SlideShare a Scribd company logo
1 of 154
1
DAFTAR ISI
MENGHINDARI “SETAN LEWAT”
Lukas Setia Atmaja 4
2ND GEN CHALLENGES (2)
Yuswohady 6
ANTISIPASI PERLAMBATAN EKONOMI TERHADAP
PENGANGGURAN
Firmanzah 9
ILUSI TAX AMNESTY
Hardy R Hermawan 12
MIR
Rhenald Kasali 15
PEREMPUAN DAN KEUANGAN INKLUSIF
Mukhaer Pakkanna 18
KELAUTAN SEBAGAI MESIN PERTUMBUHAN EKONOMI BARU
Rokhmin Dahuri 21
MENGUKUR KEPRIBADIAN SAHAM
Lukas Setia Atmaja 25
NOTHING TO LOSE
Yuswohady 27
KHITAH EKONOMI KERAKYATAN NU
A Helmy Faishal Zaini 30
REKLAMASI MEMARGINALKAN NELAYAN
Muhamad Kasim 33
MENIMBANG ULANG WACANA TAX AMNESTY
Dzulfian Syafrian 36
TOURISM: OLD VS NEW DAN DISRUPTION TREND
Rhenald Kasali 39
DESA: MATA AIR VS AIR MATA
Khudori 43
MEMANUSIAKAN PEKERJA ALIH DAYA
Elisa Lumbantoruan 46
2
INSTRUMEN INVESTASI DAN TARGET TAX AMNESTY
Evi Ratnasari 49
MENGAPA HARUS TAX AMNESTY?
Candra Fajri Ananda 52
TAX AMNESTY DAN POTENSI PEMBANGKANGAN WAJIB PAJAK
Bambang Soesatyo 56
PAKET KEBIJAKAN PRO-BURUH KAPAN DIRILIS?
Bhima Yudhistira Adhinegara 60
FAMILY VALUES
Yuswohady 63
URGENSI MEMPERCEPAT AKSES KEUANGAN DI DAERAH
Fauzi Nugroho 66
REGULATOR DAN OPERATOR YANG CERDAS
Rhenald Kasali 69
SISTEM PEMBAYARAN ERA TEKNOLOGI DIGITAL
Achmad Deni Daruri 73
JANGAN MENUNGGU GODOT
Lukas Setia Atmaja 76
BUSINESS FIRST, BUKAN FAMILY FIRST
Yuswohady 78
ROBBY DJOHAN THE LEGEND OF BANKER
Eko B Supriyanto 80
PRINSIP PARTISIPATIF PADA PEMBANGUNAN DESA
Candra Fajri Ananda 83
MENGENDALIKAN KONSUMSI PANGAN
Posman Sibuea 86
APA KABAR TPP DAN RCEP?
Dinna Wisnu 90
MENEGAKKAN (LAGI) KEDAULATAN MARITIM
Dedi Purwana ES 94
EKONOMI BARU DAN REFORMULASI STRATEGI
Rhenald Kasali 97
MENAKAR DAYA SAING PASAR MODAL SYARIAH
Muhammad Touriq 101
3
OPTIMISME EKONOMI INDONESIA
Tirta Segara 104
REPATRIASI TAX AMNESTY DAN KESEJAHTERAAN
Danu Sandjoyo SAB 107
AMERIKA-VIETNAM
Dinna Wisnu 110
DEFLASI
Rhenald Kasali 113
BELAJAR DARI ROTTERDAM
Elfindri 117
STRATEGI PENGUATAN INDUSTRI ENERGI NASIONAL
Ali Ahmudi 120
ADA APA DENGAN RIGHTS ISSUE?
Lukas Setia Atmaja 124
BRI DAN BRANDING SATELIT
Yuswohady 127
MEWASPADAI ANCAMAN INFLASI
Candra Fajri Ananda 130
ISE-SHIMA SUMMIT DAN JOKOWI
Tirta N Mursitama 134
KONSEPSI KEMANDIRIAN EKONOMI SOEKARNO
Eko Sulistyo 137
SATELIT BRI DI KURVA KEDUA
Rhenald Kasali 140
MARHABAN YA RAMADHAN, MARHABAN YA INFLASI
Bhima Yudhistira Adhinegara 143
ADA APA DENGAN STOCK SPLIT?
Lukas Setia Atmaja 146
DISRUPT!
Yuswohady 148
JOKOWI, RAMADHAN, DAN HARGA PANGAN
Khudori 150
GOOD BRAND = EFFICIENCY
Heru Gunadi 153
4
Menghindari ”Setan Lewat”
17-04-2016
Sukses berinvestasi, baik pada aset riil maupun finansial, tergantung pada lima hal:
Kemampuan menemukan dan menganalisis peluang investasi, keberanian mengambil risiko,
perencanaan investasi yang matang, eksekusi perencanaan investasi yang baik, dan
mengendalikan emosi.
Kita akan membahas terlebih dahulu aspek terakhir, pengendalian emosi. Novel klasik
berjudul Dr Jekyll and Mr Hyde karya Louis Stevenson (1886) mengisahkan Dr Jekyll yang
amat santun, ramah dan banyak teman. Sebaliknya, Mr Hyde adalah pria yang misterius,
kejam, dan pembunuh. Keduanya tidak bisa tampil bersamaan karena sejatinya Mr Hyde
adalah transformasi dari Dr Jekyll setelah minum suatu ramuan. Mr Hyde merupakan
ekspresi dari kepribadian tersembunyi Dr Jekyll.
Semakin hari, kekuatan Mr Hyde semakin bertambah sehingga Dr Jekyll harus minum
ramuan lain untuk mempertahankan jati dirinya. Akhirnya Dr Jekyll menyerah kalah, ia
sepenuhnya menjadi Mr Hyde.
Mirip dengan Jekyll dan Hyde, seseorang bisa memiliki dua ”kepribadian” yang berbeda:
Tuan Rasional dan Tuan Emosional. Tuan Rasional sadar bahwa ia harus berinvestasi untuk
masa tuanya. Tuan Emosional lebih suka berfoya-foya. Tuan Rasional ingin tetap sehat dan
langsing. Tuan Emosional tidak tahan melihat es krim dan gulai kambing.
Dan Ariely, pakar behavioral economist dari MIT, berteori bahwa pembuatan keputusan
dipengaruhi oleh kondisi emosional (hot stage) atau rasional (cool stage). Dari risetnya
dengan sampel mahasiswa University of California, Berkeley, ia membuktikan bahwa
keputusan yang diambil saat hot stage amat berbeda dengan cool stage.
Saat cool stage, hampir semua mahasiswa menjawab ”No” saat ditanya apakah bersedia
berhubungan seks bebas tanpa kondom, karena takut terkena HIV. Namun pada hot stage
(kondisi terangsang secara seksual), mayoritas mahasiswa tersebut menjawab ”Yes” untuk
pertanyaan yang sama. Keputusan yang diambil saat hot stage cenderung tidak rasional
sehingga bersifat merugikan.
Dalam budaya Jawa, ada istilah ”setan lewat”. Orang baik bisa terkena ”setan lewat”, yakni
punya ide atau mengambil keputusan impulsif yang tidak rasional sehingga merugikan.
Misalnya, seseorang yang tiba-tiba ingin mencuri di toko saat melihat barang yang
diidamkan, dan penjaganya sedang sibuk melayani. Artinya, saat ada setan lewat, Tuan
Emosional berhasil meng-KO Tuan Rasional.
5
Pemain bulu tangkis legendaris, Rudy Hartono, sang juara All England delapan kali, terkenal
memiliki teknik yang mumpuni, stamina yang kuat, otak yang encer dan pengendalian emosi
yang bagus. Rudy adalah pemain yang cool, calm. Jika membuat kesalahan, dia tidak cepat
marah, down, dan tertekan. Sebaliknya, saat posisi sedang unggul, dia tetap waspada dan
bermain sabar. Tidak terburu-buru.
Ketenangan Rudy yang membuat lawan-lawannya takluk, termasuk Svend Pri, seteru
terberatnya yang eksentrik dan emosional. Rudy tetap bermain dengan tenang dan
bersemangat meskipun lawan sudah hampir menang. ”Sebelum poin terakhir diraih lawan,
pertandingan belum berakhir,” kata Rudy dengan yakin.
Bagaimana cara menghindari ”setan lewat” dalam berinvestasi? Pertama, kita dapat
menentukan beberapa aturan sebagai patokan untuk bertindak (rules of thumbs). Aturan ini
menjadi wake-up-call yang membangunkan kita saat Tuan Emosional mulai beraksi.
Misalnya, untuk pensiunan, jangan pernah sentuh uang pokok simpanan di deposito. Bagi
trader saham, jangan trading melebihi sejumlah uang tertentu. Bagi investor saham
berwawasan jangka panjang, komitmen untuk tetap memegang saham walau pasar sedang
bearish (lesu, harga turun). Bagi investor properti, sebaiknya berhati-hati saat terlihat ratusan
spekulan properti berebutan membeli rumah baru yang ditawarkan. Bagi investor awam,
menghindari investasi bodong seperti arisan berantai atau Skema Ponzi.
Kedua, mengendalikan lingkungan. Kita bisa menghindari objek atau situasi yang bisa
membuat Tuan Emosional muncul. Misalnya, perokok yang sedang berusaha berhenti
merokok sebaiknya tidak menyimpan rokok di rumah. Bagi investor yang mudah diombang-
ambingkan dengan berbagai sentimen/berita, sebaiknya menghindari saham dan memilih
instrumen investasi yang lebih rendah risiko seperti obligasi.
Terakhir, dan yang terpenting, hindari membuat keputusan saat hot stage. Redakan dulu
emosi dan buatlah keputusan investasi pada saat cool stage. Ungkapan dalam budaya Jawa,
”Alon alon waton kelakon” bisa diterapkan untuk menghindari ”setan lewat”.
Ungkapan ini sering disalahartikan sebagai melakukan sesuatu dengan pelan-pelan, mirip
tarian di Keraton Yogyakarta. Namun sebenarnya ia punya makna yang dalam, yakni
melakukan sesuatu secara saksama, penuh perhitungan, tidak terburu-buru. Lebih baik
kehilangan kesempatan daripada menderita kerugian karena grusa-grusu. Tanpa bertemu
”setan lewat”, harapan kita untuk mencapai tujuan investasi menjadi lebih besar.
LUKAS SETIA ATMAJA
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
6
2nd Gen Challenges (2)
17-04-2016
Untuk ketiga kalinya, 19 Mei nanti kantor saya Inventure bersama KORAN SINDO akan
menggelar Indonesia Brand Forum (IBF) 2016. Event tahunan ini diselenggarakan untuk
membangkitkan kesadaran membangun brand Indonesia untuk menjadi tuan rumah di negeri
sendiri bahkan menjadi champion di pasar global. Makanya semboyan yang selalu kami
usung adalah: Kebangkitan Nasional Kedua, Adalah Kebangkitan Brand Indonesia.
Tahun ini kami mengambil tema yang agak berbeda yaitu ”Branding Family Business”.
Kenapa kami ambil tema ini, karena rupanya lebih dari 90% brand lokal Indonesia adalah
brand perusahaan keluarga, sehingga membangun brand Indonesia tak bisa dilepaskan dari
membangun brand perusahaan keluarga.
Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, kami melakukan riset khusus mengenai topik tersebut.
Karena itu, sejak tengah tahun lalu saya dan tim melakukan riset mengenai tantangan
pemimpin generasi kedua dari perusahaan keluarga di Indonesia. Hasil riset ini akan
dihimpun dalam sebuah buku berjudul The Second Generation Challenges yang akan
diluncurkan di IBF 2016 tanggal 19 Mei nanti.
Berikut ini adalah ringkasan dari hasil riset tersebut. Tulisan bagian pertama sudah saya
sampaikan minggu lalu, berikut ini adalah tulisan bagian kedua.
Pemimpin Transformatif
Salah satu ciri umum kepemimpinan generasi kedua adalah kepemimpinan transformatif
(transformational leadership) yang mengubah perusahaan dari format traditional
entrepreneurial menjadi perusahaan modern-profesional. Tipikal perusahaan keluarga
generasi pertama adalah bersifat entrepreneurial di mana konsep-konsep manajemen modern
belum banyak diterapkan.
Sistem-sistem di dalam organisasi (operasi, SDM, keuangan, teknologi informasi, dan
sebagainya) juga belum banyak dikembangkan. Perusahaan seperti ini biasanya
mengandalkan business wisdom dan intuisi dari pemimpin generasi pertama yang sekaligus
sebagai pendiri. Dalam banyak kasus perusahaan dijalankan secara one-man show, di mana
seluruh keputusan terkonsentrasi pada si founding leader.
Begitu pemimpin generasi kedua hadir, pola kepemimpinannya mulai berubah. Pemimpin
generasi kedua umumnya sudah mengenyam pendidikan bisnis di Amerika atau Eropa dan
mereka sudah memahami konsep-konsep bisnis modern. Nah, di sinilah pemimpin generasi
7
kedua mulai mencangkokkan konsep dan sistem manajemen modern ke dalam organisasi.
Dan, transformasi menuju organisasi profesional nan modern pun dimulai.
Sistem, Bukan Tokoh
Gaya kepemimpinan transformatif kental terlihat pada sosok Michael Wanandi, presiden
direktur Combiphar. Setelah menduduki posisi puncak di Combiphar, Michael merintis
sebuah transformasi besar di tubuh organisasi dengan visi Combiphar 2020 dan
mengeksekusinya. Melalui visi tersebut, Michael ingin membawa Combiphar untuk fokus
dari bisnis obat generik ke consumer health dengan membudayakan hidup sehat dan
mencegah sakit, bukan mengobati sakit. Perubahan fokus ini mengubah secara mendasar arah
bisnis Combiphar. Tak hanya itu, Michael juga memperkenalkan budaya baru ala generasi
kedua yang lebih egaliter, terbuka, dan bernuansa kemitraan.
Pemimpin transformatif juga pekat terlihat pada sosok Shinta Kamdani, presiden direktur
Sintesa Group. Saat mengambil alih estafet kepemimpinan, Shinta mulai merintis
transformasi besar-besaran dengan menajamkan fokus bisnis yang dimasuki, membenahi
struktur organisasi, menarik profesional untuk mengisi jajaran manajemen, membangun
budaya perusahaan yang kokoh, dan segudang inisiatif lain.
New Leader, New Style
Pergantian estafet kepemimpinan dari generasi pertama ke generasi kedua biasanya juga
diikuti dengan perubahan gaya kepemimpinan. Berbagai riset mengonfirmasi bahwa dari
generasi pertama ke generasi berikutnya, gaya kepemimpinan cenderung berubah dari
informal, subjektif, dan paternalistik menuju gaya kepemimpinan yang lebih formal, objektif,
dan profesional.
Maya Watono memiliki gaya kepemimpinan yang sangat berbeda dengan ayahnya. Adji
Watono, sang ayah, adalah tipe pemimpin yang sangat entrepreneurial; mengandalkan intuisi
bisnis yang tajam; memiliki drive dan semangat yang menyala-nyala; memiliki kemampuan
relationship ke klien yang luar biasa. Sementara Maya cenderung lebih berpikir sistematis
dan runut, selalu berorientasi strategis, lebih partisipatif dan egaliter; dan selalu
mengandalkan kekuatan tim dalam melakukan pengambilan keputusan.
Namun di tengah perbedaan gaya tersebut, dua pemimpin dari dua generasi ini masih bisa
saling menyinkronkannya. Kalau enggak sinkron, pasti akan terjadi dualisme
kepemimpinan. Kalau hal ini sampai terjadi, bisa dipastikan perusahaan akan terseok-seok
dalam mengarungi jalan transformasi.
”Kalau sekarang bukan dualisme kepemimpinan, tapi kita memimpin bersama,” tegas Maya.
Maya Watono menyebutnya dengan istilah ”co-working”, yaitu kolaborasi kepemimpinan
antara generasi pertama dan kedua.
8
Keroyokan
Mengenai kerja kolaborasi di dalam perusahaan keluarga, kasus yang terjadi di Grup Hotel
Tugu membawa lessons learned yang sangat berharga. Bisnis hotel dan restoran Grup Tugu
Hotel tersebar di Jakarta, Malang, Blitar, Bali, hingga Lombok. Karena cakupan bisnis yang
mulai membentang, tugas pengelolaan harus dibagi di antara pemimpin generasi pertama dan
kedua.
Di sinilah kepemimpinan keroyokan berlangsung dengan efektif dan harmonis. Pemimpin
besar tentu dipegang si ayah yang mengorkestrasikan semua portofolio bisnis secara strategis.
Annette, si pencinta restoran, memikirkan dan mengelola kelima restoran yang berpusat di
Jakarta.
Sementara si kakak, Lucienne Kristy Anhar yang lulus dari Ecole Hoteliere de Lausanne,
Swiss, bertanggung jawab mengelola hotel. Adapun Wedya, sang ibu, masih memelototi
laporan keuangan agar kinerja unit-unit usaha tetap dalam jalur yang benar dan solid
mencetak laba.
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure
www.yuswohady.com
@yuswohady
9
Antisipasi Perlambatan Ekonomi terhadap
Pengangguran
18-04-2016
Tren perlambatan ekonomi global dikhawatirkan akan menurunkan optimisme penciptaan
lapangan kerja dunia. Sebagai konsekuensinya, angka pengangguran berisiko meningkat
tajam. Tidak hanya negara maju, kekhawatiran ini juga dialami banyak negara emerging dan
berkembang, tak terkecuali Indonesia.
Kenaikan angka pengangguran akan memperparah kondisi ekonomi dengan munculnya
dampak turunan seperti menurunnya daya beli, terbatasnya ekspansi bisnis, dan menurunnya
pendapatan negara akibat melambatnya aktivitas perekonomian. Tidak mengherankan dalam
situasi perlambatan ekonomi global, banyak lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF,
ILO dan OECD memberikan warning kepada setiap negara agar lebih fokus dalam
melakukan kebijakan baik moneter maupun fiskal agar mampu mempertahankan penciptaan
lapangan kerja di tengah perlambatan ekonomi.
Bank Dunia memangkas target pertumbuhan ekonomi dunia 2016 menjadi hanya 2,6% dari
target awal 3,3%. IMF juga merevisi target pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,2% dari
prakiraan awal yang disusun pada Januari 2016. Di April 2016, IMF menargetkan ekonomi
dunia bisa tumbuh 3,2%, lebih rendah dari proyeksi semula yang ditetapkan sebesar 3,4%.
Revisi ke bawah target pertumbuhan ekonomi dunia masih sangat terbuka ketika belum ada
tanda-tanda pemulihan ekonomi di Cina, Eropa, dan sejumlah kawasan lain. Landainya
pertumbuhan perdagangan, investasi, dan output manufaktur dunia juga mencerminkan
perekonomian dunia memasuki periode waktu yang disebut IMF sebagai too slow for too
long.
Bagi Indonesia, kondisi perekonomian dunia langsung maupun tidak langsung akan
berdampak pada kinerja perekonomian nasional. Realisasi pertumbuhan produk domestik
bruto (PDB) nasional di 2015 yang sebesar 4,79% jauh lebih rendah dari target APBN-P
2015 yang sebesar 5,7%.
Kondisi ini berdampak langsung pada sektor ketenagakerjaan nasional. Badan Pusat Statistik
(BPS) dalam laporannya menunjukkan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus
2015 sebesar 6,18%, meningkat dibandingkan dengan posisi TPT Februari 2015, 5,81%.
Secara year on year TPT pada Agustus 2015 juga lebih tinggi dibandingkan dengan Agustus
2014 yang berada di level 5,94%. Data BPS juga menunjukkan, pada Agustus 2015, jumlah
penduduk yang bekerja turun 6,0 juta orang dari 120,8 juta di Februari 2015 menjadi 114,8
10
juta pada Agustus 2015. Peningkatan tingkat pengangguran terbuka sepanjang 2015 perlu
menjadi perhatian serius pemerintah agar di tahun 2016 kondisinya bisa menjadi lebih baik.
Sementara itu, dalam APBN 2016 ditetapkan target angka pengangguran sebesar 5,2-5,5%.
Tingginya target penurunan angka pengangguran nasional perlu menjadi fokus pemerintah
agar bisa tercapai mengingat tantangan untuk meningkatkan lapangan kerja di tengah
perlambatan perekonomian akan semakin tinggi.
Sementara itu banyak lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF juga merevisi turun
target pertumbuhan ekonomi nasional di tahun 2016. Misalnya, Bank Dunia baru-baru ini
memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2016 sebesar 5,1%. Adapun IMF
memperkirakan ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 4,9% di 2016. Kedua prakiraan
lembaga internasional itu di bawah target pertumbuhan ekonomi di APBN 2016 yang dipatok
sebesar 5,3%. Prakiraan kedua lembaga internasional tersebut perlu menjadi perhatian
pemerintah, khususnya keterkaitannya pada kebijakan penciptaan lapangan kerja dan
penurunan angka pengangguran nasional.
***
Struktur ketenagakerjaan di Indonesia sangatlah unik. Mereka yang bekerja di sektor informal
jauh lebih besar daripada dengan sektor formal. BPS mencatat pada Agustus 2015 penduduk
Indonesia yang bekerja di sektor formal sebanyak 48,5 juta orang atau 42,24%. Sementara
itu, mereka yang bekerja di sektor informal mencapai 66,3 juta orang atau 57,76%. Besarnya
tenaga kerja sektor informal, di satu sisi, membantu penyerapan tenaga kerja, tetapi di sisi
lain juga menciptakan sejumlah masalah. Pekerja di sektor informal sangat rentan terhadap
perlambatan ekonomi nasional seperti mereka yang berstatus berusaha sendiri, berusaha
dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di
non-pertanian, dan pekerja keluarga/tidak dibayar. Mereka yang bekerja di sektor informal
sangat rentan tidak hanya pemutusan hubungan kerja (PHK), tetapi juga proteksi pekerjaan
bila dibandingkan dengan mereka yang bekerja di sektor formal.
Oleh karenanya, di tengah perlambatan perekonomian dunia dan nasional, sektor
ketenagakerjaan perlu menjadi fokus kebijakan nasional. Kebijakan untuk memperluas
lapangan usaha yang padat karya perlu menjadi salah satu prioritas nasional. Paket kebijakan
yang menyasar untuk memberikan insentif tidak hanya investasi pada industri padat modal
dan padat teknologi tetapi juga padat karya.
Selain itu, kebijakan bagi perlindungan industri padat karya yang telah beroperasi agar tidak
tutup atau merelokasi industri ke negara lain juga perlu menjadi salah satu fokus
kebijakan. Kebijakan fiskal perlu tidak hanya bagi calon investor baru yang akan masuk ke
Indonesia, melainkan juga proteksi investasi padat karya.
Lebih dari itu, pengawasan di sektor ketenagakerjaan di tengah upaya menarik investasi asing
juga perlu ditingkatkan. Ini agar serbuan tenaga kerja asing non-tenaga ahli dapat dicegah.
11
Dengan demikian investasi asing akan dapat membantu penyerapan tenaga kerja nasional
secara massif.
Pemanfaatan dana desa untuk mendorong lapangan kerja di perdesaan juga menjadi semakin
penting. Dalam hal ini, koordinasi dan kerja sama lintas kementerian antara Kementerian
Ketenagakerjaan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi,
Kementerian Dalam Negeri, dan Bappenas perlu duduk bersama untuk mengaitkan
penyaluran dana desa dengan target penyerapan dan penciptaan lapangan kerja secara lebih
terukur. Target dana desa tidak hanya terbatas pada penyalurannya saja, tetapi perlu
ditambahkan berapa besar kontribusinya pada penyerapan lapangan kerja.
Selain itu, sektor ketenagakerjaan juga perlu duduk bersama dengan Kementerian
Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Pariwisata dan sektor lainnya
untuk menyusun kebijakan terobosan agar angka penyediaan lapangan kerja berjalan seiring
dengan desain industrialisasi dan investasi nasional.
PROF FIRMANZAH PhD
Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Indonesia
12
Ilusi Tax Amnesty
20-04-2016
Tak banyak pilihan bagi Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro ketika mendapati
ancaman akan tekornya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 ini.
Penerimaan pajak diduga bakal jauh di bawah target. Pun penerimaan negara dari migas dan
komoditas. Pemerintah kemudian mencoba memberlakukan tax amnesty (pengampunan
pajak). Presiden Joko Widodo bahkan sudah melakukan pendekatan ke kalangan DPR.
Namun, efektivitas tax amnesty masih belum jelas benar.
Dalam APBN 2016 pemerintah menargetkan pendapatan senilai Rp1.822,5 triliun. Ini
kenaikan 21,14% dibandingkan realisasi pendapatan 2015. Jika diurai, target pendapatan
tersebut akan didapat dari penerimaan pajak senilai Rp1.360,2 triliun, penerimaan negara
bukan pajak (PNBP) sebesar Rp273,8 triliun, penerimaan bea-cukai Rp186,5 triliun, serta
hibah Rp2 triliun.
Target penerimaan pajak yang dipatok pemerintah sungguh teramat ambisius. Dibandingkan
dengan realisasi penerimaan pajak 2015 sebesar Rp1.060,8 triliun, target 2016 ekuivalen
dengan kenaikan 28,22%. Padahal, perekonomian nasional masih dirundung kelesuan. Di
masa normal saja kenaikan pendapatan pajak sebesar 15% sudah sangat luar biasa. Jadi, dapat
dipastikan, pemerintah tak akan mampu mengejar target penerimaan pajak pada 2016 ini.
Begitu pula dengan penerimaan dari sektor migas dan komoditas. Penerimaan migas
diperoleh lewat pajak penghasilan (PPh) migas dan PNBP migas. Lantas, penerimaan
komoditas akan berupa PNBP.
Kemungkinan tak tercapainya target penerimaan migas dan komoditas disebabkan masih
rendahnya harga minyak dunia yang berada di kisaran USD40 per barel. Padahal, APBN
mengasumsikan harga minyak di level USD50 per barel. Rendahnya harga minyak ini pula
yang menekan harga komoditas di pasar ekspor. Tak ayal, harga sejumlah komoditas ekspor
utama Indonesia, pada Januari 2016, turun rata-rata 20% dibandingkan Januari 2015. Itulah
sebabnya, penerimaan pajak dan PNBP pasti akan meleset dari target.
Pemerintah mengakui soal itu. Mereka kemudian mengajukan cara lain untuk menambal
defisit penerimaan dengan cara itu tadi: pengenaan tax amnesty. Umumnya, tax amnesty
diartikan sebagai tawaran bagi wajib pajak untuk membayar sejumlah kewajiban pajak
mereka (termasuk bunga dan denda) pada masa pajak sebelumnya, dalam nilai tertentu dan
dalam waktu tertentu, tanpa dikenakan hukuman pidana. Periode tax amnesty bersifat sangat
terbatas. Ada kalanya aturan tax amnesty mengenakan hukuman lebih berat bagi mereka yang
mengabaikan amnesti, alih-alih mengikutinya.
13
***
Gagasan memberlakukan tax amnesty, kurang lebih, dilatari oleh kabar bahwa ada sekitar
Rp11.000 triliun uang orang Indonesia yang tersebar di mancanegara. Uang tersebut tidak
pernah dikenakan pajak. Padahal, jika uang tersebut masuk ke sistem perekonomian dan
dipunguti pajaknya, tentu itu akan sangat menguntungkan bagi kita.
Maka itu, disusunlah mekanisme tax amnesty. Mereka yang memiliki uang tersebut
dipersilakan mendaftarkan asetnya ke otoritas pajak di Indonesia. Untuk mendaftarkan uang
tersebut, pemerintah mengenakan uang tebus senilai 2% sampai 4% dari nilai aset. Syukur-
syukur jika uang tersebut masuk ke sistem perbankan nasional. Yang jelas, dari uang tebus
saja, pemerintah bisa mendapatkan Rp220 triliun. Nah, uang sebesar itulah yang diharapkan
menutupi tekornya pendapatan pajak kita tahun ini.
Namun, tax amnesty tak memudah membalik telapak tangan. Para praktisi perpajakan dan
kalangan pengusaha meminta ada payung hukum yang sangat kuat, berupa undang-
undang. Dan, itu belum cukup. Mengacu pada negara-negara yang berhasil mengenakan tax
amnesty, ada banyak syarat dan prasyarat untuk memastikan kesuksesan pelaksanaan tax
amnesty. Le Borgne dan Baer (2008) menegaskan, tax amnesty harus diawali dengan
memastikan penyebab ketidakpatuhan wajib pajak: apakah karena sistem perpajakannya yang
buruk atau karena penerapan administrasi perpajakan yang tidak efektif? Nah, jika penyebab
ketidakpatuhan itu sudah diketahui pasti, mutlak diperlukan pembenahan terlebih dahulu atas
problem tersebut sebelum tax amnesty diterapkan.
Kemudian, pemberlakuan tax amnesty harus diterapkan dalam waktu yang sangat terbatas
dan cut-off date-nya harus jelas. Yang bisa ikut tax amnesty juga dibatasi hanya untuk wajib
pajak yang tak patuh. Lantas tax amnesty tidak boleh mengurangi present value pajak yang
kurang bayar.
Program tax amnesty juga tidak boleh bertentangan dengan prinsip perpajakan pada
umumnya. Jadi, misalnya, jangan sampai tax amnesty memberikan peluang bagi pembayaran
pajak secara anonim. Sungguh upaya yang sangat berat. Di negara sekelas Irlandia, yang
sukses dengan tax amnesty pada 1988 program dilakukan dengan sosialisasi massif, bahkan
dengan mengumumkan nama-nama wajib pajak nakal di media nasional. Mereka menambah
jumlah petugas pajak dan mengenakan pidana keras bagi wajib pajak yang ingkar dari tax
amnesty. Ini juga merupakan tax amnesty pertama dan terakhir di sana. Pendek kata, harus
tercipta kondisi yang membuat wajib pajak nakal terpojok dan tak ada pilihan lain bagi
mereka selain ikut program tersebut.
Apakah Indonesia sanggup memenuhi prasayat dan syarat tax amnesty? Ini yang masih
menjadi pertanyaan. Penegakan hukum, administrasi pajak, dan penerapan sistem perpajakan
masih menjadi masalah di sini. Malcolm Gillis (1989) menyatakan, tax amnesty yang pernah
digelar di Indonesia pada 1984 ternyata berakhir dengan kegagalan.
14
Begitu pula ketika Indonesia menerapkan sunset policy—sebuah varian lain dari keringanan
aturan pajak untuk meningkatkan kepatuhan dan penerimaan pajak—pada 2008. Kala itu
penerimaan PPh naik Rp7,46 triliun. Bahkan tax ratio pada 2008 juga meningkat menjadi
13,30% dari kisaran tax ratio 12% pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, setelahnya tax
ratio kembali anjlok menjadi 11,43% (2009) dan 11,57% pada 2010. Alhasil, sunset policy
tidak memberikan pengaruh positif berkesinambungan.
Nah, tax ratio juga punya risiko demikian. Saat berhasil dalam jangka pendek, James Alm
dan William Beck (1993) menyatakan, pemberian tax amnesty bahkan tidak mempunyai
pengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak dalam jangka panjang. Apalagi, implementasi
tax amnesty sangat merugikan wajib pajak yang selama ini taat membayar pajak.
Bagi para pengusaha nakal, mengikuti tax amnesty akan membuat kesempatan mereka
mengumpulkan uang secara ilegal menjadi tertutup. Padahal, uang itu bisa sangat besar. Jadi,
ketika mereka ditawari mengikuti tax amnesty, sementara penegakan hukum dan sistem
administrasi perpajakan yang dihadapkan kepada mereka terlihat compang-camping, apa
untungnya mereka ikut program itu?
Betul, konon akan ada fasilitas Sistem Pertukaran Informasi Otomatis atau Automatic
Exchange System of Information (AEoI) antarnegara guna melacak potensi pajak di luar
negeri. Jadi, nanti kita bisa mengetahui aset-aset wajib pajak kita di negara lain sehingga
pajaknya dapat kita kejar. Tapi, belum semua negara akan menerapkan fasilitas itu. Masih
banyak negeri tax haven yang bisa menjadi sasaran wajib pajak nakal.
Belum mantapnya sarana dan prasarana, keterbukaan akses informasi, penegakan hukum, dan
prasyarat pendukung lainnya membuat penerapan tax amnesty di Indonesia riskan dengan
kegagalan. Malah tax amnesty bisa hanya menjadi ilusi. Alhasil, untuk mengatasi defisit
anggaran akibat penerimaan yang anjlok, sebaiknya pemerintah fokus melakukan efisiensi
anggaran belanja. BUMN diminta mencari dana dari pasar ketimbang meminta penyertaan
modal negara. Pemerintah daerah juga perlu didorong untuk tak mengendapkan dana
anggaran mereka.
Dan, kalau defisit masih belum tertutupi, apa boleh buat, terpaksa pemerintah menerbitkan
lebih banyak lagi surat utang.
HARDY R HERMAWAN
Alumnus Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB; Jurnalis MNC Media
15
Mir
21-04-2016
Mari kita tinggalkan sejenak negeri ini yang tengah gaduh mengenai berita tentang reklamasi
di kawasan pantai utara Jawa. Kita lupakan juga berita soal Panama Papers yang menyebut
nama sejumlah petinggi lembaga negara dan kalangan pebisnis. Juga kita lupakan sejenak
masalah RS Sumber Waras, masalah bisnis yang sedang ditarik-tarik masuk ke ranah politik
oleh DPR kita, mungkin karena DPR kita sedang merasa kurang pekerjaan.
Mari, saya ajak Anda ke Pakistan untuk menemui seorang anak muda yang menghadirkan
banyak perubahan di sana. Nama lengkapnya Mir Ibrahim Rahman, lahir tahun 1981. Supaya
mudah, kita sebut saja dia: Mir.
Mir berasal dari keluarga kaya. Hidupnya enak. Ayahnya, Mir Shakil ur Rahman, adalah
taipan media. Ia pemilik Jang Group, kelompok bisnis surat kabar terbesar di Pakistan. Kalau
di sini mungkin bisa kita setarakan dengan Jakob Oetama dari Grup Kompas, Surya Paloh
dari Grup Media Indonesia, Dahlan Iskan dengan Jawa Pos Group, atau Hary Tanoesoedibjo
yang pemilik jaringan MNC Group. Kakeknya, Mir Khalil ur Rahman juga pemilik surat
kabar ternama yang terbit di sana.
Sebagai anak orang kaya, Mir berkesempatan menikmati pendidikan di luar negeri. Ia
berkuliah di Babson College. Setamat kuliah, Mir bekerja sebagai investment bankers di
Goldman Sachs dengan spesialisasi di industri media dan telekomunikasi. Mir kembali ke
Pakistan pada 2002. Sebelum tahun itu, bisnis media elektronik di Pakistan masih menjadi
monopoli negara. Ada dua BUMN yang mengelola, yakni Pakistan Television Corporation
dan Pakistan Broadcasting Corporation.
Ketika Pervez Musharraf menjadi perdana menteri, bisnis media ini dideregulasi. Swasta
boleh mendirikan stasiun TV dan radio. Peluang inilah yang dilirik Mir. Ia pun mendirikan
stasiun TV swasta, GeoTV. Mir menjadi CEO-nya. Mulanya GeoTV berkantor di kamar hotel
dan didukung 5 kru. Kini GeoTV sudah menjadi besar dan memiliki ribuan karyawan. Pada
2009, Mir juga sempat melanjutkan kuliahnya di Harvard Kennedy School untuk mengambil
program master. Ada dua program yang diikutinya sekaligus, yakni master business
administration dan master public administration.
Dari cerita awal ini, yang mau saya sampaikan adalah hidup Mir sangat nyaman. Anak orang
kaya, berpendidikan tinggi, dan akhirnya memiliki bisnis sendiri. Kalau mau aman,
sebenarnya Mir bisa saja duduk manis, membuat program-program yang menghibur, dan tak
perlu memicu segala kontroversi di masyarakat. Tapi, kenyataannya tidak. Mir memilih jalan
16
kedua. Ia memilih membuat program-program yang panas, yang memelopori bukan saja
perubahan lanskap bisnis media di sana, tetapi juga perubahan sosial di masyarakat.
Memicu Perubahan
Apa perubahan yang ditawarkan Mir melalui GeoTV-nya? Ia membuat program talkshow
dengan judul Zara Sochiye (atau Just Think dalam bahasa Inggris). Ini program talkshow
yang betul-betul panas. Salah satu topik yang pernah dibahas adalah soal Hudood Ordinansi,
aturan hukum yang memicu kontroversi luas di Pakistan. Hudood Ordinansi adalah aturan
hukum buatan rezim masa lalu. Salah satu kontroversinya adalah menyetarakan pemerkosaan
dengan perzinaan. Aturan yang jelas-jelas merugikan kaum perempuan.
Kuatnya rezim militer, yang berkelindan dengan tokoh-tokoh agama, membuat masyarakat
tak melawan. Jangankan menolak, membicarakan saja mereka takut luar biasa. GeoTV
mendobrak ketakutan masyarakat dengan memboyong isu sensitif tersebut ke ranah publik.
Memperdebatkannya secara terbuka dalam ajang talkshow.
Dalam programnya tersebut, GeoTV juga menampilkan sejumlah kesaksian masyarakat,
termasuk debat panas antara kalangan konservatif dengan kaum liberal. Dalam kontroversi
ini, GeoTV menarik garis yang tegas bahwa Hudood Ordinansi adalah hukum buatan
manusia. Bukan hukum Ilahi. Sengitnya debat dan meluasnya penolakan masyarakat terhadap
Hudood Ordinansi akhirnya memaksa pemerintah mengamendemen aturan hukum tersebut.
Apa pelajaran yang bisa dipetik dari kasus itu? Bagi masyarakat Pakistan, program tersebut
membuka pemahaman baru. Pertama, isu-isu sensitif seperti sudut pandang agama ternyata
bisa diperdebatkan. Padahal di masa lalu ini sesuatu dianggap ”haram” untuk dibicarakan.
Kedua, perdebatan tersebut ternyata dapat membantu pemahaman masyarakat dalam
meluruskan ajaran agama itu sendiri. Itu perubahan sosial yang pertama.
Saya ajak Anda untuk melihat perubahan sosial lainnya yang digagas GeoTV. Mir menggagas
pembuatan film berjudul Khuda Kay Liye (In The Name of God dalam bahasa Inggris). Ini
film pertama yang diproduksi Mir. Isi filmnya secara berani menentang fatwa yang
dikeluarkan pemimpin Masjid Merah di Islamabad, ibu kota Pakistan. Ketika itu masyarakat
Pakistan tahu persis bahwa masjid ini yang dindingnya kebetulan juga berwarna merah—dan
oleh karenanya disebut Masjid Merah—dilindungi oleh para pejabat pemerintahan dan militer
Pakistan. Mulai dari presiden, perdana menteri hingga petinggi militer. Kalau di sini, siapa
yang berani menentang mereka?
Setelah diluncurkan, segera film ini disaksikan secara meluas oleh rakyat Pakistan dan
membentuk pandangan baru di masyarakat. Boleh dibilang inilah film blockbuster pertama
