1. POROS MARITIM VS KEBUDAYAAN MARITIM:
Identifikasi Hambatan Implementasi Ide Poros Maritim dalam kaitannya
dengan Kebudayan Maritim di Indonesia1
Oleh: Prof. Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si 2
(Guru Besar Tetap Ilmu Ekologi Manusia, USU)
“nenek moyangku orang pelaut
gemar mengarung luas samudra
menerjang ombak tiada takut
menempuh badai sudah biasa
angin bertiup layar terkembang
ombak berdebur di tepi pantai
pemuda b'rani bangkit sekarang
ke laut kita beramai-ramai”
(nyanyian rakyat nusantara)
Pendahuluan
Syair lagu yang merupakan folklore di atas adalah bagian dari kebudayaan
masyarakat Indonesia yang menggambarkan begitu eratnya hubungan
masyarakat di nusantara dengan laut sebagai lingkungan tempat tinggalnya.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka perubahan kebijakan arah pembangunan
di Indonesia dari yang sebelumnya menempatkan lautan sebagai penghambat
antar pulau menjadi penghubung antar pulau sebuah langkah strategis untuk
mendukung Indonesia sebagai negara yang dua pertiga wilayahnya adalah
lautan,. Perubahan kebijakan pembangunan tersebut diawali pada orde
reformasi bergulir dan semakin menguat saat Presiden Jokowi “melemparkan”
ide menjadikan Indonesia sebagai poros maritim.
Arti penting sektor kelautan dan perikanan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara bukan hanya bisa kita lihat dari bait folklore di atas, namun lebih
1
Makalah disajikan pada seminar Nasional Mahasiswa Antropologi Se-Indonesia dan
Rakernas Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia di Medan Tanggal 26 Februari 2015
2
Gurubesar Ekologi Manusia pada Departemen Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
2. dari itu, secara ekologis, ekonomis dan sosial sektor kelautan dan perikanan
sangat berhubungan erat dengan kehidupan sebagian besar penduduk Indonesia.
Sejalan dengan perubahan kebijakan pembangunan, salah satu fungsi
pembangunan kelautan dan perikanan adalah untuk mengoptimalkan segenap
potensi yang ada di sektor ini dalam rangka ikut mewujudkan visi dan misi
pembangunan nasional. Strategi yang dilakukan dengan membuat perencanaan
pembangunan infrastruktur yang mendorong pemanfaatan laut sebagai pusat-
pusat perekomian (produksi dan distrubusi) dan penghidupan yang terintegrasi
dengan mempercepat proses produksi potensial yang berbasiskan pada sektor
kelautan dan perikanan. Dalam kacamata Antropologi pembangunan, ide poros
maritim memiliki potensi hambatan dalam implementasinya jika tidak
disandarkan kepada basis nilai budaya kemaritiman yang dimiliki oleh
masayarakat Indonesia. Dalam upaya membedah hal tersebut maka tulisan
berikut ini dibuat. Tulisan ini adalah memaparkan apa dan bagaimana konsep
”poros maritim” dan kebudayaan maritime, dan hal yang diperhatikan oleh
pemerintah agar ide poros maritime tersebut berhasil dalam kerangka
kebudayaan maritime yang ada.
Konsep “Poros Maritim” ala Jokowi (?)
Secara ilmiah pembahasan tentang konsep poros maritime belum banyak
dilakukan secara holistik. Namun secara sporadis terdapat banyak tulisan yang
bisa diakses yang kemudian dijadikan bahan dalam memahami konsep poros
maritime. Penelusuran on line yang dilakukan memperlihatkan penafsiran
tertulis atas konsep poros maritime oleh presiden Jokowi masih belum ada.
