SlideShare a Scribd company logo
1 of 16
Download to read offline
Redaksi
Laut Pasca Krisis
Topik Utama
Laut Butuh Menteri Negara
tOpini
Penegasian Hak Nelayan atas
Ruang Lautdi Kepulauan Togean
I Teori
Penginderaan Jauh
di Bidang Kelautan
I Kasus
Bagansiapiapi Dulu dan Sekarang
IKronik
Pertemuan Masyarakat Adat
Togean
Pelatihan Desentralisasi:
"Menuju DPRD Sanggau yang
Efektif dan Akuntabel"
Anak-anak Nelayan
KepulauanTogean
(Foto: Toloka)
Ljii/r
PASCA
KRISIS
Catatan: Redaksi memberikan kesempatan kepada para pembaca untuk
menyumbangkan artikel yang berupa kritikan, tanggapan maupun
teori-teori yang berkenaan dengan isu-isu ruang
T^ntuUan Pf^ta pAriuanaan Kita Dencran Peta
R E D A K S I
Berkembangnya diskjrsus kelajtan akhir-akhir ini lebih
cenderung kepada persoalaan institusi belaka. Hal ini terlihat
dari kebijakan Pemerintahan Gus Duryang mencoba memberikan
alternatif pemecahan permasalahan krisis pengelolaan
sumberdaya alam laut secara institusional, Interpretasi berbagai
pihak tidak terelakkan lagi bahwa selama ini sumberdaya kelautan
belum sepenuhnya dikelola dengan optimal karena hanya
persoalan tidak ada institusi kementerian (departemen) yang
mengurusnya, Akhirnya wacana kelautan pun terjebak pada
persoalan kelembagaan. Yang terkadang melupakan persoalan
sebenamya --hak pengelolaan dan pemilikannya- dari persoalan
sumberdaya alam laut.
Tanggapan bermunculan. Koalisi terbentuk dari mulai
koalisi sumberdaya alam bikinan ngo sampai ke bikinan
pemerintah. Persoalan sumberdaya kelautan -termasuk
sumberdaya alam lainnya- menjadi (rencf berita harian di koran-
koran dan majalah-majalah yang bertemakan lingkungan. Menjadi
komoditas unggulan yang hanya bisa dibahas di fa//(s/iow-(aft
show selelah itu menjadi leluconan wacana yang dengan mudah
terbuang ketempat-tempatsampah pembahasan.
Dalam kondisi sekarang ini -dalam rangka pemulihan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dari berbagai krisis politik,
ekonomi, sosial dan budaya- tentu pengelolaan sumberdaya
kelautan menjadi salah satu agenda panting dari pemerintah untuk
pencapaian perbaikan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya
pasca krisis.
Sebagai salah satu persoalan pengelolaan sumberdaya
alam, sumberdaya kelautan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari
keterkaitannya dengan persoalan pengelolaan sumberdaya alam
atau sektor lainnya. Keterkaitan ini dilihat dari wilayah kelola
antar departemen yang berhubungan dengan wilayah laut. Dari
beberapa departemen yang menangani persoalaan sumberdaya
alam hampir seluruhnya bersentuhan dengan sektor kelautan,
misalnya departemen kehutanan dan perkebunan, departemen
perhubungan, departemen pariwisata, departemen pertambangan,
departemen pertanian dan lain-lainnya.
Adanya wilayah kelola yang bersentuhan ini akan
membawa persoalan kelautan kepada hal yang lebih rumit, yaitu
kekhawatiran semakin memperjelas tumpang tindihnya wewenang
dan tugas antar departemen. Dampak dari kerumitan ini akan
memunculkan inefisiensi pengaturan dan koordinasi serta
semakin memperpanjang urusan-urusan birokrasi antar
departemen. Maka dari itu ada sebagian kalangan (sebagian
PASCA
KRISIS
kalangan ngo lingkungan) berpendapat bahwa pengaturan dan
pengelolaan sumberdaya alam seharusnya diintregasikan ke
dalam satu wadah kementerian negara yang mengurusi persoalan
sumberdaya alam di Indonesia, Dan bahkan ada usulan dari
kalangan ini, bahwa pemerintah sudah waktunya membuat
undang-undang sumberdaya alam (termasuk
mengamandemenkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945) untuk
mempermudah penanganan pengelolaan sumberdaya alam (iiat
lobying beberapa ngo jaringan sumberdaya alam dan hukun
pada saat Sidang Umum MPR1999).
Hal lain yang tidak menutup kemungkinan menambah
kerumitan persoalan sumberdaya kelautan adalah belum adanra
kejelasan antara wilayah kelola negara dengan wilayah ketota
rakyat mengenai wilayah pengelolaan laut, yang selama ini harva
sebatas klaim-klaim sepihak dari keduanya.
Jadi saat diskursus kelautan terjebak hanya pada persoalan
kelembagaan, saat itu pula wacana kelautan menjadi sesuahi
yang hambar, hampa, dan menjadi jauh dari persoalan
sebenarnya, terkecuali memang pembahasan sumberdaya
kelautan sudah mejadi komoditas politik antar goiongan baftd
kalangan ngo, perguruan tinggi, pemerintah maupun di kalangan
partai politik, yang sudah barang tentu menjadikannya alatunU
saling menjatuhkan. Semoga tidak berkelanjutan!
Sebagai sebuah topik bahasan Kabar JKPP ke-7 kali iiL
persoalan sumberdaya kelautan coba kami sajikan dalam benli
lintasan-lintasan berita yang ringan mengenai apa yang teijaif
di tingkat wacana maupun apa yang terjadi sesungguhnya (i
tingkatpraktis (case record). • Kacong
2
Kabar JKPP 7 Edisi Marel 2000
T O P I K U T A M A
LAUT
BUTUH
MENTERI
NEGARA
Departemen Eksplorasi
Kelautan bentukan Gus
Dur diragukan dapat
mengembangkan bidang
kelautan secara optimal
oleh masyarakat
kelautan Indonesia.
Karena instansi tersebut
hanya berkedudukan
setingkat departemen
Sadar karena kekayaan laut belum dikelola secara serius,
akhirnya pemerintah Indonesia hasil pemilu 1999 membuat
terobosan baru dengan membuat kebijakan baru tentang
pengelolaan kekayaan laut. Segeralah pemerintahan yang
dipimpin oleh Gus Dur tersebut membentuk satu departemen
yang khusus menangani pengelolaan sumber daya kelautan, yakni
Departemen Eksplorasi Laut. Bahkan bukan itu saja, agar
niatannya tersebut dapat terlaksana sesuai dengan keinginannya,
presiden asal Jawa Timur tersebut mengangkat panglima angkatan
bersenjatanya dari kalangan angkatan laut. Dengan tujuan dapat
meningkatkan pengamanan pembangunan wilayah perairan laut
Indonesia, yang begitu kaya dan sangat luas.
Entah kenapa, kyai yang penuh humor ini mempunyai
niatan untuk mengelola kekayaan laut. Tetapi banyak yang
mengatakan bahwa salah satu alasannya mengambil keputusan
tersebut karena banyaknya kekayaan laut yang dicuri oleh pihak
asing dan belum dikelola secara menyeluruh. Sementara dari
kasus-kasus pencurian ikan di perairan Indonesia tersebut
diketahui telah merugikan negara hingga 2 milyar dolar setiap
tahunnya. Selain itu, ditemukan beberapa kasus pengerusakan
lingkungan laut akibat pembuangan limbah yang dilakukan oleh
kapal-kapal asing secara sembunyi-sembunyi.
Namun kelahiran departemen yang sudah ditunggu-
tunggu oleh masyarakat kelautan sejak lama tersebut justru
membuat kaget dan heran masyarakat kelautan itu sendiri.
Sebabnya, bentuk dari departemen tersebut jauh dari yang
diharapkan masyarakat selama ini, yakni satu kementerian negara
yang mampu mengelola bidang kelautan secara terpadu.
