Kajian perekayasaan untuk menghasilkan teknologi produksi baby crab rajungan di hapa dan bak terkendali telah dilakukan. Pada kajian ini, pemeliharaan benih Crab 5 hingga menghasilkan ukuran berat 1,5 – 1,8 gram (ukuran baby crab) dilakukan dengan 2 perlakuan kepadatan yaitu 250 ekor/m2 dan 500 ekor/m2. Pemeliharaan baby crab di bak dengan memberi substrat pasir setebal ± 5 cm dan shelter berupa tali rafia yang dibuat menyerupai rumput laut (artificial sea weed), sedangkan pemeliharaan di hapa dengan pemberian shelter artificial sea weed. Pemberian pakan ikan rucah sebesar 200 – 300 gram/1000 ekor crab/hari (> 200% berat biomass). Dari kajian didapatkan, hingga umur pemeliharaan 14 hari (C-19) belum didapatkan berat baby crab yang diharapkan (< 0,5 gr) sehingga pemeliharaan ditambah menjadi 24 hari (C-29). Hingga umur pemeliharaan 14 hari (C-19) tidak ada perbedaan kelulushidupan pada pemeliharaan di hapa maupun di bak dengan kepadatan 250 ekor/m2 atau pun kepadatan 500 ekor/m2. Terdapat perbedaan sangat nyata (P<0,01) pada umur pemeliharaan hingga 24 hari (C-29) terhadap nilai kelulushidupan pemeliharaan baby crab di bak dan di hapa baik dengan kepadatan 250 ekor/m2 maupun dengan kepadatan 500 ekor/m2. Nilai kelulushidupan yang lebih baik dihasilkan pada pemeliharaan di bak sebesar 30,3% pada kepadatan 250 ekor/m2 dan 26,8% pada kepadatan 500 ekor/m2. Dari hasil analisa proximat, baby crab yang dipelihara pada hapa mengandung protein yang lebih tinggi sebesar 27,5% dibandingkan baby crab yang dipelihara di bak sebesar 20,5%. Sedangkan dari tes organoleptik yang dilakukan, tidak ada perbedaan antara baby crab yang dipelihara di hapa maupun di bak terhadap rasa, warna, aroma maupun tekstur. Biaya produksi baby crab di bak dengan kepadatan 250 ekor/m2 sebesar Rp. 135.000/kg merupakan yang termurah dibandingkan yang lainnya.
BACKYARD HATCHERY RAJUNGAN; SUATU ALTERNATIF USAHA BUDIDAYAlisa ruliaty 631971
Konsep pembenihan rajungan skala rumah tangga (backyard hatchery rajungan) merupakan penerapan teknik dengan mengadopsi serta menyederhanakan beberapa teknik pemeliharaan yang telah dilakukan di unit pembenihan rajungan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara.. Aplikasi teknis di lapangan meliputi (1) Pemanfaatan bak-bak HSRT udang windu yang tidak operasional. (2) Air laut sebagai media pemeliharaan (3) Larva awal atau Zoea di dapatkan dari induk bertelur Tk.III dari alam (4) Kepadatan larva awal 50-100 ekor/liter (5) Pakan : (a) Inokulant chlorella dan rotifera, kepadatan chlorella dipertahankan pada kepadatan 50.000 – 500.000 sel/ml, untuk awal pemeliharaan diperlukan 2 kantong inokulant chlorella sedangkan kepadatan rotifera 5 – 15 ekor/ml diberikan hingga hari ke-7. (b) Nauplius artemia diberikan pada hari ke-dua dengan kepadatan 5-20 ekor /larva/hari dan diberikan 2 kali (pagi dan sore hari) setelah penebaran larva Zoea hingga stadia crab 1 (hari 13 atau 14) (c) Pakan buatan komersial ukuran 100 – 400 mikron diberikan dengan dosis 0,4 - 1 ppm dan frekuensi 4x sehari hingga panen. (d) Udang kupas diblender diberikan sejak crab 1 (hari 13 atau 14) hingga panen (crab 5 pada hari ke-16) sebanyak 10 – 30 gram per 5.000 ekor crab setiap harinya. (6) Penggantian air dilakukan 3 hari sekali sebesar 20%, dan suhu media pemeliharaan di pertahankan minimal 30 oC dengan cara menutup bak dengan terpal (7) Monitoring kesehatan dilakukan secara visual, yaitu dengan mengamati respon larva terhadap cahaya serta persentase larva yang tertarik terhadap cahaya matahari. (8) Pemasangan shelter berupa waring hitam (ukuran 0,5 x 1 m sebanyak 10 buah/bak) untuk memperbesar luas permukaan pada umur pemeliharaan 7 – 8 hari (Sub stadia Zoea 4). Selama 16 hari pemeliharaan diperoleh benih rajungan stadia C-6 dengan SR 8%.
Hasil analisa biaya pada pembenihan rajungan skala rumah tangga dengan mengoperasikan satu unit bak pemeliharaan larva volume 8 m3 selama 16 hari pemeliharaan memberikan keuntungan yang cukup lumayan sebagai hasil sampingan keluarga.
PENAMPILAN REPRODUKSI DAN KUALITAS LARVA RAJUNGAN DENGAN PEMBERIAN BIOMASS A...lisa ruliaty 631971
Dalam kajian ini, induk rajungan di beri pakan berupa campuran pakan segar (cumi-cumi, udang dan ikan rucah) sebagai kontrol dan pakan segar dengan penambahan 50% biomasa artemia tanpa diperkaya.
Dokumen tersebut membahas tentang budidaya ikan patin (Pangasius pangasius) mulai dari sejarah, jenis, manfaat, persyaratan lokasi, pedoman teknis budidaya termasuk pembibitan, dan pembesaran ikan patin.
Bab iibalai besar pengembangan dan budi daya lautRohman Efendi
Balai Besar Pengembangan dan Budidaya Laut di Lampung mengembangkan berbagai jenis ikan laut untuk budidaya, termasuk kakap putih, kakap merah, kerapu tikus, dan proses budidayanya seperti pemeliharaan, panen, dan penanganan penyakit. Balai ini bertujuan meningkatkan produksi perikanan budidaya di Indonesia.
Dokumen tersebut merangkum proses budidaya ikan Kerapu, Bandeng, dan Baronang di Keramba Jaring Apung (KJA) UPTD PPBLP Kabupaten Barru. Terdapat informasi tentang pemilihan lokasi, peralatan yang digunakan, proses budidaya, hama dan penyakit, serta panen dan pemasaran hasil budidaya. Organisme yang dibudidayakan dipilih karena pertumbuhannya cepat dan nilai ekonomisnya tinggi.
Kajian perekayasaan untuk menghasilkan teknologi produksi baby crab rajungan di hapa dan bak terkendali telah dilakukan. Pada kajian ini, pemeliharaan benih Crab 5 hingga menghasilkan ukuran berat 1,5 – 1,8 gram (ukuran baby crab) dilakukan dengan 2 perlakuan kepadatan yaitu 250 ekor/m2 dan 500 ekor/m2. Pemeliharaan baby crab di bak dengan memberi substrat pasir setebal ± 5 cm dan shelter berupa tali rafia yang dibuat menyerupai rumput laut (artificial sea weed), sedangkan pemeliharaan di hapa dengan pemberian shelter artificial sea weed. Pemberian pakan ikan rucah sebesar 200 – 300 gram/1000 ekor crab/hari (> 200% berat biomass). Dari kajian didapatkan, hingga umur pemeliharaan 14 hari (C-19) belum didapatkan berat baby crab yang diharapkan (< 0,5 gr) sehingga pemeliharaan ditambah menjadi 24 hari (C-29). Hingga umur pemeliharaan 14 hari (C-19) tidak ada perbedaan kelulushidupan pada pemeliharaan di hapa maupun di bak dengan kepadatan 250 ekor/m2 atau pun kepadatan 500 ekor/m2. Terdapat perbedaan sangat nyata (P<0,01) pada umur pemeliharaan hingga 24 hari (C-29) terhadap nilai kelulushidupan pemeliharaan baby crab di bak dan di hapa baik dengan kepadatan 250 ekor/m2 maupun dengan kepadatan 500 ekor/m2. Nilai kelulushidupan yang lebih baik dihasilkan pada pemeliharaan di bak sebesar 30,3% pada kepadatan 250 ekor/m2 dan 26,8% pada kepadatan 500 ekor/m2. Dari hasil analisa proximat, baby crab yang dipelihara pada hapa mengandung protein yang lebih tinggi sebesar 27,5% dibandingkan baby crab yang dipelihara di bak sebesar 20,5%. Sedangkan dari tes organoleptik yang dilakukan, tidak ada perbedaan antara baby crab yang dipelihara di hapa maupun di bak terhadap rasa, warna, aroma maupun tekstur. Biaya produksi baby crab di bak dengan kepadatan 250 ekor/m2 sebesar Rp. 135.000/kg merupakan yang termurah dibandingkan yang lainnya.