Namun demikian pernyataan dari banyak kalangan – terutama mereka yang
menjadi pendukung Presiden Jokowi- tentang poros maritim cenderung kepada
dimensi pertahanan dan kedaulatan negara sebagai titik masuknya. Sebut saja
pendapat Hasto Kristiyanto sebagai tim pemenangan Jokowi-JK yang
menyatakan bahwa konsep poros maritime Jokowi berkenaan erat dengan ide
agar “..seluruh alur pelayaran dunia yang melalui jalur strategis di Indonesia
3. akan dipergunakan sebagai pendekatan diplomasi terkait dengan peran strategis
Indonesia,".(http://merdeka.com)
Sementara itu di sebuah tulisan lain (pada laman kompas.com) yang
merupakan repotasi dari sebuah diskusi tentang poros maritime dilakukan oleh
Lemhanas diungkapkan bahwa kebijakan menjadikan Indonesia sebagai poros
maritime akan berkonsekwensi logis pada keharusan untuk meningkatkan
sistem pertahanan negara, pengalokasian dana yang tidak sedikit untuk
permbangunan infrastruktur dan upaya mengubah mindset penduduk Indonesia
dari darat dan udara sentris menjadi laut sentries. Tidak hanya itu upaya
perwudjukan poros maritime dunia juga harus bisa bersinergi dengan dunia
industri perkapalan. Pada konteks demikian, maka terlihat jelas bahwa ide
poros maritime ala Jokowi bukanlah perkara gampang seperti membalik telapak
tangan.
Berdasarkan apa yang sudah dipaparkan di atas terlihat jelas bahwa ide
poros maritime secara umum masih berupa cita-cita yang masih harus
diwujudkan. Pun demikian, ide tersebut sejauh ini juga masih belum
diterjemahkan secara utuh ke dalam peraturan sehingga masih banyak kalangan
yang masih mempertanyakan “apa yang dimaksud Jokowi bahwa Indonesia
harus menjasi poros maritime dunia?”. Bila boleh menerjemahkan, konsep
poros maritim yang ada saat ini yang dipahami banyak orang adalah upaya
pemerintah untuk menjadikan laut sebagai matra penghubung antar pulau yang
kemudian segala sumberdaya di dalamnya harus dimanfaatkan untuk
meningkatkan kesejehteraan rakyat. Artinya laut menjadi jangkar pembangunan
ekonomi. Sebagai Negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia yang 75
persen wilayahnya berupa laut seluas 5,8 juta kilometer persegi dengan
kekayaan sumberdaya alam (SDA) yang sangat besar dan beragam, ekonomi
kelautan sangat potensial untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang
sangat tinggi (rata-rata di atas 7 persen per tahun) dan berkualitas (menyerap
banyak tenaga kerja dan menyejahterakan rakyat) secara berkelanjutan. Di saat
yang bersamaan, pembangunan poros maritime juga berkenaan dengan
4. pembenahan sistem pertahanan nasional sebab selama ini keamanan laut masih
belum menjadi prioritas. Dengan demikian pengaturan dan pengawasan jalur
pelayaran harus lebih dimaksimalkan sebagia wujud dari kedaulatan negara atas
wilayah perairannya.
Pengertian model ini mungkin masih absurd bagi sebagian besar
kalangan, namun hal itu merupakan dampak langsung dari tidak jelasnya
konsep poros maritime yang diajukan oleh Jokowi. Untuk itu, upaya
merumuskan konsep poros maritime secara lebih baku dengan menggunakan
pendekatan ilmiah tampaknya harus sesegera mungkin dilakukan untuk
kemudian disosialisasikan kesemua kalangan.
Mengenal Kebudayaan Maritim: Upaya Awal Mengidentifikasi Faktor
Penghambat Implementasi Ide Poros Maritim dalam Kajian Ekologi
Manusia
Bila memperhatikan bait nyanyian rakyat di atas terlihat bahwa kehidupan
bahari adalah bagian dari kehidupan masyarakat di nusantara. Dalam upaya
menarasikan bagaimana kebudayaan maritim yang ada di Idnonesia, dapat
dimulai dengan menjawab pertanyaan etnografis berikut ini: Apakah mental
masyarakat pesisir kita yang terekam dalam catatan sejarah menampilkan
karakteristik sebagai nelayan atau pelaut? Jawaban atas pertanyaan ini akan bisa
membantu kita dalam mengidentifikasi factor penghambat implementasi
kebijakan poros maritime ala Jokowi nantinya.