dan terbesar dalam industri perfilman Pakistan. Film ini pulalah yang memicu menguatnya
tekanan dan kebutuhan akan dialog soal-soal Islam dan Pakistan di masyarakat—sesuatu
yang dianggap tabu pada masa lalu dan seakan-akan hanya menjadi hak eksklusif kalangan
elite.
17
Dibredel
Mir dengan GeoTV-nya memang dikenal berani menggarap proyek-proyek panas. Salah satu
di antaranya dengan mengungkapkan secara terbuka pertentangan antara sipil dan militer di
Pakistan. Keberanian Mir harus dibayar mahal. Pemerintah menutup stasiun TV-nya selama
sekitar 90 hari dan menyebabkannya mengalami kerugian bersih lebih dari USD25 juta. Mir
maju ke pengadilan. Hakim agung akhirnya memenangkan gugatan Mir dan GeoTV-nya.
Membaca kisah Mir, saya jadi merenung. Seandainya saja stasiun-stasiun TV kita seberani
GeoTV, mungkin banyak sekali perubahan sosial yang bakal terjadi di negara ini. Sayangnya
masih banyak stasiun TV kita yang lebih suka menampilkan acara kedumbrangan tak keruan,
pengisi acara yang berebut perhatian, atau menjual mimpi.
Juga harus diakui berita-berita kita hanya memotret reaksi demi reaksi dari ucapan dan
perbuatan-perbuatan. Pers kita masih menari-nari dari genderang yang ditabuh para
newsmaker, entah itu politisi, preman, artis pemantik sensasi atau para pemburu rente. Yang
diburu pun tak mengerti betul makna popularitas yang dimilikinya, apakah itu famous atau
notorious. Seandainya saja kita punya seorang Mir!
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
18
Perempuan dan Keuangan Inklusif
21-04-2016
Gerakan kebangkitan perempuan di Tanah Air kerap disimbolisasikan dengan peringatan
lahirnya Raden Ajeng Kartini pada 21 April 1879. Simbolisasi ini telah menginspirasi dan
mengemansipasi gerakan perempuan hingga saat ini dalam melawan ketidakadilan,
diskriminasi, pembodohan, dan keterbelakangan.
Namun, gerakan yang dilakukan oleh pelbagai kelompok yang concern dalam proses
pemberdayaan perempuan, hingga saat ini pun belum memetik hasil yang maksimal. Bahkan
dari sisi jumlah kemiskinan saja, kisaran 70,21% dari jumlah penduduk miskin (BPS, 2015)
yang mencapai 28,59 juta jiwa (11,22%) adalah kaum perempuan. Kemiskinan yang
menimpa perempuan, dilatari banyak faktor. Angka buta aksara perempuan sebesar 12,28%,
sedangkan lelaki 5,84%.
Dalam bidang kesehatan, status gizi perempuan masih merupakan masalah utama. Angka
kematian ibu (AKI) juga masih sangat tinggi, yaitu sebesar 248 per 100.000 kelahiran
hidup. Selain itu, rata-rata gaji (upah) perempuan pun selalu tertinggal dibandingkan lelaki.
Keadaan yang sama juga terlihat pada rata-rata gaji berdasarkan tingkat pendidikan tercermin
dari perbandingan upah perempuan dan lelaki. Rasio upah kurang dari 100 pada setiap
jenjang pendidikan. Perbedaan mencolok terlihat pada tingkat pendidikan tidak tamat SD, di
mana rasio upah adalah 61,97 yang berarti, besarnya upah (gaji) bersih perempuan dibanding
lelaki adalah 61,97 berbanding 100 (BPS RI - Sakernas Februari 2015).
Data ini mengonfirmasi posisi perempuan belum beringsut jauh, masih tertinggal,
terbelakang, dan termiskin. Salah satu persoalan utamanya adalah aksesibilitas. Maka dengan
adanya kebijakan keuangan inklusif yang digelar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 2014,
setidaknya peluang perempuan ke sumber daya ekonomi (terutama pada lembaga keuangan)
semakin terbuka lebar. Artinya, OJK dalam operasionalisasi kebijakannya jangan sampai bias
gender dalam memperlakukan nasabah, terutama di masyarakat miskin perdesaan.
Keuangan Inklusif
Sejak dikeluarkan regulasi tentang bank nirkantor yang tertuang dalam Peraturan OJK Nomor
19/POJK.03/2014 tentang layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif,
OJK mulai merangsek jauh ke pelosok desa. Bank nirkantor adalah transformasi pelayanan
konvensional bank di kantor-kantor menjadi pelayanan di agen-agen. Namun, jauh
sebelumnya, hasrat untuk mengejawantahkan keuangan inklusif mendapat momentum.
Pemicunya, pertama, secara eksternal adanya kesepakatan G-20 di Pittsburgh Summit 2009.
19
Dalam pertemuan itu, anggota G-20 sepakat perlunya peningkatan akses keuangan bagi
kelompok in the bottom of the pyramid. Ada 9 Principles for Innovative Financial Inclusion
sebagai pedoman pengembangan keuangan inklusif. Prinsip tersebut adalah leadership,
diversity, innovation, protection, empowerment, cooperation, knowledge, proportionality, dan
framework.
Kedua, secara internal mengonfirmasi data Bank Indonesia (2014) rakyat kita yang
berhubungan dengan bank masih rendah, yakni sekitar 48% dengan layanan perbankan yang
masih terpusat di Jawa. Sementara hanya 20% orang dewasa di Indonesia yang memiliki
rekening di lembaga keuangan formal, jauh lebih rendah dibandingkan Thailand 77%,
Malaysia 66%, Tiongkok 64%, India 35%, dan Filipina 25%. Demikian pula pembiayaan
kegiatan ekonomi rakyat belum signifikan dengan pangsa kredit sekitar 20% atau Rp612
triliun. Konsekuensinya, Deposit to GDP ratio masih di bawah 50% dan Loan to GDP ratio
masih kisaran 35%, jeblok di bawah rerata di kawasan Asia-Pasifik.
Rendahnya tingkat literasi lembaga keuangan formal pada kelompok perempuan pada level in
the bottom of the pyramid tentu bukan tanpa alasan. Alasan klasikalnya, mereka tidak
memiliki kolateral, bank lebih familier membiayai usaha berskala besar, dan prosedur
permohonan pembiayaan yang rigid. Konsekuensinya, solusi ditempuh rakyat kecil dan kaum
perempuan rentan, meminjam pada individu atau lembaga non-keuangan ilegal, dengan
pelbagai risiko, yakni pengenaan bunga mencekik.
Selain itu, lembaga keuangan formal kerap gagap memahami karakteristik atau kearifan lokal
yang telah lama hidup di masyarakat. Padahal, banyak lembaga keuangan lokal yang telah
bersemayam hidup bersama rakyat perlu diajak bekerja sama dan diberdayakan dalam
memanfaatkan financial inclusion.
Memang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1/2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
(LKM) telah mengakomodasi aturan hukum adat. Sehingga lembaga perkreditan desa (LPD)
di Bali dan Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat sebagai lembaga keuangan
produk kearifan lokal misalnya, tidak harus tunduk pada UU LKM karena eksistensinya telah
diakui berdasarkan hukum adat itu. Sayangnya, kedua LKM lokal itu kurang mendapat
supporting kerja sama dan mediasi dari pihak pemerintah.
Aksesibilitas
Topik utama pemberdayaan perempuan sejatinya adalah aksesibilitas. Seperti yang
diutarakan Amartya Sen (1981), kemiskinan terjadi akibat capability deprivation (kebebasan
untuk mencapai sesuatu dalam hidup seseorang). Ketidakbebasan masyarakat yang substantif
itu berkaitan langsung dengan kemiskinan ekonomi. Dengan demikian, kemiskinan
diakibatkan keterbatasan akses. Jika manusia mempunyai keterbatasan pilihan untuk
mengembangkan hidupnya, akibatnya manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat
dilakukan, bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan.
20
Dalam banyak studi diuraikan, adanya relasi antara program pemberdayaan perempuan dan
upaya menekan angka kemiskinan. Jika program penguatan perempuan ini optimal bergerak,
diasumsikan lebih dari separuh program pengentasan kemiskinan dianggap sukses.
Laporan riset World Bank Group in Women, Business and the Law 2016 yang disampaikan
Sri Mulyani (2015), bahwa pada era 1990-an hanya sedikit negara yang punya aturan hukum
melindungi perempuan dari kekerasan. Namun, pada 2014 jumlahnya mencapai 127 negara,
yang dipicu oleh meningkatnya kesadaran terhadap biaya ekonomi dan manusiawi yang harus
ditanggung akibat salah memperlakukan perempuan.
Tatkala perempuan diizinkan bekerja di profesi yang mereka inginkan, ketika mereka
memiliki akses terhadap jasa keuangan dan tatkala mereka dilindungi oleh hukum dari
kekerasan rumah tangga, kaum perempuan bukan saja lebih berdaya dan mandiri secara
ekonomi, melainkan juga berumur panjang. Semakin banyak perempuan punya kendali
terhadap pendapatan rumah tangga, semakin besar partisipasi mereka dalam aktivitas
ekonomi. Semakin banyak perempuan masuk sekolah menengah, semakin besar pula
keuntungan untuk anak-anak mereka, masyarakat, dan negara.
Dengan demikian, pemberdayaan perempuan terkait erat dengan dampak
kemandirian. Kemandirian perempuan miskin terkait akses dan kontrol perempuan di rumah
tangga dan di luar rumah tangga. Dalam kaitan itu, yang perlu dipertimbangkan dalam
membangun financial inclusion yakni, berikan porsi lebih besar kepada nasabah perempuan
dalam proses pemberdayaan. Model financial inclusion seperti ini akan mampu memacu
pembangunan ekonomi lokal melalui peningkatan kebiasaan menabung, menciptakan
kesempatan kerja, dan meningkatkan tingkat monetisasi di masyarakat lokal.
MUKHAER PAKKANNA
Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta dan Peneliti Ekonomi CIDES
21
Kelautan sebagai Mesin Pertumbuhan
Ekonomi Baru
23-04-2016
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang 3/4 wilayahnya berupa laut, Indonesia
dianugerahi potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besar dengan total nilai sekitar USD1,5
triliun/tahun (1,5 PDB atau 7 kali lipat APBN 2016), dan dapat menyediakan lapangan kerja
untuk sedikitnya 45 juta orang, lebih dari sepertiga angkatan kerja Indonesia. Dan, hingga
kini baru dimanfaatkan sekitar 22% dari total potensi ekonomi tersebut.
Lebih dari itu, posisi geoekonomi dan geopolitik laut Indonesia juga sangat strategis. Di
mana sekitar 45% dari seluruh barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai USD1.500
triliun/tahun diangkut dengan ribuan kapal melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)
(UNCTAD, 2012).
Posisi geoekonomi yang strategis ini sejatinya menempatkan Indonesia pusat dari sistem
rantai suplai (perdagangan) global. Sayangnya, sampai sekarang kita lebih sebagai bangsa
pembeli berbagai produk bangsa-bangsa lain, bukan sebagai produsen (pemasok) barang dan
jasa yang dibutuhkan masyarakat dunia. Padahal, banyak emerging economies menjadi lebih
maju dan makmur, seperti Singapura, Malaysia, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Turki lantaran
mampu mengapitalisasi posisi geoekonomi wilayah lautnya.
Potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besar, bak ‘raksasa yang masih tidur’ itu mesti kita
bangunkan dengan menggunakan teknologi dan manajemen yang tepat supaya bisa menjadi
sumber pertumbuhan ekonomi baru dan pengungkit daya saing nasional secara
berkelanjutan.
Poros Maritim Dunia
Kebijakan terobosan Presiden Jokowi dan Wapres JK untuk menjadikan Indonesia sebagai
Poros Maritim Dunia (PMD) sangatlah tepat dan visioner. Melalui PMD, bangsa Indonesia
diajak melakukan reorientasi platform pembangunannya, yang sejak awal kolonialisme
hingga sebelum pemerintahan KH Abdurrahman Wahid (berdirinya KKP) berorientasi pada
daratan (land-based development) ke orientasi kelautan (marine-based development).
Dengan aplikasi iptek dan manajemen yang ramah sosial dan lingkungan serta etos kerja
unggul, kebijakan PMD akan mampu mengurangi disparitas pembangunan antarwilayah,
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif, menciptakan banyak lapangan
kerja, dan membuat ekonomi Indonesia lebih berdaya saing.
22
Indonesia sebagai PMD mengandung makna bahwa melalui strategi pembangunan kelautan
secara tepat dan benar, Indonesia dalam waktu tidak terlalu lama akan mampu menjadi
bangsa besar yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis ekonomi kelautan, hankam, dan
budaya maritim yang kokoh. Dengan kekuatan dan kemakmurannya itu, Indonesia
diharapkan mampu menjadi a role model (teladan) dan mengajak bangsa-bangsa lain untuk
menyelamatkan, mendayagunakan, dan mengelola wilayah laut dunia, terutama di antara
Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, untuk perdamaian dan kesejahteraan dunia yang lebih
baik.
Sayang, kebijakan dan gebrakan pemerintah Kabinet Kerja selama satu setengah tahun ini
terlalu dominan bersifat larangan, moratorium, dan restriksi lainnya yang membuat iklim
investasi tidak kondusif. Akibatnya, justru menyulut demonstrasi nelayan dan pembudi daya
ikan di mana-mana, mengakibatkan ratusan ribuan nelayan dan pembudi daya menganggur,
sentra-sentra industri pengolahan ikan (seperti Belawan, Muara Baru, Benoa, Bitung, Ambon,
dan Tual) mengalami mati suri, ribuan ton ikan kerapu, kepiting soka, dan lobster tidak
terjual dan mati membusuk, dan sejumlah dampak negatif lainnya.
Sejauh ini, Kemenko Maritim pun belum punya konsep dan nampak kebingungan dalam
melaksanakan fungsi dan tugas utamanya, yakni mengoordinasikan, menyinergikan,
mengakselerasi, dan melakukan terobosan (breakthrough) pembangunan di bidang kelautan,
yang mencakup perikanan tangkap, perikanan budi daya, industri bioteknologi kelautan,
pariwisata bahari, ESDM, transportasi laut dan kepelabuhanan, wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil, industri dan jasa maritim, dan sumber daya alam laut non-konvensional.
Belum ada upaya dari Kemenko Maritim untuk menyamakan ‘playing field’ (seperti suku
bunga bank, insentif usaha, iklim investasi, dan ease of doing business) dengan negara-negara
kelautan Asia lainnya, terutama Singapura, Malaysia, Thailand, Korea, Jepang, dan Cina.
Padahal, dengan ‘playing field’ yang kurang kondusif seperti sekarang, sektor-sektor
ekonomi kelautan Indonesia hampir mustahil untuk bisa bersaing dengan negara-negara
tetangga tersebut.
Untuk dapat mendayagunakan potensi ekonomi kelautan secara optimal bagi kemajuan dan
kesejahteraan bangsa, kita mesti melaksanakan kebijakan dan program pembangunan
kelautan jangka pendek dan panjang secara terpadu dan berkesinambungan. Yang dimaksud
dengan kebijakan dan program jangka panjang adalah kebijakan dan program pembangunan
kelautan yang dikerjakan sejak sekarang, tetapi hasilnya baru kita rasakan setelah lima tahun
atau lebih. Yang pasti, kebijakan dan program jangka pendek tidak boleh bertentangan,
apalagi mematikan jangka panjang.
Kebijakan dan program jangka panjang antara lain meliputi penataan ruang wilayah laut-
pesisir-darat secara terpadu, pengembangan sektor-sektor ekonomi dan bisnis kelautan baru
(bioteknologi kelautan, nanoteknologi kelautan, energi kelautan, mineral dari laut, dan
sumber daya kelautan non-konvensional), mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim
global dan bencana alam lainnya, peningkatan kekuatan hankam laut, diplomasi maritim dan
23
penegakan kedaulatan wilayah laut NKRI, penelitian dan pengembangan (R&D), dan
peningkatan kapasitas serta kualitas SDM kelautan.
Program Quick Wins
Mengingat masalah utama bangsa kita adalah tingginya pengangguran dan kemiskinan serta
rendahnya daya saing; maka kebijakan dan program pembangunan kelautan jangka pendek
(quick wins) seyogianya berupa sektor-sektor ekonomi dan unit bisnis yang mampu
menciptakan banyak lapangan kerja, menyejahterakan rakyat, potensi produksinya besar,
dibutuhkan pasar domestik dan ekspor, dan mampu meningkatkan daya saing Indonesia.
Program quick wins itu mencakup: optimalisasi perikanan tangkap, pengembangan perikanan
budi daya laut (mariculture) dan tambak di lahan pesisir (coastal aquaculture), industri
pengolahan hasil perikanan dan seafood, optimalisasi eksplorasi dan produksi minyak dan gas
dari wilayah pesisir dan lautan, pariwisata bahari, industri galangan kapal dan perawatan
kapal, industri mesin dan peralatan kelautan (jaring dan alat penangkapan ikan lain, mesin
kapal, kincir air tambak, dan lainnya), transportasi laut, tol laut, dan konektivitas digital
maritim. Penyamaan ‘playing field’ kelautan juga mesti masuk dalam program jangka
pendek.
Dalam sektor perikanan tangkap, gebrakan KKP dalam menumpas IUU fishing, khususnya
oleh nelayan asing harus dilanjutkan sampai tuntas. Namun, harus segera dibarengi dengan
meningkatkan kapasitas nelayan nasional dengan teknologi penangkapan ikan (fishing vessels
dan fishing gears) yang lebih produktif, efisien, dan ramah lingkungan.
Di wilayah-wilayah perairan laut yang telah overfishing, seperti Pantura, Selat Malaka, dan
selatan Sulawesi harus dikurangi upaya tangkapnya (jumlah kapal ikan). Sebaliknya, di
wilayah perairan laut yang selama ini sebagai ajang pencurian ikan oleh nelayan asing atau
masih underfishing (seperti Laut Natuna, Sulawesi, Banda, Teluk Tomini, dan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia) harus ditingkatkan jumlah kapal ikan nasionalnya.
Di sektor perikanan budi daya, harus menggenjot usaha budi daya komoditas perikanan untuk
memenuhi kebutuhan pasar domestik (ketahanan pangan dan kesejahteraan rakyat) maupun
ekspor. Komoditas perikanan budi daya untuk ekspor antara lain berupa udang windu dan van
name, ikan kerapu, kakap, lobster, kepiting, teripang, kerang mutiara, dan rumput
laut. Sementara untuk pasar domestik antar lain meliputi ikan bandeng, nila salin, kepiting
soka, bawal bintang, kerapu lumpur, dan rumput laut.
Indonesia memiliki potensi produksi perikanan budi daya laut dan pesisir terbesar di dunia,
sekitar 60 juta ton per tahun dengan total nilai ekonomi sekitar USD180 miliar/tahun, dan
pada tahun 2015 baru diproduksi sekitar 10 juta ton (14%). Sebagai ilustrasi betapa
dahsyatnya potensi ekonomi perikanan budi daya Indonesia adalah usaha budi daya udang
van name. Potensi luas lahan pesisir yang cocok untuk budi daya udang sekitar 3 juta ha. Bila
kita mampu mengusahakan 300.000 ha (10%) untuk budi daya udang van name dengan
24
produktivitas rata-rata 40 ton/ha/tahun (konservatif), maka dihasilkan 1,2 juta ton
udang/tahun.
Dengan harga rata-rata saat ini di tambak (on farm) USD5/kg, maka dihasilkan devisa
(ekonomi wilayah) USD6 miliar dolar AS/tahun (Rp80 triliun/tahun) dan 1,2 juta tenaga
kerja langsung (kerja di tambak) serta 2,4 juta tenaga kerja yang bekerja di sektor hulu dan
hilir dari tambak udang.
Melalui implementasi kebijakan pembangunan kelautan seperti di atas, ekonomi kelautan
tidak hanya akan mampu mengatasi persoalan bangsa kekinian, seperti pengangguran,
kemiskinan, dan rendahnya daya saing, tetapi juga mampu menghantarkan Indonesia sebagai
PMD dalam waktu dekat, tahun 2030 inshaa Allah!
PROF DR IR ROKHMIN DAHURI MSc
Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Kemaritiman
25
Mengukur Kepribadian Saham
24-04-2016
Seperti manusia, saham pun memiliki tipe kepribadian yang beraneka ragam. Ada saham
yang kurang peka, ada pula saham yang sensitif terhadap perubahan lingkungan bisnis. Kita
bisa mengenali sensitivitas saham dari parameter yang disebut “beta”.
Beta saham adalah salah satu indikator penting yang harus kita kenali sebelum membeli
saham tersebut. Beta sebuah saham mengindikasikan sensitivitas harga atau imbal hasil
saham terhadap perubahan harga atau imbal hasil indeks pasar. Yang dimaksud dengan
indeks pasar (market index) adalah angka indeks harga saham-saham yang terdaftar pada
bursa saham di sebuah negara.
Di Indonesia yang sering digunakan sebagai proxy (wakil) untuk indeks pasar adalah Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG). Beta saham sebesar 2 artinya jika IHSG naik 1%, imbal
hasil saham tersebut naik 2% juga. Demikian pula, jika IHSG turun 1%, beta saham akan
turun 2%. Artinya semakin besar koefisien beta saham, semakin sensitif saham tersebut
terhadap perubahan IHSG. Bila saham memiliki beta kurang dari 1, sering disebut saham
defensif. Jika betanya di atas 1, termasuk kategori saham agresif.
Besaran beta dipengaruhi beberapa faktor misalnya jenis bisnisnya. Perusahaan yang
pendapatannya relatif stabil cenderung memiliki beta yang rendah. Pendapatan adalah jumlah
barang terjual dikali harga jual. Maka, semakin stabil harga dan permintaan akan barang,
semakin rendah betanya.
Ambil contoh, pada umumnya beta perusahaan barang keperluan rumah tangga (RT) lebih
kecil daripada beta perusahaan properti. Beta PT Unilever Indonesia Tbk hanya 0,2.
Sedangkan beta saham PT Ciputra Development Tbk mencapai 2,22. Mengapa? Pendapatan
perusahaan barang keperluan RT lebih stabil dibanding pendapatan perusahaan properti. Saat
pertumbuhan ekonomi melemah dan suku bunga kredit tinggi, permintaan akan barang
keperluan RT tidak banyak berkurang. Tidak demikian dengan properti yang pembeliannya
bisa ditunda.
Beta juga dipengaruhi jumlah utang sebuah perusahaan. Semakin tinggi rasio utang terhadap
modal perusahaan, semakin besar betanya. Mengapa? Semakin tinggi utang, semakin sensitif
laba bersih per saham terhadap perubahan pendapatan per saham.
Karena banyak faktor yang memengaruhi beta saham, jangan heran jika ada dua saham di
sektor bisnis yang sama memiliki beta yang amat berbeda. Misalnya, beta saham Kalbe
Farma adalah 0,87, sedangkan beta saham Kimia Farma mencapai 2,61.
26
Beta saham dihitung menggunakan data historis harga saham dan IHSG. Pada umumnya beta
dihitung menggunakan data minimal lima tahun terakhir. Angka lima tahun mewakili rata-
rata durasi sebuah siklus bisnis. Dari data historis perubahan harga saham dan IHSG, kita bisa
mengestimasi beta dengan metode regresi.
Namun, investor saham tidak perlu bersusah payah menghitung beta. Mereka bisa
memanfaatkan beta yang telah dihitung oleh Thomson Reuters, sebuah perusahaan informasi
terkemuka. Caranya mudah. Pada kotak pencarian di Google kita tinggal ketik kata “beta,
kode saham, dan reuters.” Misalnya, untuk mencari beta PT Bank Central Asia Tbk, kita
ketik: beta BBCA reuters. Pada laman BBCA di www.reuters.com akan tersedia informasi
beta BBCA.
Saham bank, konstruksi, properti, dan semen memiliki beta yang tinggi. Sedangkan saham
batu bara, perkebunan, dan makanan memiliki beta sedang (mendekati beta pasar atau
1). Saham-saham dengan beta rendah ditemukan di sektor telekomunikasi, farmasi, dan
rokok. Dengan mengetahui beta saham, kita bisa memprediksi apa yang bakal terjadi dengan
harga saham kita jika IHSG berubah. Investor yang cenderung cari aman bisa memilih
saham-saham dengan beta rendah (kurang dari 1), sedangkan investor lebih berani
mengambil risiko bisa memilih saham-saham dengan beta tinggi (lebih dari 1).
Jika investor yakin bahwa bursa saham akan masuk periode bullish (harga saham naik), ia
bisa mengoleksi saham-saham dengan beta yang besar. Saham seperti ini biasanya
melambung lebih tinggi daripada IHSG. Jika investor percaya bursa saham sedang menuju
periode bearish (harga saham turun), lebih bijaksana jika memegang saham-saham dengan
beta rendah.
LUKAS SETIA ATMAJA
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
27
Nothing to Lose
24-04-2016
Gara-gara Indonesia Brand Forum (IBF), saya beruntung bisa ketemu dan ngobrol panjang
dengan Bu Irawati Setiady, presiden direktur PT Kalbe Farma Tbk. Terus terang, dia salah
satu pemimpin bisnis yang saya kagumi karena sukses mentransformasi Kalbe.
Ceritanya, untuk gelaran seminar branding tahunan tersebut saya harus melakukan riset untuk
penulisan buku berjudul The Second Generation Challenges (Gramedia, 2016) mengenai
sepak terjang para pemimpin perusahaan keluarga dari generasi kedua. Selama sekitar
setahun saya telah berhasil mewawancarai 14 pemimpin generasi kedua untuk penulisan buku
tersebut.
Rencananya buku itu akan diluncurkan di Indonesia Brand Forum 2016 pada 19 Mei yang
tahun ini mengambil tema: “Branding Family Business.” Seperti tahun sebelumnya, motto
IBF tetap sama yaitu: “Kebangkitan Nasional Kedua, Adalah Kebangkitan Brand Indonesia.”
Ya, karena melalui event tersebut, di setiap Hari Kebangkitan Nasional, kami ingin
mengingatkan bangsa ini mengenai pentingnya membangun merek (brand building) untuk
menopang kemajuan ekonomi negara.
Kolom minggu ini saya ingin berbagi insight dan wisdom yang saya dapat dari obrolan
panjang dengan Bu Ira. Pasti di dalamnya mengandung banyak pelajaran-pelajaran berharga
mengenai kepemimpinan bisnis keluarga.
Tak Ambil Pusing
Sejak masih jadi product manager untuk Divisi Research and Development PT Bukit
Manikam Sakti, anak perusahaan Kalbe, Bu Ira tak pernah ambil pusing soal jabatan apa
yang bakal diwariskan para pendiri Kalbe kepadanya. Padahal, dia keponakan dari pendiri
Kalbe, Boenjamin Setiawan dan Fransiscus Bing Aryantodi. Bagi Bu Ira, bekerja sebagai apa
pun tidak masalah. “Saya prinsipnya belajar. Ngikut saja,” ujarnya tentang kariernya hingga
posisi puncak seperti sekarang.
Ira mengakui penunjukannya sebagai presiden direktur Kalbe pada 2008 berlangsung
mengalir saja. Tak ada roadmap tersendiri, tidak di-grooming dulu. Ketika itu atas berbagai
pertimbangan, keluarga sepakat menunjuk dirinya. Tanpa banyak bertanya apa alasan pilihan
jatuh kepadanya, Ira memilih tancap mengendalikan perusahaan.
Sekembalinya ke Indonesia pada 1987, Bu Ira langsung direkrut anak usaha Kalbe. Di situ
aneka aspek operasi perusahaan bergiliran dipelajarinya. Mulai dari produksi, pemasaran, dan
28
pengembangan organisasi. Perusahaan perbankan juga pernah dicicipinya melalui PT Artha
Pusara, kini PT Artha Prima Finance alias Bank Artha Prima, pada 1990-an.
Bertahun-tahun bekerja di bawah payung Kalbe tak ubahnya seorang tenaga profesional
kebanyakan, akhirnya Bu Ira terbentuk menjadi pemimpin yang tegas-tegas memisahkan
kepentingan perusahaan dengan kepentingan keluarga.
Menjawab Tantangan
Bu Ira menerima tanggung jawab dan tantangan besar sebagai pucuk pimpinan saat Kalbe
tengah bergulat mengatasi krisis pada 2008. Secara makro, kondisi bursa Indonesia
memburuk, harga saham anjlok. Menjadi pimpinan teratas sangat jauh dari keinginan Bu Ira.
“Waktu itu bukan keinginan, tapi challenge. Saat itu mungkin sedang dibutuhkan leader yang
baru. Oke deh, saya bantuin,” kenangnya tentang masa menjelang penunjukan dirinya oleh
pemegang saham yang tak lain adalah keluarga besarnya sendiri. Tak disangkal,
kesediaannya menerima penunjukan itu juga diwarnai sifat nekat menjalani tanggung jawab
apa pun yang ditumpahkan. “Saya bantuin deh, semampu saya,” ujarnya mengulangi niatnya
kala itu.
Saat ditunjuk, tak pecah penolakan dari seorang pun keluarga dan kerabat karena kenaikan
Bu Ira merupakan hasil kesepakatan bersama, termasuk antara enam saudara dan 15 sepupu.
Meski diserahi beban baru di atas pundaknya, Bu Ira tak sedikit pun merasa tertekan. “Kalau
performa saya jelek, diturunin juga enggak apa-apa. Nothing to lose dari awal,” ucapnya
santai. Ini yang membuat saya salut.
Sukses Transformasi
Ia pun menjawab tantangan dari keluarga dengan mengambil cara unik yakni menggeser
identitas Kalbe dari produsen obat dan makanan menjadi solusi hidup sehat. Tidak hanya
untuk orang sakit yang ingin sehat kembali, tetapi juga untuk orang yang ingin bertahan sehat
sebelum jatuh sakit.
Tengoklah produk-produk mutakhir dari Kalbe macam Fitbar, Nutrive Benecol, dan Entrasol
Quick Start yang lekat dengan gaya hidup sehat. Produk tersebut makin diminati saja di
pasar, khususnya oleh kaum muda dan penganut hidup sehat.
Tak ketinggalan, Bu Ira melancarkan revitalisasi brand Kalbe. “It’s a journey. Logo baru
tahun 2006 atau 2007,” imbuhnya. Kini logo baru Kalbe dengan mudah digaungkan melalui
iklan-iklan di stasiun televisi.
Sesungguhnya langkah ini tak mengherankan karena Bu Ira pernah menangani pemasaran
produk Good Time Cookies di Bukit Manikam sebelumnya, bahkan menjabat Marketing
Director of Ethical and OTC Businesses di holding Kalbe selama delapan tahun (1997-2005).
29
Nothing to lose membuat Bu Ira menjalankan kepemimpinan di Kalbe dengan plong, tanpa
beban. Hasilnya enggak main-main, sukses mentransformasi Kalbe.
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure
www.yuswohady.com
@yuswohady
30
Khitah Ekonomi Kerakyatan NU
25-04-2016
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan didirikan tentu saja bukan
bertujuan hanya untuk semata-mata menyebarkan nilai-nilai keagamaan yang ramah ala
Ahlussunnah wal Jamaah, namun lebih dari yang tidak kalah penting adalah dari itu, NU
sesungguhnya dilahirkan dalam rangka penguatan ekonomi kerakyatan.
Penguatan ekonomi kerakyatan adalah isu penting yang menjadi tonggak berdirinya NU.
Adanya Nahdlatut Tujjar atau semacam serikat pedagang yang menjadi cikal bakal berdirinya
NU adalah bukti nyata bahwa isu ekonomi tidak bisa dipandang sebelah mata.
Komitmen NU untuk memajukan ekonomi kerakyatan bisa kita temukan dalam Statute NU
fatsal 3: ”mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan,
dan peroesahaan jang tiada dilarang oleh sjara”.
Mengenai salah satu tujuan diberdirikannya NU yang berkonsentrasi untuk memberikan
perhatian kepada ekonomi kerakyatan tersebut tercantum dalam ekonomi kerakyatan ala NU
tentu saja menyangkut banyak bidang, seperti perdagangan, penyediaan barang dan jasa, dan
tentu saja pertanian dan yang terakhir tentu saja kelautan.
Khusus untuk sektor dua ekonomi yang terakhir, yakni tentang pertanian dan juga kelautan,
perhatian NU tidak main-main. Sebab kita tahu bahwa sektor pertanian dan kelautan ini
merupakan sektor dominan masyarakat Indonesia, khususnya kalangan Nahdliyin.
Perhatian ke Sektor Pertanian
Sebelumnya pada tahun lalu saya pernah menulis di salah satu media nasional mengenai
kondisi pertanian kita yang masih tertinggal. Pada tahun 2013, Badan Pusat Statistik (BPS)
merilis data bahwa pada tahun 2013 45% penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, di
urutan kedua menyusul sektor industri dengan porsi 23,5% dan sisanya tersebar di pelbagai
sektor di luar dua sektor mainstream tersebut.
Dengan kenyataan seperti itu, tidak mengherankan NU memberikan perhatian dengan porsi
yang sangat besar terhadap sektor pertanian, baik pada tingkat mikro maupun makro.
Perhatian terhadap sektor pertanian itu dibuktikan dengan rekomendasi Muktamar ke-32 di
Makassar 2010 yang memerintahkan kepada PBNU untuk melakukan serangkaian advokasi
dan mendesak pemerintah untuk menciptakan keadilan ekonomi terutama pada sektor
pertanian.
31
Adalah merupakan sebuah ironi bahwa dengan penduduk yang sebagian besar memilih
pertanian sebagai ladang mata pencarian, hari ini kita masih mengimpor pelbagai bahan
pokok makanan. Pada keadaan yang demikian, sesungguhnya yang menjadi korban utama
atas kebijakan impor bahan pangan adalah rakyat kecil yang berprofesi petani tersebut.
Komitmen Sektor Kelautan
Di pihak lain, pada tahun 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) telah juga merilis bahwa jumlah
nelayan tradisional di Indonesia berjumlah 864 ribu rumah tangga. Jumlah tersebut
sesungguhnya menurun drastis jika dibandingkan data tahun 2013 yang menyebutkan bahwa
jumlah nelayan tradisional di Indonesia mencapai 1,6 juta. Persoalannya kemudian mengapa
jumlah nelayan menurun drastis dan kian hari kian sedikit saja? Atau dalam pertanyaan yang
lebih menukik mengapa orang Indonesia cenderung tidak memilih profesi nelayan sebagai
mata pencarian hidup?
Ironis memang. Dengan struktur komposisi geografis Indonesia yang 2/3 permukaannya
berupa lautan, rakyat Indonesia justru seolah berlari dan menjauh dari pesisir pantai dan lalu
memutuskan diri untuk masuk ke pedalaman, ke daratan.
Saya berpendapat, bahwa besar kemungkinan ketidaktertarikan warga untuk menjadi nelayan
adalah karena faktor kesejahteraan dan jaminan hidup. Dua faktor tersebut saya rasa adalah
dua dari di antara sekian banyak faktor yang menyebabkan sektor kelautan itu lesu. Melihat
realitas yang ada, bisnis makanan laut (seafood) sampai saat ini masih menjadi salah satu
primadona bisnis kuliner. Namun melihat geliat bisnis kuliner makanan laut tersebut, sangat
miris jika tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan para nelayannya.
Meminjam analisis Sonny Harmadi (2014) bahwa tingkat upah nelayan hanya mencapai
sekitar Rp1,1 juta per bulan. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan pekerja bukan
nelayan yang mengantongi upah sampai Rp1,2 juta per bulan. Pendapatan itu sesungguhnya
jauh di bawah kategori sejahtera.
Melihat kenyataan seperti itu, NU tidak menutup mata. Pada Muktamar ke-33 di Jombang
tahun lalu, NU memutuskan untuk membentuk sebuah badan otonom baru. Badan otonom
yang khusus mewadahi para nelayan tersebut bernama Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama.
Berpaling dari Laut
Saya sependapat dengan pandangan yang menyebutkan bahwa selama ini yang cenderung
kita lakukan dalam ”pembangunan” adalah gerak-gerak yang mengarah pada usaha
memunggungi laut. Laut cenderung kita tinggalkan. Komoditasnya cenderung kita abaikan.
Kesadaran utama kita masih kesadaran daratan, sehingga yang sibuk kita lakukan adalah
membangun daratan bukan memperkuat dominasi lautan.
Pola pikir kita cenderung menomorduakan laut beserta seluruh perantinya, termasuk nelayan.
32
Lagu nenek moyangku seorang pelaut tampaknya juga sudah tidak terdengar lagi mengalun
di sekolah-sekolah kita. Padahal, laut adalah wahana di mana kita bisa berpanen tanpa harus
menanam. Kita bisa menuai tanpa harus menyemai. Kita panen ikan tanpa harus
menanamnya terlebih dahulu.
