Dokumen tersebut membahas pentingnya membangun budaya dialog antar umat beragama di Indonesia. Dialog diperlukan untuk memperkuat persatuan dan kerukunan antar umat beragama yang beragam di Indonesia. Tokoh agama dipandang memiliki peran penting dalam mempromosikan dialog dan kerja sama antar umat beragama untuk memperkuat persatuan bangsa. Pancasila dianggap sebagai dasar yang tepat untuk membangun masyarakat Indonesia yang inklusif dan
1. MEMBANGUN BUDAYA DIALOG
( J. Pujasumatra )
Pengantar
Sarasehan dan dialog antar agama ini kita selenggarakan
dalam rangka merayakan Hari Raya Waisak 2545. Serasehan
ini dapat kita jadikan kesempatan untuk berdialog, suatu
kesempatan bagi kami, umat Katolik, untuk melaksanakan
ajaran Konsili Vatikan II sebagaimana tertuang dalam
"Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan agama-agama
bukan Kristiani" (Nostra Aetate, 28 Oktober 1965)
"Gereja mendorong para putera-puterinya, supaya
dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog
dan kerja sama dengan para penganut agama-agama
lain, sambil memberi kesaksian tentang
iman serta perihidup Kristiani, mengakui,
memelihara dan mengembangkan harta kekayaan
rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya,
yang terdapat pada mereka". (NA, 2).
Dalam pernyataan itu mengenai Buddhisme
dijelaskan secara singkat sbb, "Buddhisme dalam
pelbagai alirannya mengakui, bahwa dunia yang
serba berubah ini sama sekali tidak mencukupi,
dan mengajarkan kepada manusia jalan untuk
dengan jiwa penuh bakti dan kepercayaan
memperoleh keadaan kebebasaan yang sempurna,
atau - entah dengan usaha sendiri entah berkat
bantuan dari atas - mencapai penerangan yang
tertinggi." (NA, 2).
Dialog itulah yang hendak kita kembangkan dalam
realitas Indonesia .
Realita Indonesia : Membangun Budaya Dialog
Realitas Indonesia adalah realitas beragam: beragam
dalam budaya, agama dan kondisi sosial-ekonomi-politik.
Dalam keragaman beragama Indonesia merupakan tanah
subur bagi benih-benih penghayatan agama-agama : agama-
2. agama asli, Hindu, Buddha, Islam, Konghucu,
Kristen/Katolik. Suku-suku yang beraneka memperkaya
keberagaman budaya. Realitas pahit yang mewarnai kondisi
sosial-ekonomi-politik adalah kesenjangan dalam
kepemilikan ; realitasnya mayoritas penduduk Indonesia
miskin karena ketidakadilan yang struktural sifatnya.
Terhadap realitas tersebut penghayatan agama baru
benar-benar relevan bagi realitas masyarakat Indonesia, bila
umat mengembangkan dialog tiga arah : dialog dengan
kaum miskin, dialog dengan berbagai umat beragama lain,
dan dialog dengan budaya setempat. Istilah "dialog"
bentukan dari kata Yunani : "dia" dan "loge". Dia =
mendalam, menembus; loge = pembicaraan. Arti kata dialog
adalah pembicaraan mendalam, yang mengantar orang
sampai pada pengenalan akan jati dirinya sebagai manusia.
Karena itu membangun budaya dialog berarti
mengembangkan sikap hidup bersama saling menghargai
dan menghormati sebagai manusia, citra Allah. Citra Allah
itulah jati diri manusia terdalam yang melampaui
kemajemukan manurut suku, agama, ras serta golongan.
Membangun budaya dialog merupakan upaya
mengembangkan sikap iman yang terbuka. Karena
keberagaman pemahaman (teologis) akan makna
keselamatan,umat beragama dapat mengambil sikap yang
berbeda dalam relasinya dengan umat yang lain.
Sikap eksklusif sektarian muncul dari pemahaman, bahwa
keselamatan untuk kelompok agamanya melulu di luar
agamanya sebagai institusi tidak ada keselamatan. Paham
demikian ini menjadi tanah gersang bagi dialog. Karena itu,
harus di tinggalkan, dan di kembangkan sikap inklusif
toleran, terbuka, menerima yang lain, karena diluar
agamanya ada juga benih-benih keselamatan. Dalam sikap
toleran ini yang lain di terima sebagai realitas yang-apa
boleh buat harus diterima sebagai beban sosial. Karena itu
sikap inklusif toleran perlu di kembangkan lagi menjadi sikap
plural dialogal sikap yang menghargai pluralitas sebagai
realitas hidup bersama, yang dalam dialog pluralitas itu
justru menjadi rahmat yang saling melengkapi dan
memperkaya.
Realitas Indonesia dewasa ini di tandai pula oleh proses
transisi dari pola hidup yang lama menuju pola hidup baru,
3. sebagai dampak dari krisis multi dimensi. Dalam masa
transisi ini kepentingan-kepentingan sesaat dari kelompok
tertentu menjadi ancaman nyata bagi terjadinya dialog yang
jujur, ikhlas dan tulus hati. Oleh karena itu, hendaknya kita
mulai berani menggali mutiara berharga yang selama tiga
dekade terpendam dalam lumpur KKN mutiara itu adalah
Pancasila.
