Kelompok 2 Sistem Pemerintahan Pra dan Pasca Amandemen UUD.pptx
KPK dan Filsafat Hukum
1. UNDANG UNDANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN PERUBAHANNYA
DITINJAU DARI SEGI FILSAFAT HUKUM
Nama : Dolly Friendky Sihombing
NPM : 211 040 1007
1. PENDAHULUAN
2. Pada tahun-tahun awal reformasi, masyarakat Indonesia dipenuhi dengan euphoria
Supremasi Hukum, terutama untuk memperbaiki sistem hukum pada masa orde baru yang
sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Keseriusan Indonesia dalam memberantas
korupsi terlihat dari beberapa kebijakan nasional, yang dituangkan dalam beberapa regulasi
seperti; “Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
Berdasarkan bunyi “Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001”, mengamanatkan agar paling lambat 2 (dua) tahun dibentuk suatu
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang selanjutnya disebut KPK) sehingga
pada tahun 2002, terbitlah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang pada perjalanannya telah dilakukan
revisi sebanyak dua kali yaitu Undang Undang Nomor 10 tahun 2015 tentang penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2015 tentang perubahan
atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK) dan revisi kedua yang akan menjadi pokok pembahasan pada artikel ini, yaitu
dengan diterbitkannya Undang undang nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan kedua atas
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
1.1. Latar Belakang
Subtansi revisi kedua Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menuai pro dan kontra dari berbagai elemen
masyarakat. Permasalahan yang terjadi bahwa revisi undang-undang tersebut menurut
banyak pihak justru melemahkan KPK dan berpihak pada pelaku tindak pidana korupsi.
Banyak pihak yang pro dan kontra terhadap produk hukum ini, namun pada akhirnya revisi
undang undang tersebut tetap di sahkan, yang memberikan kesan bahwa revisi tersebut
seolah dipaksakan demi tujuan politik kelompok tertentu. Tidak adanya titik temu dalam
perdebatan revisi kedua undang undang tersebut, menjadi alasan utama dari penulisan
artikel ini membahas revisi kedua undang undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari sisi filsafat hukum, karena Filsafat
hukum merupakan ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, tentang hakekat dari
3. hukum itu sendiri. Bisa dikatakan bahwa objek dari filsafat hukum adalah hukum, yang dikaji
secara mendalam hingga ke inti atau dasar daripada hukum tersebut
1.2. Perumusan Masalah
Dalam tulisan ini, yang menjadi rumusan masalah adalah apakah Undang undang
nomor 19 tahun 19 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang undang nomor 30 tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan tujuan hukum
dikaji dari sudut filsafat hukum.
2. PEMBAHASAN
Sebelum masuk ke dalam pembahasan, ada baiknya melihat Kembali mengenai
pengertian Filsafat hukum dan ruang lingkup pembahasan Filsafat Hukum, sehingga nanti
akan didapatkan pembahasan masalah yang mengikuti alur pengertian dan ruang lingkup
Filsafat hukum itu sendiri. Karena ada banyak pendapat para ahli hukum mengenai Filsafat
4. Hukum, maka penulis hanya mengambil pendapat dari beberapa ahli saja yang memiliki
korelasi dengan pemasalahan yang akan dibahas, yakni sebagai berikut:
Menurut Mr. Soetika Filsafat hukum adalah mencari hakikat dari hukum, dia ingin
mengetahui apa yang ada di belakang hukum, dia menyelidiki kaidah-kaidah hukum
sebagai pertimbangan nilai, dia memberikan penjelasan mengenai nilai, postulat
(dasar-dasar) hukum sampai pada dasar-dasarnya, ia berusaha mencapai akar-akar
dari hukum.
Filsafat hukum menurut Satjipto Rahardjo mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat dari hukum. Pertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasar bagi
kekuatan mengikat hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat
mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa menggarap bahan
hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut yang berbeda sama sekali. Ilmu
hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan
mempertanyakan konsisten logis asas, peraturan bidang serta sistem hukumnya
sendiri.
Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto Filsafat hukum adalah adalah
perenungan dan perumusan nilai-nilai; kecuali itu filsafat hukum juga mencakup
penyerasian nilai-nilai, misalnya penyerasaian antara ketertiban dengan
ketenteraman, antara kebendaan dan keakhlakan, dan antara kelanggengan aau
konservatisme dengan pembaruan.