Bila merujuk pada nyanyian rakyak di atas. maka gambaran tentang
keberanian “nenek moyang orang Indonesia” dalam melaut sudah tidak
diragukan. Hanya saja motif nenek moyang dalam mengarungi samudera
sebagaimana bait nyanyian tersebut tidak tergambarkan dengan jelas. Untuk itu,
gambaran mentalitas komunitas pesisir di nusantara adalah titik masuk dalam
melihat kesiapan masyarakat dalam mendukung ide poros maritime.
Dalam banyak literature sejarah dikisahkan bahwa kerajaan yang dulu
jaya di nusantara selalu dibarengi dengan kekuatan tentara kerajaan tersebut di
5. lautan. Ini jelas menjadi indikasi bahwa kekuatan militer di laut menjadi ciri
khas kerajaan besar di nusantara. Fakta sejarah lainnya yang juga bisa diakses
adalah adanya gambaran bahwa hukum adat laut yang tersebar di nusantara
masih meniktik beratkan pemanfaatan laut sebagai jalur perdangangan/
pelayaran. Jika “ruh” yang dikandung dalam ide Poros amrtim hanya
menekapkan pada aspek pengaturan jalur pelayaran sematan, maka hal itu akan
sangat potensial untuk dikembangkan sebab cikal bakal terhadap hal itu
didukung oleh bukti sejarah. Sebut saja hukum laut di Kerajaan Serdang (baca
Sinar dan Wan Saifuddin, 2002) dan hukum Amanna Gappa dari Kesultanan
Bugis yang melegenda. Penelusuran atas substansi kedua contoh hukum adat
tersebut memperlihatkan bahwa semangat utama kelautan yang diatur menitik
beraktkan pada tatacara pelayaran yang berhubungan dengan perdagangan.
Hanya sedikit atau kalau bisa dibilang tidak ada yang secara spesifik memuat
aturan pengelolaan sumberdaya laut dan perikanan. Implikasi dari fakta historis
ini diakui atau tidak menunjukkan bahwa mental masyarakat di nusantara yang
katanya makmur dengan memanfaatkan laut semata-mata masih hanya sebatas
sebagai jalur pendukung perdagangan semata. Sekalipun juga ada banyak
budaya masyarakat di nusantara yang juga terkait dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya laut untuk kesejahteraan seperti praktek berburu paus
oleh masyarakat Lamarera dan Lamakera Nusa Tenggara Timur dan Sasi di
Maluku namun aturan adat ini bersifat verbal.
Merujuk pada kondisi mentalitas mayoritas masyarakat di pesisir yang
termanifestasi pada aturan formal lebih pada pemanfaatn laut sebagai sarana
penghubung, maka pembangunan “tol laut”sebagai representasi ide poros
maritim adalah tepat. Namun demikian, semangat pemanfaatan sumberdaya laut
sebagai bagian dari ide poros maritim tampaknya harus diterjemahkan secara
lebih nyata ke dalam program yang lebih aplikatif. Hal ini dikarenakan akar
budaya pemanfaatan laut selama ini cenderung masih bersifat subsistensi. Pada
tataran ini akan berhadapan dua dari tiga model orientasi nilai budaya- versi
Kluckhon- di masyarakat. Bila semangat poros maritim masih bersifat “top
6. down” dan orientasinya hanya mengadopsi semangat yang terekam dalam
aturan elitis formal yang ada di masyarakat, maka orientasinya akan identik
dengan eksploitatif yang mengejar kuantitas. Sedangkan orientasi nilai budaya
yang dominan dijadikan rujukan oleh mayoritas pesisir adalah nilai yang
mencoba menyelaraskan kehidupan dengan alam atau bahkan mengarah pada
tunduk pada alam yang diekspresikan dengan cara hidup subsisten. Ketidak
berhasilan menyinergikan kedua pola orientasi nilia budaya ini jelas akan
menghambat ide poros maritim nantinya.
Dalam ranah Antropologi, perhatian pada benturan nilai dalam sebuah
proses pembangunan adalah objek kajian yang penting. Pada kasus ini,
pertemuan orintasi nilai ekploitatif dengan subsisten harus bisa diarahkan untuk
menghasilakan sintesis yang bukan hanya mengakomodir kepentingan elitis,
namun juga mendorong nilai lokal sebagai rujukan dalam setiap proses
pembangunan. Pembangunan infrstruktur kelautan baik dalam upaya
pengembanggan “tol laut” atau tidak juga harus bisa memberikan proteksi pada
kearifan lokal terkait pemanfaatan sumberdaya alam kelautan.