Semua itu adalah anugerah yang harus kita syukuri. Dan NU sekali lagi berkomitmen untuk
melakukan kerja-kerja sosial dalam rangka meningkatkan sektor kelautan, utamanya
kesejahteraan nelayan-nelayannya.
Walhasil, NU yang memang salah satu tujuan didirikannya adalah agar menjadi jamiyyah
kemasyarakatan yang menguatkan kemandirian ekonomi kerakyatan dalam momentum
usianya yang menapaki 93 tahun ini akan lebih mengupayakan untuk mengambil langkah-
langkah yang dirasa tepat guna memajukan sektor pertanian dan juga kelautan sebagai sektor-
sektor yang harus diperhatikan.
Apa yang sudah dilakukan hari ini tentu saja harus dipertahankan lalu kemudian untuk
dikembangkan ke arah yang lebih baik. Selamat Harlah ke-93 untuk Nahdlatul Ulama.
Wallahu a’lam bis showab.
A HELMY FAISHAL ZAINI
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
33
Reklamasi Memarginalkan Nelayan
25-04-2016
Nelayan yang bermukim dan menggantungkan hidupnya pada ekosistem di pesisir dan pulau-
pulau kecil di Teluk Jakarta berlangsung sejak ratusan tahun silam.
Bahkan konon kabarnya semenjak Kerajaan Tarumanegara abad VII kawasan ini sudah jadi
pusat bandar perdagangan antara masyarakat lokal dan pihak luar yang membeli hasil bumi.
Pun pada zaman kolonial Belanda kawasan Teluk Jakarta tetap jadi magnet perdagangan bagi
saudagar dari kawasan Asia, Timur Tengah hingga Eropa.
Di kawasan ini berkembang pesat ekonomi maritim berbasiskan perdagangan antarpulau,
interseluler, internasional, kepelabuhanan, dan kota pantai. Uniknya, perdagangan pada masa
itu tak pernah meminggirkan nelayan, apalagi mereklamasi pantai.
Proyek reklamasi yang jadi perbincangan saat ini sudah berjalan sejak dua dekade silam. Ia
diperuntukkan buat kawasan perumahan mewah. Alasannya waktu itu lahan di daratan kian
sempit hingga perlu memanfaatkan pesisir lewat reklamasi. Presiden RI lalu menerbitkan
Keppres No. 52 tahun 1995 yang juga dijadikan dasar buat melegalkan reklamasi Teluk
Jakarta.
Konflik soal reklamasi ini sudah berlangsung dua dekade terakhir. Perdebatannya masih
seputar peraturan perundangan yang saling tumpang tindih dan menegasikan. Kini tahun
2016 perdebatan hal serupa kembali berulang hingga semua pihak masuk dalam pusaran ini.
Apalagi aroma politik menyertainya jelang Pilkada DKI 2017. Namun perdebatan hari ini
mengabaikan lahirnya undang-undang baru, yaitu UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Ada apa dengan UU ini terkait reklamasi?
Dalam UU sebelumnya, UU No. 32/2004 menyebutkan kewenangan laut berada pada
pemerintahan kota/kabupaten. Kini hasil revisinya, UU Nomor 23/2014, kewenangan itu
beralih pada pemerintah provinsi (Pasal 27). Semangatnya desentralisasi, tapi substansinya
sentralistik. Mengapa? Sebab posisi gubernur termasuk di DKI kian powerfull sebagai
perpanjangan tangan pemerintah pusat. Seruan petinggi negara menghentikan sementara
reklamasi hanya skenario mengulur waktu hingga berlakunya UU ini tahun 2017. Nantinya
Gubernur DKI lebih mudah mengizinkan reklamasi, penggusuran nelayan dan membangun
Giant Sea Wall tanpa siapa pun menghentikannya.
Lebih ironis lagi, UU ini tak mudah diuji di MK. Pasalnya yang berhak mengujinya cuma
pemerintah kabupaten/kota.
34
Jika reklamasi dilanjutkan bakal berdampak bagi nelayan. Pertama, defisit ekonomi, yaitu (i)
hilangnya fishing ground nelayan penangkap ikan yang mengoperasikan payang, dogol,
bubu, gillnet dan budi daya kerang hijau (Perna viridis) seluas 1.527,34 hektare; (ii)
merosotnya manfaat ekonomi perikanan tangkap senilai Rp314,5 miliar (IPB, 2013); (iii)
kontribusi perikanan terhadap perekonomian Jakarta Utara akan merosot. Kurun waktu 2006–
2012 saja sudah turun dari 0,10% menjadi 0,08%. Disertai hilangnya lapangan kerja hingga
30.000 orang (Zulham, 2016), dan (iv) angka kemiskinan di pesisir dan pulau kecil kian
meningkat. Faktanya, tahun 2013 Kota Jakarta Utara dan Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu penduduk miskinnya paling tertinggi hingga 93.400 (25% dari 373.613 jiwa orang
miskin di DKI Jakarta) ketimbang lainnya.
Nilai tukar nelayan sebagai indikator kesejahteraan kian merosot. Hingga akhir 2015 berada
di bawah 100 yang berarti kawasan ini mengalami back wash effect (baca: Gunnar Myrdal),
yaitu kondisi di mana kawasan yang maju menciptakan keadaan yang menghambat dan
mengorbankan wilayah terbelakang.
Kedua, meroketnya defisit sosial yang memperparah metabolisme sosial di pesisir. Faktanya
(i) pengangguran meningkat. Akhir tahun 2015 pengangguran DKI Jakarta, 7,23 %; (ii)
meningkatnya angka kemiskinan. Kini rasio gini DKI Jakarta 0,43 (amat timpang). Ketiga,
defisit ekologi yang ditandai berubahnya struktur komunitas benthos di wilayah pesisir Teluk
Jakarta akibat urugan dan terancamnya hutan mangove yang jadi buffer zone yang luasnya
kini tinggal 242,97 hektare. Mulai dari Taman Wisata Alam Kamal, Kebun Pembibitan
Angke Kapok, Cagar Alam Muara Angke, Hutan Lindung Angke Kapok, hingga Cilincing
Marunda.
Keempat, ketidakadilan ruang. Penyusunan tata ruang kerap kali mendahulukan kepentingan
pemilik modal ketimbang rakyat kecil. Belum dibuatnya Peraturan Daerah (Perda) soal
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil (RZWP3K), sementara reklamasi sudah berjalan adalah fakta ketidakadilan
ruang. Imbasnya, masyarakat pesisir (nelayan, pembudidaya ikan, pengolah usaha mikro dan
buruh nelayan) tergusur.
Apakah Pemda DKI akan membiarkan nelayan Teluk Jakarta terus berkurang seperti periode
2009–2013 hingga 57,8%? Merujuk pada Pasal 33 UUD 1945, nelayan yang bermukim di
pesisir Jakarta adalah warga negara yang mesti mendapatkan hak-hak konstitusionalnya.
Mengapa? Sebab sumber daya alam di pesisir dan pulau kecil bukan masuk kategori ”cabang-
cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak”, yang harus
dikuasai negara (minyak, gas dan mineral) lewat BUMN. Melainkan, SDA yang bisa
dikerjakan masyarakat pesisir lewat UKM dan koperasi. Makanya mereka bukan digusur, tapi
diberdayakan.
Kembalikan Nelayan
35
Agar nelayan tetap hidup di kawasan ini, Pemda DKI mesti pertama, merevitalisasi dan
merekonstruksi perkampungan nelayan Teluk Jakarta sebagai wujud reforma agraria di
pesisir dan pulau-pulau kecil (coastal and small islands agrarian reform). Membangun
infrastruktur pendukung berupa pelabuhan tambatan kapal, groin pemecah ombak, jalan,
perbaikan sanitasi lingkungan dan fasilitas lain. Nantinya kampung nelayan jadi daerah
wisata (ekowisata).
Kedua, bagi nelayan yang tak beridentitas kependudukan Jakarta, solusinya adalah
merelokasinya ke daerah asal dengan mengoordinasikan dengan pemerintah daerah setempat.
Prasyaratnya, mereka mudah mengakses dan mendapatkan ikan di lokasi baru disertai
dukungan insentif rumah dan sarana produksi perikanan. Imbasnya mereka tetap berproduksi
dan berprofesi sebagai nelayan.
Akhirnya, nelayan bukan termarginalkan, melainkan kembali ke habitus dan profesinya serta
mendapatkan perlindungan.
MUHAMAD KARIM
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim/Dosen Universitas
Trilogi
36
Menimbang Ulang Wacana Tax Amnesty
25-04-2016
Beberapa minggu terakhir, isu Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak (Tax
Amnesty) kembali memanas. Karena panasnya, dunia internasional pun mulai menaruh
perhatian pada isu ini. Sebagai contoh, pada 9 April lalu majalah terkemuka di dunia The
Economist ikut membahas wacana RUU Tax Amnesty.
RUU Tax Amnesty memang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-
2019, bahkan RUU ini termasuk salah satu agenda utama yang harus dibahas dan
diselesaikan tahun ini. Pembahasan RUU Tax Amnesty memang sudah sangat berlarut-
larut. Meski demikian, tampaknya akhir bulan ini RUU Tax Amnesty akan disahkan.
Dalam beberapa minggu ke depan, DPR dan pemerintah akan menggodok RUU secara
intensif. Jika tidak ada halangan, besar kemungkinan RUU Tax Amnesty akan segera lahir
karena memang mayoritas fraksi di DPR telah satu suara. Hanya Fraksi Gerindra dan Fraksi
PKS yang meminta pengesahan RUU ditunda.
Defisit, Shortfall, dan Repatriasi Modal
Tak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Tidak mungkin ada wacana RUU Tax Amnesty
jika tidak ada penyebabnya. Dalam jangka pendek, setidaknya ada dua faktor pendorong
(push factors) pemerintah mendesak pengesahan RUU Tax Amnesty.
Pertama, ancaman defisit anggaran yang semakin lebar. Berdasarkan Undang-Undang (UU)
Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, batas kumulatif maksimal defisit
anggaran pemerintah (pusat dan daerah) sebesar 3% dari total pendapatan domestik bruto
(PDB).
Awalnya asumsi defisit anggaran pemerintah pada APBN 2016 tercatat hanya sebesar 2,1%
terhadap PDB. Kemudian, menteri keuangan belakangan mengakui angka ini akan melebar
ke level 2,5% atau setara dengan penambahan defisit sebesar Rp40 triliun. Angka ini dapat
lebih besar lagi jika target penerimaan negara, khususnya dari sisi penerimaan pajak dan
migas meleset jauh.
Kedua, ancaman terjadinya shortfall penerimaan negara. Shortfall adalah kondisi di mana
realisasi penerimaan negara jauh di bawah target. Isu shortfall sudah terjadi sejak tahun lalu,
namun bak keledai dungu yang jatuh di lubang yang sama, isu ini kembali muncul. Lebih
ironis, argumen pemerintah terkait penyebab shortfall masih sama seperti tahun lalu, yaitu
37
penerimaan pajak yang tidak mencapai target dan kedua penerimaan migas yang anjlok
lantaran harga minyak dunia sangat rendah.
Sebenarnya pangkal dari kedua masalah tersebut adalah asumsi-asumsi APBN yang
terlampau optimistis (overoptimistic). Sudah dua tahun terakhir asumsi-asumsi yang
ditetapkan pemerintah dalam APBN (khususnya dari sisi penerimaan) terlalu berlebihan,
bahkan terkesan tak masuk akal. Contohnya, bagaimana mungkin pemerintah menargetkan
lonjakan penerimaan pajak saat perekonomian sedang melambat? Selain itu, pemerintah juga
kurang hati-hati dalam mengantisipasi dampak eksternal, seperti anjloknya harga minyak
dunia terhadap kesehatan fiskal. Andai saja pemerintah lebih realistis dalam menyusun
berbagai asumsi APBN, niscaya ancaman defisit anggaran dan shortfall tidak akan selebar
saat ini.
Selain itu, pemerintah berpendapat kebijakan tax amnesty dapat mengundang triliunan uang
para warga negara Indonesia (WNI) yang disimpan di luar negeri kembali ke dalam negeri
(repatriasi modal). Masih menurut pemerintah, kebijakan ini akan menambah akumulasi
modal yang berakibat pada meningkatnya basis pajak (tax base) di Indonesia. Alhasil, dalam
jangka menengah-panjang kebijakan tersebut dapat menopang peningkatan penerimaan dan
rasio pajak (tax ratio).
Bak gayung bersambut argumen repatriasi modal menjadi masuk akal setelah terbongkarnya
kasus Panama Papers. Bocoran dokumen menunjukkan ribuan nama wajib pajak Indonesia
yang terlibat, baik badan (perusahaan) atau pun perseorangan.
Ekonomi Politik Tax Amnesty
Dalam teori ekonomi, kebijakan tax amnesty memiliki dua mata pisau. Satu sisi kebijakan ini
(sebagaimana argumen pemerintah) memang dapat menambah pundi-pundi pendapatan
negara, memperluas basis pajak (tax base) dan meningkatkan kepatuhan pajak (tax
compliance).
Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga dapat kontraproduktif jika tidak diikuti oleh perubahan
struktural, perumusan berbagai kebijakan berikutnya, tindak lanjut (follow up) serta
penegakan kepatuhan pajak (enforcement). Karena itu jika pengelolaannya keliru, kebijakan
tax amnesty justru dapat menyebabkan semakin banyak orang yang mengemplang pajak.
Kebijakan tax amnesty memang sangat populer di berbagai negara. Negara-negara maju
seperti Republik Irlandia, Italia, Belgia, Prancis, dan Amerika Serikat atau negara-negara
berkembang seperti India, Argentina, dan Kolombia adalah segelintir contoh negara-negara
yang pernah menerapkan kebijakan ini.
Meski sangat populer, ternyata tingkat kesuksesan dan efektivitas kebijakan ini tergolong
sangat rendah (Uchitelle, 1989; Luitel, 2005; Luitel, 2014). Sebagian besar program tax
amnesty di berbagai negara gagal memperluas basis pajak dan tidak dapat mendongkrak
38
pendapatan negara secara signifikan. Penyebab utama gagalnya program tax amnesty
biasanya disebabkan oleh kegagalan negara melakukan perubahan struktural, seperti
perubahan tingkat pajak (tax rate) dan penerapan sistem pajak yang lebih profesional.
Selain itu mengevaluasi efektivitas tax amnesty sangatlah sulit jika kebijakan ini diikuti oleh
perubahan struktural. Sebagai ilustrasi, kenaikan penerimaan negara pada konteks ini bisa
saja lebih disebabkan oleh perubahan struktural dibandingkan tax amnesty itu sendiri. Dalam
kasus ini justru negara rugi dua kali, selain gagal mendapatkan tambahan penerimaan dari
para pengemplang, negara juga kehilangan tambahan pendapatan yang berasal dari penalti
pajak. Sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Dari itu semua, yang harus diingat oleh kita terkait kebijakan tax amnesty adalah tercabiknya
asas dan rasa keadilan sosial. Ini harga yang harus dibayar masyarakat Indonesia bila
kebijakan diterapkan. Golongan yang paling diuntungkan dari kebijakan ini jelas hanyalah
segelintir orang, yaitu orang-orang super kaya dan perusahaan yang dimilikinya. Kelompok
ini biasanya sangat memahami tentang pajak sehingga mereka relatif lebih mudah
memanfaatkan celah pajak, baik secara legal (tax avoidance) atau pun ilegal (tax evasion).
Kekhawatiran tercabiknya rasa keadilan sosial masyarakat jika kebijakan tax amnesty
diterapkan sepertinya tidak berlebihan. Sebagai gambaran, menteri keuangan menyebutkan
setidaknya dalam dekade terakhir terdapat sekitar 2000 perusahaan (asing) yang tidak
membayar pajak dengan total potensi kehilangan negara sebesar Rp500 triliun. Tidak
terbayang sudah berapa ribu triliun rupiah kerugian yang dialami negara setiap tahun atas
praktek pengakalan pajak selama ini.
Di sisi lain, rasa keadilan sosial kita akan tersayat jika kita tengok puluhan juta penduduk
lainnya harus banting tulang demi mencari sesuap nasi, setidaknya untuk hari ini dan esok
hari. Belum lagi jika kita lihat panjangnya antrean orang kecil di rumah sakit, kondisi sekolah
yang kurang layak, jalan-jalan yang rusak, dan berbagai permasalahan sosial-ekonomi
lainnya. Karena itu sudah semestinya kita semua (khususnya pemerintah dan DPR),
menimbang ulang diterapkannya tax amnesty di bumi pertiwi.
DZULFIAN SYAFRIAN
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF); Kandidat Doktor
Durham University Business School (DUBS), Inggris
39
Tourism: Old vs New dan Disruption Trend
28-04-2016
Pekan-pekan ini umat Katolik Indonesia tengah sibuk menyusun rencana besar menyongsong
Bulan Maria, yang biasa jatuh setiap Mei dan Oktober. Salah satunya adalah ziarah
wisata. Destinasinya, Gua Maria yang tersebar di berbagai daerah.
Kebetulan Mei mendatang ini ada dua hari libur yang jatuhnya berurutan, yakni Kamis-
Jumat (5 dan 6 Mei). Ditambah libur Sabtu-Minggu, bakal ada empat hari libur berurutan. Ini
betul-betul akan menjadi very long week end bagi masyarakat kita, baik umat Katolik maupun
umat lainnya. Waktu yang cukup untuk meninggalkan Jakarta yang semakin sumpek.
Apalagi sekarang perjalanan ke lokasi-lokasi ziarah wisata ke Jawa Barat dan Jawa Tengah
menjadi semakin mudah setelah jalan tol Cikampek-Palimanan (Cipali) beroperasi. Ditambah
lagi paket-paket tur dan transportasi murah yang dikemas para pelaku sharing economy
semakin banyak.
Mudah-mudahan pihak kepolisian, Dishub, dan PT Jasa Marga kali ini lebih sigap mengatur
arus lalu lintas di jalan tol Jakarta-Cikampek dan Cipali sehingga saudara-saudara kita yang
ingin berwisata tidak terjebak kemacetan berjam-jam di jalan tol.
Wisata pun Disrupted
Mula-mula saya sebetulnya tak terlalu menaruh perhatian dengan rencana libur dan ziarah
umat Katolik tadi. Sebab nyaris setiap tahun mereka melakukannya. Biasanya mereka pergi
berombongan dengan mobil pribadi. Jumlahnya mungkin empat-lima mobil.
Hanya kali ini saya agak terperangah, sebab jumlahnya meningkat luar biasa. Mereka
berangkat dengan dua bus! Saya mulai mencermati fenomena tersebut. Namun, setelah
membaca artikel di Boston Globe, saya mulai melihat bahwa apa yang dilakukan umat
Katolik tadi hanyalah potret kecil dari sebuah perubahan besar dalam sebuah proses global
disruption.
Soal ini, kami di Rumah Perubahan sedang sibuk-sibuknya mengajari para CEO dan aparatur
sipil negara merumuskan strategi dan aksi baru di era disruption. Training selama lima hari
itu amat diminati karena kami mengajarkan cara-cara baru merumuskan strategi. Prinsipnya,
kami ajarkan korporasi dan institusi berinovasi like start ups.
Anda tahu, kalau sudah bicara tentang perubahan, saya pasti sangat menaruh perhatian.
Bahkan Clayton Christensen yang mencetuskan teori tentang Disruptive Innovation lebih dari
40
20 tahun yang lalu terpaksa angkat bicara lagi karena ia melihat teorinya dikritik orang-orang
asbun. (It is) criticized for shortcomings that have already been addressed (2016), ujarnya.
Proses disruptive yang mengakibatkan penjungkirbalikan banyak lembaga bereputasi ini
bakal membuat pusing bukan saja para pendeta, pastor ataupun para kiai dan pengurus masjid
atau gereja. Kita semua, termasuk Menhub dan Menteri BUMN, pemilik televisi, Presiden,
bahkan Ketua BPK dan gubernur tengah mengalami ujian disruptive innovation yang berat.
Bahkan para ketua majelis wali amanah universitas bergengsi akan pusing mengatur rektor
yang kolot dan pengusaha taksi bereputasi tinggi yang amat kita cintai seperti Blue Bird atau
perusahaan minyak sekelas Aramco bakal bernasib buruk kalau kurang cermat merespons
gejolak disruptions ini. Bakal ada yang terjungkir balik. Melawan hukum manusia
kebanyakan loser takut dipenjara, tapi melawan hukum alam berisiko lebih besar pada korban
yang tak terbatas.
Baiklah kita membahas soal artikel di Boston Globe. Anda tahu bukan bahwa Boston Globe
adalah media cetak yang punya reputasi besar dalam menyajikan liputan-liputan investigasi.
Salah satu liputan Boston Globe pernah difilmkan. Judulnya Spotlight. Film ini kemudian
meraih penghargaan Academy Award atau kita mengenalnya dengan sebutan Oscar sebagai
Film Terbaik pada tahun 2016.
Apa isi liputannya? Menurut laporan Boston Globe, sejumlah biro perjalanan wisata di
Amerika Serikat mencatat pertumbuhan 164% dalam kurun waktu lima tahun terakhir atau
jika dirata-rata lebih dari 30% per tahun. Ini angka yang luar biasa. Sebab kalau merujuk data
Badan Pariwisata Dunia (World Tourism Organization), setiap tahun industri pariwisata
dunia hanya tumbuh rata-rata 4%. Bagaimana bisa?
Media ini lalu menelisik lebih dalam. Rupanya pemicu lonjakan adalah meningkatnya
permintaan wisata ke lokasi-lokasi yang memberikan pengalaman spiritual dan
religius. Potret ini tecermin di sejumlah biro perjalanan wisata di sana.
Misalnya Audley Travel, biro perjalanan wisata di Boston. Biro ini mengorganisasi
perjalanan “wisata penyembuhan” ke Bali, ke biara-biara Shinto-Buddha di Jepang, kuil-kuil
suci di Thailand, termasuk Taktsang Monastery (atau dikenal dengan sebutan Tigers Nest) di
Bhutan—sebuah kuil yang berlokasi di tebing dengan ketinggian lebih dari 3.000 meter dari
permukaan laut. Pendakian yang melelahkan, tetapi dikemas menjadi simbol betapa beratnya
perjalanan kehidupan di dunia. Belum lagi wedding party di Ubud plus afternoon tea di tepi
Sungai Ayung.
Biro wisata yang lain, Avanti Destinations, yang berbasis di Portland, Oregon, AS, juga
sukses mengemas perjalanan wisata spiritual. Permintaannya naik lebih dari dua kali
lipat. Destinasi wisata favorit Avanti adalah tempat kelahiran Martin Luther King Jr, tanah
kelahiran Paus Fransciscus II di Argentina, termasuk wisata ke Vatikan—yang setiap harinya
41
mampu menampung 25.000 wisatawan—, Machu Picchu di Peru, serta sejumlah lokasi
wisata yang misterius dan religius.
Andaikan Suriah tak dilanda perang, barangkali negara ini juga menjadi tujuan wisata yang
penting untuk mengunjungi makam Nabi Adam, sumur Ayub, Masjid Ummayyah, dan
Lembah Malula yang penduduknya masih mampu berdoa Bapak Kami dalam bahasa Aramik.
Potret serupa terjadi di biro-biro perjalanan wisata lainnya. Intinya menggambarkan
terjadinya tren wisata dunia dari yang semula sekadar mencari kesenangan menjadi mencari
ketenangan. Jadi, kalau dulu banyak wisatawan mencari lokasi yang menawarkan sun, sand
and sea—katanya untuk membuat kulit mereka lebih cokelat sehingga terlihat lebih menarik
(walau sampai sekarang saya tak mengerti mengapa lebih cokelat menjadi lebih menarik),
kini mereka mencari sesuatu yang lebih. Apa itu?
Mereka rupanya mencari destinasi wisata yang lebih memberikan ketenangan batin,
lokasinya lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan serta memperkaya pengalaman
spiritualitas mereka. Menurut Catherine M Cameron dan John B, Gatewood (2008), mereka
kini mencari beyond sun, sand and sea. Mereka sudah jenuh dengan wisata ke pantai,
berjemur matahari, dan menikmati pasir laut. Mereka ingin mencari destinasi wisata yang
lebih memberi makna. Istilahnya, serenity, sustainability and spirituality. Tengok saja
bandara-bandara kita, setiap hari dipenuhi jamaah umrah yang makin hari makin banyak
peminatnya. Semua mencari ketenangan, bukan ketegangan yang biasa kita baca di media
sosial atau kita lihat di televisi.
Para wisatawan juga sudah jenuh menghadapi situasi dunia yang tidak menentu, baik dalam
bidang politik maupun ekonomi. Mereka juga mulai bertanya-tanya tentang makna
kehidupan. Kata Daniel Olsen, profesor geografi dari Brigham Young University di AS,
banyak orang yang mulai bertanya-tanya tentang makna hidup, mengapa saya ada di dunia ini
dan di mana saya setelah meninggal dunia? “Wisata religi dan spiritual setidak-tidaknya
memberi mereka jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Memberi Anda perspektif lain
dalam hidup ini,” kata Olsen.
Di sisi lain, meningkatnya tren wisata religius juga dipicu kian meningkatnya popularitas
Paus Franciscus II, Dalai Lama, dan tokoh-tokoh spiritual lainnya, termasuk peringatan 500
tahun reformasi Protestan yang dipelopori Marthin Luther King Jr yang bakal jatuh pada
2017.
Perubahan dan Peluang
Saya tadi sudah menyinggung bahwa tren perubahan wisata—dari berbasis kesenangan
menjadi mencari ketenangan—tak hanya terjadi di tingkat dunia, tapi juga di depan mata kita.
Buktinya, meningkatnya minat ziarah wisata umat Katolik tadi. Lihatlah juga permintaan
wisata umrah dan haji yang setiap tahunnya terus meningkat.
42
Tapi, jangan hanya melihat ke luar. Lihatlah ke dalam. Negeri kita sebetulnya sangat kaya
dengan destinasi wisata tradisi dan religi. Kita mempunyai banyak masjid kuno yang menjadi
saksi sejarah tentang kebesaran Islam di negeri ini. Kita punya tradisi Grebeg Maulud yang
bisa dikemas menjadi tontonan memikat bagi para wisatawan asing. Kita juga punya makam
Walisongo yang berserak mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Jawa Timur.
Bagi kalangan Katolik, ada Gua Maria yang tersebar mulai dari Sumatera sampai Jawa. Kita
juga punya banyak sekali kelenteng kuno. Jangan lupa kita juga punya Candi Borobudur,
Candi Prambanan, dan ribuan candi lainnya yang kaya dengan tradisi religi. Belum lagi
upacara Ngaben dan penyucian air atau upacara Nyepi di Bali.
Maka kita jangan hanya menjadi penonton perubahan tren wisata dunia. Kita harus
menjadikannya sebagai peluang untuk menjaring lebih banyak wisatawan asing agar mau
mengunjungi objek-objek wisata religi di Tanah Air. Modal kita adalah kerukunan
beragama—meski sesekali dinodai oleh kelompok-kelompok radikal.
Setiap perubahan selalu menawarkan peluang. Itulah yang mesti kita tangkap.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
43
Desa: Mata Air vs Air Mata
29-04-2016
Ada dua julukan kontras yang lekat pada desa: sumber mata air dan lokasi air mata. Sebutan
desa sebagai sumber mata air merujuk pada aneka kekayaan yang dimiliki desa. Mulai
kekayaan alam yang melimpah, lingkungan yang asri, hingga modal sosial yang tercermin
dalam sikap guyub dan gotong-royong.
Tetapi, eksploitasi berlebihan atas sumber kekayaan alam hingga sikap mendewakan material
membuat desa hanya menjadi penonton. Secara ekonomi, desa dikepung sikap komersialisasi
yang melumpuhkan kegiatan ekonomi di perdesaan. Secara sosial, jaringan kekerabatan dan
kultur saling menolong, dikikis sistem ekonomi pasar yang mendewakan relasi antarindividu
dengan basis kalkulasi material. Secara politik, desa hanya sebagai objek. Relasi politik,
ekonomi, dan sosial yang tidak menguntungkan itulah yang membuat individuindividu di
perdesaan tunadaya (powerless) dan berkubang kemiskinan. Akhirnya desa tidak lagi ramah
dan justru jadi tempat ”air mata”.
Deretan fakta-fakta ini menunjuk desa sebagai lokasi ”air mata”. Pertama, kemiskinan
menumpuk di desa. Per September 2015 jumlah penduduk miskin 11,13% (28,51 juta), lebih
tinggi dari target 10,3%. Jumlah penduduk miskin di perdesaan mencapai 17,89 juta orang
atau 62,74% dari total penduduk miskin.
Kemiskinan sejak dulu terkonsentrasi di perdesaan. Pada 1976 jumlah penduduk miskin
perdesaan mencapai 44,2 juta orang atau 81,5% dari total penduduk miskin. Jadi, hampir
empat dekade kemiskinan tetap menumpuk di perdesaan.
Kedua, kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah. Menurut Sensus Pertanian 2013,
jumlah rumah tangga petani mencapai 26,14 juta rumah tangga, menurun 5,04 juta rumah
tangga dari 2003. Sekitar 72% dari mereka yang bekerja di sektor pertanian hanya
berpendidikan sekolah dasar (SD) ke bawah. Di luar itu, sepertiga (32,76%) petani berumur
di atas 54 tahun. Akibat itu, respons mereka terhadap perubahan relatif lamban.
Ketiga, penguasaan modal (lahan dan pendanaan) terbatas. Sebanyak 14,25 juta rumah tangga
petani (55,33%) gurem atau menguasai lahan di bawah 0,5 hektare. Keterbatasan modal
membuat pertanian tidak lagi jadi gantungan hidup. Kapasitas desa yang lemah semakin
tunadaya akibat kebijakan politik-ekonomi nasional yang menempatkan desa/perdesaan
hanya sebagai pemasok tenaga kerja murah, penyedia bahan mentah, dan pasar bagi
komoditas olahan (yang dikerjakan di wilayah lain atau di kota).
Pengalaman puluhan tahun pembangunan model semacam ini membuat desa selalu dalam
44
kubang keterbelakangan. Surplus modal dan SDM tidak kembali ke desa untuk memperbaiki
kapasitas desa. Sebaliknya, surplus lari ke luar desa dinikmati orang kota.
Residu pembangunan model semacam ini adalah ketimpangan yang tercermin pada
kesenjangan pendapatan antarpenduduk. Distribusi pendapatan menunjukkan porsi
pendapatan 40% masyarakat dengan pendapatan terendah menurun: dari 20,22% (2005) jadi
16,86% (2011). Sedangkan pendapatan 20% masyarakat berpendapatan tertinggi naik, dari
42,09% jadi 48,41%. Rasio gini kecenderungannya sama: meningkat dari 0,32 (2004)
menjadi 0,413 (2014). Yang menarik, dari September 2014 ke September 2015, indeks gini di
perkotaan naik dari 0,43 jadi 0,47. Sementara di perdesaan indeks gini menurun: dari 0,34
menjadi 0,27. Data-data di atas kian menambah terang fakta desa (masih) jadi tempat ”air
mata”.
Penurunan jumlah rumah tangga petani selaras dengan laju urbanisasi masif dari desa.
Mereka mencari peruntungan ke kota bukan karena dorongan keterampilan, melainkan
lantaran tidak ada peluang ekonomi di perdesaan. Karena tidak memiliki kemampuan, para
pelancong dari desa ini terlempar di sektor informal yang rentan dan tidak terlindungi.
Masifnya kaum urban miskin dari desa ini membuat jurang yang kaya dengan yang miskin di
perkotaan semakin melebar.
Duet Jokowi-JK memantapkan model pembangunan ekonomi yang dilakoni. Dalam
Nawacita, hal itu tercantum dalam ide ”membangun dari pinggiran dan perdesaan”. Alas
pokok penting untuk menjalankan model itu adalah Undang-Undang (UU) Desa Nomor
6/2014. Atensi semakin besar setelah pemerintah membentuk kementerian yang mengurus
desa: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Lewat pilihan ini, pemerintah hendak mengubah desa: dari lokasi ”air mata” menjadi sumber
mata air. Desa akan menjadi sumber mata air apabila roh UU Desa diimplementasikan
dengan baik. Semangat utama UU Desa adalah menyejahterakan masyarakat desa, bukan lagi
pembangunan di desa yang dikendalikan ketat secara administratif dari atas (rezim kontrol).
Terkait ini, ada dua hal strategis yang harus menjadi fokus kerja-kerja teknokratis ke depan.
Pertama, redistribusi aset/modal. Pada 2016 jumlah dana desa mencapai Rp46,8 triliun, naik
dua kali selama 2015 (Rp20,7 triliun). Aliran modal besar ke desa ini akan menciptakan
dampak berganda luar biasa apabila pada saat yang sama diiringi dengan redistribusi aset
berupa lahan.
Janji duet Jokowi-JK yang akan membagikan 9 juta hektare lahan kepada petani dan
meningkatkan penguasaan lahan dari 0,2 hektare menjadi 2 hektare per keluarga perlu
ditunaikan. Penguasaan aset lahan (plus kapital) akan memperbesar kapasitas petani.
Kedua, desa membangun harus diorientasikan dalam skala kawasan, bukan bertumpu pada
pendekatan administratif. Desa harus didesain terintegrasi dengan industri pengolahan.
Sumber daya ekonomi sebisa mungkin ditahan desa dan hanya keluar setelah melalui proses
45
penciptaan nilai tambah. Suntikan inovasi dan adopsi teknologi menjadi keniscayaan agar
nilai tambah dan dampak berganda sebesar-besarnya dinikmati masyarakat perdesaan.
Jika desain ini bisa dilakukan dengan baik, urbanisasi dapat ditekan dan posisi desa tidak lagi
inferior. Desa menjanjikan nilai tambah dan kehidupan lebih baik. Ini akan jadi daya tarik
lulusan perguruan tinggi untuk kembali ke desa. Perlahan, tapi pasti kemiskinan akan
terkikis. Langkah ini mesti dipayungi kebijakan makroekonomi, politik fiskal, moneter,
keuangan, perdagangan, investasi, dan hal lain yang memihak dan menjadikan desa sebagai
arus utama pembangunan.
Yang tak kalah penting adalah membalik arah pembangunan: dari sektor non-tradable (sektor
keuangan, jasa, real estate, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/ hotel/restoran)
yang bersifat padat modal, teknologi dan pengetahuan ke sektor tradable (pertanian,
pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal.
Pembangunan selama ini telah menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa,
dan marginalisasi ekonomi perdesaan. Orientasi ini harus dihentikan. UU Desa memberi
amanat suci itu. Jika ini bisa ditunaikan, desa akan benar-benar menjadi sumber mata air.
KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia (AEPI)
46
Memanusiakan Pekerja Alih Daya
30-04-2016
Dalam setiap peringatan Hari Buruh (May Day) di Indonesia, tuntutan terhadap penghapusan
outsourcing (tenaga kerja alih daya) selalu menjadi satu isu utama. Tidak terkecuali dengan
aksi buruh pada May Day tahun ini.
Tuntutan penghapusan outsourcing yang terus diteriakkan buruh tidak lepas dari stigma
negatif mengenai praktik outsourcing di negeri ini. Sistem kerja outsourcing dianggap bentuk
eksploitasi terhadap pekerja. Gaji rendah yang tidak sesuai dengan ketentuan upah minimum,
tidak ada asuransi kesehatan dan jaminan tenaga kerja, dan tidak dipenuhinya sejumlah hak-
hak normatif pekerja.
Praktik outsourcing juga dianggap tidak memberikan jenjang karier. Ditambah lagi dengan
adanya paradigma yang kurang tepat antara pekerja kontrak dan pekerja outsourcing. Tenaga
kerja outsourcing belum tentu statusnya adalah pekerja kontrak, begitu pun sebaliknya.
Lalu, apakah penghapusan sistem outsourcing lantas menjadi solusi bagi perbaikan
kesejahteraan pekerja? Perlu dipertimbangkan, berapa banyak nasib jumlah pekerja yang
dipertaruhkan jika sistem outsourcing dihapuskan? Belum lagi berbicara soal penyerapan
angkatan kerja dan jumlah pengangguran, khususnya untuk lulusan SMA yang merupakan
kelompok pengangguran tertinggi.
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2015, jumlah pengangguran di
Indonesia mencapai 7,56 juta orang. Dari jumlah itu, sebanyak 3,84 juta atau lebih dari 50%
merupakan lulusan SMA dan sederajat. Diikuti oleh pengangguran lulusan SMP (1,37 juta
orang), SD (1 juta orang), diploma (251.000 orang) dan sarjana (653.000).
Memang belum ada data pasti berapa jumlah pekerja outsourcing di Indonesia, meski pernah
ada yang menyebut bisa mencapai setengah jumlah pekerja formal. Namun sekadar
gambaran, perusahaan yang saya pimpin saat ini mempekerjakan lebih dari 60.000 karyawan
dan setiap bulan merekrut sekitar 1.800 tenaga kerja baru. Lebih dari 90% karyawan baru
tersebut adalah maksimum lulusan SMA yang belum punya pengalaman bekerja.
Di India, adanya outsourcing terbukti menjadi solusi terhadap masalah pengangguran dan
menjadi salah satu kontributor terbesar terhadap PDB negara tersebut. Tahun 2012 saja,
sektor outsourcing di India berkontribusi lebih dari USD100 miliar, dan akan tumbuh
menjadi USD225 miliar di tahun 2020. India menjadi negara terbesar di dunia untuk bisnis
outsourcing, disusul dengan Tiongkok.
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016

