Dokumen ini membahas upaya memproduksi udang putih (Litopenaeus vannamei) sebagai udang konsumsi (udang sayur) di bak-bak bekas pembenihan udang (backyard hatchery) untuk memberdayakan bak-bak tersebut. Udang dipelihara dari umur PL8-PL10 selama 2-2,5 bulan dengan kepadatan awal berbeda antara 5.000-30.000 ekor/bak. Hasilnya, kepadatan awal 5.000 dan 10.000 ekor/bak menghas
Kajian perekayasaan untuk menghasilkan teknologi produksi baby crab rajungan di hapa dan bak terkendali telah dilakukan. Pada kajian ini, pemeliharaan benih Crab 5 hingga menghasilkan ukuran berat 1,5 – 1,8 gram (ukuran baby crab) dilakukan dengan 2 perlakuan kepadatan yaitu 250 ekor/m2 dan 500 ekor/m2. Pemeliharaan baby crab di bak dengan memberi substrat pasir setebal ± 5 cm dan shelter berupa tali rafia yang dibuat menyerupai rumput laut (artificial sea weed), sedangkan pemeliharaan di hapa dengan pemberian shelter artificial sea weed. Pemberian pakan ikan rucah sebesar 200 – 300 gram/1000 ekor crab/hari (> 200% berat biomass). Dari kajian didapatkan, hingga umur pemeliharaan 14 hari (C-19) belum didapatkan berat baby crab yang diharapkan (< 0,5 gr) sehingga pemeliharaan ditambah menjadi 24 hari (C-29). Hingga umur pemeliharaan 14 hari (C-19) tidak ada perbedaan kelulushidupan pada pemeliharaan di hapa maupun di bak dengan kepadatan 250 ekor/m2 atau pun kepadatan 500 ekor/m2. Terdapat perbedaan sangat nyata (P<0,01) pada umur pemeliharaan hingga 24 hari (C-29) terhadap nilai kelulushidupan pemeliharaan baby crab di bak dan di hapa baik dengan kepadatan 250 ekor/m2 maupun dengan kepadatan 500 ekor/m2. Nilai kelulushidupan yang lebih baik dihasilkan pada pemeliharaan di bak sebesar 30,3% pada kepadatan 250 ekor/m2 dan 26,8% pada kepadatan 500 ekor/m2. Dari hasil analisa proximat, baby crab yang dipelihara pada hapa mengandung protein yang lebih tinggi sebesar 27,5% dibandingkan baby crab yang dipelihara di bak sebesar 20,5%. Sedangkan dari tes organoleptik yang dilakukan, tidak ada perbedaan antara baby crab yang dipelihara di hapa maupun di bak terhadap rasa, warna, aroma maupun tekstur. Biaya produksi baby crab di bak dengan kepadatan 250 ekor/m2 sebesar Rp. 135.000/kg merupakan yang termurah dibandingkan yang lainnya.
Kajian perekayasaan untuk menghasilkan teknologi produksi baby crab rajungan di hapa dan bak terkendali telah dilakukan. Pada kajian ini, pemeliharaan benih Crab 5 hingga menghasilkan ukuran berat 1,5 – 1,8 gram (ukuran baby crab) dilakukan dengan 2 perlakuan kepadatan yaitu 250 ekor/m2 dan 500 ekor/m2. Pemeliharaan baby crab di bak dengan memberi substrat pasir setebal ± 5 cm dan shelter berupa tali rafia yang dibuat menyerupai rumput laut (artificial sea weed), sedangkan pemeliharaan di hapa dengan pemberian shelter artificial sea weed. Pemberian pakan ikan rucah sebesar 200 – 300 gram/1000 ekor crab/hari (> 200% berat biomass). Dari kajian didapatkan, hingga umur pemeliharaan 14 hari (C-19) belum didapatkan berat baby crab yang diharapkan (< 0,5 gr) sehingga pemeliharaan ditambah menjadi 24 hari (C-29). Hingga umur pemeliharaan 14 hari (C-19) tidak ada perbedaan kelulushidupan pada pemeliharaan di hapa maupun di bak dengan kepadatan 250 ekor/m2 atau pun kepadatan 500 ekor/m2. Terdapat perbedaan sangat nyata (P<0,01) pada umur pemeliharaan hingga 24 hari (C-29) terhadap nilai kelulushidupan pemeliharaan baby crab di bak dan di hapa baik dengan kepadatan 250 ekor/m2 maupun dengan kepadatan 500 ekor/m2. Nilai kelulushidupan yang lebih baik dihasilkan pada pemeliharaan di bak sebesar 30,3% pada kepadatan 250 ekor/m2 dan 26,8% pada kepadatan 500 ekor/m2. Dari hasil analisa proximat, baby crab yang dipelihara pada hapa mengandung protein yang lebih tinggi sebesar 27,5% dibandingkan baby crab yang dipelihara di bak sebesar 20,5%. Sedangkan dari tes organoleptik yang dilakukan, tidak ada perbedaan antara baby crab yang dipelihara di hapa maupun di bak terhadap rasa, warna, aroma maupun tekstur. Biaya produksi baby crab di bak dengan kepadatan 250 ekor/m2 sebesar Rp. 135.000/kg merupakan yang termurah dibandingkan yang lainnya.
Tambak dalam perikanan adalah kolam buatan, biasanya di daerah pantai, yang diisi air dan dimanfaatkan sebagai sarana budidaya perairan (akuakultur). Hewan yang dibudidayakan adalah hewan air, terutama ikan, udang, serta kerang dan lain-lain. Penyebutan “tambak” ini biasanya dihubungkan dengan air payau atau air laut. Kolam yang berisi air tawar biasanya disebut kolam saja atau empang. Tambak merupakan salah satu jenis habitat yang dipergunakan sebagai tempat untuk kegiatan budidaya air payau yang berlokasi di daerah pesisir.
Udang vannamei (Litopenaeus vannameii) berasal dari daerah subtropis pantai barat Amerika, mulai dari Teluk California di Mexico bagian utara sampai ke pantai barat Guatemala, El Salvador, Nicaragua, Kosta Rika di Amerika Tengah hingga ke Peru di Amerika Selatan. Udang vannamei termasuk genus Penaeus dan subgenus Litopenaeus. Vannamei berbeda dari genus Penaeus lainnya karena bentuk telikum (organ kelamin betina) terbuka, tapi tidak terdapat tempat untuk penyimpanan sperma.
