berjalan secepat yang diharapkan oleh para
pengusaha.
Kedua, masalah ini perlu diangkat juga ke level kerja sama ASEAN khususnya di bagian
penanganan kejahatan transnasional dan kontraterorisme. Di ASEAN sudah ada mekanisme
pertemuan tingkat tinggi untuk masalah-masalah kejahatan transnasional (disebut sebagai
SOMTC) dan juga Kerja Sama Kontraterorisme (melalui ACCT). SOMTC di Indonesia
dikoordinasi oleh Polri dan ACCT dikoordinasi oleh Kementerian Luar Negeri. Dalam
tataran praktis, kedua model kerja sama ini membutuhkan dukungan dari kelembagaan yang
teknis dan juga kalangan bisnis serta masyarakat sipil.
Sayangnya, mekanisme melalui ASEAN hampir bisa dipastikan berjalan perlahan karena
negara yang dilibatkan ada 10 dan dibutuhkan konsensus. Namun mengingat bahwa kerja
sama trilateral Indonesia-Malaysia-Filipina pun berjalan lambat, maka artinya memang
dibutuhkan ”pendorong” ekstra untuk menciptakan solusi permanen.
Permintaan moratorium pengiriman batu bara dari Indonesia ke Filipina seperti disampaikan
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi adalah contoh bahwa opsi solusi tidaklah semudah
membalikkan tangan. Filipina bahkan belum menjawab permintaan Indonesia tersebut karena
ada pergantian presiden.
Solusi sosial juga dibutuhkan, mengingat bahwa Indonesia pun memiliki pengalaman yang
mirip tentang betapa sulitnya merengkuh kelompok masyarakat di perbatasan yang terlibat
aksi kejahatan transnasional karena kurangnya opsi mencari nafkah di wilayah tempatnya
tinggal. Pengalaman dari masyarakat sipil patut didengar.
Di tingkat politik dalam negeri, kita masih harus menunggu aksi dari Presiden Duterte untuk
Filipina Selatan. Presiden Duterte juga tengah memikirkan untuk melakukan dialog dengan
para pemberontak yang sampai saat ini masih terus mengonsolidasikan kekuatannya di
hutan.
Namun menjadi kesulitan tersendiri untuk Presiden Duterte, karena kebanyakan para milisi
bersenjata yang berlandaskan keagamaan atau pun politik lokal memiliki motivasi yang lebih
terkait dengan aksi kriminalitas ketimbang ideologis. Hal ini yang bisa menjelaskan mengapa
pemberontakan Moro bisa diselesaikan dengan cara-cara damai karena gerakan Moro
berlandaskan ideologis tertentu yang masih dapat diajak dialog dan dicari titik tengahnya
untuk bisa dilanjutkan dengan kompromi atau konsensi tertentu. Kesabaran dan kegigihan
kita dalam mencari solusi tengah diuji.
17
DINNA WISNU, PhD
Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of
Diplomacy
@dinnawisnu
18
Teman Ahok & Ilusi Kebangkitan
Masyarakat Sipil
29-06-2016
Sepak terjang Teman Ahok dan keberhasilannya mengumpulkan 1 juta KTP untuk
mendukung pencalonan Ahok sebagai calon independen dalam Pilgub DKI Jakarta 2017
memunculkan kembali euforia soal peran anak muda dalam politik Indonesia.
Fenomenalnya sepak terjang Teman Ahok pun kemudian memunculkan berbagai glorifikasi
terhadap Teman Ahok. Ada yang menyebutnya sebagai gerakan politik, gerakan relawan,
partisipasi politik anak muda, atau bahkan sebagai bentuk penolakan generasi Y terhadap
oligarki parpol. Ada juga yang menyebutnya sebagai anomali politik dan upaya deparpolisasi
partai di Indonesia.
Klaim sebagai gerakan relawan (civic voluntarism) juga beberapa kali disampaikan oleh para
pengurus Teman Ahok, yang kemudian juga diafirmasi oleh beberapa kalangan sebagai
kekuatan masyarakat sipil.
Kebangkitan Masyarakat Sipil?
Jika ditelisik ke belakang, wacana mengenai kebangkitan sipil mulai banyak disuarakan sejak
beberapa tahun lalu. Momen Pilgub DKI 2012 yang berlanjut dengan Pilpres 2014 diyakini
sebagai momentum kebangkitan masyarakat sipil. Saat itu kekuatan masyarakat sipil muncul
dalam berbagai bentuk, mulai dari koalisi organisasi masyarakat sipil sampai pada relawan
politik—yang juga dianggap menjadi fenomena baru dalam politik Indonesia.
Aktivisme politik masyarakat sipil saat itu juga terlihat sangat beragam: ada yang tetap
menjalankan fungsinya sebagai watchdog yang menjaga integritas pemilu, ada yang
memosisikan diri sebagai kelompok oposisi terhadap kandidat tertentu, ada juga yang
memilih bersikap netral, dan ada juga yang justru melibatkan diri sebagai pendukung atau
bahkan tim pemenangan kandidat.
Menurut Agus Sudibyo, aktivisme semacam ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan
pola lama di mana masyarakat sipil umumnya mengambil jarak dari pertarungan politik
memperebutkan kursi, dan lebih memosisikan diri sebagai “pendamping” masyarakat
(2014). Boleh jadi, konteks politik saat itu menjadi salah satu alasan yang menjelaskan
mengapa aktivisme politik masyarakat sipil menguat dan bahkan menjadi partisan.
19
Laporan riset Puskapol pada Desember 2014 menyebutkan bahwa polarisasi dua kandidat
dalam pilpres mendorong masyarakat sipil mengekspresikan pilihan politik secara terbuka
dan lebih “politis”. Kemenangan Jokowi dalam Pilgub 2012 dan Pilpres 2014 juga tak lepas
dari peran aktif masyarakat sipil. Mereka mewujud sebagai kekuatan politik riil yang tidak
hanya memosisikan dirinya di luar dan berhadapan secara vis a vis dengan kekuatan besar
oligarki parpol, tetapi juga menjadi basis pendukung, pemilih dan sekaligus menjadi juru
kampanye (spoke person) bagi pasangan Jokowi.
Sekilas, keyakinan tentang bangkitnya masyarakat sipil tidak terbantahkan. Sefsani &
Ziegenhain (2015) menyebutnya sebagai faktor penentu kemenangan. Pujian yang agak
bombastis bahkan menyebut masyarakat sipil sebagai the political celebrity of the election
(bintang pemilu) dan savior of Indonesia’s democracy (penyelamat demokrasi).
Singkat kata, keberhasilan masyarakat sipil sebagai mesin yang menumbuhkan semangat
voluntarisme politik, aktivisme individual, monitoring publik, dan aksi kolektif yang
memengaruhi proses pemilu merupakan wujud kebangkitan masyarakat sipil. Fenomena
Teman Ahok pada akhirnya memperkuat kembali keyakinan soal kebangkitan masyarakat
sipil sebagai pivotal player dalam politik pemilu di Indonesia.
Glorifikasi
Glorifikasi terhadap masyarakat sipil bukan hal baru dalam diskursus akademik. Mereka
sering dipuja-puji sebagai mesin pendorong demokratisasi, dan diasumsikan memiliki
kontribusi positif terhadap demokratisasi. Masyarakat sipil bahkan diyakini merupakan
prasyarat bagi tercapainya konsolidasi demokrasi (Putnam 1993, Gellner 1994, Fukuyama
1996, Diamond 1999). Putnam misalnya meyakini masyarakat sipil yang aktif sebagai obat
mujarab (panacea) untuk berbagai penyakit dalam demokrasi, terutama untuk mengatasi
apatisme, ketidakpuasan, dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi pemerintah.
Glorifikasi ini belakangan banyak digugat. Omar Encarnacion (2003) dalam bukunya, The
Myth of Civil Society, mengkritisi pandangan tentang “kesempurnaan” masyarakat sipil
sebagai agen demokrasi sebagai keyakinan bersifat problematis bahkan nyaris mendekati
mitos. Sebaliknya, keberadaan masyarakat sipil yang aktif justru bisa menjadi penghambat
demokratisasi, terutama jika demokrasinya masih dikarakterisasi dengan inefisiensi dan
lemahnya institusi-institusi politik.
Dalam konteks Indonesia, glorifikasi masyarakat sipil juga menyisakan banyak persoalan
serius. Politik “partisan” masyarakat sipil dalam pemilu ternyata membawa dampak pada
melemahnya fungsi pembangunan demokrasi yang semestinya melekat dalam dirinya. Narasi
mengenai keterlibatan masyarakat sipil yang awalnya bicara soal penolakan terhadap
cengkeraman oligarki parpol serta upaya menyelamatkan demokrasi Indonesia pada akhirnya
justru terdegradasi menjadi real partisan: menjadi buzzer dan pembela mati-matian politisi
yang didukungnya.
20
Bahkan, tak jarang pembungkaman kritik terhadap pemerintah justru dilakukan oleh sesama
kelompok masyarakat sipil sendiri. Dalam banyak kasus di mana kebebasan bersuara semakin
ditekan dan pelanggaran HAM terus terjadi, sikap masyarakat sipil terbelah dan cenderung
berstandar ganda. Isu reklamasi dan penggusuran daerah kumuh di Jakarta misalnya menjadi
contoh sempurna yang memperlihatkan keterbelahan dan standar ganda sikap masyarakat
sipil.
Agaknya, sikap partisan saat pemilu menjadi harga mati untuk terus mendukung figur
pilihannya ketika dihadapkan pada situasi di mana kelompok non-pendukung masih saja
gencar memosisikan dirinya sebagai pengkritik utama pemerintah. Dalam kasus Teman
Ahok, glorifikasi terhadap mereka juga sama problematiknya.
Terlepas dari berbagai apresiasi terhadap keberhasilan mereka, atau bahkan tuduhan-tuduhan
yang dialamatkan kepada mereka belakangan ini, tulisan ini ingin mengingatkan pembaca
agar kita tidak terjebak pada glorifikasi yang bisa jadi ternyata hanya ilusi. Karena, aktivisme
masyarakat sipil yang sesungguhnya semestinya didasarkan pada dukungan terhadap gagasan
(ideas), bukan figuritas (persona). Bagaimana pun Ahok adalah politisi. Rekam jejaknya
sebagai politisi jauh lebih mudah ditelusuri dan menjadi bukti daripada imaji yang dibangun
dan dipoles lewat proses branding dan marketing yang boleh jadi juga mengandung ilusi.
Praktik trial and error dalam berdemokrasi selama 17 tahun terakhir semestinya cukup
memberi kita pelajaran bahwa percaya pada mesias politik tidak akan membawa kita sampai
pada cita-cita demokrasi.
HURRIYAH
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
21
Gagal Paham Pembatalan Perda
30-06-2016
Polemik pembatalan secara sepihak peraturan daerah (perda) oleh pemerintah pusat (dalam
hal ini Kementerian Dalam Negeri) seakan menjadi ”bola liar” yang menimbulkan
perdebatan panjang di antara semua pemangku kepentingan (stakeholder).
Tak kurang 3.143 perda menjadi objek dari kewenangan menteri dalam negeri (mendagri) di
dalam melakukan deregulasi terhadap berbagai perda dari berbagai daerah di Indonesia.
Tentunya apa yang dilakukan pemerintah perlu dikritisi sebagai sebuah kebijakan (beleid)
yang tidak memperhatikan dan mengedepankan aspek legal-konstitusional (UUD 1945), serta
rezim pengaturan dari beberapa peraturan terkait, yakni UU Nomor 12/2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) dan UU Nomor 23/2014 tentang
Pemerintah Daerah (UU PEMDA).
Selain itu, catatan penting dari kebijakan deregulasi perda oleh pemerintah ialah tidak ada
kajian yang komprehensif yang terlebih dahulu dilakukan sebelum kebijakan deregulasi
tersebut dilaksanakan. Selain itu minimnya ruang (komunikasi) atau setidak-tidaknya forum
(koordinasi) bagi pemerintah daerah sesaat sebelum kebijakan pembatalan (pra-deregulasi)
ini diberlakukan.
Tentu langkah pemerintah di dalam mengambil kebijakan deregulasi terhadap berbagai perda
yang ada akan sangat kontraproduktif terhadap semangat dan cita-cita pemerintah yang
diserukan di dalam mewujudkan tata kelola birokrasi yang efektif dan efisien (good
governance). Setidaknya polemik deregulasi perda oleh pemerintah pada hakikatnya dapat
dilihat dari dua arah yakni aspek substantif dan aspek non-substantif.
Aspek Substantif
Secara substantif dalam perspektif yuridis normatif, polemik pembatalan perda secara
sepihak oleh mendagri dapat dilihat dengan mengacu pada tiga rezim hukum yang saling
terkait. Pertama, dengan melihat ketentuan secara konstitusional, yang ada di dalam Pasal
24A UUD 1945, yang mana secara rigid dan letterlecht, hanya memberikan ruang judicial
review terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UUD. Artinya, proses dan tahapan
pembatalan perda tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh pemerintah (eksekutif), kecuali
melalui proses ajudikasi di Mahkamah Agung (judicial review).
Tentu jika mengacu pada landasan hukum yang tertinggi, sebagaimana yang ada di dalam
Pasal 24A UUD 1945, jelaslah bahwa konstitusi tidak memberikan ruang terhadap proses
pembatalan peraturan daerah secara sepihak tanpa melalui proses judicial review di
22
MA. Filosofi mekanisme ini ialah untuk mengantisipasi agar kewenangan yudikatif (dalam
konteks judicial review) tidak boleh ”dicampuradukkan” dengan kewenangan eksekutif
(dalam konteks pengawasan administratif).
Kedua, paralel dengan ketentuan yang ada di dalam Pasal 24A UUD 1945, hal tersebut juga
dikuatkan di dalam UU Nomor 12/2011, khususnya yang ada di dalam Pasal 9, yang
menyatakan bahwa dalam hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
diduga bertentangan dengan undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah
Agung.
Secara prinsip perlulah dipahami ”original intent” munculnya Pasal 9 di dalam UU
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Penulis yang juga merupakan anggota
pansus di dalam pembentukan UU PPP pada periode yang lalu turut terlibat secara langsung
(aktif dan partisipatif) di dalam proses pembahasan dan perkembangan serta dinamika
(internal) di dalam pembentukan UU PPP.
Sebenarnya adapun nilai (value) historis-filosofis munculnya ketentuan di dalam Pasal 9 ini
disadari oleh pembentuk UU pada waktu itu bahwa tidaklah dapat dibenarkan dalam konteks
ketatanegaraan praktik pembatalan perda secara sepihak oleh pemerintah pusat (mendagri).
Selanjutnya juga para pembentuk UU menginsyafi, praktik judicial review sebelumnya
terhadap perda yang ada di MA; yang mana ruang lingkup yang diberikan kepada pemerintah
daerah yang bersangkutan (yang perdanya dibatalkan) ialah hanya terhadap output
”pembatalan” yang dilakukan oleh mendagri, bukan terhadap perda yang dibatalkan (secara
substansi).
Artinya, proses ajudikasi sebagaimana dimaksud menitikberatkan kepada aspek ”sah atau
tidaknya” pembatalan perda tersebut yang dilakukan mendagri. Karena itu, pembentuk
undang-undang pada saat itu menginisiasi munculnya ketentuan dalam Pasal 9 dalam UU
PPP agar membatasi dan tidak memberi kewenangan berlebihan kepada eksekutif (executive
heavy) dalam ranah pembatalan perda.
Dalam ketentuan pasal ini pun memberikan ruang yang lebih kepada semua pihak
(stakeholder) yang keberatan terhadap perda yang diberlakukan dalam arti bahwa siapa pun
yang berkepentingan terhadap perda yang akan dibatalkan memiliki legal standing
(kedudukan hukum) untuk menguji (judicial review) peraturan daerah tersebut ke Mahkamah
Agung.
Secara nyata, juga dapat dilihat bahwa ketentuan yang ada di dalam Pasal 9 UU PPP
merupakan turunan secara vertikal (derivasi langsung) dari Pasal 24A UUD 1945. Dengan
begitu, dalam ranah pembatalan perda haruslah mengacu pada UU PPP.
Ketiga, melihat pada ketentuan yang ada pada Pasal 251 UU Nomor 23/2014 tentang
Pemerintah Daerah, secara jelas dan nyata juga memberikan kewenangan kepada menteri
(mendagri) untuk membatalkan perda, yang bertentangan dengan peraturan perundang-
23
undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Tetapi, tentu klausul ini
secara filosofis harus dimaknai hanya dalam konteks tata kelola pemerintahan (good
governance), bukan dalam arti praktis-empirik bagi mendagri untuk secara serta-merta secara
sepihak dan ”semau-mau”-nya membatalkan peraturan daerah yang secara subjektif dimaknai
tidak selaras dengan tiga limitasi-batasan sebagaimana dimaksud atau di luar batasan
(limitasi) tersebut.
Tentu hal ini, dalam konteks kenegaraan dan tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance), akan menimbulkan preseden buruk. Ke depan (forward looking) bukan tidak
mungkin dapat saja preseden ini akan dijadikan justifikasi (dasar, alasan dan/atau
pembenaran) bagi rezim kekuasaan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Disharmonisasi Peraturan Perundang-undangan
Perlu juga untuk disadari bahwa realitas yang terjadi masih ada disharmonisasi pada level
peraturan perundang-undangan. Hal tersebut secara jelas dapat dilihat di dalam dua rezim
hukum peraturan perundang-undangan secara horizontal yang ada pada UU PPP dan UU
Pemda.
Dalam konteks UU Pemda memang dapatlah dilihat bahwa terdapat kekeliruan dan
missleading norma (hukum) yang ada di dalam UU Nomor 23/ 2014 tentang Pemda, yang
tentu akan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Seharusnya pembentuk UU secara
linier tunduk dan patuh pada ketentuan konstitusi yang menyatakan bahwa pembatalan atau
pencabutan perda karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi hanya bisa dilakukan melalui judicial review oleh MA.
Secara lebih lanjut juga patut dikritisi proses harmonisasi yang ada di Badan Legislasi DPR
RI pada saat pembahasan sebelum pengesahan UU Pemda. Sekiranya proses harmonisasi
tersebut berjalan secara maksimal, kecil kemungkinan terjadi disharmonisasi antara UU PPP
dan UU Pemda. Seharusnya jikalau proses harmonisasi tersebut berjalan secara optimal,
ketentuan yang ada pada Pasal 251 UU Pemda tidaklah perlu muncul, yang secara nyata tidak
selaras dan harmonis dengan ketentuan yang ada pada Pasal 24A UUD 1945 dan Pasal 9 UU
PPP.
Aspek Non-substantif
Memang perlu disadari oleh semua pihak (stakeholder) di dalam memahami polemik ini tidak
boleh terjebak pada opini (subjektif), melainkan harus memandang realitas persoalan ini
secara objektif, konstruktif, dan proporsional. Namun, pada posisi yang subjektif dengan
pandangan (penilaian) yang objektif dapatlah dilihat bahwa munculnya polemik ini karena
gagalnya pemerintah (atau dalam hal ini mendagri) di dalam menjalankan fungsi executive
review terhadap peraturan daerah yang dianggap atau berpotensi bermasalah dan
bertentangan, baik secara vertikal atau pun horizontal.
24
Secara non-substantif, melihat persoalan ini memang perlu dilakukan secara cermat, teliti,
dan hati-hati. Terhadap dua arus pandangan (pro dan kontra) di dalam menyikapi polemik ini,
seharusnya memang dapat ditengahi dengan jalan dan cara berpikir yang runtut, sistematis,
dan terarah. Secara runtut melihat polemik deregulasi ini, harus dicermati dengan mengacu
serta mendasarkan pada ketentuan (dasar hukum) yang lebih tinggi terlebih dahulu.
Asumsinya apabila pihak yang melihat persoalan ini dengan mengacu pada ketentuan yang
ada di UU Pemda terlebih dahulu, langkah dan kebijakan deregulasi perda ini mungkin
dapatlah dibenarkan secara legal. Tetapi, apabila melihat persoalan ini dengan mengacu pada
landasan hukum (tertinggi) terlebih dahulu, baru setelahnya merujuk pada aturan turunan
terkait (systematic approachment) yakni UUD 1945, setelah itu UU PPP, barulah UU Pemda,
dapatlah disimpulkan bahwa langkah dan kebijakan deregulasi yang dilakukan pemerintah
(mendagri) secara sepihak terhadap 3.143 perda merupakan langkah yang tidak lazim dan
tidaklah dapat dibenarkan. Langkah yang terakhir inilah yang ideal dan konstitusional.
AHMAD YANI, SH, MH
Founder and Researcher Pusat Pengkajian Peradaban Bangsa
25
Menghadapi Ancaman si Trio
09-07-2016
”Apakah tidak ada segi-segi positif dan titik terang yang bisa mendorong Indonesia menjadi
lebih baik dan selamat dari perusakan-perusakan yang menderanya? Analisis Bapak tadi
membuat dada sesak dan mencemaskan. Apa yang bisa kita lakukan?”. Demikian seorang
dosen bertanya kepada saya ketika Selasa (28/6) pekan lalu saya memberi studium generale
di Universitas Islam Kadiri (Uniska), Kediri.
Di forum ilmiah itu saya memang mengupas problem masa depan Indonesia yang tampaknya
dirongrong oleh buruknya penegakan hukum. Saya katakan, berbagai persoalan yang
sekarang melilit bangsa ini akan selesai lebih dari separuhnya jika hukum ditegakkan dengan
benar. Kerusakan di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan sebagainya
yang terjadi sekarang ini disebabkan oleh terjadinya pengangkangan atas hukum oleh para
koruptor, entah itu pejabat, entah itu swasta.
Tiga pekan lalu, melalui kolom di koran ini, saya menulis bahwa hukum kita banyak dikuasai
oleh cukong-cukong sehingga—meminjam istilah Komisioner KPK Laode M Syarif,
muncullah gejala grand corruption. Cukong-cukong membeli hukum, bukan hanya saat
menghadapi kasus konkret ketika terlibat perkara di pengadilan, melainkan juga sudah
membeli hukum ketika hukum akan dibuat sebagai peraturan yang abstrak. Kita bisa dengan
mudah menunjuk kasus, politisi (legislator) dihukum atau ditangkap tangan oleh KPK, karena
menjual hukum yang akan dimasukkan ke dalam undang-undang (UU) atau peraturan daerah
(perda).
Jadi, isi UU maupun perda bisa dibeli oleh cukong. Artinya, selain mengangkangi proses
peradilan jika menghadapi kasus konkret (in concreto) di pengadilan melalui penyuapan
kepada penegak hukum, cukong juga membeli isi peraturan perundang-undangan yang
bersifat pengaturan secara abstrak (regeling, in abstracto) kepada legislator.
Cukong adalah korporasi atau orang yang punya modal, tak terbatas pada etnis atau suku
tertentu. Karena jual-beli hukum dengan cukong itu maka belakangan ini banyak hakim
maupun panitera, pejabat maupun politisi, yang ditangkap dan digelandang ke pengadilan
oleh KPK.
Dulu saya pernah mengantarkan politikus AM Fatwa menghadap ketua Mahkamah Agung
untuk melaporkan kasus perampasan tanah warga Betawi secara sewenang-wenang oleh
pengembang. Sang warga Betawi yang menempati dan mempunyai tanah yang diwarisi
secara turun-temurun dari kakeknya tiba-tiba digusur oleh pengembang.
26
Ketika melapor kepada yang berwajib, eh, malah sang warga Betawi itu yang diajukan ke
pengadilan dengan dakwaan telah menyerobot tanah orang. Dia pun sudah menunjukkan
bukti-bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan selama bertahun-tahun, tetapi ternyata
pihak pengembang sudah memiliki sertifikat. Di negara ini banyak mafia tanah yang
melibatkan kongkalikong antara cukong dan pejabat-pejabat.
Sebenarnya peran cukong dalam korupsi sudah lama berlangsung. Sebuah grup diskusi dunia
maya yang melibatkan kelirumolog Jaya Suprana, Salim Said, HS Dillon, dan lain-lain pekan
lalu mendiskusikan isu ”Ancaman Trio Cukong, Pejabat, dan Politisi” yang dulu pernah
dilontarkan oleh Wilopo.
Wilopo yang pada masa demokrasi liberal pernah menjadi perdana menteri dan pada masa
Orde Baru menjadi ketua Dewan Pertimbangan Agung, pernah memperingatkan tentang
bahaya tiga begundal korupsi dan perusak negara. ”Awas bahaya!! Indonesia terancam Trio
Persekongkolan, yaitu antara cukong, pejabat, dan petualang politik,” teriak Wilopo saat
menjadi anggota Komite Empat. Komite Empat adalah Komisi Pemberantasan Korupsi yang
dibentuk oleh Presiden Soeharto pada 1970.
Ternyata, sampai era Reformasi, trio jahat ini bukannya berkurang melainkan semakin
menancapkan kukunya dalam jagat raya penegakan hukum di Indonesia. Sekarang ini ada
cukong membeli hukum, ada pejabat menjual hukum, dan ada politisi menjadi pedagang
hukum. Di sana-sini mulai ada juga orang atau orang LSM yang katanya anti-korupsi dan
pro-demokrasi dan supremasi hukum, tetapi mulai ikut bermain dalam kubangan kumuh
pemberantasan korupsi.
Ketika hukum sudah dikangkangi seperti itu maka semua upaya perbaikan menjadi macet,
kesejahteraan rakyat semakin jauh panggang dari api, kemiskinan merajalela, kesenjangan
antara si kaya dan si miskin semakin menganga. Sungguh sangat mencemaskan bagi masa
depan bangsa dan negara.
***
Kembali ke pertanyaan yang diajukan oleh dosen Uniska tadi. Adakah segi-segi positif yang
bisa membuat kita optimistis untuk bisa memperbaiki keadaan yang membuat kita resah ini?
Jawabannya, ” ada asal mau”. Kita sangat kaya dengan sumber daya alam dan mempunyai
bonus demografi yang besar.
McKensey menyebut potensi Indonesia untuk menjadi negara maju sangat besar. Pada 2012,
Indonesia menempati peringkat ke-16 kekuatan ekonomi dunia dan posisi ini akan naik ke
peringkat 7 pada 2030. Begitu besarnya kekayaan sumber daya alam dan bonus demografi
kita, sehingga dengan dikelola secara biasa-biasa saja Indonesia akan tetap melesat ke posisi
ketujuh.
Ada modal lain yang juga bagus, yakni kebebasan pers yang semakin maju dan bisa dibangun
27
untuk ikut mengarahkan dan mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan. Bukan
pers yang berpolitik secara sempit dalam permainan jangka pendek. Dukungan masyarakat
yang menggebu-gebu terhadap upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum juga
menjadi modal yang baik.
Kalaulah kita meyakini bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi memerlukan
pemimpin yang kuat maka kita juga mempunyainya. Presiden Jokowi terbilang bersih, istri
dan anak-anaknya tidak ikut bermain dalam bisnis dan politik. Presiden Jokowi tidak
terbebani dan tidak tersandera untuk memimpin upaya penegakan hukum dan pemberantasan
korupsi. Jadi, ada harapan asalkan kita mau.
MOH MAHFUD MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-
HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
28
Deradikalisasi vs Brutalitas Pelaku Teror
12-07-2016
Sepanjang bulan suci Ramadan hingga Idul Fitri tahun ini, dunia berselimut keprihatinan
akibat rangkaian teror bom di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Brutalitas
pelaku teror memuncak dengan tiga serangan bom bunuh diri yang mengguncang tiga kota di
Arab Saudi, sehari sebelum Idul Fitri; dan aksi serupa di Kota Solo, beberapa jam sebelum
umat menyelenggarakan malam takbiran.
Serangan bom bunuh diri dimulai di Bandara Ataturk, Istanbul, Turki yang berlanjut dengan
serangan di Dhaka, Bangladesh. Serangan di Dhaka menyebabkan 20 sandera tewas. Setelah
itu, ISIS meledakkan bom mobil di Pasar Karada di kota Baghdad, Irak, Minggu
(3/7). Jumlah korban tewas dari 200 orang, termasuk anak-anak.
Ketika perhatian masih terfokus pada tiga tragedi tadi, komunitas internasional dibuat
terhenyak sesaat karena Madinah, Qatif, dan Jeddah di Arab Saudi juga diguncang bom
bunuh diri, satu hari sebelum Idul Fitri. Brutalitas pelaku teror di Arab Saudi itu semakin sulit
dipahami karena ledakan bom di kota Madinah justru terjadi di dekat kompleks Masjid
Nabawi, bangunan suci yang bermakna sangat khusus bagi umat muslim sedunia. Pasalnya,
Masjid Nabawi dibangun oleh Nabi Muhammad SAW dan menjadi tempat makam dia serta
para sahabatnya.
Lalu ketika para pejabat tinggi negara dan tokoh agama di dalam negeri menyuarakan
kecaman atas serangan bom di dekat Masjid Nabawi itu, pelaku teror di dalam negeri
meledakkan bom bunuh di Polresta Solo pada Selasa (5/7). Kasus ini pun sulit dimengerti
karena pelakunya beraksi saat masyarakat sedang bersiap-siap menyongsong malam takbiran.
Setelah Solo, Dhaka kembali diguncang. Sebuah ledakan bom terjadi di Distrik Kishoreganj,
Bangladesh utara, saat lebih dari 200.000 umat muslim sedang melaksanakan ibadah salat
Idul Fitri. Seorang polisi tewas dan lima orang terluka akibat ledakan bom dan baku tembak
di sebuah lapangan.
Rangkaian bom bunuh diri sepanjang Ramadan memang memiliki keterkaitan dengan
kelompok milisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Pasalnya, pentolan ISIS telah
menyebar seruan kepada semua simpatisannya untuk melancarkan teror atau Amaliyah di
seluruh dunia. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ISIS telah melebarkan sayapnya
dari Afrika hingga Asia.
Untuk semua aksi bernuansa teror mematikan, ISIS menggunakan ungkapan Amaliyah. Dan
sebagaimana diungkap Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, ISIS berasumsi bahwa Amaliyah
29
pada bulan suci adalah suatu tindakan yang baik dan akan mendapatkan pahala. Apakah
asumsi seperti itu patut diberi simpati atau apresiasi? Keyakinan seperti itu tidak hanya sulit
dipahami, tetapi tidak bisa diterima.
Maka sangat masuk akal jika serangan bom di dekat Masjid Nabawi dan di Solo dinilai
sebagai serangan terhadap umat muslim sedunia, dan juga umat muslim Indonesia khususnya.
Dengan begitu, para pelaku bom bunuh diri, aktor intelektual, dan para simpatisannya patut
diposisikan sebagai musuh bersama. Mereka sudah jelas-jelas ingin mencabik-cabik
keagungan agama. Mereka pun ingin merusak peradaban dengan memaksakan keyakinannya
kepada komunitas lain.
Milisi ISIS dan para simpatisannya mungkin ingin membangun dunia baru seturut
keyakinannya. Namun, mereka tidak boleh menghadirkan bencana bagi komunitas lain,
apalagi melancarkan serangan mematikan terhadap orang-orang yang tidak bersalah.
Komunitas internasional, termasuk masyarakat Indonesia, sudah merasakan kekejaman dan
kebrutalan ISIS dan para simpatisannya. Ketika para simpatisan ISIS meledakkan bom di
dekat Masjid Nabawi, sudah sangat jelas bahwa ISIS pun menunjukkan sikap bermusuhan
dengan komunitas muslim sedunia. Peristiwa di Kota Madinah semakin menegaskan kepada
setiap orang bahwa terorisme adalah musuh agama dan kemanusiaan.
Kewaspadaan Masyarakat
Menyikapi guncangan bom di negaranya, Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz berjanji
akan menggunakan ”tangan besi” terhadap orang-orang yang menyeret pemuda negeri itu ke
dalam ekstremisme agama. ”Kami akan membalas dengan ‘tangan besi’ terhadap mereka
yang mengincar para pemuda kami,” kata raja berusia 80 tahun itu. Lalu, bagaimana
Indonesia akan menyikapi kecenderungan serupa itu?
Semua elemen masyarakat tidak boleh tutup mata terhadap fakta tentang banyaknya orang
muda Indonesia yang nyaris terperangkap dalam ekstremisme agama. Contoh terbaru yang
paling ekstrem adalah ledakan bom bunuh diri di Solo itu. Sebagaimana penjelasan Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Tito Karnavian, pelakunya
memiliki keterkaitan dengan beberapa kelompok radikal yang juga sudah diidentifikasi oleh
intelijen Indonesia. Kelompok-kelompok itu berafiliasi dengan ISIS. Maka itu, sel-sel ISIS
sesungguhnya sudah berbaur dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Potret lain tentang sel ISIS di Indonesia tergambar pada kelompok Mujahidin Indonesia
Timur (MIT) pimpinan Santoso alias Abu Wardah yang masih bersembunyi kawasan hutan
Poso, Sulawesi Tengah. Santoso berambisi menjadikan kawasan hutan di Sulawesi Tengah
sebagai pusat latihan milisi bagi para simpatisan ISIS.
Sebagai negara yang menghormati prinsip-prinsip hukum, Indonesia tentunya tidak harus
menggunakan tangan besi untuk merespons kecenderungan itu. Negara, dengan dukungan
30
para pendidik dan ulama, bisa mereduksi kecenderungan itu dengan program yang dapat
mengubah sikap dan cara pandang ekstrem menjadi lunak, toleran, pluralis, dan moderat
(deradikalisasi). Akan tetapi, menawarkan program deradikalisasi tidak boleh membuat
negara dan rakyat lengah.
Sebaliknya, kewaspadaan dan militansi harus ditingkatkan karena program deradikalisasi
belum tentu mujarab bagi semua orang yang berpandangan ekstrem. Pelaku ledakan bom
Solo dan Santoso dengan MIT-nya menjadi contoh tentang program deradikalisasi yang tidak
laku. Mereka memiliki jaringan di berbagai tempat. Jaringan-jaringan itulah yang harus
diwaspadai oleh semua elemen masyarakat.
Hari-hari ini masyarakat telah melalui periode bulan Ramadan dan perayaan Idul Fitri tahun
2016. Apakah teror bom akan berakhir dengan sendirinya? Belum tentu. Para simpatisan ISIS
terang-terangan telah mengancam Indonesia. Selain itu, sejumlah kelompok pelaku teror
masih menyimpan dendam terhadap institusi Polri. Maka cukup jelas bahwa ancaman teror
masih mengintai masyarakat.
Oleh karena itu, bahu-membahu dengan semua elemen masyarakat, segenap aparatur
keamanan negara perlu meningkatkan kewaspadaan dan kesigapan untuk mengantisipasi dan
merespons brutalitas pelaku teror yang beraksi atas alasan apa pun. Brutalitas pelaku teror
akhir-akhir ini tidak bisa ditoleransi lagi. Kebrutalan pelaku teror saat ini, mau tak mau, harus
disikapi dengan kebijakan serta langkah-langkah antiteror yang luar biasa pula.
Negara tidak boleh lagi memberi toleransi kepada siapa saja atau kelompok yang terindikasi
sebagai pelaku teror. Negara tidak boleh minimalis ketika masyarakat terancam oleh para
pelaku teror. Sebaliknya, negara harus bertindak ekstra keras dan lugas terhadap kelompok-
kelompok yang terindikasi akan melakukan serangan.
Untuk meningkatkan kesigapan merespons kebrutalan pelaku teror, Polri, TNI, BIN, dan
BNPT harus diberi kewenangan dan keleluasaan yang proporsional sesuai tupoksinya
masing-masing dengan potensi ancaman saat ini. Peran serta masyarakat dalam bentuk
berbagi informasi dengan Polri dan TNI tentu saja sangat diharapkan. Dan, untuk
mengidentifikasi dan memonitor pergerakan pelaku teror dari berbagai negara, pemerintah
hendaknya meningkatkan kerja sama dengan sejumlah negara terkait.
BAMBANG SOESATYO
Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
31
Menanti Kapolri
12-07-2016
Sebenarnya sudah beberapa kali fit and proper test calon kapolri di DPR RI yang juga
menarik perhatian. Hanya, mungkin dalam bentuk gaduh yang berbeda.
Sebelumnya heboh itu karena ada perbedaan tajam baik antara eksekutif (lembaga pengaju)
berhadapan dengan legislatif (lembaga yang mempertimbangkan). Kegaduhan itu juga terjadi
di internal institusi masing-masing. Namun, lain ceritanya ketika Presiden Joko Widodo
mencalonkan Komjen Tito Karnavian sebagai kapolri menggantikan Jenderal Badrodin Haiti
yang mendekati masa purnabakti. Situasinya tetap heboh juga memang, tapi hebohnya lebih
karena publikasi dan penerimaan publik serta Komisi III yang meriah.
Ujian Promosi
Kebetulan saya mengisi acara talkshow di salah satu televisi swasta nasional bersama Prof
Indria Samego saat uji kelayakan calon kapolri berlangsung. Memang ada kritik bahwa uji
kelayakan oleh Komisi III DPR RI ”tidak menggigit” karena lebih banyak pujian dan
sanjungan saja yang mengemuka. Tapi, bagi saya, justru tidak heran dan memang seharusnya
seperti itulah kala uji kelayakan diselenggarakan.
Argumentasi sederhananya, jika dianalogikan dengan ujian tingkat doktor (S-3), uji
kelayakan di Komisi III DPR RI adalah ”ujian terbuka” (promosi) saja. Ujian tertutupnya itu
ada di lembaga kepresidenan. Saat ujian tertutup itulah harusnya semua aspek diuji,
diklarifikasi, bahkan ”dikuliti” secara mendalam, tanpa tersisa. Jika harus gugur, pada saat
ujian tertutup inilah eksekusinya. Namun, setelah seorang calon kapolri ”lulus ujian tertutup”
di tingkat Presiden, ujian di Komisi III adalah tahapan ujian terbuka. Ujian terbuka ini lebih
bersifat promosi saja.
Logikanya, apabila para penguji saat ujian tertutup sudah menguji dengan baik dan obyektif,
dapat dipastikan saat ”ujian terbuka” akan lempeng. Itulah yang terjadi dengan Komjen Tito
Karnavian, lulus mulus saat ”ujian promosi” di Komisi III karena memang di ujian tertutup ia
sudah gemilang.
Sebaliknya, apabila dibandingkan dengan para calon kapolri masa lalu, memang ada
persoalan pada tahapan ”ujian tertutupnya.” Ketika itu mungkin sangat subyektif dan
bermasalah pula. Tidak heran jika kemudian tidak mampu melalui ujian terbuka di Komisi III
karena sesungguhnya memang tidak lulus di ujian tertutup. Kelulusannya dengan nilai
”dipaksakan” sekadar meloloskan. Sepertinya ”para penguji saat ujian terbuka” memiliki
berbagai pertanyaan yang tidak sempat diajukan ketika ”ujian tertutup.”
32
Bertambah runyam karena dalam kondisi itu publik juga beringas karena paham dengan
beberapa nilai kurang sang kandidat. Apalagi jika terjadi ”keadaan luar biasa” saat ujian
terbuka sebagaimana dialami Komjen Budi Gunawan, sekalipun ia polisi brilian juga.
Laporan Terbanyak
Saya meyakini ”di atas kertas” pimpinan Polri telah memiliki berbagai program, strategi,