More Related Content

Viewers also liked (8)

(Sindonews.com) Opini sosial budaya 31 agustus 2016-8 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 31 agustus 2016-8 oktober 2016(Sindonews.com) Opini sosial budaya 31 agustus 2016-8 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 31 agustus 2016-8 oktober 2016
 
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 12 juni 2016-16 juli 2016
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 12 juni 2016-16 juli 2016(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 12 juni 2016-16 juli 2016
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 12 juni 2016-16 juli 2016
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
 
Happy @ work - Percept celebrates 30
Happy @ work - Percept celebrates 30 Happy @ work - Percept celebrates 30
Happy @ work - Percept celebrates 30
 
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
 
Honors awards & accolades of Percept Group - Celebrating 30 years
Honors awards & accolades of Percept Group - Celebrating 30 yearsHonors awards & accolades of Percept Group - Celebrating 30 years
Honors awards & accolades of Percept Group - Celebrating 30 years
 
Scada df
Scada dfScada df
Scada df
 
Uniwersytet dzieci jak zachęcić dziecko do nauki
Uniwersytet dzieci   jak zachęcić dziecko do naukiUniwersytet dzieci   jak zachęcić dziecko do nauki
Uniwersytet dzieci jak zachęcić dziecko do nauki
 

Similar to (Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016

Entrepeneur_Aang anwar 1 an_a_tugas_ti
Entrepeneur_Aang anwar 1 an_a_tugas_tiEntrepeneur_Aang anwar 1 an_a_tugas_ti
Entrepeneur_Aang anwar 1 an_a_tugas_ti
Aang Anwar
 
MENJADI_WIRAUSAHA.pptx
MENJADI_WIRAUSAHA.pptxMENJADI_WIRAUSAHA.pptx
MENJADI_WIRAUSAHA.pptx
TiaraQurani
 
Be Successful Before 30
Be Successful Before 30Be Successful Before 30
Be Successful Before 30
guest0a835a
 
Makalah Makalah Manajemen Oprasional Kewirausahaan
Makalah Makalah Manajemen Oprasional KewirausahaanMakalah Makalah Manajemen Oprasional Kewirausahaan
Makalah Makalah Manajemen Oprasional Kewirausahaan
Fahmy Metala
 
Usaha1,iwan muklas,hapzi ali,pengantar kewirausahaan,universitas mercubuana,2018
Usaha1,iwan muklas,hapzi ali,pengantar kewirausahaan,universitas mercubuana,2018Usaha1,iwan muklas,hapzi ali,pengantar kewirausahaan,universitas mercubuana,2018
Usaha1,iwan muklas,hapzi ali,pengantar kewirausahaan,universitas mercubuana,2018
IwanMuklas
 

Similar to (Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016 (13)

(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
 
Perilaku/Habitus Wirausahawan
Perilaku/Habitus WirausahawanPerilaku/Habitus Wirausahawan
Perilaku/Habitus Wirausahawan
 
Karakter dan kepemimpinan
Karakter dan kepemimpinanKarakter dan kepemimpinan
Karakter dan kepemimpinan
 
Entrepeneur_Aang anwar 1 an_a_tugas_ti
Entrepeneur_Aang anwar 1 an_a_tugas_tiEntrepeneur_Aang anwar 1 an_a_tugas_ti
Entrepeneur_Aang anwar 1 an_a_tugas_ti
 
MENJADI_WIRAUSAHA.pptx
MENJADI_WIRAUSAHA.pptxMENJADI_WIRAUSAHA.pptx
MENJADI_WIRAUSAHA.pptx
 
KEWIRAUSAHAAN - Pengusaha Kaya Indonesia 3 ; Chairul Tanjung
KEWIRAUSAHAAN - Pengusaha Kaya Indonesia 3 ; Chairul TanjungKEWIRAUSAHAAN - Pengusaha Kaya Indonesia 3 ; Chairul Tanjung
KEWIRAUSAHAAN - Pengusaha Kaya Indonesia 3 ; Chairul Tanjung
 
Kata MOTIVASI SUCCESS.docx
Kata MOTIVASI SUCCESS.docxKata MOTIVASI SUCCESS.docx
Kata MOTIVASI SUCCESS.docx
 
HRGI Edisi Mei Juni 2015
HRGI Edisi Mei Juni 2015HRGI Edisi Mei Juni 2015
HRGI Edisi Mei Juni 2015
 
Lay Analyst Edisi Mei-Juni 2015
Lay Analyst Edisi Mei-Juni 2015Lay Analyst Edisi Mei-Juni 2015
Lay Analyst Edisi Mei-Juni 2015
 
Be Successful Before 30
Be Successful Before 30Be Successful Before 30
Be Successful Before 30
 
Membangun Budaya Inovasi untuk Melentingkan Kinerja Organisasi
Membangun Budaya Inovasi untuk Melentingkan Kinerja OrganisasiMembangun Budaya Inovasi untuk Melentingkan Kinerja Organisasi
Membangun Budaya Inovasi untuk Melentingkan Kinerja Organisasi
 
Makalah Makalah Manajemen Oprasional Kewirausahaan
Makalah Makalah Manajemen Oprasional KewirausahaanMakalah Makalah Manajemen Oprasional Kewirausahaan
Makalah Makalah Manajemen Oprasional Kewirausahaan
 
Usaha1,iwan muklas,hapzi ali,pengantar kewirausahaan,universitas mercubuana,2018
Usaha1,iwan muklas,hapzi ali,pengantar kewirausahaan,universitas mercubuana,2018Usaha1,iwan muklas,hapzi ali,pengantar kewirausahaan,universitas mercubuana,2018
Usaha1,iwan muklas,hapzi ali,pengantar kewirausahaan,universitas mercubuana,2018
 

Recently uploaded

Jual Obat Aborsi Denpasar Bali ( Asli Ampuh No.1 ) 082223109953 Tempat Klinik...
Jual Obat Aborsi Denpasar Bali ( Asli Ampuh No.1 ) 082223109953 Tempat Klinik...Jual Obat Aborsi Denpasar Bali ( Asli Ampuh No.1 ) 082223109953 Tempat Klinik...
Jual Obat Aborsi Denpasar Bali ( Asli Ampuh No.1 ) 082223109953 Tempat Klinik...
Jual Obat Aborsi Denpasar Kandungan Denpasar Bali
 
Klinik Obat Aborsi Di Palembang Wa 0822/2310/9953 Klinik Aborsi Di Palembang
Klinik Obat Aborsi Di Palembang Wa 0822/2310/9953  Klinik Aborsi Di PalembangKlinik Obat Aborsi Di Palembang Wa 0822/2310/9953  Klinik Aborsi Di Palembang
Klinik Obat Aborsi Di Palembang Wa 0822/2310/9953 Klinik Aborsi Di Palembang
Klinik Obat Aborsi Di Palembang Wa 0822/2310/9953 Klinik Aborsi
 
Jual Obat Aborsi Yogyakarta 082223109953 Klinik Jual Obat Aborsi Cytotec asli...
Jual Obat Aborsi Yogyakarta 082223109953 Klinik Jual Obat Aborsi Cytotec asli...Jual Obat Aborsi Yogyakarta 082223109953 Klinik Jual Obat Aborsi Cytotec asli...
Jual Obat Aborsi Yogyakarta 082223109953 Klinik Jual Obat Aborsi Cytotec asli...
Jual Obat Aborsi Yogyakarta 082223109953 Cytotec Yogyakarta
 
Sosialisasi Permendag 7 Tahun 2024 Rev 02052024.pptx
Sosialisasi Permendag 7 Tahun 2024 Rev 02052024.pptxSosialisasi Permendag 7 Tahun 2024 Rev 02052024.pptx
Sosialisasi Permendag 7 Tahun 2024 Rev 02052024.pptx
gulieglue
 
KELOMPOK 3_MODUL 5_MANAJEMEN PERSEDIAAN[1].pptx
KELOMPOK 3_MODUL 5_MANAJEMEN PERSEDIAAN[1].pptxKELOMPOK 3_MODUL 5_MANAJEMEN PERSEDIAAN[1].pptx
KELOMPOK 3_MODUL 5_MANAJEMEN PERSEDIAAN[1].pptx
UPPKBGUYANGAN
 
BAB PERTEMUAN 6 AKUNTANSI BIAYA TENAGA KERJA
BAB PERTEMUAN 6 AKUNTANSI BIAYA TENAGA KERJABAB PERTEMUAN 6 AKUNTANSI BIAYA TENAGA KERJA
BAB PERTEMUAN 6 AKUNTANSI BIAYA TENAGA KERJA
NoorAmelia4
 
Obat Aborsi Surabaya WA 082223109953 Jual Obat Aborsi Cytotec Asli Di Surabaya
Obat Aborsi Surabaya WA 082223109953 Jual Obat Aborsi Cytotec Asli Di SurabayaObat Aborsi Surabaya WA 082223109953 Jual Obat Aborsi Cytotec Asli Di Surabaya
Obat Aborsi Surabaya WA 082223109953 Jual Obat Aborsi Cytotec Asli Di Surabaya
Obat Aborsi Surabaya WA 082223109953 Cytotec Asli Surabaya
 
MATERI PEMBELAJARAN REALISASI ANGGARAN.pptx
MATERI PEMBELAJARAN REALISASI ANGGARAN.pptxMATERI PEMBELAJARAN REALISASI ANGGARAN.pptx
MATERI PEMBELAJARAN REALISASI ANGGARAN.pptx
DenzbaguseNugroho
 
Jual Obat Aborsi Serang wa 082223109953 Klinik Jual Obat Penggugur Kandungan ...
Jual Obat Aborsi Serang wa 082223109953 Klinik Jual Obat Penggugur Kandungan ...Jual Obat Aborsi Serang wa 082223109953 Klinik Jual Obat Penggugur Kandungan ...
Jual Obat Aborsi Serang wa 082223109953 Klinik Jual Obat Penggugur Kandungan ...
Jual Obat Aborsi Serang 082223109953 Cytotec Asli Serang
 

Recently uploaded (14)

Financial Behavior Financial behavior mempelajari bagaimana manusia secara ac...
Financial Behavior Financial behavior mempelajari bagaimana manusia secara ac...Financial Behavior Financial behavior mempelajari bagaimana manusia secara ac...
Financial Behavior Financial behavior mempelajari bagaimana manusia secara ac...
 