Sementara yang muncul malah departemen yang tidak lebih
bersifat sektoral dan cenderung menjadikan laut sebagai
komoditas saja. Dan ini pun bertentanjan dengan ide awal dari
Presiden Gus Dur. ' . . . '
Awal-awal, Gus Dur pemah mengatakan bahwa Negara
Indonesia ini 2/3 wilayahnya dipenuhi oleh lautan. Oleh karena
itu potensi kelautan di Indonesia ini harus dioptimalkan secara
menyeluruh dan terpadu di segala bidang yang berhubungan
dengan laut. Termasuk salah satunya angkutan transporlasi laut,
dan urusan pengamanannya. Bukan hanya itu, ia juga sempat
merasa aneh dan heran, dengan wilayah 2/3 dipenuhi laut ar-
mada transporlasi lautnya kok cuma ada 15 kapal saja. Melihat
ide besar tersebut, dalam bayangan masyarakat muncul bahwa
nanti presiden keempat tersebut akan membuat satu instansi yang
berfungsi sebagai koordinator pengelolaan laut secara
Kabar JKPP 7 Edisi Maret 2000
3
menyeluruh. Namun yang muncul cuma instansi yang
berkedudukan setingkat departemen, ironissekali.
Kekecewaan lain masyarakat adalah lebih disebabkan oleh
banyaknya departemen yang memiliki akses pengembangan
terhadap potensi laut, yang serta merta menyebabkan keruwetan
dan ketidakjelasan arah pemngembangan potensi kelautan seperti
Departemen Pertambangan dan Energi, Departemen
Perhubungan, Departemen Pariwisata dan Seni, dan Departemen
Dalam Negeri yang mengatur wewenang pemerintah daerah atas
laut. Sehingga mana mungkin instansi yang baru ini mampu
menuntaskan keruwetan dan tumpang tindihnya kewenangan
pengelolaan potensi kelautan selama ini.
Alasan lainnya, juga dikarenakan terlalu besamya potensi
kekayaan laut dan pesisiryang dimiliki Indonesia. Sehingga untuk
mengerjakan diperlukan kerja besar yang harus terkoordinasi
secara menyeluruh dan terpadu. Yang otomatis memerlukan
keterlibatan semua instansi yang terkait dengan pengembangan
kelautan Indonesia. Bayangkan saja, kekayaan laut Indonesia
sangat banyak dan beragam, balk yang hayati maupun yang non
hayati. Untuk kekayaan hayati saja diperkirakan mencakup, lebih
dari ribuan jenis, yakni dari mulai ikan hingga plankton-plank-
ton. Demikian pula dengan yang non hayati, diperkirakan
menyimpan jutaan barel miyak bumi, dan ribuan ton kandungan
mineral lainnya. Potensi tersebut masih lagi ditambah wilayah
pesisir yang memiliki nilai jasa yang lumayan besar nilainya.
Belum lagi, dampak dari pengelolaan laut terhadap
lingkungan sosial dan alamnya yang akan muncul. Seperti
J E N I S K E K A Y A A N TEMPAT
Ikan, kerang dan runnput laut seluruti peraian
minyak bumi
gas bumi
Kawasan Indonesia Timur
Kawasan Indonesia Timur
POTENSI
6,26jutaton/tatiun
57,3 milyar barel
123trilyun kubik
bahan tambang dan mineral sebagian besar di lepas pantai 857 ribu ton
energi alternatif selumti perairan belum diketatiui pasti
munculnya konflik-konflik sosial seputar perebutan pengilasaan
atas kekayaan laut antara pemerintah dengan masayarakat lokal
atau masyarakat adat dan pengrusakan-pengrusakan lingkungan
yang muncul akibat kegiatan pengelolaan tersebut. Dari sini saja
sudah sangat kompleks persoalannya, sehingga tidak mungkin
Departemen pimpinan Sarwono Kusumaatmadja ini mampu
bertindak sendirian untuk menanganinya. Bagaimana Pak
Sanwono ?
KEKAYAAN LAUT ITU
BUKAN HANYA IKAN
Untuk dapat mengelola laut Indonesia secara maksimal
dan menyeluruh, pemerintah perlu merubah cara pandangnya
tentang kekayaan laut. Yakni kekayaan laut itu bukan hanya Ikan.
Salah besar, jika ada anggapan bahwa kekayaan alam laut
Indonesia itu cuma ikan saja. Sebab dengan luas perairan
mencapai 5,8 juta km2, laut Indonesia ternyata masih banyak
menyimpan kekayaan lain yang kalau dikelola dengan baik dan
benar akan dapat memompa laju perekonomian nasional serta
dapat mensehjaterakan rakyatnya. Bahkan tidak akan menutup
kemungkinan, laut menjadi basis perekonomian Indonesia.
Anggapan ini bukanlah isapan jempol belaka. Mengingat
selama ini masih banyak kekayaan alam laut yang belum dijamah
dan bahkan cenderung diabaikan oleh pemerintah sejak 53 tahun
Indonesia menjadi negara merdeka. Padahal, kalau
saja sejak dahulu potensi ini diperhatikan dan
dijadikan basis pembangunan nasional, bukanlah
tidak mungkin kalau saat ini Indonesia adalah negara
terkaya didunia.
Ibarat laut kita ini adalah kolam susu, hampir
setiap jengkal perairan kita tidak ada yang tidak yang
mempunyai kekayaan. Hampir semua ruas wilayah
perairan kita ini memiliki potensi kekayaan yang
berlimpah baik itu yang bersifat hayati mapun yang
non hayati. Untuk sumber kekayaan hayati saja
,dari Sabang sampai Merauke keseluruhannya
ditaksir sekitar 6,26 juta ton setiap tahunnya. Dengan
pemasukan dari sektor perikanan sekitar 6.391.000
ton per tahunnya, dari jenis kerang-kerang, teripang
dan rumput laut sekitar 148.800 ton per tahun. Ini
4
Kabar JKPP 7 Etiisi Marel 2000
utM rAHAWANG-LAMPUNG
Foto:MitraBentala
masih belum ditambah dari ikan hias dan ikan karang yang
mencapai 56.300 ton per tahunnya,
Sementara itu potensi lainnya bisa dilihat dari berbagai
aneka keragaman keindahan spesies yang ada. Seperti terumbu
karang yang mencapai 75.000 kilometer persegi panjangnya,
yang otomatis akan dapat memberikan masukan melalui sektor
pariwisata dan iptek. Selain itu keuntungan letak pantai Indone-
sia yang landai sehingga dapat dijadikan area budidaya seperti
budidaya udang dan kawasan pariwisata pantai. Di perkirakan
ruas pantai Indonesia yang mencapai 81.000 km ini dapat
menampung budidaya tambak sekitar 840.000 hektar.
Belum lagi dengan kandungan non hayatinya yang
diperkirakan memiliki kandungan 63 miliar barrel minyak, dan
293 triliun kubik gas bumi. Sedangkan untuk kandungan endapan
mineral yang terdapat dikawasan dekat dan lepas pantai, yang
sudah diketahui letak dan jumlahnya diperkirakan mencapai
857.000 ton. Namun jumlah kandungan tersebut masih bisa
bertambah, mengingat eksplorasi bahan mineral dan tambang
di laut belum segencar dengan yang ada di darat.
Di samping itu kekayaan lain yang bisa diberikan oleh
laut Indonesia adalah energi penggantidari energi yang tidak bisa
diperbaharui.Yakni energi yang dihasilkan dari energi kinetik
arus gelombang, pasang surut dan arus, serta konversi energi
dari perbedaan salinitas. Hal ini di sebabkan oleh karena perairan
nusantara ini memiliki perbedaan suhu air minimal 20 derajat
selsius dengan intensitas gelombang laut yang sangat kecil
dibanding perairan laut didaerah tropika lainnya. Dan yang tak
kalah menariknya lagi adalah daerah perairan nusantara yang
masih dikelilingi oleh keaslian kebudayaan masyarakat. Sehingga
dimungkinkan untuk pengembangan industri pariwisata dan
penelitian iptek.