Teknologi pemijahan buatan yang telah dilakukan di Sumatera Barat ((Padang Pariaman) merupakan langkah awal pen domestikasi Ikan "semah" Tor douronensis untuk tujuan pengembangan budidaya. Ikan yang berasal dari alam dapat dilakukan reproduksinya secara buatan melalui manipulasi hormonal.
PENANGANAN HAMA DAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA UDANG VANNAMEIMustain Adinugroho
Hama dan penyakit merupakan factor penyebab kegagalan budidaya yang bila tidak ditangani dengan baik akan menrugikan budidaya. Hama adalah organisme yang dapat mengganggu budidaya dan kemungkinan besar membawa penyakit yang dapat menyerang udang. Penyakit adalah kondisi terjadinya abnormalitas dari struktur, fungsi dan tingkah laku maupun abnormalitas pada metabolisme.
SKRIPSI - BEBAN KERJA OSMOTIK, PERUBAHAN OSMOEFEKTOR DAN EFISIENSI PEMANFAATA...Mustain Adinugroho
Musta’in Adinugroho. K2A005049. Beban Kerja Osmotik, Perubahan Osmoefektor dan Efisiensi Pemanfaatan Pakan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) yang Dikulltivasi pada Media Isoosmotik, Hipoosmotik dan Hiperosmotik Intermolt (Pembimbing : Sutrisno Anggoro dan Mustofa Niti Suparjo)
Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) merupakan spesies yang komersial untuk budidaya sejak usaha budidaya udang di Indonesia lesu akibat serangan virus WSS. Udang ini adalah udang introduksi yang berasal dari perairan Meksiko dan Amerika Latin. Kehidupan udang ini bergantung pada kelancaran proses molting dan beban kerja osmotik dimana salinitas sangat berperan sebagai masking faktor. Selain itu perubahan osmoefektor juga akan mempengaruhi proses metabolisme udang sehingga daya pemanfaatan pakan tidak optimal.
Tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah mengkaji beban kerja osmotik, perubahan osmoefektor dan daya pemanfaatan pakan udang Litopenaeus vannamei yang dikultivasi pada media dengan isoosmotik yang berbeda.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 hingga Januari 2010 di Laboratorium Pengembangan Wilayah Pantai, Universitas Diponegoro, Jepara. Materi yang digunakan adalah udang vannamei dengan metode eksperimental laboratoris dengan menggunakan rancangan acak sistematis dengan 4 perlakuan dan 3 kali ulangan. Lama pemeliharaan adalah 60 hari. Perlakuan yang diterapkan adalah menggunakan media isoosmotik yang berbeda. Data yang dikaji dalam penelitian ini adalah beban kerja osmotik, kandungan ion-ion (osmoefektor) dan daya pemanfaatan pakan. Hasil data diolah dengan menggunakan analisis ragam dan perbedaan pengaruh antar perlakuan diuji dengan menggunakan uji Duncan dengan bantuan progam SPSS 15.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat salinitas media (larutan osmotik) yang berbeda (hipoosmotik, isoosmotik dan hiperosmotik) memberikan pengaruh yang nyata terhadap beban kerja osmotik, perubahan osmoefektor dan daya pemanfaatan pakan (p<0.05). Salinitas yang terbaik diantara beberapa perlakuan yang dicobakan untuk beban kerja osmotik adalah 20+1 ppt dengan beban kerja osmotik 43.65 mOsm/l H2O. Nisbah ion (osmoefektor) terendah terdapat pada salinitas 20+1 ppt. Sedangkan daya pemanfaatan pakan terbaik adalah pada salinitas 26+1 ppt dengan nilai FCR 1,34 dan PER 1,79. Rentang salinitas isoosmotik molt pada salinitas 26+1 ppt memberikan lingkungan media yang ideal bagi kultivasi udang vannamei.
Kata kunci: salinitas, beban kerja osmotik, osmoefektor, daya pemanfaatan pakan, Litopenaeus vannamei
PENAMPILAN REPRODUKSI DAN KUALITAS LARVA RAJUNGAN DENGAN PEMBERIAN BIOMASS A...lisa ruliaty 631971
Dalam kajian ini, induk rajungan di beri pakan berupa campuran pakan segar (cumi-cumi, udang dan ikan rucah) sebagai kontrol dan pakan segar dengan penambahan 50% biomasa artemia tanpa diperkaya.
Tambak dalam perikanan adalah kolam buatan, biasanya di daerah pantai, yang diisi air dan dimanfaatkan sebagai sarana budidaya perairan (akuakultur). Hewan yang dibudidayakan adalah hewan air, terutama ikan, udang, serta kerang dan lain-lain. Penyebutan “tambak” ini biasanya dihubungkan dengan air payau atau air laut. Kolam yang berisi air tawar biasanya disebut kolam saja atau empang. Tambak merupakan salah satu jenis habitat yang dipergunakan sebagai tempat untuk kegiatan budidaya air payau yang berlokasi di daerah pesisir.
Udang vannamei (Litopenaeus vannameii) berasal dari daerah subtropis pantai barat Amerika, mulai dari Teluk California di Mexico bagian utara sampai ke pantai barat Guatemala, El Salvador, Nicaragua, Kosta Rika di Amerika Tengah hingga ke Peru di Amerika Selatan. Udang vannamei termasuk genus Penaeus dan subgenus Litopenaeus. Vannamei berbeda dari genus Penaeus lainnya karena bentuk telikum (organ kelamin betina) terbuka, tapi tidak terdapat tempat untuk penyimpanan sperma.
Teknologi pemijahan buatan yang telah dilakukan di Sumatera Barat ((Padang Pariaman) merupakan langkah awal pen domestikasi Ikan "semah" Tor douronensis untuk tujuan pengembangan budidaya. Ikan yang berasal dari alam dapat dilakukan reproduksinya secara buatan melalui manipulasi hormonal.
PENANGANAN HAMA DAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA UDANG VANNAMEIMustain Adinugroho
Hama dan penyakit merupakan factor penyebab kegagalan budidaya yang bila tidak ditangani dengan baik akan menrugikan budidaya. Hama adalah organisme yang dapat mengganggu budidaya dan kemungkinan besar membawa penyakit yang dapat menyerang udang. Penyakit adalah kondisi terjadinya abnormalitas dari struktur, fungsi dan tingkah laku maupun abnormalitas pada metabolisme.