Pancasila : Daya Untuk Melayani Rakyat
Dalam proposal sarasehan umat beragama ini di
cantumkan dasar pemikiran antara lain : "Pancasila sebagai
dasar negara kesatuan Republik Indonesia wajib di pahami
serta di amalkan oleh seluruh bangsa Indonesia secara baik
dan benar" (h.1) pemikiran tersebut hendaknya kita jadikan
sebagai dasar bagi upaya untuk membangun masyarakat
Indonesia baru.
Dalam kondisi bangsa yang mati rasa dewasa ini, perlu di
bangkitkan kesadaran kita akan nilai-nilai universal yang
telah pernah tumbuh dari budaya bangsa sebagai dasar
untuk membangun masyarakat Indonesia baru, berdasar
pada nilai-nilai yang dituangkan dalam Pancasila yang
dikembangkan dalam wacana publik, kita ciptakan suatu
budaya hidup bersama ("corporate culture") sebagai bangsa
Indonesia. Bila nilai-nilai Pancasila dapat di terangkan secara
kontekstual pada jaman ini, tanpa terjebak dalam
sloganisme, saya kira kita dapat melaksanakan peran kita
untuk menggali lagi nilai-nilai universal yang tersimpan
dalam Pancasila, dan mengajak seluruh masyarakat
Indonesia yang majemuk dalam SARA ini untuk melakukan
yang sama dan mencari aktualisasinya pada konteksnya
masing-masing dalam kerjasama dengan semua orang yang
berkehendak baik.
Saya berpendapat, bahwa upaya penggalian nilai-nilai
Pancasila itu sekarang ini sangat penting, setelah ki ta
mengambil jarak secukupnya dari Pancasila di jadikan slogan
untuk melegitimasi regim orde baru menuju > era
pemberdayaan masyarakat yang memerlukan nilainilai
universal nuntuk mendasari hindup bermasyarakat,
berbangsa bernegara.
Secara kreatif untuk jangka jauh ke depan perlu
4. diusahakan melalui lembaga pendiddikan formal maupun non
formal : suatu pendidikan kewargaan yang memerdekakan
("a civic education for liberation ") yang mengantar warga
bangsa ini menjadi manusia-manusia yang merdeka yanbg
dewasa dan bertanggung jawab. Dan untuk jangka pendek
"Hentikan segera perselisihan antar elite !" (Lh KOMPAS 20
April 2001, h.6 )
Dalam Surat Gembala Paska 2001 para Gembala Gereja
katolik mengingatkn kita akan pentingnya Pancasila sebagai
falsafah dasar negara, yang dapat di mengerti sebagai daya
untuk melayani rakyat.
"Dalam hubungan ini kami ingatkan kembali
mengenai pentingnya Pancasila. Kenyataan bahwa
Pancasila di bawah pemerintahan Orde Baru telah
disalahgunakan sebagai ideologi penunjang
pemerintahan yang tidak mau mencari legitemasi
rakyat, tidak boleh menjadi alasan untuk
meremehkan Pancasila. Hanya atas dasar Pancasila
pluralitas etnik, budaya, religius dan sosial
masyarakat seluruh Nusantara bersepakat mau
bersatu dalam satu negara. Demi persatuan dan
kesatuan bangsa komitmen bangsa Indonesia pada
Pancasila sebagai falsafah dasar negara perlu
senantiasa ditegaskan kembali. Kita memerlukan
Pancasila yang dimengerti sebagai daya untuk
melayani dan bukan untuk menguasai. Ketika
Pancasila hanya dimengerti dalam bahasa
kekuasaan, maka politik merupakan usaha
penumpukan kekuasaan untuk diri seseorang atau
kelompoknya sendiri dan demikian matilah moral
politik yang hakekatnya untuk kesejahteraan
bersama. Peristiwa-peristiwa penuh kekerasan
yang menelan banyak korban merupakan akibat
darikekuasaan yang dijadikan panglima.
Mari kita bangkit bersama, menghidupkan kembali
politik dalam dayanya untuk melayani. Mari kita
hayati kembali Pancasila sebagai daya untuk
melayani rakyat banyak menuju kesejahteraan
yang merata. Mari kita bangkit dan Pancasila kita
jadikan daya sosial, kekuatan untuk integrasi,
misalnya integrasi antara mereka yang datang
sebagai transmigran dan penduduk asli. Mari kita
5. jadikan Pancasila sebagai kekuatan untuk
terbinanya solidaritas antara yang memiliki lebih
dan mereka yang berkekurangan, antar mereka
yang lebih terpelajar dan mereka yang masih
terbelakang. Dengan demikian politik yang
dikembangkan adalah untuk kesejahteraan
bersama. Dengan demikian subur kembalilah
persaudaran dan solidaritas nasional secara nyata.