Namun patut disayangkan, dari kekayaan laut yang begitu
besar tersebut, masih banyak anggapan yang mengatakan bahwa
hanya ikan yang bisa memberikan nilai jual tinggi. Ironisnya lagi,
pemerintah hasil pemilu 1999 ini pun sebagian masih mempunyai
anggapan semacam ini. Buktinya, dalam membuat instansi yang
berkenaan dengan pengembangan dan pengelolaan laut, pola pikir
yang digunakan oleh pemerintahan Gus Dur masih terkesan
sektoral, Yakni dengan menempatkan instasi pengembangan dan
pengelolaan laut setingkat dengan departemen, Apakah mampu
instansi yang setingkat dengan departemen tersebut mengelola
kekayaan laut dengan optimal ? '~" Seritot
Kabar JKPP 7 Erlisi Maret 2000
5
O P I N
PENEGASIAN
HAK NEUYAN
ATAS RUANGLAUT
DI KEPULAUAN TOGEAN
iMachmud Dai, Direktur Yayasan Toloka
Secara geografis, Kepulauan Togean terletak di antara 121 ° 30' BT s/d 122° 25' BT dan 0° 3' LS s/d 0° 36'
LS atau persis berada di tengah Teluk Tomini dan secara administratif memiliki dua otonomi kecamatan, yakni
Kecamatan Una-unadan Kecamatan Walea Kepulauan, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Kawasan initerdiri
dari lima pulau relatif besar, yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan masing-masing: Batudaka, Togean,
Talatako, Walea Kodi dan Walea Bae. Kemudian dikelilingi oleh hamparan pulau-pulau kecil sejumlah 67 pulau,
yang secara keseluruhan memiiki luas daratan 72.085 Ha dan luas perairan laut seluas 108.669,99 Ha.
Masyarakat Togean, yang memang berdomisili di sekitar pesisir pantai, lebih layak disebut sebagai
masyarakat pesisir pantai. Karena pantai dan laut telah menjadi bagian integral dari kehidupan keseharian mereka.
Untuk menjalin interaksi sosial antar komunitas desa, mereka menyertakan laut sebagai jalur lalulintas; demikian
juga dalam hubungan ekonomi (dagang), hubungannya dengan dunia luar, pergi ke kebun, mengambil air dan
sebagainya, selalu menyertakan laut sebagai media aktifitas hidup mereka.
Sekalipun sebagian dari mereka memiliki kebun, namun hidup sebagai petani dijalani bila tidak dapat
beraktivitas di laut yaitu untuk mengisi aktivitas pada musim tertentu. Yang harus digarisbawahi adalah bahwa
tidak semua Orang Togean adalah petani darat; namun semua Orang Togean adalah pengguna laut. Fakta ini
disebabkan, paling tidak, oleh faktor geografis yang membentuk karakter sosial - budaya mereka yang memiliki
ketergantungan kuat pada laut dalam hidup keseharian mereka.
Aspek sosio-kultural ini meliputi masalah keahlian (skil!) dalam pola pemanfaatan sumberdaya alam laut
dan pengetahuan lokal, misalnya musim-musim yang terjadi di laut, teknik membuat dan menjalankan perahu,
dan banyak hal lain lagi yang disinyalir berasal dari pengetahuan mereka yang berhubungan dengan laut
(pengetahuan lokal). Pengetahuan ini terbentuk sejak ribuan tahun yang lalu, yang tersosialisasi secara turun-
temurun. Hal ini terlihat dari beberapa instrumen kultur mereka.
Dari perspektif pengelolaan sumberdaya alam, budaya bapongka adalah sistem pengetahuan asli dalam
pengelolaan sumberdaya alam yang khas Togean. Bapongka adalah suatu pola penangkapan ikan yang dilakukan
secara berkelompok, yang melibatkan beberapa keluarga dengan memakan waktu sampai dua bulan, menjajaki
terumbu karang {reef} yang satu ke terumbu karang yang lain hingga kembali lagi pada terumbu karang semula,
sama dengan pola gilir-balik oleh petani ladang. Budaya ini dijalani dengan ketentuan-ketentuan menurut
kepercayaan adat mereka, seperti tidak boleh membuang kotoran atau sampah sembarang, seperti kopi dan
sebagainya. Berbagai ketentuan adat dalam bapongka sarat muatan konservasi yang mendalam.
Kemudian, budaya mengambai, di mana komunitas desa secara bersama-sama, dari orang tua hingga
anak-anak, melaksanakan upacara ritual, kemudian dilanjutkan dengan mengepung ikan, mengusir dengan
menggunakan daun kelapa, sehingga terjaring pada pukat yang dipegang oleh semua orang yang terlibat dalam
upacara tersebut. Antar budaya bapongka maupun mengamba/memiliki sistim bagi hasil yang sama, artinya
siapa saja yang terlibat dalam proses tersebut mendapat bagian yang sama.
Banyak lagi instrumen ritual budaya mereka yang melibatkan laut sebagai komponen pokok, seperti upacara
setelah melahirkan anak, pengobatan dan sebagainya, yang mengisyaratkan betapa Orang Togean menjadikan laut
sebagai bagian integral dari kehidupan mereka.
6
Kabar JKPP 7 Edisi Maret 2000
WKUt KAMPUNG ORANG BAJO DI TOGEAN
Foto: JKPP H H i
Implikasi "Pembangunan" Terhadap Ruang Laut Masyarakat Togean
Kawasan Togean dikembangkan dengan tiga isu sektoral, yaitu perikanan, pariwisata dan perkebunan.
Ketiga sektor ini dikembangkan dengan cara merangsang investasi dari luar Sejak enam tahun yang lalu (tahun
1994), Togean mulai dimasuki oleh beberapa investor di ketiga bidang tersebut.
Pada sektor pariwisata telah masuk investasi dari Italia, yaitu PT Walea. Pada sektor perikanan, hadir
investor yang menanamkan modal pada sektor budidaya mutiara yaitu PT Tamatsu Cahaya Indonesia (TCI, Jepang)
dan CV. Cahaya Cemerlang (CC, Australia); beberapa investor lainnya, bergerak pada perdagangan ikan karang
hidup (misalnya ikan napoleon). Sementara itu pada sektor perkebunan telah hadir PT Agronusa Cahaya Perkasa
dengan izin membuka lahan perkebunan karet, yang kemudian disertai dengan izin pemanfaatan kayu (IPK).
Investasi pada ketiga sektor tersebut, berimplikasi buruk terhadap lingkungan kelautan, terutama akses
jangka panjang masyarakat lokal terhadap sumberdaya laut. PT Walea telah melarang masyarakat lokal, dalam hal
ini fvlasyarakat Adat Bajo, untuk menggunakan sumberdaya laut di pesisir pantai sepanjang 7 Km dengan alasan
pelestarian. Pelarangan ini didasarkan pada rekomendasi dari Pemda Kabupaten Poso.
Kemudian, menurut yang data berasal dari kegiatan pemetaan laut partisipatif yang dilakukan oleh Masyarakat
Dusun Siatu, satu lokasi dari beberapa lokasi yang ada di Togean, PTTCI telah mengkapling areal pemanfaatan
laut nelayan tradisional seluas 1.573 Ha. Selanjutnya TCI telah mengambil batu karang ± 10.000 m^ yang apabila
dinilai secara ekonomis, Masyarakat Dusun Siatu telah dirugikan sebesar ± Rp. 1,6 milyar setiap tahunnya.
Demikian juga dengan CV. Cahaya Cemerlang yang telah mengganggu jalur lalulintas nelayan di Teluk
Kilat (Desa Lembanato) dan lokasi bagan masyarakat di tiga desa. CV. Cahaya Cemerlang secara sepihak juga
membangun laboratorium budidaya mutiara pada lokasi pekuburan nenek moyang yang dikeramatkan oleh Suku
Bobongko.