BACKYARD HATCHERY RAJUNGAN; SUATU ALTERNATIF USAHA BUDIDAYAlisa ruliaty 631971
Konsep pembenihan rajungan skala rumah tangga (backyard hatchery rajungan) merupakan penerapan teknik dengan mengadopsi serta menyederhanakan beberapa teknik pemeliharaan yang telah dilakukan di unit pembenihan rajungan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara.. Aplikasi teknis di lapangan meliputi (1) Pemanfaatan bak-bak HSRT udang windu yang tidak operasional. (2) Air laut sebagai media pemeliharaan (3) Larva awal atau Zoea di dapatkan dari induk bertelur Tk.III dari alam (4) Kepadatan larva awal 50-100 ekor/liter (5) Pakan : (a) Inokulant chlorella dan rotifera, kepadatan chlorella dipertahankan pada kepadatan 50.000 – 500.000 sel/ml, untuk awal pemeliharaan diperlukan 2 kantong inokulant chlorella sedangkan kepadatan rotifera 5 – 15 ekor/ml diberikan hingga hari ke-7. (b) Nauplius artemia diberikan pada hari ke-dua dengan kepadatan 5-20 ekor /larva/hari dan diberikan 2 kali (pagi dan sore hari) setelah penebaran larva Zoea hingga stadia crab 1 (hari 13 atau 14) (c) Pakan buatan komersial ukuran 100 – 400 mikron diberikan dengan dosis 0,4 - 1 ppm dan frekuensi 4x sehari hingga panen. (d) Udang kupas diblender diberikan sejak crab 1 (hari 13 atau 14) hingga panen (crab 5 pada hari ke-16) sebanyak 10 – 30 gram per 5.000 ekor crab setiap harinya. (6) Penggantian air dilakukan 3 hari sekali sebesar 20%, dan suhu media pemeliharaan di pertahankan minimal 30 oC dengan cara menutup bak dengan terpal (7) Monitoring kesehatan dilakukan secara visual, yaitu dengan mengamati respon larva terhadap cahaya serta persentase larva yang tertarik terhadap cahaya matahari. (8) Pemasangan shelter berupa waring hitam (ukuran 0,5 x 1 m sebanyak 10 buah/bak) untuk memperbesar luas permukaan pada umur pemeliharaan 7 – 8 hari (Sub stadia Zoea 4). Selama 16 hari pemeliharaan diperoleh benih rajungan stadia C-6 dengan SR 8%.
Hasil analisa biaya pada pembenihan rajungan skala rumah tangga dengan mengoperasikan satu unit bak pemeliharaan larva volume 8 m3 selama 16 hari pemeliharaan memberikan keuntungan yang cukup lumayan sebagai hasil sampingan keluarga.
PENAMPILAN REPRODUKSI DAN KUALITAS LARVA RAJUNGAN DENGAN PEMBERIAN BIOMASS A...lisa ruliaty 631971
Dalam kajian ini, induk rajungan di beri pakan berupa campuran pakan segar (cumi-cumi, udang dan ikan rucah) sebagai kontrol dan pakan segar dengan penambahan 50% biomasa artemia tanpa diperkaya.
Dokumen tersebut membahas tentang budidaya ikan patin (Pangasius pangasius) mulai dari sejarah, jenis, manfaat, persyaratan lokasi, pedoman teknis budidaya termasuk pembibitan, dan pembesaran ikan patin.
Bab iibalai besar pengembangan dan budi daya lautRohman Efendi
Balai Besar Pengembangan dan Budidaya Laut di Lampung mengembangkan berbagai jenis ikan laut untuk budidaya, termasuk kakap putih, kakap merah, kerapu tikus, dan proses budidayanya seperti pemeliharaan, panen, dan penanganan penyakit. Balai ini bertujuan meningkatkan produksi perikanan budidaya di Indonesia.
Dokumen tersebut merangkum proses budidaya ikan Kerapu, Bandeng, dan Baronang di Keramba Jaring Apung (KJA) UPTD PPBLP Kabupaten Barru. Terdapat informasi tentang pemilihan lokasi, peralatan yang digunakan, proses budidaya, hama dan penyakit, serta panen dan pemasaran hasil budidaya. Organisme yang dibudidayakan dipilih karena pertumbuhannya cepat dan nilai ekonomisnya tinggi.
Dokumen tersebut membahas budidaya ikan nila, mulai dari pengenalan jenis ikan nila, bisnis budidaya ikan nila, langkah-langkah budidaya, hingga kesimpulan. Topik utama yang dibahas adalah cara membesarkan ikan nila dengan cepat dan sehat melalui pemberian pakan dan pupuk yang tepat serta pengelolaan kolam yang baik.
Dokumen ini menjelaskan tentang ikan nila (Oreochromis niloticus) yang merupakan ikan air tawar yang dibudidayakan di Indonesia. Ikan nila memiliki sifat tahan terhadap perubahan lingkungan dan pertumbuhan cepat. Terdapat berbagai jenis nila di Indonesia seperti Nila JICA, Nila Nirwana, dan Nila Larasati yang dihasilkan dari program pemuliaan untuk mendapatkan karakteristik pertumbuhan lebih baik. D
Makalah ini membahas tentang budidaya ikan patin di keramba jaring apung, meliputi taksonomi dan morfologi ikan patin, pemilihan lokasi budidaya, persiapan budidaya, pemeliharaan, panen dan pascapanen.
Produksi Udang Sayur Untuk Memberdayakan Backyard Hatcherylisa ruliaty 631971
Dokumen ini membahas upaya memproduksi udang putih (Litopenaeus vannamei) sebagai udang konsumsi (udang sayur) di bak-bak bekas pembenihan udang (backyard hatchery) untuk memberdayakan bak-bak tersebut. Udang dipelihara dari umur PL8-PL10 selama 2-2,5 bulan dengan kepadatan awal berbeda antara 5.000-30.000 ekor/bak. Hasilnya, kepadatan awal 5.000 dan 10.000 ekor/bak menghas
Brosur ini membahas budidaya udang vannamei dengan pola tradisional plus. Teknologi ini memungkinkan petambak kecil menanam udang vannamei dengan biaya rendah tetapi hasil panen yang besar. Brosur ini menjelaskan langkah-langkah mulai dari persiapan tambak, penebaran benih, pemeliharaan, panen, hingga analisis ekonominya. Pola budidaya ini dapat menghasilkan 835-1050 kg udang per hektar set
Dokumen tersebut membahas tentang teknik pembenihan ikan, mulai dari pembenihan ikan air tawar seperti ikan nila hingga ikan laut seperti kerapu. Termasuk didalamnya adalah teknik pemijahan, pakan alami, penanganan larva, hingga pendederan benih ikan.
Dokumen tersebut membahas tentang budidaya ikan nila, mulai dari sejarah singkat ikan nila, sentra perikanannya di Indonesia, jenis ikan nila, manfaatnya sebagai sumber protein hewani, persyaratan lokasi budidaya, pedoman teknis budidaya mencakup penyiapan sarana dan peralatan, pembibitan, pembenihan, dan pemeliharaan pembesaran ikan nila.
Tambak dalam perikanan adalah kolam buatan, biasanya di daerah pantai, yang diisi air dan dimanfaatkan sebagai sarana budidaya perairan (akuakultur). Hewan yang dibudidayakan adalah hewan air, terutama ikan, udang, serta kerang dan lain-lain. Penyebutan “tambak” ini biasanya dihubungkan dengan air payau atau air laut. Kolam yang berisi air tawar biasanya disebut kolam saja atau empang. Tambak merupakan salah satu jenis habitat yang dipergunakan sebagai tempat untuk kegiatan budidaya air payau yang berlokasi di daerah pesisir.
Udang vannamei (Litopenaeus vannameii) berasal dari daerah subtropis pantai barat Amerika, mulai dari Teluk California di Mexico bagian utara sampai ke pantai barat Guatemala, El Salvador, Nicaragua, Kosta Rika di Amerika Tengah hingga ke Peru di Amerika Selatan. Udang vannamei termasuk genus Penaeus dan subgenus Litopenaeus. Vannamei berbeda dari genus Penaeus lainnya karena bentuk telikum (organ kelamin betina) terbuka, tapi tidak terdapat tempat untuk penyimpanan sperma.
Teknik pembenihan dan pembesaran ikan air lautSittiNursinar
Pembenihan ikan mempelajari kegiatan membiakkan ikan secara alami, semi buatan, dan buatan. Kualitas benih berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan. Pembenihan ikan berperan dalam rekayasa genetik untuk menghasilkan strain baru.
Dokumen tersebut membahas budidaya ikan nila, mulai dari pengenalan jenis ikan nila, bisnis budidaya ikan nila, langkah-langkah budidaya, hingga kesimpulan. Topik utama yang dibahas adalah cara membesarkan ikan nila dengan cepat dan sehat melalui pemberian pakan dan pupuk yang tepat serta pengelolaan kolam yang baik.
Dokumen ini menjelaskan tentang ikan nila (Oreochromis niloticus) yang merupakan ikan air tawar yang dibudidayakan di Indonesia. Ikan nila memiliki sifat tahan terhadap perubahan lingkungan dan pertumbuhan cepat. Terdapat berbagai jenis nila di Indonesia seperti Nila JICA, Nila Nirwana, dan Nila Larasati yang dihasilkan dari program pemuliaan untuk mendapatkan karakteristik pertumbuhan lebih baik. D
Makalah ini membahas tentang budidaya ikan patin di keramba jaring apung, meliputi taksonomi dan morfologi ikan patin, pemilihan lokasi budidaya, persiapan budidaya, pemeliharaan, panen dan pascapanen.
