Dokumen tersebut membahas tentang pengaruh perendaman ekstrak jeruk nipis terhadap profil protein pada ikan tongkol. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi profil protein pada ikan tongkol sebelum dan sesudah direndam dengan ekstrak jeruk nipis dengan konsentrasi dan waktu perendaman yang berbeda untuk mengetahui pengaruhnya. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang hanya fokus pada menghilangkan b
Nutritional genomics untuk efisiensi pakan2Ibnu Sahidhir
1. Dokumen tersebut membahas tentang nutritional genomics pada ikan, yang merupakan relasi timbal balik antara nutrisi dan genetik. Nutrisi berpengaruh pada ekspresi gen dan kesehatan ikan, sementara genetik mempengaruhi cara ikan merespons nutrisi.
2. Dokumen ini menjelaskan berbagai contoh aplikasi nutritional genomics seperti pemrograman nutrisi, pakan mikrobial yang mengandung probiotik, dan pakan herbal yang
Kebutuhan protein pada ikan herbivora , formulasi pakan, dan peranan protein ...Ari Panggih Nugroho
Ikan herbivora merupakan ikan yang memakan tumbuh-tumbuhan. Ikan hebivora pertumbuhannya cenderung lambat jika di bandingkan jenis ikan omnivora dan karnivora. Kebutuhan protein bagi ikan herbivora tentunya berbeda dengan jenis ikan omnivora dan karnivora.
Dokumen tersebut membahas tentang berbagai metode analisis kimiawi untuk menentukan kualitas bahan makanan ternak, termasuk analisis proksimat, analisis Van Soest, dan analisis energi. Dokumen juga membahas berbagai sumber bahan makanan ternak nabati dan hewani serta istilah-istilah yang sering digunakan dalam ilmu makanan ternak.
Dokumen tersebut membahas tentang pengaruh perendaman ekstrak jeruk nipis terhadap profil protein pada ikan tongkol. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi profil protein pada ikan tongkol sebelum dan sesudah direndam dengan ekstrak jeruk nipis dengan konsentrasi dan waktu perendaman yang berbeda untuk mengetahui pengaruhnya. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang hanya fokus pada menghilangkan b
Nutritional genomics untuk efisiensi pakan2Ibnu Sahidhir
1. Dokumen tersebut membahas tentang nutritional genomics pada ikan, yang merupakan relasi timbal balik antara nutrisi dan genetik. Nutrisi berpengaruh pada ekspresi gen dan kesehatan ikan, sementara genetik mempengaruhi cara ikan merespons nutrisi.
2. Dokumen ini menjelaskan berbagai contoh aplikasi nutritional genomics seperti pemrograman nutrisi, pakan mikrobial yang mengandung probiotik, dan pakan herbal yang
Kebutuhan protein pada ikan herbivora , formulasi pakan, dan peranan protein ...Ari Panggih Nugroho
Ikan herbivora merupakan ikan yang memakan tumbuh-tumbuhan. Ikan hebivora pertumbuhannya cenderung lambat jika di bandingkan jenis ikan omnivora dan karnivora. Kebutuhan protein bagi ikan herbivora tentunya berbeda dengan jenis ikan omnivora dan karnivora.
Dokumen tersebut membahas tentang berbagai metode analisis kimiawi untuk menentukan kualitas bahan makanan ternak, termasuk analisis proksimat, analisis Van Soest, dan analisis energi. Dokumen juga membahas berbagai sumber bahan makanan ternak nabati dan hewani serta istilah-istilah yang sering digunakan dalam ilmu makanan ternak.
Formulasi pakan merupakan proses penting dalam budidaya perikanan dan perlu mempertimbangkan berbagai faktor seperti kebutuhan nutrisi spesifik ikan, ketersediaan bahan baku, dan harga pakan. Teknik formulasi tradisional, perangkat lunak, dan database dapat digunakan untuk menghasilkan pakan yang sesuai target nutrisi dan ekonomis. Pakan fungsional dapat meningkatkan pertumbuhan dan kekebalan ikan melalui
Dokumen ini membahas tentang ransum alternatif untuk itik petelur berbasis bahan lokal. Bahan-bahan seperti dedak padi, bekicot, keong emas, cangkang udang, dan ikan rucah dapat digunakan sebagai sumber protein dan energi. Dokumen ini juga menjelaskan kandungan nutrisi penting untuk itik petelur dan cara pemberian bahan pakan lokal secara aman dan bergizi.
Biokimia akuakultur I: Nutrisi dan PakanIbnu Sahidhir
Dokumen tersebut membahas tentang biokimia dan nutrisi dalam akuakultur. Secara ringkas, dokumen tersebut menjelaskan pentingnya pemahaman biokimia dalam mendesain nutrisi dan formulasi pakan ikan yang sesuai dengan kebutuhan metabolisme ikan untuk mendukung pertumbuhan dan produktivitasnya.
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang 5 bahan pakan lokal yang dapat digunakan untuk ikan, yaitu bungkil kacang tanah untuk ikan nila, keong mas untuk ikan gabus, azolla untuk ikan lele, tepung daun singkong, dan maggot black soldier fly untuk ikan koi.
Metode pearsons square digunakan untuk menyusun formulasi pakan ikan dengan membagi bahan baku menjadi protein basal dan protein suplemen. Kadar protein dari masing-masing bahan dihitung rata-ratanya, kemudian diinput ke dalam segi empat pearsons untuk menghasilkan komposisi bahan baku yang akan membentuk pakan ikan dengan kadar protein yang diinginkan.
Tepung Kapparazii yang dihasilkan dari rumput laut Kappaphycus alvarezii memiliki kandungan nutrisi tinggi seperti protein, lemak, serat, vitamin, dan mineral. Tepung ini memiliki sifat fisika kimia yang mendukung penggunaannya sebagai bahan tambahan makanan. Penelitian menunjukkan bahwa tepung Kapparazii aman untuk konsumsi manusia.
Dokumen tersebut membahas tentang pemanfaatan ekstrak kulit udang (chitosan) sebagai pengawet dan peningkat kadar protein pada tahu. Program kreativitas mahasiswa ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan chitosan kulit udang terhadap kualitas dan kadar protein tahu serta mekanisme chitosan sebagai bahan pengawet alami.
Modul ini membahas tentang pakan ternak unggas pedaging, mulai dari bahan baku pakan, spesifikasi bahan baku, persyaratan mutu pakan, kebutuhan nutrisi berdasarkan periode produksi, formulasi pakan, proses pembuatan, bentuk, pengemasan, dan transportasi pakan. Bahan baku pakan utama meliputi jagung, kedelai, bungkil kelapa, dan dedak padi. Modul ini bertujuan menjelaskan prinsip agribisnis
Ringkasan dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
Penelitian ini menguji penggunaan berbagai level Azolla microphylla dalam ransum ayam Arab petelur dan dampaknya terhadap retensi kalsium dan fosfor serta kualitas cangkang telur. Hasilnya menunjukkan bahwa pemberian Azolla microphylla 6% dapat meningkatkan retensi kalsium dan fosfor tanpa mempengaruhi massa mineral dalam cangkang telur.
Dokumen tersebut memberikan informasi mengenai formulasi dan metode pemberian pakan ikan. Terdapat beberapa jenis pakan ikan dan bahan baku yang dapat digunakan seperti tepung ikan, tepung kedelai, minyak ikan, serta metode yang dapat digunakan untuk menentukan komposisi pakan seperti coba-coba dan metode Pearson.