Padatingkatan yang lebih teknis, inspirasi kebijakan yang diterapkan di Kepulauan Togean sangat bias
darat. Artinya, persepsi kebijakan di laut menggunakan standar perizinan darat. Misalnya, budidaya mutiara seolah-
olah disamakan dengan budidaya ikan di darat, seperti ikan lele, padahal perbedaanya sangat signifikan. Laut
memiliki persoalan yang lebih kompleks.
Kabar JKPP 7 Edisi Marel 2000
NELAYAN TOGEAN
Foto: JKPP
m
Di bidang perkebunan, PT ACP telafi membabat kayu +12.000 m^tanpa ada Indikasi untuk membuka
lahan perkebunan. Yang menjadi masalah kemudian adalah terganggunya ekosistem kawasan yang mengancam
potensi sumberdaya laut, seperti terbentuknya sedimentasi yang dapat mengancam dan mematikan terumbu karang
serta perkampungan yang ada di pinggir garis pantai, yang juga berarti terancamnya potensi lahan perikanan
masyarakat lokal. Pengkaplingan wilayah darat (hutan) pada kawasan kepulauan, telah mengalihkan kosentrasi
pemanfaatan sumberdaya alam dari darat ke laut, di mana fungsi wilayah darat seharusnya dijadikan alternatif
yang dapat mengimbangi atau memperlambat eksploitasi laut, yang berarti juga mengurangi ketergantungan
masyarakat lokal pada laut yang kuat, sehingga dapat menjaga keseimbangan eksploitasi sumberdaya alam
atau yang disebut sisi berkelanjutan. Maka perspektif pembangunan yang dikembangkan harus dalam kerangka
pengembangan ekosistem pulau-pulau kecil, di mana tidak memisahkan dimensi darat dari laut, atau sebaliknya.
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR ) versus
Struktur Keruangan Laut Masyarakat Togean
Konflik perebutan sumberdaya alam di Togean saat ini, seperti tersebut di atas, dapat ditelusuri dalam
suatu proyeksi benturan, antara pemanfaatan ruang oleh masyarakat lokal dengan kekuatan modal besar yang
difasilitasi oleh pemerintah.
Berkaitan dengan masalah keruangan, RDTR dilihat sebagai suatu produk (fasilitas) kebijakan strategis
yang bisa jadi sebagai pemicu terjadinya benturan-benturan, yang cukup sarat dengan potensi pergolakan sosial.
Tidak hanya itu, RDTR juga berfungsi sebagai parameter kebijakan instansi sektoral, di mana RDTR sangat
menentukan kemungkinan positif sekaligus negatif pengembangan suatu kawasan, dari ancaman masalah-masalah
yang akan timbul di masa yang akan datang. Asumsi strategis fungsi RDTR ini, tak jarang, menjadi alat kekuasaan
yang sarat dengan kepentingan-kepentingan. Karenanya RDTR dapat mencerminkan suatu pola pembangunan
serta target yang ingin dicapai oleh pemehntah dalam suatu kawasan, terutama mengenai monopoli penguasaan
sumberdaya alam.
Sebagai instrumen kebijakan, tentunya, RDTR sangat ditentukan oleh mesin yang memproduksinya. Kesan
kental RDTR selama ini merupakan produk kebijakan yang sentralistik, artinya RDTR dibuat tanpa memperhatikan
aspek-aspek keruangan masyarakat. RDTR lebih sering diartikan sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi, prioritas
penanaman modal dan bagaimana memperoleh pendapatan daerah yang besar Sementara aspek-aspek sosial,
budaya serta ekonomi masyarakat lokal diarahkan dalam kepentingan di atas.
8
Kabar JKPP 7 Edisi Maret 2000
Kasus di Togean, seperti yang telah dipaparkan di atas, memperlihatkan fenomena ini. Mulai dari ruang
pemanfaatan laut nelayan tradisional, ruang gerak sosial, serta ruang gerak budaya mereka terhegemoni oleh
investasi modal skala besar Sebagai konsekuensinya, nelayan tradisional Dusun Siatu kehilangan 107 titik areal
pemanfaatannya yang saat ini menjadi areal budidaya mutiara PT TCI. Masyarakat Dusun Siatu tidak mungkin
lagi dapat mengekspresikan sistem penangkapan ikan bapongka, mengambai, ba'etu, ba'tonda, dan sebagainya,
yang notabene, adalah keahlian {skill) adat mereka yang sangat arif terhadap lingkungan. Konsekuensinya, cara-
cara destruktif seperti bom dan potasium yang bukan tradisi penangkapan ikan mereka, kini menjadi alternatif dan
menjadi ancaman terbesar terhadap lingkungan di Togean saat ini.
Dalam kurun persiapan pelaksanaan otonomi daerah, fungsi RDTR menjadi semakin penting untuk disoroti
sebagai produk kebijakan; paling tidak oleh beberapa hal. Pertama, asumsi yang menyatakan bahwa UU No. 22
Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah disinyalir akan semakin melegitimasi fenomena eksploitasi sumberdaya alam dan penyingkiran ruang
masyarakat seperti yang terjadi sekarang.
Kedua, munculnya dan merebaknya semangat pemekaran wilayah di daerah Poso, mengalihkan masalah
substansi - pembatasan hak masyarakat Togean atas ruang pemanfaatan sumberdaya alam — yang belum
terselesaikan. Opini pemekaran wilayah, lebih mengedepankan aspek primordialisme kekuasaan, sehingga tak
jarang, motif perjuangannya juga primordial.
Ketiga, transformasi perubahan saat ini telah memungkinkan partisipasi masyarakat dalam proses
pembangunan, meskipun peluang itu masih sangat kecil. Karenanya agenda lembaga swadaya masyarakat yang
bertolak dari perspektif ruang adalah menggenjot peran aktif masyarakat untuk memproteksi ruang masyarakat
melalui pemetaan partisipatif, yang kemudian dijadikan usulan untuk merevisi RDTR, sehingga ketika otonomi
daerah dilaksanakan tidak akan menciptakan konsekuensi buruk pada masyarakat, minimal ada suatu kebijakan
(RDTR) yang melegitimasi sistem keruangan masyarakat.
DERMA&A DESA WAKAI-TOGEAN
Foto: JKPP
Kabar JKPP 7 Edisi Maret 2000
T E O R I
PENGINDERAAN JAUH
DI BIDANG
KELAUTAN
Potensi Kelautan
Di saat sumberdaya di darat sudah mulai dirasakan
keterbatasannya, maka banyak negara yang mencurahkan
perhatiannya pada laut dan pantai. Di satu sisi laut dianggap
sebagai pemisah yang menyulitkan dan merugikan, di sisi
lain memiliki potensi yang sangat besar.
Potensi laut adalah sebagai: (a) sarana transporlasi,
(b) sumberdaya alam hayati perikanan, (c) pertambangan
minyak dan gas, (d) penggalian timah dan pasir besi, (e)
obat-obatan dan kosmetik, (f) energi, (g) rekreasi dan
pariwisata, (h) pendidikan dan penelitian, (I) konservasi alam
dan (j) pertahanan dan keamanan.
Wilayah kelautan Indonesia meliputi:
1. Jumlah pulau = 17.508 dengan perincian 5.707
bemama dan 11.801 tidak bernama.
2. Luas perairan = 5,9 juta Km^
3. Luas kepulauan = 2,8 juta Km^
4. Laut tentorial = 0,4 juta Km^
5. Perairan ZEE = 2,7 Km^
6. Panjang seluruh garis pantai = 80.791 km (BPPT, 1995).
Penginderaan Jarak Jauh
Untuk dapat memanfaatkan, mengolah dan
melestarikan potensi sumberdaya laut dan pantai ini maka
dibutuhkan teknologi untuk mengumpulkan data,
mengolahnya dan menyajikan kepada kita, guna melakukan
perencanaan dan pelaksanaan pemanfaatan sumberdaya laut
yang efektif dan efisien.