Produksi Udang Sayur Untuk Memberdayakan Backyard Hatcherylisa ruliaty 631971
Dokumen ini membahas upaya memproduksi udang putih (Litopenaeus vannamei) sebagai udang konsumsi (udang sayur) di bak-bak bekas pembenihan udang (backyard hatchery) untuk memberdayakan bak-bak tersebut. Udang dipelihara dari umur PL8-PL10 selama 2-2,5 bulan dengan kepadatan awal berbeda antara 5.000-30.000 ekor/bak. Hasilnya, kepadatan awal 5.000 dan 10.000 ekor/bak menghas
Brosur ini membahas budidaya udang vannamei dengan pola tradisional plus. Teknologi ini memungkinkan petambak kecil menanam udang vannamei dengan biaya rendah tetapi hasil panen yang besar. Brosur ini menjelaskan langkah-langkah mulai dari persiapan tambak, penebaran benih, pemeliharaan, panen, hingga analisis ekonominya. Pola budidaya ini dapat menghasilkan 835-1050 kg udang per hektar set
Dokumen tersebut membahas tentang teknik pembenihan ikan, mulai dari pembenihan ikan air tawar seperti ikan nila hingga ikan laut seperti kerapu. Termasuk didalamnya adalah teknik pemijahan, pakan alami, penanganan larva, hingga pendederan benih ikan.
Dokumen tersebut membahas tentang budidaya ikan nila, mulai dari sejarah singkat ikan nila, sentra perikanannya di Indonesia, jenis ikan nila, manfaatnya sebagai sumber protein hewani, persyaratan lokasi budidaya, pedoman teknis budidaya mencakup penyiapan sarana dan peralatan, pembibitan, pembenihan, dan pemeliharaan pembesaran ikan nila.
Tambak dalam perikanan adalah kolam buatan, biasanya di daerah pantai, yang diisi air dan dimanfaatkan sebagai sarana budidaya perairan (akuakultur). Hewan yang dibudidayakan adalah hewan air, terutama ikan, udang, serta kerang dan lain-lain. Penyebutan “tambak” ini biasanya dihubungkan dengan air payau atau air laut. Kolam yang berisi air tawar biasanya disebut kolam saja atau empang. Tambak merupakan salah satu jenis habitat yang dipergunakan sebagai tempat untuk kegiatan budidaya air payau yang berlokasi di daerah pesisir.
Udang vannamei (Litopenaeus vannameii) berasal dari daerah subtropis pantai barat Amerika, mulai dari Teluk California di Mexico bagian utara sampai ke pantai barat Guatemala, El Salvador, Nicaragua, Kosta Rika di Amerika Tengah hingga ke Peru di Amerika Selatan. Udang vannamei termasuk genus Penaeus dan subgenus Litopenaeus. Vannamei berbeda dari genus Penaeus lainnya karena bentuk telikum (organ kelamin betina) terbuka, tapi tidak terdapat tempat untuk penyimpanan sperma.
Teknik pembenihan dan pembesaran ikan air lautSittiNursinar
Pembenihan ikan mempelajari kegiatan membiakkan ikan secara alami, semi buatan, dan buatan. Kualitas benih berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan. Pembenihan ikan berperan dalam rekayasa genetik untuk menghasilkan strain baru.
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas tentang pembenihan rajungan di Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar, termasuk sejarah, bidang usaha, dan struktur organisasi BPBAP Takalar.
Makalah ini membahas penelitian meningkatkan produktivitas induk udang windu dengan memberikan pakan yang diberi bubuk paprika. Paprika kaya akan beta-karoten dan vitamin yang dapat meningkatkan kualitas telur dan frekuensi matang gonad induk udang. Hasil penelitian menunjukkan pemberian bubuk paprika 2 gram/kg pakan meningkatkan tingkat kelangsungan hidup induk 90% dan rata-rata tiap induk menghasilkan 3 kali matang
Dokumen tersebut memberikan panduan budidaya lele dalam sistem bak terpal mulai dari pendederan satu hingga tiga. Ia menjelaskan tentang persiapan media, padat tebar benih, manajemen pakan, dan pemeliharaan untuk mendapatkan hasil panen berukuran 5-7 cm, 10-15 cm. Dokumen ini memberikan solusi untuk meningkatkan produktivitas budidaya lele dengan sumber daya terbatas.
Dokumen ini meneliti performansi dua jenis rumput laut merah, Kappaphycus striatum dan K. alvarezii, yang dibudidayakan dalam sistem budidaya tangki dengan berbagai perlakuan. Hasilnya menunjukkan bahwa K. striatum memiliki laju pertumbuhan harian tertinggi pada perlakuan dengan kepadatan terendah dan penambahan pupuk ekstrak tumbuhan laut. Temuan ini memberikan data dasar untuk membantu pengembangan budidaya rumput laut ber
Kajian ini membandingkan lima kaedah untuk merangsangkan tiram Crassostrea iredalei bertelur, yaitu pengeringan sesaat, hidrogen peroksida, ammonium hidroksida, serotonin, dan kombinasi pengeringan dan serotonin. Hasilnya menunjukkan bahwa kombinasi pengeringan dan serotonin paling berhasil merangsangkan tiram bertelur dengan hasil telur tertinggi, diikuti pengeringan sesaat. Walau demikian, pengeringan sesaat memberikan persentase pertum
3) Pemijahan/pembenihan
Pemijahan/pembenihan adalah proses pembuahan telur oleh sperma. Telur dihasilkan oleh induk betina dan sperma dihasilkan oleh induk jantan. Induk betina yang telah matang gonad berarti siap melakukan pemijahan. Proses pemijahan/pembenihan dapat berlangsung secara alami dan buatan.
a) Pembenihan alami Pembenihan alami dilakukan dengan cara menyiapkan induk betina sebanyak 2 kali jumlah sarang yang tersedia dan induk jantan sebanyak jumlah sarang atau satu pasang per sarang.
4) Penetasan telur
Penetasan telur bertujuan untuk mendapatkan larva. Untuk itu, telur hasil pemijahan diambil dari bak pemijahan, kemudian diinkubasi dalam media penetasan/wadah khusus (wadah penetasan). Wadah ini berbentuk bak, tangki, akuarium, kolam atau ember berukuran besar.
5) Pemeliharaan larva dan benih
Pemeliharaan larva merupakan kegiatan yang paling menentukan keberhasilan usaha pembenihan karena sifat larva merupakan stadia paling kritis dalam siklus hidup biota budidaya, termasuk tahapan yang cukup sulit.
B. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Kesehatan dan keselamatan kerja pada dunia usaha/ industri harus diperhatikan dengan saksama oleh semua tenaga kerja dalam setiap lingkup kerjanya. Pelaksanaan K3 merupakan salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, dan bebas dari pencemaran lingkungan sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerja.
Dalam dunia usaha perikanan, budidaya ikan merupakan salah satu subsektor yang menggunakan tenaga kerja dalam jumlah cukup besar untuk memenuhi target produksinya. Tempat kerja adalah suatu ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, tempat tenaga kerja beraktivitas untuk pengembangan suatu usaha dan dimana terdapat sumber-sumber bahaya. Pada dunia usaha budidaya ikan, tempat bekerja terdapat di dalam atau di luar ruangan, bergantung pada jenis usahanya.
Usaha budidaya/pembenihan ikan dapat dilakukan secara ekstensif, semi-intensif ataupun intensif menentukan penerapan aspek kesehatan dan keselamatan kerja. Usaha budidaya/pembenihan ikan secara ekstensif atau tradisional tidak banyak menggunakan peralatan yang dapat menimbulkan bahaya bagi para pekerjanya. Kegiatan produksi dalam budidaya/ pembenihan ikan dibagi dalam beberapa kegiatan, antara lain: pembenihan, pendederan, dan pembesaran. Kesehatan dan keselamatan kerja pada kegiatan produksi tersebut harus dilakukan agar target produksi yang diharapkan tercapai tanpa terjadi kecelakaan kerja. Penerapan kesehatan dan keselamatan kerja pada kegiatan produksi berkaitan dengan metode produksi/ pembenihan yang digunakan.
Penelitian ini mengkaji penetasan telur walet putih menggunakan mesin tetas dengan mengatur suhu 34-35°C dan kelembaban 70%. Rata-rata bobot telur 1,81 gram, panjang 20 mm, lebar 12 mm. Bobot tetas rata-rata 1,25-1,66 gram. Tingkat fertilitas telur 78,83% dan daya tetas 26,84%. Penelitian ini bertujuan meningkatkan daya tetas telur walet.