SKRIPSI - BEBAN KERJA OSMOTIK, PERUBAHAN OSMOEFEKTOR DAN EFISIENSI PEMANFAATA...Mustain Adinugroho
Musta’in Adinugroho. K2A005049. Beban Kerja Osmotik, Perubahan Osmoefektor dan Efisiensi Pemanfaatan Pakan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) yang Dikulltivasi pada Media Isoosmotik, Hipoosmotik dan Hiperosmotik Intermolt (Pembimbing : Sutrisno Anggoro dan Mustofa Niti Suparjo)
Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) merupakan spesies yang komersial untuk budidaya sejak usaha budidaya udang di Indonesia lesu akibat serangan virus WSS. Udang ini adalah udang introduksi yang berasal dari perairan Meksiko dan Amerika Latin. Kehidupan udang ini bergantung pada kelancaran proses molting dan beban kerja osmotik dimana salinitas sangat berperan sebagai masking faktor. Selain itu perubahan osmoefektor juga akan mempengaruhi proses metabolisme udang sehingga daya pemanfaatan pakan tidak optimal.
Tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah mengkaji beban kerja osmotik, perubahan osmoefektor dan daya pemanfaatan pakan udang Litopenaeus vannamei yang dikultivasi pada media dengan isoosmotik yang berbeda.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 hingga Januari 2010 di Laboratorium Pengembangan Wilayah Pantai, Universitas Diponegoro, Jepara. Materi yang digunakan adalah udang vannamei dengan metode eksperimental laboratoris dengan menggunakan rancangan acak sistematis dengan 4 perlakuan dan 3 kali ulangan. Lama pemeliharaan adalah 60 hari. Perlakuan yang diterapkan adalah menggunakan media isoosmotik yang berbeda. Data yang dikaji dalam penelitian ini adalah beban kerja osmotik, kandungan ion-ion (osmoefektor) dan daya pemanfaatan pakan. Hasil data diolah dengan menggunakan analisis ragam dan perbedaan pengaruh antar perlakuan diuji dengan menggunakan uji Duncan dengan bantuan progam SPSS 15.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat salinitas media (larutan osmotik) yang berbeda (hipoosmotik, isoosmotik dan hiperosmotik) memberikan pengaruh yang nyata terhadap beban kerja osmotik, perubahan osmoefektor dan daya pemanfaatan pakan (p<0.05). Salinitas yang terbaik diantara beberapa perlakuan yang dicobakan untuk beban kerja osmotik adalah 20+1 ppt dengan beban kerja osmotik 43.65 mOsm/l H2O. Nisbah ion (osmoefektor) terendah terdapat pada salinitas 20+1 ppt. Sedangkan daya pemanfaatan pakan terbaik adalah pada salinitas 26+1 ppt dengan nilai FCR 1,34 dan PER 1,79. Rentang salinitas isoosmotik molt pada salinitas 26+1 ppt memberikan lingkungan media yang ideal bagi kultivasi udang vannamei.
Kata kunci: salinitas, beban kerja osmotik, osmoefektor, daya pemanfaatan pakan, Litopenaeus vannamei
PENAMPILAN REPRODUKSI DAN KUALITAS LARVA RAJUNGAN DENGAN PEMBERIAN BIOMASS A...lisa ruliaty 631971
Dalam kajian ini, induk rajungan di beri pakan berupa campuran pakan segar (cumi-cumi, udang dan ikan rucah) sebagai kontrol dan pakan segar dengan penambahan 50% biomasa artemia tanpa diperkaya.
PPT ini menjelaskan mengenai pembudidayaan ikan patin yang terdiri dari:
1. persiapan lahan
2. pemilihan induk
3. pemijahan (alami & buatan)
4. pembenihan
5. pembesaran
6. penanganan hama dan penyakit
7. pemanenan
8. pemasaran
9. desain produk
semoga bermanfaat trimakasih.
PERBANDINGAN MUTU INDUK RAJUNGAN MATANG TELUR ALAM DENGAN INDUK ABLASI ASAL...lisa ruliaty 631971
Perbandingan kualitas induk dari asal yang berbeda (induk rajungan asal alam, induk alam yang di ablasi serta induk hasil budidaya di tambak), dilihat dari aspek penampilan reproduksi serta kandungan asam lemak dari telur dan larva.
BACKYARD HATCHERY RAJUNGAN; SUATU ALTERNATIF USAHA BUDIDAYAlisa ruliaty 631971
Konsep pembenihan rajungan skala rumah tangga (backyard hatchery rajungan) merupakan penerapan teknik dengan mengadopsi serta menyederhanakan beberapa teknik pemeliharaan yang telah dilakukan di unit pembenihan rajungan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara.. Aplikasi teknis di lapangan meliputi (1) Pemanfaatan bak-bak HSRT udang windu yang tidak operasional. (2) Air laut sebagai media pemeliharaan (3) Larva awal atau Zoea di dapatkan dari induk bertelur Tk.III dari alam (4) Kepadatan larva awal 50-100 ekor/liter (5) Pakan : (a) Inokulant chlorella dan rotifera, kepadatan chlorella dipertahankan pada kepadatan 50.000 – 500.000 sel/ml, untuk awal pemeliharaan diperlukan 2 kantong inokulant chlorella sedangkan kepadatan rotifera 5 – 15 ekor/ml diberikan hingga hari ke-7. (b) Nauplius artemia diberikan pada hari ke-dua dengan kepadatan 5-20 ekor /larva/hari dan diberikan 2 kali (pagi dan sore hari) setelah penebaran larva Zoea hingga stadia crab 1 (hari 13 atau 14) (c) Pakan buatan komersial ukuran 100 – 400 mikron diberikan dengan dosis 0,4 - 1 ppm dan frekuensi 4x sehari hingga panen. (d) Udang kupas diblender diberikan sejak crab 1 (hari 13 atau 14) hingga panen (crab 5 pada hari ke-16) sebanyak 10 – 30 gram per 5.000 ekor crab setiap harinya. (6) Penggantian air dilakukan 3 hari sekali sebesar 20%, dan suhu media pemeliharaan di pertahankan minimal 30 oC dengan cara menutup bak dengan terpal (7) Monitoring kesehatan dilakukan secara visual, yaitu dengan mengamati respon larva terhadap cahaya serta persentase larva yang tertarik terhadap cahaya matahari. (8) Pemasangan shelter berupa waring hitam (ukuran 0,5 x 1 m sebanyak 10 buah/bak) untuk memperbesar luas permukaan pada umur pemeliharaan 7 – 8 hari (Sub stadia Zoea 4). Selama 16 hari pemeliharaan diperoleh benih rajungan stadia C-6 dengan SR 8%.