Salah satu cara untuk mengumpulkan data
digunakan teknologi penginderaan jauh, karena selain data
yang diperoleh memiliki tingkat ketelitian yang tinggi dan
beragam, obyek di bumi dapat direkam secara menyeluruh
dengan cakupan yang luas dan dalam waktu yang relatif
singkat serta data dapat diterima secara berseri sehingga dapat
dipergunakan untuk memonitor perubahan-peaibahan yang
terjadi.
Era teknologi penginderaan jauh di Indonesia saat
ini tengah bergeser dari kegiatan pengkajian dan penelitian
menuju kegiatan operasionalisasi penuh, dengan mulai
berfungsinyastasiun bumi multi-misi yang terdiri dari stasiun
penerima di Pare-pare. Sulawesi Selatan dan pusat
pengolahan data di Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur
(Soesilo, 1992).
Foto Udara
Foto udara yang baik sekali untuk informasi dasar
laut adalah dengan menggunakan fotografiberwama atau Infra
merah benvama. Dasar yang berupa pasir yang putih tampak
biru kehijauan pada air laut yang jernih dengan menggunakan
film berwarna dan tampak berwarna biru pada film inframerah
benfl/ama (dengan filter kuning). Gambaran dasar laut tampak
agak lebih tajam pada film inframerah berwarna karena
panjang gelombang biru ditahan oleh filter sehingga pengaruh
kabut bawah air dapat diperkecil (Lillesand, 1990).
Foto orttiokromatikmemaumkan film orthokromatik
yang peka terhadap panjang gelombang 0,4 mm - 0,56 mm.
Foto ini dapat digunakan untuk studi pantai karena filmnya
cukup peka terhadap obyek di bawah permukaan air atau
dasar perairan laut yang dangkal, selain itu dapat digunakan
untuk mendeteksiairjernih atau air keruh. (Sutanto, 1987).
Fotopankromatikhitam-putlhvana peka thd panjang
gelombang 0,36 mm - 0,72 mm ini pada penerapannya thd
sumberdaya air yaitu digunakan untuk mendeteksi
pencemaran air, evaluasi kerusakan oleh banjir, agihan air
tanah dan air permukaan. (Sutanto, 1987).
Foto pankromatik berwarna. walau pun lebih mahal,
memiliki kelebitian yaitu mata manusia dapat lebih mengenali
perbedaan yang tampak pada foto, dibandingkan pada foto
pankromatik hitam putih. Jika pada foto pankromatik hitam
putih mata manusia hanya dapat membedakan ± 200 gradasi
hitam putih, maka pada foto pankromatik berwarna dapat
membedakan 20.000 warna, berarti 1:100. f^/laka informasi
yang didapat juga akan lebih banyak. Kegunaannya di bidang
hidrologi dan oseanografi adalah untuk menarik garis batas
antara air dan daratan, selain itu juga untuk pemetaan
kedalaman air. Contoh: untuk memantau pola genangan air
di daratan, memetakan batas daerah banjir, penentuan garis
pantai dan pendugaan kedalaman air. Bagi daerah pantai,
untuk membedakan wama air dan memiliki kemampuan untuk
menembus air lebih besar dibandingkan dengan foto
inframerah. Wama hijau dapat diartikan adanya konsentrasi
klorofil dan fitoplankton. Warna biru dapat diartikan air
yang jernih dan dalam (Sutanto, 1987).
Foto Inframerah hitam putih yang peka terhadap
saluran ultraviolet dekat, spektrum tampak, dan saluran
inframerah dekat hingga panjang gelombang 0,9 mm ini
sangat baik untuk mendeteksi air permukaan (saluran irigasi),
analisis pola aliran dan penarikan garis batas antara airdan
daratan. Daya serap terhadap air sangat besar sehingga air
tampak gelap sekali. (Sutanto, 1987).
10
Kabar JKPP 7 Edisi Maret 2000
'''^vvl,^;^'!li'•'U«,i;,«:.
Di bidang pencemaran air, perbedaan utama
pantuian antara tubuin air dan lapis minyak pada bagian
spektrum fotografik terletak diantara 0.30 mm - 0.45 mm.
Oleh karena itu hasil yang paling baik dapat dicapai bila
menggunakan fotografi warna normai atau fotografi uitravio-
/ef (Lillesand, 1990).
Citra Satelit
SateWS£4S^yang diluncurkan oleh NASA pada
tahun 1978 diperoleh untuk usaha inventarisasi potensi energi
gelombang untuk pembangkit energi listrik, potensi akumulasi
migas berdasarkan topogarfi bawah laut, prediksi arus serta
arah pergerakan gelombang dan angin (Sachoemar, 1994).
Salah satu hasil pengukuran sensor altimeter pada satelit
SEASAT dapat menunjukkan posisi arus teluk {gulfstream)
dan pusaran laut (Halide, H. 1996)
Satelit orbit Polar I Polar Orbiting Environmental
Satelit (POES.NOAA-USA)ciperQurakar) untuk memprediksi
mula jadi siklon maupun badai, dan distribusi temperatur
permukaan laut. Sensor CoastalZone ColorScannerpada
POES digunakan untuk mengamati distribusi khiorofil muka
laut, yang bila digabung dengan data temperatur muka laut
dapat digunakan untuk melokalisir daerah konsentrasi ikan
(Soesilo, 1988).
Satelit /y/mbus-Zdiqunakan untuk mengukur warna
dan suhu permukaan laut di wilayah pantai, penelitian dan
pemetaan es laut, karakteristik spektral permukaan es
kontinental, agihan O3, profil tegak suhu, O3, H^o, NO^ dan
HNO3, konsentrasi aerosols dan agihan global CO, CH^ dan
NH3. (Sutanto, 1987).
Sensor Thematic flapper (TM) pada LANDSATYang
terdiri atas tujuh saluran, dua saluran pertamanya cocok untuk
maksud penginderaan dasar perairan dangkal. Saluran
tersebut adalah saluran 1 dengan panjang gelombang 0,45
mm - 0,52 mm dan saluran 2 dengan panjang gelombang
0,52 mm - 0,6mm (Sutanto, 1987). Selain itu Landsat m
dapat dipergunakan untuk inventarisasi dan evaluasi
ekosistem terumbu karang, data yang didapat berupa data
MEMETAKAN SUMBERDAYA PANTAI PAHAWANG LAMPUN
Folo: Mitra Benlala
materi dasar perairan; kedalaman perairan; partikel
tersuspensi, kecerahan dan suhu (Winarso, 1996). Landsat
saluran 4 paling sesuai untuk mendeteksi obyek bawah
permukaan air pada tubuh air yang tenang dan jernih,
mendeteksi kedalaman air, kualitas air dan kekeruhan air.
Landsat 6 dan 7bak untuk mendeteksi tubuh air karena rona
air tampak gelap sekali, juga baik untuk menarik garis batas
antara air dan daratan serta mendeteksi pola aliran. Selain
itu data landsat dapat digunakan untuk mendeteksi organisme
laut, penentuan pola kekeruhan airdan sirkulasi air, pemetaan
perubahan garis pantai, pemetaan daerah dangkal, pemetaan
es untuk pelayaran dan studi arus dan gelombang. (Sutanto,
1987).
Gabungan LANDSATdan foto udara dapat membantu
mendeteksi hadirnya unsur-unsur pencemar berupa emuisi
film minyak di laut. Lapis minyak yang tebal memiliki warna
coklat atau hitam. Lapis minyak tipis [oilsheen) dan pelangi
minyak {oil rainbow) memiliki karakteristik warna keperakan
dan warna pelangi, tetapi tidak memiliki warna coklat atau
hitam yang jelas (Lillesand, 1990).