bahkan hingga ke petunjuk pelaksanaan (juklak) agar menampilkan Polri yang profesional.
Namun, pada akhirnya semua itu direfleksikan seberapa banyak laporan/keluhan masyarakat
terkait kinerja dan pelayanan Polri. Tidak banyak pengaruhnya jika berbagai strategi
sempurna hanya ada di atas kertas, namun bermasalah dalam penerapannya.
Apalagi kini Polri dihadapkan kepada publik yang lebih berani ”berkawan” dengan media
yang nyaris sempurna kemajuannya. Gerak-gerik Polri menjadi tontonan terbuka. Akibatnya,
prestasi saja belum tentu dipuji, apalagi terhadap kelakuan mereka yang mungkin memang
salah.
Data di Ombudsman Republik Indonesia pada 2015, di antara total 6.549 laporan, Polri
sebagai lembaga kedua yang paling banyak dilapori masyarakat yaitu berjumlah 807
laporan. Jumlah laporan ini menggambarkan bagaimana sesungguhnya interaksi Polri dengan
masyarakat yang diurusinya.
Beberapa jenis dugaan maladministrasi kepolisian berupa keberpihakan, diskriminasi, dan
konflik kepentingan. Selain itu ”tuduhan” masyarakat bahwa oknum polisi telah melakukan
penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, hingga permintaan
imbalan atas pelayanan yang diberikan. Itu sebabnya sangat relevan apabila kapolri to be,
juga fokus terhadap pelayanan publik.
Salah satu kelemahan pelayanan publik di Indonesia karena kebanyakan dilakukan secara
manual untuk pelayanan yang dapat menggunakan teknologi. Pelayanan bidang lalu lintas
dan reserse selalu menjadi sorotan. Penggunaan teknologi dapat menekan praktik
menyimpang di tubuh Polri.
Tantangan dan Tentangan
Sebagai manusia biasa, tidak mungkin juga seolah-olah dengan penunjukan kapolri baru
semua bakal cespleng, semua persoalan terselesaikan dan berjalan sendiri seolah diawaki oleh
auto pilot saja. Tantangan dan tentangan pasti masih eksis, serendah apa pun skalanya.
Tantangan pertama justru dari internal Polri sendiri. Kapolri baru memecah tradisi yang
selama ini terjadi, terkait senioritas. Ada ”ratusan” jenderal yang dilompati oleh calon kapolri
periode ini. Apalagi sekitar lima angkatan terlewati. Mestinya sebagai Bhayangkara sejati,
pastilah ”lima angkatan itu” akan menerima apa pun putusan pimpinan tertinggi. Sudah
terkenal di lingkungan TNI/Polri bahwa taat dengan perintah atasan itu harga mati. Tidak
33
boleh ada pertanyaan, apalagi membantah perintah. Namun, tetap saja ratusan orang itu
adalah manusia biasa. Ini artinya sekecil apa pun tetap ada retensi. Mungkin secara formal
dan verbal hal itu tidak mengemuka. Namun, senioritas itu tetap sebagai tantangan tidak
mudah. Untungnya, Komjen Tito telah berpengalaman memimpin ”para abangnya” dan kini
terulang lagi.
Potensi tentangan itu datang dari mereka yang nyaman dengan status quo yang eksis
”berkarat” selama ini. Bagi sebagian publik, tampilan Polri masih dipersepsikan sebagai
lembaga yang ”belum bersih,” masih belum menghadirkan lembaga pelindung/pengayom
masyarakat. Istilah to serve and to protect masih slogan saja. Ada banyak anggota Polri yang
berprofesi tandem dengan bisnis sampingannya. Menjadi soal karena bisnis itu atas nama
perseorangan, bukan kelembagaan.
Jika kapolri menggunakan strategi ”pokoknya” yang drastis misalnya pokoknya dilarang
bisnis, titik-full stop, tentangan itu pasti besar. Belum lagi sinergitas Polri dengan lembaga
penegak hukum lainnya. Bayang-bayang perumpamaan ”cicak versus buaya” tetap ada walau
mungkin dalam rupa dan skala berbeda. Kasus para petinggi KPK yang ditersangkakan kental
nuansa rivalitas lembaga, bukan murni aspek legal. Ini juga tantangan bagi kapolri yang
dinanti.
Menanti Kapolri
Kapolri profesional adalah idaman masyarakat. Profesionalisme itu akan tercapai jika tugas
pokok dan fungsi Polri berhasil diimplementasikan sebagaimana diatur dalam Pasal 13
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepolisian. Ditegaskan bahwa tugas pokok
Polri adalah: a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b) menegakkan hukum;
dan c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Selama ini Polri belum memenuhi semboyannya restra sewa kottama, abdi utama
masyarakat. Tingkat kepercayaan masyarakat masih rendah. Ada kompleksitas di tubuh Polri
untuk menjadikannya tampil dengan postur ideal. Kesejahteraan mereka umumnya juga
menjadi persoalan dihadapkan dengan kebutuhan minimal.
Namun, tidak kalah seriusnya persoalan di tubuh Polri terkait pola mutasi dan promosi,
termasuk penjenjangan/pendidikan. Kalangan internal Polri bahkan pernah berkirim surat ke
Ombudsman RI ”bercerita” kejanggalan seleksi pendidikan jenjang tertinggi di Polri.
Laporan yang mungkin mengandung kebenaran. Keluhan terhadap pelayanan Polri yang
belum memuaskan justru banyak tertuju kepada kepolisian sektor (polsek). Padahal, wajah
Polri sangat ditentukan oleh bagaimana tampilan polsek yang langsung bersentuhan dengan
masyarakat.
Menyimak kondite Komjen Tito Karnavian merupakan sosok yang lengkap untuk melakukan
pembenahan di tubuh Polri. Pengalaman lapangan dan akademik yang nyaris sempurna. Visi-
misi beliau jelas, hampir tanpa celah untuk menjadikan Polri profesional dan dicintai
34
masyarakat. Ini semua sejalan pula dengan semboyan restra sewa kottama atau ungkapan to
serve and to protect. Persoalannya memang kapolri baru dihadapkan kepada berbagai kendala
di tubuh Polri yang di antaranya ”seumur-umur” sudah ada di situ. Bukankah visi-misi luar
biasa juga ditampilkan oleh para mantan calon kapolri periode-periode sebelumnya. Tapi,
apakah reformasi di tubuh Polri benar-benar sudah terjadi?
Walaupun mungkin ada banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh para calon kapolri
sebelumnya saat pencalonan, di antaranya dukungan meluas terhadap Tito Karnavian.
Dukungan meluas itu modal awal luar biasa dahsyatnya.
Pesta promosi calon kapolri sudah berlalu. Sejak awal tidak ada yang meragukan kepiawaian
kandidat lulus dalam ujian itu. Tinggal lagi kini bagaimana konsep perfect dan janji kepada
publik itu diimplementasikan. Wapres Jusuf Kalla bahkan turut mengingatkan Tito untuk
menjalankan janjinya mereformasi Polri.
Publik serepublik ini dengan berbagai pengalaman berinteraksi bersama polisi kini menanti
kapolri yang menjanjikan berbagai pembaharuan (reformasi) di tubuh Polri. Visi-misi yang
ditawarkan sungguh luar biasa dan meyakinkan Komisi III. Senyatanya kini ada tugas berat
di pundak kapolri yang dinanti.
PROF AMZULIAN RIFAI PhD
Ketua Ombudsman RI
35
Gratifikasi dan Suap
13-07-2016
Kebiasaan lama sejak penjajahan Belanda dan semasa wilayah Nusantara terbelah dalam
beberapa kerajaan, pemberian upeti kepada sang raja dalam bentuk in-natura merupakan
suatu pertanda loyalitas rakyat kepada raja. Di kalangan Tionghoa dikenal dengan sebutan
”angpau”. Dalam bahasa Sunda, dikenal dengan istilah ”seba”.
Sejalan dengan perkembangan sistem pemerintahan modern, kebiasaan tersebut berlanjut
sejak era Soekarno, Soeharto dan sampai saat ini hanya diubah dengan sebutan ”imbalan”
atau ”balas budi”. Namun sejak era Reformasi, upeti, seba, angpau tersebut termasuk ke
dalam pengertian gratifikasi.
Pengertian gratifikasi itu sendiri berasal dari istilah ”gratitude”. Suatu penghormatan
terhadap pemimpin dalam bentuk memberikan sejumlah uang atau barang. Sikap masyarakat
ini dalam kosakata sosiologi disebut sikap dan budaya relasi “patron and client”, atau
”patron-client relationship”(PCR), dan integritas diidentikkan dengan loyalitas.
Akibat dari kekeliruan menafsirkan kedua kosakata tersebut maka integritas dan loyalitas
tidak ada perbedaan mendasar lagi. Karena integritas tanpa loyalitas di dalam sistem birokrasi
yang berbasis PCR seiring loyalitas (pada atasan) mengalahkan integritas (pada
pekerjaan). Bahkan dalam sistem birokrasi pemerintahan di Indonesia, pemberian kepada
atasan merupakan tolok ukur kesetiaan (loyalitas). Dan, angka kredit untuk promosi dan
mutasi ke kedudukan dan jabatan yang lebih tinggi bukan pada sistem ”reward and
punishment” atau meritokrasi.
Ketika Baharudin Lopa (alm.) menjabat menteri kehakiman (menkumham saat ini), telah
diinisiasi untuk memasukan ”pemberian” yang dikenal dengan upeti, seba, atau angpau
tersebut sebagai gratifikasi dalam konotasi negatif. Karena hal itu dapat ”menurunkan”
wibawa pemerintah, serta mendegradasi sistem meritokrasi, integritas, dan akuntabilitas
kinerja.
Lingkup gratifikasi di dalam Penjelasan Pasal 12B Undang-Undang (UU) RI Nomor 20/2001
tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31/1999. ”Dalam arti luas, yakni meliputi pemberian
uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik
yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik”.
***
36
Norma gratifikasi di dalam pasal tersebut, berbunyi: ”Gratifikasi dianggap suap jika
dilakukan dalam hubungan kedudukan atau jabatannya”; dan pembuktian bahwa bukan
merupakan suap dibebankan kepada terdakwa (pembuktian terbalik) jika nilai pemberian
sampai Rp10 juta; beban pembuktian sebagai suap pada penuntut untuk nilai pemberian di
atas Rp10 juta.
Di dalam ketentuan gratifikasi (Pasal 12B), penerima gratifikasi diberi tenggat waktu 30 hari
untuk melaporkan gratifikasi kepada KPK, terhitung sejak ia menerima pemberian tersebut.
Dengan maksud menguji integritas penyelenggara negara selama ia memangku jabatannya.
Jika melampaui batas waktu tersebut, penerima gratifikasi dianggap memiliki mens-rea dan
merupakan petunjuk (awal) bahwa penyelenggara negara yang bersangkutan telah memiliki
itikad tidak baik. Karena sekecil apa pun nilai uang atau barang pemberian, tetap bukan hak
penyelenggara negara yang bersangkutan. Tuntutan ancaman hukuman tindak pidana
gratifikasi adalah pidana seumur hidup, dan paling singkat empat tahun, dan pidana denda
paling sedikit Rp200 juta, paling banyak Rp1 miliar.
Dimasukkannya gratifikasi sebagai salah satu tindak pidana korupsi mencerminkan bahwa
politik hukum pidana dalam pemberantasan korupsi sangat ”secure” dalam memberikan
penilaian perilaku seorang penyelenggara negara. Dengan pertimbangan bahwa
penyelenggara negara seharusnya menjadi panutan dari masyarakatnya bukan sebaliknya.
Nilai-nilai di balik ketentuan gratifikasi adalah integritas (integrity), akuntabilitas
(accountability), kejujuran (honesty), dan adil (fairness) dalam tata kelola pemerintahan.
Integritas yang dikehendaki oleh ketentuan Pasal 12 B adalah bahwa seharusnya penerima
dana memiliki iktikad baik, melaporkan dan menyerahkan penerimaannya kepada KPK.
Nilai (values) di balik ketentuan gratifikasi adalah bahwa setiap penerimaan oleh
penyelenggara negara atau abdi negara, dalam bentuk dan nilai seberapa pun adalah tidak
layak, tidak patut dan perbuatan tercela, selain penerimaan gajinya. Karena gratifikasi
tersebut merupakan ”keuntungan yang tidak patut/tercela” (undue advantage).
***
Pelaporan penerima gratifikasi kepada KPK harus tanpa paksaan atau faktor eksternal, dan
dalam batas waktu 30 hari. Jika pejabat/penyelenggara negara menerima gratifikasi kemudian
melaporkan kepada KPK dalam waktu 30 hari, dan kemudian ada bukti permulaan yang
cukup bahwa dana yang diterima dan dilaporkan tersebut merupakan imbalan atas perbuatan
penerima gratifikasi selaku penyelenggara negara/pegawai negeri, yang bertentangan dengan
kewajiban dalam kedudukannya sebagai penyelenggara negara atau pegawai negeri, dan
pemberian dana tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, maka
gratifikasi berubah, dan merupakan suap.
Karena, pertama pelaporan gratifikasi kepada KPK tidak dilandasi oleh itikad baik. Kedua,
pemberian ”gratifikasi” tersebut merupakan ”kick back” terhadap penerima gratifikasi. Niat
37
jahat (mens-rea) pada penerima gratifikasi telah terbentuk ketika kemudian diketahui telah
terdapat ”kick back” sebagai imbalan untuk keputusan pejabat/pegawai negeri tersebut yang
bertentangan peraturan perundang-undangan. Pemberian dana oleh pihak lain dan penerimaan
dana yang didahului oleh tindakan pejabat/pegawai negeri yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk suap.
Mengapa ancaman untuk gratifikasi lebih tinggi dari suap? Hal ini disebabkan perbuatan
gratifikasi merupakan pengkhianatan terhadap integrasi, akuntabilitas, dan martabat seorang
penyelenggara negara. Sedangkan suap merupakan perbuatan atas dasar keserakahan semata-
mata (greedy).
Dalam hukum pidana, maksud dan tujuan baik dari suatu perbuatan tidak cukup menjadi
pertimbangan hakim, tetapi juga cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan baik
tersebut, yaitu harus tidak melanggar hukum. Contoh, seorang bendahara K/L
(kementerian/lembaga) memindahkan dana dari pos anggaran untuk biaya lelang kepada pos
perjalanan dinas, dengan alasan mendesak diperlukan dana untuk melakukan kunjungan dinas
ke daerah atau pengeluaran dana untuk bencana sosial yang diambil dari pos anggaran lain.
Perbuatan tersebut termasuk perbuatan melawan hukum-malaadministrasi namun tidak
mutatis mutandis mengandung unsur pidana. Perbuatan malaadministrasi menjadi tindak
pidana korupsi jika perbuatan tersebut menghasilkan ”keuntungan finansial” (kick back) bagi
bendahara yang bersangkutan atau bagi orang lain atau korporasi, yang diperoleh dari
rekanan-rekanan yang terlibat dalam penggunaan dana anggaran tersebut sehingga
mengakibatkan negara mengalami kerugian.
Dalam UU Pemberantasan Korupsi yang berlaku, sekalipun terdakwa tidak memperoleh
keuntungan, akan tetapi orang lain atau korporasi memperoleh keuntungan dan perbuatan
terdakwa dilakukan secara melawan hukum. Maka yang bersangkutan tetap dapat dituntut
melakukan tindak pidana korupsi, apalagi telah terjadi kerugian negara, dan pengembalian
kerugian keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar (Emeritus) Unpad/Direktur LPIKP
38
Menagih Janji Jenderal Tito
14-07-2016
Jabatan kapolri resmi berpindah dari Jenderal Badrodin Haiti ke Jenderal Muhammad Tito
Karnavian. Ini juga bermakna bahwa mulai 13 Juli 2016, institusi Polri dari Sabang hingga
Merauke sepenuhnya berada di bawah kendali Jenderal Tito.
Akankah Jenderal Tito mampu mengemban amanah rakyat Indonesia untuk menghadirkan
polisi yang humanis dan antikorupsi? Mewujudkan lembaga Polri yang profesional, mandiri,
dan tidak mudah diintervensi dalam menegakkan hukum. Mampukah Jenderal Tito
merealisasikan sepuluh komitmen sebagaimana yang pernah disampaikannya saat menjalani
uji kepatutan dan kelayakan sebagai calon kapolri di DPR RI pada 23 Juni 2016?
Setiap kali pergantian kapolri, setiap itu pula harapan masyarakat kembali bersemi.
Maklumlah karena setiap kapolri selalu menjanjikan reformasi dan ingin menjadi teladan
dalam kepemimpinannya. Publik kini sadar bahwa tugas kepolisian berbeda dengan militer
yang mengamankan negara dari ancaman musuh, sedangkan kepolisian bertugas
mengamankan masyarakat agar tercipta ketertiban, rasa aman, perlindungan, dan menindak
pelanggaran serta pelaku kejahatan.
Meskipun terlihat sudah mulai lurus, upaya penegakan hukum dan keadilan oleh institusi
kepolisian masih dirasakan berliku dan terjal oleh masyarakat. Reformasi kepolisian
sesungguhnya bertujuan mengubah citra polisi dari yang militeristik ke polisi sipil (civilian
police) yang demokratik, harapannya, reformasi yang dilakukan dapat mengubah wajah
kepolisian sesuai dengan citra negara hukum.
Meskipun sudah terlihat berhasil, masih ada citra negatif yang hingga kini tersemat di korps
berbaju cokelat itu. Hal ini terlihat masih menonjolnya kekuasaan (power) yang berujung
kekerasan dan penyiksaan saat aparat polisi menjalankan tugasnya. Bukan sekadar isu lagi,
melainkan fakta bahwa kepolisian dengan ”force and power” yang dimilikinya masih
menggunakan pemerasan, korupsi, kekerasan, intimidasi, dan pelanggaran hak asasi manusia
dalam penegakan hukum.
Dalam catatan Kontras, sebuah LSM yang pro-hak asasi manusia, Polri masih menduduki
peringkat tertinggi sebagai aktor pelaku penyiksaan periode 2015-2016. Begitu juga dengan
potensi korupsi di tubuh Polri. Dalam satu jajak pendapat yang dilansir oleh satu media
nasional terbaca masih ada perbedaan yang kecil antara publik yang percaya dan tidak
percaya terkait pertanyaan apakah mereka percaya Jenderal Tito bisa memberantas korupsi di
kepolisian? Yang menjawab ”Tidak” hanya 46,5% dan yang menjawab ”Ya” sekitar 48,3%.
39
Jenderal Tito berjanji akan membentuk tim internal anti-korupsi di institusi Polri. Seperti
menerapkan sistem laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) kepada pengawas
internal, optimalisasi whistleblower online untuk internal Polri, serta menerbitkan peraturan
kapolri untuk bisnis anggota Polri.
***
Pernyataan Tito yang menarik adalah pengakuan terhadap reformasi kultural di tubuh
kepolisian sejak 18 tahun era Reformasi menurutnya belum kunjung tiba dan sulit diterapkan.
Karena itu, menurut Tito, reformasi internal Polri akan fokus pada persoalan kultural Polri,
yang sering dianggap koruptif, hedonis, dan konsumtif, melalui beberapa langkah antara lain
perubahan dalam proses rekrutmen Polri, penempatan karier, serta perubahan postur anggaran
di kepolisian.
Menurut Tito, anggaran kepolisian saat ini sebanyak 62% untuk belanja pegawai, 28% untuk
operasional, sisanya untuk belanja modal. Ini bukti Polri tidak sehat. Karena itu, postur
anggaran Polri harus diubah agar mampu memberikan pelayanan yang lebih optimal.
Berkaitan dengan reformasi kultural di tubuh Polri, Tito menyebutkan, pihaknya akan
menyiapkan perekat yang dibuat sebagai mekanisme pencegahan sekaligus memperjuangkan
peningkatan kesejahteraan anggota Polri. Baik tunjangan kinerja, kesehatan, dan perbaikan
perumahan serta belanja operasional sampai ke polsek bisa meningkat secara bertahap. Selain
itu, Tito juga menjanjikan akan melakukan upaya profesionalisme Polri dalam layanan
umum, dalam penegakan hukum, dan penanganan gangguan kamtibmas.
Berkaitan dengan pelayanan publik, haruslah yang mudah diakses, regulasi proses di loket,
quick response, dan modernisasi teknologi. Dalam penegakan hukum, Tito berjanji
melakukan penanganan kasus yang menjadi perhatian publik yang meliputi kejahatan anak,
teroris, dan narkoba. Tito juga akan meningkatkan kemampuan penyidik seperti peningkatan
Laboratorium Forensik Polri.
***
Sejuta harapan kini berada di pundak Jenderal Tito. Usianya yang masih muda, karier yang
melesat, dan jejak rekam yang relatif ”clean and clear” diyakini oleh mayoritas publik
sebagai modal bagi Jenderal Tito untuk menaklukkan medan dan tantangannya sebagai
kapolri.
Juga mengatasi kebimbangan posisinya yang di satu sisi adalah penegak hukum, sementara di
sisi lain adalah ”bawahan” Presiden. Salah melangkah, Jenderal Tito akan menjadi ”Jenderal
Istana” alias menjadi ”tukang pukul” terhadap lawan-lawan politik penguasa.
Akhirnya, publik Indonesia dan masyarakat internasional tentu ingin menagih Jenderal Tito
untuk menunaikan janji-janjinya yaitu Polri menjadi institusi yang berdedikasi penuh kepada
40
rakyat berlandaskan demokrasi; proaktif dalam mewujudkan masyarakat yang menjunjung
tinggi hukum dan rasa keadilan hak-hak asasi manusia; profesional dan akuntabel dalam
pelayanan pencegahan kejahatan, penegakan hukum, dan penciptaan rasa aman dan bebas
rasa takut yang meluas di masyarakat, serta dicintai secara nasional dan diakui secara
internasional; mewujudkan lembaga Polri yang mandiri, terbuka, bermoral, serta memiliki
kredibilitas dan kompetensi yang unggul dalam setiap perubahan lingkungannya.
Selamat bertugas Jenderal Tito. Menjadi pemimpin pada dasarnya siap untuk melayani,
bukan dilayani. Siap mempertahankan independensi dan menjaga jarak dengan setiap
kekuatan yang ingin membusukkan institusi Polri. Yakinlah bahwa ”Gusti Allah ora sare”
dan rakyat percaya bahwa Jenderal Tito akan mampu membentuk dan membangun tim yang
bekerja keras untuk melanjutkan dan mengembalikan Polri agar kembali dipercaya oleh
rakyatnya sendiri. Kepercayaan adalah modal utama untuk berdiri di atas panggung
pengabdian.
M NASIR DJAMIL
Anggota Komisi III DPR RI
41
Tito, Polri, dan Pemberantasan Korupsi
15-07-2016
Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya melantik Jenderal Polisi Tito Karnavian, Rabu
(13/7) lalu, di Istana Negara sebagai kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Polri). Dalam acara pelantikan Kapolri tersebut, melalui pidatonya, Presiden Jokowi
menekankan pentingnya pelaksanaan reformasi internal untuk menyelamatkan wajah Polri.
Melalui artikel ini, penulis akan memfokuskan pada salah satu agenda reformasi Polri yang
mendesak terkait dengan pemberantasan korupsi di Indonesia. Ini akan menjadi pekerjaan
rumah yang besar bagi beliau saat secara resmi mengambil alih tongkat komando pimpinan
Polri dari Jenderal Badrodin Haiti.
Terlepas dari kemajuan dalam mempertahankan sistem demokrasi setelah hampir 20 tahun
belakangan ini, reformasi sistem penegakan hukum salah satu sektor yang tidak mengalami
kemajuan signifikan. Dalam survei yang dilakukan oleh the World Global Justice terhadap
100.000 keluarga dan 2.400 ahli mengenai pengalaman praktis terkait penegakan hukum,
Indonesia hanya memperoleh skor 0.52 (tertinggi 1) dan menempati peringkat ke-52 dari 102
negara yang disurvei. Dalam komponen absennya korupsi pada kepolisian/militer, Indonesia
hanya memperoleh skor 0.43.
Sedangkan dalam indeks kebebasan (freedom index) tahun 2016 yang menempatkan
Indonesia dalam kategori negara sebagian bebas (partly free), pada komponen penegakan
hukum Indonesia mendapat skor terendah, yakni 5 dari nilai maksimum 16.
Polri dan Kasus Korupsi
Polisi melepaskan diri dari militer yang waktu itu dikenal dengan nama Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI) pada 1999, merupakan salah satu mandat reformasi yang ingin
mengurangi dominasi militer yang sangat berkuasa di masa Orde Baru. Posisi polisi secara
politik menjadi lebih kuat dengan disahkannya Undang-Undang Kepolisian Nomor 2/2002.
Namun dalam perjalanannya berbagai kontroversi muncul dalam konteks penanganan kasus
korupsi besar, yang melibatkan petingginya, dan juga konflik dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Pada masa Kapolri Sutanto (2005-2008) terdapat beberapa usaha penertiban dalam organisasi
kepolisian saat menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan para petinggi
polisi. Hasilnya pada kasus penerbitan fiktif letter of credit dari Bank Nasional Indonesia
42
(BNI), untuk pertama kalinya di era Reformasi petinggi polisi bintang tiga dan beberapa
perwira tinggi lainnya divonis bersalah oleh pengadilan karena kasus korupsi.
Dengan semakin berfungsinya KPK di era periode pertama Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (2004-2009), lagi-lagi beberapa kasus korupsi melibatkan beberapa perwira
tinggi polisi. Pertama kalinya mantan kapolri dan jenderal polisi bintang empat divonis
bersalah atas dugaan pungutan liar saat menjabat sebagai duta besar Malaysia.
Dan pada masa periode kedua Presiden SBY (2009-2014), KPK lagi-lagi mengungkapkan
kasus korupsi yang melibatkan perwira tinggi Polri. Dalam kasus pengadaan mesin driving
simulator untuk pengurusan surat izin mengemudi (SIM), mantan kepala Korlantas divonis
bersalah karena menurut temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), diduga terdapat
kerugian bagi negara di atas Rp121 miliar. Dalam kasus ini terdapat eskalasi konflik antara
KPK dan polisi yang menyebabkan Presiden SBY turun tangan dalam menurunkan tensi
politik antara kedua institusi, yang dipicu oleh upaya penangkapan penyidik KPK Novel
Baswedan.
Sementara di awal era Presiden Jokowi yang baru dilantik pada Oktober 2014, lagi-lagi
konflik antara KPK dan polisi kembali timbul. KPK yang saat itu yang dipimpin oleh
Abraham Samad menetapkan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka.
Namun pada akhirnya, Pengadilan Jakarta Selatan menggugurkan status tersangka BG
tersebut.
Namun, kejadian itu membawa implikasi politik selanjutnya di mana dua pimpinan KPK,
Bambang Widjajanto dan Abraham Samad, dijadikan tersangka oleh polisi. Keduanya terjerat
kasus lama. Namun setelah kasus ini dilimpahkan kepada kejaksaan, Jaksa Agung Prasetyo
akhirnya memutuskan untuk mengesampingkan perkara (deponering) dari Bambang dan
Abraham atas nama kepentingan publik yang lebih luas pada Maret 2016.
Identifikasi Masalah Polri
Berbagai macam studi yang telah dilakukan mencoba mengidentifikasikan berbagai masalah
di dalam institusi Polri. Dalam laporan yang diterbitkan oleh International Crisis Group
(ICG) pada 2012, berargumen bahwa budaya militer masih teramat kuat di institusi
kepolisian sehingga fungsi pelayanan masyarakat menjadi tidak maksimal.
Selain itu, juga ICG mengidentifikasikan masalah kualitas SDM di dalam kepolisian di mana
akibat rekrutmen yang tidak transparan dan akuntabel, sehingga sulit untuk menanamkan
budaya kerja secara profesional.
Riset yang dilakukan oleh Jacqui Baker dalam artikelnya berjudul the Rhizome State:
”Democratizing Indonesias off-budget Economy (2015)”, mengidentifikasikan bahwa
kekurangan biaya operasional dalam organisasi Polri memberikan insentif kepada para
perwira untuk berjiwa ”kewirausahaan” guna menutupi kekurangan dana tersebut. Akibatnya
43
aktivitas ekonomi tidak resmi inilah, maka sistem organisasi kepolisian menjadi
disfungsional.
Sementara temuan dari penelitian yang dilakukan oleh akademisi Selandia Baru John W
Buttle and Sharyn Graham Davies bersama dengan Adrianus Meliala dari UI yang berjudul
”A Cultural Constraint Theory of police corruption: Understanding the persistence of police
corruption in contemporary Indonesia (2015)” adalah polisi tidak bisa disalahkan sepenuhnya
terhadap korupsi yang timbul di institusi mereka. Menurut John W Buttle dkk., norma dan
kebiasaan di dalam masyarakat Indonesia --misalnya dengan membayar suap-- turut
memperkuat praktek korupsi di kepolisian.
Tentu saja Tito sangat menyadari berbagai masalah di tubuh kepolisian tersebut. Seusai
dilantik, dia berjanji untuk mengurangi budaya koruptif institusi Polri, yang salah satunya
dengan mewajibkan pelaporan harta kekayaan para pejabat Polri, meski dilakukan secara
bertahap.
Dari segi kepangkatan, kualifikasi akademis, pengalaman dan prestasinya di atas kertas,
seharusnya Tito mampu mendorong reformasi kepolisian yang lebih progresif, dibandingkan
pendahulunya. Oleh karena itu, kualitas kepemimpinan beliau akan menjadi kunci untuk
dapat merealisasikan perubahan tersebut dengan tingkat resistensi yang minimal baik dari
pihak internal maupun eksternal Polri.
VISHNU JUWONO
Dosen Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi UI dan Kandidat Doktor di London
School of Economics and Political Science (LSE)
44
Beragama adalah Bernegara
16-07-2016
Masih ada saja orang yang mempertentangkan antara tugas bernegara dan tugas beragama.
Mereka menganggap melaksanakan tugas agama (ibadah) tidak mempunyai kaitan dengan
melaksanakan tugas negara.
Di kalangan kaum muslimin di Indonesia, pendapat yang seperti ini ada juga. Padahal, dari
sudut Islam, melaksanakan tugas negara itu ya melaksanakan tugas agama. Pandangan ini
bisa dilihat dari misi kenabian. Ketika Nabi Muhammad mendapat wahyu untuk mengajak
umat manusia, utamanya kaum Qurais, menyembah Tuhan Yang Maha Esa atau mengajak
kembali ke tauhid, perintah ikutannya adalah melawan kezaliman dan membongkar struktur
sosial yang tidak berkeadilan. Nabi pun melawan tokoh-tokoh Qurais yang korup dan tidak
adil seperti Abu Jahal, Abu Lahab.
Nabi juga diperintahkan oleh Allah untuk mengajak umatnya berjuang mengentaskan
masyarakat kemiskinan dan mengangkat kaum lemah-papa (duafa). Di dalam ayat-ayat
Alquran yang turun pada periode Mekkah (sebelum Nabi hijrah ke Madinah), perintah
membangun kesejahteraan sosial itu sangat tegas.Di dalam Surat Al-Maun, misalnya,
disebutkan bahwa orang yang mengabaikan anak yatim dan tidak peduli kepada orang miskin
adalah pendusta (bohong dan berpura-pura saja) dalam beragama. Bahkan di surat yang sama
dikatakan bahwa orang yang salat itu akan diganjar dengan neraka (wayl) jika lalai dalam
salatnya. Lalai dalam salat bukan hanya berarti malas melakukan ritualnya sesuai dengan
rentang waktu-waktunya, melainkan juga lalai terhadap konsekuensi sosial dari salat.
Konsekuensi sikap sosial dari salat itu disimbolkan oleh gerakan terakhir salat, yakni
mengucapkan salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Salat dimulai dengan takbir
(Allahu Akbar) yang berarti hanya beriman dan akan menyembah Allah Yang Maha Esa
(vertikal). Salat diakhiri dengan salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri yang berarti
setelah salat akan memperhatikan keadaan di kanan dan di kiri (horizontal), yakni
memperhatikan kehidupan sekeliling dan siap membangun kesejahteraan masyarakat. Itulah
tugas dan kewajiban dalam beragama.
Tugas dan kewajiban yang bersumber dari agama tersebut sama belaka dengan tugas dan
kewajiban bernegara berdasar konstitusi di Indonesia. Menurut Alinea I Pembukaan UUD
1945 Indonesia memerdekakan diri dari penjajahan karena penjajahan tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
Selanjutnya menurut Alinea IV Pembukaan UUD 1945 salah satu tujuan negara kita adalah
memajukan kesejahteraan umum. Tujuan negara tentang pembangunan kesejahteraan sosial
45
itu diperkuat lagi di dalam sila kelima dari dasar negara (Pancasila), yakni ”keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Bukan hanya itu. Di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dicantumkan juga
satu bab tersendiri tentang tugas membangun kesejahteraan masyarakat, yakni Bab XIV
tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Pada Pasal 33 yang merupakan
bagian dari Bab XIV tersebut ditekankan bahwa sumber daya alam kita dikuasai negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya pada Pasal 34 ditegaskan
juga bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara dan negara harus
membangun sistem jaminan sosial dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Dengan demikian secara mendasar ada perhimpitan dalam arti kesamaan kewajiban yang
dibebankan kepada kita oleh agama dan oleh negara, yakni membangun kesejahteraan umum
dan keadilan sosial, mengangkat kaum duafa dari keterpurukan. Jadi beragama adalah
bernegara, melaksanakan kewajiban agama adalah melaksanakan kewajiban negara. Isi Surat
Al-Maun dalam Alquran adalah sama dengan isi Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang
mewajibkan kita menolong anak yatim (telantar) dan memedulikan orang-orang miskin.
Karena ada perhimpitan misi dan tugas yang seperti itu, maka ada yang berpendapat bahwa
membayar pajak sebagai kewajiban terhadap negara itu sama wajibnya dengan membayar
zakat sebagai kewajiban dalam agama. Bahkan ada yang berpendapat lebih jauh dari itu,
membayar pajak itu dapat dijadikan sebagai ganti pembayaran zakat. Kita tidak harus
sependapat dengan hal tersebut, tetapi pesan dasar yang bisa disepakati adalah: membela
kaum lemah-papa (duafa), anak yatim telantar, dan fakir miskin merupakan kewajiban atau
tugas suci kita di dalam beragama dan bernegara.
Maka itu, siapa pun kita akan menjadi pendusta atau berpura-pura saja dalam beragama kalau
kita tidak mau menegakkan keadilan dan tidak ikut membangun struktur sosial dan politik
yang adil. Orang yang tak peduli dan tak berani menegakkan keadilan bagi kaum duafa juga
dapat dianggap tidak mempunyai nasionalisme atau sikap pembelaan terhadap eksistensi
bangsa dan negaranya.
Mengapa? Karena kemiskinan bisa menimbulkan kekufuran atau suka melanggar karena
terpaksa dan didesak oleh kebutuhan. Mengapa pula? Karena ketidakadilan menjadi bibit
runtuhnya sebuah negara.
Saya sering mengatakan, basis nasionalisme kita ke depan tidak dilakukan dengan perang
yang didukung peralatan perang fisik melawan agresi negara lain. Basis nasionalisme kita ke
depan adalah penegakan hukum dan keadilan. Kalau mau membela negara, tegakkanlah
hukum dan keadilan. Kalau kita tak mau menegakkan hukum dan keadilan untuk mengangkat
derajat kemanusiaan kaum lemah, bisa diartikan rasa nasionalisme kita tipis karena
membiarkan terjadinya ancaman bagi eksistensi negara dan bangsa.
46
MOH MAHFUD MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-
HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
47
Kudeta dan Publik
18-07-2016
Pertanyaan menarik seorang kolega via media sosial terkait dengan kudeta militer di Turki
yang gagal, apakah semata-mata karena internal militer Turki yang tidak solid atau pesona
politik Tayyip Erdogan yang begitu karismatik sehingga mampu mengendalikan keadaan?
Keduanya memang menjadi faktor penting, tapi yang terpenting dalam kasus Turki adalah
menguatnya konsolidasi publik dalam merespons ancaman yang datang dari manuver politik
sebagian faksi di tubuh militer Turki tersebut. Bahkan harus diakui bahwa mobilisasi massa
terkait penolakan kudeta militer tersebut juga menguatkan argumentasi bahwa integrasi
kepemimpinan politik sipil dengan dukungan masif publik akan mampu memproteksi sistem
politik demokrasi yang tengah berjalan tersebut.
Bahwa kemudian Erdogan memiliki agenda menggeser orientasi politik negara Turki dari
sekularisme Kemal Attaturk ke yang lebih agamais sebagaimana ideologi politik Partai
Keadilan & Pembangunan (AKP), respons yang baik dengan terlebih dahulu dilakukan
adalah mencegah praktik kekuasaan politik tidak demokratis yang coba dilakukan oleh faksi
militer Turki dalam bentuk kudeta militer.
Hal ini juga meyakinkan penulis bahwa ketika Erdogan mencoba merealisasikan agenda
politiknya dengan mengubah ideologi politik Turki dari sekularisme Kemal Atturk menjadi
ideologi yang lebih agamais, publik Turki juga akan melakukan penolakan yang kurang-lebih
sama dengan apa yang dilakukan saat menolak kudeta militer Turki.
Gerakan rakyat yang menjatuhkan rezim pemerintahan banyak terjadi di sejumlah
negara. Namun, hal yang berbeda adalah bagaimana publik memproteksi pemerintahan yang
tengah berkuasa di Turki. Saat Presiden Muhammad Mursi juga digoyang oleh kudeta militer
di Mesir, langkah yang sama juga coba dilakukan dengan membangun konsolidasi rakyat
untuk memproteksi kekuasaan Mursi. Karena publik sudah terpecah akibat kebijakan yang
kurang tepat Mursi, langkah untuk memproteksi kekuasaan pemerintahan sipil demokratis di
Mesir gagal dilakukan, militer Mesir melenggang merebut kekuasaan Mursi yang seumur
jagung.
Ada empat alasan mengapa konsolidasi publik sangat cepat dan efektif dalam melawan dan
mencegah kudeta militer berhasil di Turki, yakni: Pertama, pengalaman rakyat Turki yang
telah mengalami sejumlah kudeta militer sejak 1960 hingga 2016, empat kudeta sebelumnya
berhasil mengambil kekuasaan pemerintahan yang sah. Yang lainnya digagalkan karena
pemerintah yang berkuasa tersebut cepat mengindikasikan gerakan sekelompok militer yang
berupaya merebut kekuasaan. Pada 2003 rencana kudeta bahkan dapat digagalkan dan
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016