Hasil analisa biaya pada pembenihan rajungan skala rumah tangga dengan mengoperasikan satu unit bak pemeliharaan larva volume 8 m3 selama 16 hari pemeliharaan memberikan keuntungan yang cukup lumayan sebagai hasil sampingan keluarga.
Teknik maskulinisasi pada rajungan dilakukan dengan menggunakan terapi hormon androgen 17 α-metiltestosteron. Dari kajian pendahuluan, perendaman hormon dosis 2 ppm selama 24 jam larva rajungan stadia Zoea-4, stadia Megalopa dan stadia Crab-5 didapatkan mortalitas setelah perendaman sebesar 100% pada Zoea-4 dan Megalopa serta mortalitas 80 – 95% pada Crab-5. Kemudian dilakukan 2 kajian yaitu untuk mengetahui dosis hormon dengan cara perendaman selama 4 jam dan lama waktu perendaman yang efektif untuk maskulinisasi benih rajungan Crab-5. Kedua kajian dilakukan dengan 3 ulangan. Kajian pertama dengan dosis hormon : 0, 2, 4 dan 8 ppm dan kajian kedua dengan lama waktu perendaman : 4, 8 dan 12 jam dan Kontrol (tanpa pemberian hormon).
Dari kajian pertama, dosis hormon 2, 6 dan 8 ppm setelah perendaman selama 4 jam tidak memberikan perbedaan nyata terhadap tingkat kehidupan benih rajungan. Setelah pemeliharaan selama 45 hari, hasil kajian pertama memperlihatkan perbedaan nyata dari dosis hormon terhadap maskulinisasi benih rajungan (P<0><0><0><0,05). Nilai persentase maskulinisasi tertinggi didapatkan pada lama perendaman 4 jam sebesar 88,8%.
MASKULINISASI BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN HORMON 17 α- METILTESTOSTERO...
Produksi Udang Sayur Untuk Memberdayakan Backyard Hatchery
1. PRODUKSI UDANG SAYUR SEBAGAI
UPAYA PEMBERDAYAAAN BAK BACKYARD HATCHERY1
Oleh:
Lisa Ruliaty, Agus Basyar, M.Soleh dan Kaemudin
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara
Email: lisaruliaty@yahoo.co.id
Abstrak
Rekayasa produksi udang putih (L. vannamei) di bak backyard hatchery untuk dijadikan udang
sayur telah di lakukan. Produksi udang sayur ini dimaksudkan untuk memanfaatkan serta
memberdayakan bak-bak backyard hatchery udang yang telah lama tidak beroperasi. Udang putih di
pelihara dari PL8 – PL10 selama 2-2,5 bulan dengan kepadatan awal yang berbeda. Kepadatan awal yang
dipakai yaitu 5.000 ekor/bak (313 ekor/m2
), 10.000 ekor/bak (625 ekor/m2
), 20.000 ekor/bak (1.250
ekor/m2
) dan 30.000 ekor/bak (1.875 ekor/m2
).
Pakan berupa pellet crumble diberikan dengan frekuensi pemberian 4x sehari sebanyak 10% - 5%
dari berat biomas udang selama pemeliharaan. Untuk menjaga kondisi oksigen di media di pergunakan
aerasi bawah dengan menggunakan paralon yang telah di lubangi kecil. Pada kepadatan 5.000 ekor/bak
dan 10.000 ekor/bak pergantian air dilakukan 2-3 hari sekali dengan sistem air mengalir sebesar 50 –
100%. Sedangkan pada kepadatan 20.000 ekor/bak dan 30.000 ekor/bak setelah pemeliharaan ≥ 1 bulan
dilakukan pergantian air 100% setiap hari dengan system air mengalir dan selalu menjaga ketersediaan
oksigen setiap saat terutama pada malam hari.
Dari rekayasa ini didapatkan bahwa pada kepadatan awal 5.000 ekor/bak menghasilkan rerata
biomas udang sayur 25 kg, FCR 1,3 dan SR 82,3%; kepadatan awal 10.000 ekor/bak menghasilkan rerata
biomas udang sayur sebesar 48 kg, FCR 1,6 dan SR 89,81%. Kepadatan awal 20.000 ekor/bak
menghasilkan biomas udang sayur 86 kg, FCR 1,7 dan SR 86%. Sedangkan pada kepadatan awal 30.000
ekor/bak menghasilkan biomas udang sayur 108 kg, FCR 1,9 dan SR 80%. Dari analisa biaya didapatkan
bahwa produksi udang sayur di bak backyard hatchery dengan kepadatan awal hingga 30.000 ekor/bak
masih memberikan hasil yang menguntungkan.
Kata Kunci: Udang putih, udang sayur, backyard hatchery
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Udang putih (L. vannamei) merupakan spesies introduksi yang dibudidayakan di Indonesia.
Udang putih yang dikenal masyarakat dengan vanname ini berasal dari Perairan Amerika
Tengah. Negara-negara di Amerika Tengah dan Selatan seperti Ekuador, Venezuela,
1
Makalah di sampaikan pada pertemuan Indonesian Aquaculture 2010 di Hotel Novotel Bandar Lampung, 4 – 6
Oktober 2010.
2. Panama,Brasil, dan meksiko sudah lama memudidayakan jenis udang yang dikenal juga dengan
pasific white shrimp ini. Di Indonesia, udang putih baru diintroduksi dan dibudidayakan mulai
awal tahun 2000-an dengan menunjukkan hasil yang menggembirakan. Masuknya udang putih
ini telah menggairahkan kembali usaha pertambakan Indonesia yang mengalami kegagalan
budidaya akibat serangan penyakit, terutama bintik putih (white spot).
Udang putih mempunyai beberapa keunggulan dibanding spesies udang lainnya.