Penelitian ini menguji lima pakan yang mengandung kromium berbeda untuk ikan lele dumbo (Clarias sp.) selama 60 hari. Hasilnya menunjukkan bahwa kadar kromium 2,60 mg/kg pakan menghasilkan retensi protein dan lemak tertinggi serta laju pertumbuhan harian terbaik.
Dokumen ini membahas pengaruh lama penyimpanan terhadap kadar protein pada telur ayam kampung. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kadar protein telur ayam kampung dengan berbagai lama penyimpanan 5, 10, 15, dan 20 hari pada suhu 15°C dan mengetahui lama penyimpanan yang optimal. Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat bagi peneliti, masyarakat, dan tenaga kesehatan tentang pentingnya ef
Formulasi pakan merupakan proses penting dalam budidaya perikanan dan perlu mempertimbangkan berbagai faktor seperti kebutuhan nutrisi spesifik ikan, ketersediaan bahan baku, dan harga pakan. Teknik formulasi tradisional, perangkat lunak, dan database dapat digunakan untuk menghasilkan pakan yang sesuai target nutrisi dan ekonomis. Pakan fungsional dapat meningkatkan pertumbuhan dan kekebalan ikan melalui
Dokumen ini membahas tentang ransum alternatif untuk itik petelur berbasis bahan lokal. Bahan-bahan seperti dedak padi, bekicot, keong emas, cangkang udang, dan ikan rucah dapat digunakan sebagai sumber protein dan energi. Dokumen ini juga menjelaskan kandungan nutrisi penting untuk itik petelur dan cara pemberian bahan pakan lokal secara aman dan bergizi.
Biokimia akuakultur I: Nutrisi dan PakanIbnu Sahidhir
Dokumen tersebut membahas tentang biokimia dan nutrisi dalam akuakultur. Secara ringkas, dokumen tersebut menjelaskan pentingnya pemahaman biokimia dalam mendesain nutrisi dan formulasi pakan ikan yang sesuai dengan kebutuhan metabolisme ikan untuk mendukung pertumbuhan dan produktivitasnya.
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang 5 bahan pakan lokal yang dapat digunakan untuk ikan, yaitu bungkil kacang tanah untuk ikan nila, keong mas untuk ikan gabus, azolla untuk ikan lele, tepung daun singkong, dan maggot black soldier fly untuk ikan koi.
Metode pearsons square digunakan untuk menyusun formulasi pakan ikan dengan membagi bahan baku menjadi protein basal dan protein suplemen. Kadar protein dari masing-masing bahan dihitung rata-ratanya, kemudian diinput ke dalam segi empat pearsons untuk menghasilkan komposisi bahan baku yang akan membentuk pakan ikan dengan kadar protein yang diinginkan.
Tepung Kapparazii yang dihasilkan dari rumput laut Kappaphycus alvarezii memiliki kandungan nutrisi tinggi seperti protein, lemak, serat, vitamin, dan mineral. Tepung ini memiliki sifat fisika kimia yang mendukung penggunaannya sebagai bahan tambahan makanan. Penelitian menunjukkan bahwa tepung Kapparazii aman untuk konsumsi manusia.
Dokumen tersebut membahas tentang pemanfaatan ekstrak kulit udang (chitosan) sebagai pengawet dan peningkat kadar protein pada tahu. Program kreativitas mahasiswa ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan chitosan kulit udang terhadap kualitas dan kadar protein tahu serta mekanisme chitosan sebagai bahan pengawet alami.
Modul ini membahas tentang pakan ternak unggas pedaging, mulai dari bahan baku pakan, spesifikasi bahan baku, persyaratan mutu pakan, kebutuhan nutrisi berdasarkan periode produksi, formulasi pakan, proses pembuatan, bentuk, pengemasan, dan transportasi pakan. Bahan baku pakan utama meliputi jagung, kedelai, bungkil kelapa, dan dedak padi. Modul ini bertujuan menjelaskan prinsip agribisnis
Ringkasan dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
Penelitian ini menguji penggunaan berbagai level Azolla microphylla dalam ransum ayam Arab petelur dan dampaknya terhadap retensi kalsium dan fosfor serta kualitas cangkang telur. Hasilnya menunjukkan bahwa pemberian Azolla microphylla 6% dapat meningkatkan retensi kalsium dan fosfor tanpa mempengaruhi massa mineral dalam cangkang telur.
Dokumen tersebut memberikan informasi mengenai formulasi dan metode pemberian pakan ikan. Terdapat beberapa jenis pakan ikan dan bahan baku yang dapat digunakan seperti tepung ikan, tepung kedelai, minyak ikan, serta metode yang dapat digunakan untuk menentukan komposisi pakan seperti coba-coba dan metode Pearson.
Penelitian ini menguji lima pakan yang mengandung kromium berbeda untuk ikan lele dumbo (Clarias sp.) selama 60 hari. Hasilnya menunjukkan bahwa kadar kromium 2,60 mg/kg pakan menghasilkan retensi protein dan lemak tertinggi serta laju pertumbuhan harian terbaik.
Dokumen ini membahas pengaruh lama penyimpanan terhadap kadar protein pada telur ayam kampung. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kadar protein telur ayam kampung dengan berbagai lama penyimpanan 5, 10, 15, dan 20 hari pada suhu 15°C dan mengetahui lama penyimpanan yang optimal. Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat bagi peneliti, masyarakat, dan tenaga kesehatan tentang pentingnya ef
Basic theory pkm p fitra humala harahapFitra Harahap
Tiga proses utama dalam koagulasi protein susu yaitu hidrolisis enzimatik k-kasein, aglomerasi misel kasein, dan pembentukan ikatan silang gel melalui penjeratan lemak. Koagulasi protein susu dapat dilakukan secara enzimatik menggunakan enzim proteolitik atau secara asam dengan menurunkan pH. Enzim papain merupakan enzim proteolitik yang berasal dari getah buah papaya dan memiliki berbagai kegunaan
PENAMPILAN REPRODUKSI DAN KUALITAS LARVA RAJUNGAN DENGAN PEMBERIAN BIOMASS A...lisa ruliaty 631971
Dalam kajian ini, induk rajungan di beri pakan berupa campuran pakan segar (cumi-cumi, udang dan ikan rucah) sebagai kontrol dan pakan segar dengan penambahan 50% biomasa artemia tanpa diperkaya.
Eksperimen ini bertujuan untuk menguji efek suplementasi protein hidrolisis terhadap respons kekebalan tubuh dan pertumbuhan ikan kakap putih. Ikan diberi pakan dengan tiga perlakuan: kontrol, 2% protein hidrolisis, dan 3% protein hidrolisis. Hasilnya menunjukkan bahwa pemberian protein hidrolisis meningkatkan parameter kekebalan tubuh seperti neutrofil, leukosit, dan monosit, serta meningkatkan pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan resist
Dokumen ini membahas pengaruh penyuntikan hormon serotonin (5-HT) terhadap pematangan gonad dan pemijahan induk rajungan (Portunus pelagicus). Hormon 5-HT disuntikkan pada induk rajungan dengan dosis 50 μg/g berat tubuh. Hasilnya menunjukkan peningkatan persentase kematangan gonad, daya tetas telur, fototaksis, dan latency period larva dibandingkan perlakuan ablasi mata dan kontrol. Penyuntikan 5-HT juga mening
Tulisan ini membahas faktor-faktor yang mempengaruhi reproduksi dan pematangan gonad ikan baung, yaitu lingkungan, pakan, dan hormon. Faktor lingkungan seperti suhu dan pakan berpengaruh besar terhadap perkembangan gonad. Pemberian pakan berkualitas dan hormon seperti hCG dan LHRH dapat mempercepat proses reproduksi dan pematangan gonad ikan baung.
pecies identification for fishery purposes has been the subject of a major Food
and Agriculture Organization (FAO) program since the 1960s. Optimization of
the world-wide community efforts in generating and sharing taxonomically related
knowledge in a global network is a current challenge calling for an urgent solution.