Materi Kuliah Kebijakan Ekonomi Makro_.pptx
Materi Kuliah Kebijakan Ekonomi Makro_.pptxMateri Kuliah Kebijakan Ekonomi Makro_.pptx
Materi Kuliah Kebijakan Ekonomi Makro_.pptx
 
Jual Obat Aborsi Denpasar Bali ( Asli Ampuh No.1 ) 082223109953 Tempat Klinik...
Jual Obat Aborsi Denpasar Bali ( Asli Ampuh No.1 ) 082223109953 Tempat Klinik...Jual Obat Aborsi Denpasar Bali ( Asli Ampuh No.1 ) 082223109953 Tempat Klinik...
Jual Obat Aborsi Denpasar Bali ( Asli Ampuh No.1 ) 082223109953 Tempat Klinik...
 
Klinik Obat Aborsi Di Palembang Wa 0822/2310/9953 Klinik Aborsi Di Palembang
Klinik Obat Aborsi Di Palembang Wa 0822/2310/9953  Klinik Aborsi Di PalembangKlinik Obat Aborsi Di Palembang Wa 0822/2310/9953  Klinik Aborsi Di Palembang
Klinik Obat Aborsi Di Palembang Wa 0822/2310/9953 Klinik Aborsi Di Palembang
 
Jual Obat Aborsi Yogyakarta 082223109953 Klinik Jual Obat Aborsi Cytotec asli...
Jual Obat Aborsi Yogyakarta 082223109953 Klinik Jual Obat Aborsi Cytotec asli...Jual Obat Aborsi Yogyakarta 082223109953 Klinik Jual Obat Aborsi Cytotec asli...
Jual Obat Aborsi Yogyakarta 082223109953 Klinik Jual Obat Aborsi Cytotec asli...
 
Sosialisasi Permendag 7 Tahun 2024 Rev 02052024.pptx
Sosialisasi Permendag 7 Tahun 2024 Rev 02052024.pptxSosialisasi Permendag 7 Tahun 2024 Rev 02052024.pptx
Sosialisasi Permendag 7 Tahun 2024 Rev 02052024.pptx
 
Sosialisasi Pelaporan Proyeksi Target dan Realiasi Capaian Output TA 2024
Sosialisasi Pelaporan Proyeksi Target dan Realiasi Capaian Output TA 2024Sosialisasi Pelaporan Proyeksi Target dan Realiasi Capaian Output TA 2024
Sosialisasi Pelaporan Proyeksi Target dan Realiasi Capaian Output TA 2024
 
MATERI EKONOMI MANAJERIAL: TEORI DAN ESTIMASI BIAYA.pdf
MATERI EKONOMI MANAJERIAL: TEORI DAN ESTIMASI BIAYA.pdfMATERI EKONOMI MANAJERIAL: TEORI DAN ESTIMASI BIAYA.pdf
MATERI EKONOMI MANAJERIAL: TEORI DAN ESTIMASI BIAYA.pdf
 
KELOMPOK 3_MODUL 5_MANAJEMEN PERSEDIAAN[1].pptx
KELOMPOK 3_MODUL 5_MANAJEMEN PERSEDIAAN[1].pptxKELOMPOK 3_MODUL 5_MANAJEMEN PERSEDIAAN[1].pptx
KELOMPOK 3_MODUL 5_MANAJEMEN PERSEDIAAN[1].pptx
 
BAB PERTEMUAN 6 AKUNTANSI BIAYA TENAGA KERJA
BAB PERTEMUAN 6 AKUNTANSI BIAYA TENAGA KERJABAB PERTEMUAN 6 AKUNTANSI BIAYA TENAGA KERJA
BAB PERTEMUAN 6 AKUNTANSI BIAYA TENAGA KERJA
 
Obat Aborsi Surabaya WA 082223109953 Jual Obat Aborsi Cytotec Asli Di Surabaya
Obat Aborsi Surabaya WA 082223109953 Jual Obat Aborsi Cytotec Asli Di SurabayaObat Aborsi Surabaya WA 082223109953 Jual Obat Aborsi Cytotec Asli Di Surabaya
Obat Aborsi Surabaya WA 082223109953 Jual Obat Aborsi Cytotec Asli Di Surabaya
 
PPT PENGANGGARAN MODAL MK MANAJEMEN KEUANGAN
PPT PENGANGGARAN MODAL MK MANAJEMEN KEUANGANPPT PENGANGGARAN MODAL MK MANAJEMEN KEUANGAN
PPT PENGANGGARAN MODAL MK MANAJEMEN KEUANGAN
 
MATERI PEMBELAJARAN REALISASI ANGGARAN.pptx
MATERI PEMBELAJARAN REALISASI ANGGARAN.pptxMATERI PEMBELAJARAN REALISASI ANGGARAN.pptx
MATERI PEMBELAJARAN REALISASI ANGGARAN.pptx
 
Jual Obat Aborsi Serang wa 082223109953 Klinik Jual Obat Penggugur Kandungan ...
Jual Obat Aborsi Serang wa 082223109953 Klinik Jual Obat Penggugur Kandungan ...Jual Obat Aborsi Serang wa 082223109953 Klinik Jual Obat Penggugur Kandungan ...
Jual Obat Aborsi Serang wa 082223109953 Klinik Jual Obat Penggugur Kandungan ...
 