Berdasarkan penelitian Boyd dan Clay (2002), produktivitasnya mencapai lebih dari13.600
kg/ha. Produktivitas yang tinggi ini karena udang putih mempunyai beberapa keunggulan
dibanding spesies jenis lainnya, antara lain : tingkat kelulushidupan tinggi, ketersediaan benur
yang berkualitas, kepadatan tebar tinggi, tahan penyakit dan konversi pakan rendah. Tingkat
kelulushidupan udang putih bisa mencapai 80-100% (Duraippah et al, 2000), sedangkan menurut
Boyd dan Clay (2002), tingkat kelulushidupannya mencapai 91%. Tingginya tingkat
kelulushidupan karena benih udang putih sudah dapat diperoleh dari induk yang sudah berhasil
didomestikasi sehingga benur yang dihasilkan tidak liar dan tingkat kanibalisme rendah. Benur
udang putih sudah ada yang bersifat SPF (Spesific Pathogen Free) yaitu benur yang bebas dari
beberapa jenis penyakit (pathogen), sehingga memudahkan petambak dalam proses budidaya.
Kelulushidupan udang putih juga dipengaruhi oleh daya tahannya terhadap penyakit
dibandingkan udang jenis lainnya. Udang putih mempunyai daya tahan lebih kuat terhadap
serangan penyakit white spot syndrome virus (WSSV) , meskipun ditemukan pula beberapa
kasus udang yang terinfeksi (Soto et al.,2001). Udang putih termasuk hewan omnivora yang
mampu memanfaatkan pakan alami yang terdapat dalam tambak seperti plankton dan detritus
yang ada pada kolom air sehingga dapat mengurangi input pakan berupa pelet. Konversi pakan
atau feed conversion ratio (FCR) udang putih 1,3- 1,4 (Boyd dan Clay,2002). Kandungan
protein pada pakan untuk udang putih relatif lebih rendah dibandingkan udang windu. Menurut
Briggs et al (2004), udang putih membutuhkan pakan dengan kadar protein 20-35%. Dengan
menggunakan pakan yang berkadar protein rendah maka biaya untuk pembelian pakan lebih
kecil sehingga dapat menekan biaya produksi. Udang putih dapat tumbuh baik dengan
kepadatan tebar yang tinggi, yaitu 60-150 ekor/m2 (Briggs et al, 2004) dengan tingkat
pertumbuhan 1-1,5 gr/minggu. Hal ini disebabkan udang putih mampu memanfaatkan kolom air
sebagai tempat hidup sehingga ruang hidup udang menjadi lebih luas.
Dengan kemampuan udang putih untuk di pelihara dalam kepadatan tebar tinggi, tingkat
kelulushidupan yang tinggi, ketersediaan benur yang berkualitas, tahan penyakit dan konversi
pakan rendah, menjadi dasar untuk dipilihnya udang putih sebagai spesies yang dapat di pelihara
di dalam bak-bak backyard dengan produk akhir berupa udang sayur. Produksi udang sayur ini
dimaksudkan untuk memanfaatkan serta memberdayakan bak-bak backyard hatchery udang yang
telah lama tidak beroperasi. Sehingga dapat menjadi usaha ekonomi bagi masyarakat dengan
memberdayakan kembali bak-bak backyard hatchery udang.
I.2. Tujuan
• Memperkenalkan teknik memproduksi udang konsumsi (udang sayur) yang dapat
dilakukan pada bak backyard hatchery udang windu.
• Sebagai upaya untuk pemanfaatan serta memberdayakan bak-bak backyard hatchery
udang yang telah lama tidak beroperasi sehingga dapat menjadi usaha ekonomi bagi
masyarakat.
3. II. BAHAN DAN METODE
II.1. Bahan dan Alat
Bahan : - Benur udang putih (L. vannamei) umur PL8 – PL10
- Pellet udang
- Air laut
Alat : - Bak beton ukuran 2x7x1 m
- Paralon yang dilubangi untuk aerasi bawah
- Mesin blender
- Ember dan gayung
- Timbangan untuk sampling
II.2. Metode
Pemeliharaan diawali dengan persiapan wadah dan media yang meliputi kegiatan
pembersihan bak, pengisian air media setinggi 60 – 70 cm, hingga klorinasi air. Serangkaian
kegiatan ini biasanya berlangsung dalam 3 – 5 hari. Kemudian dilakukan pemilihan benur,
penebaran hingga tahap pemeliharaannya.
Persiapan Bak
Seperti pada kegiatan di pembenihan udang windu, wadah atau bak pemeliharaan terlebih
dahulu dibersihkan dan disterilkan dengan kaporit atau chlorine setelah itu bak dibilas dengan air
bersih dan dibiarkan kering selama 24 jam. Sistem aerasi untuk menghasilkan oksigen di dalam
media pemeliharaan udang sayur berupa paralon ¾ inch yang telah di lubangi kecil-kecil di
dsalah satu bagiannya secara merata. Paralon tersebut kemudian dipasang di dasar bak dan
tersambung dengan sistem aerasi baik menggunakan root blower maupun hi-blow. Bak
kemudian di jemur selama 1 hari dan sebelum pengisian air laut, bak sekali lagi dibilas dengan
air laut bersih.
Pengisian dan klorinasi air
Air untuk pemeliharaan udang sayur dapat diperoleh langsung dari laut, dengan melalui
penyaringan pasir (sand filter), atau pada daerah-daerah tertentu (misalnya di Jepara) dapat
diperoleh dengan cara membeli. Kedalaman 60 – 70 cm sudah cukup ideal. Untuk membunuh
bibit-bibit penyakit (bakteri, jamur, virus dan organisme lainnya) dilakukan klorinasi, yaitu
sterilisasi dengan menggunakan klorin 50 – 100 ppm atau kaporit sebanyak 30 – 50 ppm. Air
media kemudian diaerasi kuat-kuat selama 1-3 hari, dengan harapan terjadi oksidasi sehingga
menjadi netral.
Inokulasi alga
Alga berupa Chlorella sp di tebar sehari sebelum penebaran benur udang ke bak
pemeliharaan. Bibit alga dapat berasal dari kultur massal Chlorella sp maupun bibit yang sudah
di padatkan. Kecerahan alga yang diberikan di media pemeliharaan berkisar 30 - 40 cm.
4. Pemilihan benur
Kualitas benur merupakan faktor terpenting dalam pemeliharaan udang sayur (L.
vannamei). Mutu benur ini berpengaruh sangat nyata terhadap keberhasilan kegiatan ini. Benur
yang baik dan sistim pemeliharaan yang standar, hampir dapat dipastikan memberikan hasil
memuaskan. Memilih benur sangat perlu dilakukan, karena dengan demikian resiko-resiko yang
mungkin terjadi dapat dicegah sedini mungkin. Sebelum menentukan pilihan benur, disyaratkan
menguji terlebih dahulu. Terkadang penampilan fisik (luar) tidak dapat dijadikan patokan,
karena insidensi infeksi (bakteri, jamur atau virus) tidak selalu diikuti oleh gejala klinis secara
langsung. Seleksi benur dilakukan dengan pengujian secara visual, melakukan uji stres maupun
melakukan pengujian terhadap virus berbahaya.