Therefore, to develop an automated species identification system would be very
useful, because it would improve catch statistics through fast accurate species
identification.
Meristic and morphometric characters are powerful tools for measuring discreteness and relationships among fish species. For this reason, analysis of morphometric and meristic characters has been widely used by ichthyologists to
differentiate between different species and among different populations within a
species (Cadrin 2000; Wainwright 2007). However, despite automated species identification might be a good optio
Dokumen tersebut membahas tentang senyawa aktif yang dihasilkan oleh biota laut seperti ikan, teripang, spons, bulu babi, alga, dan rumput laut. Senyawa tersebut antara lain asam eicosapentaenoic (EPA) dan docosahexaenoic (DHA) yang bermanfaat untuk kesehatan jantung dan otak. Dokumen ini juga menjelaskan cara isolasi beberapa senyawa tersebut seperti menggunakan kromatografi dan metode
Jurnal ini membahas formula nugget ikan layang dengan penambahan daun kelor dan pengaruhnya terhadap kadar zink pada ibu hamil yang kekurangan gizi kronik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian nugget formula tersebut meningkatkan rata-rata kadar zink darah ibu sebesar 12,6 mg/L secara signifikan.
This document discusses a study on producing juvenile swimmer crabs at a main center for brackishwater aquaculture in Jepara, Indonesia. The study found that engineering production of baby swimmer crabs in controlled containers achieved good results, showing production in ponds is also possible. Using a modular system in ponds, the study was able to produce larger baby swimmer crabs continuously. However, further engineering is still needed to increase survival rates of juvenile crabs.
The document discusses swimmer crab aquaculture trials conducted from 2002-2006 and more recently in 2015 by the Main Center for Brackishwater Aquaculture (MCBA) in Jepara, Indonesia. The trials showed that swimmer crab culture in ponds is possible, with average harvests of 150-350 kg per pond. More recent trials in 2015 involved providing swimmer crab seed to farmer groups who cultured them using various polyculture systems in ponds and mangrove areas. Monitoring found that survival rates were generally low due to environmental factors like high temperatures and low salinity. Further research is needed to improve feed formulations and culture management practices to increase productivity and survival for swimmer crab aquaculture.
Makalah ini membahas metode scoring untuk seleksi benih udang yang berkualitas melalui pengamatan visual, daya tahan, dan laboratorium dengan memberikan skor pada setiap parameternya. Metode ini menilai populasi, bentuk, dan gerakan benih secara visual, daya tahan terhadap salinitas dan formalin, serta pemeriksaan mikroskopis dan virus di laboratorium. Hasilnya digunakan untuk menentukan kriteria benih yang baik, sedang, atau jele
BBPBAP Jepara melakukan program pemulihan ikan bandeng dengan:
1. Pembesaran calon induk bandeng dari berbagai daerah untuk meningkatkan kualitas benih
2. Meningkatkan produksi benih bandeng melalui perbaikan SOP mulai dari pematangan gonad induk, produksi nener berkualitas, dan observasi nener
Ovaprime dapat merangsang pemijahan dan produksi telur pada induk bandeng yang belum pernah bertelur sebelumnya. Larutan ovaprime dicampur dengan telur bebek, madu, vitamin E dan C lalu disemprotkan pada pakan ikan. Pemberian pakan yang diperkaya ovaprime mampu merangsang pemijahan pertama 15 hari kemudian dan menghasilkan lebih dari 500 ribu butir telur. Selama 3 minggu, induk bandeng memijah sebanyak 8 kali
This document summarizes a study on intensive milkfish (Chanos chanos Forskal) culture in concrete tanks. Two concrete tanks measuring 5 x 7 meters with a water depth of 2 meters were used. Milkfish were stocked at a density of 20 fish per square meter, totaling 1,400 fish per tank. The fish were fed pelleted feed at 2-3% of their body weight per day. Over the course of a 2 month culture period, survival rates exceeded 99% in both tanks. Average final length was 28.42 cm in one tank and 28.14 cm in the other. Average final weight was 178.6 g and 181.5 g respectively. The study demonstrated that intensive milkfish culture
Dokumen tersebut memberikan informasi mengenai kegiatan pembenihan ikan bandeng di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara pada tahun 2011-2012. Mencakup pengumpulan calon induk dan nener, pemeliharaan, dan pertumbuhan calin bandeng asal Aceh dan Gorontalo. Juga dilaporkan fasilitas yang dimiliki untuk kegiatan pembenihan.
Kajian menunjukkan bahwa pemberian artemia dewasa kepada ikan hias clownfish dapat meningkatkan frekuensi pemijahan menjadi 4 kali per bulan dibandingkan dengan pemberian udang dan cacing yang hanya 2-3 kali per bulan. Jumlah larva yang dihasilkan juga lebih banyak dan stabil, berkisar antara 508-697 ekor per kali pemijahan.
Produksi Udang Sayur Untuk Memberdayakan Backyard Hatcherylisa ruliaty 631971
Dokumen ini membahas upaya memproduksi udang putih (Litopenaeus vannamei) sebagai udang konsumsi (udang sayur) di bak-bak bekas pembenihan udang (backyard hatchery) untuk memberdayakan bak-bak tersebut. Udang dipelihara dari umur PL8-PL10 selama 2-2,5 bulan dengan kepadatan awal berbeda antara 5.000-30.000 ekor/bak. Hasilnya, kepadatan awal 5.000 dan 10.000 ekor/bak menghas
PERBANDINGAN MUTU INDUK RAJUNGAN MATANG TELUR ALAM DENGAN INDUK ABLASI ASAL...lisa ruliaty 631971
Ringkasan dokumen tersebut adalah: (1) penelitian dilakukan untuk mengetahui mutu induk rajungan matang telur alam, ablasi alam, dan tambak; (2) hasilnya menunjukkan induk alam memberikan kualitas telur dan larva yang lebih baik dibandingkan induk ablasi atau tambak; (3) rasio asam lemak DHA/EPA pada telur dan larva induk alam lebih rendah namun menyebabkan sintasan larva lebih ting
BACKYARD HATCHERY RAJUNGAN; SUATU ALTERNATIF USAHA BUDIDAYAlisa ruliaty 631971
Konsep pembenihan rajungan skala rumah tangga (backyard hatchery rajungan) merupakan penerapan teknik dengan mengadopsi serta menyederhanakan beberapa teknik pemeliharaan yang telah dilakukan di unit pembenihan rajungan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara.. Aplikasi teknis di lapangan meliputi (1) Pemanfaatan bak-bak HSRT udang windu yang tidak operasional. (2) Air laut sebagai media pemeliharaan (3) Larva awal atau Zoea di dapatkan dari induk bertelur Tk.III dari alam (4) Kepadatan larva awal 50-100 ekor/liter (5) Pakan : (a) Inokulant chlorella dan rotifera, kepadatan chlorella dipertahankan pada kepadatan 50.000 – 500.000 sel/ml, untuk awal pemeliharaan diperlukan 2 kantong inokulant chlorella sedangkan kepadatan rotifera 5 – 15 ekor/ml diberikan hingga hari ke-7. (b) Nauplius artemia diberikan pada hari ke-dua dengan kepadatan 5-20 ekor /larva/hari dan diberikan 2 kali (pagi dan sore hari) setelah penebaran larva Zoea hingga stadia crab 1 (hari 13 atau 14) (c) Pakan buatan komersial ukuran 100 – 400 mikron diberikan dengan dosis 0,4 - 1 ppm dan frekuensi 4x sehari hingga panen. (d) Udang kupas diblender diberikan sejak crab 1 (hari 13 atau 14) hingga panen (crab 5 pada hari ke-16) sebanyak 10 – 30 gram per 5.000 ekor crab setiap harinya. (6) Penggantian air dilakukan 3 hari sekali sebesar 20%, dan suhu media pemeliharaan di pertahankan minimal 30 oC dengan cara menutup bak dengan terpal (7) Monitoring kesehatan dilakukan secara visual, yaitu dengan mengamati respon larva terhadap cahaya serta persentase larva yang tertarik terhadap cahaya matahari. (8) Pemasangan shelter berupa waring hitam (ukuran 0,5 x 1 m sebanyak 10 buah/bak) untuk memperbesar luas permukaan pada umur pemeliharaan 7 – 8 hari (Sub stadia Zoea 4). Selama 16 hari pemeliharaan diperoleh benih rajungan stadia C-6 dengan SR 8%.