Penggunaan Teknik Ablasi Tangkai Mata Pada Pematangan Ovarium Induk Rajungan...CRABERS
Dokumen ini menganalisis hasil penggunaan teknik ablasi tangkai mata pada pematangan ovarium induk rajungan Portunus pelagicus. Induk yang digunakan memiliki tingkat kematangan ovarium II dan III dengan ukuran 150-250 g. Ablasi dilakukan 1,6 mm dari pangkal tangkai mata, kemudian direndam dalam larutan elbazin. Parameter yang diamati adalah sintasan induk, periode latensi, derajat kematangan ovarium, dan ketahanan
Sistem mina padi melibatkan budidaya ikan bersama-sama dengan tanaman padi di lahan sawah. Sistem ini dapat meningkatkan produksi padi dan pendapatan petani serta memanfaatkan lahan dan sumber daya secara efisien. Ada beberapa teknik budidaya mina padi seperti sistem penyelang dan tumpang sari yang melibatkan pemupukan, penebaran benih ikan dan pemeliharaan. Analisis usaha menunjukkan bahwa mina padi d
Dokumen tersebut membahas tentang budidaya lele Sangkuriang, yaitu strain baru lele dumbo hasil rekayasa genetik untuk meningkatkan mutu. Dokumen menjelaskan cara budidaya lele Sangkuriang mulai dari persiapan kolam, penebaran benih, pemberian pakan, hingga pemanenan.
Pemijahan ikan semah (Tor douronensis) secara buatan dilakukan di Balai Benih Ikan Aur Melintang, Sumatera Barat dengan menggunakan 6 ekor betina dan 5 ekor jantan. Telur yang dihasilkan berkisar antara 15-50 butir per gram, dengan daya tetas 67% dan sintasan larva hingga umur 88 hari mencapai 81%. Upaya ini merupakan langkah awal untuk domestikasi ikan semah guna pengembangan budidayanya.
Ia merupakan contoh slide PPT untuk penyiaran PdP di dalam TV Pendidikan yang telah ditayangkan pada Januari 2021. Sesuai digunakan sebagai garis panduan penyediaan bahan tayangan subjek vokasional khususnya Akuakultur.
PPT TIK TOK SMA N 2 Klaten Biologi Lingkungan Materi Tik Tok (Itik dan Entok)Rico Asta
Tugas biologi lingkungan materi unggas pedaging
SMA N 2 KLATEN
Kelas XII MIPA 5
anggota :
ARDI JUNANDA ( 04 )
BERLIAN FREENANDA A.P ( 08 )
CANTIYA AUFA K ( 09 )
FAJAR ARI N.H ( 15 )
FAKHRUL ARIFIN K.A ( 16 )
M. YUSUF SABILA JAYA ( 22 )
PUPUT YUNIANA EVITA S ( 24 )
RIAWATI KUMARADEWI ( 28 )
RICO ASTA W ( 29 )
SYINDI OKTARIYANI A ( 33 )
Materi : TIK-TOK
Penjelasan tentang TIKTOK
Tiktok adalah keturunan persilangan antara itik betina dan entok jantan. Tiktok kepanjangan dari itik dan entok. Persilangan ini biasanya terjadi bukan karena proses alamiah, melainkan proses yang sengaja dilakukan oleh manusia untuk kepentingan dan tujuan tertentu, mengingat tiktok adalah persilangan antara itik betina dengan entok jantan yang hampir tidak mungkin terjadi secara alami mengingat postur tubuh kedua unggas tersebut sangat berbeda jauh. Lain halnya persilangan antara entok betina dengan bebek jantan yang bisa terjadi secara alami karena postur bebek jantan yang lebih ramping dari entok betina, persilangan antara bebek jantan dan entok betina disebut tongki atau brati.
Itik dan entok sebenarnya bukan spesies baru, bila ditelusuri lebih lanjut, fosil unggas air ini telah ditemukan pada zaman mesozoik sekitar 80 juta tahun silam. Ketika peradaban manusia tumbuh, unggas air ini menjadi dekat dengan manusia sebagai sumber makanan ataupun sebagai objek perburuan.
hasil persilangan antara keduanya pun sebenarnya sudah cukup lama dikenal oleh manusia, termasuk di Nusantara sendiri. Di Indonesia hasil persilangan antara kedua jenis unggas ini (tanpa membedakan jenis kelamin dari induk persilangan) dikenal dengan sebutan serati, beranti atau brati, togri, ritog, tongki, mandalung, pandalungan dan lain sebagainya.
Tiktok di Indonesia banyak dipelihara dan dibudidayakan sebagai hewan ternak pedaging karena dagingnya yang dikenal enak dan gurih.
ASAL USUL atau SEJARAH
Tik-tok merupakan keturunan persilangan antara itik betina dan enthok jantan. Itik dan enthok bukan spesies baru, fosil unggas air ini telah ditemukan pada zaman mesozoik ± 80 juta tahun silam.
Santoso menuturkan, tik-tok lahir dari obsesinya untuk mendivesivikasikan ternak unggas dengan tahan penyakit, memiliki tekstur seperti daging ayam dan siklus pertumbuhan cepat. Nama tik-tok di patenkan pada tahun 2002 di lembaga paten, Dep. Kehakiman.
PENYEBARAN TIK-TOK
Di Nusantara atau di Indonesia tik-tok sudah tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu karena hewan ini berasal dari itik dan enthok maka jug ditemukan di Meksiko, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Tiktok
dan berbagai sumber lain
Pedoman Sukses Usaha Budidaya ikan kakap putihWarta Wirausaha
Dokumen tersebut membahas budidaya ikan kakap putih di keramba jaring apung. Ia menjelaskan bahwa ikan kakap putih memiliki nilai ekonomis tinggi dan dapat dibudidayakan di perairan dengan kedalaman 5-7 meter, kecepatan arus 20-40 cm/detik, dan kadar garam 27-32 ppt. Budidaya dilakukan dengan menempatkan benih berukuran 50-75 gram di keramba jaring seluas 3x3x3 meter yang ter
This document discusses a study on producing juvenile swimmer crabs at a main center for brackishwater aquaculture in Jepara, Indonesia. The study found that engineering production of baby swimmer crabs in controlled containers achieved good results, showing production in ponds is also possible. Using a modular system in ponds, the study was able to produce larger baby swimmer crabs continuously. However, further engineering is still needed to increase survival rates of juvenile crabs.
The document discusses swimmer crab aquaculture trials conducted from 2002-2006 and more recently in 2015 by the Main Center for Brackishwater Aquaculture (MCBA) in Jepara, Indonesia. The trials showed that swimmer crab culture in ponds is possible, with average harvests of 150-350 kg per pond. More recent trials in 2015 involved providing swimmer crab seed to farmer groups who cultured them using various polyculture systems in ponds and mangrove areas. Monitoring found that survival rates were generally low due to environmental factors like high temperatures and low salinity. Further research is needed to improve feed formulations and culture management practices to increase productivity and survival for swimmer crab aquaculture.
Makalah ini membahas metode scoring untuk seleksi benih udang yang berkualitas melalui pengamatan visual, daya tahan, dan laboratorium dengan memberikan skor pada setiap parameternya. Metode ini menilai populasi, bentuk, dan gerakan benih secara visual, daya tahan terhadap salinitas dan formalin, serta pemeriksaan mikroskopis dan virus di laboratorium. Hasilnya digunakan untuk menentukan kriteria benih yang baik, sedang, atau jele
BBPBAP Jepara melakukan program pemulihan ikan bandeng dengan:
1. Pembesaran calon induk bandeng dari berbagai daerah untuk meningkatkan kualitas benih
2. Meningkatkan produksi benih bandeng melalui perbaikan SOP mulai dari pematangan gonad induk, produksi nener berkualitas, dan observasi nener
Ovaprime dapat merangsang pemijahan dan produksi telur pada induk bandeng yang belum pernah bertelur sebelumnya. Larutan ovaprime dicampur dengan telur bebek, madu, vitamin E dan C lalu disemprotkan pada pakan ikan. Pemberian pakan yang diperkaya ovaprime mampu merangsang pemijahan pertama 15 hari kemudian dan menghasilkan lebih dari 500 ribu butir telur. Selama 3 minggu, induk bandeng memijah sebanyak 8 kali
This document summarizes a study on intensive milkfish (Chanos chanos Forskal) culture in concrete tanks. Two concrete tanks measuring 5 x 7 meters with a water depth of 2 meters were used. Milkfish were stocked at a density of 20 fish per square meter, totaling 1,400 fish per tank. The fish were fed pelleted feed at 2-3% of their body weight per day. Over the course of a 2 month culture period, survival rates exceeded 99% in both tanks. Average final length was 28.42 cm in one tank and 28.14 cm in the other. Average final weight was 178.6 g and 181.5 g respectively. The study demonstrated that intensive milkfish culture
Dokumen tersebut memberikan informasi mengenai kegiatan pembenihan ikan bandeng di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara pada tahun 2011-2012. Mencakup pengumpulan calon induk dan nener, pemeliharaan, dan pertumbuhan calin bandeng asal Aceh dan Gorontalo. Juga dilaporkan fasilitas yang dimiliki untuk kegiatan pembenihan.