(Sindonews.com) Opini ekonomi 17 april 2016-6 juni 2016

  • 1. 1 DAFTAR ISI MENGHINDARI “SETAN LEWAT” Lukas Setia Atmaja 4 2ND GEN CHALLENGES (2) Yuswohady 6 ANTISIPASI PERLAMBATAN EKONOMI TERHADAP PENGANGGURAN Firmanzah 9 ILUSI TAX AMNESTY Hardy R Hermawan 12 MIR Rhenald Kasali 15 PEREMPUAN DAN KEUANGAN INKLUSIF Mukhaer Pakkanna 18 KELAUTAN SEBAGAI MESIN PERTUMBUHAN EKONOMI BARU Rokhmin Dahuri 21 MENGUKUR KEPRIBADIAN SAHAM Lukas Setia Atmaja 25 NOTHING TO LOSE Yuswohady 27 KHITAH EKONOMI KERAKYATAN NU A Helmy Faishal Zaini 30 REKLAMASI MEMARGINALKAN NELAYAN Muhamad Kasim 33 MENIMBANG ULANG WACANA TAX AMNESTY Dzulfian Syafrian 36 TOURISM: OLD VS NEW DAN DISRUPTION TREND Rhenald Kasali 39 DESA: MATA AIR VS AIR MATA Khudori 43 MEMANUSIAKAN PEKERJA ALIH DAYA Elisa Lumbantoruan 46
  • 2. 2 INSTRUMEN INVESTASI DAN TARGET TAX AMNESTY Evi Ratnasari 49 MENGAPA HARUS TAX AMNESTY? Candra Fajri Ananda 52 TAX AMNESTY DAN POTENSI PEMBANGKANGAN WAJIB PAJAK Bambang Soesatyo 56 PAKET KEBIJAKAN PRO-BURUH KAPAN DIRILIS? Bhima Yudhistira Adhinegara 60 FAMILY VALUES Yuswohady 63 URGENSI MEMPERCEPAT AKSES KEUANGAN DI DAERAH Fauzi Nugroho 66 REGULATOR DAN OPERATOR YANG CERDAS Rhenald Kasali 69 SISTEM PEMBAYARAN ERA TEKNOLOGI DIGITAL Achmad Deni Daruri 73 JANGAN MENUNGGU GODOT Lukas Setia Atmaja 76 BUSINESS FIRST, BUKAN FAMILY FIRST Yuswohady 78 ROBBY DJOHAN THE LEGEND OF BANKER Eko B Supriyanto 80 PRINSIP PARTISIPATIF PADA PEMBANGUNAN DESA Candra Fajri Ananda 83 MENGENDALIKAN KONSUMSI PANGAN Posman Sibuea 86 APA KABAR TPP DAN RCEP? Dinna Wisnu 90 MENEGAKKAN (LAGI) KEDAULATAN MARITIM Dedi Purwana ES 94 EKONOMI BARU DAN REFORMULASI STRATEGI Rhenald Kasali 97 MENAKAR DAYA SAING PASAR MODAL SYARIAH Muhammad Touriq 101
  • 3. 3 OPTIMISME EKONOMI INDONESIA Tirta Segara 104 REPATRIASI TAX AMNESTY DAN KESEJAHTERAAN Danu Sandjoyo SAB 107 AMERIKA-VIETNAM Dinna Wisnu 110 DEFLASI Rhenald Kasali 113 BELAJAR DARI ROTTERDAM Elfindri 117 STRATEGI PENGUATAN INDUSTRI ENERGI NASIONAL Ali Ahmudi 120 ADA APA DENGAN RIGHTS ISSUE? Lukas Setia Atmaja 124 BRI DAN BRANDING SATELIT Yuswohady 127 MEWASPADAI ANCAMAN INFLASI Candra Fajri Ananda 130 ISE-SHIMA SUMMIT DAN JOKOWI Tirta N Mursitama 134 KONSEPSI KEMANDIRIAN EKONOMI SOEKARNO Eko Sulistyo 137 SATELIT BRI DI KURVA KEDUA Rhenald Kasali 140 MARHABAN YA RAMADHAN, MARHABAN YA INFLASI Bhima Yudhistira Adhinegara 143 ADA APA DENGAN STOCK SPLIT? Lukas Setia Atmaja 146 DISRUPT! Yuswohady 148 JOKOWI, RAMADHAN, DAN HARGA PANGAN Khudori 150 GOOD BRAND = EFFICIENCY Heru Gunadi 153
  • 4. 4 Menghindari ”Setan Lewat” 17-04-2016 Sukses berinvestasi, baik pada aset riil maupun finansial, tergantung pada lima hal: Kemampuan menemukan dan menganalisis peluang investasi, keberanian mengambil risiko, perencanaan investasi yang matang, eksekusi perencanaan investasi yang baik, dan mengendalikan emosi. Kita akan membahas terlebih dahulu aspek terakhir, pengendalian emosi. Novel klasik berjudul Dr Jekyll and Mr Hyde karya Louis Stevenson (1886) mengisahkan Dr Jekyll yang amat santun, ramah dan banyak teman. Sebaliknya, Mr Hyde adalah pria yang misterius, kejam, dan pembunuh. Keduanya tidak bisa tampil bersamaan karena sejatinya Mr Hyde adalah transformasi dari Dr Jekyll setelah minum suatu ramuan. Mr Hyde merupakan ekspresi dari kepribadian tersembunyi Dr Jekyll. Semakin hari, kekuatan Mr Hyde semakin bertambah sehingga Dr Jekyll harus minum ramuan lain untuk mempertahankan jati dirinya. Akhirnya Dr Jekyll menyerah kalah, ia sepenuhnya menjadi Mr Hyde. Mirip dengan Jekyll dan Hyde, seseorang bisa memiliki dua ”kepribadian” yang berbeda: Tuan Rasional dan Tuan Emosional. Tuan Rasional sadar bahwa ia harus berinvestasi untuk masa tuanya. Tuan Emosional lebih suka berfoya-foya. Tuan Rasional ingin tetap sehat dan langsing. Tuan Emosional tidak tahan melihat es krim dan gulai kambing. Dan Ariely, pakar behavioral economist dari MIT, berteori bahwa pembuatan keputusan dipengaruhi oleh kondisi emosional (hot stage) atau rasional (cool stage). Dari risetnya dengan sampel mahasiswa University of California, Berkeley, ia membuktikan bahwa keputusan yang diambil saat hot stage amat berbeda dengan cool stage. Saat cool stage, hampir semua mahasiswa menjawab ”No” saat ditanya apakah bersedia berhubungan seks bebas tanpa kondom, karena takut terkena HIV. Namun pada hot stage (kondisi terangsang secara seksual), mayoritas mahasiswa tersebut menjawab ”Yes” untuk pertanyaan yang sama. Keputusan yang diambil saat hot stage cenderung tidak rasional sehingga bersifat merugikan. Dalam budaya Jawa, ada istilah ”setan lewat”. Orang baik bisa terkena ”setan lewat”, yakni punya ide atau mengambil keputusan impulsif yang tidak rasional sehingga merugikan. Misalnya, seseorang yang tiba-tiba ingin mencuri di toko saat melihat barang yang diidamkan, dan penjaganya sedang sibuk melayani. Artinya, saat ada setan lewat, Tuan Emosional berhasil meng-KO Tuan Rasional.
  • 5. 5 Pemain bulu tangkis legendaris, Rudy Hartono, sang juara All England delapan kali, terkenal memiliki teknik yang mumpuni, stamina yang kuat, otak yang encer dan pengendalian emosi yang bagus. Rudy adalah pemain yang cool, calm. Jika membuat kesalahan, dia tidak cepat marah, down, dan tertekan. Sebaliknya, saat posisi sedang unggul, dia tetap waspada dan bermain sabar. Tidak terburu-buru. Ketenangan Rudy yang membuat lawan-lawannya takluk, termasuk Svend Pri, seteru terberatnya yang eksentrik dan emosional. Rudy tetap bermain dengan tenang dan bersemangat meskipun lawan sudah hampir menang. ”Sebelum poin terakhir diraih lawan, pertandingan belum berakhir,” kata Rudy dengan yakin. Bagaimana cara menghindari ”setan lewat” dalam berinvestasi? Pertama, kita dapat menentukan beberapa aturan sebagai patokan untuk bertindak (rules of thumbs). Aturan ini menjadi wake-up-call yang membangunkan kita saat Tuan Emosional mulai beraksi. Misalnya, untuk pensiunan, jangan pernah sentuh uang pokok simpanan di deposito. Bagi trader saham, jangan trading melebihi sejumlah uang tertentu. Bagi investor saham berwawasan jangka panjang, komitmen untuk tetap memegang saham walau pasar sedang bearish (lesu, harga turun). Bagi investor properti, sebaiknya berhati-hati saat terlihat ratusan spekulan properti berebutan membeli rumah baru yang ditawarkan. Bagi investor awam, menghindari investasi bodong seperti arisan berantai atau Skema Ponzi. Kedua, mengendalikan lingkungan. Kita bisa menghindari objek atau situasi yang bisa membuat Tuan Emosional muncul. Misalnya, perokok yang sedang berusaha berhenti merokok sebaiknya tidak menyimpan rokok di rumah. Bagi investor yang mudah diombang- ambingkan dengan berbagai sentimen/berita, sebaiknya menghindari saham dan memilih instrumen investasi yang lebih rendah risiko seperti obligasi. Terakhir, dan yang terpenting, hindari membuat keputusan saat hot stage. Redakan dulu emosi dan buatlah keputusan investasi pada saat cool stage. Ungkapan dalam budaya Jawa, ”Alon alon waton kelakon” bisa diterapkan untuk menghindari ”setan lewat”. Ungkapan ini sering disalahartikan sebagai melakukan sesuatu dengan pelan-pelan, mirip tarian di Keraton Yogyakarta. Namun sebenarnya ia punya makna yang dalam, yakni melakukan sesuatu secara saksama, penuh perhitungan, tidak terburu-buru. Lebih baik kehilangan kesempatan daripada menderita kerugian karena grusa-grusu. Tanpa bertemu ”setan lewat”, harapan kita untuk mencapai tujuan investasi menjadi lebih besar. LUKAS SETIA ATMAJA Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
  • 6. 6 2nd Gen Challenges (2) 17-04-2016 Untuk ketiga kalinya, 19 Mei nanti kantor saya Inventure bersama KORAN SINDO akan menggelar Indonesia Brand Forum (IBF) 2016. Event tahunan ini diselenggarakan untuk membangkitkan kesadaran membangun brand Indonesia untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri bahkan menjadi champion di pasar global. Makanya semboyan yang selalu kami usung adalah: Kebangkitan Nasional Kedua, Adalah Kebangkitan Brand Indonesia. Tahun ini kami mengambil tema yang agak berbeda yaitu ”Branding Family Business”. Kenapa kami ambil tema ini, karena rupanya lebih dari 90% brand lokal Indonesia adalah brand perusahaan keluarga, sehingga membangun brand Indonesia tak bisa dilepaskan dari membangun brand perusahaan keluarga. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, kami melakukan riset khusus mengenai topik tersebut. Karena itu, sejak tengah tahun lalu saya dan tim melakukan riset mengenai tantangan pemimpin generasi kedua dari perusahaan keluarga di Indonesia. Hasil riset ini akan dihimpun dalam sebuah buku berjudul The Second Generation Challenges yang akan diluncurkan di IBF 2016 tanggal 19 Mei nanti. Berikut ini adalah ringkasan dari hasil riset tersebut. Tulisan bagian pertama sudah saya sampaikan minggu lalu, berikut ini adalah tulisan bagian kedua. Pemimpin Transformatif Salah satu ciri umum kepemimpinan generasi kedua adalah kepemimpinan transformatif (transformational leadership) yang mengubah perusahaan dari format traditional entrepreneurial menjadi perusahaan modern-profesional. Tipikal perusahaan keluarga generasi pertama adalah bersifat entrepreneurial di mana konsep-konsep manajemen modern belum banyak diterapkan. Sistem-sistem di dalam organisasi (operasi, SDM, keuangan, teknologi informasi, dan sebagainya) juga belum banyak dikembangkan. Perusahaan seperti ini biasanya mengandalkan business wisdom dan intuisi dari pemimpin generasi pertama yang sekaligus sebagai pendiri. Dalam banyak kasus perusahaan dijalankan secara one-man show, di mana seluruh keputusan terkonsentrasi pada si founding leader. Begitu pemimpin generasi kedua hadir, pola kepemimpinannya mulai berubah. Pemimpin generasi kedua umumnya sudah mengenyam pendidikan bisnis di Amerika atau Eropa dan mereka sudah memahami konsep-konsep bisnis modern. Nah, di sinilah pemimpin generasi
  • 7. 7 kedua mulai mencangkokkan konsep dan sistem manajemen modern ke dalam organisasi. Dan, transformasi menuju organisasi profesional nan modern pun dimulai. Sistem, Bukan Tokoh Gaya kepemimpinan transformatif kental terlihat pada sosok Michael Wanandi, presiden direktur Combiphar. Setelah menduduki posisi puncak di Combiphar, Michael merintis sebuah transformasi besar di tubuh organisasi dengan visi Combiphar 2020 dan mengeksekusinya. Melalui visi tersebut, Michael ingin membawa Combiphar untuk fokus dari bisnis obat generik ke consumer health dengan membudayakan hidup sehat dan mencegah sakit, bukan mengobati sakit. Perubahan fokus ini mengubah secara mendasar arah bisnis Combiphar. Tak hanya itu, Michael juga memperkenalkan budaya baru ala generasi kedua yang lebih egaliter, terbuka, dan bernuansa kemitraan. Pemimpin transformatif juga pekat terlihat pada sosok Shinta Kamdani, presiden direktur Sintesa Group. Saat mengambil alih estafet kepemimpinan, Shinta mulai merintis transformasi besar-besaran dengan menajamkan fokus bisnis yang dimasuki, membenahi struktur organisasi, menarik profesional untuk mengisi jajaran manajemen, membangun budaya perusahaan yang kokoh, dan segudang inisiatif lain. New Leader, New Style Pergantian estafet kepemimpinan dari generasi pertama ke generasi kedua biasanya juga diikuti dengan perubahan gaya kepemimpinan. Berbagai riset mengonfirmasi bahwa dari generasi pertama ke generasi berikutnya, gaya kepemimpinan cenderung berubah dari informal, subjektif, dan paternalistik menuju gaya kepemimpinan yang lebih formal, objektif, dan profesional. Maya Watono memiliki gaya kepemimpinan yang sangat berbeda dengan ayahnya. Adji Watono, sang ayah, adalah tipe pemimpin yang sangat entrepreneurial; mengandalkan intuisi bisnis yang tajam; memiliki drive dan semangat yang menyala-nyala; memiliki kemampuan relationship ke klien yang luar biasa. Sementara Maya cenderung lebih berpikir sistematis dan runut, selalu berorientasi strategis, lebih partisipatif dan egaliter; dan selalu mengandalkan kekuatan tim dalam melakukan pengambilan keputusan. Namun di tengah perbedaan gaya tersebut, dua pemimpin dari dua generasi ini masih bisa saling menyinkronkannya. Kalau enggak sinkron, pasti akan terjadi dualisme kepemimpinan. Kalau hal ini sampai terjadi, bisa dipastikan perusahaan akan terseok-seok dalam mengarungi jalan transformasi. ”Kalau sekarang bukan dualisme kepemimpinan, tapi kita memimpin bersama,” tegas Maya. Maya Watono menyebutnya dengan istilah ”co-working”, yaitu kolaborasi kepemimpinan antara generasi pertama dan kedua.
  • 8. 8 Keroyokan Mengenai kerja kolaborasi di dalam perusahaan keluarga, kasus yang terjadi di Grup Hotel Tugu membawa lessons learned yang sangat berharga. Bisnis hotel dan restoran Grup Tugu Hotel tersebar di Jakarta, Malang, Blitar, Bali, hingga Lombok. Karena cakupan bisnis yang mulai membentang, tugas pengelolaan harus dibagi di antara pemimpin generasi pertama dan kedua. Di sinilah kepemimpinan keroyokan berlangsung dengan efektif dan harmonis. Pemimpin besar tentu dipegang si ayah yang mengorkestrasikan semua portofolio bisnis secara strategis. Annette, si pencinta restoran, memikirkan dan mengelola kelima restoran yang berpusat di Jakarta. Sementara si kakak, Lucienne Kristy Anhar yang lulus dari Ecole Hoteliere de Lausanne, Swiss, bertanggung jawab mengelola hotel. Adapun Wedya, sang ibu, masih memelototi laporan keuangan agar kinerja unit-unit usaha tetap dalam jalur yang benar dan solid mencetak laba. YUSWOHADY Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
  • 9. 9 Antisipasi Perlambatan Ekonomi terhadap Pengangguran 18-04-2016 Tren perlambatan ekonomi global dikhawatirkan akan menurunkan optimisme penciptaan lapangan kerja dunia. Sebagai konsekuensinya, angka pengangguran berisiko meningkat tajam. Tidak hanya negara maju, kekhawatiran ini juga dialami banyak negara emerging dan berkembang, tak terkecuali Indonesia. Kenaikan angka pengangguran akan memperparah kondisi ekonomi dengan munculnya dampak turunan seperti menurunnya daya beli, terbatasnya ekspansi bisnis, dan menurunnya pendapatan negara akibat melambatnya aktivitas perekonomian. Tidak mengherankan dalam situasi perlambatan ekonomi global, banyak lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF, ILO dan OECD memberikan warning kepada setiap negara agar lebih fokus dalam melakukan kebijakan baik moneter maupun fiskal agar mampu mempertahankan penciptaan lapangan kerja di tengah perlambatan ekonomi. Bank Dunia memangkas target pertumbuhan ekonomi dunia 2016 menjadi hanya 2,6% dari target awal 3,3%. IMF juga merevisi target pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,2% dari prakiraan awal yang disusun pada Januari 2016. Di April 2016, IMF menargetkan ekonomi dunia bisa tumbuh 3,2%, lebih rendah dari proyeksi semula yang ditetapkan sebesar 3,4%. Revisi ke bawah target pertumbuhan ekonomi dunia masih sangat terbuka ketika belum ada tanda-tanda pemulihan ekonomi di Cina, Eropa, dan sejumlah kawasan lain. Landainya pertumbuhan perdagangan, investasi, dan output manufaktur dunia juga mencerminkan perekonomian dunia memasuki periode waktu yang disebut IMF sebagai too slow for too long. Bagi Indonesia, kondisi perekonomian dunia langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada kinerja perekonomian nasional. Realisasi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) nasional di 2015 yang sebesar 4,79% jauh lebih rendah dari target APBN-P 2015 yang sebesar 5,7%. Kondisi ini berdampak langsung pada sektor ketenagakerjaan nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporannya menunjukkan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2015 sebesar 6,18%, meningkat dibandingkan dengan posisi TPT Februari 2015, 5,81%. Secara year on year TPT pada Agustus 2015 juga lebih tinggi dibandingkan dengan Agustus 2014 yang berada di level 5,94%. Data BPS juga menunjukkan, pada Agustus 2015, jumlah penduduk yang bekerja turun 6,0 juta orang dari 120,8 juta di Februari 2015 menjadi 114,8
  • 10. 10 juta pada Agustus 2015. Peningkatan tingkat pengangguran terbuka sepanjang 2015 perlu menjadi perhatian serius pemerintah agar di tahun 2016 kondisinya bisa menjadi lebih baik. Sementara itu, dalam APBN 2016 ditetapkan target angka pengangguran sebesar 5,2-5,5%. Tingginya target penurunan angka pengangguran nasional perlu menjadi fokus pemerintah agar bisa tercapai mengingat tantangan untuk meningkatkan lapangan kerja di tengah perlambatan perekonomian akan semakin tinggi. Sementara itu banyak lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF juga merevisi turun target pertumbuhan ekonomi nasional di tahun 2016. Misalnya, Bank Dunia baru-baru ini memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2016 sebesar 5,1%. Adapun IMF memperkirakan ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 4,9% di 2016. Kedua prakiraan lembaga internasional itu di bawah target pertumbuhan ekonomi di APBN 2016 yang dipatok sebesar 5,3%. Prakiraan kedua lembaga internasional tersebut perlu menjadi perhatian pemerintah, khususnya keterkaitannya pada kebijakan penciptaan lapangan kerja dan penurunan angka pengangguran nasional. *** Struktur ketenagakerjaan di Indonesia sangatlah unik. Mereka yang bekerja di sektor informal jauh lebih besar daripada dengan sektor formal. BPS mencatat pada Agustus 2015 penduduk Indonesia yang bekerja di sektor formal sebanyak 48,5 juta orang atau 42,24%. Sementara itu, mereka yang bekerja di sektor informal mencapai 66,3 juta orang atau 57,76%. Besarnya tenaga kerja sektor informal, di satu sisi, membantu penyerapan tenaga kerja, tetapi di sisi lain juga menciptakan sejumlah masalah. Pekerja di sektor informal sangat rentan terhadap perlambatan ekonomi nasional seperti mereka yang berstatus berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di non-pertanian, dan pekerja keluarga/tidak dibayar. Mereka yang bekerja di sektor informal sangat rentan tidak hanya pemutusan hubungan kerja (PHK), tetapi juga proteksi pekerjaan bila dibandingkan dengan mereka yang bekerja di sektor formal. Oleh karenanya, di tengah perlambatan perekonomian dunia dan nasional, sektor ketenagakerjaan perlu menjadi fokus kebijakan nasional. Kebijakan untuk memperluas lapangan usaha yang padat karya perlu menjadi salah satu prioritas nasional. Paket kebijakan yang menyasar untuk memberikan insentif tidak hanya investasi pada industri padat modal dan padat teknologi tetapi juga padat karya. Selain itu, kebijakan bagi perlindungan industri padat karya yang telah beroperasi agar tidak tutup atau merelokasi industri ke negara lain juga perlu menjadi salah satu fokus kebijakan. Kebijakan fiskal perlu tidak hanya bagi calon investor baru yang akan masuk ke Indonesia, melainkan juga proteksi investasi padat karya. Lebih dari itu, pengawasan di sektor ketenagakerjaan di tengah upaya menarik investasi asing juga perlu ditingkatkan. Ini agar serbuan tenaga kerja asing non-tenaga ahli dapat dicegah.
  • 11. 11 Dengan demikian investasi asing akan dapat membantu penyerapan tenaga kerja nasional secara massif. Pemanfaatan dana desa untuk mendorong lapangan kerja di perdesaan juga menjadi semakin penting. Dalam hal ini, koordinasi dan kerja sama lintas kementerian antara Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Dalam Negeri, dan Bappenas perlu duduk bersama untuk mengaitkan penyaluran dana desa dengan target penyerapan dan penciptaan lapangan kerja secara lebih terukur. Target dana desa tidak hanya terbatas pada penyalurannya saja, tetapi perlu ditambahkan berapa besar kontribusinya pada penyerapan lapangan kerja. Selain itu, sektor ketenagakerjaan juga perlu duduk bersama dengan Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Pariwisata dan sektor lainnya untuk menyusun kebijakan terobosan agar angka penyediaan lapangan kerja berjalan seiring dengan desain industrialisasi dan investasi nasional. PROF FIRMANZAH PhD Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
  • 12. 12 Ilusi Tax Amnesty 20-04-2016 Tak banyak pilihan bagi Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro ketika mendapati ancaman akan tekornya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 ini. Penerimaan pajak diduga bakal jauh di bawah target. Pun penerimaan negara dari migas dan komoditas. Pemerintah kemudian mencoba memberlakukan tax amnesty (pengampunan pajak). Presiden Joko Widodo bahkan sudah melakukan pendekatan ke kalangan DPR. Namun, efektivitas tax amnesty masih belum jelas benar. Dalam APBN 2016 pemerintah menargetkan pendapatan senilai Rp1.822,5 triliun. Ini kenaikan 21,14% dibandingkan realisasi pendapatan 2015. Jika diurai, target pendapatan tersebut akan didapat dari penerimaan pajak senilai Rp1.360,2 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp273,8 triliun, penerimaan bea-cukai Rp186,5 triliun, serta hibah Rp2 triliun. Target penerimaan pajak yang dipatok pemerintah sungguh teramat ambisius. Dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak 2015 sebesar Rp1.060,8 triliun, target 2016 ekuivalen dengan kenaikan 28,22%. Padahal, perekonomian nasional masih dirundung kelesuan. Di masa normal saja kenaikan pendapatan pajak sebesar 15% sudah sangat luar biasa. Jadi, dapat dipastikan, pemerintah tak akan mampu mengejar target penerimaan pajak pada 2016 ini. Begitu pula dengan penerimaan dari sektor migas dan komoditas. Penerimaan migas diperoleh lewat pajak penghasilan (PPh) migas dan PNBP migas. Lantas, penerimaan komoditas akan berupa PNBP. Kemungkinan tak tercapainya target penerimaan migas dan komoditas disebabkan masih rendahnya harga minyak dunia yang berada di kisaran USD40 per barel. Padahal, APBN mengasumsikan harga minyak di level USD50 per barel. Rendahnya harga minyak ini pula yang menekan harga komoditas di pasar ekspor. Tak ayal, harga sejumlah komoditas ekspor utama Indonesia, pada Januari 2016, turun rata-rata 20% dibandingkan Januari 2015. Itulah sebabnya, penerimaan pajak dan PNBP pasti akan meleset dari target. Pemerintah mengakui soal itu. Mereka kemudian mengajukan cara lain untuk menambal defisit penerimaan dengan cara itu tadi: pengenaan tax amnesty. Umumnya, tax amnesty diartikan sebagai tawaran bagi wajib pajak untuk membayar sejumlah kewajiban pajak mereka (termasuk bunga dan denda) pada masa pajak sebelumnya, dalam nilai tertentu dan dalam waktu tertentu, tanpa dikenakan hukuman pidana. Periode tax amnesty bersifat sangat terbatas. Ada kalanya aturan tax amnesty mengenakan hukuman lebih berat bagi mereka yang mengabaikan amnesti, alih-alih mengikutinya.
  • 13. 13 *** Gagasan memberlakukan tax amnesty, kurang lebih, dilatari oleh kabar bahwa ada sekitar Rp11.000 triliun uang orang Indonesia yang tersebar di mancanegara. Uang tersebut tidak pernah dikenakan pajak. Padahal, jika uang tersebut masuk ke sistem perekonomian dan dipunguti pajaknya, tentu itu akan sangat menguntungkan bagi kita. Maka itu, disusunlah mekanisme tax amnesty. Mereka yang memiliki uang tersebut dipersilakan mendaftarkan asetnya ke otoritas pajak di Indonesia. Untuk mendaftarkan uang tersebut, pemerintah mengenakan uang tebus senilai 2% sampai 4% dari nilai aset. Syukur- syukur jika uang tersebut masuk ke sistem perbankan nasional. Yang jelas, dari uang tebus saja, pemerintah bisa mendapatkan Rp220 triliun. Nah, uang sebesar itulah yang diharapkan menutupi tekornya pendapatan pajak kita tahun ini. Namun, tax amnesty tak memudah membalik telapak tangan. Para praktisi perpajakan dan kalangan pengusaha meminta ada payung hukum yang sangat kuat, berupa undang- undang. Dan, itu belum cukup. Mengacu pada negara-negara yang berhasil mengenakan tax amnesty, ada banyak syarat dan prasyarat untuk memastikan kesuksesan pelaksanaan tax amnesty. Le Borgne dan Baer (2008) menegaskan, tax amnesty harus diawali dengan memastikan penyebab ketidakpatuhan wajib pajak: apakah karena sistem perpajakannya yang buruk atau karena penerapan administrasi perpajakan yang tidak efektif? Nah, jika penyebab ketidakpatuhan itu sudah diketahui pasti, mutlak diperlukan pembenahan terlebih dahulu atas problem tersebut sebelum tax amnesty diterapkan. Kemudian, pemberlakuan tax amnesty harus diterapkan dalam waktu yang sangat terbatas dan cut-off date-nya harus jelas. Yang bisa ikut tax amnesty juga dibatasi hanya untuk wajib pajak yang tak patuh. Lantas tax amnesty tidak boleh mengurangi present value pajak yang kurang bayar. Program tax amnesty juga tidak boleh bertentangan dengan prinsip perpajakan pada umumnya. Jadi, misalnya, jangan sampai tax amnesty memberikan peluang bagi pembayaran pajak secara anonim. Sungguh upaya yang sangat berat. Di negara sekelas Irlandia, yang sukses dengan tax amnesty pada 1988 program dilakukan dengan sosialisasi massif, bahkan dengan mengumumkan nama-nama wajib pajak nakal di media nasional. Mereka menambah jumlah petugas pajak dan mengenakan pidana keras bagi wajib pajak yang ingkar dari tax amnesty. Ini juga merupakan tax amnesty pertama dan terakhir di sana. Pendek kata, harus tercipta kondisi yang membuat wajib pajak nakal terpojok dan tak ada pilihan lain bagi mereka selain ikut program tersebut. Apakah Indonesia sanggup memenuhi prasayat dan syarat tax amnesty? Ini yang masih menjadi pertanyaan. Penegakan hukum, administrasi pajak, dan penerapan sistem perpajakan masih menjadi masalah di sini. Malcolm Gillis (1989) menyatakan, tax amnesty yang pernah digelar di Indonesia pada 1984 ternyata berakhir dengan kegagalan.
  • 14. 14 Begitu pula ketika Indonesia menerapkan sunset policy—sebuah varian lain dari keringanan aturan pajak untuk meningkatkan kepatuhan dan penerimaan pajak—pada 2008. Kala itu penerimaan PPh naik Rp7,46 triliun. Bahkan tax ratio pada 2008 juga meningkat menjadi 13,30% dari kisaran tax ratio 12% pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, setelahnya tax ratio kembali anjlok menjadi 11,43% (2009) dan 11,57% pada 2010. Alhasil, sunset policy tidak memberikan pengaruh positif berkesinambungan. Nah, tax ratio juga punya risiko demikian. Saat berhasil dalam jangka pendek, James Alm dan William Beck (1993) menyatakan, pemberian tax amnesty bahkan tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak dalam jangka panjang. Apalagi, implementasi tax amnesty sangat merugikan wajib pajak yang selama ini taat membayar pajak. Bagi para pengusaha nakal, mengikuti tax amnesty akan membuat kesempatan mereka mengumpulkan uang secara ilegal menjadi tertutup. Padahal, uang itu bisa sangat besar. Jadi, ketika mereka ditawari mengikuti tax amnesty, sementara penegakan hukum dan sistem administrasi perpajakan yang dihadapkan kepada mereka terlihat compang-camping, apa untungnya mereka ikut program itu? Betul, konon akan ada fasilitas Sistem Pertukaran Informasi Otomatis atau Automatic Exchange System of Information (AEoI) antarnegara guna melacak potensi pajak di luar negeri. Jadi, nanti kita bisa mengetahui aset-aset wajib pajak kita di negara lain sehingga pajaknya dapat kita kejar. Tapi, belum semua negara akan menerapkan fasilitas itu. Masih banyak negeri tax haven yang bisa menjadi sasaran wajib pajak nakal. Belum mantapnya sarana dan prasarana, keterbukaan akses informasi, penegakan hukum, dan prasyarat pendukung lainnya membuat penerapan tax amnesty di Indonesia riskan dengan kegagalan. Malah tax amnesty bisa hanya menjadi ilusi. Alhasil, untuk mengatasi defisit anggaran akibat penerimaan yang anjlok, sebaiknya pemerintah fokus melakukan efisiensi anggaran belanja. BUMN diminta mencari dana dari pasar ketimbang meminta penyertaan modal negara. Pemerintah daerah juga perlu didorong untuk tak mengendapkan dana anggaran mereka. Dan, kalau defisit masih belum tertutupi, apa boleh buat, terpaksa pemerintah menerbitkan lebih banyak lagi surat utang. HARDY R HERMAWAN Alumnus Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB; Jurnalis MNC Media
  • 15. 15 Mir 21-04-2016 Mari kita tinggalkan sejenak negeri ini yang tengah gaduh mengenai berita tentang reklamasi di kawasan pantai utara Jawa. Kita lupakan juga berita soal Panama Papers yang menyebut nama sejumlah petinggi lembaga negara dan kalangan pebisnis. Juga kita lupakan sejenak masalah RS Sumber Waras, masalah bisnis yang sedang ditarik-tarik masuk ke ranah politik oleh DPR kita, mungkin karena DPR kita sedang merasa kurang pekerjaan. Mari, saya ajak Anda ke Pakistan untuk menemui seorang anak muda yang menghadirkan banyak perubahan di sana. Nama lengkapnya Mir Ibrahim Rahman, lahir tahun 1981. Supaya mudah, kita sebut saja dia: Mir. Mir berasal dari keluarga kaya. Hidupnya enak. Ayahnya, Mir Shakil ur Rahman, adalah taipan media. Ia pemilik Jang Group, kelompok bisnis surat kabar terbesar di Pakistan. Kalau di sini mungkin bisa kita setarakan dengan Jakob Oetama dari Grup Kompas, Surya Paloh dari Grup Media Indonesia, Dahlan Iskan dengan Jawa Pos Group, atau Hary Tanoesoedibjo yang pemilik jaringan MNC Group. Kakeknya, Mir Khalil ur Rahman juga pemilik surat kabar ternama yang terbit di sana. Sebagai anak orang kaya, Mir berkesempatan menikmati pendidikan di luar negeri. Ia berkuliah di Babson College. Setamat kuliah, Mir bekerja sebagai investment bankers di Goldman Sachs dengan spesialisasi di industri media dan telekomunikasi. Mir kembali ke Pakistan pada 2002. Sebelum tahun itu, bisnis media elektronik di Pakistan masih menjadi monopoli negara. Ada dua BUMN yang mengelola, yakni Pakistan Television Corporation dan Pakistan Broadcasting Corporation. Ketika Pervez Musharraf menjadi perdana menteri, bisnis media ini dideregulasi. Swasta boleh mendirikan stasiun TV dan radio. Peluang inilah yang dilirik Mir. Ia pun mendirikan stasiun TV swasta, GeoTV. Mir menjadi CEO-nya. Mulanya GeoTV berkantor di kamar hotel dan didukung 5 kru. Kini GeoTV sudah menjadi besar dan memiliki ribuan karyawan. Pada 2009, Mir juga sempat melanjutkan kuliahnya di Harvard Kennedy School untuk mengambil program master. Ada dua program yang diikutinya sekaligus, yakni master business administration dan master public administration. Dari cerita awal ini, yang mau saya sampaikan adalah hidup Mir sangat nyaman. Anak orang kaya, berpendidikan tinggi, dan akhirnya memiliki bisnis sendiri. Kalau mau aman, sebenarnya Mir bisa saja duduk manis, membuat program-program yang menghibur, dan tak perlu memicu segala kontroversi di masyarakat. Tapi, kenyataannya tidak. Mir memilih jalan
  • 16. 16 kedua. Ia memilih membuat program-program yang panas, yang memelopori bukan saja perubahan lanskap bisnis media di sana, tetapi juga perubahan sosial di masyarakat. Memicu Perubahan Apa perubahan yang ditawarkan Mir melalui GeoTV-nya? Ia membuat program talkshow dengan judul Zara Sochiye (atau Just Think dalam bahasa Inggris). Ini program talkshow yang betul-betul panas. Salah satu topik yang pernah dibahas adalah soal Hudood Ordinansi, aturan hukum yang memicu kontroversi luas di Pakistan. Hudood Ordinansi adalah aturan hukum buatan rezim masa lalu. Salah satu kontroversinya adalah menyetarakan pemerkosaan dengan perzinaan. Aturan yang jelas-jelas merugikan kaum perempuan. Kuatnya rezim militer, yang berkelindan dengan tokoh-tokoh agama, membuat masyarakat tak melawan. Jangankan menolak, membicarakan saja mereka takut luar biasa. GeoTV mendobrak ketakutan masyarakat dengan memboyong isu sensitif tersebut ke ranah publik. Memperdebatkannya secara terbuka dalam ajang talkshow. Dalam programnya tersebut, GeoTV juga menampilkan sejumlah kesaksian masyarakat, termasuk debat panas antara kalangan konservatif dengan kaum liberal. Dalam kontroversi ini, GeoTV menarik garis yang tegas bahwa Hudood Ordinansi adalah hukum buatan manusia. Bukan hukum Ilahi. Sengitnya debat dan meluasnya penolakan masyarakat terhadap Hudood Ordinansi akhirnya memaksa pemerintah mengamendemen aturan hukum tersebut. Apa pelajaran yang bisa dipetik dari kasus itu? Bagi masyarakat Pakistan, program tersebut membuka pemahaman baru. Pertama, isu-isu sensitif seperti sudut pandang agama ternyata bisa diperdebatkan. Padahal di masa lalu ini sesuatu dianggap ”haram” untuk dibicarakan. Kedua, perdebatan tersebut ternyata dapat membantu pemahaman masyarakat dalam meluruskan ajaran agama itu sendiri. Itu perubahan sosial yang pertama. Saya ajak Anda untuk melihat perubahan sosial lainnya yang digagas GeoTV. Mir menggagas pembuatan film berjudul Khuda Kay Liye (In The Name of God dalam bahasa Inggris). Ini film pertama yang diproduksi Mir. Isi filmnya secara berani menentang fatwa yang dikeluarkan pemimpin Masjid Merah di Islamabad, ibu kota Pakistan. Ketika itu masyarakat Pakistan tahu persis bahwa masjid ini yang dindingnya kebetulan juga berwarna merah—dan oleh karenanya disebut Masjid Merah—dilindungi oleh para pejabat pemerintahan dan militer Pakistan. Mulai dari presiden, perdana menteri hingga petinggi militer. Kalau di sini, siapa yang berani menentang mereka? Setelah diluncurkan, segera film ini disaksikan secara meluas oleh rakyat Pakistan dan membentuk pandangan baru di masyarakat. Boleh dibilang inilah film blockbuster pertama dan terbesar dalam industri perfilman Pakistan. Film ini pulalah yang memicu menguatnya tekanan dan kebutuhan akan dialog soal-soal Islam dan Pakistan di masyarakat—sesuatu yang dianggap tabu pada masa lalu dan seakan-akan hanya menjadi hak eksklusif kalangan elite.