Hasil analisa biaya pada pembenihan rajungan skala rumah tangga dengan mengoperasikan satu unit bak pemeliharaan larva volume 8 m3 selama 16 hari pemeliharaan memberikan keuntungan yang cukup lumayan sebagai hasil sampingan keluarga.
Kajian perekayasaan untuk menghasilkan teknologi produksi baby crab rajungan di hapa dan bak terkendali telah dilakukan. Pada kajian ini, pemeliharaan benih Crab 5 hingga menghasilkan ukuran berat 1,5 – 1,8 gram (ukuran baby crab) dilakukan dengan 2 perlakuan kepadatan yaitu 250 ekor/m2 dan 500 ekor/m2. Pemeliharaan baby crab di bak dengan memberi substrat pasir setebal ± 5 cm dan shelter berupa tali rafia yang dibuat menyerupai rumput laut (artificial sea weed), sedangkan pemeliharaan di hapa dengan pemberian shelter artificial sea weed. Pemberian pakan ikan rucah sebesar 200 – 300 gram/1000 ekor crab/hari (> 200% berat biomass). Dari kajian didapatkan, hingga umur pemeliharaan 14 hari (C-19) belum didapatkan berat baby crab yang diharapkan (< 0,5 gr) sehingga pemeliharaan ditambah menjadi 24 hari (C-29). Hingga umur pemeliharaan 14 hari (C-19) tidak ada perbedaan kelulushidupan pada pemeliharaan di hapa maupun di bak dengan kepadatan 250 ekor/m2 atau pun kepadatan 500 ekor/m2. Terdapat perbedaan sangat nyata (P<0,01) pada umur pemeliharaan hingga 24 hari (C-29) terhadap nilai kelulushidupan pemeliharaan baby crab di bak dan di hapa baik dengan kepadatan 250 ekor/m2 maupun dengan kepadatan 500 ekor/m2. Nilai kelulushidupan yang lebih baik dihasilkan pada pemeliharaan di bak sebesar 30,3% pada kepadatan 250 ekor/m2 dan 26,8% pada kepadatan 500 ekor/m2. Dari hasil analisa proximat, baby crab yang dipelihara pada hapa mengandung protein yang lebih tinggi sebesar 27,5% dibandingkan baby crab yang dipelihara di bak sebesar 20,5%. Sedangkan dari tes organoleptik yang dilakukan, tidak ada perbedaan antara baby crab yang dipelihara di hapa maupun di bak terhadap rasa, warna, aroma maupun tekstur. Biaya produksi baby crab di bak dengan kepadatan 250 ekor/m2 sebesar Rp. 135.000/kg merupakan yang termurah dibandingkan yang lainnya.
PRODUKSI BABY CRAB RAJUNGAN DI HAPA DAN BAK TERKENDALI
Pengaruh penambahan asam lemak pada pakan terhadap rasio dha
1. PENGARUH PENAMBAHAN ASAM LEMAK PADA PAKAN TERHADAP RASIO
EPA/DHA TELUR IKAN BANDENG.
Oleh:
Lisa Ruliaty, M.Rizal dan Agus Basyar
ABSTRAK
Kegiatan pengujian pengaruh penambahan asam lemak pada pakan terhadap rasio EPA/DHA
telur ikan bandeng telah dilakukan di BBPBAP Jepara. Pengujian ini dilakukan dengan mengambil nilai
rasio EPA/DHA pada telur bandeng yang telah di perkaya dan larvanya. Pendekatan nilai rasio
EPA/DHA tersebut dilakukan dengan memperkaya pakan pellet induk bandeng. Di harapkan dengan
pendekatan ini dapat meningkatkan mutu induk bandeng yang terlihat dari keragaan pemijahan dan
kualitas nener yang di hasilkan.
Pengkayaan pellet induk (perlakuan B) dengan bahan telur bebek, madu, vitamin C dan vitamin
E meningkatkan nilai EPA maupun DHA pada pellet bandeng secara signifikan. Kandungan EPA dan
DHA pada telur bandeng pada perlakuan B meningkat 2 kali lipatnya bila dibandingkan dengan telur
bandeng pada perlakuan A. Pengkayaan pellet induk bandeng dengan bahan tinggi asam lemak tidak
memberikan pengaruh terhadap jumlah telur yang di hasilkan maupun pada nilai produktifitas induk
bandeng yang di ujikan. Namun terjadi peningkatan terhadap kualitas telur yang di hasilkan yang di
tandai dengan meningkatnya nilai derajat pembuahan serta hatching rate telur bandeng.
Kata Kunci : rasio epa/dha, fekunditas, ikan bandeng.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Upaya untuk meningkatkan mutu induk tidak terlepas dari faktor nutrisi dari calon induk
dimana telah dibuktikan bahwa nutrisi bagi calon induk berperan dalam meningkatkan laju
kematangan gonad, frekuensi pemijahan, fekunditas, daya tetas telur, tingkat kelangsungan hidup
dan kualitas larva yang dihasilkan (Harrison dalam Djunaidah, 2001). Asam lemak tak jenuh
rantai panjang (HUFA) biasanya sangat dibutuhkan oleh ikan, karena tidak dapat disintesa
sendiri didalam tubuh ikan sehingga harus dipasok dari luar melalui pakan. Asam lemak tersebut
antara lain asam linoleat, asam linilenat, asam arachidonat, asam eicosapenataenoat (EPA) dan
2. asam docosahaexanoat (DHA). Asam lemak esensial juga sangat dibutuhkan oleh ikan karena
kemampuannya yang terbatas dalam melakukan biosintesis PUFA sehingga PUFA tersebut
harus terdapat dalam pakannya (Sunyoto, 1996). Kanazawa et al dalam Furuita et al (1996),
mengatakan bahwa EPA lebih superior pengaruhnya dibandingkan dengan DHA. DHA
berfungsi untuk memperbaiki pertumbuhan sedangkan EPA efektif untuk kelangsungan hidup.
Pakan pertama-tama akan dimanfaatkan oleh organisme untuk mempertahankan kelangsungan
hidup, apabila ada kelebihan baru dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Kekurangan EPA dapat
mengurangi kemampuan penglihatan dan terjadinya pigmentasi abnormal. EPA sangat berguna
untuk mengembangkan otak dan retina larva ikan, karena ikan tergantung pada mata dan otak
untuk mengidentifikasi sesuatu, untuk berburu dan untuk memangsa pakan hidup.