Kajian menunjukkan bahwa pemberian artemia dewasa kepada ikan hias clownfish dapat meningkatkan frekuensi pemijahan menjadi 4 kali per bulan dibandingkan dengan pemberian udang dan cacing yang hanya 2-3 kali per bulan. Jumlah larva yang dihasilkan juga lebih banyak dan stabil, berkisar antara 508-697 ekor per kali pemijahan.
Dokumen ini membahas pengaruh penyuntikan hormon serotonin (5-HT) terhadap pematangan gonad dan pemijahan induk rajungan (Portunus pelagicus). Hormon 5-HT disuntikkan pada induk rajungan dengan dosis 50 μg/g berat tubuh. Hasilnya menunjukkan peningkatan persentase kematangan gonad, daya tetas telur, fototaksis, dan latency period larva dibandingkan perlakuan ablasi mata dan kontrol. Penyuntikan 5-HT juga mening
PERBANDINGAN MUTU INDUK RAJUNGAN MATANG TELUR ALAM DENGAN INDUK ABLASI ASAL...lisa ruliaty 631971
Ringkasan dokumen tersebut adalah: (1) penelitian dilakukan untuk mengetahui mutu induk rajungan matang telur alam, ablasi alam, dan tambak; (2) hasilnya menunjukkan induk alam memberikan kualitas telur dan larva yang lebih baik dibandingkan induk ablasi atau tambak; (3) rasio asam lemak DHA/EPA pada telur dan larva induk alam lebih rendah namun menyebabkan sintasan larva lebih ting
Teknik maskulinisasi pada rajungan dilakukan dengan menggunakan terapi hormon androgen 17 α-metiltestosteron. Dari kajian pendahuluan, perendaman hormon dosis 2 ppm selama 24 jam larva rajungan stadia Zoea-4, stadia Megalopa dan stadia Crab-5 didapatkan mortalitas setelah perendaman sebesar 100% pada Zoea-4 dan Megalopa serta mortalitas 80 – 95% pada Crab-5. Kemudian dilakukan 2 kajian yaitu untuk mengetahui dosis hormon dengan cara perendaman selama 4 jam dan lama waktu perendaman yang efektif untuk maskulinisasi benih rajungan Crab-5. Kedua kajian dilakukan dengan 3 ulangan. Kajian pertama dengan dosis hormon : 0, 2, 4 dan 8 ppm dan kajian kedua dengan lama waktu perendaman : 4, 8 dan 12 jam dan Kontrol (tanpa pemberian hormon).
Dari kajian pertama, dosis hormon 2, 6 dan 8 ppm setelah perendaman selama 4 jam tidak memberikan perbedaan nyata terhadap tingkat kehidupan benih rajungan. Setelah pemeliharaan selama 45 hari, hasil kajian pertama memperlihatkan perbedaan nyata dari dosis hormon terhadap maskulinisasi benih rajungan (P<0><0><0><0,05). Nilai persentase maskulinisasi tertinggi didapatkan pada lama perendaman 4 jam sebesar 88,8%.
MASKULINISASI BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN HORMON 17 α- METILTESTOSTERO...
Produksi baby crab rajungan dengan sistem modular
1. PRODUKSI BABY CRAB RAJUNGAN Portunus pelagicus
DENGAN SISTEM MODULAR
Oleh:
Lisa Ruliaty, Anindiastuti dan Kaemudin
DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA
BALAI BESAR PENGEMBANGAN BUDIDAYA AIR PAYAU
JEPARA
2009
2. PRODUKSI BABY CRAB RAJUNGAN Portunus pelagicus
DENGAN SISTEM MODULAR 1
Oleh:
Lisa Ruliaty, Anindiastuti dan Kaemudin
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara
Email : lisaruliaty@yahoo.co.id
Abstrak
Sistem pemeliharaan untuk menghasilkan baby crab rajungan selama ini dengan
mempergunakan benih rajungan stadia Crab-5 (lebar karapas 0,4 cm, berat 0,01 g/ekor) yang
kemudian dipelihara lanjutan. Namun, ketersediaan benih rajungan Stadia Crab-5 menjadi faktor
pembatas di dalam memproduksi baby crab rajungan. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu
dilakukan rekayasa produksi baby crab rajungan dengan sistem modular.
Produksi benih rajungan dengan sistem modular dilakukan dengan cara memelihara larva
rajungan pada wadah pertama yang kemudian dipindahkan ke wadah pemeliharaan lain yang
dapat berupa bak out door yang telah di beri substrat pasir atau tambak pembesaran. Cara ini
diharapkan akan dapat menyederhanakan teknologi pada pembenihan rajungan. Hasil akhir
adalah benih rajungan berupa baby crab dengan ukuran lebar karapas 1-2 cm dan berat 1,5-2
g/ekor. Baby crab yang dihasilkan dapat berfungsi sebagai benih untuk di besarkan di tambak
pembesaran ataupun sebagai bahan untuk pembuatan makanan kecil. Sehingga perlu dilakukan
rekayasa untuk mengetahui persyaratan teknis dalam produksi skala massal baby crab rajungan
dengan sistem modular.
Rekayasa dilakukan 4 tahap, tahap I; dilakukan rekayasa dengan tujuan untuk mengetahui
hari/tahap stadia yang layak untuk di lakukan pemindahan. Tahap II; dilakukan rekayasa untuk
mengetahui kepadatan awal larva yang terbaik saat dipindahkan. Tahap III; dilakukan rekayasa
untuk mengetahui pakan terbaik yang dapat diberikan seminggu pertama setelah dipindahkan.
Sedangkan pada Tahap IV; dilakukan produksi benih dengan mengaplikasikan hasil terbaik pada
rekayasa tahap I hingga tahap III yang dilakukan secara massal di bak out door yang telah di beri
substrat pasir pada bagian dasarnya.
Dari rekayasa Tahap I – III, di dapatkan bahwa larva rajungan terbaik dipindahkan pada
saat umur pemeliharaan 8 hari (D-8) dengan kepadatan awal pada wadah dan media baru sebesar
2.500 ekor/m3
(2,5 ekor/L). Sedangkan untuk pakan terbaik yang bisa diberikan seminggu
setelah pemindahan adalah naupli Artemia dengan kepadatan 20 N/larva/hari. Pada aplikasi
skala massal, didapatkan nilai rerata survival rate larva pada D-8 adalah sebesar 59,44% dan
rerata survival rate benih yang dihasilkan setelah pemindahan di wadah bak substrat pasir adalah
sebesar 10,39% dengan baby crab yang dihasilkan sebanyak 0,4 kg/m3
.
Kata kunci : benih rajungan, produksi modular, bak substrat pasir
I. PENDAHULUAN
1
Makalah di sampaikan pada pertemuan Indonesian Aquaculture 2010 di Hotel Novotel Bandar Lampung, 4 – 6
Oktober 2010.
3. 1.1. Latar Belakang
Permintaan komoditas rajungan (Portunus pelagicus Linn) dari tahun ke tahun terus
meningkat baik di dalam negeri maupun dari luar negeri. Satu-satunya sumber untuk memenuhi
permintaan tersebut hanya mengandalkan dari hasil penangkapan di alam yang
kesinambungannya di khawatirkan tidak dapat dipertahankan lagi. Sebagai akibat dari kegiatan
penangkapan yang terus menerus, dewasa ini populasi rajungan di laut dirasa sudah mulai
menipis utamanya di daerah yang jumlah nelayannya padat. Oleh sebab itu, langkah awal untuk
melakukan peningkatan produksi rajungan adalah melalui kegiatan budidaya di tambak yang
harus segera dilakukan. Sebagai langkah awal untuk bisa mewujudkan tujuan tersebut adalah
dengan cara penyediaan benih rajungan yang dihasilkan dari hatchery.
Perekayasaan produksi massal baby crab rajungan relatif masih baru, teknologi yang
dihasilkan berupa kajian perekayasaan yang masih terus dikembangkan. Di Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara, kajian teknologi produksi baby crab rajungan terus
dilakukan sampai sekarang. Sistem pemeliharaan untuk menghasilkan baby crab rajungan
selama ini dengan mempergunakan benih rajungan stadia Crab-5 (lebar karapas 0,4 cm, berat
0,01 g/ekor) yang kemudian dipelihara lanjutan. Namun, ketersediaan benih rajungan Stadia
Crab-5 menjadi faktor pembatas di dalam memproduksi baby crab rajungan. Untuk mengatasi
hal tersebut, perlu dilakukan rekayasa produksi baby crab rajungan dengan sistem modular.
Produksi benih rajungan dengan sistem modular dilakukan dengan cara memelihara larva
rajungan pada wadah pertama yang kemudian dipindahkan ke wadah pemeliharaan lain yang
dapat berupa bak out door yang telah di beri substrat pasir atau tambak pembesaran. Cara ini
diharapkan akan dapat menyederhanakan teknologi pada pembenihan rajungan. Hasil akhir
adalah benih rajungan berupa baby crab dengan ukuran lebar karapas 1-2 cm dan berat 1,5-2
g/ekor. Baby crab yang dihasilkan dapat berfungsi sebagai benih untuk di besarkan di tambak
pembesaran ataupun sebagai bahan untuk pembuatan makanan kecil.