Menurut Gustav Radbruch Filsafat hukum mengandung tiga aspek, yaitu (1) aspek
keadilan, keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan;
(2) aspek tujuan keadilan atau finalitas, yaitu menentukan isi hukum, sebab isi
hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai; (3) kepastian hukum
atau legalitas, yaitu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang
harus ditaati.1)
Berdasarkan dari pendapat para ahli tersebut, maka didapatkan rangkuman
pengertian secara umum bahwa filsafat hukum mencari hakikat dari hukum, latar belakang
terciptanya suatu produk hukum, dengan mempertimbangkan penyerasian nilai nilai yang
terkandung didalam hukum, sehingga didapatkan hukum yang berfungsi sebagai peraturan
yang harus ditaati.
Mengenai ruang lingkup pembahasan filsafat hukum, Prof. Dr. H. Zainudding Ali,
M.A. memberikan pendapatnya sebagai berikut:
1 )
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, cet. Ketujuh, 2016), hlm. 9-10
5. Objek pembahasan filsafat hukum bukan hanya tujuan hukum, melainkan masalah
hukum yang mendasar sifatnya yang muncul di dalam masyarakat yang
memerlukan suatu pemecahan. Karena, filsafat hukum saat ini bukan lagi filsafat
hukumnya para ahli seperti di jaman Yunani atau Romawi, tetapi merupakan hasil
pemikiran dari para ahli hukum (baik teoritis maupun praktisi) yang dalam tugas
kesehariannya banyak menghadapi permasalahan yang menyangkut keadilan
sosial di masyarakat.2
Mengacu kepada pengertian dan ruang lingkup filsafat hukum, maka dapat diartikan bahwa
beban filsafat hukum, terletak pada permasalahan-permasalahan hukum yang tidak dapat
diselesaikan oleh hukum itu sendiri yang memerlukan pemecahan bukan sekedar
berdasarkan hukum positif, akan tetapi akan dikaji lebih jauh mengenai kemanfaatan dari
undang-undang tersebut. Polemik revisi undang-undang Komisi Pemberantasan tindak
pidana Pidana Korupsi sudah berlalu, setelah melalui proses yang singkat, suka atau tidak
suka, revisi tersebut telah diundangkan. Dalam hal ini, penulis hanya mencoba mengkaji
revisi tersebut, dari sisi filsafat hukumya, dengan kata lain, akan dikaji sejauh mana
kemanfaatan, kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak dengan adanya revisi
tersebut.
Beberapa pasal dalam revisi undang-undang tersebut yang menjadi sumber
perdebatan tersebut antara lain, status kelembagaan KPK yang dulunya adalah lembaga
negara, berubah menjadi bagian dari eksekutif. Seperti diketahui, bahwa Komisi
pemberantasan Korupsi, lahir dari buah reformasi pada tahun 1998, yang menginginkan
Negara dan Pemerintahan yang bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, sehingga
lahirlah Undang-undang No 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih
dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, disusul dengan terbitnya Undang-undang
nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi yang mensyaratkan dan menjadi dasar
pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dapat pula dipahami bahwa cita-cita awal
pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah kondisi Indonesia yang pada masa
sebelumnya sarat dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme sehingga dianggap sebagai
kejahatan luar biasa, untuk itu diperlukan pula suatu Lembaga yang memiliki kewenangan
luar biasa agar dapat memberantas kejahatan tersebut.