Kandungan EPA dan DHA pada telur maupun larva ikan bandeng lebih tinggi bila di
bandingkan pada ikan bandeng dewasa. Pada bandeng laut dewasa kandungan EPA dan DHA
sebesar 1.76 dan 1.39 (g/100 g edible portion), dan pada bandeng dewasa tambak, yaitu masing-
masing 1.44 EPA dan 0.44 DHA (Rachmansyah dkk, 2002 dalam Rachmansyah, 2004).
Asam lemak tidak hanya berperan untuk larva ikan, tetapi juga sangat penting bagi
reproduksi (Izquierdo, 2005). Nutrisi mempunyai dampak yang nyata terhadap perkembangan
ovari, jumlah telur dan perkembangan larva (Mazorra et al.2003), namun nutrisi untuk induk
masih memerlukan studi yang mendalam (Izquierdo et al., 2001). Lipida yang dimaksud di atas
terutama golongan PUFA seperti eicosapentaenoic acid (20:5 n-3; EPA) dan docosahexaenoic
acid (22:6 n-3; DHA) telah terbukti berhubungan erat dengan keberhasilan reproduksi ikan
(Watanabe & Vassallo-Agius, 2003; Li et al., 2005). Beberapa studi menunjukkan kebutuhan
lipida justru tertinggi saat vitellogenesis (pembentukan kuning telur). Kebutuhan akan EPA
dimulai pada periode previtellogenesis sampai kepada proses ovulasi. Dengan demikian EPA dan
DHA penting sekali ditambahkan sebagai zat tambahan dalam pakan induk untuk pertumbuhan
dan perkembangan larva yang normal. Penambahan asam lemak esensial dalam pakan induk
dapat dilakukan melalui pemberian pakan hidup yang telah dikayakan ataupun pakan komersial
yang sudah ditentukan formulanya (Sargent et al. 2002; Lane & Kohler, 2006). Kombinasi yang
tepat antara DHA dan AA ditemukan juga dapat mempercepat tingkat pemijahan serta laju
penetasan; juga meningkatkan ketahanan hidup larva (Furuita et al., 2003; Place & Harel, 2006;
Sawanboonchun, 2009).
3. Ikan air tawar tidak membutuhkan asam lemak tidak jenuh (HUFA) rantai panjang, tetapi
asam lemak jenis C18 n-3 yaitu asam linolenat (18:3-n-3) dengan konsentrasi berkisar antara 0,5
– 1,5 % dalam pakan (Craig & Helfrich, 2002). Asam lemak ini tidak dapat diproduksi dalam
tubuh dan harus diperoleh dari pakan, kemudian dengan bantuan enzim diubah menjadi rantai
hidrokarbon yang panjang. Pembentukan ikatan ganda membentuk HUFA, EPA dan DHA
sangat penting untuk fungsi metabolik dan komponen dalam membran sel (Craig & Helfrich,
2002; Lall et al., 2002). Ikan laut tidak memiliki sistim enzim seperti yang ada pada ikan air
tawar, sehingga ikan laut sangat membutuhkan HUFA rantai panjang n-3 dan n-6 dari pakan
untuk pertumbuhan yang optimum (Ibeas et al., 2000; Yildiz, 2008). Asam lemak esensial yang
sangat dibutuhkan ini adalah asam eikosapenta-noat (EPA) (20:4n–6) dan asam dokosa-
heksaenoat (DHA) (22:6n–3) juga asam arakidonat (AA) (20:4n–6) (Higgs & Dong, 2000;
Seiffert et al., 2001; Tocher, 2003)
Biasanya asam lemak tidak jenuh ini disintesis dari asam lemak C-18. EPA dan DHA
dibutuhkan untuk fungsi membran sel, sedangkan DHA sangat penting untuk membran sel dari
jaringan saraf dan sebagai prekursor untuk pembentukan eikosanoat yaitu beberapa macam
hormon (Tocher, 2003). Kekurangan asam lemak esensial akan menyebabkan gangguan pada
kesehatan ikan termasuk di dalamnya berkurangnya fekunditas dan kemampuan membentuk
embrio, kematian larva dan pertumbuhan abnormal, pigmentasi yang salah, penglihatan yang
cacat, ketidak-mampuan untuk makan pada intensitas ca-haya yang rendah, tingkah laku yang
ab-normal dan menurunnya fungsi membran pada suhu yang rendah (Tocher, 2003). Kebutuhan
asam lemak esensial bagi spesis ikan laut berkisar antara 0,5-2% dari berat pakan kering (NRC,
1993). Kebutuh-an ini juga sangat tergantung pada kemam-puan ikan secara alami dalam
menguraikan asam lemak esensial baik secara anabolis maupun katabolis (Sargent et al., 2002).
Produksi larva yang masih berukuran sangat kecil dengan masa pertumbuhan yang cepat
serta stadia hidup yang masih rentan merupakan masalah dalam akuakultur secara komersil pada
kebanyakan spesis ikan laut. Isu utama dalam pengembangan akuakultur berkelanjutan adalah
menghasilkan telur-telur yang berkualitas baik dan penyediaan pakan larvanya (Sargent et al.,
2002; Brown et al., 2003). Pada pemeliharaan larva setelah masa penyerapan kuning telur
selesai, pemberian pakan hidup dengan nutrisi yang tepat sangat perlu bagi pertumbuhan larva.
Larva membutuhkan HUFA rantai panjang (C ≥ 20 dengan ikatan ganda ≥ 3) (Izquierdo et al.,
4. 2000). Kebutuhan HUFA untuk ukuran juvenil berkisar antara 0,5 – 1,0 % berat kering pakan;
namun kebutuhan pada larva stadia awal lebih. tinggi lagi yaitu > 4% (Leger et al, 1986). Larva
membutuhkannya karena pertumbuhan yang cepat serta untuk pembentukkan awal dari sel dan
jaringan. Meningkatnya kandungan PUFA, khususnya DHA (docosahexaenoic) dan AA
(arachidonic acid) juga ditemukan pada ikan guppy (Poecilia reticulata) dan bandeng (Chanos
chanos) saat salinitas meningkat, menunjukkan pentingnya peran asam lemak tersebut di atas
terhadap pengaturan osmoregulasi serta ketahanan terhadap stres (Lall, 2000; Balfry & Higgs,
2001; Place & Harel, 2006). Larva ikan saat makan sangat membutuhkan visual yang optimal.
Dengan demikian perkembangan penglihatan pada ikan-ikan sangat penting. Seperti halnya pada
gilthead seabream dan red porgy (Roo et al., 1999), perkembangan struktur penglihatan terjadi
pada stadia embrio; alat penerima cahaya sangat penting untuk melihat dengan tepat meskipun
pada intensitas cahaya yang rendah (pada gilthead seabream organ mata terbentuk 18 hari setelah
menetas). Asam lemak esensial terutama DHA berperan sangat penting dalam pembentukkan
jaringan retina dan saraf. Studi menunjukkan kandungan DHA dan EPA yang tinggi pada
gilthead seabream dapat meningkatkan diameter bola mata gilthead seabream, meningkatnya
jumlah fotoreseptor, sehingga memperbaiki ketepatan penglihatan (Izquierdo et al., 2000).
1.2. Tujuan
Meningkatkan rasio EPA/DHA pada telur bandeng dengan penambahan asam lemak
sehingga dapat meningkatkan fekunditas induk ikan bandeng (Chanos chanos).