  • 17. 17 Dibredel Mir dengan GeoTV-nya memang dikenal berani menggarap proyek-proyek panas. Salah satu di antaranya dengan mengungkapkan secara terbuka pertentangan antara sipil dan militer di Pakistan. Keberanian Mir harus dibayar mahal. Pemerintah menutup stasiun TV-nya selama sekitar 90 hari dan menyebabkannya mengalami kerugian bersih lebih dari USD25 juta. Mir maju ke pengadilan. Hakim agung akhirnya memenangkan gugatan Mir dan GeoTV-nya. Membaca kisah Mir, saya jadi merenung. Seandainya saja stasiun-stasiun TV kita seberani GeoTV, mungkin banyak sekali perubahan sosial yang bakal terjadi di negara ini. Sayangnya masih banyak stasiun TV kita yang lebih suka menampilkan acara kedumbrangan tak keruan, pengisi acara yang berebut perhatian, atau menjual mimpi. Juga harus diakui berita-berita kita hanya memotret reaksi demi reaksi dari ucapan dan perbuatan-perbuatan. Pers kita masih menari-nari dari genderang yang ditabuh para newsmaker, entah itu politisi, preman, artis pemantik sensasi atau para pemburu rente. Yang diburu pun tak mengerti betul makna popularitas yang dimilikinya, apakah itu famous atau notorious. Seandainya saja kita punya seorang Mir! RHENALD KASALI Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
  • 18. 18 Perempuan dan Keuangan Inklusif 21-04-2016 Gerakan kebangkitan perempuan di Tanah Air kerap disimbolisasikan dengan peringatan lahirnya Raden Ajeng Kartini pada 21 April 1879. Simbolisasi ini telah menginspirasi dan mengemansipasi gerakan perempuan hingga saat ini dalam melawan ketidakadilan, diskriminasi, pembodohan, dan keterbelakangan. Namun, gerakan yang dilakukan oleh pelbagai kelompok yang concern dalam proses pemberdayaan perempuan, hingga saat ini pun belum memetik hasil yang maksimal. Bahkan dari sisi jumlah kemiskinan saja, kisaran 70,21% dari jumlah penduduk miskin (BPS, 2015) yang mencapai 28,59 juta jiwa (11,22%) adalah kaum perempuan. Kemiskinan yang menimpa perempuan, dilatari banyak faktor. Angka buta aksara perempuan sebesar 12,28%, sedangkan lelaki 5,84%. Dalam bidang kesehatan, status gizi perempuan masih merupakan masalah utama. Angka kematian ibu (AKI) juga masih sangat tinggi, yaitu sebesar 248 per 100.000 kelahiran hidup. Selain itu, rata-rata gaji (upah) perempuan pun selalu tertinggal dibandingkan lelaki. Keadaan yang sama juga terlihat pada rata-rata gaji berdasarkan tingkat pendidikan tercermin dari perbandingan upah perempuan dan lelaki. Rasio upah kurang dari 100 pada setiap jenjang pendidikan. Perbedaan mencolok terlihat pada tingkat pendidikan tidak tamat SD, di mana rasio upah adalah 61,97 yang berarti, besarnya upah (gaji) bersih perempuan dibanding lelaki adalah 61,97 berbanding 100 (BPS RI - Sakernas Februari 2015). Data ini mengonfirmasi posisi perempuan belum beringsut jauh, masih tertinggal, terbelakang, dan termiskin. Salah satu persoalan utamanya adalah aksesibilitas. Maka dengan adanya kebijakan keuangan inklusif yang digelar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 2014, setidaknya peluang perempuan ke sumber daya ekonomi (terutama pada lembaga keuangan) semakin terbuka lebar. Artinya, OJK dalam operasionalisasi kebijakannya jangan sampai bias gender dalam memperlakukan nasabah, terutama di masyarakat miskin perdesaan. Keuangan Inklusif Sejak dikeluarkan regulasi tentang bank nirkantor yang tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 19/POJK.03/2014 tentang layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif, OJK mulai merangsek jauh ke pelosok desa. Bank nirkantor adalah transformasi pelayanan konvensional bank di kantor-kantor menjadi pelayanan di agen-agen. Namun, jauh sebelumnya, hasrat untuk mengejawantahkan keuangan inklusif mendapat momentum. Pemicunya, pertama, secara eksternal adanya kesepakatan G-20 di Pittsburgh Summit 2009.
  • 19. 19 Dalam pertemuan itu, anggota G-20 sepakat perlunya peningkatan akses keuangan bagi kelompok in the bottom of the pyramid. Ada 9 Principles for Innovative Financial Inclusion sebagai pedoman pengembangan keuangan inklusif. Prinsip tersebut adalah leadership, diversity, innovation, protection, empowerment, cooperation, knowledge, proportionality, dan framework. Kedua, secara internal mengonfirmasi data Bank Indonesia (2014) rakyat kita yang berhubungan dengan bank masih rendah, yakni sekitar 48% dengan layanan perbankan yang masih terpusat di Jawa. Sementara hanya 20% orang dewasa di Indonesia yang memiliki rekening di lembaga keuangan formal, jauh lebih rendah dibandingkan Thailand 77%, Malaysia 66%, Tiongkok 64%, India 35%, dan Filipina 25%. Demikian pula pembiayaan kegiatan ekonomi rakyat belum signifikan dengan pangsa kredit sekitar 20% atau Rp612 triliun. Konsekuensinya, Deposit to GDP ratio masih di bawah 50% dan Loan to GDP ratio masih kisaran 35%, jeblok di bawah rerata di kawasan Asia-Pasifik. Rendahnya tingkat literasi lembaga keuangan formal pada kelompok perempuan pada level in the bottom of the pyramid tentu bukan tanpa alasan. Alasan klasikalnya, mereka tidak memiliki kolateral, bank lebih familier membiayai usaha berskala besar, dan prosedur permohonan pembiayaan yang rigid. Konsekuensinya, solusi ditempuh rakyat kecil dan kaum perempuan rentan, meminjam pada individu atau lembaga non-keuangan ilegal, dengan pelbagai risiko, yakni pengenaan bunga mencekik. Selain itu, lembaga keuangan formal kerap gagap memahami karakteristik atau kearifan lokal yang telah lama hidup di masyarakat. Padahal, banyak lembaga keuangan lokal yang telah bersemayam hidup bersama rakyat perlu diajak bekerja sama dan diberdayakan dalam memanfaatkan financial inclusion. Memang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1/2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) telah mengakomodasi aturan hukum adat. Sehingga lembaga perkreditan desa (LPD) di Bali dan Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat sebagai lembaga keuangan produk kearifan lokal misalnya, tidak harus tunduk pada UU LKM karena eksistensinya telah diakui berdasarkan hukum adat itu. Sayangnya, kedua LKM lokal itu kurang mendapat supporting kerja sama dan mediasi dari pihak pemerintah. Aksesibilitas Topik utama pemberdayaan perempuan sejatinya adalah aksesibilitas. Seperti yang diutarakan Amartya Sen (1981), kemiskinan terjadi akibat capability deprivation (kebebasan untuk mencapai sesuatu dalam hidup seseorang). Ketidakbebasan masyarakat yang substantif itu berkaitan langsung dengan kemiskinan ekonomi. Dengan demikian, kemiskinan diakibatkan keterbatasan akses. Jika manusia mempunyai keterbatasan pilihan untuk mengembangkan hidupnya, akibatnya manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat dilakukan, bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan.
  • 20. 20 Dalam banyak studi diuraikan, adanya relasi antara program pemberdayaan perempuan dan upaya menekan angka kemiskinan. Jika program penguatan perempuan ini optimal bergerak, diasumsikan lebih dari separuh program pengentasan kemiskinan dianggap sukses. Laporan riset World Bank Group in Women, Business and the Law 2016 yang disampaikan Sri Mulyani (2015), bahwa pada era 1990-an hanya sedikit negara yang punya aturan hukum melindungi perempuan dari kekerasan. Namun, pada 2014 jumlahnya mencapai 127 negara, yang dipicu oleh meningkatnya kesadaran terhadap biaya ekonomi dan manusiawi yang harus ditanggung akibat salah memperlakukan perempuan. Tatkala perempuan diizinkan bekerja di profesi yang mereka inginkan, ketika mereka memiliki akses terhadap jasa keuangan dan tatkala mereka dilindungi oleh hukum dari kekerasan rumah tangga, kaum perempuan bukan saja lebih berdaya dan mandiri secara ekonomi, melainkan juga berumur panjang. Semakin banyak perempuan punya kendali terhadap pendapatan rumah tangga, semakin besar partisipasi mereka dalam aktivitas ekonomi. Semakin banyak perempuan masuk sekolah menengah, semakin besar pula keuntungan untuk anak-anak mereka, masyarakat, dan negara. Dengan demikian, pemberdayaan perempuan terkait erat dengan dampak kemandirian. Kemandirian perempuan miskin terkait akses dan kontrol perempuan di rumah tangga dan di luar rumah tangga. Dalam kaitan itu, yang perlu dipertimbangkan dalam membangun financial inclusion yakni, berikan porsi lebih besar kepada nasabah perempuan dalam proses pemberdayaan. Model financial inclusion seperti ini akan mampu memacu pembangunan ekonomi lokal melalui peningkatan kebiasaan menabung, menciptakan kesempatan kerja, dan meningkatkan tingkat monetisasi di masyarakat lokal. MUKHAER PAKKANNA Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta dan Peneliti Ekonomi CIDES
  • 21. 21 Kelautan sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi Baru 23-04-2016 Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang 3/4 wilayahnya berupa laut, Indonesia dianugerahi potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besar dengan total nilai sekitar USD1,5 triliun/tahun (1,5 PDB atau 7 kali lipat APBN 2016), dan dapat menyediakan lapangan kerja untuk sedikitnya 45 juta orang, lebih dari sepertiga angkatan kerja Indonesia. Dan, hingga kini baru dimanfaatkan sekitar 22% dari total potensi ekonomi tersebut. Lebih dari itu, posisi geoekonomi dan geopolitik laut Indonesia juga sangat strategis. Di mana sekitar 45% dari seluruh barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai USD1.500 triliun/tahun diangkut dengan ribuan kapal melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) (UNCTAD, 2012). Posisi geoekonomi yang strategis ini sejatinya menempatkan Indonesia pusat dari sistem rantai suplai (perdagangan) global. Sayangnya, sampai sekarang kita lebih sebagai bangsa pembeli berbagai produk bangsa-bangsa lain, bukan sebagai produsen (pemasok) barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dunia. Padahal, banyak emerging economies menjadi lebih maju dan makmur, seperti Singapura, Malaysia, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Turki lantaran mampu mengapitalisasi posisi geoekonomi wilayah lautnya. Potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besar, bak ‘raksasa yang masih tidur’ itu mesti kita bangunkan dengan menggunakan teknologi dan manajemen yang tepat supaya bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru dan pengungkit daya saing nasional secara berkelanjutan. Poros Maritim Dunia Kebijakan terobosan Presiden Jokowi dan Wapres JK untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD) sangatlah tepat dan visioner. Melalui PMD, bangsa Indonesia diajak melakukan reorientasi platform pembangunannya, yang sejak awal kolonialisme hingga sebelum pemerintahan KH Abdurrahman Wahid (berdirinya KKP) berorientasi pada daratan (land-based development) ke orientasi kelautan (marine-based development). Dengan aplikasi iptek dan manajemen yang ramah sosial dan lingkungan serta etos kerja unggul, kebijakan PMD akan mampu mengurangi disparitas pembangunan antarwilayah, menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif, menciptakan banyak lapangan kerja, dan membuat ekonomi Indonesia lebih berdaya saing.
  • 22. 22 Indonesia sebagai PMD mengandung makna bahwa melalui strategi pembangunan kelautan secara tepat dan benar, Indonesia dalam waktu tidak terlalu lama akan mampu menjadi bangsa besar yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis ekonomi kelautan, hankam, dan budaya maritim yang kokoh. Dengan kekuatan dan kemakmurannya itu, Indonesia diharapkan mampu menjadi a role model (teladan) dan mengajak bangsa-bangsa lain untuk menyelamatkan, mendayagunakan, dan mengelola wilayah laut dunia, terutama di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, untuk perdamaian dan kesejahteraan dunia yang lebih baik. Sayang, kebijakan dan gebrakan pemerintah Kabinet Kerja selama satu setengah tahun ini terlalu dominan bersifat larangan, moratorium, dan restriksi lainnya yang membuat iklim investasi tidak kondusif. Akibatnya, justru menyulut demonstrasi nelayan dan pembudi daya ikan di mana-mana, mengakibatkan ratusan ribuan nelayan dan pembudi daya menganggur, sentra-sentra industri pengolahan ikan (seperti Belawan, Muara Baru, Benoa, Bitung, Ambon, dan Tual) mengalami mati suri, ribuan ton ikan kerapu, kepiting soka, dan lobster tidak terjual dan mati membusuk, dan sejumlah dampak negatif lainnya. Sejauh ini, Kemenko Maritim pun belum punya konsep dan nampak kebingungan dalam melaksanakan fungsi dan tugas utamanya, yakni mengoordinasikan, menyinergikan, mengakselerasi, dan melakukan terobosan (breakthrough) pembangunan di bidang kelautan, yang mencakup perikanan tangkap, perikanan budi daya, industri bioteknologi kelautan, pariwisata bahari, ESDM, transportasi laut dan kepelabuhanan, wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil, industri dan jasa maritim, dan sumber daya alam laut non-konvensional. Belum ada upaya dari Kemenko Maritim untuk menyamakan ‘playing field’ (seperti suku bunga bank, insentif usaha, iklim investasi, dan ease of doing business) dengan negara-negara kelautan Asia lainnya, terutama Singapura, Malaysia, Thailand, Korea, Jepang, dan Cina. Padahal, dengan ‘playing field’ yang kurang kondusif seperti sekarang, sektor-sektor ekonomi kelautan Indonesia hampir mustahil untuk bisa bersaing dengan negara-negara tetangga tersebut. Untuk dapat mendayagunakan potensi ekonomi kelautan secara optimal bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa, kita mesti melaksanakan kebijakan dan program pembangunan kelautan jangka pendek dan panjang secara terpadu dan berkesinambungan. Yang dimaksud dengan kebijakan dan program jangka panjang adalah kebijakan dan program pembangunan kelautan yang dikerjakan sejak sekarang, tetapi hasilnya baru kita rasakan setelah lima tahun atau lebih. Yang pasti, kebijakan dan program jangka pendek tidak boleh bertentangan, apalagi mematikan jangka panjang. Kebijakan dan program jangka panjang antara lain meliputi penataan ruang wilayah laut- pesisir-darat secara terpadu, pengembangan sektor-sektor ekonomi dan bisnis kelautan baru (bioteknologi kelautan, nanoteknologi kelautan, energi kelautan, mineral dari laut, dan sumber daya kelautan non-konvensional), mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global dan bencana alam lainnya, peningkatan kekuatan hankam laut, diplomasi maritim dan
  • 23. 23 penegakan kedaulatan wilayah laut NKRI, penelitian dan pengembangan (R&D), dan peningkatan kapasitas serta kualitas SDM kelautan. Program Quick Wins Mengingat masalah utama bangsa kita adalah tingginya pengangguran dan kemiskinan serta rendahnya daya saing; maka kebijakan dan program pembangunan kelautan jangka pendek (quick wins) seyogianya berupa sektor-sektor ekonomi dan unit bisnis yang mampu menciptakan banyak lapangan kerja, menyejahterakan rakyat, potensi produksinya besar, dibutuhkan pasar domestik dan ekspor, dan mampu meningkatkan daya saing Indonesia. Program quick wins itu mencakup: optimalisasi perikanan tangkap, pengembangan perikanan budi daya laut (mariculture) dan tambak di lahan pesisir (coastal aquaculture), industri pengolahan hasil perikanan dan seafood, optimalisasi eksplorasi dan produksi minyak dan gas dari wilayah pesisir dan lautan, pariwisata bahari, industri galangan kapal dan perawatan kapal, industri mesin dan peralatan kelautan (jaring dan alat penangkapan ikan lain, mesin kapal, kincir air tambak, dan lainnya), transportasi laut, tol laut, dan konektivitas digital maritim. Penyamaan ‘playing field’ kelautan juga mesti masuk dalam program jangka pendek. Dalam sektor perikanan tangkap, gebrakan KKP dalam menumpas IUU fishing, khususnya oleh nelayan asing harus dilanjutkan sampai tuntas. Namun, harus segera dibarengi dengan meningkatkan kapasitas nelayan nasional dengan teknologi penangkapan ikan (fishing vessels dan fishing gears) yang lebih produktif, efisien, dan ramah lingkungan. Di wilayah-wilayah perairan laut yang telah overfishing, seperti Pantura, Selat Malaka, dan selatan Sulawesi harus dikurangi upaya tangkapnya (jumlah kapal ikan). Sebaliknya, di wilayah perairan laut yang selama ini sebagai ajang pencurian ikan oleh nelayan asing atau masih underfishing (seperti Laut Natuna, Sulawesi, Banda, Teluk Tomini, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) harus ditingkatkan jumlah kapal ikan nasionalnya. Di sektor perikanan budi daya, harus menggenjot usaha budi daya komoditas perikanan untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik (ketahanan pangan dan kesejahteraan rakyat) maupun ekspor. Komoditas perikanan budi daya untuk ekspor antara lain berupa udang windu dan van name, ikan kerapu, kakap, lobster, kepiting, teripang, kerang mutiara, dan rumput laut. Sementara untuk pasar domestik antar lain meliputi ikan bandeng, nila salin, kepiting soka, bawal bintang, kerapu lumpur, dan rumput laut. Indonesia memiliki potensi produksi perikanan budi daya laut dan pesisir terbesar di dunia, sekitar 60 juta ton per tahun dengan total nilai ekonomi sekitar USD180 miliar/tahun, dan pada tahun 2015 baru diproduksi sekitar 10 juta ton (14%). Sebagai ilustrasi betapa dahsyatnya potensi ekonomi perikanan budi daya Indonesia adalah usaha budi daya udang van name. Potensi luas lahan pesisir yang cocok untuk budi daya udang sekitar 3 juta ha. Bila kita mampu mengusahakan 300.000 ha (10%) untuk budi daya udang van name dengan
  • 24. 24 produktivitas rata-rata 40 ton/ha/tahun (konservatif), maka dihasilkan 1,2 juta ton udang/tahun. Dengan harga rata-rata saat ini di tambak (on farm) USD5/kg, maka dihasilkan devisa (ekonomi wilayah) USD6 miliar dolar AS/tahun (Rp80 triliun/tahun) dan 1,2 juta tenaga kerja langsung (kerja di tambak) serta 2,4 juta tenaga kerja yang bekerja di sektor hulu dan hilir dari tambak udang. Melalui implementasi kebijakan pembangunan kelautan seperti di atas, ekonomi kelautan tidak hanya akan mampu mengatasi persoalan bangsa kekinian, seperti pengangguran, kemiskinan, dan rendahnya daya saing, tetapi juga mampu menghantarkan Indonesia sebagai PMD dalam waktu dekat, tahun 2030 inshaa Allah! PROF DR IR ROKHMIN DAHURI MSc Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Kemaritiman
  • 25. 25 Mengukur Kepribadian Saham 24-04-2016 Seperti manusia, saham pun memiliki tipe kepribadian yang beraneka ragam. Ada saham yang kurang peka, ada pula saham yang sensitif terhadap perubahan lingkungan bisnis. Kita bisa mengenali sensitivitas saham dari parameter yang disebut “beta”. Beta saham adalah salah satu indikator penting yang harus kita kenali sebelum membeli saham tersebut. Beta sebuah saham mengindikasikan sensitivitas harga atau imbal hasil saham terhadap perubahan harga atau imbal hasil indeks pasar. Yang dimaksud dengan indeks pasar (market index) adalah angka indeks harga saham-saham yang terdaftar pada bursa saham di sebuah negara. Di Indonesia yang sering digunakan sebagai proxy (wakil) untuk indeks pasar adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Beta saham sebesar 2 artinya jika IHSG naik 1%, imbal hasil saham tersebut naik 2% juga. Demikian pula, jika IHSG turun 1%, beta saham akan turun 2%. Artinya semakin besar koefisien beta saham, semakin sensitif saham tersebut terhadap perubahan IHSG. Bila saham memiliki beta kurang dari 1, sering disebut saham defensif. Jika betanya di atas 1, termasuk kategori saham agresif. Besaran beta dipengaruhi beberapa faktor misalnya jenis bisnisnya. Perusahaan yang pendapatannya relatif stabil cenderung memiliki beta yang rendah. Pendapatan adalah jumlah barang terjual dikali harga jual. Maka, semakin stabil harga dan permintaan akan barang, semakin rendah betanya. Ambil contoh, pada umumnya beta perusahaan barang keperluan rumah tangga (RT) lebih kecil daripada beta perusahaan properti. Beta PT Unilever Indonesia Tbk hanya 0,2. Sedangkan beta saham PT Ciputra Development Tbk mencapai 2,22. Mengapa? Pendapatan perusahaan barang keperluan RT lebih stabil dibanding pendapatan perusahaan properti. Saat pertumbuhan ekonomi melemah dan suku bunga kredit tinggi, permintaan akan barang keperluan RT tidak banyak berkurang. Tidak demikian dengan properti yang pembeliannya bisa ditunda. Beta juga dipengaruhi jumlah utang sebuah perusahaan. Semakin tinggi rasio utang terhadap modal perusahaan, semakin besar betanya. Mengapa? Semakin tinggi utang, semakin sensitif laba bersih per saham terhadap perubahan pendapatan per saham. Karena banyak faktor yang memengaruhi beta saham, jangan heran jika ada dua saham di sektor bisnis yang sama memiliki beta yang amat berbeda. Misalnya, beta saham Kalbe Farma adalah 0,87, sedangkan beta saham Kimia Farma mencapai 2,61.
  • 26. 26 Beta saham dihitung menggunakan data historis harga saham dan IHSG. Pada umumnya beta dihitung menggunakan data minimal lima tahun terakhir. Angka lima tahun mewakili rata- rata durasi sebuah siklus bisnis. Dari data historis perubahan harga saham dan IHSG, kita bisa mengestimasi beta dengan metode regresi. Namun, investor saham tidak perlu bersusah payah menghitung beta. Mereka bisa memanfaatkan beta yang telah dihitung oleh Thomson Reuters, sebuah perusahaan informasi terkemuka. Caranya mudah. Pada kotak pencarian di Google kita tinggal ketik kata “beta, kode saham, dan reuters.” Misalnya, untuk mencari beta PT Bank Central Asia Tbk, kita ketik: beta BBCA reuters. Pada laman BBCA di www.reuters.com akan tersedia informasi beta BBCA. Saham bank, konstruksi, properti, dan semen memiliki beta yang tinggi. Sedangkan saham batu bara, perkebunan, dan makanan memiliki beta sedang (mendekati beta pasar atau 1). Saham-saham dengan beta rendah ditemukan di sektor telekomunikasi, farmasi, dan rokok. Dengan mengetahui beta saham, kita bisa memprediksi apa yang bakal terjadi dengan harga saham kita jika IHSG berubah. Investor yang cenderung cari aman bisa memilih saham-saham dengan beta rendah (kurang dari 1), sedangkan investor lebih berani mengambil risiko bisa memilih saham-saham dengan beta tinggi (lebih dari 1). Jika investor yakin bahwa bursa saham akan masuk periode bullish (harga saham naik), ia bisa mengoleksi saham-saham dengan beta yang besar. Saham seperti ini biasanya melambung lebih tinggi daripada IHSG. Jika investor percaya bursa saham sedang menuju periode bearish (harga saham turun), lebih bijaksana jika memegang saham-saham dengan beta rendah. LUKAS SETIA ATMAJA Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
  • 27. 27 Nothing to Lose 24-04-2016 Gara-gara Indonesia Brand Forum (IBF), saya beruntung bisa ketemu dan ngobrol panjang dengan Bu Irawati Setiady, presiden direktur PT Kalbe Farma Tbk. Terus terang, dia salah satu pemimpin bisnis yang saya kagumi karena sukses mentransformasi Kalbe. Ceritanya, untuk gelaran seminar branding tahunan tersebut saya harus melakukan riset untuk penulisan buku berjudul The Second Generation Challenges (Gramedia, 2016) mengenai sepak terjang para pemimpin perusahaan keluarga dari generasi kedua. Selama sekitar setahun saya telah berhasil mewawancarai 14 pemimpin generasi kedua untuk penulisan buku tersebut. Rencananya buku itu akan diluncurkan di Indonesia Brand Forum 2016 pada 19 Mei yang tahun ini mengambil tema: “Branding Family Business.” Seperti tahun sebelumnya, motto IBF tetap sama yaitu: “Kebangkitan Nasional Kedua, Adalah Kebangkitan Brand Indonesia.” Ya, karena melalui event tersebut, di setiap Hari Kebangkitan Nasional, kami ingin mengingatkan bangsa ini mengenai pentingnya membangun merek (brand building) untuk menopang kemajuan ekonomi negara. Kolom minggu ini saya ingin berbagi insight dan wisdom yang saya dapat dari obrolan panjang dengan Bu Ira. Pasti di dalamnya mengandung banyak pelajaran-pelajaran berharga mengenai kepemimpinan bisnis keluarga. Tak Ambil Pusing Sejak masih jadi product manager untuk Divisi Research and Development PT Bukit Manikam Sakti, anak perusahaan Kalbe, Bu Ira tak pernah ambil pusing soal jabatan apa yang bakal diwariskan para pendiri Kalbe kepadanya. Padahal, dia keponakan dari pendiri Kalbe, Boenjamin Setiawan dan Fransiscus Bing Aryantodi. Bagi Bu Ira, bekerja sebagai apa pun tidak masalah. “Saya prinsipnya belajar. Ngikut saja,” ujarnya tentang kariernya hingga posisi puncak seperti sekarang. Ira mengakui penunjukannya sebagai presiden direktur Kalbe pada 2008 berlangsung mengalir saja. Tak ada roadmap tersendiri, tidak di-grooming dulu. Ketika itu atas berbagai pertimbangan, keluarga sepakat menunjuk dirinya. Tanpa banyak bertanya apa alasan pilihan jatuh kepadanya, Ira memilih tancap mengendalikan perusahaan. Sekembalinya ke Indonesia pada 1987, Bu Ira langsung direkrut anak usaha Kalbe. Di situ aneka aspek operasi perusahaan bergiliran dipelajarinya. Mulai dari produksi, pemasaran, dan
  • 28. 28 pengembangan organisasi. Perusahaan perbankan juga pernah dicicipinya melalui PT Artha Pusara, kini PT Artha Prima Finance alias Bank Artha Prima, pada 1990-an. Bertahun-tahun bekerja di bawah payung Kalbe tak ubahnya seorang tenaga profesional kebanyakan, akhirnya Bu Ira terbentuk menjadi pemimpin yang tegas-tegas memisahkan kepentingan perusahaan dengan kepentingan keluarga. Menjawab Tantangan Bu Ira menerima tanggung jawab dan tantangan besar sebagai pucuk pimpinan saat Kalbe tengah bergulat mengatasi krisis pada 2008. Secara makro, kondisi bursa Indonesia memburuk, harga saham anjlok. Menjadi pimpinan teratas sangat jauh dari keinginan Bu Ira. “Waktu itu bukan keinginan, tapi challenge. Saat itu mungkin sedang dibutuhkan leader yang baru. Oke deh, saya bantuin,” kenangnya tentang masa menjelang penunjukan dirinya oleh pemegang saham yang tak lain adalah keluarga besarnya sendiri. Tak disangkal, kesediaannya menerima penunjukan itu juga diwarnai sifat nekat menjalani tanggung jawab apa pun yang ditumpahkan. “Saya bantuin deh, semampu saya,” ujarnya mengulangi niatnya kala itu. Saat ditunjuk, tak pecah penolakan dari seorang pun keluarga dan kerabat karena kenaikan Bu Ira merupakan hasil kesepakatan bersama, termasuk antara enam saudara dan 15 sepupu. Meski diserahi beban baru di atas pundaknya, Bu Ira tak sedikit pun merasa tertekan. “Kalau performa saya jelek, diturunin juga enggak apa-apa. Nothing to lose dari awal,” ucapnya santai. Ini yang membuat saya salut. Sukses Transformasi Ia pun menjawab tantangan dari keluarga dengan mengambil cara unik yakni menggeser identitas Kalbe dari produsen obat dan makanan menjadi solusi hidup sehat. Tidak hanya untuk orang sakit yang ingin sehat kembali, tetapi juga untuk orang yang ingin bertahan sehat sebelum jatuh sakit. Tengoklah produk-produk mutakhir dari Kalbe macam Fitbar, Nutrive Benecol, dan Entrasol Quick Start yang lekat dengan gaya hidup sehat. Produk tersebut makin diminati saja di pasar, khususnya oleh kaum muda dan penganut hidup sehat. Tak ketinggalan, Bu Ira melancarkan revitalisasi brand Kalbe. “It’s a journey. Logo baru tahun 2006 atau 2007,” imbuhnya. Kini logo baru Kalbe dengan mudah digaungkan melalui iklan-iklan di stasiun televisi. Sesungguhnya langkah ini tak mengherankan karena Bu Ira pernah menangani pemasaran produk Good Time Cookies di Bukit Manikam sebelumnya, bahkan menjabat Marketing Director of Ethical and OTC Businesses di holding Kalbe selama delapan tahun (1997-2005).
  • 29. 29 Nothing to lose membuat Bu Ira menjalankan kepemimpinan di Kalbe dengan plong, tanpa beban. Hasilnya enggak main-main, sukses mentransformasi Kalbe. YUSWOHADY Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
  • 30. 30 Khitah Ekonomi Kerakyatan NU 25-04-2016 Nahdlatul Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan didirikan tentu saja bukan bertujuan hanya untuk semata-mata menyebarkan nilai-nilai keagamaan yang ramah ala Ahlussunnah wal Jamaah, namun lebih dari yang tidak kalah penting adalah dari itu, NU sesungguhnya dilahirkan dalam rangka penguatan ekonomi kerakyatan. Penguatan ekonomi kerakyatan adalah isu penting yang menjadi tonggak berdirinya NU. Adanya Nahdlatut Tujjar atau semacam serikat pedagang yang menjadi cikal bakal berdirinya NU adalah bukti nyata bahwa isu ekonomi tidak bisa dipandang sebelah mata. Komitmen NU untuk memajukan ekonomi kerakyatan bisa kita temukan dalam Statute NU fatsal 3: ”mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan, dan peroesahaan jang tiada dilarang oleh sjara”. Mengenai salah satu tujuan diberdirikannya NU yang berkonsentrasi untuk memberikan perhatian kepada ekonomi kerakyatan tersebut tercantum dalam ekonomi kerakyatan ala NU tentu saja menyangkut banyak bidang, seperti perdagangan, penyediaan barang dan jasa, dan tentu saja pertanian dan yang terakhir tentu saja kelautan. Khusus untuk sektor dua ekonomi yang terakhir, yakni tentang pertanian dan juga kelautan, perhatian NU tidak main-main. Sebab kita tahu bahwa sektor pertanian dan kelautan ini merupakan sektor dominan masyarakat Indonesia, khususnya kalangan Nahdliyin. Perhatian ke Sektor Pertanian Sebelumnya pada tahun lalu saya pernah menulis di salah satu media nasional mengenai kondisi pertanian kita yang masih tertinggal. Pada tahun 2013, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data bahwa pada tahun 2013 45% penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, di urutan kedua menyusul sektor industri dengan porsi 23,5% dan sisanya tersebar di pelbagai sektor di luar dua sektor mainstream tersebut. Dengan kenyataan seperti itu, tidak mengherankan NU memberikan perhatian dengan porsi yang sangat besar terhadap sektor pertanian, baik pada tingkat mikro maupun makro. Perhatian terhadap sektor pertanian itu dibuktikan dengan rekomendasi Muktamar ke-32 di Makassar 2010 yang memerintahkan kepada PBNU untuk melakukan serangkaian advokasi dan mendesak pemerintah untuk menciptakan keadilan ekonomi terutama pada sektor pertanian.
  • 31. 31 Adalah merupakan sebuah ironi bahwa dengan penduduk yang sebagian besar memilih pertanian sebagai ladang mata pencarian, hari ini kita masih mengimpor pelbagai bahan pokok makanan. Pada keadaan yang demikian, sesungguhnya yang menjadi korban utama atas kebijakan impor bahan pangan adalah rakyat kecil yang berprofesi petani tersebut. Komitmen Sektor Kelautan Di pihak lain, pada tahun 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) telah juga merilis bahwa jumlah nelayan tradisional di Indonesia berjumlah 864 ribu rumah tangga. Jumlah tersebut sesungguhnya menurun drastis jika dibandingkan data tahun 2013 yang menyebutkan bahwa jumlah nelayan tradisional di Indonesia mencapai 1,6 juta. Persoalannya kemudian mengapa jumlah nelayan menurun drastis dan kian hari kian sedikit saja? Atau dalam pertanyaan yang lebih menukik mengapa orang Indonesia cenderung tidak memilih profesi nelayan sebagai mata pencarian hidup? Ironis memang. Dengan struktur komposisi geografis Indonesia yang 2/3 permukaannya berupa lautan, rakyat Indonesia justru seolah berlari dan menjauh dari pesisir pantai dan lalu memutuskan diri untuk masuk ke pedalaman, ke daratan. Saya berpendapat, bahwa besar kemungkinan ketidaktertarikan warga untuk menjadi nelayan adalah karena faktor kesejahteraan dan jaminan hidup. Dua faktor tersebut saya rasa adalah dua dari di antara sekian banyak faktor yang menyebabkan sektor kelautan itu lesu. Melihat realitas yang ada, bisnis makanan laut (seafood) sampai saat ini masih menjadi salah satu primadona bisnis kuliner. Namun melihat geliat bisnis kuliner makanan laut tersebut, sangat miris jika tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan para nelayannya. Meminjam analisis Sonny Harmadi (2014) bahwa tingkat upah nelayan hanya mencapai sekitar Rp1,1 juta per bulan. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan pekerja bukan nelayan yang mengantongi upah sampai Rp1,2 juta per bulan. Pendapatan itu sesungguhnya jauh di bawah kategori sejahtera. Melihat kenyataan seperti itu, NU tidak menutup mata. Pada Muktamar ke-33 di Jombang tahun lalu, NU memutuskan untuk membentuk sebuah badan otonom baru. Badan otonom yang khusus mewadahi para nelayan tersebut bernama Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama. Berpaling dari Laut Saya sependapat dengan pandangan yang menyebutkan bahwa selama ini yang cenderung kita lakukan dalam ”pembangunan” adalah gerak-gerak yang mengarah pada usaha memunggungi laut. Laut cenderung kita tinggalkan. Komoditasnya cenderung kita abaikan. Kesadaran utama kita masih kesadaran daratan, sehingga yang sibuk kita lakukan adalah membangun daratan bukan memperkuat dominasi lautan. Pola pikir kita cenderung menomorduakan laut beserta seluruh perantinya, termasuk nelayan.