Hilangnya independensi Komisi Pemberantasan Korupsi yang semula merupakan
Lembaga Negara berubah menjadi bagian dari Lembaga eksekutif, tentunya akan
berpengaruh buruk pada penyelesaian perkara-perkara korupsi yang selama ini justru
banyak terjadi di wilayah eksekutif. Lebih lanjut, Korupsi yang dianggap merupakan faktor
2 Ibid, hal. 24
6. penghalang pembangunan ekonomi, sosial, politik dan budaya, sejak tahun 2002,
diupayakan pemberantasannya dengan diberlakukannya Undang-Undang No.30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), yang
mengklasifikasikan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes),
karena korupsi di Indonesia sudah meluas dan sistematis yang melanggar hak-hak ekonomi
masyarakat. Selain itu, penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang
dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan, untuk
itulah diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu
badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuatan
manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya
dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional serta berkesinambungan. 3
Perubahan status kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi bagian
dari Lembaga eksekutif melalui revisi kedua undang-undang tindak pidana korupsi,
diasumsikan bahwa revisi undang-undang tersebut justru melemahkan posisi Komisi
Pemberantasan Korupsi dilihat dari sisi keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, karena
bagaimanapun undang-undang tersebut akan lebih menguntungkan bagi Lembaga Eksekutif
sebagai payung lembaganya, dibandingkan kemanfaatannya bagi masyarakat secara
umum. Perubahan status Komisi Pemberantasan Korupsi dari sebelumnya Lembaga
Negara yang bersifat independen menjadi Lembaga Negara di bawah naungan Lembaga
Eksekutif, memberikan gambaran yang jelas bahwa Lembaga tersebut bukan lagi Lembaga
dengan kewenangan luar biasa, sehingga apabila ditinjau lebih dalam lagi mengenai
kemanfaatannya, akan menjadi hal yang sulit memberantas suatu kejahatan yang bersifat
luar biasa dengan Lembaga yang memiliki kewenangan terbatas.
Isi revisi Undang-undang tersebut berikutnya yang diperdebatkan antara lain adalah
pembentukan Dewan pengawas, perubahan status kepegawaian menjadi aparatur sipil
negara, kedudukan pimpinan yang bukan lagi sebagai penyidik dan penuntut umum, dan
beberapa pasal lainnya jika dilihat dari sudut kemanfaatan dan kepastian hukum, maka
revisi undang-undang ini berada semakin jauh dari tujuannya semula. Semakin rumitnya
birokrasi dalam penanganan komisi, ditambah dengan keberadaan dewan pengawas yang
diusulkan oleh Presiden untuk kemudian ditetapkan oleh DPR dianggap sarat dengan
kepentingan kedua Lembaga, yang pada akhirnya akan semakin melemahkan tingkat
kepercayaan masyarakat kepada keseriusan Pemerintah dalam penanganan korupsi di
Indonesia.
3
Marhus Ali. Asas, Teori & Praktek Hukum Pidana Korupsi. (UII Press, 2013), hlm. 224
7. Meski mendapatkan penolakan dari berbagai pihak, pembahasan revisi Undang-
undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK tetap berjalan. DPR dan Pemerintah telah
sepakat melakukan revisi. Adapun poin-poin revisi dalam UU KPK adalah:
1. Pembentukan Dewan Pengawas oleh Presiden.
Peraturan ini tertuang dalam Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal
37E, Pasal 37F, Pasal 37G, Pasal 69A. Delapan pasal itu membahas Dewan
Pengawas diangkat dan ditetapkan oleh presiden. Selain itu, dibahas juga jumlah
anggota dewan pengawas yang berjumlah 5 orang, dengan masa jabatan selama 4
tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali
masa jabatan. Pasal tersebut juga membahas kewenangan Dewan Pengawas dalam
mengawasi tugas, menetapkan kode etik, hingga memberikan izin atau tidak
memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
2. Kewenangan SP3 dan Penghentian Penuntutan
Kewenangan SP3 dan penghentian penuntutan diatur dalam Pasal 40. Dalam pasal
tersebut, disebutkan KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap
suatu perkara jika tidak selesai dalam jangka waktu 2 tahun. Namun, penghentian
penyidikan dan penuntutan dapat dicabut kembali apabila KPK menemukan bukti
baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan.
3. Penyadapan dan Penggeledahan Harus Seizin Dewan Pengawas
Peraturan ini tertuang dalam 4 pasal, yaitu Pasal 1 ayat 5, Pasal 12B, Pasal 12C,
dan Pasal 12D. Dalam pasal-pasal tersebut, dijelaskan penyadapan dan
penggeledahan baru dapat dilakukan jika penyidik mendapatkan izin tertulis dari
Dewan Pengawas. Izin diberikan paling lama 1 x 24 jam terhitung sejak permintaan
diajukan. Hasil penyadapan juga harus dilaporkan kepada pimpinan KPK secara
berkala. Jika penyadapan telah selesai, maka harus dipertanggung jawabkan ke
pimpinan KPK dan Dewan Pengawas paling lambat 14 hari kerja, terhitung sejak
penyadapan selesai dilaksanakan.