II. METODA
2.1. Bahan dan Alat
Bahan yang diperlukan pada pengujian ini antara lain : induk ikan bandeng, bahan
pengkaya, pellet induk ikan bandeng dengan kandungan protein >40%, telur ikan bandeng, larva
ikan bandeng dan air laut. Sedangkan untuk peralatan yang diperlukan antara lain: bak induk
ikan bandeng, sarana aerasi, pompa dan pressure sand filter, mesin blender, ember, gayung dan
plastik.
5. 2.2. Metode
Kegiatan ini dilakukan dengan mengambil nilai rasio EPA/DHA pada telur bandeng yang
telah di perkaya. Pendekatan nilai rasio EPA/DHA tersebut dilakukan dengan memperkaya
pakan pellet induk bandeng. Di harapkan dengan pendekatan ini dapat meningkatkan mutu induk
bandeng yang terlihat dari keragaan pemijahan dan kualitas nener yang di hasilkan.
Induk di pelihara pada bak beton dengan kedalaman ± 2 m dan di lengkapi dengan aerasi
kuat sampai dasar bak serta di tutup dengan jarring. Pergantian air minimal 200 % setiap hari
dan sisa makanan disiphon setiap minggu. Pemberian pakan diberikan 2~3 % dari bobot biomas
per hari diberikan 2 kali per hari yaitu pagi dan sore hari. Pakan yang diberikan telah di perkaya
dengan bahan pengkaya dengan cara mencampurkannya pada pakan. Bahan pengkaya pellet
berupa campuran 10 butir telur bebek, 100 ml madu, 6 g vitamin C dan 3 g vitamin E yang di
blender menjadi satu hingga menjadi emulsi. Bahan tersebut kemudian di campurkan untuk 10
kg pellet menggunakan alat semprot sehingga merata ke permukaan pellet.
Kepadatan induk tidak lebih dari satu induk per 2-4 m3
air. Pemijahan umumnya pada
malam hari. Induk jantan mengeluarkan sperma dan induk betina mengeluarkan telur sehingga
fertilisasi terjadi secara eksternal. Induk Bandeng memijah pada malam hari. Telurnya bersifat
melayang dan akan terkumpul di egg colector yang telah diberi saringan ukuran 500 µm.
Pemanenan telur dilakukan pada pagi hari sebelum sinar matahari panas atau sebelum pukul 7
pagi. Selanjutnya telur diseleksi, telur yang baik akan mengapung dan yang jelek akan
mengendap. Telur hasil seleksi lalu di tebar di bak larva yang sudah dipersiapkan. Untuk
penebaran telur pada bak ukuran 10 m3
dengan ketinggian air 75 cm sebanyak 100.000 – 150.000
butir telur. Setelah 18 – 21 jam telur akan menetas.
Pengamatan
Dilakukan pengamatan terhadap rasio EPA/DHA pada telur bandeng yang tidak di
perkaya pakannya, rasio EPA/DHA terhadap terlur bandeng yang diperkaya pakan, dan keragaan
pemijahan.
6. III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Analisa asam lemak
Pengkayaan pellet induk (perlakuan B) dengan bahan telur bebek, madu, vitamin C dan
vitamin E meningkatkan nilai EPA maupun DHA pada pellet bandeng secara signifikan. Selain
itu, dengan pengkayaan selain EPA dan DHA juga terdeteksi 4 jenis asam lemak lain pada pellet
yang di perkaya tersebut (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil analisa asam lemak pada pellet induk ikan bandeng
No. Perlakuan Asam Lemak (mg/100 g b/b) Keterangan
EPA DHA
1. Tanpa pengkayaan
(Perlakuan A)
0 0 Tidak terdeteksi
asam lemak lain
2. Diperkaya madu + telur
bebek + vit C + vit E
(Perlakuan B)
63,86 170,32 Terdeteksi 4 jenis
asam lemak lain
Telur bandeng pada perlakuan A sudah memiliki kandungan EPA dan DHA, berdasarkan
hasil analisa di dapatkan nilai EPA sebesar 8,4197 mg/100 g b/b dan DHA sebesar 16,2679
mg/100 g b/b. Kandungan EPA dan DHA pada telur bandeng pada perlakuan B meningkat 2
kali lipatnya bila dibandingkan dengan telur bandeng pada perlakuan A. Nilai EPA pada
perlakuan B sebesar 28,6600 mg/100 g b/b dan nilai DHA sebesar 26,0420 mg/100 g b/b.
Peningkatan kandungan EPA dan DHA pada perlakuan B memberikan pengaruh terhadap rasio
EPA/DHA. Dimana rasio EPA/DHA pada perlakuan B memberikan nilai sebesar 1,1005
sedangkan pada perlakuan A hanya sebesar 0,5176 (Tabel 2 dan Grafik 1).
Tabel 2. Hasil analisa asam lemak pada telur ikan bandeng dan rasio EPA/DHA
NO Perlakuan Asam Lemak (mg/100 g b/b) Rasio
EPA/DHA
EPA DHA
7. 1. Telur Perlakuan A 8,4197 16,2679 0,5176
2. Telur Perlakuan B 28,660 26,042 1,1005
Grafik 1. Rasio EPA/DHA pada telur bandeng
Kandungan EPA dan DHA pada telur maupun larva ikan bandeng lebih tinggi bila di
bandingkan pada ikan bandeng dewasa. Pada bandeng laut dewasa kandungan EPA dan DHA
sebesar 1.76 dan 1.39 (g/100 g edible portion), dan pada bandeng dewasa tambak, yaitu masing-
masing 1.44 EPA dan 0.44 DHA (Rachmansyah dkk, 2002 dalam Rachmansyah, 2004). Upaya
untuk meningkatkan mutu induk tidak terlepas dari faktor nutrisi dari calon induk dimana telah
dibuktikan bahwa nutrisi bagi calon induk berperan dalam meningkatkan laju kematangan gonad,
frekuensi pemijahan, fekunditas, daya tetas telur, tingkat kelangsungan hidup dan kualitas larva
yang dihasilkan (Harrison dalam Djunaidah, 2001). Asam lemak tak jenuh rantai panjang
(HUFA) biasanya sangat dibutuhkan oleh ikan, karena tidak dapat disintesa sendiri didalam
tubuh ikan sehingga harus dipasok dari luar melalui pakan. Asam lemak tersebut antara lain
asam linoleat, asam linilenat, asam arachidonat, asam eicosapenataenoat (EPA) dan asam
docosahaexanoat (DHA). Asam lemak esensial juga sangat dibutuhkan oleh ikan karena
kemampuannya yang terbatas dalam melakukan biosintesis PUFA sehingga PUFA tersebut
8. harus terdapat dalam pakannya (Sunyoto, 1996). Kanazawa et al dalam Furuita et al (1996),
mengatakan bahwa EPA lebih superior pengaruhnya dibandingkan dengan DHA. DHA
berfungsi untuk memperbaiki pertumbuhan sedangkan EPA efektif untuk kelangsungan hidup.
Pakan pertama-tama akan dimanfaatkan oleh organisme untuk mempertahankan kelangsungan
hidup, apabila ada kelebihan baru dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Kekurangan EPA dapat
mengurangi kemampuan penglihatan dan terjadinya pigmentasi abnormal. EPA sangat berguna
untuk mengembangkan otak dan retina larva ikan, karena ikan tergantung pada mata dan otak
untuk mengidentifikasi sesuatu, untuk berburu dan untuk memangsa pakan hidup.