More Related Content

What's hot

Uu 04 2004 Pjls
Uu 04 2004 PjlsUu 04 2004 Pjls
Uu 04 2004 Pjls
People Power
 
Salinan PP Nomor 105 Tahun 2021
Salinan PP Nomor 105 Tahun 2021Salinan PP Nomor 105 Tahun 2021
Salinan PP Nomor 105 Tahun 2021
CIkumparan
 
Optimalisasi peran penyidik tipikor dalam upaya pengembalian kerugian keuanga...
Optimalisasi peran penyidik tipikor dalam upaya pengembalian kerugian keuanga...Optimalisasi peran penyidik tipikor dalam upaya pengembalian kerugian keuanga...
Optimalisasi peran penyidik tipikor dalam upaya pengembalian kerugian keuanga...
Andy Susanto
 
Hukum Acara Perdata.pptx
Hukum Acara Perdata.pptxHukum Acara Perdata.pptx
Hukum Acara Perdata.pptx
Fenti Anita Sari
 
hukum acara perdata oleh sanyoto
hukum acara perdata oleh sanyotohukum acara perdata oleh sanyoto
hukum acara perdata oleh sanyoto
Dnr Creatives
 
Rangkuman hukum acara pidana & perdata
Rangkuman hukum acara pidana & perdataRangkuman hukum acara pidana & perdata
Rangkuman hukum acara pidana & perdata
MakmurZakaria
 
10 surat dakwaan
10 surat dakwaan10 surat dakwaan
10 surat dakwaan
GradeAlfonso
 
Indak pidana terhadap pertanahan
Indak pidana terhadap pertanahanIndak pidana terhadap pertanahan
Indak pidana terhadap pertanahan
Azan Asri
 
Microsoft powerpoint-hukum-acara-pidana
Microsoft powerpoint-hukum-acara-pidanaMicrosoft powerpoint-hukum-acara-pidana
Microsoft powerpoint-hukum-acara-pidana
Farah Ramafitri
 
RAKERNAS PA - MARI 2011- permasalahan
RAKERNAS PA - MARI 2011- permasalahanRAKERNAS PA - MARI 2011- permasalahan
RAKERNAS PA - MARI 2011- permasalahan
Beryl Syamwil
 
Hukum Acara Perdata
Hukum Acara PerdataHukum Acara Perdata
Hukum Acara Perdata
zahraayu24
 
6 ruang lingkup, sumber hukum dan penyidikan
6 ruang lingkup, sumber hukum dan penyidikan6 ruang lingkup, sumber hukum dan penyidikan
6 ruang lingkup, sumber hukum dan penyidikan
GradeAlfonso
 
Analisis Putusan praperadilan kasus budi gunawan oleh hakim sarpin rizaldi
Analisis Putusan praperadilan kasus budi gunawan oleh hakim sarpin rizaldi Analisis Putusan praperadilan kasus budi gunawan oleh hakim sarpin rizaldi
Analisis Putusan praperadilan kasus budi gunawan oleh hakim sarpin rizaldi
DELA ASFARINA
 
Hukum acara pidana
Hukum acara pidanaHukum acara pidana
Hukum acara pidana
yudikrismen1
 
Akta Pembagian Hak Bersama | Ricco S. Yubaidi, S.H., M.Kn.
Akta Pembagian Hak Bersama | Ricco S. Yubaidi, S.H., M.Kn.Akta Pembagian Hak Bersama | Ricco S. Yubaidi, S.H., M.Kn.
Akta Pembagian Hak Bersama | Ricco S. Yubaidi, S.H., M.Kn.
Ricco Survival Yubaidi
 
Dasar praperadilan 21 puu xii-2014
Dasar praperadilan 21 puu xii-2014 Dasar praperadilan 21 puu xii-2014
Dasar praperadilan 21 puu xii-2014
EK KN
 
Acaraperdata
AcaraperdataAcaraperdata
Acaraperdata
bigmanandysianipar
 
Bahan Kuliah - hukum-acara
Bahan Kuliah - hukum-acaraBahan Kuliah - hukum-acara
Bahan Kuliah - hukum-acara
Fakhrul Rozi
 

What's hot (20)

Uu 04 2004 Pjls
Uu 04 2004 PjlsUu 04 2004 Pjls
Uu 04 2004 Pjls
 
Salinan PP Nomor 105 Tahun 2021
Salinan PP Nomor 105 Tahun 2021Salinan PP Nomor 105 Tahun 2021
Salinan PP Nomor 105 Tahun 2021
 
Optimalisasi peran penyidik tipikor dalam upaya pengembalian kerugian keuanga...
Optimalisasi peran penyidik tipikor dalam upaya pengembalian kerugian keuanga...Optimalisasi peran penyidik tipikor dalam upaya pengembalian kerugian keuanga...
Optimalisasi peran penyidik tipikor dalam upaya pengembalian kerugian keuanga...
 