Fusi antara Citra Radarsat Fine 4 dan Landsat W
dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan hutan man-
grove. Perbedaan antara tempat tumbuh {floor type) dan
kerapalan mangrove antara yang alami dan yang ditanam
kembali dapat dikenali dari perbedaan tekstur dan rona pada
citra Radarsat. Tekstur dan rona hutan mangrove pada citra
Radarsat terlihat lebih kasar dan gelap dibandingkan dengan
tekstur dan rona mangrove yang ditanam kembali. Perbedaan
ini menyatakan perbedaan kerapatan tajuk {crown closure)
dan tempat tumbuh (Rahardjo dan Ratna, 1998)
Khusus untuk satelit NCAA memiliki 5 sensor, salah satunya
adalah A VHRR (Advance Very High Resolution Radiometer)
yang memiliki 5 saluran radiometer. Data dari satelit NOAA
lebih relevan untuk menghitung temperatur permukaan laut,
karena diantara sensor-sensor yang dimilikinya bekerja pada
daerah panjang gelombang inframerah jauh, yaitu saluran 4
dan saluran 5. Kombinasi dari kedua saluran ini digunakan
untuk pemantauan awan pada slang dan malam hari;
perhitungan temperatur permukaan laut dan kelengasan tanah
(Mardio, 1988). Data mengenai suhu permukaan laut sebagai
Kabar JKPP 7 Edisi Maret 2000
I I
salah satu parameter lingkungan laut, dapat memberikan
informasi lokasi front/upwelling6i wilayah perairan terbuka
dan diduga berkaitan dengan tingkah laku dan keberadaan
ikan (Hendiarti dkk, 1999).
Salah satu indikator kesuburan perairan adalah
adanya fitoplankton, keberadaannya sangat berperan dalam
menjamin kelangsungan hidup organisma perairan lainnya
secara berkelanjutan. Tinggi rendahnya produktivitas
sumberdaya perikanan secara ekologis banyak tergantung
kepada keberadaan fitoplankton dalam suatu perairan. Sen-
sor OCTS (Ocean Color and Temperature Scanner) pada
satelit ADEOS (Advance Earth Observation Satellite) milik
Jepang ini digunakan untuk mendapatkan data globalocean
blo-optlcalproperties. Data ini dapat memberikan informasi
tentang adanya variasi warna perairan (ocean coloi) sebagai
implementasi adanya perbedaan konsentrasi organisma
mikroskopik fitoplankton dalam perairan. Sensor OCTS ini
dapat berperan ganda yaitu selain mampu mendeteksi warna
perairan, ia mampu juga mengukurtemperaturwama perairan
melalui gelombang Near Visible Infrared, maka
pemanfaatannya diharapkan dapat seoptimal mungkin untuk
pendeteksian eutrofikasi, pemantauan kesuburan perairan,
daerah upwelling dan formasi pembentukan daerah
penangkapan ikan melalui pendeteksian temperatur
permukaan laut dan sebaran klorofilnya. (Sachoemar, 1996)
Contoh-contoh Penerapan Inderaja
Beberapa contoh penggunaan teknologi
penginderaan jauh di bidang kelautan:
1. Di Amerika Serikat, pada Perang Dunia ke dua,
penggunaan foto untuk penginderaan dasar perairan
dangkal digunakan untuk membuat peta kedalaman air
dan identifikasi pulau karang dengan maksud agar tidak
terjadi benturan antara kapal dan kendaraan pendarat
lainnya dengan pulau karang.
2. Dalam bidang oseanografi, data LANDSAT telah dicoba
untuk menganalisis pola dan distribusi arus di Teluk
Jakarta. Dalam bidang geoiogi kelautan, penerapan
teknologi tersebut juga telah banyak dicoba untuk
menganalisis gerakan suspensi sedimen dan kecepatan
perubahan pantai (Suyarso, 1988).
3. Inventarisasi sumberdaya alam delta Digul, Irian Jaya,
menggunakan citra Landsat Tlvl, sebagai suatu studi
pendahuluan pengelolaan yang terpadu (Kardono,
1993).
4. Evaluasi kondisi kawasan pesisir Cirebon, dengan
menggunakan data SPOT XS level 2A dan Landsat TM
serta Foto Udara, untuk mendapatkan informasi tentang
kemungkinan pemanfaatan lahan untuk usaha budidaya
perairan atau pertambakan (Sachoemar, 1994).
5. Pemantauan perubahan kondisi fisik daratan dan
perairan kawasan pantai utara Karawang dengan analisis
citra Landsat mS-JM (Sachoemar, 1994).
6. Pengukuran distribusi suhu permukaan laut di selat
Makassar dengan menggunakan sensor AVHRR satelit
NOAA-11 (f(4assinai, 1996).
7. Dari data distribusi SPL (penentuan suhu permukaan
laut) satelit NOAA di Selat Sunda untuk musim timur,
dapat diperoleh informasi tentang pola arus laut.
sedangkan gabungan data SPL dan data hasil tangkapan
ikan layang diperoleh keterkaitan yang erat antara hasil
tangkapan dengan distribusi SPL, serta lokasi-lokasi
potensial penangkapan lainnya yang dapat dijadikan
panduan dalam operasi penangkapan (Hasyim, 1996),
8. Penerapan data SPOT untuk perencanaan
penanggulangan pencemaran operasi minyak dan gas
bumi di Delta IVIahakam, Kalimantan Timur (Soesilo,
1992)
Istilah-istilah
Fronf yaitu daerah pertemuan dua massa air yang
mempunyai karakteristik berbeda misalnya pertemuan antara
massa air dari Laut Jawa yang agak panas dengan massa air
dari samudera Hindia yang lebih dingin (Hasyim, 1996)
Upwelling adalah proses penaikan massa air laut
dari lapisan bawah ke lapisan atas / permukaan yang
mengakibatkan daerah tersebut lebih dingin dibandingkan
daerah disekitarnya seria memiliki kandungan zat hara yang
tinggi dan sangat diperlukan untuk makanan fitoplankton/
zooplankton (Hasyim, 1996). Mamik
Daftar Pustaka
Lillesand, TM, dan Ralph W.Kieler. 1990. Penginderaan Jauh dan interpretasi Citra.
GajahMada University Press. Yogyakarta.
Halide, Halmar, 196. Penentuan Arus Permukaan Laut Menggunakan Altimeter pada
Satelit. Makalah dalam Seminar Maritim 1996, BPPT dan DEPHANKAM, Ja-
karta.
Hasyim, B., Khairul Amri dan Maryani Hartuti. 1996. Pemanfaatan Data Penginderaan
Jauh NOAA_AVHRR untuk Pengamatan Pola Arus Laut dan daerah Potensi
Penangkapan Ikan, Makalah dalam Seminar Maritim 1996. BPPT dan
DEPHANKAM. Jakarta,
Hendiarti. N., Bambang Winarno, Khaerul Amri dan Hilda Lestiana. 1999. Pemberdayaan
Sumberdaya Lingkungan Laut Dengan Teknologi Inderaja, BPPT, Jakarta.
Kardono. A.A., Dartoyo. Turmudi, Dewayany Sutrisno. 1994. Penggunaan Data Inderaja
(Landsat-TM) untuk Studi Pendahuluan Pengektlaan Sumber Daya Alam Wilayah
Pantai Delta Digul, Makalah yang disampaikan pada Seminar Teknik Panlai
1993, LPTP-BPPT, Yogyakarta.
Mardiono, P.. Achmad S,H. dan Bambang U. 1988. Pemanfaatan Data Satelit Lingkungan
dan Cuaca untuk Kelautan, Makalah dalam Seminar Laut Nasional II, Jakarta
27 - 30 Juli 1987. Kerjasama KLH. Lab. I!mu Kelautan Ul IPB dan Ikatan
Sarjana Oseanobgi Indonesia (ISDI).
Massinai, MA. 1996. Aplikasi Penginderaan Jauh dalam Penentuan Suhu Permukaan
Laut Selat Makassar, Makalah dalam Seminar Maritim 1996. BPPT dan
DEPHANKAM, Jakarta.
Purwadhi, F.S.H. 1988. Monitoring Kerusakan Pantai dari Data Penginderaan jauh.
Makalah dalam Seminar Laut Nasional II. Jakarta 27-30 Juli 1987. Kerjasama
KLH, Lab. llmu Kelautan Ul IPB dan Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISDI).