• pengujian visual; pengujian Pl, secara visual dilakukan untuk melihat
keseragaman warna, ukuran, gerakan, dan kerusakan organ luar, keseragaman
ukuran dan urupoda harus sudah terbuka 5. benih yang baik apabila 95 %
menunjukkan keseragaman ukuran dan apabila ditampung di waskon dan diputar
airnya menunjukkan Pl berenang aktif melawan arah gerakan air, jika > 5 % Pl
berenang secara lemah dan pasif menunjukkan benih tidak sehat.
• uji stress; Seleksi benur dilakukan dengan mengambil contoh sekitar 100 ekor
benur dari bak pemeliharaan (HSRT) atau pusat pembenihan, ditampung dalam
wadah yang telah terisi air 1 liter dari media pemeliharaan benur tersebut,
diaerasi, kemudian ditetesi formalin 200 ppm dan diberi aerasi yang cukup.
Setelah kira-kira 2 jam, dilakukan pengecekan dan penghitungan terhadap benur
yang mati dan lemah, sehingga akhirnya akan diketahui persentase SR benur yang
mencerminkan kualitas benur tersebut. Bila terjadi kematian masih dibawah 5 %,
maka benur dapat dipastikan tergolong sehat dan dapat diterima.
• pengujian virus berbahaya; dengan mengambil sampel benih yang lemah lebih
kurang 100- 500 ekor, dan dikirim ke laboratorium uji kesehatan udang dan ikan
untuk dicek WSSV, dan apabila dari hasil PCR uji laboratorium menunjukkan
hasil positif (+) benih mengandung penyakit /virus.
Dalam hal pemilihan benur yang sehat dan baik, aplikasi dengan perendaman
formaldehyde (fomalin) sudah terbukti cukup efektif dan efisien. Selain metodenya sangat
sederhana, biayanya pun relatif rendah, dan sangat terjangkau oleh usaha skala rumah tangga.
Pada prinsipnya, dengan aplikasi formalin, benur akan terbagi menjadi dua golongan, yakni
tahan dan tidak tahan. Benur yang sehat akan bertahan dengan perendaman formalin dan tetap
hidup. Sementara benur sakit (misalnya terinfeksi SEMBV), tidak akan bertahan dan mati. Pada
tahapan pemilahan benur, hanya benur yang sehat dan hidup yang akan ditebar ke wadah
pemeliharaan.
Pemilahan dan penebaran benur
Pemilahan benur dilakukan beberapa saat sebelum penebaran benur. Prinsipnya sama dengan
tatacara pada pemilihan benur, hanya saja skalanya lebih besar. Perendaman atau pencucian
dengan formalin tidak lagi dilakukan terhadap sampel, namun untuk keseluruhan benur yang
akan ditebar. Sejumlah benur yang siap ditebar pada suatu bak, ditampung dalam wadah (ember
atau bak fiberglass) dengan kepadatan 500 – 1000 ekor/liter. Formalin dengan dosis 200 ppm
dituangkan/diteteskan ke dalam wadah tersebut, dan diaerasi yang cukup selama 2 jam. Setelah
dua jam, aerasi dimatikan dan air diputar untuk mempercepat pengendapan benur yang lemah
dan mati. Penyiponan dilakukan untuk membuang benur yang mati dan kemungkinan lemah
5. yang tidak memungkinkan dipelihara, sehingga benur yang tersisa adalah benur sehat dan
langsung dilakukan penebaran.
Padat tebar benur
Dalam produksi udang sayur yang telah dilakukan, penebaran benur dilakukan dalam
beberapa perlakuan padat tebar yang berbeda. Padat tebar yang digunakan yaitu 5.000 ekor/bak
(313 ekor/m2
), 10.000 ekor/bak (625 ekor/m2
), 20.000 ekor/bak (1.250 ekor/m2
) dan 30.000
ekor/bak (1.875 ekor/m2
). Setiap perlakuan padat tebar dilakukan 2-3 kali ulangan
pemeliharaan.
Pemeliharaan
Secara umum, pengelolaan pada pemeliharaan udang sayur seperti pengelolaan pada
pemeliharaan tokolan yang lebih sederhana dari produksi benur. Hanya saja pemeliharaan udang
sayur dengan durasi waktu pemeliharaan yang lebih panjang dibandingkan dengan pemeliharaan
pada tokolan. Treatment sanitasi air media sudah lebih sederhana, demikian pula frekuensi
pemberian pakan telah berkurang. Kasus-kasus insidensi penyakit pun yang seringkali
mengakibatkan kematian massal pada benur, jarang dijumpai pada produksi udang sayur.
Beberapa kegiatan utama dalam produksi udang sayur diantaranya pemberian pakan,
penggantian air dan pemanenan.
• pemberian pakan; Pada hari pertama, dilakukan adaptasi pakan. Sebelum benur
ditebar, terlebih dahulu nauplii artemia dimasukkan untuk persiapan pakan alami dan
juga sebagai suplai protein, gizi yang tinggi untuk mempertahankan kualitas benur.
Dan sambil, sedikit demi sedikit dikombinasi dengan pelet halus. Peruntukan
100.000 ekor benur yang akan ditebar, perlu disediakan 50 – 100 gram kista artemia
untuk selama 1 – 2 hari pemberian. Nauplius artemia dapat diberikan pagi dan sore
hari, dan selanjutnya sudah sepenuhnya diberi pakan buatan. Pakan untuk produksi
udang sayur adalah pelet komersial (D0 – D1). Pakan diberikan 4 kali pada pagi,
siang, sore dan malam hari, sebanyak 10% - 5% dari berat biomas udang selama
pemeliharaan. Sampling terhadap berat biomas udang dilakukan setiap minggu
untuk mengetahui jumlah pakan pelet yang akan diberikan setiap harinya.