"(Lh. Surat Gembala Paska 2001 "Tekun dan
Bertahan dalam Pengharapan" Menata Moralitas
Bangsa, h. 21 - 22).
Peran Tokoh Agama Dalam Mempersatukan
Bangsa
Tokoh agama - karena ditokohkan - diandaikan telah
mengalami proses penerangan (enlightment), sehingga
menjadi seorang yang tercerahkan (enlighted) karena
pengalaman akan yang Transenden. Dengan terang ilahi ia
diharap sekali tidak mencukupi.
Pengalaman akan Yang Transenden menjadi pengalaman
yang memerdekakan dari kesempitan realitas dunia,
membebaskan manusia dari topeng-topeng yang menutupi
jatidirinya yang terdalam. Pengalaman religius tersebut
dapat mengantar seseorang untuk terbuka hati, budi dan
pikirannya, untuk menjangkau cakrawala tanpa batas dalam
membangun solidaritas antar manusia yang multidimensi.
Dalam konteks Indonesia yang majemuk ini menjadi religius
(being religious) berarti menjadi antar religius (being
interreligius). Menjadi antar religius itu diwujudkan dalam
dialog dan kerja sama dengan siapapun yang berkehendak
baik.
Dalam mengembangkan dialog dan kerja sama itu tokoh
agama perlu melaksanakan fungsi kepemimpinan yang
mengikutsertakan (partisipatif), mengembangkan
(transformatif) dan memberdayakan (empowering) seluruh
umatnya. Kepemimpinan yang mengikutsertakan berarti
menyediakan ruang bagi umat untuk ambil bagian,
berpartisipasi serta terlibat aktif dalam proses penerangan
hati, budi dan pikiran untuk dapat mengenali kebenaran
sejati. Kepemimpinan yang mengembangkan berarti
mengupayakan umat berkembang, menjadi mampu
6. mengubah serta membarui diri dan situasi masyarakat
secara mendasar, agar terjadi perubahan struktural
paradigmatik. Dan kepemimpinan yang memberdayakan
berarti menerima, mengakui dan sedia berbagi karunia di
antara umat, agar seluruh umat semakin berdaya karena
saling melengkapi dan memperkaya. (Bdk. Arah Dasar
Keuskupan Agung Semarang (2001-2005, h. 23-25)).
Dengan pola kepemimpinan sedemikian itu dapat
dikembangkan pula komunitas-komunitas basis antar religius
yang terbuka pada jaringan komunikasi dan kerja sama,
semakin mendalam dan meluas.
Semoga sarasehan untuk dialog ini dapat menjadi
kesempatan bagi kita untuk berjalan bersama melalui jalan
kebenaran dengan jiwa penuh bakti dan kepercayaan
memperoleh keadaan kebebasan yang sempurna atau
mencapai penerangan tertinggi.
Semarang, 22 April 2001
Disampaikan dalam Sarasehan Umat Beragama, yang diselenggarakan
oleh PC Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi) Kota
Semarang, di Vihara Tanah Putih, Semarang, pada tanggal 22 April 2001.
DO'A UNTUK PERDAMAIAN
Allah, yang maha pengasih dan maha penyayang,
Sang Tiratana
Al Rahman wa 'al Rahim,
sumber kasih yang mempersatukan,
dariMu kami berasal dan padaMu kami berakhir
Kauciptakan kami manusia, pria dan wanita
di bumi Indonesia ini.
Kami bersyukur atas segala anugerah dariMu
Terutama persaudaran yang boleh kami bangun bersama.
Selamatkanlah bangsa kami,
Bebaskan dari kekuatan-kekuatan jahat
yang merusak dan mencerai-beraikan
7. Curahkanlah ke dalam hati kami Ruh Ilahi-Mu
daya kekuatan kebenaran yang memperdayakan kami
membangun persaudaran sejati di antara kami.
Kembangkan sikap rendah hati,
agar kami bersedia masuk ke dalam kerahiman-Mu sendiri,
bersilaturahmi, supaya kami dapat lahir kembali
menjadi manusia-manusia baru
untuk membangun Indonesia tercinta.
Doronglah kami supaya dapat bertekun dan setya,
jujur, ikhlas dan tulus hati
menebarkan benih-benih berkah di bumi Indonesia ini.
Supaya damai sejahtera merata ditengah-tengah kami
Doa ini kami panjatkan kepadaMu
demi kemuliaan nama-Mu
Dan demi keselamatan seluruh bangsa kami.
Amin
Didoakan bersama di :
1. PONDOK PESANTREN RIBATUL MUTA'ALLIMIN
Pekalongan pada Serasehan Perdamaian (Upaya
Preventif Mencegahkan Kekerasan yang berkedok
Agama), Senin, 26 Maret 2001 M, 1 Muharram 1422 H
;
2. VIHARA TANAH PUTIH, Jl. Dr. Wahidin 12, Semarang
pada Sarasehan Umat Beragama, Minggu, 22 April
2001 menjelang Hari Raya Waisak 2545.