Rahardjo, S. dan Ratna Saraswati. 1998. Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh
untuk Pemantauan Hutan Mangrove di Bali Selatan,
Sachoemar, SI, dan Indroyono Soesilo. 1994. Pemantauan Perubahan Kondisi Fisik
Daratan dan Perairan Kawasan Pantai Utara Karawang dengan Analisis Cilra
Landsat.
Sachoemar, S.I. dan AgusWibowo. 1994. Pemantauan Kawasan Pertambakan Di Wilayah
Pesisir Cirebondengan Penginderaan Jauh, Makalah yang disampaikan pada
Seminar Teknik Pantai 1993. LPTP-BPPT Yogyakarta.
Sachoemar S,l, dan Bambang Winarno. 1996, Pemanfaatan Data Satelit ADEOS untuk
Pemantauan Kesuburan Perairan dan Identifikasi Daerah Penangkapan Ikan.
Kumpulan Makalah Seminar Maritim Indonesia 1996, BPPT - DEPHANKAM di
Makassar 18-19 Desember 1996,
Soesilo, I. 1988. Satelit-satelil pengindera Bumi dan Dampaknya Bagi Indonesia,
disampaikan dalam Acara Ceramah Tamu dihadapan Siswa SESKO ABRI
SUSREG Angk. XV, bandung. 29 Nopember 1988.
Soesilo, I, 1992. Potensi dan Prospek Penggunaan Data Inderaja di Indonesia. Makalah
yang disampaikan pada LANDSAT Seminar Jakarta 24-26 Nop 1992, kerjasama
UPAN-MDA, Canada.
Sutanto, Prof, Dr 1987. Penginderaan Jauh. GajahMada University Press. Yogyakarta,
Suyarso. 1988, Teknologi Penginderaan Jauh dan penerapannya dalam Oseanologi,
Oseana.VolXlll,No.1, Jakarta.
Winarso, G. dan Bidawi Hasyim. 1996. Inventarisasi dan Evaluasi Ekosistem Terumbu
Karang dengan Metoda Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis,
Makalah dalam Seminar Maritim 1996. BPPT dan DEPHANKAM, Jakarta,
12
Kabar JKPP 7 Erlisi Maret 2000
BAGAN
.SIAPIAPI
DULU &
SEKARANG
Bagansiapiapi kini hanya
menyisakan tiga anak tangganya
sebagai tanda sisa-sisa
kejayaanya di masa silam. Akibat
lautnya terkubur dengan lumpur
sepanjang 4 kilometer lebih
Nama Bagansiapiapi, dalam bul<u pelajaran llmu
Pengetahuan Sosial di tingkat sekolah dasar di Indonesia
tercantum sebagai daerah penghasil ikan terbesar di Indonesia.
Namun fakta yang ada saat ini tidaklah lagi demikian. Karena
Bagansiapiapi saat ini tidak lagi menjadi daerah penghasil ikan
terbesar di nusantara, akan tetapi hanyalah daerah pemasok
kemiskinan di Propinsi Riau. Padahal sebelum Perang Dunia II
daerah ini tercatat sebagai penghasil ikan terbesar kedua di dunia
setelah Peru.
Petaka Bagansiapiapi dimulai sejak kehilangan
lebih dari 94 mil persegi wilayah penangkapan ikan di perairan
dalam akibat pendangkalan sepanjang 4 Kilometer selama rentang
waktu 25 tahun terakhir. Kehilangan perairan inilah yang
kemudian menjadi penyebab utama terjadinya penurunan
tangkapan ikan Bagansiapiapi. Selain itu, akibat dari
pembuangan limbah sisa-sisa pencucian kapal tanker minyak dari
Dumai, Singapura dan Selat Malaka menyebabkan air di daerah
tersebut berubah menjadi berwarna hitam dan kotor oleh
genangan minyak, sehingga ikan-ikan di perairan tersebut banyak
yang mati, termasuk juga biota lautnya yang note bena merupakan
makanan bagi ikan, yang akhimya tangkapan ikan pun menurun
drastis.
Kabar JKPP 7 Edisi Marel 2000
PERAHU NELAYAN PAHAWANG-IAMPUNG
Foto: Mitia Benlala
Sementara Selat Malaka sebagai daerah penangkapan
ikan utama yang menghasilkan ikan bermutu sudah mengalami
jenuh tangkap (overfishing). Sebab 99,97 persen dari 84.928
ton potensi lestarinya sudah tergarap akibat kebijakan pemerintah
Indonesia untuk mengeksploitasi hasil laut besar-besaran. Tak
kurang dari 2.000 kapal penangkap ikan dari berbagai daerah di
Riau dan propinsi tetangga seperti Sumut, beroperasi di daerah
ini.
Penurunan produksi ikan semakin diperburuk oleh
anjioknya harga ikan asin dan terasi di pulau Jawa. Padahal,
ikan asin dan terasi mempakan komoditi andalan Bagansiapiapi,
sebab 64 persen dari produksi ikan basah daerah ini dijadikan
ikan asin dan terasi. Masalah lain yang tidak dapat dihindari
adalah terjadinya perubahan pola arus ikan yang belum diketahui
sebabnya sampai sekarang, selain karena punahnya hutan bakau
di wilayah ini yang sedianya menjadi s/ie/ferbagi ikan-ikan dan
biota-biota laut dangkal sebagai ekses dari kebijakan eksploitasi
laut oleh pemerintah yang sembrono.
Sebenamya, hancumya Bagansiapiapi tidaklah lepas
dari kebijakan pemerintah saat itu. Yakni dengan kebijakan yang
dikenal dengan program motorisasi dan penggunaan alat-alat
tangkap modern seperti trawl, purse seine, gillnet, pole and line,
dan sebagainya. Padahal akibat kebijakan tersebut terjadi
kerusakan lingkungan, berikut rusaknya alur berkembangbiaknya
ikan. Ikan di Bagansiapiapi seperti tidak pemah bisa beranak
pinak. Di samping itu wilayah tangkap nelayan tradisional
semakin terbatas dan harus mengayuh dayung hingga ke tengah
lautan jika ingin mendapatkan ikan. Dan ujung-ujungnya
menimbulkan konflik antara pengusaha perikanan besar dengan
nelayan tradisional.
Konfilik ini pun akhimya mencapai puncaknya tahun
1980 yakni dengan melakukan protes dan aksi-aksi pembakaran
terhadap (raiv/yang mereka temui di lautan. Melihat ini akhimya
pada 1 Juli 1980 dikeluarkan Keppres No. 39 tahun 1980 tentang
Penghapusan Jaring Trawl. Namun penghapusan penggunaan
alat ini bisa dikatakan terlambat dan tidak konsisten. Karena
pencabutan ini diberlakukan setelah Bagansiapiapi sudah
mengalami kerusakan yang cukup parah. Anehnya lagi, sekalipun
sudah dihapus, penggunaan alat ini ternyata masih terus
berlangsung. Kesan yang muncul, hanya terkesan untuk
menenangkan pembakaran-pembakaran trawl oleh nelayan-
nelayan kecil pada saat itu.
Dan kini Bagansiapi-api telah menjadi pelabuhan yang
sepi dan paceklik ikan. Entah sampai kapan Bagansiapiapi akan
mengalami kondisi seperti itu ? Akankah nasib laut Indonesia
juga seperti Bagansiapiapi ? Kita lihat saja nanti.
AgungY
14
Kabar JKPP 7 Erlisi Maret 2000
menghadiri acara ini. Beberapa wal<il dari instansi pemerintah
(BKSDA Sulawesi Tengah, Bappeda TKII Poso) dan wakil ngo
(Yayasan Toloka, Walhi Sulteng, Yayasan Tanah Merdeka, Sekber
Togean, Eksekutif Nasional Walhi) juga turut menghadiri acara
ini.