Pada situasi dimana negara harus bisa memanfaatkan keunggulan
kutural yang dimiliki oleh masyarakat sebagai aset dalam pembangunan, maka
kebijakan dalam rangka pengembangan poros maritim harus juga menempatkan
manusia sebagai komponen penting. Urgensi ini dikarenakan secara filosofis,
proses pembangunan adalah sebuah proses perubahan yang direncanakan.
Penyebar luasan ide penting perubahan adalah salah satu tahap penting dalam
proses perubahan. Hal yang sama tampaknya juga harus dilakukan oleh
pemerintah jika ide poros maritim ini akan diterapkan. Sebuah proses
perubahan akan menjadi lebih baik bila melibatkan masyarakat dalam setiap
tahapan dari kegiatan perubahan tersebut termasuk pada tahapan perencanaan.
Pada konteks awal inilah proses sosialisasi atau penyebarluasan ide
pembangunan poros maritim ini diperlukan. Namun demikian, konsep poros
maritim yang disebarluaskan juga harus bisa diproyeksikan bakal di-absorpsi
oleh masyarakat secara gampang. Oleh karena itu perlu kejelasan terminologi
7. poros maritim yang harus dirumuskan terlebih dahulu. Selagi proses sosialisasi
dilakukan, penyinergian implementasi ide poros maritim ke dalam program
juga harus diberangi dengan pola pemberdayaan masyarakat. Banyak sudah
pendekatan yang ditawarkan oleh berbagai cabang disiplin ilmu dalam
melakukan pemberdayaan. Mengingat bahwa dimensi budaya manusia juga
berkenaan dengan kemampuan manusia melahirkan berbagai tindakan dalam
merespon kondisi lingkungannya-termasuk kehadiran ide baru-, maka
penggunaan konsep kebudayaan ini dalam implementasi kebijakan poros
maritim menjadi relevan dilakukan. Melalui proses pemberdayaan, maka
pemerintah tidak hanya dituntut untuk memahami kemampuan manusia dalam
melahirkan nilai, tindakan dan benda-benda sebagai respon atas upayanya
bertahan di lingkungan tempat tinggalnya menjadi penting, namun juga dituntut
terlibat dalam setiap prosesnya. Pada konteks pembicaraan tentang hubungan
manusia dengan lingkungan dimana ia tinggal, maka kajian ekologi manusia
hadir. Secara umum ekologi manusia dipahami sebagai studi yang mempelajari
bentuk dan perkembangan komunitas dalam sebuah populasi manusia (Hawley,
1950). Sedangkan Young (1994) mengatakan bahwa ekologi manusia, adalah
suatu pandangan yang mencoba memahami keterkaitan antara spesies manusia
dan lingkungannya. Pilihan defenisi manapun yang digunakan tidaklah lengkap
bila pehamaman atas “produk” manusia dalam merespon kondisi alam dimana
dia tinggal yang terangkum dalam apa yang dikenal dengan “kebudayaan” tidak
dilakukan.
Kluckhohn (1944) dalam sebuah publikasinya memandang nilai budaya
sebagai konsepsi umum yang terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang
berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang
dengan orang dan tentang hal – hal yang diingini dan tidak diingini yang
mungkin bertalian dengan hubungan orang dengan lingkungan dan sesama
manusia. Pada saat alam dilihat sebagai hal yang ikut mempengaruhi
hubungan-hubungan manusia, maka saat itulah kebudayaan harus dilihat
sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Ketika
8. kehidupan dan lingkungan manusia berubah, maka kebudayaannya juga
berpotensi berubah. Demikian sebaliknya, dengan kebudayaan yang dimiliki
manusia berpotensi mengubah lingkungan melalui pola pengelolaannya. Saat
dimana manusia akan beradaptasi dengan lingkungan yang selalu dinamis-
sebagaimana saat ide poros maritim nanti diterapkan, maka konsep ekologi
budaya menjadi hal penting.