  • 32. 32 Lagu nenek moyangku seorang pelaut tampaknya juga sudah tidak terdengar lagi mengalun di sekolah-sekolah kita. Padahal, laut adalah wahana di mana kita bisa berpanen tanpa harus menanam. Kita bisa menuai tanpa harus menyemai. Kita panen ikan tanpa harus menanamnya terlebih dahulu. Semua itu adalah anugerah yang harus kita syukuri. Dan NU sekali lagi berkomitmen untuk melakukan kerja-kerja sosial dalam rangka meningkatkan sektor kelautan, utamanya kesejahteraan nelayan-nelayannya. Walhasil, NU yang memang salah satu tujuan didirikannya adalah agar menjadi jamiyyah kemasyarakatan yang menguatkan kemandirian ekonomi kerakyatan dalam momentum usianya yang menapaki 93 tahun ini akan lebih mengupayakan untuk mengambil langkah- langkah yang dirasa tepat guna memajukan sektor pertanian dan juga kelautan sebagai sektor- sektor yang harus diperhatikan. Apa yang sudah dilakukan hari ini tentu saja harus dipertahankan lalu kemudian untuk dikembangkan ke arah yang lebih baik. Selamat Harlah ke-93 untuk Nahdlatul Ulama. Wallahu a’lam bis showab. A HELMY FAISHAL ZAINI Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
  • 33. 33 Reklamasi Memarginalkan Nelayan 25-04-2016 Nelayan yang bermukim dan menggantungkan hidupnya pada ekosistem di pesisir dan pulau- pulau kecil di Teluk Jakarta berlangsung sejak ratusan tahun silam. Bahkan konon kabarnya semenjak Kerajaan Tarumanegara abad VII kawasan ini sudah jadi pusat bandar perdagangan antara masyarakat lokal dan pihak luar yang membeli hasil bumi. Pun pada zaman kolonial Belanda kawasan Teluk Jakarta tetap jadi magnet perdagangan bagi saudagar dari kawasan Asia, Timur Tengah hingga Eropa. Di kawasan ini berkembang pesat ekonomi maritim berbasiskan perdagangan antarpulau, interseluler, internasional, kepelabuhanan, dan kota pantai. Uniknya, perdagangan pada masa itu tak pernah meminggirkan nelayan, apalagi mereklamasi pantai. Proyek reklamasi yang jadi perbincangan saat ini sudah berjalan sejak dua dekade silam. Ia diperuntukkan buat kawasan perumahan mewah. Alasannya waktu itu lahan di daratan kian sempit hingga perlu memanfaatkan pesisir lewat reklamasi. Presiden RI lalu menerbitkan Keppres No. 52 tahun 1995 yang juga dijadikan dasar buat melegalkan reklamasi Teluk Jakarta. Konflik soal reklamasi ini sudah berlangsung dua dekade terakhir. Perdebatannya masih seputar peraturan perundangan yang saling tumpang tindih dan menegasikan. Kini tahun 2016 perdebatan hal serupa kembali berulang hingga semua pihak masuk dalam pusaran ini. Apalagi aroma politik menyertainya jelang Pilkada DKI 2017. Namun perdebatan hari ini mengabaikan lahirnya undang-undang baru, yaitu UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ada apa dengan UU ini terkait reklamasi? Dalam UU sebelumnya, UU No. 32/2004 menyebutkan kewenangan laut berada pada pemerintahan kota/kabupaten. Kini hasil revisinya, UU Nomor 23/2014, kewenangan itu beralih pada pemerintah provinsi (Pasal 27). Semangatnya desentralisasi, tapi substansinya sentralistik. Mengapa? Sebab posisi gubernur termasuk di DKI kian powerfull sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Seruan petinggi negara menghentikan sementara reklamasi hanya skenario mengulur waktu hingga berlakunya UU ini tahun 2017. Nantinya Gubernur DKI lebih mudah mengizinkan reklamasi, penggusuran nelayan dan membangun Giant Sea Wall tanpa siapa pun menghentikannya. Lebih ironis lagi, UU ini tak mudah diuji di MK. Pasalnya yang berhak mengujinya cuma pemerintah kabupaten/kota.
  • 34. 34 Jika reklamasi dilanjutkan bakal berdampak bagi nelayan. Pertama, defisit ekonomi, yaitu (i) hilangnya fishing ground nelayan penangkap ikan yang mengoperasikan payang, dogol, bubu, gillnet dan budi daya kerang hijau (Perna viridis) seluas 1.527,34 hektare; (ii) merosotnya manfaat ekonomi perikanan tangkap senilai Rp314,5 miliar (IPB, 2013); (iii) kontribusi perikanan terhadap perekonomian Jakarta Utara akan merosot. Kurun waktu 2006– 2012 saja sudah turun dari 0,10% menjadi 0,08%. Disertai hilangnya lapangan kerja hingga 30.000 orang (Zulham, 2016), dan (iv) angka kemiskinan di pesisir dan pulau kecil kian meningkat. Faktanya, tahun 2013 Kota Jakarta Utara dan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu penduduk miskinnya paling tertinggi hingga 93.400 (25% dari 373.613 jiwa orang miskin di DKI Jakarta) ketimbang lainnya. Nilai tukar nelayan sebagai indikator kesejahteraan kian merosot. Hingga akhir 2015 berada di bawah 100 yang berarti kawasan ini mengalami back wash effect (baca: Gunnar Myrdal), yaitu kondisi di mana kawasan yang maju menciptakan keadaan yang menghambat dan mengorbankan wilayah terbelakang. Kedua, meroketnya defisit sosial yang memperparah metabolisme sosial di pesisir. Faktanya (i) pengangguran meningkat. Akhir tahun 2015 pengangguran DKI Jakarta, 7,23 %; (ii) meningkatnya angka kemiskinan. Kini rasio gini DKI Jakarta 0,43 (amat timpang). Ketiga, defisit ekologi yang ditandai berubahnya struktur komunitas benthos di wilayah pesisir Teluk Jakarta akibat urugan dan terancamnya hutan mangove yang jadi buffer zone yang luasnya kini tinggal 242,97 hektare. Mulai dari Taman Wisata Alam Kamal, Kebun Pembibitan Angke Kapok, Cagar Alam Muara Angke, Hutan Lindung Angke Kapok, hingga Cilincing Marunda. Keempat, ketidakadilan ruang. Penyusunan tata ruang kerap kali mendahulukan kepentingan pemilik modal ketimbang rakyat kecil. Belum dibuatnya Peraturan Daerah (Perda) soal Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil (RZWP3K), sementara reklamasi sudah berjalan adalah fakta ketidakadilan ruang. Imbasnya, masyarakat pesisir (nelayan, pembudidaya ikan, pengolah usaha mikro dan buruh nelayan) tergusur. Apakah Pemda DKI akan membiarkan nelayan Teluk Jakarta terus berkurang seperti periode 2009–2013 hingga 57,8%? Merujuk pada Pasal 33 UUD 1945, nelayan yang bermukim di pesisir Jakarta adalah warga negara yang mesti mendapatkan hak-hak konstitusionalnya. Mengapa? Sebab sumber daya alam di pesisir dan pulau kecil bukan masuk kategori ”cabang- cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak”, yang harus dikuasai negara (minyak, gas dan mineral) lewat BUMN. Melainkan, SDA yang bisa dikerjakan masyarakat pesisir lewat UKM dan koperasi. Makanya mereka bukan digusur, tapi diberdayakan. Kembalikan Nelayan
  • 35. 35 Agar nelayan tetap hidup di kawasan ini, Pemda DKI mesti pertama, merevitalisasi dan merekonstruksi perkampungan nelayan Teluk Jakarta sebagai wujud reforma agraria di pesisir dan pulau-pulau kecil (coastal and small islands agrarian reform). Membangun infrastruktur pendukung berupa pelabuhan tambatan kapal, groin pemecah ombak, jalan, perbaikan sanitasi lingkungan dan fasilitas lain. Nantinya kampung nelayan jadi daerah wisata (ekowisata). Kedua, bagi nelayan yang tak beridentitas kependudukan Jakarta, solusinya adalah merelokasinya ke daerah asal dengan mengoordinasikan dengan pemerintah daerah setempat. Prasyaratnya, mereka mudah mengakses dan mendapatkan ikan di lokasi baru disertai dukungan insentif rumah dan sarana produksi perikanan. Imbasnya mereka tetap berproduksi dan berprofesi sebagai nelayan. Akhirnya, nelayan bukan termarginalkan, melainkan kembali ke habitus dan profesinya serta mendapatkan perlindungan. MUHAMAD KARIM Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim/Dosen Universitas Trilogi
  • 36. 36 Menimbang Ulang Wacana Tax Amnesty 25-04-2016 Beberapa minggu terakhir, isu Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) kembali memanas. Karena panasnya, dunia internasional pun mulai menaruh perhatian pada isu ini. Sebagai contoh, pada 9 April lalu majalah terkemuka di dunia The Economist ikut membahas wacana RUU Tax Amnesty. RUU Tax Amnesty memang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015- 2019, bahkan RUU ini termasuk salah satu agenda utama yang harus dibahas dan diselesaikan tahun ini. Pembahasan RUU Tax Amnesty memang sudah sangat berlarut- larut. Meski demikian, tampaknya akhir bulan ini RUU Tax Amnesty akan disahkan. Dalam beberapa minggu ke depan, DPR dan pemerintah akan menggodok RUU secara intensif. Jika tidak ada halangan, besar kemungkinan RUU Tax Amnesty akan segera lahir karena memang mayoritas fraksi di DPR telah satu suara. Hanya Fraksi Gerindra dan Fraksi PKS yang meminta pengesahan RUU ditunda. Defisit, Shortfall, dan Repatriasi Modal Tak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Tidak mungkin ada wacana RUU Tax Amnesty jika tidak ada penyebabnya. Dalam jangka pendek, setidaknya ada dua faktor pendorong (push factors) pemerintah mendesak pengesahan RUU Tax Amnesty. Pertama, ancaman defisit anggaran yang semakin lebar. Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, batas kumulatif maksimal defisit anggaran pemerintah (pusat dan daerah) sebesar 3% dari total pendapatan domestik bruto (PDB). Awalnya asumsi defisit anggaran pemerintah pada APBN 2016 tercatat hanya sebesar 2,1% terhadap PDB. Kemudian, menteri keuangan belakangan mengakui angka ini akan melebar ke level 2,5% atau setara dengan penambahan defisit sebesar Rp40 triliun. Angka ini dapat lebih besar lagi jika target penerimaan negara, khususnya dari sisi penerimaan pajak dan migas meleset jauh. Kedua, ancaman terjadinya shortfall penerimaan negara. Shortfall adalah kondisi di mana realisasi penerimaan negara jauh di bawah target. Isu shortfall sudah terjadi sejak tahun lalu, namun bak keledai dungu yang jatuh di lubang yang sama, isu ini kembali muncul. Lebih ironis, argumen pemerintah terkait penyebab shortfall masih sama seperti tahun lalu, yaitu
  • 37. 37 penerimaan pajak yang tidak mencapai target dan kedua penerimaan migas yang anjlok lantaran harga minyak dunia sangat rendah. Sebenarnya pangkal dari kedua masalah tersebut adalah asumsi-asumsi APBN yang terlampau optimistis (overoptimistic). Sudah dua tahun terakhir asumsi-asumsi yang ditetapkan pemerintah dalam APBN (khususnya dari sisi penerimaan) terlalu berlebihan, bahkan terkesan tak masuk akal. Contohnya, bagaimana mungkin pemerintah menargetkan lonjakan penerimaan pajak saat perekonomian sedang melambat? Selain itu, pemerintah juga kurang hati-hati dalam mengantisipasi dampak eksternal, seperti anjloknya harga minyak dunia terhadap kesehatan fiskal. Andai saja pemerintah lebih realistis dalam menyusun berbagai asumsi APBN, niscaya ancaman defisit anggaran dan shortfall tidak akan selebar saat ini. Selain itu, pemerintah berpendapat kebijakan tax amnesty dapat mengundang triliunan uang para warga negara Indonesia (WNI) yang disimpan di luar negeri kembali ke dalam negeri (repatriasi modal). Masih menurut pemerintah, kebijakan ini akan menambah akumulasi modal yang berakibat pada meningkatnya basis pajak (tax base) di Indonesia. Alhasil, dalam jangka menengah-panjang kebijakan tersebut dapat menopang peningkatan penerimaan dan rasio pajak (tax ratio). Bak gayung bersambut argumen repatriasi modal menjadi masuk akal setelah terbongkarnya kasus Panama Papers. Bocoran dokumen menunjukkan ribuan nama wajib pajak Indonesia yang terlibat, baik badan (perusahaan) atau pun perseorangan. Ekonomi Politik Tax Amnesty Dalam teori ekonomi, kebijakan tax amnesty memiliki dua mata pisau. Satu sisi kebijakan ini (sebagaimana argumen pemerintah) memang dapat menambah pundi-pundi pendapatan negara, memperluas basis pajak (tax base) dan meningkatkan kepatuhan pajak (tax compliance). Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga dapat kontraproduktif jika tidak diikuti oleh perubahan struktural, perumusan berbagai kebijakan berikutnya, tindak lanjut (follow up) serta penegakan kepatuhan pajak (enforcement). Karena itu jika pengelolaannya keliru, kebijakan tax amnesty justru dapat menyebabkan semakin banyak orang yang mengemplang pajak. Kebijakan tax amnesty memang sangat populer di berbagai negara. Negara-negara maju seperti Republik Irlandia, Italia, Belgia, Prancis, dan Amerika Serikat atau negara-negara berkembang seperti India, Argentina, dan Kolombia adalah segelintir contoh negara-negara yang pernah menerapkan kebijakan ini. Meski sangat populer, ternyata tingkat kesuksesan dan efektivitas kebijakan ini tergolong sangat rendah (Uchitelle, 1989; Luitel, 2005; Luitel, 2014). Sebagian besar program tax amnesty di berbagai negara gagal memperluas basis pajak dan tidak dapat mendongkrak
  • 38. 38 pendapatan negara secara signifikan. Penyebab utama gagalnya program tax amnesty biasanya disebabkan oleh kegagalan negara melakukan perubahan struktural, seperti perubahan tingkat pajak (tax rate) dan penerapan sistem pajak yang lebih profesional. Selain itu mengevaluasi efektivitas tax amnesty sangatlah sulit jika kebijakan ini diikuti oleh perubahan struktural. Sebagai ilustrasi, kenaikan penerimaan negara pada konteks ini bisa saja lebih disebabkan oleh perubahan struktural dibandingkan tax amnesty itu sendiri. Dalam kasus ini justru negara rugi dua kali, selain gagal mendapatkan tambahan penerimaan dari para pengemplang, negara juga kehilangan tambahan pendapatan yang berasal dari penalti pajak. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Dari itu semua, yang harus diingat oleh kita terkait kebijakan tax amnesty adalah tercabiknya asas dan rasa keadilan sosial. Ini harga yang harus dibayar masyarakat Indonesia bila kebijakan diterapkan. Golongan yang paling diuntungkan dari kebijakan ini jelas hanyalah segelintir orang, yaitu orang-orang super kaya dan perusahaan yang dimilikinya. Kelompok ini biasanya sangat memahami tentang pajak sehingga mereka relatif lebih mudah memanfaatkan celah pajak, baik secara legal (tax avoidance) atau pun ilegal (tax evasion). Kekhawatiran tercabiknya rasa keadilan sosial masyarakat jika kebijakan tax amnesty diterapkan sepertinya tidak berlebihan. Sebagai gambaran, menteri keuangan menyebutkan setidaknya dalam dekade terakhir terdapat sekitar 2000 perusahaan (asing) yang tidak membayar pajak dengan total potensi kehilangan negara sebesar Rp500 triliun. Tidak terbayang sudah berapa ribu triliun rupiah kerugian yang dialami negara setiap tahun atas praktek pengakalan pajak selama ini. Di sisi lain, rasa keadilan sosial kita akan tersayat jika kita tengok puluhan juta penduduk lainnya harus banting tulang demi mencari sesuap nasi, setidaknya untuk hari ini dan esok hari. Belum lagi jika kita lihat panjangnya antrean orang kecil di rumah sakit, kondisi sekolah yang kurang layak, jalan-jalan yang rusak, dan berbagai permasalahan sosial-ekonomi lainnya. Karena itu sudah semestinya kita semua (khususnya pemerintah dan DPR), menimbang ulang diterapkannya tax amnesty di bumi pertiwi. DZULFIAN SYAFRIAN Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF); Kandidat Doktor Durham University Business School (DUBS), Inggris
  • 39. 39 Tourism: Old vs New dan Disruption Trend 28-04-2016 Pekan-pekan ini umat Katolik Indonesia tengah sibuk menyusun rencana besar menyongsong Bulan Maria, yang biasa jatuh setiap Mei dan Oktober. Salah satunya adalah ziarah wisata. Destinasinya, Gua Maria yang tersebar di berbagai daerah. Kebetulan Mei mendatang ini ada dua hari libur yang jatuhnya berurutan, yakni Kamis- Jumat (5 dan 6 Mei). Ditambah libur Sabtu-Minggu, bakal ada empat hari libur berurutan. Ini betul-betul akan menjadi very long week end bagi masyarakat kita, baik umat Katolik maupun umat lainnya. Waktu yang cukup untuk meninggalkan Jakarta yang semakin sumpek. Apalagi sekarang perjalanan ke lokasi-lokasi ziarah wisata ke Jawa Barat dan Jawa Tengah menjadi semakin mudah setelah jalan tol Cikampek-Palimanan (Cipali) beroperasi. Ditambah lagi paket-paket tur dan transportasi murah yang dikemas para pelaku sharing economy semakin banyak. Mudah-mudahan pihak kepolisian, Dishub, dan PT Jasa Marga kali ini lebih sigap mengatur arus lalu lintas di jalan tol Jakarta-Cikampek dan Cipali sehingga saudara-saudara kita yang ingin berwisata tidak terjebak kemacetan berjam-jam di jalan tol. Wisata pun Disrupted Mula-mula saya sebetulnya tak terlalu menaruh perhatian dengan rencana libur dan ziarah umat Katolik tadi. Sebab nyaris setiap tahun mereka melakukannya. Biasanya mereka pergi berombongan dengan mobil pribadi. Jumlahnya mungkin empat-lima mobil. Hanya kali ini saya agak terperangah, sebab jumlahnya meningkat luar biasa. Mereka berangkat dengan dua bus! Saya mulai mencermati fenomena tersebut. Namun, setelah membaca artikel di Boston Globe, saya mulai melihat bahwa apa yang dilakukan umat Katolik tadi hanyalah potret kecil dari sebuah perubahan besar dalam sebuah proses global disruption. Soal ini, kami di Rumah Perubahan sedang sibuk-sibuknya mengajari para CEO dan aparatur sipil negara merumuskan strategi dan aksi baru di era disruption. Training selama lima hari itu amat diminati karena kami mengajarkan cara-cara baru merumuskan strategi. Prinsipnya, kami ajarkan korporasi dan institusi berinovasi like start ups. Anda tahu, kalau sudah bicara tentang perubahan, saya pasti sangat menaruh perhatian. Bahkan Clayton Christensen yang mencetuskan teori tentang Disruptive Innovation lebih dari
  • 40. 40 20 tahun yang lalu terpaksa angkat bicara lagi karena ia melihat teorinya dikritik orang-orang asbun. (It is) criticized for shortcomings that have already been addressed (2016), ujarnya. Proses disruptive yang mengakibatkan penjungkirbalikan banyak lembaga bereputasi ini bakal membuat pusing bukan saja para pendeta, pastor ataupun para kiai dan pengurus masjid atau gereja. Kita semua, termasuk Menhub dan Menteri BUMN, pemilik televisi, Presiden, bahkan Ketua BPK dan gubernur tengah mengalami ujian disruptive innovation yang berat. Bahkan para ketua majelis wali amanah universitas bergengsi akan pusing mengatur rektor yang kolot dan pengusaha taksi bereputasi tinggi yang amat kita cintai seperti Blue Bird atau perusahaan minyak sekelas Aramco bakal bernasib buruk kalau kurang cermat merespons gejolak disruptions ini. Bakal ada yang terjungkir balik. Melawan hukum manusia kebanyakan loser takut dipenjara, tapi melawan hukum alam berisiko lebih besar pada korban yang tak terbatas. Baiklah kita membahas soal artikel di Boston Globe. Anda tahu bukan bahwa Boston Globe adalah media cetak yang punya reputasi besar dalam menyajikan liputan-liputan investigasi. Salah satu liputan Boston Globe pernah difilmkan. Judulnya Spotlight. Film ini kemudian meraih penghargaan Academy Award atau kita mengenalnya dengan sebutan Oscar sebagai Film Terbaik pada tahun 2016. Apa isi liputannya? Menurut laporan Boston Globe, sejumlah biro perjalanan wisata di Amerika Serikat mencatat pertumbuhan 164% dalam kurun waktu lima tahun terakhir atau jika dirata-rata lebih dari 30% per tahun. Ini angka yang luar biasa. Sebab kalau merujuk data Badan Pariwisata Dunia (World Tourism Organization), setiap tahun industri pariwisata dunia hanya tumbuh rata-rata 4%. Bagaimana bisa? Media ini lalu menelisik lebih dalam. Rupanya pemicu lonjakan adalah meningkatnya permintaan wisata ke lokasi-lokasi yang memberikan pengalaman spiritual dan religius. Potret ini tecermin di sejumlah biro perjalanan wisata di sana. Misalnya Audley Travel, biro perjalanan wisata di Boston. Biro ini mengorganisasi perjalanan “wisata penyembuhan” ke Bali, ke biara-biara Shinto-Buddha di Jepang, kuil-kuil suci di Thailand, termasuk Taktsang Monastery (atau dikenal dengan sebutan Tigers Nest) di Bhutan—sebuah kuil yang berlokasi di tebing dengan ketinggian lebih dari 3.000 meter dari permukaan laut. Pendakian yang melelahkan, tetapi dikemas menjadi simbol betapa beratnya perjalanan kehidupan di dunia. Belum lagi wedding party di Ubud plus afternoon tea di tepi Sungai Ayung. Biro wisata yang lain, Avanti Destinations, yang berbasis di Portland, Oregon, AS, juga sukses mengemas perjalanan wisata spiritual. Permintaannya naik lebih dari dua kali lipat. Destinasi wisata favorit Avanti adalah tempat kelahiran Martin Luther King Jr, tanah kelahiran Paus Fransciscus II di Argentina, termasuk wisata ke Vatikan—yang setiap harinya
  • 41. 41 mampu menampung 25.000 wisatawan—, Machu Picchu di Peru, serta sejumlah lokasi wisata yang misterius dan religius. Andaikan Suriah tak dilanda perang, barangkali negara ini juga menjadi tujuan wisata yang penting untuk mengunjungi makam Nabi Adam, sumur Ayub, Masjid Ummayyah, dan Lembah Malula yang penduduknya masih mampu berdoa Bapak Kami dalam bahasa Aramik. Potret serupa terjadi di biro-biro perjalanan wisata lainnya. Intinya menggambarkan terjadinya tren wisata dunia dari yang semula sekadar mencari kesenangan menjadi mencari ketenangan. Jadi, kalau dulu banyak wisatawan mencari lokasi yang menawarkan sun, sand and sea—katanya untuk membuat kulit mereka lebih cokelat sehingga terlihat lebih menarik (walau sampai sekarang saya tak mengerti mengapa lebih cokelat menjadi lebih menarik), kini mereka mencari sesuatu yang lebih. Apa itu? Mereka rupanya mencari destinasi wisata yang lebih memberikan ketenangan batin, lokasinya lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan serta memperkaya pengalaman spiritualitas mereka. Menurut Catherine M Cameron dan John B, Gatewood (2008), mereka kini mencari beyond sun, sand and sea. Mereka sudah jenuh dengan wisata ke pantai, berjemur matahari, dan menikmati pasir laut. Mereka ingin mencari destinasi wisata yang lebih memberi makna. Istilahnya, serenity, sustainability and spirituality. Tengok saja bandara-bandara kita, setiap hari dipenuhi jamaah umrah yang makin hari makin banyak peminatnya. Semua mencari ketenangan, bukan ketegangan yang biasa kita baca di media sosial atau kita lihat di televisi. Para wisatawan juga sudah jenuh menghadapi situasi dunia yang tidak menentu, baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Mereka juga mulai bertanya-tanya tentang makna kehidupan. Kata Daniel Olsen, profesor geografi dari Brigham Young University di AS, banyak orang yang mulai bertanya-tanya tentang makna hidup, mengapa saya ada di dunia ini dan di mana saya setelah meninggal dunia? “Wisata religi dan spiritual setidak-tidaknya memberi mereka jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Memberi Anda perspektif lain dalam hidup ini,” kata Olsen. Di sisi lain, meningkatnya tren wisata religius juga dipicu kian meningkatnya popularitas Paus Franciscus II, Dalai Lama, dan tokoh-tokoh spiritual lainnya, termasuk peringatan 500 tahun reformasi Protestan yang dipelopori Marthin Luther King Jr yang bakal jatuh pada 2017. Perubahan dan Peluang Saya tadi sudah menyinggung bahwa tren perubahan wisata—dari berbasis kesenangan menjadi mencari ketenangan—tak hanya terjadi di tingkat dunia, tapi juga di depan mata kita. Buktinya, meningkatnya minat ziarah wisata umat Katolik tadi. Lihatlah juga permintaan wisata umrah dan haji yang setiap tahunnya terus meningkat.
  • 42. 42 Tapi, jangan hanya melihat ke luar. Lihatlah ke dalam. Negeri kita sebetulnya sangat kaya dengan destinasi wisata tradisi dan religi. Kita mempunyai banyak masjid kuno yang menjadi saksi sejarah tentang kebesaran Islam di negeri ini. Kita punya tradisi Grebeg Maulud yang bisa dikemas menjadi tontonan memikat bagi para wisatawan asing. Kita juga punya makam Walisongo yang berserak mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Bagi kalangan Katolik, ada Gua Maria yang tersebar mulai dari Sumatera sampai Jawa. Kita juga punya banyak sekali kelenteng kuno. Jangan lupa kita juga punya Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan ribuan candi lainnya yang kaya dengan tradisi religi. Belum lagi upacara Ngaben dan penyucian air atau upacara Nyepi di Bali. Maka kita jangan hanya menjadi penonton perubahan tren wisata dunia. Kita harus menjadikannya sebagai peluang untuk menjaring lebih banyak wisatawan asing agar mau mengunjungi objek-objek wisata religi di Tanah Air. Modal kita adalah kerukunan beragama—meski sesekali dinodai oleh kelompok-kelompok radikal. Setiap perubahan selalu menawarkan peluang. Itulah yang mesti kita tangkap. RHENALD KASALI Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
  • 43. 43 Desa: Mata Air vs Air Mata 29-04-2016 Ada dua julukan kontras yang lekat pada desa: sumber mata air dan lokasi air mata. Sebutan desa sebagai sumber mata air merujuk pada aneka kekayaan yang dimiliki desa. Mulai kekayaan alam yang melimpah, lingkungan yang asri, hingga modal sosial yang tercermin dalam sikap guyub dan gotong-royong. Tetapi, eksploitasi berlebihan atas sumber kekayaan alam hingga sikap mendewakan material membuat desa hanya menjadi penonton. Secara ekonomi, desa dikepung sikap komersialisasi yang melumpuhkan kegiatan ekonomi di perdesaan. Secara sosial, jaringan kekerabatan dan kultur saling menolong, dikikis sistem ekonomi pasar yang mendewakan relasi antarindividu dengan basis kalkulasi material. Secara politik, desa hanya sebagai objek. Relasi politik, ekonomi, dan sosial yang tidak menguntungkan itulah yang membuat individuindividu di perdesaan tunadaya (powerless) dan berkubang kemiskinan. Akhirnya desa tidak lagi ramah dan justru jadi tempat ”air mata”. Deretan fakta-fakta ini menunjuk desa sebagai lokasi ”air mata”. Pertama, kemiskinan menumpuk di desa. Per September 2015 jumlah penduduk miskin 11,13% (28,51 juta), lebih tinggi dari target 10,3%. Jumlah penduduk miskin di perdesaan mencapai 17,89 juta orang atau 62,74% dari total penduduk miskin. Kemiskinan sejak dulu terkonsentrasi di perdesaan. Pada 1976 jumlah penduduk miskin perdesaan mencapai 44,2 juta orang atau 81,5% dari total penduduk miskin. Jadi, hampir empat dekade kemiskinan tetap menumpuk di perdesaan. Kedua, kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah. Menurut Sensus Pertanian 2013, jumlah rumah tangga petani mencapai 26,14 juta rumah tangga, menurun 5,04 juta rumah tangga dari 2003. Sekitar 72% dari mereka yang bekerja di sektor pertanian hanya berpendidikan sekolah dasar (SD) ke bawah. Di luar itu, sepertiga (32,76%) petani berumur di atas 54 tahun. Akibat itu, respons mereka terhadap perubahan relatif lamban. Ketiga, penguasaan modal (lahan dan pendanaan) terbatas. Sebanyak 14,25 juta rumah tangga petani (55,33%) gurem atau menguasai lahan di bawah 0,5 hektare. Keterbatasan modal membuat pertanian tidak lagi jadi gantungan hidup. Kapasitas desa yang lemah semakin tunadaya akibat kebijakan politik-ekonomi nasional yang menempatkan desa/perdesaan hanya sebagai pemasok tenaga kerja murah, penyedia bahan mentah, dan pasar bagi komoditas olahan (yang dikerjakan di wilayah lain atau di kota). Pengalaman puluhan tahun pembangunan model semacam ini membuat desa selalu dalam
  • 44. 44 kubang keterbelakangan. Surplus modal dan SDM tidak kembali ke desa untuk memperbaiki kapasitas desa. Sebaliknya, surplus lari ke luar desa dinikmati orang kota. Residu pembangunan model semacam ini adalah ketimpangan yang tercermin pada kesenjangan pendapatan antarpenduduk. Distribusi pendapatan menunjukkan porsi pendapatan 40% masyarakat dengan pendapatan terendah menurun: dari 20,22% (2005) jadi 16,86% (2011). Sedangkan pendapatan 20% masyarakat berpendapatan tertinggi naik, dari 42,09% jadi 48,41%. Rasio gini kecenderungannya sama: meningkat dari 0,32 (2004) menjadi 0,413 (2014). Yang menarik, dari September 2014 ke September 2015, indeks gini di perkotaan naik dari 0,43 jadi 0,47. Sementara di perdesaan indeks gini menurun: dari 0,34 menjadi 0,27. Data-data di atas kian menambah terang fakta desa (masih) jadi tempat ”air mata”. Penurunan jumlah rumah tangga petani selaras dengan laju urbanisasi masif dari desa. Mereka mencari peruntungan ke kota bukan karena dorongan keterampilan, melainkan lantaran tidak ada peluang ekonomi di perdesaan. Karena tidak memiliki kemampuan, para pelancong dari desa ini terlempar di sektor informal yang rentan dan tidak terlindungi. Masifnya kaum urban miskin dari desa ini membuat jurang yang kaya dengan yang miskin di perkotaan semakin melebar. Duet Jokowi-JK memantapkan model pembangunan ekonomi yang dilakoni. Dalam Nawacita, hal itu tercantum dalam ide ”membangun dari pinggiran dan perdesaan”. Alas pokok penting untuk menjalankan model itu adalah Undang-Undang (UU) Desa Nomor 6/2014. Atensi semakin besar setelah pemerintah membentuk kementerian yang mengurus desa: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Lewat pilihan ini, pemerintah hendak mengubah desa: dari lokasi ”air mata” menjadi sumber mata air. Desa akan menjadi sumber mata air apabila roh UU Desa diimplementasikan dengan baik. Semangat utama UU Desa adalah menyejahterakan masyarakat desa, bukan lagi pembangunan di desa yang dikendalikan ketat secara administratif dari atas (rezim kontrol). Terkait ini, ada dua hal strategis yang harus menjadi fokus kerja-kerja teknokratis ke depan. Pertama, redistribusi aset/modal. Pada 2016 jumlah dana desa mencapai Rp46,8 triliun, naik dua kali selama 2015 (Rp20,7 triliun). Aliran modal besar ke desa ini akan menciptakan dampak berganda luar biasa apabila pada saat yang sama diiringi dengan redistribusi aset berupa lahan. Janji duet Jokowi-JK yang akan membagikan 9 juta hektare lahan kepada petani dan meningkatkan penguasaan lahan dari 0,2 hektare menjadi 2 hektare per keluarga perlu ditunaikan. Penguasaan aset lahan (plus kapital) akan memperbesar kapasitas petani. Kedua, desa membangun harus diorientasikan dalam skala kawasan, bukan bertumpu pada pendekatan administratif. Desa harus didesain terintegrasi dengan industri pengolahan. Sumber daya ekonomi sebisa mungkin ditahan desa dan hanya keluar setelah melalui proses
  • 45. 45 penciptaan nilai tambah. Suntikan inovasi dan adopsi teknologi menjadi keniscayaan agar nilai tambah dan dampak berganda sebesar-besarnya dinikmati masyarakat perdesaan. Jika desain ini bisa dilakukan dengan baik, urbanisasi dapat ditekan dan posisi desa tidak lagi inferior. Desa menjanjikan nilai tambah dan kehidupan lebih baik. Ini akan jadi daya tarik lulusan perguruan tinggi untuk kembali ke desa. Perlahan, tapi pasti kemiskinan akan terkikis. Langkah ini mesti dipayungi kebijakan makroekonomi, politik fiskal, moneter, keuangan, perdagangan, investasi, dan hal lain yang memihak dan menjadikan desa sebagai arus utama pembangunan. Yang tak kalah penting adalah membalik arah pembangunan: dari sektor non-tradable (sektor keuangan, jasa, real estate, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/ hotel/restoran) yang bersifat padat modal, teknologi dan pengetahuan ke sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal. Pembangunan selama ini telah menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi ekonomi perdesaan. Orientasi ini harus dihentikan. UU Desa memberi amanat suci itu. Jika ini bisa ditunaikan, desa akan benar-benar menjadi sumber mata air. KHUDORI Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
  • 46. 46 Memanusiakan Pekerja Alih Daya 30-04-2016 Dalam setiap peringatan Hari Buruh (May Day) di Indonesia, tuntutan terhadap penghapusan outsourcing (tenaga kerja alih daya) selalu menjadi satu isu utama. Tidak terkecuali dengan aksi buruh pada May Day tahun ini. Tuntutan penghapusan outsourcing yang terus diteriakkan buruh tidak lepas dari stigma negatif mengenai praktik outsourcing di negeri ini. Sistem kerja outsourcing dianggap bentuk eksploitasi terhadap pekerja. Gaji rendah yang tidak sesuai dengan ketentuan upah minimum, tidak ada asuransi kesehatan dan jaminan tenaga kerja, dan tidak dipenuhinya sejumlah hak- hak normatif pekerja. Praktik outsourcing juga dianggap tidak memberikan jenjang karier. Ditambah lagi dengan adanya paradigma yang kurang tepat antara pekerja kontrak dan pekerja outsourcing. Tenaga kerja outsourcing belum tentu statusnya adalah pekerja kontrak, begitu pun sebaliknya. Lalu, apakah penghapusan sistem outsourcing lantas menjadi solusi bagi perbaikan kesejahteraan pekerja? Perlu dipertimbangkan, berapa banyak nasib jumlah pekerja yang dipertaruhkan jika sistem outsourcing dihapuskan? Belum lagi berbicara soal penyerapan angkatan kerja dan jumlah pengangguran, khususnya untuk lulusan SMA yang merupakan kelompok pengangguran tertinggi. Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2015, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,56 juta orang. Dari jumlah itu, sebanyak 3,84 juta atau lebih dari 50% merupakan lulusan SMA dan sederajat. Diikuti oleh pengangguran lulusan SMP (1,37 juta orang), SD (1 juta orang), diploma (251.000 orang) dan sarjana (653.000). Memang belum ada data pasti berapa jumlah pekerja outsourcing di Indonesia, meski pernah ada yang menyebut bisa mencapai setengah jumlah pekerja formal. Namun sekadar gambaran, perusahaan yang saya pimpin saat ini mempekerjakan lebih dari 60.000 karyawan dan setiap bulan merekrut sekitar 1.800 tenaga kerja baru. Lebih dari 90% karyawan baru tersebut adalah maksimum lulusan SMA yang belum punya pengalaman bekerja. Di India, adanya outsourcing terbukti menjadi solusi terhadap masalah pengangguran dan menjadi salah satu kontributor terbesar terhadap PDB negara tersebut. Tahun 2012 saja, sektor outsourcing di India berkontribusi lebih dari USD100 miliar, dan akan tumbuh menjadi USD225 miliar di tahun 2020. India menjadi negara terbesar di dunia untuk bisnis outsourcing, disusul dengan Tiongkok.