4. Seluruh Pegawai KPK adalah ASN
Status pegawai KPK sebagai ASN diatur dalam Pasal 1 angka 6, Pasal 24, Pasal
69B, dan Pasal 69C. Dalam pasal-pasal tersebut, dijelaskan bahwa pegawai KPK
yang belum berstatus sebagai ASN dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak
revisi UU ini berlaku, dapat diangkat sebagai ASN selama memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan.
8. 5. Penyidik KPK Hanya Berasal dari Kepolisian, Kejaksaan, atau ASN yang Diberi
Kewenangan Penyidikan oleh UU
Hal tersebut diatur dalam Pasal 43 ayat 1 dan Pasal 45 ayat 1 dan Pasal 45A ayat 2.
Dalam pasal tersebut, dijelaskan penyidik KPK dapat berasal dari kepolisian,
kejaksaan, penyidik ASN yang diberi kewenangan khusus oleh UU.
6. Kedudukan KPK sebagai Lembaga dalam Rumpun Eksekutif
KPK sebagai lembaga dalam rumpun eksekutif dibahas dalam Pasal 1 angka 3 dan
Pasal 3. Dalam pasal tersebut, disebutkan KPK adalah lembaga negara dalam
rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya
bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Untuk melihat perubahan secara detail dalam revisi undang-undang tersebut,
penulis membuat perbandingan sebagai berikut:
Isi UU No. 30 Tahun 2002 UU No. 19 Tahun 2019
Status Lembaga Lembaga Negara Lembaga Dibawah
Naungan Eksekutif
Dewan Pengawas Tidak ada Ada
Pegawai Non-PNS PNS
Kantor/Perwakilan Pusat dan propinsi Pusat
Penyitaan Ijin atasan Ijin Dewan Pengawas
Independensi Penyidik Penyidik di bawah naungan
POLRI
Penggeledahan Ijin atasan Ijin Dewan Pengawas
Pencekalan bisa Hingga tingkat penyelidikan
belum bisa
OTT Bisa dan mudah Bisa dengan proses rumit
Penyadapan Ijin atasan Ijin Dewan Pengawas
Lama SP3 Tidak terbatas 2 tahun
Prof. Darji Darmodiharjo, S.H dan DR. Shidarta, S.H.,M.Hum dalam bukunya
Pokok-Pokok Filsafat Hukum mengatakan bahwa: “Keadilan merupakan salah satu tujuan
hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan filsafat hukum.” 4
Maka apabila dikaitkan dengan permasalahan diatas, maka tujuan hukum dari
revisi undang-undang No 19 tahun 2019 tidaklah mencapai tujuannya, karena baik ditinjau
dari segi kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatannya revisi tersebut semakin jauh dari
4
Darji Darmodiharjo, Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2004), hlm. 155
9. tujuannya, begitu juga dengan negara dan masyarakat sama-sama tidak diuntungkan dari
pasal-pasal yang direvisi tersebut
3. PENUTUP
Melihat pasal pasal yang telah dibahas dalam undang undang no 19 tahun 2019
tentang perubahan kedua atas undang undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana korupsi, ditinjau dari sisi kemanfaatan, keadilan sosial dan
kepastian hukum, penulis berkesimpulan bahwa ada kemunduran kualitatif dari muatan
undang undang revisi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bila dibandingkan
dengan undang-undang sebelum revisi. Hal tersebut memberikan kelonggaran dan ruang-
ruang yang lebih leluasa kepada pihak-pihak yang terkait untuk menginterpretasikan
undang-undang tersebut untuk kepentingannya sendiri atau kelompoknya, dimana hal
tersebut justru akan merugikan Negara dan rakyat Indonesia.
Ada baiknya apabila semua pihak yang berperan dan memiliki kepentingan dalam
pemberantasan korupsi ini kembali duduk bersama, melakukan perundingan untuk
melakukan revitalisasi undang-undang, demi terciptanya aturan hukum yang dapat
memenuhi atau setidaknya mendekati rasa keadilan dan kemanfaatan bagi semua pihak.
10. Daftar Pustaka
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Cetakan Ketujuh, Sinar Grafika, Jakarta, 2016
Zainal Asikin, Mengenal Filsafat Hukum, Cetakan Pertama, Pustaka Reka Cipta, Bandung,
2014
Darji Darmodiharjo, Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia. Cetakan Kelima, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2019
Marhus Ali, Asas, Teori & Praktek Hukum Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, UII Press,
Yogyakarta, 2013
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Undang-undang nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang
nomor 30 tahun 2002