2. LATAR BELAKANG
• Tindak kejahatan korporasi tidak dapat terlepas dari aspek hukum perdata. Jika
ditinjau dari segi KUH-Perdata, korporasi merupakan subjek hukum.
• Hal ini dikarenakan korporasi sebagai subjek hukum juga memiliki hak dan dapat
melakukan perbuatan hukum. Perkembangan yang terjadi saat ini menjadikan
korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dapat melakukan suatu tindakan
pidana dan dipertanggungjawabkan pula dalam hukum pidana. Pembangunan
hukum dalam menegakkan keadilan dan ketertiban Negara Indonesia diarahkan
untuk meningkatkan kesadaran hukum, menjamin penegakan, pelayanan dan
kepastian hukum, dan mewujudkan tata hukum nasional.
3. LATAR BELAKANG
• Keberadaan korporasi saat ini menjadi bukti bahwa korporasi telah berkembang
dan memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat dalam bidang
perekonomian.
• Dalam hal ini, maka diperlukan perubahan dalam hukum pidana mengenai
pengenaan sanksi pidana terhadap kejahatan korporasi. Keberadaan korporasi
sebagai subjek hukum, maka akan terjadi pula kejahatan di bidang perekonomian
itu sendiri.
4. METODE PENELITIAN
• Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normative. Penelitian hukum
normative adalah suatu metode yang menggunakan hukum sebagai suatu metode
yang mengedepankan dan menumpukan hukum sebagai sistem konstruksi norma.
Penelitian hukum normative berfokus pada instrument hukum yang beregulasi
tentang tanggung jawab tindak pidana korporasi.
• Data yang dipergunakan adalah data sekunder dengan meneliti bahan-bahan pustaka
sebagai data sekunder. Bahan hukum primer diperoleh dari hukum positif Indonesia
yang berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pendapat para ahli
hukum dalam literatur, jurnal, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), internet
terkait dengan tanggung jawab tindak pidana korporasi. Penulis juga mengambil
kesimpulan berdasarkan pendapat para ahli hukum, afirmasi, dan formulasi untuk
tanggung jawab tindak pidana korporasi.
5. HASIL/PEMBAHASAN
• Korporasi dalam aspek hukum perdata merupakan badan hukum. Korporasi
merupakan suatu badan hasil dari ciptaan hukum.
• Menurut Wirjono Prodjodikoro, korporasi adalah suatu perkumpulan orang,
dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang
yang merupakan anggota dari korporasi itu, anggota mana juga memiliki
kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat
kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan korporasi.
6. HASIL/PEMBAHASAN
• Pertanggungjawaban tindak pidana korporasi didasarkan pada Pasal 1 Angka 40
dan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang mengatur bahwa
Pasal 1 Angka 40 : “Ketentuan Pasal 51 Ayat 1 diubah sehingga Pasal 51 Ayat 1
menjadi berbunyi sebagai berikut: “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46, Pasal 47, Pasal 47A, Pasal 48 Ayat 1, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 50A
adalah kejahatan”.
7. HASIL/PEMBAHASAN
• Artinya adalah Pasal 46 mengatur mengenai kejahatan dan bagi subjek hukum
yang melanggar akan dibebankan pertanggungjawaban pidana dan sanksi
pidana. Sedangkan Pasal 46 Ayat 2 mengatur tentang: “Dalam hal kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 dilakukan oleh badan hukum yang
berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, Yayasan atau koperasi, maka
penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka
yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai
pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.”
8. HASIL/PEMBAHASAN
• Badan hukum dapat dibebankan tanggung jawab pidana dan sanksi pidana.
Sehingga dalam hal ini sangat penting dilakukan peninjauan terhadap sistem
pertanggungjawaban pidana bagi subjek hukum korporasi yang diatur dalam
Pasal 46 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
• Maka dari itu perlu pula dilihat terlebih dahulu posisi korporasi dalam tindak
pidana perbankan agar secara jelas dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Jika ditinjau dari Pasal 46 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
tertuang adanya unsur “barangsiapa”.