Hukum Acara Perdata.pptx
Hukum Acara Perdata.pptxHukum Acara Perdata.pptx
Hukum Acara Perdata.pptx
 
hukum acara perdata oleh sanyoto
hukum acara perdata oleh sanyotohukum acara perdata oleh sanyoto
hukum acara perdata oleh sanyoto
 
5 surat-dakwaan
5 surat-dakwaan5 surat-dakwaan
5 surat-dakwaan
 
Rangkuman hukum acara pidana & perdata
Rangkuman hukum acara pidana & perdataRangkuman hukum acara pidana & perdata
Rangkuman hukum acara pidana & perdata
 
10 surat dakwaan
10 surat dakwaan10 surat dakwaan
10 surat dakwaan
 
Indak pidana terhadap pertanahan
Indak pidana terhadap pertanahanIndak pidana terhadap pertanahan
Indak pidana terhadap pertanahan
 
Microsoft powerpoint-hukum-acara-pidana
Microsoft powerpoint-hukum-acara-pidanaMicrosoft powerpoint-hukum-acara-pidana
Microsoft powerpoint-hukum-acara-pidana
 
RAKERNAS PA - MARI 2011- permasalahan
RAKERNAS PA - MARI 2011- permasalahanRAKERNAS PA - MARI 2011- permasalahan
RAKERNAS PA - MARI 2011- permasalahan
 
Hukum Acara Perdata
Hukum Acara PerdataHukum Acara Perdata
Hukum Acara Perdata
 
6 ruang lingkup, sumber hukum dan penyidikan
6 ruang lingkup, sumber hukum dan penyidikan6 ruang lingkup, sumber hukum dan penyidikan
6 ruang lingkup, sumber hukum dan penyidikan
 
Analisis Putusan praperadilan kasus budi gunawan oleh hakim sarpin rizaldi
Analisis Putusan praperadilan kasus budi gunawan oleh hakim sarpin rizaldi Analisis Putusan praperadilan kasus budi gunawan oleh hakim sarpin rizaldi
Analisis Putusan praperadilan kasus budi gunawan oleh hakim sarpin rizaldi
 
Hukum acara pidana
Hukum acara pidanaHukum acara pidana
Hukum acara pidana
 
Akta Pembagian Hak Bersama | Ricco S. Yubaidi, S.H., M.Kn.
Akta Pembagian Hak Bersama | Ricco S. Yubaidi, S.H., M.Kn.Akta Pembagian Hak Bersama | Ricco S. Yubaidi, S.H., M.Kn.
Akta Pembagian Hak Bersama | Ricco S. Yubaidi, S.H., M.Kn.
 
Dasar praperadilan 21 puu xii-2014
Dasar praperadilan 21 puu xii-2014 Dasar praperadilan 21 puu xii-2014
Dasar praperadilan 21 puu xii-2014
 
A
AA
A
 
Acaraperdata
AcaraperdataAcaraperdata
Acaraperdata
 
Bahan Kuliah - hukum-acara
Bahan Kuliah - hukum-acaraBahan Kuliah - hukum-acara
Bahan Kuliah - hukum-acara
 

Viewers also liked

(Sindonews.com) Opini ekonomi 6 juni 2016-19 juli 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 6 juni 2016-19 juli 2016(Sindonews.com) Opini ekonomi 6 juni 2016-19 juli 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 6 juni 2016-19 juli 2016
ekho109
 
Happy @ work - Percept celebrates 30
Happy @ work - Percept celebrates 30 Happy @ work - Percept celebrates 30
Happy @ work - Percept celebrates 30
PerceptLtd
 
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
ekho109
 
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 12 juni 2016-16 juli 2016
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 12 juni 2016-16 juli 2016(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 12 juni 2016-16 juli 2016
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 12 juni 2016-16 juli 2016
ekho109
 
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 26 maret 2016-8 mei 2016
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 26 maret 2016-8 mei 2016(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 26 maret 2016-8 mei 2016
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 26 maret 2016-8 mei 2016
ekho109
 
Wykład jak rozmawiać z dzieckiem, kiedy rodzina przeżywa kryzys
Wykład jak rozmawiać z dzieckiem, kiedy rodzina przeżywa kryzysWykład jak rozmawiać z dzieckiem, kiedy rodzina przeżywa kryzys
Wykład jak rozmawiać z dzieckiem, kiedy rodzina przeżywa kryzysmilenam23
 
A Bibliography women and planning produced for the RTPI Equal Opps Panel
A Bibliography women and planning produced for the RTPI Equal Opps PanelA Bibliography women and planning produced for the RTPI Equal Opps Panel
A Bibliography women and planning produced for the RTPI Equal Opps Panel
Dory Reeves
 
(Sindonews.com) Opini ekonomi 20 juli 2016-31 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 20 juli 2016-31 agustus 2016(Sindonews.com) Opini ekonomi 20 juli 2016-31 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 20 juli 2016-31 agustus 2016
ekho109
 
Glorious moments of Percept Group - Commemorating 30 years of Excellence
Glorious moments of Percept Group - Commemorating 30 years of Excellence Glorious moments of Percept Group - Commemorating 30 years of Excellence
Glorious moments of Percept Group - Commemorating 30 years of Excellence
PerceptLtd
 
Rekaman Copa America Centenario 2016
Rekaman Copa America Centenario 2016Rekaman Copa America Centenario 2016
Rekaman Copa America Centenario 2016
ekho109
 
Holly.meredith power pointpresentation_unit 1
Holly.meredith power pointpresentation_unit 1Holly.meredith power pointpresentation_unit 1
Holly.meredith power pointpresentation_unit 1
HollyMeredtih
 
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 31 agustus 2016-8 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 31 agustus 2016-8 oktober 2016(Sindonews.com) Opini sosial budaya 31 agustus 2016-8 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 31 agustus 2016-8 oktober 2016
ekho109
 
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
ekho109
 
Honors awards & accolades of Percept Group - Celebrating 30 years
Honors awards & accolades of Percept Group - Celebrating 30 yearsHonors awards & accolades of Percept Group - Celebrating 30 years
Honors awards & accolades of Percept Group - Celebrating 30 years
PerceptLtd
 
Scada df
Scada dfScada df
Scada df
Deddy Firmanto
 
Uniwersytet dzieci jak zachęcić dziecko do nauki
Uniwersytet dzieci   jak zachęcić dziecko do naukiUniwersytet dzieci   jak zachęcić dziecko do nauki
Uniwersytet dzieci jak zachęcić dziecko do naukimilenam23
 

Viewers also liked (16)

(Sindonews.com) Opini ekonomi 6 juni 2016-19 juli 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 6 juni 2016-19 juli 2016(Sindonews.com) Opini ekonomi 6 juni 2016-19 juli 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 6 juni 2016-19 juli 2016
 
Happy @ work - Percept celebrates 30
Happy @ work - Percept celebrates 30 Happy @ work - Percept celebrates 30
Happy @ work - Percept celebrates 30
 
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
 
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 12 juni 2016-16 juli 2016
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 12 juni 2016-16 juli 2016(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 12 juni 2016-16 juli 2016
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 12 juni 2016-16 juli 2016
 
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 26 maret 2016-8 mei 2016
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 26 maret 2016-8 mei 2016(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 26 maret 2016-8 mei 2016
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 26 maret 2016-8 mei 2016
 
Wykład jak rozmawiać z dzieckiem, kiedy rodzina przeżywa kryzys
Wykład jak rozmawiać z dzieckiem, kiedy rodzina przeżywa kryzysWykład jak rozmawiać z dzieckiem, kiedy rodzina przeżywa kryzys
Wykład jak rozmawiać z dzieckiem, kiedy rodzina przeżywa kryzys
 
A Bibliography women and planning produced for the RTPI Equal Opps Panel
A Bibliography women and planning produced for the RTPI Equal Opps PanelA Bibliography women and planning produced for the RTPI Equal Opps Panel
A Bibliography women and planning produced for the RTPI Equal Opps Panel
 
(Sindonews.com) Opini ekonomi 20 juli 2016-31 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 20 juli 2016-31 agustus 2016(Sindonews.com) Opini ekonomi 20 juli 2016-31 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 20 juli 2016-31 agustus 2016
 
Glorious moments of Percept Group - Commemorating 30 years of Excellence
Glorious moments of Percept Group - Commemorating 30 years of Excellence Glorious moments of Percept Group - Commemorating 30 years of Excellence
Glorious moments of Percept Group - Commemorating 30 years of Excellence
 
Rekaman Copa America Centenario 2016
Rekaman Copa America Centenario 2016Rekaman Copa America Centenario 2016
Rekaman Copa America Centenario 2016
 
Holly.meredith power pointpresentation_unit 1
Holly.meredith power pointpresentation_unit 1Holly.meredith power pointpresentation_unit 1
Holly.meredith power pointpresentation_unit 1
 
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 31 agustus 2016-8 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 31 agustus 2016-8 oktober 2016(Sindonews.com) Opini sosial budaya 31 agustus 2016-8 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 31 agustus 2016-8 oktober 2016
 
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
 
Honors awards & accolades of Percept Group - Celebrating 30 years
Honors awards & accolades of Percept Group - Celebrating 30 yearsHonors awards & accolades of Percept Group - Celebrating 30 years
Honors awards & accolades of Percept Group - Celebrating 30 years
 
Scada df
Scada dfScada df
Scada df
 
Uniwersytet dzieci jak zachęcić dziecko do nauki
Uniwersytet dzieci   jak zachęcić dziecko do naukiUniwersytet dzieci   jak zachęcić dziecko do nauki
Uniwersytet dzieci jak zachęcić dziecko do nauki
 

Similar to (Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016

MATERI DIKLAT DATUN 2018 TERKAIT PERTIMBANGAN HUKUM (OLEH HERRY HERMANUS HORO...
MATERI DIKLAT DATUN 2018 TERKAIT PERTIMBANGAN HUKUM (OLEH HERRY HERMANUS HORO...MATERI DIKLAT DATUN 2018 TERKAIT PERTIMBANGAN HUKUM (OLEH HERRY HERMANUS HORO...
MATERI DIKLAT DATUN 2018 TERKAIT PERTIMBANGAN HUKUM (OLEH HERRY HERMANUS HORO...
ArsipDatunNTT
 
Tugas hukum pertanahan
Tugas hukum pertanahanTugas hukum pertanahan
Tugas hukum pertanahan
aisbrata1
 
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014Ahmad Solihin
 
Kumpulan Putusan Uji Materi UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Kumpulan Putusan Uji Materi UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas BumiKumpulan Putusan Uji Materi UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Kumpulan Putusan Uji Materi UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Publish What You Pay (PWYP) Indonesia
 
Penguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRD
Penguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRDPenguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRD
Penguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRD
Tri Widodo W. UTOMO
 
Praktek Hukum Perdata Pertemuan I Kelas A
Praktek Hukum Perdata Pertemuan I Kelas APraktek Hukum Perdata Pertemuan I Kelas A
Praktek Hukum Perdata Pertemuan I Kelas A
RianSugandi
 
FIDUSIA HUKUM & HAM.pptx
FIDUSIA HUKUM & HAM.pptxFIDUSIA HUKUM & HAM.pptx
FIDUSIA HUKUM & HAM.pptx
AhmadSNuzil
 
Jual beli tanah hak milik yang bertanda bukti petuk pajak bumi
Jual beli tanah hak milik yang bertanda bukti petuk pajak bumiJual beli tanah hak milik yang bertanda bukti petuk pajak bumi
Jual beli tanah hak milik yang bertanda bukti petuk pajak bumi
Sumardi Arahbani
 
Hukum Agraria Fenti Anita Sari
Hukum Agraria Fenti Anita SariHukum Agraria Fenti Anita Sari
Hukum Agraria Fenti Anita Sari
Fenti Anita Sari
 
Ali R-Sumber HTN indonesia
Ali R-Sumber HTN indonesiaAli R-Sumber HTN indonesia
Ali R-Sumber HTN indonesia
Universitas Trisakti
 
HAP PERT.2 DAN 3.pptx
HAP PERT.2 DAN 3.pptxHAP PERT.2 DAN 3.pptx
HAP PERT.2 DAN 3.pptx
DirgaGunk
 
Uu no 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU
Uu no 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPUUu no 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU
Uu no 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU
FERI S SAMAD
 
Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful Bahri)
Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful Bahri)Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful Bahri)
Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful Bahri)
Idik Saeful Bahri
 
Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidanaBab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidanaAndy Susanto
 
Perda Inisiatif dan Legal Drafting
Perda Inisiatif dan Legal DraftingPerda Inisiatif dan Legal Drafting
Perda Inisiatif dan Legal Drafting
Tri Widodo W. UTOMO
 
Perkara Peradilan Tata Usaha Negara di dalam Hukum Administrasi Negara
Perkara Peradilan Tata Usaha Negara di dalam Hukum Administrasi NegaraPerkara Peradilan Tata Usaha Negara di dalam Hukum Administrasi Negara
Perkara Peradilan Tata Usaha Negara di dalam Hukum Administrasi Negara
Della Mega Alfionita
 
DATUN (1).ppt
DATUN (1).pptDATUN (1).ppt
DATUN (1).ppt
Noth5
 
VI. Pembagian Hukum.pptx
VI. Pembagian Hukum.pptxVI. Pembagian Hukum.pptx
VI. Pembagian Hukum.pptx
donihasmanto
 

Similar to (Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016 (20)

MATERI DIKLAT DATUN 2018 TERKAIT PERTIMBANGAN HUKUM (OLEH HERRY HERMANUS HORO...
MATERI DIKLAT DATUN 2018 TERKAIT PERTIMBANGAN HUKUM (OLEH HERRY HERMANUS HORO...MATERI DIKLAT DATUN 2018 TERKAIT PERTIMBANGAN HUKUM (OLEH HERRY HERMANUS HORO...
MATERI DIKLAT DATUN 2018 TERKAIT PERTIMBANGAN HUKUM (OLEH HERRY HERMANUS HORO...
 
Tugas hukum pertanahan
Tugas hukum pertanahanTugas hukum pertanahan
Tugas hukum pertanahan
 
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014
Catatan pinggir perpu no 1 tahun 2014
 
Kumpulan Putusan Uji Materi UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Kumpulan Putusan Uji Materi UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas BumiKumpulan Putusan Uji Materi UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Kumpulan Putusan Uji Materi UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
 
Putusan002 puui2003
Putusan002 puui2003Putusan002 puui2003
Putusan002 puui2003
 
Penguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRD
Penguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRDPenguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRD
Penguatan Kapasitas Legislasi Anggota DPRD
 
Praktek Hukum Perdata Pertemuan I Kelas A
Praktek Hukum Perdata Pertemuan I Kelas APraktek Hukum Perdata Pertemuan I Kelas A
Praktek Hukum Perdata Pertemuan I Kelas A
 
FIDUSIA HUKUM & HAM.pptx
FIDUSIA HUKUM & HAM.pptxFIDUSIA HUKUM & HAM.pptx
FIDUSIA HUKUM & HAM.pptx
 
Jual beli tanah hak milik yang bertanda bukti petuk pajak bumi
Jual beli tanah hak milik yang bertanda bukti petuk pajak bumiJual beli tanah hak milik yang bertanda bukti petuk pajak bumi
Jual beli tanah hak milik yang bertanda bukti petuk pajak bumi
 
Hukum Agraria Fenti Anita Sari
Hukum Agraria Fenti Anita SariHukum Agraria Fenti Anita Sari
Hukum Agraria Fenti Anita Sari
 
Ali R-Sumber HTN indonesia
Ali R-Sumber HTN indonesiaAli R-Sumber HTN indonesia
Ali R-Sumber HTN indonesia
 
HAP PERT.2 DAN 3.pptx
HAP PERT.2 DAN 3.pptxHAP PERT.2 DAN 3.pptx
HAP PERT.2 DAN 3.pptx
 
Uu no 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU
Uu no 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPUUu no 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU
Uu no 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU
 
PIJB
PIJBPIJB
PIJB
 
Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful Bahri)
Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful Bahri)Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful Bahri)
Hukum pidana khusus - Hukum materiil tindak pidana korupsi (Idik Saeful Bahri)
 
Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidanaBab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
 
Perda Inisiatif dan Legal Drafting
Perda Inisiatif dan Legal DraftingPerda Inisiatif dan Legal Drafting
Perda Inisiatif dan Legal Drafting
 
Perkara Peradilan Tata Usaha Negara di dalam Hukum Administrasi Negara
Perkara Peradilan Tata Usaha Negara di dalam Hukum Administrasi NegaraPerkara Peradilan Tata Usaha Negara di dalam Hukum Administrasi Negara
Perkara Peradilan Tata Usaha Negara di dalam Hukum Administrasi Negara
 