2. Keragaan pemijahan
Pengkayaan pellet induk bandeng dengan bahan tinggi asam lemak tidak memberikan
pengaruh terhadap jumlah telur yang di hasilkan maupun pada nilai produktifitas induk bandeng
yang di ujikan. Namun terjadi peningkatan terhadap kualitas telur yang di hasilkan yang di
tandai dengan meningkatnya nilai derajat pembuahan serta hatching rate telur bandeng pada
perlakuan B dengan pengkayaan pellet induk bandeng dengan bahan tinggi asam lemak (Tabel 3
dan Grafik 3).
Tabel 3. Jumlah Telur (butir), Produktifitas (butir/hari) dan Derajat Pembuahan (%)
Perlakuan Jumlah telur Produktivitas Derajat Pembuahan
(butir) (butir/hari) (%)
Perlakuan A
Bulan 1 3.107.380 388.423 ± 109.248 75,0 ± 5,7
Bulan 2 926.288 463.144 ±21.208 69,8 ±2,2
Perlakuan B
Bulan 1 1.522.700 217.529 ± 35.756 97,2 ± 8,9
Bulan 2 1.262.613 252.523 ± 71.399 98,3 ± 4,1
9. Pengkayaan pellet induk bandeng dengan bahan tinggi asam lemak memberikan pengaruh
nyata terhadap derajat pembuahan pada telur bandeng. Nilai rerata Derajat pembuahan pada
perlakuan B sebesar 97,7 % ± 0,39 sedangkan pada perlakuan A sebesar 72,4 % ± 1,8 (Grafik
2).
Grafik 2. Derajat pembuahan (%) pada pengujian
Demikian juga terhadap hatching rate telur bandeng dengan pengkayaan pellet induk
memberikan pengaruh yang nyata. Nilai hatching Rate pada perlakuan A adalah sebesar 68,1 %
± 1, dan pada perlakuan B sebesar 84,9 % ± 2,5 (Grafik 3).
10. Grafik 3. Hatching Rate (%) telur bandeng pada pengujian
Asam lemak tidak hanya berperan untuk larva ikan, tetapi juga sangat penting bagi
reproduksi (Izquierdo, 2005). Nutrisi mempunyai dampak yang nyata terhadap perkembangan
ovari, jumlah telur dan perkembangan larva (Mazorra et al.2003), namun nutrisi untuk induk
masih memerlukan studi yang mendalam (Izquierdo et al., 2001). Lipida yang dimaksud di atas
terutama golongan PUFA seperti eicosapentaenoic acid (20:5 n-3; EPA) dan docosahexaenoic
acid (22:6 n-3; DHA) telah terbukti berhubungan erat dengan keberhasilan reproduksi ikan
(Watanabe & Vassallo-Agius, 2003; Li et al., 2005). Beberapa studi menunjukkan kebutuhan
lipida justru tertinggi saat vitellogenesis (pembentukan kuning telur). Kebutuhan akan EPA
dimulai pada periode previtellogenesis sampai kepada proses ovulasi. Dengan demikian EPA dan
DHA penting sekali ditambahkan sebagai zat tambahan dalam pakan induk untuk pertumbuhan
dan perkembangan larva yang normal. Penambahan asam lemak esensial dalam pakan induk
dapat dilakukan melalui pemberian pakan hidup yang telah dikayakan ataupun pakan komersial
yang sudah ditentukan formulanya (Sargent et al. 2002; Lane & Kohler, 2006). Kombinasi yang
tepat antara DHA dan AA ditemukan juga dapat mempercepat tingkat pemijahan serta laju
penetasan; juga meningkatkan ketahanan hidup larva (Furuita et al., 2003; Place & Harel, 2006;
Sawanboonchun, 2009).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Pengkayaan pellet induk (perlakuan B) dengan bahan telur bebek, madu, vitamin C dan
vitamin E meningkatkan nilai EPA maupun DHA pada pellet bandeng secara signifikan.
Kandungan EPA dan DHA pada telur bandeng pada perlakuan B meningkat 2 kali
lipatnya bila dibandingkan dengan telur bandeng pada perlakuan A.
Pengkayaan pellet induk bandeng dengan bahan tinggi asam lemak tidak memberikan
pengaruh terhadap jumlah telur yang di hasilkan maupun pada nilai produktifitas induk
bandeng yang di ujikan. Namun terjadi peningkatan terhadap kualitas telur yang di
11. hasilkan yang di tandai dengan meningkatnya nilai derajat pembuahan serta hatching rate
telur bandeng.
4.2. Saran
Pengkayaan pellet induk dengan bahan tinggi asam lemak harus terus dilakukan untuk
dapat meningkatkan kualitas dan mutu telur bandeng yang di hasilkan sehingga dapat
meningkatkan hasil produksi.
DAFTAR PUSTAKA
Budji, R.G. 2010. Skrining senyawa antibakteri dari Caulerpa racemosa dan Caulerpa
sartularioides asal perairan Pulau Lae-Lae Makassar. Skripsi Fakultas MIPA Jurusan
Biologi Universitas Hasanuddin. Makassar
Brown, J.A., Minkoff, G. & Puvanendran, V., 2003. Larviculture of Atlantic cod (Gadus
morhua): progress, protocols and problems. Aquaculture, 227, 357 – 372.
Craig, S. & Helfrich, L.A., 2002. Understanding Fish Nutrition, Feeds, and Feeding. Virginia
Polytechnic Institute and State University. 18 p.
Djunaidah,I.S dkk. 2001. Penampilan Reproduksi dan Kualitas Larva Kepiting Bakau Scylla
paramamosain Yang Diberi Pakan Biomasa Artemia. Makalah pada Seminar Akuakultur
Indonesia. Semarang. 30 – 31 Oktober 2001.
De Val, A.G., G. Platas, A. Basilio, A. Cabello, J. Gorrochategui, I. Suay, F. Vicente, E.
Portilllo, M.J. del Rio, G.G. Reina, F. Peláez. 2001. Screening of antimicrobial activities in
red, green and brown macroalgae from Gran Canaria (Canary Islands, Spain). Int.
Microbiol. 4: 35-40.
Furuita, H., Yamamoto, T., Shima, T., Suzuki, N., & Takeuchi, T., 2003. Effect of arachidonic
acid levels in broodstock diet on larval and egg quality of Japanese flounder Paralichthys
olivaceus. Aquaculture, 220, 725 – 735.
12. Furuita,H, Takeuchi,Watanabe,Fujimoto,H.Sehiya,s and Imazuki,K. 1996. Requirements of
Larva Yellowtail for Eicosapentaenoic Acid, Decosahexaenoic Acid and ω 3 Highly
Unsaturated Fatty Acid. Fisheries Science. Vol.63. pp 372 – 379.
Higgs, D.A. and Dong, F. M., 2000. Lipids and fatty acids. In: Encyclopedia of Aquaculture (ed.
R.R. Stickney), John Wiley and Sons, Inc., New York, 476 – 496.
Hutabarat, S. 2000. Produktivitas Perairan dan Plankton Telaah terhadap Ilmu Perikanan dan
kelautan. Badan Penerbit UNDIP, Semarang.
Ibeas, C., Rodriguez, C., Badia, P., Cejas, J.R., Santamaria, F.J., Lorenzo, A., 2000. Efficacy of
dietary methyl esters of n-3 HUFA vs. triacylglycerols of n-3 HUFA by gilthead seabream
(Sparus aurata L.) juveniles. Aquaculture, 190, 273 – 287.
Izquierdo, M. S., Fernandez-Palacios, H., and Tacon, A. G. J., 2001. Effect of aquaculture. Rev.
Fish. Sci., 16, 73 – 94.
Izquierdo, M., 2005. Essential fatty acid requirements in Mediterranean fish species. Cahiers
Options Mediterraneennes, 63, 91 – 102.