Pemeliharaan larva rajungan secara modular dengan cara memindahkan larva Zoea akhir
ke bak lain dengan substrat pasir secara out door diharapkan dapat lebih menyederhanakan
teknologi pembenihan rajungan. Hal ini mendorong untuk dilakukan lebih banyak lagi
pengamatan untuk lebih memperbaiki teknik yang sudah di hasilkan di dalam memproduksi
benih baik ukuran crablet maupun benih ukuran juvenil/baby crab rajungan. Hal ini menjadi
dasar untuk terus menyempurnakan teknologi pembenihan rajungan hingga ukuran juvenile
rajungan (baby crab) sehingga akan lebih memberi nilai ekonomis dan dapat menjadi peluang
usaha baru yang menguntungkan bagi masyarakat.
1.2. Tujuan
• Produksi baby crab rajungan dengan sistem modular di harapkan dapat menyederhanakan
teknologi pada pembenihan rajungan.
• Dapat menghasilkan benih rajungan dengan ukuran yang lebih besar secara
berkesinambungan.
• Memberi nilai lebih pada benih yang dihasilkan sehingga dapat menjadi peluang usaha
baru bagi masyarakat.
II . METODE
4. 2.1. Alat dan Bahan
Peralatan : - Bak inkubasi (pengeraman)
- Wadah penetasan artemia
- Bak untuk pemeliharaan benih tahap I
- Bak untuk pemeliharaan benih tahap II
- Mesin giling
- Gunting dan pisau
- Waring hitam dengan mesh size 0,2 cm
- Peralatan lapangan ( jaringan aerasi, perlengkapan bak, perlengkapan tagging
dan ablasi, ember, beaker glass,gayung dll)
- Peralatan monitoring (mikroskop, beaker glas, refraktometer, termometer dll)
Bahan - Induk rajungan bertelur
- Pakan larva (pakan buatan untuk stadia Zoea dan Megalopa)
- Pakan stadia Megalopa (udang kupas halus)
- Pakan alami untuk larva (Chlorella, rotifera dan artemia)
- Pakan Crablet (ikan rucah)
- Bahan kimia ( kaporit)
2.2. Metode
Rekayasa I : Stadia / Umur larva terbaik untuk pemindahan
Dilakukan untuk mengetahui stadia umur yang sesuai untuk memindahkan larva, adapun
perlakuan pada rekayasa ini adalah sebagai berikut:
A. Perlakuan pemindahan larva pada umur pemeliharaan 4 hari.
B. Perlakuan pemindahan larva pada umur pemeliharaan 6 hari.
C. Perlakuan pemindahan larva pada umur pemeliharaan 8 hari.
Kegiatan perekayasaan dilakukan dengan 3x ulangan. Rekayasa dilakukan pada skala
laboratorium. Pemeliharaan larva dilakukan dengan 2 tahap, tahap pertama pemeliharaan
dilakukan pada ember kapasitas 60 L sebelum di pindahkan sesuai dengan perlakuan A, B dan C.
Tahap kedua, larva yang di pindahkan di pelihara pada wadah yang telah di beri substrat pasir
pada dasar baknya. Adapun prosedur pemeliharaan larva rajungan adalah sebagai berikut:
Tahap pertama: larva dengan kepadatan awal 100 ekor/L di tebar pada ember kapasitas 60
L. Untuk mempertahankan suhu media pemeliharaan larva di kisaran 30 ± 1o
C pada setiap
ember dipasang automatic heaters (150 W). Sistem aerasi berhubungan dengan root blower
utama yang akan memberikan dissolved oksigen pada level ± 4 ppm. Untuk media
pemeliharaan larva rajungan dipergunakan air laut steril dengan salinitas 30–33 ppt. Untuk
menjaga kualitas air media pemeliharaan larva, dilakukan penggantian air sebanyak 20% setiap 3
hari sekali. Larva diberi pakan rotifer (10-15 ind/ml) mulai pada hari penebaran hingga hari
pemindahan sesuai perlakuan. Alga Nannochloropsis sp diberikan sebagai pakan bagi rotifer
dengan kepadatan dipertahankan 100.000 sel/ml.
Tahap kedua: Larva yang telah dipindahkan dipelihara pada wadah yang telah diberi
substrat pasir dengan ketebalan 5 cm. Salinitas media di buat sama seperti pada pemeliharaan
5. pada tahap pertama. Setelah pemindahan, larva diberi pakan nauplius artemia sebanyak 20
Nauplii artemia/hari selama seminggu, kemudian di beri blenderan udang kupas sebanyak 20 -
50 gr/5000 larva/hari selama seminggu. Pada minggu ke tiga, pakan yang diberikan berubah
menjadi potongan kecil ikan rucah sebanyak 200 gr/5000 Crab/hari. Hasil Terbaik dari Rekayasa
I, kemudian di pergunakan sebagai hari pemindahan larva pada Rekayasa II.
Rekayasa II : Kepadatan larva pada saat pemindahan
Larva rajungan stadia berdasarkan hasil terbaik dari Rekayasa I dengan kepadatan
berbeda di tebar pada wadah pemeliharaan kapasitas 40 L dengan mengatur kepadatan larva
yang di tebar sehingga menjadi juvenil rajungan yang mempunyai berat 1,5 - 2 gram/ekor.
Adapun perlakuan kepadatan yang di gunakan adalah sebagai berikut :
A. Kepadatan larva : 2.500 larva/m3
(2,5 ekor/L)
B. Kepadatan larva : 5.000 larva/m3
(5 ekor/L)
C. Kepadatan larva : 7.500 larva/m3
. (7,5 ekor/L)
Kegiatan perekayasaan dilakukan dengan 3x ulangan. Rekayasa dilakukan pada skala
laboratorium. Pemeliharaan larva dilakukan dengan 2 tahap, tahap pertama pemeliharaan
dilakukan pada bak fiber bundar kapasitas 1.000 L sebelum di pindahkan sesuai dengan
perlakuan A, B dan C. Tahap kedua, larva yang di pindahkan di pelihara pada wadah yang telah
di beri substrat pasir pada dasar baknya. Adapun prosedur pemeliharaan larva rajungan sama
seperti pada rekayasa I. Hasil Terbaik dari Rekayasa II, kemudian di pergunakan sebagai standar
dalam Rekayasa III.
Rakayasa III: Pakan awal terbaik setelah pemindahan larva.
Tahap pertama : Larva dengan kepadatan awal 100 ekor/L di tebar pada bak fiber bundar
kapasitas 1.000 L atau bak beton indoor kapasitas 2.000 L. Untuk mempertahankan suhu media
pemeliharaan larva di kisaran 30 ± 1o
C pada setiap bak dipasang automatic heaters (150 W).
Sistem aerasi berhubungan dengan root blower utama yang akan memberikan dissolved oksigen
pada level ± 4 ppm. Untuk media pemeliharaan larva rajungan dipergunakan air laut steril
dengan salinitas 30–33 ppt. Untuk menjaga kualitas air media pemeliharaan larva, dilakukan
penggantian air sebanyak 20% setiap 3 hari sekali. Larva diberi pakan rotifer (10-15 ind/ml)
mulai pada hari penebaran hingga hari pemindahan berdasarkan hasil terbaik pada Rekayasa II.
Alga Nannochloropsis sp diberikan sebagai pakan bagi rotifer dengan kepadatan dipertahankan
100.000 sel/ml.
Tahap kedua: Larva yang dipindahkan di pelihara selanjutnya pada ember kapasitas 40 L
dengan pemberian pakan awal yang berbeda. Setiap perlakuan akan dilakukan 3x ulangan
waktu. Adapun perlakuan yang di gunakan adalah sebagai berikut,.
a. Pakan awal Nauplius Artemia (20 N/larva/hari)
b. Pakan awal biomas Artemia (3 ekor/larva/hari)
c. Pakan awal campuran biomas Artemia dan Udang kupas halus
Wadah pemeliharaan diberi substrat pasir setebal 5 cm. Seminggu pertama larva di
berikan pakan sesuai dengan perlakuan. . Kemudian larva di beri blenderan daging udang/ikan
200 – 300 gr/1000 Crab/hari (>200% berat biomass), dengan frekuensi pemberian pakan 3x
sehari. Media pemeliharaan di beri Chlorella sp dengan kepadatan 500.000 – 1.000.000 sel/ml
dan kepadatannya dipertahankan sehingga kegiatan selesai. Penggantian air pertama kali sebesar
6. 20 - 50% pada pemeliharaan di bak dilakukan setelah 5 hari pemeliharaan dengan sistem air
mengalir.
Rekayasa IV: Produksi baby crab dengan sistem modular
Hasil terbaik pada kegiatan rekayasa Tahap I - III di aplikasikan pada skala
massal/model pada wadah bak beton sehingga menjadi juvenil rajungan yang mempunyai berat
1,5 - 2 gram/ekor. Pada pemeliharaan larva Tahap pertama, prosedur pemeliharaan larva hingga
hari pemindahan dilakukan seperti pada rekayasa III.