• penggantian air; Ganti air dapat dilakukan setelah 7 – 10 hari semejak penebaran,
dimana benur sudah terdaptasi dan ukurannya cukup besar. Penambahan air tawar
merupakan hal yang umum dilakukan; pada salinitas rendah (payau) molting akan
berlangsung lebih sering, sehingga pertumbuhan dapat lebih cepat. Diusahakan
penambahan/pergantian air dilakukan secara bertahap, sehingga tidak ada perubahan
yang drastis dalam media pemeliharaan. Pada kepadatan 5.000 ekor/bak dan 10.000
ekor/bak pergantian air dilakukan 2-3 hari sekali dengan sistem air mengalir sebesar
50 – 100%. Sedangkan pada kepadatan 20.000 ekor/bak dan 30.000 ekor/bak setelah
pemeliharaan ≥ 1 bulan dilakukan pergantian air 100% setiap hari dengan system air
mengalir dan selalu menjaga ketersediaan oksigen setiap saat terutama pada malam
hari.
• panen; Panen udang sayur sayur dapat dilakukan apabila pemeliharaan telah
berlangsung 2 – 2,5 bulan. Pemanenan dimulai dengan pengurangan air perlahan-
lahan dengan cara pipa pembuangan (outlet) dibuka, sehinga udang akan hanyut dan
tertampung di dalam hapa yang telah dipasang diujung pipa outlet. Udang yang
6. tertampung dicuci dengan air tawar bersih dan di beri serbuk es untuk
mempertahankan kesegarannya.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Survival Rate
Survival rate (tingkat kelulushidupan) udang putih paling tinggi terjadi pada produksi
udang sayur dengan padat tebar 10.000 ekor/bak sebesar 89,81%, kemudian diikuti pada pada
tebar 5.000 ekor/bak sebesar 86,21%, padat tebar 20.000 ekor/bak sebesar 86,0% dan yang
paling kecil pada produksi dengan padat tebar 30.000 ekor/bak sebesar 80% (Gambar 1).
Menurut Duraippah (2000), survival rate udang dipengaruhi oleh kepadatan tebar, kualitas air,
dan penyakit.
Gambar 1. Grafik survival rate pada produksi udang sayur (L. vannamei) dengan
padat tebar yang berbeda
Rasio Konversi Pakan (FCR)
FCR pada produksi udang sayur dengan berbagai padat tebar yang berbeda berkisar pada
nilai 1,28 sampai 1,85 (Gambar 2). FCR yang paling kecil terjadi pada produksi udang sayur
dengan padat tebar 5.000 ekor/bak. FCR merupakan jumlah pakan yang diberikan untuk
menghasilkan 1 kg biomas. Nilai FCR 1,28 mempunyai arti bahwa di butuhkan pakan
sebanyak 1,28 kg untuk menghasilkan 1 kg biomas udang. FCR yang terlalu kecil
mengindikasikan kekurangan dalam pemberian pakan (under feeding). Under feeding dapat
menyebabkan pertumbuhan udang menjadi lambat.
.
7. Gambar 2. Grafik nilai FCR pada produksi udang sayur dengan padat tebar yang
berbeda
Pertumbuhan berat
Pertumbuhan (berat) udang putih sangat dipengaruhi oleh manajemen pakan yang
digunakan. Kelebihan pakan akan mempercepat pertumbuhan tetapi menurunkan kualitas
lingkungan, sedangkan kekurangan pakan menyebabkan kualitas lingkungan baik, tetapi
pertumbuhan lambat. Sedangkan pemberian pakan yang optimal akan mendukung pertumbuhan
dan kualitas lingkungan yang baik (Supono dan Wardiyanto, 2008).
Gambar 3. Grafik pertumbuhan berat udang (g/ekor) dengan padat tebar yang
berbeda
8. Pertumbuhan berat udang pada tiap produksi dengan padat tebar yang berbeda
mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya umur pemeliharaan. Padat tebar paling
rendah (5.000 ekor/bak) memberikan pertumbuhan berat udang akhir yang lebih besar yaitu
sebesar 5,65 g/ekor bila dibandingkan dengan padat tebar yang lain (Gambar 3).
Gambar 4. Grafik pertumbuhan berat harian (g/hari) pada produksi udang sayur
dengan padat tebar yang berbeda.
Sedangkan bila dihitung nilai pertumbuhan berat harian (ADG) dari produksi udang
sayur dengan padat tebar yang berbeda didapatkan nilai pertumbuhan berat harian yang terbesar
di hasilkan pada padat tebar 5.000 ekor/bak sebesar 0,083 g/hari, kemudian diikuti pada padat
tebar 10.000 ekor/bak sebesar 0,078 g/hari, padat tebar 20.000 ekor/bak sebesar 0,067 g/hari dan
nilai paling kecil pada padat tebar 30.000 ekor/bak sebesar 0,06 g/hari (Gambar 4). Pada padat
tebar 5.000 ekor/bak pertumbuhan berat mengalami penambahan berat harian yang besar pada
hari pemeliharaan 21 – 28, padat tebar 10.000 ekor/bak pada hari pemeliharaan 42 – 49, padat
tebar 20.000 dan 30.000 mengalami penambahan berat yang besar pada hari pemeliharaan 56 –
63 (Gambar 5).
Gambar 5. Grafik sebaran pertumbuhan berat harian (g/hari) udang
9. Performance pada produksi udang sayur
Dari hasil pemeliharaan pada produksi udang sayur dengan padat tebar yang berbeda
menunjukkan bahwa padat tebar udang putih (L. vannamei) memberikan hasil yang berbeda
terhadap performance udang putih, seperti yang tersaji pada Tabel 1.
Pada beberapa produksi yang dilakukan, padat tebar 5.000 (313 ekor/m2
) dan 10.000
ekor/bak (625 ekor/m2
) tidak mengalami kendala di dalam pemeliharaannya sehingga panen.
Namun, pada padat tebar 20.000 (1.250 ekor/m2
) dan 30.000 ekor/bak (1.875 ekor/m2
) riskan
mengalami kegagalan (kematian udang) yang di akibatkan oleh kurangnya kandungan oksigen
karena matinya blower lebih dari ½ jam pada bak pemeliharaan. Sehingga untuk kepadatan
tinggi dengan padat >10.000 ekor/bak (>1.000 ekor/m2
) perlu mempersiapkan ketersediaan
oksigen untuk kondisi darurat. Dimana pada pemeliharaan yang dilakukan terjadi kematian pada
hari ke-56 dengan padat tebar 20.000 ekor/bak (produksi 1) dan kematian pada hari ke-33 pada
padat tebar 30.000 ekor/bak (produksi 1).