9. HASIL/PEMBAHASAN
• Pengertian unsur “barangsiapa” merupakan setiap orang tanpa terkecuali. Namun
perlu diketahui pula mengenai siapa saja yang termasuk dalam unsur
“barangsiapa” dan seperti apa posisi korporasi dalam unsur ini.
• Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahunu 1992 Tentang Perbankan tidak mengatur secara jelas mengenai
siapa saja yang termasuk dalam unsur “barangsiapa”, sehingga untuk menjelaskan
hal tersebut dapat ditinjau dari Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang mengatur demikian.
10. PENDAPAT KELOMPOK
• Tindak pidana korporasi semestinya mendapatkan perhatian yang khusus, karena
tindakan-tindakan yang dilakukan sangat merugikan banyak orang, contohnya saja
seperti tindak pidana korupsi yang dari dulu hingga sekarang masih saja marak terjadi
di berbagai daerah maupun ibukota. Namun dalam penyelesaiannya masih kurang
efektif.
• Proses peradilan tindak pidana korupsi yang berlangsung di beberapa pengadilan
tipikor, memperlihatkan bahwa korupsi tidak hanya dilakukan oleh individu melainkan
juga oleh korporasi.
• Dalam beberapa putusan perkara korupsi, indikasi tersebut bahkan tersurat pada
pernyataan bahwa kerugian negara dalam kasus tersebut dinikmati oleh korporasi,
sehingga korporasilah yang seharusnya dihukum untuk mengganti kerugian negara
tersebut.
11. PENDAPAT KELOMPOK
• Sebenarnya terdapat kelemahan pada subtansi hukum, yaitu tidak jelasnya
indikator menentukan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi, serta
menentukan pihak yang dipertanggungjawabkan. Kelemahan pada subtansi
hukum, menjadi salah satu faktor penyebab jarangnya diterapkan
pertanggungjawaban pidana korupsi pada korporasi, disamping faktor pada
struktur hukum dan budaya hukum internal.
• Penegak hukum belum memiliki persepsi yang sama tentang pentingnya
menerapkan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi
dan batasan-batasan dalam menerapkan pertanggungjawaban pidana korporasi
dalam perkara korupsi, sebagai bagian dari upaya percepatan pemberantasan
korupsi.
12. PENDAPAT KELOMPOK
• Pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam UU Pemberantasan
Pencucian Uang dapat dijadikan model dalam menentukan pertanggungjawaban
korporasi. Proses peradilan terhadap individu dan korporasi dilakukan sekaligus
dalam satu berkas. Ini disebabkan terbuktinya perbuatan pelaku sekaligus juga
membuktikan perbuatan korporasi, karena korporasi bertindak melalui
pengurusnya.
• Model ini tidak hanya akan mewujudkan asas peradilan cepat, sederhana dan
biaya murah, tapi juga menghindari humiliation ganda pada pelaku individu,
karena harus mewakili korporasi dalam proses tersebut.
13. PENDAPAT KELOMPOK
• Kejahatan korporasi dapat mengancam stabilitas perekonomian dan
membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Hukum Indonesia
mengakui korporasi sebagai subyek hukum, selain orang perorangan.
• Perkembangan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana di
Indonesia berawal dari Undang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang
Penimbunan Barang-Barang yang kemudian diikuti perkembangannya oleh
Undang-Undang lain di luar KUHP.
14. KESIMPULAN REVIEW
• Kejahatan korporasi dapat mengancam stabilitas perekonomian dan membahayakan
sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Hukum Indonesia mengakui korporasi sebagai
subyek hukum, selain orang perorangan. Perkembangan korporasi sebagai subjek
hukum dalam hukum pidana di Indonesia berawal dari Undang-Undang Darurat
Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-Barang yang kemudian diikuti
perkembangannya oleh Undang-Undang lain di luar KUHP.
• Urgensi pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum
pidana di Indonesia bukan hanya pada hukum pidana formil namun juga pada hukum
pidana materiil. Dampak negatif kejahatan korporasi yang memberikan kerugian besar
dan korban yang abstrak serta beberapa dampak negatif lainnya memaksa Indonesia
untuk harus segera menciptakan regulasi mengenai pertanggungjawaban pidana oleh
korporasi.