Kandhasamy, M. and K.D. Arunachalam. 2008. Evaluation of in vitro antibacterial property of
seaweeds of southeast coast of India. African Journal of Biotechnology 7(12): 1958-1961.
Lane, R.L. and Kohler, C.C., 2006. Comparative Fatty Acid Composition of Eggs from White
Bass Fed Live Food or Commercial Feed. North American Journal of Aquaculture, 69, 11
– 15.
Lall, S.P., Milley, J.E., Higgs, D.A., and Balfry, S.K., 2002. Dietary lipids, immune function and
pathogenesis of disease in fish. http://www-heb.pac.dfo-mpo.gc.ca/congress/2002
/Biochem/Lall.pdf. diambil tanggal 18 Maret 2014, Jam 11.10 wib.
Leger, P., Bengston, D.A., Simpson, K.L. and Sorgeloos, P., 1986. The use and nutritional value
of artemia as a food source. Oceanog. Mar. Biol.. Ann. Rev., 24, 521 – 624.
13. Li, Y.Y., Chen, W.Z., Sun, Z.W., Chen, J.H. and Wu, K.G., 2005. Effects of n-3 HUFA content
in broodstock diet on spawning performance and fatty acid composition of eggs and larvae
in Plectorhynchus cinctus. Aquaculture,
Lindequist, U. and T. Schweder. 2001. Marine biotechnology. In: Rehm, H.J., Reed, G. (Eds.),
Biotechnology, vol. 10. Wiley-VCH, Weinheim, pp. 441–484.
Mahasneh, I., M. Jamal, M. Kashashneh, M. Zibdeh. 1995. Antibiotic activity of marine algae
against multiantibiotic resistant bacteria. Microbios 83: 23–26.
Manilal, A., S. Sujith, J. Selvin, G.S. Kiran, C. Shakir, A.P. Lipton. 2010. Antimicrobial
potential of marine organisms collected from the southwest coast of India against
multiresistant human and shrimp patogens. Scientia Marina 74(2): 287-296.
Mayer, A.M.S. and M.T. Hamann. 2002. Marine pharmacology in 1999: compounds with
antibacterial, anticoagulant, antifungal, anthelmintic, anti-inflammatory, antiplatelet,
antiprotozoal and antiviral activities affecting the cardiovascular, endocrine, immune and
nervous systems, and other miscellaneous mechanism of action. Comp. Biochem. Physiol.,
Part C 132, 315–339.
Mazorra, C., Bruce M., Bell J. G., Davie A., Alorend E., Jordan, N., Rees J., Papanikos N.,
Porter M. and Bromage N., 2003. Dietary lipid enhancement of broodstock reproductive
performance and egg and larval quality in Atlantic halibut (Hippoglossus hippoglossus).
Aquaculture, 227, 21 – 33.
Mtolera, M.S.P.and A.K. Semesi. 1996. Antimicrobial activity of extraxts from six green algae
from Tanzania. Curr. Trends Mar. Bot. Res. East Afr.Reg. pp. 211-217.
Newman, D.J., G.M. Cragg, K.M. Snader. 2003. Natural products as source of new drugs over
the period 1981–2002. J. Nat. Prod. 66: 1022–1037
NRC (National Research Council), 1993. Nutrient Requirements of Fish. National Acad. Press,
Washington, DC. 114 p.
Place, A.R. and Harel, M., 2006. Use of arachidonic acid for enhanced culturing of fish larvae
and broodstock. University of Maryland Biotechnology Institute (Baltimore, MD, US).
14. Rachmansyah. 2004. Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Awarange Kabupaten
Barru Sulawesi Selatan bagi Pengembangan Budidaya Bandeng dalam Keramba Jaring
Apung [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor
Rao, P.S. and K.S. Parekh. 1981. Antibacterial activity of Indian seaweed extracts. Botanica
Marina 24: 577-582.
Roo, F., Socorro, J., Izquierdo, M.S., Caballero, M.J., Hernandez-Cruz, C.M., Fernandez, A. and
Fernandez-Palacios, H., 1999. Development of red porgy Pagrus pagrus visual system in
relation with changes in the digestive tract and aquaculture. Aquaculture Research, 31, 703
– 711.
Sachithananthan, K. and A. Sivapalan. 1975. Antibacterial properties of some marine algae of Sri
Lanka. Bulletin of Fisheries Research Station, Sri Lanka. 26: 5-9.
Saptasari, M. 2010. Variasi ciri morfologi dan potensi makroalga jenis Caulerpa di pantai
Kondang Merak Kabupaten Malang. Malang. Variasi Ciri Morfologi (19-22).
Sargent, J.R., Tocher, D.R., Bell, J.G., 2002. The lipids, In: Halver, J.E., Hardy, R.W. (Eds.),
Fish Nutrition, 3rd edition. Academic Press, San Diego, 181–257.
Sawanboonchun, J., 2009. Atlantic Cod (Gadus morhua L.) Broodstock Nutrition: The Role Of
Arachidonic Acid And Astaxanthin As Determinants Of Egg Quality. Institute of
Aquaculture, University of Stirling, Scotland. Doctoral Thesis, 212 p.
Serkedjieva, J. 2004. Antiviral activity of the red marine alga Ceramium rubrum. Phytotherapy
Research, 18(6): 480-483.
Seiffert, M.E.B., Cerqueira, V.R. and Madureira, L.A.S., 2001. Effect of dietary (n−3) highly
unsaturated fatty acids on growth and survival of fat snook (Centropomus parallelus,
Pisces: Centropomidae) larvae during first feeding. Brazilian Journal of Medical and
Biological Research, 34, 645 – 651.
Siddhanta, A.K, K.H. Mody, B.K. Ramavat, V.D. Chauhan, H.S. Garg, A.K. Goel, M. Jinandra
Doss, M.N. Srivastava, G.K. Patnaik, V.P. Kamboj. 1997. Bioactivity of marine
15. organisms: Part VIII-Screening of some marine flora of Western coast of India. Indian
Journal Experimental Biology 35: 638-643.
Sridhar, K.R. and N. Vidyavathi. 1991. Antimicrobial activity of seaweeds. Acta Hydrochim.
Hydrobiol. 5: 455-496.
Sunyoto, P, Waspada dan Mustahal. 1996. Peningkatan Gizi Nauplius Artemia Salina untuk
Larva Ikan Laut dengan Pengkayaan Menggunakan Emulsi Lemak Scott’s Emulsion.
Skripsi. Undip Semarang (tidak dipublikasikan). 67 hal.
Tuney, I., B.H. Cadirci, D. Unal, A. Sukatar. 2006. Antimicrobial activities of the extracts of
marine algae from the coast of Urla (zmir, Turkey). Turk. J. Biol. 30: 1-5
Tocher, D.R., 2003. Metabolism and functions of lipids and fatty acids in teleost fish. Rev. Fish
Sci., 11, 107 – 184.
Watanabe, T., and Vassallo-Agius, R., 2003. Broodstock nutrition research on marine finfish in
Japan. Aquaculture, 227, 35 – 61.
Yildiz, M., 2008. Fatty Acid Composition of Some Commercial Marine Fish Feeds Available in
Turkey. Turk. J. Vet. Anim. Sci, 32, 3, 151 – 158.
Zainuddin, E.N. 2010. Antibacterial potential of marine algae collected from South
Sulawesi coast against human patogens. Proceedings of International Conference and Talkshow
on Medicinal Plants. BPPT, Jakarta, Indonesia. ISBN 978-602-95911-1-8.