DATUN (1).ppt
DATUN (1).pptDATUN (1).ppt
DATUN (1).ppt
 
VI. Pembagian Hukum.pptx
VI. Pembagian Hukum.pptxVI. Pembagian Hukum.pptx
VI. Pembagian Hukum.pptx
 

(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016

  • 1. 1 DAFTAR ISI KASUS HAK TANAH SUMBER WARAS Romli Atmasasmita 4 ARAH BARU HUBUNGAN INDONESIA-SINGAPURA Tantowi Yahya 7 PILIHAN PROGRESIF PRESIDEN JOKOWI Marwan Mas 11 LAGI, PENYANDERAAN DI FILIPINA Dinna Wisnu 14 TEMAN AHOK & ILUSI KEBANGKITAN MASYARAKAT SIPIL Hurriyah 18 GAGAL PAHAM PEMBATALAN PERDA Ahmad Yani 21 MENGHADAPI ANCAMAN SI TRIO Moh Mahfud MD 25 DERADIKALISASI VS BRUTALITAS PELAKU TEROR Bambang Soesatyo 28 MENANTI KAPOLRI Amzulian Rifai 31 GRATIFIKASI DAN SUAP Romli Atmasasmita 35 MENAGIH JANJI JENDERAL TITO M Nasir Djamil 38 TITO, POLRI, DAN PEMBERANTASAN KORUPSI Vishnu Juwono 41 BERAGAMA ADALAH BERNEGARA Moh Mahfud MD 44 KUDETA DAN PUBLIK Muradi 47 ANDAI RESHUFFLE, SEPAKBOLA M Alfan Alfian 50 TURKI PASKA-KUDETA
  • 2. 2 Dinna Wisnu 53 MENGEMBALIKAN POLRI KEPADA FITRAHNYA Tjatur Sapto Edy 57 TEWASNYA SANTOSO: AKHIR PERBURUAN TERORIS? Frega Wenas Inkiriwang 60 TEROR NICE DAN TEWASNYA SANTOSO Amidhan Shaberah 63 G30S PKI BUKAN PELANGGARAN HAM BERAT, TAPI MAKAR Romli Atmasasmita 66 JANGAN MATIKAN HUKUMAN MATI M Nasir Djamil 70 ASEAN DAN KONSENSUS Dinna Wisnu 73 MENCARI MENTERI BISA BEKERJA Benny Susetyo 76 RESHUFFLE JILID 2: UNJUK KEKUATAN JOKOWI? Hurriyah 79 KABINET KOMPROMI JOKOWI Gun Gun Heryanto 82 RESHUFFLE DALAM BAYANG-BAYANG OLIGARKI Firman Noor 85 AKANKAH JEPANG KEMBALI KE JALAN SAMURAI? Agus Trihartono 88 PPI MENYOAL KEDAULATAN Moh Mahfud MD 91 PROPORSIONAL DAFTAR TERTUTUP VS TERBUKA Janedjri M Gaffar 94 JANGAN PAKSA TNI TANGANI PIDANA TERORISME Bambang Soesatyo 97 POLEMIK MENUNDA EKSEKUSI MATI Marwan Mas 100 MORAL & POLITIK Dinna Wisnu 103
  • 3. 3 KEMANUSIAAN DI ATAS HUKUM Sudjito 106 POLRI, FREDDY, DAN HARIS Ahmad Riza Patria 109 PILKADA DAN PENCERDASAN PUBLIK Iding Rosyidin 113 HARUSKAH PARPOL DISUBSIDI NEGARA? Arya Fernandes 116 TENTANG KUDETA DI ZAMAN KITA M Alfan Alfian 119 HARIS AZHAR DAN DAVID GALE Moh Mahfud MD 122 HUBUNGAN SETNOV-JOKOWI YANG DIPAKSAKAN Tjipta Lesmana 124 SEPARUH JALAN PINDAD Susaningtyas Nefo Kertopati 128 NARKOBA DAN KORUPSI Dinna Wisnu 132 PEMBEBASAN WNI SANDERA ABU SAYYAF Bagong Suyanto 135 URGENSI PERDA STANDAR KOMPETENSI Dewi Aryani 138 CUTI PILKADA DAN HUKUMAN KORUPTOR Moh Mahfud MD 141 AHOK MENANTANG, PDIP MENAKAR Prijanto 144 PROKLAMASI DAN KONSTITUSI Sudjito 150 SPIRIT KEMERDEKAAN, PANCASILA, DAN UUD 1945 Hendardji Soepandji 153 PARADOKS HAK TERPIDANA MATI DAN KHUSUS Romli Atmasasmita 157 REMISI DAN ALASAN TAK MASUK AKAL Bambang Soesatyo 160
  • 4. 4 Kasus Hak Tanah Sumber Waras 23-06-2016 Proses pengadaan tanah oleh Pemda DKI melalui transaksi pelepasan hak atas tanah Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) kepada Pemda DKI dengan pemberian ganti kerugian sebesar Rp755.689.550.000,00. Penggantian itu berdasarkan perhitungan nilai jual objek pajak (NJOP) di lokasi alamat Kyai Tapa sebesar Rp20.755.000,00/m2 dengan luas tanah 36.410 m2. Transaksi terjadi di hadapan notaris Tri Firdaus Akbarsyah SH (Akta Notaris Nomor 37 tanggal 17 Desember 2014). Akta notaris tersebut ditandatangani oleh pihak Pemda DKI diwakili Kepada Dinas Kesehatan Pemda DKI, dan pihak YKSW diwakili oleh pengurusnya. Di dalam akta notaris tersebut disetujui klausul-klausul antara lain semua gugatan perdata atau tuntutan pidana merupakan tanggung jawab pihak Pemda DKI. Di dalam proses transaksi pelepasan hak atas tanah YKSW ketika itu (2014), terdapat fakta bahwa status tanah tersebut ketika terjadi transaksi pelepasan hak, tidak dalam keadaan ”clean and clear”. Yaitu, pertama, status tanah RS Sumber Waras belum jelas hak kepemilikannya. Selain itu, tanah juga sedang dalam proses gugatan perdata antara pengurus YKSW, Kartini Mulyadi dkk., dan anggota pengurus lain I Wayan Suparmin (IWS). Kedua, YKSW masih menunggak pajak bumi dan bangunan (PBB) selama kurang-lebih delapan tahun senilai Rp10.603.718.309,00 (sepuluh miliar enam ratus tiga juta tujuh ratus delapan belas ribu tiga ratus sembilan rupiah). Total tunggakan terdiri atas PBB terutang dan denda administrasi sesuai basis data SIM PBB-P2 Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta sehingga pihak YKSW termasuk wajib pajak (WP) yang tidak patuh. Penetapan nilai tanah hak guna bangunan (HGB) YKSW ditetapkan berdasarkan NJOP. Sedangkan baik Undang-Undang (UU) Nomor 2/2012 dan perpres pelaksanaannya hanya dapat dilakukan oleh tim penilai (appraisal). Adapun peraturan menteri keuangan terkait pengadaan tanah hanya mengatur tentang dana operasional dan pendukung. Dispute mengenai letak tanah seharusnya tidak hanya membaca sertifikat Badan Pertanahan Nasional (BPN), melainkan juga perlu dilihat lokasinya secara riil untuk mengetahui kondisi nyata. Aspek hukum pidana tidak hanya menemukan kebenaran formal berdasarkan dokumen/surat, melainkan juga kebenaran materiil dari suatu peristiwa dengan mengetahui secara faktual dan motivasi dari suatu perbuatan terkait kasus ini adalah kebijakan Pemda DKI.
  • 5. 5 *** Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga independen dan bagian dari sistem peradilan pidana sesuai dengan UU Badan Pemeriksa Keuangan dan UU KPK seharusnya tetap berpegang pada hasil audit BPK, sekalipun ada perbedaan penilaian mengenai kerugian negara. KPK harus menghormati antarsesama lembaga, apalagi hasil audit investigasi BPK adalah atas permintaan BPK. Dan, BPK berdasarkan UUD dan UU BPK merupakan lembaga auditor negara yang diakui, serta pelanggaran atas rekomendasi BPK RI merupakan tindak pidana dan dapat diancam pidana. BPK RI telah menyerahkan hasil audit investigasi pada 7 Desember 2015 dengan kesimpulan telah terjadi kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya sebesar Rp173.129.550.000,00 (seratus tujuh puluh tiga miliar seratus dua puluh sembilan juta lima ratus lima puluh ribu rupiah). Persoalan kekeliruan hasil penghitungan bukanlah kewenangan pihak siapa pun, termasuk KPK, untuk memberikan penilaian. Masing-masing lembaga telah diatur kewenangannya dalam undang-undang sendiri, serta tugas dan wewenang KPK berdasarkan UU KPK Nomor 30/2002 tidak termasuk memberikan penilaian ada-tidak ada kerugian negara. Pernyataan KPK yang menyatakan secara terbuka di dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI bahwa dalam kasus YKSW tidak terdapat unsur perbuatan melawan hukum terlalu dini dan terdapat kekeliruan tafsir mengenai ketentuan Pasal 121 di dalam perubahan Perpres 40/2014. Yang pada intinya, pertama, perubahan luas lahan dan terkait hubungan transaksional langsung dengan pemegang hak atas tanah, diperkuat oleh Pasal 53 PerKa BPN Nomor 5/2012 yang telah diubah dengan PerKa BPN Nomor 6/2015 tentang petunjuk teknis pelaksanaan pengadaan tanah. Peraturan Kepala (PerKa) BPN yang sesungguhnya merupakan salah satu saja dari seluruh tahapan penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, di samping tahap perencanaan, tahap persiapan, dan tahap penyerahan hasil (Pasal 13 UU Nomor 2/2012). *** Kekeliruan tafsir hukum dan ketidaktelitian Pemda DKI atas ketentuan pasal tersebut yang mengakibatkan seluruh prosedur tahapan dalam UU a quo dianggap tidak perlu diikuti sepenuhnya. Pertanyaannya, jika demikian tafsir hukum tersebut, bagaimana suatu Perpres dan PerKa BPN dapat menegasikan seluruh ketentuan UU dengan dalih apa pun? Bahkan, jika benar demikian, Perpres dan PerKa BPN batal demi hukum (van rechtnieteg). Bukti-bukti temuan BPK RI menunjukkan bahwa seluruh tahapan pengadaan tanah terkait transaksi pelepasan hak atas tanah HBG YKSW tertanggal 17 Desember 2014 tidak didahului
  • 6. 6 dengan dokumen pendukung dan pembentukan satuan kerja. Namun, kemudian seluruh dokumen terkait telah dilengkapi Pemda DKI dengan pembubuhan tanggal mundur (back- date) hasil audit investigasi BPK RI terdapat tujuh penyimpangan. Pola pembubuhan tanggal mundur pada dokumen pendukung juga di dalam Peraturan Gubernur DKI mengenai penetapan NJOP tertanggal 27 Desember 2013. Tetapi, pembubuhan paraf pada peraturan gubernur DKI tersebut terjadi pada 21 Januari 2014 merupakan perbuatan melawan hukum, bahkan merupakan perbuatan dengan sengaja (dolus) bukan semata-mata kekeliruan atau kelalaian (culpa). Terkait kasus pelepasan hak atas tanah atas nama pengurus YKSW, tidaklah relevan menghubungkannya dengan pengertian lex posteriori derogat lege priori, lex specialis derogat lege generali, atau pun perihal ”in dubio pro reo”. Pengertian hukum yang pertama suatu kemustahilan bahwa Perpres Nomor 40/2014 merupakan lex specialis terhadap ketentuan yang sama (Pasal 121) di dalam Perpres Nomor 71/2012 karena sifatnya hanya perubahan demi kepastian hukum yang telah disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan pengadaan tanah di bawah 5 ha. Pengertian kedua adalah mustahil jika peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang dapat menegasikan berlakunya suatu undang-undang. Dan, pengertian hukum ketiga terkait kasus YKSW, tidak ada keragu-raguan mengenai tafsir hukum atas perpres perubahan dimaksud (2014) dan PerKa BPN (2015). Secara hierarkis dan rumusan ketentuan tersebut telah memenuhi asas lex certa. Yang tidak kalah pentingnya dari kasus transaksi pelepasan hak atas tanah YKSW dan Pemda DKI adalah, jika temuan dan rekomendasi BPK RI tidak ditindaklanjuti oleh Pemda DKI dan KPK, tetap bersikukuh pada pendirian bahwa tidak ada unsur melawan hukum dalam kebijakan Pemda DKI, maka, terhentinya kasus ini pada tahap penyelidikan merupakan preseden buruk dalam tata kelola negara berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan dibenarkan. Selain itu, diikuti oleh pejabat daerah provinsi, kotamadya, dan kabupaten di seluruh Indonesia dalam transaksi pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Quo vadis KPK? ROMLI ATMASASMITA Guru Besar Emeritus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
  • 7. 7 Arah Baru Hubungan Indonesia-Singapura 23-06-2016 Benci, tapi rindu. Mungkin terma tersebut bisa menggambarkan dinamika hubungan Indonesia dengan salah satu negara tetangga terdekat, Singapura. Paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir muncul sejumlah riak (dinamika) diplomasi yang mewarnai hubungan dua negara. Di antaranya ”serangan” asap akibat kebakaran hutan di Indonesia yang kerap berulang dan melumpuhkan perekonomian Singapura. Lalu, penolakan proposal Kesepakatan Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement) atau yang biasa disebut DCA oleh Indonesia yang dianggap kurang memberikan manfaat yang setara. Isu lain tentang stereotip Singapura di kalangan masyarakat Indonesia, di mana Negeri Singa tersebut kerap dianggap sebagai bungker koruptor Indonesia. Belum lagi isu reklamasi pantai Singapura yang dianggap merusak keseimbangan ekosistem di Kepulauan Natuna dan sekitarnya. Dan, yang terakhir dan selalu menjadi ganjalan tentang sejarah Usman-Harun yang dilihat berbeda oleh rakyat di dua negara. Semua isu di atas selalu muncul dan menjadi topik hangat dalam tiap diskusi tentang Indonesia-Singapura. Seperti yang penulis alami bulan lalu saat memberikan insight mengenai hubungan Indonesia-Singapura kepada civil servant Singapura di Kedutaan Singapura di Jakarta. Dalam kesempatan tersebut, peserta juga menyinggung tentang DCA dan Usman-Harun. Itu artinya bahwa perlu ada upaya yang serius dari pemimpin dua negara untuk lebih meningkatkan lagi dialog dan kerja sama sehingga peluang kesalahpahaman di masa depan bisa diminimalisasi. Menariknya, di luar jalur diplomasi formal, bagi rakyat Singapura dan Indonesia, hubungan baik dua jiran sangatlah penting, seiring ada fakta bahwa ketergantungan masyarakat di dua negara, khususnya kelas menengahnya. Kota Singapura bagi kelas menengah Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia ibarat destinasi rutin yang entah kenapa sulit tergantikan— misalnya dengan Kuala Lumpur atau Bangkok. Meskipun predikat sebagai surga belanja kini tak lagi melekat bagi Singapura—dan maraknya mal-mal di Jakarta yang melebihi Singapura, tetap saja minat warga Indonesia untuk melancong ke Negeri Singa tersebut tetap tinggi. Tercatat selama 2015 tak kurang dari 2,7 juta kelas menengah Indonesia menghabiskan akhir pekannya di Singapura. Menutup Luka Lama
  • 8. 8 Sebaliknya bagi warga Singapura, Indonesia merupakan destinasi terdekat yang atraktif dan menawarkan sesuatu yang berbeda dengan Kota Singapura yang sempit. Keindahan Bali yang sudah mendunia tetap menjadi tujuan utama pelancong Singapura, selain Batam, Jakarta, dan kota lain. Pada 2015 BKPM mencatat Singapura sebagai investor terbesar Indonesia dengan nilai investasi sebesar USD5,9 miliar, melewati Malaysia (USD3,1 miliar), Jepang (USD2,9 miliar), Belanda (USD1,3 miliar), dan Korea Selatan (USD1,2 miliar). Untuk meningkatkan kerja sama dan menjaga stabilitas di masa depan, dua negara harus melakukan transformasi khususnya dalam pemaknaan sejarah. Terutama pada isu Usman- Harun yang sensitif di telinga warga Singapura maupun Indonesia. Tak jarang setiap ketegangan hubungan dua negara, isu Usman-Harun kerap diungkit kembali. Usman dan Harun merupakan prajurit TNI AL Indonesia yang dituduh melakukan pengeboman di Orchard Road, 1965, bertepatan politik konfrontasi Indonesia- Malaysia. Setelah insiden tersebut, di masa-masa awal pemerintahannya, Presiden Soeharto secara terbuka meminta kepada PM Lee Kuan Yew untuk memberikan keringanan hukuman kepada dua prajurit tersebut. Namun, ternyata permintaan Indonesia ditolak dan Usman- Harun dieksekusi pada 17 Oktober 1968. Merespons langkah Singapura yang dianggap berlebihan kala itu, Jakarta ”membekukan” hubungan dengan Singapura. Secara simbolik kedatangan jenazah Usman dan Harun ke Tanah Air disambut besar-besaran. Beberapa tahun setelah momen tersebut, Lee merasa harus memperbaiki hubungan dengan Jakarta. Ia mengambil langkah yang cukup kontroversial guna meredakan hubungan Singapura-Indonesia. Pada 1973 PM Lee melakukan kunjungan kenegaraan. Mendengar keinginan Lee, Presiden Soeharto mengajukan syarat agar pemimpin Singapura itu melakukan tabur bunga di makam Usman-Harun sebagai bentuk simpati. Secara mengejutkan, Lee menyetujui syarat tersebut. Apa yang dicontohkan Lee dan Soeharto merupakan simbol bagaimana dua negara— meskipun mempunyai ganjalan sejarah—mampu mendahulukan kepentingan nasional masing-masing dalam mengatasi tantangan yang makin kompleks. Setiap momen dalam sejarah hendaknya menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya untuk mengambil manfaat dan membumikan nilai-nilai kebangsaan di tengah perubahan zaman yang terus berjalan. Kini Indonesia-Singapura memiliki tantangan untuk meningkatkan hubungan bagi kepentingan dua bangsa. Salah satu tantangan yang masih mengganjal—sebagaimana penulis singgung di atas—tak lain mengenai DCA dan perjanjian ekstradisi. Bagi Indonesia, ekstradisi sangat mendesak karena kita membutuhkan banyak dana yang parkir di luar negeri (termasuk Singapura) untuk membiayai pembangunan di banyak daerah, khususnya infrastruktur. Namun, Singapura mengindikasikan akan menyetujui perjanjian
  • 9. 9 ekstradisi bila Indonesia juga meloloskan DCA. Ini tentu bukan langkah yang bijak karena menyatukan dua perjanjian yang berbeda rezim sangat sulit untuk dicapai kesepakatan. Berpikir Out of The Box Perjanjian Kerja Sama Pertahanan Indonesia dan Singapura yang ditandatangani pada 6 Mei 2007 di Bali memuat banyak pasal yang di samping mengganggu kedaulatan kita di darat, laut, dan udara juga dapat merusak lingkungan, ekosistem di laut, serta mengancam keamanan para nelayan kita. Beberapa poin krusial dari perjanjian tersebut yang tidak mungkin untuk diratifikasi DPR RI antara lain pasal di mana Angkatan Udara Singapura diizinkan untuk melakukan test flight di area Alpha-1 dan latihan militer di Alpha-2 yakni di perairan sekitar Selat Malaka. Lalu, ada lagi pasal yang menyatakan Angkatan Laut Singapura dengan dukungan AU bisa melakukan latihan menembak peluru kendali sampai empat kali dalam setahun di area Bravo. Bagi Indonesia, secara geopolitik area Alpha 1, Alpha 2, dan Bravo merupakan checkpoint zone di wilayah Barat NKRI. Ini zona strategis yang tidak mungkin ada pembagian kontrol dengan negara lain karena menyalahi prinsip kedaulatan negara. Kedua, ada klausul latihan mandiri bagi militer Singapura dan pelibatan negara ketiga yang ditentukan Singapura juga tidak mungkin disetujui oleh Indonesia karena secara psikologi politik tidak tepat dan sulit diterima. Apalagi bila negara ketiga ikut serta dalam latihan di darat. Sebagai negara yang meraih kemerdekaannya melalui revolusi fisik, memori kolektif masyarakat Indonesia cenderung menolak kehadiran tentara asing dalam jumlah besar di wilayah daratnya. Ketiga, dalam dokumentasi rapat Komisi I DPR mulai 2006 hingga 2015 dengan mitra kerjanya seperti menteri pertahanan, panglima TNI, dan menteri luar negeri, tidak ada perubahan sikap dari parlemen terhadap DCA. Walaupun dibahas di tiga periode parlemen (2004-2009, 2009-2014, dan 2014-sekarang), sikap DPR tetap sama, menolak substansi DCA yang dianggap tidak menguntungkan Indonesia. Dengan kata lain, ke depan sulit untuk menggambarkan DCA akan disetujui dengan konsep seperti yang ada hari ini. Untuk keluar dari lingkaran yang tidak berujung ini, penulis menyarankan agar pemimpin di dua negara berpikir melampaui ihwal teknis dan pragmatis semata. Apa yang dicontohkan PM Lee Kuan Yew dan Presiden Soeharto di masa lalu bisa menjadi best practices bagi pemimpin saat ini untuk berpikir out of the box. Indonesia dan Singapura adalah dua negara bertetangga yang memiliki saling ketergantungan dalam banyak bidang. Tidaklah nyaman apabila kedekatan ini terganggu oleh beberapa pending matters yang sesungguhnya bisa dicarikan solusi dengan pemikiran out of the box. Perihal kerja sama militer, harus diakui bahwa tanpa DCA pun militer Singapura kerap
  • 10. 10 berlatih dengan TNI di wilayah Indonesia. Karena sebenarnya Perjanjian Kerja Sama Pertahanan antara dua negara sudah lama terjalin, meliputi kegiatan latihan bersama, pendidikan, pertukaran perwira, serta visit program. Kerja sama tersebut diselenggarakan di bawah organisasi Annual Meeting antara panglima angkatan bersenjata dua negara. Pola semacam ini bisa dilanjutkan di masa depan. Lalu, mengenai ekstradisi, Singapura harus melihat hal ini secara utuh dan tidak menggabungkannya dalam satu paket dengan DCA karena jelas keduanya tidak berada pada rezim yang sama. Dengan membahasnya secara mandiri, itu bisa diartikan bahwa Singapura juga melihat gerakan antikorupsi global sebagai sesuatu yang penting. TANTOWI YAHYA Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKASP) dan Anggota Komisi 1 DPR RI
  • 11. 11 Pilihan Progresif Presiden Jokowi 24-06-2016 Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Tito Karnavian dengan mulus dapat melewati uji kepatutan dan kelayakan oleh Komisi III DPR RI. Tito yang saat ini menjabat kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) akan dilantik menjadi kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), menggantikan Jenderal Polisi Badrodin Haiti yang akan memasuki masa pensiun. Pilihan Presiden merupakan pilihan progresif, yang saya kira sangat terkait pada dua aspek yang menyertainya. Pertama, Tito adalah perwira tinggi termuda berpangkat komjen polisi yang diyakini Presiden akan mampu merangkul perwira tinggi senior untuk melaksanakan amanah rakyat Indonesia. Tito punya prestasi yang membanggakan di kepolisian sehingga akan diterima dengan baik oleh perwira tinggi senior lainnya. Kedua, dalam tubuh Polri setelah melampaui tahap kedua reformasi sampai tahun 2014 dengan sasaran ”membangun kerja sama yang erat (partnership building) dengan berbagai komponen masyarakat”, selalu mengedepankan kualitas profesionalisme sekaligus kompetensi dalam menduduki jabatan. Apalagi, Presiden Jokowi meminta agar Tito melakukan reformasi Polri secara komprehensif dan meningkatkan kualitas pemberantasan narkotika, terorisme, dan korupsi. Dua fokus yang diamanatkan itu tentu sudah dipikirkan matang oleh presiden. Tito adalah jenderal polisi yang ”intelektual”, sekaligus perwira tinggi yang sudah matang dalam tugas-tugas di lapangan. Perpaduan intelektual dan kemampuan menguasai tugas Polri saat berhadapan dengan masyarakat, setidaknya akan mengantarkan reformasi Polri kepada sasarannya. Tentu saja dengan melanjutkan reformasi yang dilakukan kapolri sebelumnya. Pemberantasan terhadap tiga kejahatan luar biasa itu, bukan barang baru bagi Tito. Reformasi Total Perpaduan yang nyaris lengkap itu, tentu harus tetap diawasi. Sebab tidak ada manusia yang tidak punya kelemahan dan kesalahan. Maka itu, mereformasi Polri secara total harus dimulai dari internal barulah melangkah ke luar. Memperbaiki institusi penegak hukum berbaju cokelat itu bukan persoalan gampang di tengah tuntutan besar masyarakat, sebab kepentingan untuk menciptakan rasa aman bagi masyarakat dan penegakan hukum yang profesional tidak semudah membalikkan telapak tangan.
  • 12. 12 Reformasi Polri tahap kedua harus menjadi acuan untuk melangkah ke arah pelaksanaan tugas yang penuh dengan tantangan baru. Saat reformasi tahap pertama 2005-2010, Polri telah membangun trust building, yaitu membangun kepercayaan publik terhadap Polri dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan fungsinya sebagai aparat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Saat ini Polri melangkah pada reformasi tahap ketiga 2016-2025, yaitu sebagai strive for exellence. Di sini polisi akan berupaya atau setidaknya membangun ”pelayanan publik yang unggul dan terbaik” sekaligus dipercaya publik. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi Kapolri baru tentang bagaimana membangun pelayanan terbaik bagi masyarakat. Layak diakui, hasil reformasi tahap kedua belum sepenuhnya dirasakan masyarakat. Salah satu penyebabnya karena personel Polri kurang mampu menggalang keterlibatan luas stakeholder masyarakat. Sebetulnya amat sederhana harapan masyarakat terhadap polisi. Mereka berharap agar polisi menjadi sosok yang merakyat dan dapat dipercaya dalam mengemban tugas dan kewenangannya. Kehadirannya tidak menimbulkan kegelisahan lantaran mampu memberikan pelayanan terbaik. Tidak ada tindakan yang menonjolkan kekerasan tanpa dilandasi hukum, penegakan hukum selalu terukur, dan tidak menyakiti hati rakyat. Kapolri baru juga harus memperbaiki citra Polri dari tudingan ”setoran terhadap atasan” berkaitan dengan penempatan personil Polri pada jabatan tertentu. Peran penting bagi kapolri baru adalah mendesain ”polisi sipil” yang merakyat dengan mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan golongan, apalagi kepentingan kekuasaan. Polisi sipil modern harus dekat dengan rakyat sebagai bagian dari upaya memotivasi mereka membantu tugas-tugas Polri. Caranya, memberikan ruang, kesempatan, dan tantangan untuk mewujudkan rasa aman sebagai bagian dari membangun civil society. Kekuasaan Menegakkan Hukum Sinergi Polri dan masyarakat yang sampai kini masih dipandang berada di atas awang-awang, bukan tidak mungkin reformasi Polri berjalan tertatih-tatih. Betapa tidak, keterlibatan aktif anggota Polri saat penggusuran warga miskin di Jakarta yang dilakukan pemerintah daerah dan saat itu Komjen Tito sebagai kapolda DKI Jakarta, membuat mereka yang tergusur dari tempat tinggalnya merasa dizalimi. Jikapun polisi hadir mengamankan kebijakan pemerintah daerah sebagai bagian dari penegakan hukum, tidak berarti mengabaikan hak-hak rakyat untuk hidup sejahtera dan bertempat tinggal di bumi Indonesia, yang dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Membangun hubungan yang baik antara masyarakat dengan Polri, tidak bisa hanya berdasar pada tataran normatif. Apalagi masyarakat begitu merindukan sosok polisi yang bisa dibanggakan karena jujur, bersih, profesional, dan berwibawa. Apabila ada kasus yang
  • 13. 13 meresahkan masyarakat berhasil dibongkar polisi, dipastikan akan mendapat sambutan dan respek luar biasa. Kita tidak ingin pelaksanaan kekuasaan besar yang dipunyai Polri membuat hubungannya dengan masyarakat menjadi renggang. Harus selalu diyakini, bahwa Polri dan masyarakat adalah dua entitas yang tidak mungkin dipisahkan. Keduanya saling membutuhkan, polisi hadir karena dibutuhkan oleh masyarakat. Sebaliknya, tugas-tugas polisi tidak akan mungkin berhasil dengan baik tanpa partisipasi masyarakat. Maka itu, warga masyarakat selalu berharap agar kekuasaan besar polisi dalam menegakkan hukum senantiasa didasarkan pada aturan hukum yang menyertainya. Kekuasaan yang besar sangat berpotensi diselewengkan dalam melakukan penegakan hukum. Ini salah satu aspek yang perlu menjadi perhatian serius kapolri baru ke depan. Apalagi kalau tindakan itu semata-mata dibalut dengan kepentingan penertiban dan penegakan hukum, tetapi ujung-ujungnya membuat masyarakat gerah lantaran tidak proporsional. Untuk lebih mendekatkan polisi dengan masyarakat, kiranya reformasi Polri tidak boleh mengabaikan kebutuhan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan. Persoalan itu selalu menjadi jualan setiap pergantian Kapolri, tetapi realitasnya belum berjalan maksimal karena warga masyarakat masih sering melihat anggota Polri sebagai sosok yang menyusahkan. Antara lain, warga masyarakat selalu merasa dicari-cari kesalahannya dengan mengabaikan pendekatan persuasif. Saatnya menggelorakan bahwa Polri adalah sahabat dan mitra bagi masyarakat. Bukan sosok yang selalu dihindari dan dicurigai, sehingga menjadi saksi pun dalam suatu kasus hukum dihindari. Jika ini mampu diemban Tito, saya yakin sosok anggota Polri ke depan akan memiliki tampilan baru yang lebih progresif. Polri yang profesional, berintegritas, tegas, dan bersahabat dengan rakyat. MARWAN MAS Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar
  • 14. 14 Lagi, Penyanderaan di Filipina 29-06-2016 Sebulan berlalu sejak 10 awak kapal Indonesia yang disandera di perairan Filipina Selatan dilepaskan, kemudian 4 orang lagi yang akhirnya dibebaskan dan kali ini ada 7 orang lagi disandera di wilayah itu. Semua kapal-kapal itu dalam tugas berlayar mengantar batu bara dari Kalimantan ke Filipina. Dalam semua kejadian disinyalir keterlibatan grup Abu Sayyaf, di mana mereka meminta uang tebusan dalam jumlah yang signifikan dan selalu mengancam untuk membunuh tawanan dengan keji. Kejadian-kejadian penyanderaan ini lumayan membuat geram Pemerintah Indonesia. Beragam upaya sudah dilakukan, baik yang bisa diungkap ke publik maupun yang tidak. Tetapi intinya Indonesia juga memilih menuntut haknya untuk mendapatkan jaminan keamanan atas warga negaranya yang masuk ke wilayah otoritas Filipina. Menyusul penyanderaan 14 orang pertama, pimpinan militer, intelijen, dan sipil Indonesia berjumpa dengan otoritas Filipina. Di situ dieksplorasi opsi-opsi penanganannya. Terkait keamanan jalur laut, Indonesia sepakat untuk bersama-sama Malaysia dan Filipina melakukan patroli bersama di jalur yang biasa dilalui kapal-kapal Indonesia dan Malaysia. Level menteri pertahanan sudah berupaya membuka dan mengikat kerja sama di situ, tetapi karena terjadi perubahan kepemimpinan dan konstelasi politik di Filipina, sejumlah hal terhenti. Walhasil, upaya pemerintah Indonesia perlu kita cermati dalam konteks situasi lokal di Filipina. Besok, 30 Juni 2016 pukul 12.00 waktu setempat, presiden terpilih Rodrigo Duterte akan dilantik di Istana Malacanang Filipina. Beliau sudah berpesan agar pelantikannya sederhana karena demikianlah yang diharapkannya diingat warga negara Filipina. Sebagai individu, gaya kepemimpinan Duterte memang lain dari biasanya di Filipina. Dia tidak datang dari wilayah utara Filipina, tetapi dari wilayah selatan, dari kawasan Mindanao. Duterte adalah mantan wali kota Davao, kota di Filipina Selatan yang terkenal sebagai pusat perdagangan dan penghubung ke pulau-pulau lain di kawasan itu, termasuk ke bagian tengah dan timur Indonesia. Meskipun wewenang Duterte lebih di perkotaan, daerah kekuasaannya masuk dalam Provinsi Davao. Davao termasuk bagian dari kawasan selatan Mindanao dan sejak 2001 kawasan Mindanao Selatan ini disebut Davao Region. Davao adalah kota terbesar nomor 3 di Filipina setelah Cebu dan Manila dengan penduduk sekitar 1,6 juta jiwa. Davao dikenal sebagai pusat durian di Filipina. Sebagai provinsi, Davao
  • 15. 15 dikenal relatif aman, kecuali jika pergi sekitar 700 km ke arah pulau-pulau yang mendekati Kalimantan dan Malaysia. Karena di kawasan itu dikenal ada jaringan kelompok bersenjata yang tidak segan merompak dan membunuh. Masalah perompakan ini menjadi tantangan bagi Presiden Duterte. Selain karena ia berasal dari kawasan itu, dan sudah rahasia umum bahwa ia juga mengenal para pelaku politik dari kawasan Mindanao, dampak dari masalah ini tidak lagi sebatas problem Davao atau Filipina Selatan, tetapi juga kepada Filipina secara keseluruhan dan negara-negara tetangga khususnya ASEAN. Yang paling meresahkan adalah karena kegiatan penyanderaan seperti kejadian rutin, yang kabarnya meningkat saat Ramadan. Dan hampir dipastikan para penculik meminta tebusan uang dan permintaan jumlah tebusannya makin hari semakin besar. *** Dalam beberapa kasus penculikan yang lalu, khususnya terhadap warga negara Indonesia dalam satu tahun terakhir ini, sudah ada pembicaraan antarpihak berwenang di Indonesia dan Filipina baik yang terbuka untuk umum maupun yang sifatnya rahasia. Bagaimana pun bentuknya, dari tiga negara yang wilayahnya berdampingan dengan lokasi penculikan, Malaysia, Indonesia, dan Filipina, sudah memiliki kesepakatan. Mereka sepakat menjaga agar laut yang menjadi jalur transportasi batu bara dan pencarian ikan dari Indonesia dan Malaysia ke Filipina bisa senantiasa dijaga dan dijamin keselamatannya. Per 20 Juni 2016 sudah ada kesepakatan di tingkat menteri pertahanan ketiga negara untuk mencari jalur aman, termasuk antara lain menjaga koridor transit di wilayah yang rawan. Tetapi implementasinya terbukti tidak sederhana. Di sisi Filipina, para pelaku penculikan memiliki keterkaitan dengan problem sosial di dalam negeri, khususnya dengan kelompok militan Abu Sayyaf. Kelompok Abu Sayyaf ini punya sejarah panjang dengan gerakan yang menginginkan kemerdekaan di Filipina Selatan, tetapi kemudian terpecah-pecah dan berkembang makin radikal. Radikalisasi ini subur karena bebasnya peredaran senjata di kawasan itu. Juga karena dari tahun ke tahun daerah tempat orang-orang ini tinggal memang sangat terisolasi dari pembangunan. Secara sosial, kelompok militan ini tidaklah satu kelompok. Mereka terpecah-pecah menjadi faksi-faksi kecil yang saling berkompetisi dan mencari penghidupan dengan cara apa pun, termasuk dengan cara merompak dan membunuh. Artinya tidak semua faksi mengandalkan keinginan untuk membentuk negara Islam merdeka lagi seperti dulu ketika pecah dari kelompok revolusioner Moro. Melihat pola tersebut, Indonesia memang perlu lebih cerdik mengatasi masalah keamanan wilayah. Pertama, kelompok bisnis Indonesia yang biasa mengantar barang dari Indonesia ke Filipina perlu memahami juga batasan dan keterbatasan hal yang bisa dinegosiasikan dengan otoritas Filipina.
  • 16. 16 Menengok tingkat kemiskinan dan kompleksitas penanganan kekerasan dari grup-grup radikal yang saling berkompetisi tentu tidak mudah. Artinya perlu ada alternatif solusi juga jika di tataran politik ada yang terhenti atau tidak berjalan secepat yang diharapkan oleh para pengusaha. Kedua, masalah ini perlu diangkat juga ke level kerja sama ASEAN khususnya di bagian penanganan kejahatan transnasional dan kontraterorisme. Di ASEAN sudah ada mekanisme pertemuan tingkat tinggi untuk masalah-masalah kejahatan transnasional (disebut sebagai SOMTC) dan juga Kerja Sama Kontraterorisme (melalui ACCT). SOMTC di Indonesia dikoordinasi oleh Polri dan ACCT dikoordinasi oleh Kementerian Luar Negeri. Dalam tataran praktis, kedua model kerja sama ini membutuhkan dukungan dari kelembagaan yang teknis dan juga kalangan bisnis serta masyarakat sipil. Sayangnya, mekanisme melalui ASEAN hampir bisa dipastikan berjalan perlahan karena negara yang dilibatkan ada 10 dan dibutuhkan konsensus. Namun mengingat bahwa kerja sama trilateral Indonesia-Malaysia-Filipina pun berjalan lambat, maka artinya memang dibutuhkan ”pendorong” ekstra untuk menciptakan solusi permanen. Permintaan moratorium pengiriman batu bara dari Indonesia ke Filipina seperti disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi adalah contoh bahwa opsi solusi tidaklah semudah membalikkan tangan. Filipina bahkan belum menjawab permintaan Indonesia tersebut karena ada pergantian presiden. Solusi sosial juga dibutuhkan, mengingat bahwa Indonesia pun memiliki pengalaman yang mirip tentang betapa sulitnya merengkuh kelompok masyarakat di perbatasan yang terlibat aksi kejahatan transnasional karena kurangnya opsi mencari nafkah di wilayah tempatnya tinggal. Pengalaman dari masyarakat sipil patut didengar. Di tingkat politik dalam negeri, kita masih harus menunggu aksi dari Presiden Duterte untuk Filipina Selatan. Presiden Duterte juga tengah memikirkan untuk melakukan dialog dengan para pemberontak yang sampai saat ini masih terus mengonsolidasikan kekuatannya di hutan. Namun menjadi kesulitan tersendiri untuk Presiden Duterte, karena kebanyakan para milisi bersenjata yang berlandaskan keagamaan atau pun politik lokal memiliki motivasi yang lebih terkait dengan aksi kriminalitas ketimbang ideologis. Hal ini yang bisa menjelaskan mengapa pemberontakan Moro bisa diselesaikan dengan cara-cara damai karena gerakan Moro berlandaskan ideologis tertentu yang masih dapat diajak dialog dan dicari titik tengahnya untuk bisa dilanjutkan dengan kompromi atau konsensi tertentu. Kesabaran dan kegigihan kita dalam mencari solusi tengah diuji.
  • 17. 17 DINNA WISNU, PhD Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
  • 18. 18 Teman Ahok & Ilusi Kebangkitan Masyarakat Sipil 29-06-2016 Sepak terjang Teman Ahok dan keberhasilannya mengumpulkan 1 juta KTP untuk mendukung pencalonan Ahok sebagai calon independen dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 memunculkan kembali euforia soal peran anak muda dalam politik Indonesia. Fenomenalnya sepak terjang Teman Ahok pun kemudian memunculkan berbagai glorifikasi terhadap Teman Ahok. Ada yang menyebutnya sebagai gerakan politik, gerakan relawan, partisipasi politik anak muda, atau bahkan sebagai bentuk penolakan generasi Y terhadap oligarki parpol. Ada juga yang menyebutnya sebagai anomali politik dan upaya deparpolisasi partai di Indonesia. Klaim sebagai gerakan relawan (civic voluntarism) juga beberapa kali disampaikan oleh para pengurus Teman Ahok, yang kemudian juga diafirmasi oleh beberapa kalangan sebagai kekuatan masyarakat sipil. Kebangkitan Masyarakat Sipil? Jika ditelisik ke belakang, wacana mengenai kebangkitan sipil mulai banyak disuarakan sejak beberapa tahun lalu. Momen Pilgub DKI 2012 yang berlanjut dengan Pilpres 2014 diyakini sebagai momentum kebangkitan masyarakat sipil. Saat itu kekuatan masyarakat sipil muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari koalisi organisasi masyarakat sipil sampai pada relawan politik—yang juga dianggap menjadi fenomena baru dalam politik Indonesia. Aktivisme politik masyarakat sipil saat itu juga terlihat sangat beragam: ada yang tetap menjalankan fungsinya sebagai watchdog yang menjaga integritas pemilu, ada yang memosisikan diri sebagai kelompok oposisi terhadap kandidat tertentu, ada juga yang memilih bersikap netral, dan ada juga yang justru melibatkan diri sebagai pendukung atau bahkan tim pemenangan kandidat. Menurut Agus Sudibyo, aktivisme semacam ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan pola lama di mana masyarakat sipil umumnya mengambil jarak dari pertarungan politik memperebutkan kursi, dan lebih memosisikan diri sebagai “pendamping” masyarakat (2014). Boleh jadi, konteks politik saat itu menjadi salah satu alasan yang menjelaskan mengapa aktivisme politik masyarakat sipil menguat dan bahkan menjadi partisan.
  • 19. 19 Laporan riset Puskapol pada Desember 2014 menyebutkan bahwa polarisasi dua kandidat dalam pilpres mendorong masyarakat sipil mengekspresikan pilihan politik secara terbuka dan lebih “politis”. Kemenangan Jokowi dalam Pilgub 2012 dan Pilpres 2014 juga tak lepas dari peran aktif masyarakat sipil. Mereka mewujud sebagai kekuatan politik riil yang tidak hanya memosisikan dirinya di luar dan berhadapan secara vis a vis dengan kekuatan besar oligarki parpol, tetapi juga menjadi basis pendukung, pemilih dan sekaligus menjadi juru kampanye (spoke person) bagi pasangan Jokowi. Sekilas, keyakinan tentang bangkitnya masyarakat sipil tidak terbantahkan. Sefsani & Ziegenhain (2015) menyebutnya sebagai faktor penentu kemenangan. Pujian yang agak bombastis bahkan menyebut masyarakat sipil sebagai the political celebrity of the election (bintang pemilu) dan savior of Indonesia’s democracy (penyelamat demokrasi). Singkat kata, keberhasilan masyarakat sipil sebagai mesin yang menumbuhkan semangat voluntarisme politik, aktivisme individual, monitoring publik, dan aksi kolektif yang memengaruhi proses pemilu merupakan wujud kebangkitan masyarakat sipil. Fenomena Teman Ahok pada akhirnya memperkuat kembali keyakinan soal kebangkitan masyarakat sipil sebagai pivotal player dalam politik pemilu di Indonesia. Glorifikasi Glorifikasi terhadap masyarakat sipil bukan hal baru dalam diskursus akademik. Mereka sering dipuja-puji sebagai mesin pendorong demokratisasi, dan diasumsikan memiliki kontribusi positif terhadap demokratisasi. Masyarakat sipil bahkan diyakini merupakan prasyarat bagi tercapainya konsolidasi demokrasi (Putnam 1993, Gellner 1994, Fukuyama 1996, Diamond 1999). Putnam misalnya meyakini masyarakat sipil yang aktif sebagai obat mujarab (panacea) untuk berbagai penyakit dalam demokrasi, terutama untuk mengatasi apatisme, ketidakpuasan, dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi pemerintah. Glorifikasi ini belakangan banyak digugat. Omar Encarnacion (2003) dalam bukunya, The Myth of Civil Society, mengkritisi pandangan tentang “kesempurnaan” masyarakat sipil sebagai agen demokrasi sebagai keyakinan bersifat problematis bahkan nyaris mendekati mitos. Sebaliknya, keberadaan masyarakat sipil yang aktif justru bisa menjadi penghambat demokratisasi, terutama jika demokrasinya masih dikarakterisasi dengan inefisiensi dan lemahnya institusi-institusi politik. Dalam konteks Indonesia, glorifikasi masyarakat sipil juga menyisakan banyak persoalan serius. Politik “partisan” masyarakat sipil dalam pemilu ternyata membawa dampak pada melemahnya fungsi pembangunan demokrasi yang semestinya melekat dalam dirinya. Narasi mengenai keterlibatan masyarakat sipil yang awalnya bicara soal penolakan terhadap cengkeraman oligarki parpol serta upaya menyelamatkan demokrasi Indonesia pada akhirnya justru terdegradasi menjadi real partisan: menjadi buzzer dan pembela mati-matian politisi yang didukungnya.
  • 20. 20 Bahkan, tak jarang pembungkaman kritik terhadap pemerintah justru dilakukan oleh sesama kelompok masyarakat sipil sendiri. Dalam banyak kasus di mana kebebasan bersuara semakin ditekan dan pelanggaran HAM terus terjadi, sikap masyarakat sipil terbelah dan cenderung berstandar ganda. Isu reklamasi dan penggusuran daerah kumuh di Jakarta misalnya menjadi contoh sempurna yang memperlihatkan keterbelahan dan standar ganda sikap masyarakat sipil. Agaknya, sikap partisan saat pemilu menjadi harga mati untuk terus mendukung figur pilihannya ketika dihadapkan pada situasi di mana kelompok non-pendukung masih saja gencar memosisikan dirinya sebagai pengkritik utama pemerintah. Dalam kasus Teman Ahok, glorifikasi terhadap mereka juga sama problematiknya. Terlepas dari berbagai apresiasi terhadap keberhasilan mereka, atau bahkan tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada mereka belakangan ini, tulisan ini ingin mengingatkan pembaca agar kita tidak terjebak pada glorifikasi yang bisa jadi ternyata hanya ilusi. Karena, aktivisme masyarakat sipil yang sesungguhnya semestinya didasarkan pada dukungan terhadap gagasan (ideas), bukan figuritas (persona). Bagaimana pun Ahok adalah politisi. Rekam jejaknya sebagai politisi jauh lebih mudah ditelusuri dan menjadi bukti daripada imaji yang dibangun dan dipoles lewat proses branding dan marketing yang boleh jadi juga mengandung ilusi. Praktik trial and error dalam berdemokrasi selama 17 tahun terakhir semestinya cukup memberi kita pelajaran bahwa percaya pada mesias politik tidak akan membawa kita sampai pada cita-cita demokrasi. HURRIYAH Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
  • 21. 21 Gagal Paham Pembatalan Perda 30-06-2016 Polemik pembatalan secara sepihak peraturan daerah (perda) oleh pemerintah pusat (dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri) seakan menjadi ”bola liar” yang menimbulkan perdebatan panjang di antara semua pemangku kepentingan (stakeholder). Tak kurang 3.143 perda menjadi objek dari kewenangan menteri dalam negeri (mendagri) di dalam melakukan deregulasi terhadap berbagai perda dari berbagai daerah di Indonesia. Tentunya apa yang dilakukan pemerintah perlu dikritisi sebagai sebuah kebijakan (beleid) yang tidak memperhatikan dan mengedepankan aspek legal-konstitusional (UUD 1945), serta rezim pengaturan dari beberapa peraturan terkait, yakni UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) dan UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah (UU PEMDA). Selain itu, catatan penting dari kebijakan deregulasi perda oleh pemerintah ialah tidak ada kajian yang komprehensif yang terlebih dahulu dilakukan sebelum kebijakan deregulasi tersebut dilaksanakan. Selain itu minimnya ruang (komunikasi) atau setidak-tidaknya forum (koordinasi) bagi pemerintah daerah sesaat sebelum kebijakan pembatalan (pra-deregulasi) ini diberlakukan. Tentu langkah pemerintah di dalam mengambil kebijakan deregulasi terhadap berbagai perda yang ada akan sangat kontraproduktif terhadap semangat dan cita-cita pemerintah yang diserukan di dalam mewujudkan tata kelola birokrasi yang efektif dan efisien (good governance). Setidaknya polemik deregulasi perda oleh pemerintah pada hakikatnya dapat dilihat dari dua arah yakni aspek substantif dan aspek non-substantif. Aspek Substantif Secara substantif dalam perspektif yuridis normatif, polemik pembatalan perda secara sepihak oleh mendagri dapat dilihat dengan mengacu pada tiga rezim hukum yang saling terkait. Pertama, dengan melihat ketentuan secara konstitusional, yang ada di dalam Pasal 24A UUD 1945, yang mana secara rigid dan letterlecht, hanya memberikan ruang judicial review terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UUD. Artinya, proses dan tahapan pembatalan perda tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh pemerintah (eksekutif), kecuali melalui proses ajudikasi di Mahkamah Agung (judicial review). Tentu jika mengacu pada landasan hukum yang tertinggi, sebagaimana yang ada di dalam Pasal 24A UUD 1945, jelaslah bahwa konstitusi tidak memberikan ruang terhadap proses pembatalan peraturan daerah secara sepihak tanpa melalui proses judicial review di
  • 22. 22 MA. Filosofi mekanisme ini ialah untuk mengantisipasi agar kewenangan yudikatif (dalam konteks judicial review) tidak boleh ”dicampuradukkan” dengan kewenangan eksekutif (dalam konteks pengawasan administratif). Kedua, paralel dengan ketentuan yang ada di dalam Pasal 24A UUD 1945, hal tersebut juga dikuatkan di dalam UU Nomor 12/2011, khususnya yang ada di dalam Pasal 9, yang menyatakan bahwa dalam hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diduga bertentangan dengan undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Secara prinsip perlulah dipahami ”original intent” munculnya Pasal 9 di dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Penulis yang juga merupakan anggota pansus di dalam pembentukan UU PPP pada periode yang lalu turut terlibat secara langsung (aktif dan partisipatif) di dalam proses pembahasan dan perkembangan serta dinamika (internal) di dalam pembentukan UU PPP. Sebenarnya adapun nilai (value) historis-filosofis munculnya ketentuan di dalam Pasal 9 ini disadari oleh pembentuk UU pada waktu itu bahwa tidaklah dapat dibenarkan dalam konteks ketatanegaraan praktik pembatalan perda secara sepihak oleh pemerintah pusat (mendagri). Selanjutnya juga para pembentuk UU menginsyafi, praktik judicial review sebelumnya terhadap perda yang ada di MA; yang mana ruang lingkup yang diberikan kepada pemerintah daerah yang bersangkutan (yang perdanya dibatalkan) ialah hanya terhadap output ”pembatalan” yang dilakukan oleh mendagri, bukan terhadap perda yang dibatalkan (secara substansi). Artinya, proses ajudikasi sebagaimana dimaksud menitikberatkan kepada aspek ”sah atau tidaknya” pembatalan perda tersebut yang dilakukan mendagri. Karena itu, pembentuk undang-undang pada saat itu menginisiasi munculnya ketentuan dalam Pasal 9 dalam UU PPP agar membatasi dan tidak memberi kewenangan berlebihan kepada eksekutif (executive heavy) dalam ranah pembatalan perda. Dalam ketentuan pasal ini pun memberikan ruang yang lebih kepada semua pihak (stakeholder) yang keberatan terhadap perda yang diberlakukan dalam arti bahwa siapa pun yang berkepentingan terhadap perda yang akan dibatalkan memiliki legal standing (kedudukan hukum) untuk menguji (judicial review) peraturan daerah tersebut ke Mahkamah Agung. Secara nyata, juga dapat dilihat bahwa ketentuan yang ada di dalam Pasal 9 UU PPP merupakan turunan secara vertikal (derivasi langsung) dari Pasal 24A UUD 1945. Dengan begitu, dalam ranah pembatalan perda haruslah mengacu pada UU PPP. Ketiga, melihat pada ketentuan yang ada pada Pasal 251 UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, secara jelas dan nyata juga memberikan kewenangan kepada menteri (mendagri) untuk membatalkan perda, yang bertentangan dengan peraturan perundang-
  • 23. 23 undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Tetapi, tentu klausul ini secara filosofis harus dimaknai hanya dalam konteks tata kelola pemerintahan (good governance), bukan dalam arti praktis-empirik bagi mendagri untuk secara serta-merta secara sepihak dan ”semau-mau”-nya membatalkan peraturan daerah yang secara subjektif dimaknai tidak selaras dengan tiga limitasi-batasan sebagaimana dimaksud atau di luar batasan (limitasi) tersebut. Tentu hal ini, dalam konteks kenegaraan dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), akan menimbulkan preseden buruk. Ke depan (forward looking) bukan tidak mungkin dapat saja preseden ini akan dijadikan justifikasi (dasar, alasan dan/atau pembenaran) bagi rezim kekuasaan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Disharmonisasi Peraturan Perundang-undangan Perlu juga untuk disadari bahwa realitas yang terjadi masih ada disharmonisasi pada level peraturan perundang-undangan. Hal tersebut secara jelas dapat dilihat di dalam dua rezim hukum peraturan perundang-undangan secara horizontal yang ada pada UU PPP dan UU Pemda. Dalam konteks UU Pemda memang dapatlah dilihat bahwa terdapat kekeliruan dan missleading norma (hukum) yang ada di dalam UU Nomor 23/ 2014 tentang Pemda, yang tentu akan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Seharusnya pembentuk UU secara linier tunduk dan patuh pada ketentuan konstitusi yang menyatakan bahwa pembatalan atau pencabutan perda karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi hanya bisa dilakukan melalui judicial review oleh MA. Secara lebih lanjut juga patut dikritisi proses harmonisasi yang ada di Badan Legislasi DPR RI pada saat pembahasan sebelum pengesahan UU Pemda. Sekiranya proses harmonisasi tersebut berjalan secara maksimal, kecil kemungkinan terjadi disharmonisasi antara UU PPP dan UU Pemda. Seharusnya jikalau proses harmonisasi tersebut berjalan secara optimal, ketentuan yang ada pada Pasal 251 UU Pemda tidaklah perlu muncul, yang secara nyata tidak selaras dan harmonis dengan ketentuan yang ada pada Pasal 24A UUD 1945 dan Pasal 9 UU PPP. Aspek Non-substantif Memang perlu disadari oleh semua pihak (stakeholder) di dalam memahami polemik ini tidak boleh terjebak pada opini (subjektif), melainkan harus memandang realitas persoalan ini secara objektif, konstruktif, dan proporsional. Namun, pada posisi yang subjektif dengan pandangan (penilaian) yang objektif dapatlah dilihat bahwa munculnya polemik ini karena gagalnya pemerintah (atau dalam hal ini mendagri) di dalam menjalankan fungsi executive review terhadap peraturan daerah yang dianggap atau berpotensi bermasalah dan bertentangan, baik secara vertikal atau pun horizontal.
  • 24. 24 Secara non-substantif, melihat persoalan ini memang perlu dilakukan secara cermat, teliti, dan hati-hati. Terhadap dua arus pandangan (pro dan kontra) di dalam menyikapi polemik ini, seharusnya memang dapat ditengahi dengan jalan dan cara berpikir yang runtut, sistematis, dan terarah. Secara runtut melihat polemik deregulasi ini, harus dicermati dengan mengacu serta mendasarkan pada ketentuan (dasar hukum) yang lebih tinggi terlebih dahulu. Asumsinya apabila pihak yang melihat persoalan ini dengan mengacu pada ketentuan yang ada di UU Pemda terlebih dahulu, langkah dan kebijakan deregulasi perda ini mungkin dapatlah dibenarkan secara legal. Tetapi, apabila melihat persoalan ini dengan mengacu pada landasan hukum (tertinggi) terlebih dahulu, baru setelahnya merujuk pada aturan turunan terkait (systematic approachment) yakni UUD 1945, setelah itu UU PPP, barulah UU Pemda, dapatlah disimpulkan bahwa langkah dan kebijakan deregulasi yang dilakukan pemerintah (mendagri) secara sepihak terhadap 3.143 perda merupakan langkah yang tidak lazim dan tidaklah dapat dibenarkan. Langkah yang terakhir inilah yang ideal dan konstitusional. AHMAD YANI, SH, MH Founder and Researcher Pusat Pengkajian Peradaban Bangsa