Tabel 1. Performance produksi udang sayur dengan padat tebar yang berbeda
No. Padat Umur Jumlah FCR Populasi SR Berat ADG Hasil
ulangan Tebar/bak Panen Pakan Panen Panen udang Panen
(ekor) (hari) (kg) (ekor) (%) (gr) (Kg)
1 5000 68 30 1,20 4.700 94,00 5,32
0,07
8 25
2 5000 70 32,5 1,33 4.116 82,32 5,95
0,08
5 24,5
3 5000 70 32,5 1,33 4.116 82,32 5,95
0,08
5 24,5
rerata 69,3 31,67 1,28 4.311 86,21 5,74
0,08
3 24,67
1 10000 65 100 2,04 9.212 92,12 5,32
0,08
2 49
2 10000 70 100 2,04 9.212 92,12 5,32
0,07
6 49
3 10000 60 35 0,76 8.519 85,19 4,50
0,07
5 46
rerata 65 78,333 1,61 8.981 89,81 5,05
0,07
8 48
1 20000 D-56 25 1,67 5.172 25,86 2,90
0,05
2 15
2 20000 75 150 1,74 17.200 86,00 5,00
0,06
7 86
1 30000 D-33 15 0,71 14.500 48,33 1,50
0,04
5 21
2 30000 75 200 1,85 24.000 80,00 4,50
0,06
0 108
Analisa Biaya
10. Produksi udang sayur dengan memanfaatkan bak backyard hatchery udang windu
merupakan usaha alternatif yang dapat di lakukan pada masa mendatang. Dari analisa biaya
pada produksi udang sayur pada padat tebar yang berbeda memberikan rasio keuntungan yang
bervariasi. Rasio keuntungan tertinggi di hasilkan pada padat tebar 10.000 ekor/bak (625
ekor/m2
). Penghitungan rinci untuk Analisa biaya dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Asumsi pada Analisa biaya produksi udang sayur dengan padat tebar yang berbeda
Padat tebar
Harga
Benur SR FCR berat akhir
harga
pakan
harga
jual
(ekor/bak) (Rp/ekor) (%) (gram) (Rp/kg) (Rp/kg)
5000 (313 ekor/m2) 9 86,21 1,28 5,74 7000 25000
10000 (625 ekor/m2) 9 89,81 1,61 5,05 7000 25000
20000 (1.250 ekor/m2) 9 86 1,74 5,00 7000 25000
30000 (1.875 ekor/m2) 9 80 1,85 4,50 7000 25000
Tabel 3. Penghitungan Analisa Biaya pada produksi udang sayur dengan padat tebar yang
berbeda
Biaya Produksi
5000
ekor/bak
(313
ekor/m2)
10000
ekor/bak
(625
ekor/m2)
20000
ekor/bak
(1.250
ekor/m2)
30000
ekor/bak
(1.875
ekor/m2)
1. Benur (Rp) @Rp.9,- 45.000 90.000 180.000 270.000
2. Pakan pelet (Rp) @Rp.7.000,- 221.691 317.478 1.047.480 1.398.600
3. Sewa Pompa (Rp) 5% dari hasil panen 30.928 56.693 107.500 135.000
4. Biaya listrik (Rp) 5% dari hasil panen 30.928 56.693 107.500 135.000
5. Tenaga 1 org (Rp)10% dr hasil panen 61.856 113.385 215.000 270.000
Jumlah biaya Produksi (Rp): 390.402 634.248 1.657.480 2.208.600
Hasil Produksi:
1. Hasil panen (kg) 25 45 86 108
2. Dana yang di hasilkan (Rp) 618.557 1.133.851 2.150.000 2.700.000
Keuntungan;
1. Hasil produksi - Biaya Produksi: (Rp) 228.155 499.603 492.520 491.400
2. Rasio keuntungan 1,6 1,8 1,3 1,2
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
11. •Produksi udang sayur di bak hingga padat tebar 30.000 ekor/bak (1.875 ekor/m2
) dapat
dilakukan sebagai usaha rumah tangga untuk memberdayakan backyard hatchery udang
yang idle.
•Produksi udang sayur di bak dengan padat tebar 10.000 ekor/bak memberikan nilai SR
tertinggi sebesar 89,81%, rerata biomas udang sayur sebesar 48 kg dan FCR 1,6.
•Produksi udang sayur di backyard hatchery dengan padat tebar hingga 30.000 ekor/bak
memberikan hasil yang menguntungkan.
2. Saran
•Produksi udang sayur di bak backyard hatchery merupakan usaha alternatif yang sangat
memungkinkan untuk dilakukan sebagai upaya pemberdayaan backyard hatchery.
•Selain dapat di jual sebagai udang konsumsi, udang yang diproduksi di bak juga dapat di
jual sebagai udang umpan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Disampaikan ucapan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu di dalam
produksi hingga penulisan makalah ini (mas Rudi Prastowo, pak Juyoto dan pak Kaslani). Tak
lupa juga ucapan terima kasih kepada Bu Anindiastuti selaku koordinator Pembenihan yang telah
memberikan dorongan moril kepada kami selaku pelaksana di lapangan di dalam produksi udang
sayur di bak.
DAFTAR PUSTAKA
Unila, 2008
Boyd, C.E. and Clay, J.W. 2002. Evaluation of Belize Aquaculture LTD, A Superintensive
Shrimp Aquaculture System. Report prepared under The World Bank,NACA, and FAO
Consorsiu. Work in progress for Public Discussion. Published by The Consorsium.17
pages
Briggs, M., Smith, S.F., Subasinghe, R., Phillips, M. 2004. Introduction and Movement of
Penaeus vannamei and Penaeus stylirostris in Asia and The Pacific. RAP Publication
2004/10.
Duraippah, Israngkura.A dan Sae Hae.S, 2000. Sustainable Shrimp Farming : Estimation of
Survival Function. CREED publicion, working paper no.31.
Soto, M.A., Shervette, V.R.,Lotz, J.M. 2001. Transmission of White Spot Syndrome Virus
(WSSV) to Litopenaeus vannamei from Infected Cephalothorax, Abdomen, or Whole
Shrimp Cadaver. Disease of Aquatic Organisms, Vol. 45;81-87 Ssil Penelitian &
engabdian
Supono dan Wardiyanto, 2008. Evaluasi Budidaya Udang Putih (Litopenaeus vannamei) dengan
Meningkatkan kepadatan Tebar di Tambak Intensif. Makalah pada Prosiding Seminar
Hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Universitas Lampung. Hal 237 – 242.
kepada Masyarakat, Unila, 2008