Tahap kedua: pemeliharaan larva di lakukan di bak out door (ukuran bak 7x2 x1 m) yang
telah diberi substrat pasir setebal 5 cm pada bagian dasarnya dan pemberian shelter dari tali
rafia yang dibuat menyerupai rumput laut (artificial sea weed), ketinggian air pada bak
pemeliharaan sebesar 40 – 60 cm. Larva di berikan pakan terbaik dari hasil rekayasa Tahap III
selama seminggu, kemudian di beri blenderan udang kupas sebanyak 20 - 50 gr/5000 larva/hari
pada minggu ke 2. Pada minggu ke tiga, pakan yang diberikan berubah menjadi potongan kecil
ikan rucah sebanyak 200 gr/5000 Crab/hari. Media pemeliharaan di bak di beri Chlorella sp
dengan kepadatan 100.000 sel/ml dan kepadatannya dipertahankan sehingga kegiatan selesai.
Penggantian air pertama kali sebesar 20 - 50% pada pemeliharaan di bak dilakukan setelah 5
hari pemeliharaan dengan sistem air mengalir.
Sampling terhadap berat benih dilakukan 2 minggu setelah pemeliharaan dan dari data
berat tersebut dilakukan konversi untuk menghitung kebutuhan pakan. Sedangkan sampling total
terhadap kelulushidupan dan berat baby crab dilakukan pada hari akhir kajian, selain itu juga
dilakukan pengukuran parameter kualitas air.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Rekayasa I. Stadia / Umur larva terbaik untuk pemindahan larva
Perlakuan hari pemindahan pada hari ke-4 (D-4) memberikan jumlah larva yang lebih
banyak untuk di pindahkan pada wadah pemeliharaan tahap ke-2 bila dibandingkan dengan
perlakuan D-6 maupun perlakuan D-8 (Gambar 1). Namun, memberikan nilai survival rate
benih/baby crab yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan D-6 maupun D-8.
82.52
71.62
60.44
0
20
40
60
80
100
D-4 D-6 D-8
Perlakuan
RerataSR(%)haripindah
Gambar 1. Grafik rerata survival rate (%) larva pada saat hari H perlakuan pemindahan
7. Dari kajian didapatkan bahwa perlakuan pemindahan pada pemeliharaan hari ke-8
memberikan nilai survival rate yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan
pemindahan pada hari ke-4 maupun perlakuan pemindahan pada hari ke-6. Baik nilai survival
rate yang dihitung dari awal pemeliharaan maupun survival rate yang dihitung dari hari
pemindahan. Dimana rerata survival rate benih/baby crab dari hari pemindahan hingga akhir
pada perlakuan D-4 sebesar 2,62%±0,37, D-6 sebesar 3,92%±0,25 dan D-8 sebesar 5,99%±0,28
(Gambar 2).
2.62
3.92
5.99
0
4
8
D-4 D-6 D-8
Perlakuan
RerataSR(%)haripindah-D-29
Gambar 2. Grafik rerata survival rate (%) dari hari pemindahan hingga akhir kajian
Sedangkan survival rate benih dari awal pemeliharaan hingga akhir kajian di dapatkan pada
perlakuan D-4 sebesar 1,12%±0,04, perlakuan D-6 sebesar 1,08%±0,01 dan perlakuan D-8
sebesar 1,80%±0,30 (Gambar 3).
1.12 1.08
1.80
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
D-4 D-6 D-8
P erlakuan
RerataSR(%)D-0hinggaD-29
Gambar 3. Grafik rerata survival rate (%) dari awal hingga akhir kajian
Rekayasa II : Kepadatan larva pada saat pemindahan
Rekayasa II dilakukan untuk mengetahui kepadatan awal larva yang terbaik saat
dipindahkan, dimana larva dipindahkan berdasarkan hasil terbaik pada rekayasa I yaitu pada
umur pemeliharaan 8 hari (D-8). Dari kajian ini didapatkan bahwa pada saat larva dipindahkan
ke wadah baru dengan kepadatan 2.500 ekor/m3
memberikan nilai rerata survival rate
benih/babycrab yang lebih tinggi (8,67%±0,67) dibandingkan dengan kepadatan 5.000 ekor/m3
(4,89%±0,51) maupun 7.500 ekor/m3
(3,93%±0,82) (Gambar 4). Kepadatan larva yang berbeda
memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap survival rate baby crab.
8. 8.67
4.89
3.93
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
10.00
2500 ekor larva/m3 5000 ekor larva/m3 7500 ekor larva/m3
P erla kuan
RerataSR(%)
Gambar 4. Grafik rerata survival rate benih/baby crab pada akhir kajian
Lebih baiknya nilai sintasan yang dihasilkan dari kepadatan awal yang lebih rendah di
duga karena lebih banyak ruang bagi larva Zoea akhir untuk mempertahankan teritorinya
sehingga dapat mereduksi kanibalisme diantara mereka. Menurut Willey (1977), tingginya
mortalitas akibat kanibalisme terjadi pada perubahan stadia zoea akhir menjadi megalopa dan
stadia megalopa ke stadia juvenil (Heasman dan Fielder, 1983). Interaksi yang terjadi antar
individu larva mengakibatkan terjadinya suatu kompetisi, salah satunya adalah kompetisi ruang.
Individu akan mempertahankan suatu teritori yang jauh lebih besar dari yang dibutuhkan untuk
kelangsungan hidup dan reproduksinya (Lukman, 1989). Pengurangan padat tebar dan
penyediaan shelter dalam wadah percobaan dapat mengurangi mortalitas akibat kanibalisme
(Liong, 1992).
Rekayasa III : Pakan awal terbaik setelah pemindahan larva.
Rekayasa III dilakukan untuk mengetahui pakan terbaik yang dapat diberikan seminggu
pertama setelah dipindahkan. Dari kajian ini didapatkan bahwa pemberian pakan awal berbeda
memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap survival rate baby crab. Dimana
perlakuan pemberian pakan awal berupa nauplii artemia (20 N/larva/hari) memberikan nilai
survival rate yang lebih tinggi sebesar 4,21%±0,05, kemudian pemberian pakan berupa biomas
artemia (3 ekor/larva/hari) dengan survival rate sebesar 2,07%±0,09 dan pemberian pakan
berupa biomas artemia yang di campur dengan udang kupas sebesar 1,74% ±0,46 (Gambar 5).
4.21
2.07
1.74
0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00
NA
BA
BAU
Perlakuan
Survival rate (%) baby crab
Gambar 5. Grafik rerata survival rate (%) baby crab pada akhir kajian
Rekayasa IV: Produksi baby crab di bak substrat pasir dengan sistem modular
Dari rekayasa I hingga III, di dapatkan bahwa larva rajungan terbaik dipindahkan pada
saat umur pemeliharaan 8 hari (D-8) dengan kepadatan awal pada wadah dan media baru sebesar
9. 2.500 ekor/m3
(2,5 ekor/L). Sedangkan untuk pakan terbaik yang bisa diberikan seminggu
setelah pemindahan adalah naupli Artemia dengan kepadatan 20 N/larva/hari.
Rekayasa IV merupakan kegiatan produksi benih dengan mengaplikasikan hasil terbaik
pada rekayasa tahap I hingga tahap III yang dilakukan secara massal. Produksi secara massal
telah di lakukan sebanyak 6 kali.
Dari 6 kali pemeliharaan larva rajungan pada tahap pertama menghasilkan nilai rerata
survival rate pada hari ke-8 pemeliharaan (D-8) atau pada saat Zoea-4 adalah sebesar 59,44%
(Tabel 1). Dengan kisaran nilai survival rate antara 38,95% hingga 74,0%. Sehingga mortalitas
yang di dapatkan adalah sebesar 40,56%. Nilai mortalitas yang dihasilkan lebih rendah bila
dibandingkan dengan hasil yang di capai dalam penelitian Bryars (1997) yang menyatakan
bahwa mortalitas pada stadia zoea -1 sampai zoea -4 adalah 99%. Menurut Broer dkk, (1993)
mortalitas dapat diakibatkan adanya infeksi bakteri pada stadia larva dan kanibalisme pada stadia
megalopa sampai dewasa.
Tabel 1. Survival Rate (%) larva rajungan pada hari ke 8 (pemeliharaan tahap I)
Produksi SR larva dari D0 – D8
(%)
1
2
3
4
5
6
38,95
51,69
74.00
71,00
54,00
67,00
Rerata 59,44
Dari 6 kali produksi baby crab (Tabel 2), didapatkan jumlah baby crab sebanyak 13.084
ekor dengan berat biomas 19,63 kg. Rerata survival rate benih yang dihasilkan setelah
pemindahan di wadah bak substrat pasir adalah sebesar 10,39% dengan rerata berat baby crab
yang dihasilkan sebanyak 3,3 kg/8,4 m3
atau 0,4 kg/m3
.
Tabel 2. Data produksi baby crab
Jumlah larva
(ekor)
Jumlah akhir baby crab
(ekor)
SR Akhir
(%)
Biomas baby crab
(kg)
21.000
21.000
21.000
21.000
21.000
21.000
1.603
3.322
4.800
1.540
1.260
560
7,63
15,82
22,86
7,33
6,00
2,67
2,40
4,98
7,20
2,31
1,89
0,84
Jumlah 13.085 19,63
Rerata 2180,8 10,39 3,3 kg/8,4 m3
10. Dari pengukuran panjang dan berat larva, di dapatkan pertumbuhan panjang dan berat
larva pada Zoea 4 adalah sebesar 3.05 ± 0.18 mm pada panjang dan 0.0084 ± 0.18 gram berat
larva (Tabel 3). Pertumbuhan panjang dan berat larva pada stadia Zoea 1 hingga Zoea 4 ini
relatif seragam.