  • 25. 25 Menghadapi Ancaman si Trio 09-07-2016 ”Apakah tidak ada segi-segi positif dan titik terang yang bisa mendorong Indonesia menjadi lebih baik dan selamat dari perusakan-perusakan yang menderanya? Analisis Bapak tadi membuat dada sesak dan mencemaskan. Apa yang bisa kita lakukan?”. Demikian seorang dosen bertanya kepada saya ketika Selasa (28/6) pekan lalu saya memberi studium generale di Universitas Islam Kadiri (Uniska), Kediri. Di forum ilmiah itu saya memang mengupas problem masa depan Indonesia yang tampaknya dirongrong oleh buruknya penegakan hukum. Saya katakan, berbagai persoalan yang sekarang melilit bangsa ini akan selesai lebih dari separuhnya jika hukum ditegakkan dengan benar. Kerusakan di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan sebagainya yang terjadi sekarang ini disebabkan oleh terjadinya pengangkangan atas hukum oleh para koruptor, entah itu pejabat, entah itu swasta. Tiga pekan lalu, melalui kolom di koran ini, saya menulis bahwa hukum kita banyak dikuasai oleh cukong-cukong sehingga—meminjam istilah Komisioner KPK Laode M Syarif, muncullah gejala grand corruption. Cukong-cukong membeli hukum, bukan hanya saat menghadapi kasus konkret ketika terlibat perkara di pengadilan, melainkan juga sudah membeli hukum ketika hukum akan dibuat sebagai peraturan yang abstrak. Kita bisa dengan mudah menunjuk kasus, politisi (legislator) dihukum atau ditangkap tangan oleh KPK, karena menjual hukum yang akan dimasukkan ke dalam undang-undang (UU) atau peraturan daerah (perda). Jadi, isi UU maupun perda bisa dibeli oleh cukong. Artinya, selain mengangkangi proses peradilan jika menghadapi kasus konkret (in concreto) di pengadilan melalui penyuapan kepada penegak hukum, cukong juga membeli isi peraturan perundang-undangan yang bersifat pengaturan secara abstrak (regeling, in abstracto) kepada legislator. Cukong adalah korporasi atau orang yang punya modal, tak terbatas pada etnis atau suku tertentu. Karena jual-beli hukum dengan cukong itu maka belakangan ini banyak hakim maupun panitera, pejabat maupun politisi, yang ditangkap dan digelandang ke pengadilan oleh KPK. Dulu saya pernah mengantarkan politikus AM Fatwa menghadap ketua Mahkamah Agung untuk melaporkan kasus perampasan tanah warga Betawi secara sewenang-wenang oleh pengembang. Sang warga Betawi yang menempati dan mempunyai tanah yang diwarisi secara turun-temurun dari kakeknya tiba-tiba digusur oleh pengembang.
  • 26. 26 Ketika melapor kepada yang berwajib, eh, malah sang warga Betawi itu yang diajukan ke pengadilan dengan dakwaan telah menyerobot tanah orang. Dia pun sudah menunjukkan bukti-bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan selama bertahun-tahun, tetapi ternyata pihak pengembang sudah memiliki sertifikat. Di negara ini banyak mafia tanah yang melibatkan kongkalikong antara cukong dan pejabat-pejabat. Sebenarnya peran cukong dalam korupsi sudah lama berlangsung. Sebuah grup diskusi dunia maya yang melibatkan kelirumolog Jaya Suprana, Salim Said, HS Dillon, dan lain-lain pekan lalu mendiskusikan isu ”Ancaman Trio Cukong, Pejabat, dan Politisi” yang dulu pernah dilontarkan oleh Wilopo. Wilopo yang pada masa demokrasi liberal pernah menjadi perdana menteri dan pada masa Orde Baru menjadi ketua Dewan Pertimbangan Agung, pernah memperingatkan tentang bahaya tiga begundal korupsi dan perusak negara. ”Awas bahaya!! Indonesia terancam Trio Persekongkolan, yaitu antara cukong, pejabat, dan petualang politik,” teriak Wilopo saat menjadi anggota Komite Empat. Komite Empat adalah Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk oleh Presiden Soeharto pada 1970. Ternyata, sampai era Reformasi, trio jahat ini bukannya berkurang melainkan semakin menancapkan kukunya dalam jagat raya penegakan hukum di Indonesia. Sekarang ini ada cukong membeli hukum, ada pejabat menjual hukum, dan ada politisi menjadi pedagang hukum. Di sana-sini mulai ada juga orang atau orang LSM yang katanya anti-korupsi dan pro-demokrasi dan supremasi hukum, tetapi mulai ikut bermain dalam kubangan kumuh pemberantasan korupsi. Ketika hukum sudah dikangkangi seperti itu maka semua upaya perbaikan menjadi macet, kesejahteraan rakyat semakin jauh panggang dari api, kemiskinan merajalela, kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin menganga. Sungguh sangat mencemaskan bagi masa depan bangsa dan negara. *** Kembali ke pertanyaan yang diajukan oleh dosen Uniska tadi. Adakah segi-segi positif yang bisa membuat kita optimistis untuk bisa memperbaiki keadaan yang membuat kita resah ini? Jawabannya, ” ada asal mau”. Kita sangat kaya dengan sumber daya alam dan mempunyai bonus demografi yang besar. McKensey menyebut potensi Indonesia untuk menjadi negara maju sangat besar. Pada 2012, Indonesia menempati peringkat ke-16 kekuatan ekonomi dunia dan posisi ini akan naik ke peringkat 7 pada 2030. Begitu besarnya kekayaan sumber daya alam dan bonus demografi kita, sehingga dengan dikelola secara biasa-biasa saja Indonesia akan tetap melesat ke posisi ketujuh. Ada modal lain yang juga bagus, yakni kebebasan pers yang semakin maju dan bisa dibangun
  • 27. 27 untuk ikut mengarahkan dan mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan. Bukan pers yang berpolitik secara sempit dalam permainan jangka pendek. Dukungan masyarakat yang menggebu-gebu terhadap upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum juga menjadi modal yang baik. Kalaulah kita meyakini bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi memerlukan pemimpin yang kuat maka kita juga mempunyainya. Presiden Jokowi terbilang bersih, istri dan anak-anaknya tidak ikut bermain dalam bisnis dan politik. Presiden Jokowi tidak terbebani dan tidak tersandera untuk memimpin upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Jadi, ada harapan asalkan kita mau. MOH MAHFUD MD Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN- HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
  • 28. 28 Deradikalisasi vs Brutalitas Pelaku Teror 12-07-2016 Sepanjang bulan suci Ramadan hingga Idul Fitri tahun ini, dunia berselimut keprihatinan akibat rangkaian teror bom di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Brutalitas pelaku teror memuncak dengan tiga serangan bom bunuh diri yang mengguncang tiga kota di Arab Saudi, sehari sebelum Idul Fitri; dan aksi serupa di Kota Solo, beberapa jam sebelum umat menyelenggarakan malam takbiran. Serangan bom bunuh diri dimulai di Bandara Ataturk, Istanbul, Turki yang berlanjut dengan serangan di Dhaka, Bangladesh. Serangan di Dhaka menyebabkan 20 sandera tewas. Setelah itu, ISIS meledakkan bom mobil di Pasar Karada di kota Baghdad, Irak, Minggu (3/7). Jumlah korban tewas dari 200 orang, termasuk anak-anak. Ketika perhatian masih terfokus pada tiga tragedi tadi, komunitas internasional dibuat terhenyak sesaat karena Madinah, Qatif, dan Jeddah di Arab Saudi juga diguncang bom bunuh diri, satu hari sebelum Idul Fitri. Brutalitas pelaku teror di Arab Saudi itu semakin sulit dipahami karena ledakan bom di kota Madinah justru terjadi di dekat kompleks Masjid Nabawi, bangunan suci yang bermakna sangat khusus bagi umat muslim sedunia. Pasalnya, Masjid Nabawi dibangun oleh Nabi Muhammad SAW dan menjadi tempat makam dia serta para sahabatnya. Lalu ketika para pejabat tinggi negara dan tokoh agama di dalam negeri menyuarakan kecaman atas serangan bom di dekat Masjid Nabawi itu, pelaku teror di dalam negeri meledakkan bom bunuh di Polresta Solo pada Selasa (5/7). Kasus ini pun sulit dimengerti karena pelakunya beraksi saat masyarakat sedang bersiap-siap menyongsong malam takbiran. Setelah Solo, Dhaka kembali diguncang. Sebuah ledakan bom terjadi di Distrik Kishoreganj, Bangladesh utara, saat lebih dari 200.000 umat muslim sedang melaksanakan ibadah salat Idul Fitri. Seorang polisi tewas dan lima orang terluka akibat ledakan bom dan baku tembak di sebuah lapangan. Rangkaian bom bunuh diri sepanjang Ramadan memang memiliki keterkaitan dengan kelompok milisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Pasalnya, pentolan ISIS telah menyebar seruan kepada semua simpatisannya untuk melancarkan teror atau Amaliyah di seluruh dunia. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ISIS telah melebarkan sayapnya dari Afrika hingga Asia. Untuk semua aksi bernuansa teror mematikan, ISIS menggunakan ungkapan Amaliyah. Dan sebagaimana diungkap Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, ISIS berasumsi bahwa Amaliyah
  • 29. 29 pada bulan suci adalah suatu tindakan yang baik dan akan mendapatkan pahala. Apakah asumsi seperti itu patut diberi simpati atau apresiasi? Keyakinan seperti itu tidak hanya sulit dipahami, tetapi tidak bisa diterima. Maka sangat masuk akal jika serangan bom di dekat Masjid Nabawi dan di Solo dinilai sebagai serangan terhadap umat muslim sedunia, dan juga umat muslim Indonesia khususnya. Dengan begitu, para pelaku bom bunuh diri, aktor intelektual, dan para simpatisannya patut diposisikan sebagai musuh bersama. Mereka sudah jelas-jelas ingin mencabik-cabik keagungan agama. Mereka pun ingin merusak peradaban dengan memaksakan keyakinannya kepada komunitas lain. Milisi ISIS dan para simpatisannya mungkin ingin membangun dunia baru seturut keyakinannya. Namun, mereka tidak boleh menghadirkan bencana bagi komunitas lain, apalagi melancarkan serangan mematikan terhadap orang-orang yang tidak bersalah. Komunitas internasional, termasuk masyarakat Indonesia, sudah merasakan kekejaman dan kebrutalan ISIS dan para simpatisannya. Ketika para simpatisan ISIS meledakkan bom di dekat Masjid Nabawi, sudah sangat jelas bahwa ISIS pun menunjukkan sikap bermusuhan dengan komunitas muslim sedunia. Peristiwa di Kota Madinah semakin menegaskan kepada setiap orang bahwa terorisme adalah musuh agama dan kemanusiaan. Kewaspadaan Masyarakat Menyikapi guncangan bom di negaranya, Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz berjanji akan menggunakan ”tangan besi” terhadap orang-orang yang menyeret pemuda negeri itu ke dalam ekstremisme agama. ”Kami akan membalas dengan ‘tangan besi’ terhadap mereka yang mengincar para pemuda kami,” kata raja berusia 80 tahun itu. Lalu, bagaimana Indonesia akan menyikapi kecenderungan serupa itu? Semua elemen masyarakat tidak boleh tutup mata terhadap fakta tentang banyaknya orang muda Indonesia yang nyaris terperangkap dalam ekstremisme agama. Contoh terbaru yang paling ekstrem adalah ledakan bom bunuh diri di Solo itu. Sebagaimana penjelasan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Tito Karnavian, pelakunya memiliki keterkaitan dengan beberapa kelompok radikal yang juga sudah diidentifikasi oleh intelijen Indonesia. Kelompok-kelompok itu berafiliasi dengan ISIS. Maka itu, sel-sel ISIS sesungguhnya sudah berbaur dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Potret lain tentang sel ISIS di Indonesia tergambar pada kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso alias Abu Wardah yang masih bersembunyi kawasan hutan Poso, Sulawesi Tengah. Santoso berambisi menjadikan kawasan hutan di Sulawesi Tengah sebagai pusat latihan milisi bagi para simpatisan ISIS. Sebagai negara yang menghormati prinsip-prinsip hukum, Indonesia tentunya tidak harus menggunakan tangan besi untuk merespons kecenderungan itu. Negara, dengan dukungan
  • 30. 30 para pendidik dan ulama, bisa mereduksi kecenderungan itu dengan program yang dapat mengubah sikap dan cara pandang ekstrem menjadi lunak, toleran, pluralis, dan moderat (deradikalisasi). Akan tetapi, menawarkan program deradikalisasi tidak boleh membuat negara dan rakyat lengah. Sebaliknya, kewaspadaan dan militansi harus ditingkatkan karena program deradikalisasi belum tentu mujarab bagi semua orang yang berpandangan ekstrem. Pelaku ledakan bom Solo dan Santoso dengan MIT-nya menjadi contoh tentang program deradikalisasi yang tidak laku. Mereka memiliki jaringan di berbagai tempat. Jaringan-jaringan itulah yang harus diwaspadai oleh semua elemen masyarakat. Hari-hari ini masyarakat telah melalui periode bulan Ramadan dan perayaan Idul Fitri tahun 2016. Apakah teror bom akan berakhir dengan sendirinya? Belum tentu. Para simpatisan ISIS terang-terangan telah mengancam Indonesia. Selain itu, sejumlah kelompok pelaku teror masih menyimpan dendam terhadap institusi Polri. Maka cukup jelas bahwa ancaman teror masih mengintai masyarakat. Oleh karena itu, bahu-membahu dengan semua elemen masyarakat, segenap aparatur keamanan negara perlu meningkatkan kewaspadaan dan kesigapan untuk mengantisipasi dan merespons brutalitas pelaku teror yang beraksi atas alasan apa pun. Brutalitas pelaku teror akhir-akhir ini tidak bisa ditoleransi lagi. Kebrutalan pelaku teror saat ini, mau tak mau, harus disikapi dengan kebijakan serta langkah-langkah antiteror yang luar biasa pula. Negara tidak boleh lagi memberi toleransi kepada siapa saja atau kelompok yang terindikasi sebagai pelaku teror. Negara tidak boleh minimalis ketika masyarakat terancam oleh para pelaku teror. Sebaliknya, negara harus bertindak ekstra keras dan lugas terhadap kelompok- kelompok yang terindikasi akan melakukan serangan. Untuk meningkatkan kesigapan merespons kebrutalan pelaku teror, Polri, TNI, BIN, dan BNPT harus diberi kewenangan dan keleluasaan yang proporsional sesuai tupoksinya masing-masing dengan potensi ancaman saat ini. Peran serta masyarakat dalam bentuk berbagi informasi dengan Polri dan TNI tentu saja sangat diharapkan. Dan, untuk mengidentifikasi dan memonitor pergerakan pelaku teror dari berbagai negara, pemerintah hendaknya meningkatkan kerja sama dengan sejumlah negara terkait. BAMBANG SOESATYO Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
  • 31. 31 Menanti Kapolri 12-07-2016 Sebenarnya sudah beberapa kali fit and proper test calon kapolri di DPR RI yang juga menarik perhatian. Hanya, mungkin dalam bentuk gaduh yang berbeda. Sebelumnya heboh itu karena ada perbedaan tajam baik antara eksekutif (lembaga pengaju) berhadapan dengan legislatif (lembaga yang mempertimbangkan). Kegaduhan itu juga terjadi di internal institusi masing-masing. Namun, lain ceritanya ketika Presiden Joko Widodo mencalonkan Komjen Tito Karnavian sebagai kapolri menggantikan Jenderal Badrodin Haiti yang mendekati masa purnabakti. Situasinya tetap heboh juga memang, tapi hebohnya lebih karena publikasi dan penerimaan publik serta Komisi III yang meriah. Ujian Promosi Kebetulan saya mengisi acara talkshow di salah satu televisi swasta nasional bersama Prof Indria Samego saat uji kelayakan calon kapolri berlangsung. Memang ada kritik bahwa uji kelayakan oleh Komisi III DPR RI ”tidak menggigit” karena lebih banyak pujian dan sanjungan saja yang mengemuka. Tapi, bagi saya, justru tidak heran dan memang seharusnya seperti itulah kala uji kelayakan diselenggarakan. Argumentasi sederhananya, jika dianalogikan dengan ujian tingkat doktor (S-3), uji kelayakan di Komisi III DPR RI adalah ”ujian terbuka” (promosi) saja. Ujian tertutupnya itu ada di lembaga kepresidenan. Saat ujian tertutup itulah harusnya semua aspek diuji, diklarifikasi, bahkan ”dikuliti” secara mendalam, tanpa tersisa. Jika harus gugur, pada saat ujian tertutup inilah eksekusinya. Namun, setelah seorang calon kapolri ”lulus ujian tertutup” di tingkat Presiden, ujian di Komisi III adalah tahapan ujian terbuka. Ujian terbuka ini lebih bersifat promosi saja. Logikanya, apabila para penguji saat ujian tertutup sudah menguji dengan baik dan obyektif, dapat dipastikan saat ”ujian terbuka” akan lempeng. Itulah yang terjadi dengan Komjen Tito Karnavian, lulus mulus saat ”ujian promosi” di Komisi III karena memang di ujian tertutup ia sudah gemilang. Sebaliknya, apabila dibandingkan dengan para calon kapolri masa lalu, memang ada persoalan pada tahapan ”ujian tertutupnya.” Ketika itu mungkin sangat subyektif dan bermasalah pula. Tidak heran jika kemudian tidak mampu melalui ujian terbuka di Komisi III karena sesungguhnya memang tidak lulus di ujian tertutup. Kelulusannya dengan nilai ”dipaksakan” sekadar meloloskan. Sepertinya ”para penguji saat ujian terbuka” memiliki berbagai pertanyaan yang tidak sempat diajukan ketika ”ujian tertutup.”
  • 32. 32 Bertambah runyam karena dalam kondisi itu publik juga beringas karena paham dengan beberapa nilai kurang sang kandidat. Apalagi jika terjadi ”keadaan luar biasa” saat ujian terbuka sebagaimana dialami Komjen Budi Gunawan, sekalipun ia polisi brilian juga. Laporan Terbanyak Saya meyakini ”di atas kertas” pimpinan Polri telah memiliki berbagai program, strategi, bahkan hingga ke petunjuk pelaksanaan (juklak) agar menampilkan Polri yang profesional. Namun, pada akhirnya semua itu direfleksikan seberapa banyak laporan/keluhan masyarakat terkait kinerja dan pelayanan Polri. Tidak banyak pengaruhnya jika berbagai strategi sempurna hanya ada di atas kertas, namun bermasalah dalam penerapannya. Apalagi kini Polri dihadapkan kepada publik yang lebih berani ”berkawan” dengan media yang nyaris sempurna kemajuannya. Gerak-gerik Polri menjadi tontonan terbuka. Akibatnya, prestasi saja belum tentu dipuji, apalagi terhadap kelakuan mereka yang mungkin memang salah. Data di Ombudsman Republik Indonesia pada 2015, di antara total 6.549 laporan, Polri sebagai lembaga kedua yang paling banyak dilapori masyarakat yaitu berjumlah 807 laporan. Jumlah laporan ini menggambarkan bagaimana sesungguhnya interaksi Polri dengan masyarakat yang diurusinya. Beberapa jenis dugaan maladministrasi kepolisian berupa keberpihakan, diskriminasi, dan konflik kepentingan. Selain itu ”tuduhan” masyarakat bahwa oknum polisi telah melakukan penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, hingga permintaan imbalan atas pelayanan yang diberikan. Itu sebabnya sangat relevan apabila kapolri to be, juga fokus terhadap pelayanan publik. Salah satu kelemahan pelayanan publik di Indonesia karena kebanyakan dilakukan secara manual untuk pelayanan yang dapat menggunakan teknologi. Pelayanan bidang lalu lintas dan reserse selalu menjadi sorotan. Penggunaan teknologi dapat menekan praktik menyimpang di tubuh Polri. Tantangan dan Tentangan Sebagai manusia biasa, tidak mungkin juga seolah-olah dengan penunjukan kapolri baru semua bakal cespleng, semua persoalan terselesaikan dan berjalan sendiri seolah diawaki oleh auto pilot saja. Tantangan dan tentangan pasti masih eksis, serendah apa pun skalanya. Tantangan pertama justru dari internal Polri sendiri. Kapolri baru memecah tradisi yang selama ini terjadi, terkait senioritas. Ada ”ratusan” jenderal yang dilompati oleh calon kapolri periode ini. Apalagi sekitar lima angkatan terlewati. Mestinya sebagai Bhayangkara sejati, pastilah ”lima angkatan itu” akan menerima apa pun putusan pimpinan tertinggi. Sudah terkenal di lingkungan TNI/Polri bahwa taat dengan perintah atasan itu harga mati. Tidak
  • 33. 33 boleh ada pertanyaan, apalagi membantah perintah. Namun, tetap saja ratusan orang itu adalah manusia biasa. Ini artinya sekecil apa pun tetap ada retensi. Mungkin secara formal dan verbal hal itu tidak mengemuka. Namun, senioritas itu tetap sebagai tantangan tidak mudah. Untungnya, Komjen Tito telah berpengalaman memimpin ”para abangnya” dan kini terulang lagi. Potensi tentangan itu datang dari mereka yang nyaman dengan status quo yang eksis ”berkarat” selama ini. Bagi sebagian publik, tampilan Polri masih dipersepsikan sebagai lembaga yang ”belum bersih,” masih belum menghadirkan lembaga pelindung/pengayom masyarakat. Istilah to serve and to protect masih slogan saja. Ada banyak anggota Polri yang berprofesi tandem dengan bisnis sampingannya. Menjadi soal karena bisnis itu atas nama perseorangan, bukan kelembagaan. Jika kapolri menggunakan strategi ”pokoknya” yang drastis misalnya pokoknya dilarang bisnis, titik-full stop, tentangan itu pasti besar. Belum lagi sinergitas Polri dengan lembaga penegak hukum lainnya. Bayang-bayang perumpamaan ”cicak versus buaya” tetap ada walau mungkin dalam rupa dan skala berbeda. Kasus para petinggi KPK yang ditersangkakan kental nuansa rivalitas lembaga, bukan murni aspek legal. Ini juga tantangan bagi kapolri yang dinanti. Menanti Kapolri Kapolri profesional adalah idaman masyarakat. Profesionalisme itu akan tercapai jika tugas pokok dan fungsi Polri berhasil diimplementasikan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepolisian. Ditegaskan bahwa tugas pokok Polri adalah: a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b) menegakkan hukum; dan c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Selama ini Polri belum memenuhi semboyannya restra sewa kottama, abdi utama masyarakat. Tingkat kepercayaan masyarakat masih rendah. Ada kompleksitas di tubuh Polri untuk menjadikannya tampil dengan postur ideal. Kesejahteraan mereka umumnya juga menjadi persoalan dihadapkan dengan kebutuhan minimal. Namun, tidak kalah seriusnya persoalan di tubuh Polri terkait pola mutasi dan promosi, termasuk penjenjangan/pendidikan. Kalangan internal Polri bahkan pernah berkirim surat ke Ombudsman RI ”bercerita” kejanggalan seleksi pendidikan jenjang tertinggi di Polri. Laporan yang mungkin mengandung kebenaran. Keluhan terhadap pelayanan Polri yang belum memuaskan justru banyak tertuju kepada kepolisian sektor (polsek). Padahal, wajah Polri sangat ditentukan oleh bagaimana tampilan polsek yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Menyimak kondite Komjen Tito Karnavian merupakan sosok yang lengkap untuk melakukan pembenahan di tubuh Polri. Pengalaman lapangan dan akademik yang nyaris sempurna. Visi- misi beliau jelas, hampir tanpa celah untuk menjadikan Polri profesional dan dicintai
  • 34. 34 masyarakat. Ini semua sejalan pula dengan semboyan restra sewa kottama atau ungkapan to serve and to protect. Persoalannya memang kapolri baru dihadapkan kepada berbagai kendala di tubuh Polri yang di antaranya ”seumur-umur” sudah ada di situ. Bukankah visi-misi luar biasa juga ditampilkan oleh para mantan calon kapolri periode-periode sebelumnya. Tapi, apakah reformasi di tubuh Polri benar-benar sudah terjadi? Walaupun mungkin ada banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh para calon kapolri sebelumnya saat pencalonan, di antaranya dukungan meluas terhadap Tito Karnavian. Dukungan meluas itu modal awal luar biasa dahsyatnya. Pesta promosi calon kapolri sudah berlalu. Sejak awal tidak ada yang meragukan kepiawaian kandidat lulus dalam ujian itu. Tinggal lagi kini bagaimana konsep perfect dan janji kepada publik itu diimplementasikan. Wapres Jusuf Kalla bahkan turut mengingatkan Tito untuk menjalankan janjinya mereformasi Polri. Publik serepublik ini dengan berbagai pengalaman berinteraksi bersama polisi kini menanti kapolri yang menjanjikan berbagai pembaharuan (reformasi) di tubuh Polri. Visi-misi yang ditawarkan sungguh luar biasa dan meyakinkan Komisi III. Senyatanya kini ada tugas berat di pundak kapolri yang dinanti. PROF AMZULIAN RIFAI PhD Ketua Ombudsman RI
  • 35. 35 Gratifikasi dan Suap 13-07-2016 Kebiasaan lama sejak penjajahan Belanda dan semasa wilayah Nusantara terbelah dalam beberapa kerajaan, pemberian upeti kepada sang raja dalam bentuk in-natura merupakan suatu pertanda loyalitas rakyat kepada raja. Di kalangan Tionghoa dikenal dengan sebutan ”angpau”. Dalam bahasa Sunda, dikenal dengan istilah ”seba”. Sejalan dengan perkembangan sistem pemerintahan modern, kebiasaan tersebut berlanjut sejak era Soekarno, Soeharto dan sampai saat ini hanya diubah dengan sebutan ”imbalan” atau ”balas budi”. Namun sejak era Reformasi, upeti, seba, angpau tersebut termasuk ke dalam pengertian gratifikasi. Pengertian gratifikasi itu sendiri berasal dari istilah ”gratitude”. Suatu penghormatan terhadap pemimpin dalam bentuk memberikan sejumlah uang atau barang. Sikap masyarakat ini dalam kosakata sosiologi disebut sikap dan budaya relasi “patron and client”, atau ”patron-client relationship”(PCR), dan integritas diidentikkan dengan loyalitas. Akibat dari kekeliruan menafsirkan kedua kosakata tersebut maka integritas dan loyalitas tidak ada perbedaan mendasar lagi. Karena integritas tanpa loyalitas di dalam sistem birokrasi yang berbasis PCR seiring loyalitas (pada atasan) mengalahkan integritas (pada pekerjaan). Bahkan dalam sistem birokrasi pemerintahan di Indonesia, pemberian kepada atasan merupakan tolok ukur kesetiaan (loyalitas). Dan, angka kredit untuk promosi dan mutasi ke kedudukan dan jabatan yang lebih tinggi bukan pada sistem ”reward and punishment” atau meritokrasi. Ketika Baharudin Lopa (alm.) menjabat menteri kehakiman (menkumham saat ini), telah diinisiasi untuk memasukan ”pemberian” yang dikenal dengan upeti, seba, atau angpau tersebut sebagai gratifikasi dalam konotasi negatif. Karena hal itu dapat ”menurunkan” wibawa pemerintah, serta mendegradasi sistem meritokrasi, integritas, dan akuntabilitas kinerja. Lingkup gratifikasi di dalam Penjelasan Pasal 12B Undang-Undang (UU) RI Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31/1999. ”Dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik”. ***