Kehadiran ide Poros Maritim memang tidak bisa dibilang sebagai
sesuatu yang baru sama sekali, namun juga tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu
yang sudah dimiliki. Sebagian ide poros maritim memiliki akar kultural pada
mayoritas komunitas pesisir di nusantara. Atas kondisi dimana ide poros
maritim harus diterjemahkan ke dalam kebijakan yang kemudian
diimplementasikan ke dalam program, maka penempatan nilai sosial di
dalamnya menjadi sangat penting. Bila nilai yang dikandung dalam ide poros
maritim dianggap baik dan berharga, maka secara otomatis masyarakat akan
membangun mekanisme pendukung ide poros maritim secara swadaya. Untuk
itulah pemerintah harus bisa malahirkan strategi yang mengubah kebijakan
yang bersifat “top down” menjadi program yang bersifat “buttom up”. Bila ini
dilakukan maka berbagai hambatan yang dididentifikasi bisa menghambat
implementasi ide poros maritim akan bisa diminimalisasi.
Penutup
Sebagaiman telah disebutkan di awal, bahwa tulisan ini orientasinya adalah
mencoba mengidentifikasi hambatan kultural yang mungkin muncul dalam
implementasi ide Poros Maritim dalam kaitannya dengan Kebudayaan Maritim.
Melalui tulisan ringkas ini sekelumit persoalan yang harus diperhatikan oleh
pemerintah dalam upaya menerjemahkan ide poros maritim ke dalam kebijakan
dan proses implementasinya ke dalam program menempatkan konsep
kebudayaan sebagai hal yang penting. Kehadiran ide baru-ataupun ide yang
bukan baru sama sekali- selama dianggap memiliki kebaikan, maka masyarakat
akan membangun mekanisme kulural dalam upaya pencapaiannya. Pola yang
9. demikian inilah yang harus dilakukan oleh pemerintah terkait dengan
implementasi ide poros maritim. Namun demikian, agak terganggunya tingkat
kepercayaan pemerintah di mata masyarakat juga bagian yang harus
dipertimbangkan dalam proses implementasi ide poros maritim.
Daftar Pustaka
Hawley, Amos. H. 1950 Human Ecology: A Theory Of Community Structure.
New York. Ronald Press.Co
“Ini akar konsep poros maritim dunia” Jokowi pada laman
http://www.merdeka.com. 24 juni 2014 diakses pada 18 Februari
2015
“Jokowi, Poros Maritim Dunia, Tol Laut, dan "Si Vis Pacem Para Bellum" pada
laman kompas.com. 10 Oktober 2014 diakses 20 Feberuari 2015
Kluckhohn, Clyde. 1944. Mirror for Man, New York: Fawcett
Sinar, Tengku Lukman dan Wan Saifuddi. 2002. Kebudayaan Melayu
Sumatera Timur. Medan: USU Press
Young, Gerald. L. 1994. Human Ecology. Dalam Ruth A. Eblen And William
R. Eblen. Ede. Encyclopedia of Environment. Boston: Houghton-
Mifflin
10. demikian inilah yang harus dilakukan oleh pemerintah terkait dengan
implementasi ide poros maritim. Namun demikian, agak terganggunya tingkat
kepercayaan pemerintah di mata masyarakat juga bagian yang harus
dipertimbangkan dalam proses implementasi ide poros maritim.
Daftar Pustaka
Hawley, Amos. H. 1950 Human Ecology: A Theory Of Community Structure.
New York. Ronald Press.Co
“Ini akar konsep poros maritim dunia” Jokowi pada laman
http://www.merdeka.com. 24 juni 2014 diakses pada 18 Februari
2015
“Jokowi, Poros Maritim Dunia, Tol Laut, dan "Si Vis Pacem Para Bellum" pada
laman kompas.com. 10 Oktober 2014 diakses 20 Feberuari 2015
Kluckhohn, Clyde. 1944. Mirror for Man, New York: Fawcett
Sinar, Tengku Lukman dan Wan Saifuddi. 2002. Kebudayaan Melayu
Sumatera Timur. Medan: USU Press
Young, Gerald. L. 1994. Human Ecology. Dalam Ruth A. Eblen And William
R. Eblen. Ede. Encyclopedia of Environment. Boston: Houghton-
Mifflin