Tabel 3. Hasil pengukuran pertumbuhan panjang (mm) dan berat g) pada pemeliharaan
tahap I.
Stadia Kisaran
Panjang (mm)
Rerata
panjang (mm)
Kisaran berat (g) Rerata
berat(g)
Zoea-1 1.10-1.33 1.22 ± 0.08 0.0032 0.0032 ± 0.00
Zoea-2 1.51-1.63 1.57 ± 0.06 0.0043 - 0.0047 0.0047 ± 0.05
Zoea-3 1.53-3.09 2.09 ± 0.61 0.0044 - 0.0053 0.0048 ± 0.03
Zoea-4 2.75-3.37 3.05 ± 0.18 0.0066 - 0,0103 0.0084 ± 0.18
Untuk hasil pengukuran pertumbuhan lebar karapas dan berat pada pemeliharaan tahap II
dapat dilihat pada Tabel 4. Dimana rerata lebar karapas akhir pada D-29 adalah sebesar 14.00 ±
0.95 mm dengan rerata berat sebesar 1,50±0,05 g.
Tabel 4. Hasil pengukuran pertumbuhan lebar karapas (mm) dan berat (g) pada
pemeliharaan tahap II.
Umur pemeliharaan
(hari)
Rerata lebar
karapas (mm)
Rerata Berat (g)
D-10
D-15
D-29
2,83 ± 0.52
5,90 ± 0.50
14.00 ± 0.95
0,03 ± 0.63
0,17 ± 0,76
1,50±0,05
Pertumbuhan merupakan salah satu parameter dalam budidaya, pertumbuhan
dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Sifat genetika spesies dari kultivan, jenis
kelamin, dan status fisiologi ikan merupakan faktor internal, sedangkan faktor eksternal antara
lain faktor lingkungan, padat penebaran, pakan, suhu, oksigen terlarut, pH, kekeruhan, bahan
organik, hama serta penyakit (Effendie, 1997). Menurut Hamka et al., (2005) Pertumbuhan
sangat erat hubungannya dengan pakan yang diberikan, karena pakan memberikan nutrien dan
energi yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan.
Pertumbuhan pada krustasea adalah perubahan panjang dan berat yang terjadi secara
berkala pada waktu pergantian cangkang. Apabila keadaan lingkungan baik dan pakan yang
bergizi tersedia maka pada saat ganti cangkang akan terjadi pertumbuhan sebaliknya apabila
keadaan lingkungan kurang baik dan kekurangan nutrisi maka ganti kulit tidak diikuti dengan
pertumbuhan bahkan dapat terjadi penurunan bobot tubuh (Chittleborough, 1975 dalam
Pinandoyo, 1994).
Data kisaran kualitas air selama kajian masih dalam kisaran yang layak untuk budidaya
rajungan stadia crab tercantum pada Tabel 5.
11. Tabel 5. Kisaran kualitas air pada pemeliharaan Tahap II.
Parameter Nilai Pustaka
Suhu ( o
C) 27,10 – 28,20 26-32 a
dan c
Salinitas (ppt) 29 - 33 30-33 ppt c
pH 7,20 - 8,18 5,5-8,5 a
DO (ppm) 3,19 – 6,32 >3 mg/L a
Amonia (ppm) Tt – 0,08 <0,31 mg/Lb
Bahan organik (ppm) 85,64 – 195,92 <0,5 mg/L d
Keterangan : BBPBAP (2003), b.Wickins (1978), c.Adiwijaya et al (2002) dan d.Halver (1989)
Kisaran suhu pada selama pemeliharaan berkisar antara 27,10 – 28,20o
C, dimana kondisi
tersebut masih dalam kisaran yang layak untuk pertumbuhan rajungan seperti yang dikemukakan
oleh Adwijaya et al., (2002) suhu yang baik pada stadia crab adalah 26 - 29o
C diperkuat oleh
BBPBAP (2003) menyatakan suhu yang baik antara 28 - 32o
C. Kisaran pH antara 7,20 – 8,18.
Kondisi ini masih layak untuk kehidupan rajungan karena menurut BBPBAP (2003) rajungan
stadia crab dapat tumbuh pada kisaran pH antara 5,5 - 8,5. Sedangkan kandungan oksigen
terlarut diperoleh data berkisar antara 3,19 – 6,32 ppm. Kondisi tersebut masih layak untuk
hidup dan tumbuh rajungan stadia crab. Sebagaimana menurut BBPBAP (2003) kandungan
oksigen terlarut yang layak untuk hidup dan tumbuh rajungan stadia crab adalah lebih dari 3
mg/L. Kandungan ammonia yang diukur selama kajian sebesar tt – 0,08 mg/L menurut Wickins
(1978) kondisi tersebut masih layak untuk hidup rajungan, dikarenakan kandungan ammonia
(NH3) yang beracun dan berbahaya bagi krustase 0,31 - 0,4 mg/L.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
1. Dari rekayasa Tahap I – III, di dapatkan bahwa larva rajungan terbaik dipindahkan pada
saat umur pemeliharaan 8 hari (D-8) dengan kepadatan awal pada wadah dan media baru
sebesar 2.500 ekor/m3
(2,5 ekor/L). Sedangkan untuk pakan terbaik yang bisa diberikan
seminggu setelah pemindahan adalah naupli Artemia dengan kepadatan 20 N/larva/hari.
2. Pada aplikasi skala massal, didapatkan nilai rerata survival rate larva pada D-8 adalah
sebesar 59,44% dan rerata survival rate benih yang dihasilkan setelah pemindahan di wadah
bak substrat pasir adalah sebesar 10,39% dengan baby crab yang dihasilkan sebanyak 0,4
kg/m3
.
4.2. Saran
Produksi benih rajungan secara modular dapat menjadi alternatif teknik pemeliharaan benih
rajungan yang lebih praktis dengan ukuran benih yang lebih besar untuk dapat di tebar ke tambak
pembesaran.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada rekan-rekan di tim
rajungan atas kerjasama yang solid selama ini di dalam pengembangan teknologi pembenihan
12. rajungan. Juga kepada tim pakan alami skala massal (Pak Juyoto, Pak Jasmo dan Pak Kaslani)
yang telah membantu dalam penyediaan Chlorella sp dan Brachionus sp. Tak lupa ucapan
terima kasih kepada rekan-rekan dari laboratorium kualitas lingkungan yang telah membantu
dalam pengukuran parameter kualitas air,
Daftar Pustaka
Adiwidjaya, D.Jaya., S. Sugeng dan Sutikno, E. 2002. Peluang Usaha Komoditas Budidaya Air Payau :
Rajungan (Portunus pelagicus Linn) dapat dibudidayakan di Tambak Skala Usaha. BBPBAP.
Jepara. Hlm 13-20
BBPBAP, 2003. Budidaya Rajungan di Tambak. BBPBAP. Jepara. Hlm 15-19
Broer, D.R., Zafran, A. Parenrengi., dan T. Ahmad. (1993): Preliminary Study of Luminescent Disease in
The Larvae of Mangrove Crabs, Scylla serrata. Coastal Aquaculture Research Journal, 9, 3.
Effendi, _____1997. Biologi Perikanan. Fakultas Perikanan Iinsitut Pertanian Bogor. Bogor. Hlm 92-
135
Effendy, Faidar, Sudirman, Edi Nurcahyono. 2005. Perbaikan Teknik Pemeliharaan Larva pada Produksi
Massal Benih Rajungan Portunus pelagicus. Kumpulan Makalah Pertemuan Lintas UPT Payau
dan Laut. Ditjenkanbud. Jakarta. Hlm 1-6
Hamka., Diah Silvia Kusumawati, Syamsul Kahri., dan Ibrahim. 2005. Penggunaan Pakan Udang
Komersil Pada Pendederan Benih Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus). Kumpulan
Makalah Pertemuan Lintas UPT Payau dan Laut. Ditjenkanbud. Jakarta Hlm 8-11
Pinandoyo. (1994): Pengaruh Salinitas dan Energi Pakan terhadap Pertumbuhan dan
Kelangsungan Hidup Pascalarva Udang Windu (Penaeus monodon Febricus). Tesis.
Pascasarjana. IPB.
Ruliaty, Lisa., Maskur Mardjono, Abidin Nur H dan Rudi Prastowo. 2005. Backyard Hatchery Rajungan
: Suatu Alternatif Usaha Budidaya. Media Budidaya Air Payau Volume 6. Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. Jawa Tengah. Hlm 43-50
Wickins, J.F., J.C. Roberts., dan M.S. Heasman. (1996): Within Burrow Behaviour of Juvenile Europe
Lobster (Hammarus ammarus, Linnaeus). Marine FreshWater Behaviour Physiology, 28, 229-
253.