  • 36. 36 Norma gratifikasi di dalam pasal tersebut, berbunyi: ”Gratifikasi dianggap suap jika dilakukan dalam hubungan kedudukan atau jabatannya”; dan pembuktian bahwa bukan merupakan suap dibebankan kepada terdakwa (pembuktian terbalik) jika nilai pemberian sampai Rp10 juta; beban pembuktian sebagai suap pada penuntut untuk nilai pemberian di atas Rp10 juta. Di dalam ketentuan gratifikasi (Pasal 12B), penerima gratifikasi diberi tenggat waktu 30 hari untuk melaporkan gratifikasi kepada KPK, terhitung sejak ia menerima pemberian tersebut. Dengan maksud menguji integritas penyelenggara negara selama ia memangku jabatannya. Jika melampaui batas waktu tersebut, penerima gratifikasi dianggap memiliki mens-rea dan merupakan petunjuk (awal) bahwa penyelenggara negara yang bersangkutan telah memiliki itikad tidak baik. Karena sekecil apa pun nilai uang atau barang pemberian, tetap bukan hak penyelenggara negara yang bersangkutan. Tuntutan ancaman hukuman tindak pidana gratifikasi adalah pidana seumur hidup, dan paling singkat empat tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta, paling banyak Rp1 miliar. Dimasukkannya gratifikasi sebagai salah satu tindak pidana korupsi mencerminkan bahwa politik hukum pidana dalam pemberantasan korupsi sangat ”secure” dalam memberikan penilaian perilaku seorang penyelenggara negara. Dengan pertimbangan bahwa penyelenggara negara seharusnya menjadi panutan dari masyarakatnya bukan sebaliknya. Nilai-nilai di balik ketentuan gratifikasi adalah integritas (integrity), akuntabilitas (accountability), kejujuran (honesty), dan adil (fairness) dalam tata kelola pemerintahan. Integritas yang dikehendaki oleh ketentuan Pasal 12 B adalah bahwa seharusnya penerima dana memiliki iktikad baik, melaporkan dan menyerahkan penerimaannya kepada KPK. Nilai (values) di balik ketentuan gratifikasi adalah bahwa setiap penerimaan oleh penyelenggara negara atau abdi negara, dalam bentuk dan nilai seberapa pun adalah tidak layak, tidak patut dan perbuatan tercela, selain penerimaan gajinya. Karena gratifikasi tersebut merupakan ”keuntungan yang tidak patut/tercela” (undue advantage). *** Pelaporan penerima gratifikasi kepada KPK harus tanpa paksaan atau faktor eksternal, dan dalam batas waktu 30 hari. Jika pejabat/penyelenggara negara menerima gratifikasi kemudian melaporkan kepada KPK dalam waktu 30 hari, dan kemudian ada bukti permulaan yang cukup bahwa dana yang diterima dan dilaporkan tersebut merupakan imbalan atas perbuatan penerima gratifikasi selaku penyelenggara negara/pegawai negeri, yang bertentangan dengan kewajiban dalam kedudukannya sebagai penyelenggara negara atau pegawai negeri, dan pemberian dana tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, maka gratifikasi berubah, dan merupakan suap. Karena, pertama pelaporan gratifikasi kepada KPK tidak dilandasi oleh itikad baik. Kedua, pemberian ”gratifikasi” tersebut merupakan ”kick back” terhadap penerima gratifikasi. Niat
  • 37. 37 jahat (mens-rea) pada penerima gratifikasi telah terbentuk ketika kemudian diketahui telah terdapat ”kick back” sebagai imbalan untuk keputusan pejabat/pegawai negeri tersebut yang bertentangan peraturan perundang-undangan. Pemberian dana oleh pihak lain dan penerimaan dana yang didahului oleh tindakan pejabat/pegawai negeri yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk suap. Mengapa ancaman untuk gratifikasi lebih tinggi dari suap? Hal ini disebabkan perbuatan gratifikasi merupakan pengkhianatan terhadap integrasi, akuntabilitas, dan martabat seorang penyelenggara negara. Sedangkan suap merupakan perbuatan atas dasar keserakahan semata- mata (greedy). Dalam hukum pidana, maksud dan tujuan baik dari suatu perbuatan tidak cukup menjadi pertimbangan hakim, tetapi juga cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan baik tersebut, yaitu harus tidak melanggar hukum. Contoh, seorang bendahara K/L (kementerian/lembaga) memindahkan dana dari pos anggaran untuk biaya lelang kepada pos perjalanan dinas, dengan alasan mendesak diperlukan dana untuk melakukan kunjungan dinas ke daerah atau pengeluaran dana untuk bencana sosial yang diambil dari pos anggaran lain. Perbuatan tersebut termasuk perbuatan melawan hukum-malaadministrasi namun tidak mutatis mutandis mengandung unsur pidana. Perbuatan malaadministrasi menjadi tindak pidana korupsi jika perbuatan tersebut menghasilkan ”keuntungan finansial” (kick back) bagi bendahara yang bersangkutan atau bagi orang lain atau korporasi, yang diperoleh dari rekanan-rekanan yang terlibat dalam penggunaan dana anggaran tersebut sehingga mengakibatkan negara mengalami kerugian. Dalam UU Pemberantasan Korupsi yang berlaku, sekalipun terdakwa tidak memperoleh keuntungan, akan tetapi orang lain atau korporasi memperoleh keuntungan dan perbuatan terdakwa dilakukan secara melawan hukum. Maka yang bersangkutan tetap dapat dituntut melakukan tindak pidana korupsi, apalagi telah terjadi kerugian negara, dan pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan. ROMLI ATMASASMITA Guru Besar (Emeritus) Unpad/Direktur LPIKP
  • 38. 38 Menagih Janji Jenderal Tito 14-07-2016 Jabatan kapolri resmi berpindah dari Jenderal Badrodin Haiti ke Jenderal Muhammad Tito Karnavian. Ini juga bermakna bahwa mulai 13 Juli 2016, institusi Polri dari Sabang hingga Merauke sepenuhnya berada di bawah kendali Jenderal Tito. Akankah Jenderal Tito mampu mengemban amanah rakyat Indonesia untuk menghadirkan polisi yang humanis dan antikorupsi? Mewujudkan lembaga Polri yang profesional, mandiri, dan tidak mudah diintervensi dalam menegakkan hukum. Mampukah Jenderal Tito merealisasikan sepuluh komitmen sebagaimana yang pernah disampaikannya saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan sebagai calon kapolri di DPR RI pada 23 Juni 2016? Setiap kali pergantian kapolri, setiap itu pula harapan masyarakat kembali bersemi. Maklumlah karena setiap kapolri selalu menjanjikan reformasi dan ingin menjadi teladan dalam kepemimpinannya. Publik kini sadar bahwa tugas kepolisian berbeda dengan militer yang mengamankan negara dari ancaman musuh, sedangkan kepolisian bertugas mengamankan masyarakat agar tercipta ketertiban, rasa aman, perlindungan, dan menindak pelanggaran serta pelaku kejahatan. Meskipun terlihat sudah mulai lurus, upaya penegakan hukum dan keadilan oleh institusi kepolisian masih dirasakan berliku dan terjal oleh masyarakat. Reformasi kepolisian sesungguhnya bertujuan mengubah citra polisi dari yang militeristik ke polisi sipil (civilian police) yang demokratik, harapannya, reformasi yang dilakukan dapat mengubah wajah kepolisian sesuai dengan citra negara hukum. Meskipun sudah terlihat berhasil, masih ada citra negatif yang hingga kini tersemat di korps berbaju cokelat itu. Hal ini terlihat masih menonjolnya kekuasaan (power) yang berujung kekerasan dan penyiksaan saat aparat polisi menjalankan tugasnya. Bukan sekadar isu lagi, melainkan fakta bahwa kepolisian dengan ”force and power” yang dimilikinya masih menggunakan pemerasan, korupsi, kekerasan, intimidasi, dan pelanggaran hak asasi manusia dalam penegakan hukum. Dalam catatan Kontras, sebuah LSM yang pro-hak asasi manusia, Polri masih menduduki peringkat tertinggi sebagai aktor pelaku penyiksaan periode 2015-2016. Begitu juga dengan potensi korupsi di tubuh Polri. Dalam satu jajak pendapat yang dilansir oleh satu media nasional terbaca masih ada perbedaan yang kecil antara publik yang percaya dan tidak percaya terkait pertanyaan apakah mereka percaya Jenderal Tito bisa memberantas korupsi di kepolisian? Yang menjawab ”Tidak” hanya 46,5% dan yang menjawab ”Ya” sekitar 48,3%.
  • 39. 39 Jenderal Tito berjanji akan membentuk tim internal anti-korupsi di institusi Polri. Seperti menerapkan sistem laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) kepada pengawas internal, optimalisasi whistleblower online untuk internal Polri, serta menerbitkan peraturan kapolri untuk bisnis anggota Polri. *** Pernyataan Tito yang menarik adalah pengakuan terhadap reformasi kultural di tubuh kepolisian sejak 18 tahun era Reformasi menurutnya belum kunjung tiba dan sulit diterapkan. Karena itu, menurut Tito, reformasi internal Polri akan fokus pada persoalan kultural Polri, yang sering dianggap koruptif, hedonis, dan konsumtif, melalui beberapa langkah antara lain perubahan dalam proses rekrutmen Polri, penempatan karier, serta perubahan postur anggaran di kepolisian. Menurut Tito, anggaran kepolisian saat ini sebanyak 62% untuk belanja pegawai, 28% untuk operasional, sisanya untuk belanja modal. Ini bukti Polri tidak sehat. Karena itu, postur anggaran Polri harus diubah agar mampu memberikan pelayanan yang lebih optimal. Berkaitan dengan reformasi kultural di tubuh Polri, Tito menyebutkan, pihaknya akan menyiapkan perekat yang dibuat sebagai mekanisme pencegahan sekaligus memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota Polri. Baik tunjangan kinerja, kesehatan, dan perbaikan perumahan serta belanja operasional sampai ke polsek bisa meningkat secara bertahap. Selain itu, Tito juga menjanjikan akan melakukan upaya profesionalisme Polri dalam layanan umum, dalam penegakan hukum, dan penanganan gangguan kamtibmas. Berkaitan dengan pelayanan publik, haruslah yang mudah diakses, regulasi proses di loket, quick response, dan modernisasi teknologi. Dalam penegakan hukum, Tito berjanji melakukan penanganan kasus yang menjadi perhatian publik yang meliputi kejahatan anak, teroris, dan narkoba. Tito juga akan meningkatkan kemampuan penyidik seperti peningkatan Laboratorium Forensik Polri. *** Sejuta harapan kini berada di pundak Jenderal Tito. Usianya yang masih muda, karier yang melesat, dan jejak rekam yang relatif ”clean and clear” diyakini oleh mayoritas publik sebagai modal bagi Jenderal Tito untuk menaklukkan medan dan tantangannya sebagai kapolri. Juga mengatasi kebimbangan posisinya yang di satu sisi adalah penegak hukum, sementara di sisi lain adalah ”bawahan” Presiden. Salah melangkah, Jenderal Tito akan menjadi ”Jenderal Istana” alias menjadi ”tukang pukul” terhadap lawan-lawan politik penguasa. Akhirnya, publik Indonesia dan masyarakat internasional tentu ingin menagih Jenderal Tito untuk menunaikan janji-janjinya yaitu Polri menjadi institusi yang berdedikasi penuh kepada
  • 40. 40 rakyat berlandaskan demokrasi; proaktif dalam mewujudkan masyarakat yang menjunjung tinggi hukum dan rasa keadilan hak-hak asasi manusia; profesional dan akuntabel dalam pelayanan pencegahan kejahatan, penegakan hukum, dan penciptaan rasa aman dan bebas rasa takut yang meluas di masyarakat, serta dicintai secara nasional dan diakui secara internasional; mewujudkan lembaga Polri yang mandiri, terbuka, bermoral, serta memiliki kredibilitas dan kompetensi yang unggul dalam setiap perubahan lingkungannya. Selamat bertugas Jenderal Tito. Menjadi pemimpin pada dasarnya siap untuk melayani, bukan dilayani. Siap mempertahankan independensi dan menjaga jarak dengan setiap kekuatan yang ingin membusukkan institusi Polri. Yakinlah bahwa ”Gusti Allah ora sare” dan rakyat percaya bahwa Jenderal Tito akan mampu membentuk dan membangun tim yang bekerja keras untuk melanjutkan dan mengembalikan Polri agar kembali dipercaya oleh rakyatnya sendiri. Kepercayaan adalah modal utama untuk berdiri di atas panggung pengabdian. M NASIR DJAMIL Anggota Komisi III DPR RI
  • 41. 41 Tito, Polri, dan Pemberantasan Korupsi 15-07-2016 Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya melantik Jenderal Polisi Tito Karnavian, Rabu (13/7) lalu, di Istana Negara sebagai kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Dalam acara pelantikan Kapolri tersebut, melalui pidatonya, Presiden Jokowi menekankan pentingnya pelaksanaan reformasi internal untuk menyelamatkan wajah Polri. Melalui artikel ini, penulis akan memfokuskan pada salah satu agenda reformasi Polri yang mendesak terkait dengan pemberantasan korupsi di Indonesia. Ini akan menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi beliau saat secara resmi mengambil alih tongkat komando pimpinan Polri dari Jenderal Badrodin Haiti. Terlepas dari kemajuan dalam mempertahankan sistem demokrasi setelah hampir 20 tahun belakangan ini, reformasi sistem penegakan hukum salah satu sektor yang tidak mengalami kemajuan signifikan. Dalam survei yang dilakukan oleh the World Global Justice terhadap 100.000 keluarga dan 2.400 ahli mengenai pengalaman praktis terkait penegakan hukum, Indonesia hanya memperoleh skor 0.52 (tertinggi 1) dan menempati peringkat ke-52 dari 102 negara yang disurvei. Dalam komponen absennya korupsi pada kepolisian/militer, Indonesia hanya memperoleh skor 0.43. Sedangkan dalam indeks kebebasan (freedom index) tahun 2016 yang menempatkan Indonesia dalam kategori negara sebagian bebas (partly free), pada komponen penegakan hukum Indonesia mendapat skor terendah, yakni 5 dari nilai maksimum 16. Polri dan Kasus Korupsi Polisi melepaskan diri dari militer yang waktu itu dikenal dengan nama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 1999, merupakan salah satu mandat reformasi yang ingin mengurangi dominasi militer yang sangat berkuasa di masa Orde Baru. Posisi polisi secara politik menjadi lebih kuat dengan disahkannya Undang-Undang Kepolisian Nomor 2/2002. Namun dalam perjalanannya berbagai kontroversi muncul dalam konteks penanganan kasus korupsi besar, yang melibatkan petingginya, dan juga konflik dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada masa Kapolri Sutanto (2005-2008) terdapat beberapa usaha penertiban dalam organisasi kepolisian saat menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan para petinggi polisi. Hasilnya pada kasus penerbitan fiktif letter of credit dari Bank Nasional Indonesia
  • 42. 42 (BNI), untuk pertama kalinya di era Reformasi petinggi polisi bintang tiga dan beberapa perwira tinggi lainnya divonis bersalah oleh pengadilan karena kasus korupsi. Dengan semakin berfungsinya KPK di era periode pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009), lagi-lagi beberapa kasus korupsi melibatkan beberapa perwira tinggi polisi. Pertama kalinya mantan kapolri dan jenderal polisi bintang empat divonis bersalah atas dugaan pungutan liar saat menjabat sebagai duta besar Malaysia. Dan pada masa periode kedua Presiden SBY (2009-2014), KPK lagi-lagi mengungkapkan kasus korupsi yang melibatkan perwira tinggi Polri. Dalam kasus pengadaan mesin driving simulator untuk pengurusan surat izin mengemudi (SIM), mantan kepala Korlantas divonis bersalah karena menurut temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), diduga terdapat kerugian bagi negara di atas Rp121 miliar. Dalam kasus ini terdapat eskalasi konflik antara KPK dan polisi yang menyebabkan Presiden SBY turun tangan dalam menurunkan tensi politik antara kedua institusi, yang dipicu oleh upaya penangkapan penyidik KPK Novel Baswedan. Sementara di awal era Presiden Jokowi yang baru dilantik pada Oktober 2014, lagi-lagi konflik antara KPK dan polisi kembali timbul. KPK yang saat itu yang dipimpin oleh Abraham Samad menetapkan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka. Namun pada akhirnya, Pengadilan Jakarta Selatan menggugurkan status tersangka BG tersebut. Namun, kejadian itu membawa implikasi politik selanjutnya di mana dua pimpinan KPK, Bambang Widjajanto dan Abraham Samad, dijadikan tersangka oleh polisi. Keduanya terjerat kasus lama. Namun setelah kasus ini dilimpahkan kepada kejaksaan, Jaksa Agung Prasetyo akhirnya memutuskan untuk mengesampingkan perkara (deponering) dari Bambang dan Abraham atas nama kepentingan publik yang lebih luas pada Maret 2016. Identifikasi Masalah Polri Berbagai macam studi yang telah dilakukan mencoba mengidentifikasikan berbagai masalah di dalam institusi Polri. Dalam laporan yang diterbitkan oleh International Crisis Group (ICG) pada 2012, berargumen bahwa budaya militer masih teramat kuat di institusi kepolisian sehingga fungsi pelayanan masyarakat menjadi tidak maksimal. Selain itu, juga ICG mengidentifikasikan masalah kualitas SDM di dalam kepolisian di mana akibat rekrutmen yang tidak transparan dan akuntabel, sehingga sulit untuk menanamkan budaya kerja secara profesional. Riset yang dilakukan oleh Jacqui Baker dalam artikelnya berjudul the Rhizome State: ”Democratizing Indonesias off-budget Economy (2015)”, mengidentifikasikan bahwa kekurangan biaya operasional dalam organisasi Polri memberikan insentif kepada para perwira untuk berjiwa ”kewirausahaan” guna menutupi kekurangan dana tersebut. Akibatnya
  • 43. 43 aktivitas ekonomi tidak resmi inilah, maka sistem organisasi kepolisian menjadi disfungsional. Sementara temuan dari penelitian yang dilakukan oleh akademisi Selandia Baru John W Buttle and Sharyn Graham Davies bersama dengan Adrianus Meliala dari UI yang berjudul ”A Cultural Constraint Theory of police corruption: Understanding the persistence of police corruption in contemporary Indonesia (2015)” adalah polisi tidak bisa disalahkan sepenuhnya terhadap korupsi yang timbul di institusi mereka. Menurut John W Buttle dkk., norma dan kebiasaan di dalam masyarakat Indonesia --misalnya dengan membayar suap-- turut memperkuat praktek korupsi di kepolisian. Tentu saja Tito sangat menyadari berbagai masalah di tubuh kepolisian tersebut. Seusai dilantik, dia berjanji untuk mengurangi budaya koruptif institusi Polri, yang salah satunya dengan mewajibkan pelaporan harta kekayaan para pejabat Polri, meski dilakukan secara bertahap. Dari segi kepangkatan, kualifikasi akademis, pengalaman dan prestasinya di atas kertas, seharusnya Tito mampu mendorong reformasi kepolisian yang lebih progresif, dibandingkan pendahulunya. Oleh karena itu, kualitas kepemimpinan beliau akan menjadi kunci untuk dapat merealisasikan perubahan tersebut dengan tingkat resistensi yang minimal baik dari pihak internal maupun eksternal Polri. VISHNU JUWONO Dosen Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi UI dan Kandidat Doktor di London School of Economics and Political Science (LSE)
  • 44. 44 Beragama adalah Bernegara 16-07-2016 Masih ada saja orang yang mempertentangkan antara tugas bernegara dan tugas beragama. Mereka menganggap melaksanakan tugas agama (ibadah) tidak mempunyai kaitan dengan melaksanakan tugas negara. Di kalangan kaum muslimin di Indonesia, pendapat yang seperti ini ada juga. Padahal, dari sudut Islam, melaksanakan tugas negara itu ya melaksanakan tugas agama. Pandangan ini bisa dilihat dari misi kenabian. Ketika Nabi Muhammad mendapat wahyu untuk mengajak umat manusia, utamanya kaum Qurais, menyembah Tuhan Yang Maha Esa atau mengajak kembali ke tauhid, perintah ikutannya adalah melawan kezaliman dan membongkar struktur sosial yang tidak berkeadilan. Nabi pun melawan tokoh-tokoh Qurais yang korup dan tidak adil seperti Abu Jahal, Abu Lahab. Nabi juga diperintahkan oleh Allah untuk mengajak umatnya berjuang mengentaskan masyarakat kemiskinan dan mengangkat kaum lemah-papa (duafa). Di dalam ayat-ayat Alquran yang turun pada periode Mekkah (sebelum Nabi hijrah ke Madinah), perintah membangun kesejahteraan sosial itu sangat tegas.Di dalam Surat Al-Maun, misalnya, disebutkan bahwa orang yang mengabaikan anak yatim dan tidak peduli kepada orang miskin adalah pendusta (bohong dan berpura-pura saja) dalam beragama. Bahkan di surat yang sama dikatakan bahwa orang yang salat itu akan diganjar dengan neraka (wayl) jika lalai dalam salatnya. Lalai dalam salat bukan hanya berarti malas melakukan ritualnya sesuai dengan rentang waktu-waktunya, melainkan juga lalai terhadap konsekuensi sosial dari salat. Konsekuensi sikap sosial dari salat itu disimbolkan oleh gerakan terakhir salat, yakni mengucapkan salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Salat dimulai dengan takbir (Allahu Akbar) yang berarti hanya beriman dan akan menyembah Allah Yang Maha Esa (vertikal). Salat diakhiri dengan salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri yang berarti setelah salat akan memperhatikan keadaan di kanan dan di kiri (horizontal), yakni memperhatikan kehidupan sekeliling dan siap membangun kesejahteraan masyarakat. Itulah tugas dan kewajiban dalam beragama. Tugas dan kewajiban yang bersumber dari agama tersebut sama belaka dengan tugas dan kewajiban bernegara berdasar konstitusi di Indonesia. Menurut Alinea I Pembukaan UUD 1945 Indonesia memerdekakan diri dari penjajahan karena penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Selanjutnya menurut Alinea IV Pembukaan UUD 1945 salah satu tujuan negara kita adalah memajukan kesejahteraan umum. Tujuan negara tentang pembangunan kesejahteraan sosial
  • 45. 45 itu diperkuat lagi di dalam sila kelima dari dasar negara (Pancasila), yakni ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Bukan hanya itu. Di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dicantumkan juga satu bab tersendiri tentang tugas membangun kesejahteraan masyarakat, yakni Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Pada Pasal 33 yang merupakan bagian dari Bab XIV tersebut ditekankan bahwa sumber daya alam kita dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya pada Pasal 34 ditegaskan juga bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara dan negara harus membangun sistem jaminan sosial dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Dengan demikian secara mendasar ada perhimpitan dalam arti kesamaan kewajiban yang dibebankan kepada kita oleh agama dan oleh negara, yakni membangun kesejahteraan umum dan keadilan sosial, mengangkat kaum duafa dari keterpurukan. Jadi beragama adalah bernegara, melaksanakan kewajiban agama adalah melaksanakan kewajiban negara. Isi Surat Al-Maun dalam Alquran adalah sama dengan isi Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang mewajibkan kita menolong anak yatim (telantar) dan memedulikan orang-orang miskin. Karena ada perhimpitan misi dan tugas yang seperti itu, maka ada yang berpendapat bahwa membayar pajak sebagai kewajiban terhadap negara itu sama wajibnya dengan membayar zakat sebagai kewajiban dalam agama. Bahkan ada yang berpendapat lebih jauh dari itu, membayar pajak itu dapat dijadikan sebagai ganti pembayaran zakat. Kita tidak harus sependapat dengan hal tersebut, tetapi pesan dasar yang bisa disepakati adalah: membela kaum lemah-papa (duafa), anak yatim telantar, dan fakir miskin merupakan kewajiban atau tugas suci kita di dalam beragama dan bernegara. Maka itu, siapa pun kita akan menjadi pendusta atau berpura-pura saja dalam beragama kalau kita tidak mau menegakkan keadilan dan tidak ikut membangun struktur sosial dan politik yang adil. Orang yang tak peduli dan tak berani menegakkan keadilan bagi kaum duafa juga dapat dianggap tidak mempunyai nasionalisme atau sikap pembelaan terhadap eksistensi bangsa dan negaranya. Mengapa? Karena kemiskinan bisa menimbulkan kekufuran atau suka melanggar karena terpaksa dan didesak oleh kebutuhan. Mengapa pula? Karena ketidakadilan menjadi bibit runtuhnya sebuah negara. Saya sering mengatakan, basis nasionalisme kita ke depan tidak dilakukan dengan perang yang didukung peralatan perang fisik melawan agresi negara lain. Basis nasionalisme kita ke depan adalah penegakan hukum dan keadilan. Kalau mau membela negara, tegakkanlah hukum dan keadilan. Kalau kita tak mau menegakkan hukum dan keadilan untuk mengangkat derajat kemanusiaan kaum lemah, bisa diartikan rasa nasionalisme kita tipis karena membiarkan terjadinya ancaman bagi eksistensi negara dan bangsa.
  • 46. 46 MOH MAHFUD MD Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN- HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
  • 47. 47 Kudeta dan Publik 18-07-2016 Pertanyaan menarik seorang kolega via media sosial terkait dengan kudeta militer di Turki yang gagal, apakah semata-mata karena internal militer Turki yang tidak solid atau pesona politik Tayyip Erdogan yang begitu karismatik sehingga mampu mengendalikan keadaan? Keduanya memang menjadi faktor penting, tapi yang terpenting dalam kasus Turki adalah menguatnya konsolidasi publik dalam merespons ancaman yang datang dari manuver politik sebagian faksi di tubuh militer Turki tersebut. Bahkan harus diakui bahwa mobilisasi massa terkait penolakan kudeta militer tersebut juga menguatkan argumentasi bahwa integrasi kepemimpinan politik sipil dengan dukungan masif publik akan mampu memproteksi sistem politik demokrasi yang tengah berjalan tersebut. Bahwa kemudian Erdogan memiliki agenda menggeser orientasi politik negara Turki dari sekularisme Kemal Attaturk ke yang lebih agamais sebagaimana ideologi politik Partai Keadilan & Pembangunan (AKP), respons yang baik dengan terlebih dahulu dilakukan adalah mencegah praktik kekuasaan politik tidak demokratis yang coba dilakukan oleh faksi militer Turki dalam bentuk kudeta militer. Hal ini juga meyakinkan penulis bahwa ketika Erdogan mencoba merealisasikan agenda politiknya dengan mengubah ideologi politik Turki dari sekularisme Kemal Atturk menjadi ideologi yang lebih agamais, publik Turki juga akan melakukan penolakan yang kurang-lebih sama dengan apa yang dilakukan saat menolak kudeta militer Turki. Gerakan rakyat yang menjatuhkan rezim pemerintahan banyak terjadi di sejumlah negara. Namun, hal yang berbeda adalah bagaimana publik memproteksi pemerintahan yang tengah berkuasa di Turki. Saat Presiden Muhammad Mursi juga digoyang oleh kudeta militer di Mesir, langkah yang sama juga coba dilakukan dengan membangun konsolidasi rakyat untuk memproteksi kekuasaan Mursi. Karena publik sudah terpecah akibat kebijakan yang kurang tepat Mursi, langkah untuk memproteksi kekuasaan pemerintahan sipil demokratis di Mesir gagal dilakukan, militer Mesir melenggang merebut kekuasaan Mursi yang seumur jagung. Ada empat alasan mengapa konsolidasi publik sangat cepat dan efektif dalam melawan dan mencegah kudeta militer berhasil di Turki, yakni: Pertama, pengalaman rakyat Turki yang telah mengalami sejumlah kudeta militer sejak 1960 hingga 2016, empat kudeta sebelumnya berhasil mengambil kekuasaan pemerintahan yang sah. Yang lainnya digagalkan karena pemerintah yang berkuasa tersebut cepat mengindikasikan gerakan sekelompok militer yang berupaya merebut kekuasaan. Pada 2003 rencana kudeta bahkan dapat digagalkan dan