Masyarakat Kepulauan Togean menyadari bahwa ternyata
begitu banyak masalah yang dihadapi. Maraknya investor tiram
mutiara dan booming investasi pariwisata jelas sangat
mengancam ruang gerak nelayan Togean. Berbagai Ijin
Pemanfaatan Kayu (IPK) jelas sangat mengancam sumberdaya
hutan Kepulauan Togean yang sebenamya sudah sangat sempit
dan tidak layak lagi untukdiusahakan. Penangkapan ikan dengan
bom dan bius, pembabatan bakau, pengambilan batu karang
adalah beberapa masalah yang mengancam sumberdaya laut
Kepulauan Togean. Masyarakat Kepulauan Togean sangat prihatin
terhadap berbagai masalah ini. Berbagai upaya untuk
menyelesaikan masalah ini telah dilakukan, akan tetapi belum
ada hasil yang memuaskan. Akankah berbagai masalah yang
mengancam keberlangsungan Kepulauan Togean ini terus
didiamkan saja ?
Untuk menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi
masyarakat Togean dan juga sebagai wadah silaturahmi
Masyarakat Kepulauan Togean, padatanggal 11 Oktober 1999
telah dibentuk Aliansi Masyarakat Adat Kepulauan Togean. Pada
saat itu juga Badan Pekerja Aliansi Masyarakat Adat Kepulauan
Togean membuat deklarasi yang menyerukan kepada semua pihak
agar menghormati dan menjunjung tinggi aturan adat dan
wilayah-wilayah adat yang ada dan dimiliki oleh Masyarakat Adat
KepulauanTogean. Ganden
PERTEMUAN
MASYARAKAT
ADAT TOGEAN
Kepulauan Togean terletak di Teluk Tomini; bagian dari
Provinsi Sulawesi Tengah. Sebagian besar masyarakat Kepulauan
Togean adalah nelayan, khususnya nelayan tradisional. Sangat
jelas bahwa ruang laut adalah bagian yang terpenting bagi
kehidupan masyarakat Togean. Kepulauan Togean didiami oleh
beberapa suku; Suku Togean, Suku Bajo dan Suku Bobongko.
Perkembangan Kepulauan Togean sangatlah dinamis.
Keindahan alam laut Kepulauan Togean menjadi incaran para
investor pariwisata; berbagai cottage bermunculan di Kepulauan
Togean. Kondisi laut yang berterumbu karang menjadi incaran
para investor mutiara. Kekayaan ikan hias Kepulaun Togean tak
luput dari incaran para pemburu ikan hias, khususnya ikan na-
poleon. Kondisi-kondisi dinamis seperti ini apakah cukup
menguntungkan masyarakat Togean ? Ataukah malah merugikan
masyarakat Togean?
Antaratanggal 9dan11 Oktober 1999telah berlangsung
Pertemuan Masyarakat Adat Togean bertempat di Rumah Adat
Suku Bobongko, kampung Matobiayi, Desa Lembanato, Kec. Una-
Una, Kab. Poso, Sulawesi Tengah. Kegiatan ini diselenggarakan
oleh Masyarakat Adat Bobongko bekerjasama dengan Yayasan
Toloka, Walhi Sulteng dan JKPP Wakil-wakil dari berbagai suku
yang ada di Kepulauan Togean (Bajo, Togean dan Bobongko)
Kabar JKPP 7 Edisi Maret 2000
15
PELATIHAN
DESENTRALISASI
"MENUJU DPRD SANGGAU YANG
EFEKTIF DAN AKUNTABEL"
UU No.22/1999tentang Pemerintahan Daerah dan UU.
No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
telah digulirkan. UU No,22/1999 adalah pengganti UU No.5/1974
tentang Pemerintahan di Daerah dan UU No,5/1979 tentang
Pemerintahan Desa yang terkenal sangat kontroversial
(menyeragamkan bentuk pemerintahan desa di seluruh Indone-
sia yang jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 18 UUD 1945).
Benarkah dengan dikeluarkannya kedua undang-undang baru
tersebut akan memberikan otonomi yang lebih luas kepada
daerah? Benarkah bahwa daerah akan mendapatkan dana
pembangunan yang lebih besar; tidak bocor lagi di tengah jalan?
Benarkah pendapatan asli daerah (PAD) akan menjadi lebih besar
atau peningkatan PAD hanya akan mengeksploitir rakyat?
Benarkah bahwa kewenangan yang luar biasa untuk mengatur
daerahnya sendiri akan didapatkan daerah dan tidak lagi hanya
menjadi "tangan-tangan administrasi Jakarta"? Mungkinkah
bahwa kedua perundangan ini hanyalah sekedar siasat kosmetik
hukum dari Jakarta untuk mengakomodir euforia reformasi dan
keinginan yang kuat dari berbagai daerah untuk mendapatkan
wewenang yang lebih luas? Masih banyak lagi pertanyaan-
pertanyaan yang mengiringi keluarnya kedua undang-undang
baru tersebut.
Wacana yang timbul dengan munculnya kedua undang-
undang tersebut sangatlah luar biasa; baik yang pro maupun
yang kontra. Berbagai seminar diselenggarakan untuk membahas
kedua perundangan baru tersebut. Berbagai daerah yang merasa
cukup kaya sangat tajam melontarkan keinginannya untuk
mendapatkan porsi dana pembangunan yang lebih besar,
keinginan untuk lebih leluasa mengurus daerah sendiri; bahkan
beberapa daerah menginginkan merdeka. Wacana terus bergulir
akan tetapi tidak semua pihak telah memahami benar detail kedua
perundangan tersebut, konsekwensinya terhadap praktik-praktik
penyelenggaraan pemerintahan, dan tentunya juga dikaitkan
dengan perubahan politik kekuasaan.
DPRD Kabupaten Sanggau sangat memahami bahwa para
Anggota DPRD Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat perlu belajar
dan mendalami lebih jauh perihal otonomi daerah, peluang
peningkatan wewenang dan konsekwensinya terhadap wilayah
kelola masyarakat Sanggau. DPRD Kabupaten Sanggau,
bekerjasama dengan Konsorsium Pancur Kasih dan Konsorsium
Pembaruan Agraria, menyelenggarakan Pelatihan Desentralisasi
dengan tema "Menuju DPRD Kabupaten Sanggau yang Efektif
dan Akuntabel" antara tanggal 17 dan 21 Januari 2000, bertempat
di Laverna Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Seluruh
Anggota DPRD Sanggau ikut serta dan aktif mengikuti proses
pelatihan,
Pendalaman lebih jauh tentang realitas kewenangan
masyarakat Sanggau (Pemda sebagai pelaksana dan DPRD
sebagai lembaga pengontrol yang mewakili masyarakat)
menunjukkan bahwa masyarakat Sanggau hanya mempunyai
wewenang yang terbatas di daerahnya sendiri, baik wewenang
pengelolaan maupun wewenang finansial dan perpajakan, Hanya
sekitar 30% saja wilayah kelola Sanggau yang diurus oleh rakyat
Sanggau sendiri; sedangkan yang 70% tidak berada di bawah
wewenang Pemda dan DPRD Sanggau. Demikian jugakah yang
terjadi di daerah-daerah lain? Akankah hal yang demikian
dibiarkan? Tidakkah perlu DPRD Sanggau berinisiatif memperoleh
wewenang yang lebih luas untuk mengurus daerah sendiri?
Analisis lebih jauh tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) Sanggau menunjukkan bahwa temyata
62% budget APBD dipergunakan untuk biaya rutin (membayar
pegawai, biaya operasional kantor, dst.), sedangkan dana
pembangunan hanya 38% saja. Jelas di sini bahwa kinerja Pemda
Sanggau belum optimal. Hal ini karena memang kondisi budget
yang tidak memungkinkan atau memang kinerja Pemda Sanggau
yang perlu dioptimalkan?
Setelah menganalisis lebih jauh tentang
kekurangberhasilan penyeragaman sistem pemerintahan desa
(aplikasi UU No, 5/1979), khususnya di Kabupaten Sanggau, para
peserta pelatihan yang notabene Anggota DPRD Kabupaten
Sanggau merekomendasikan bahwa DPRD Kabupaten Sanggau
akan membuat draft perihal mengembalikan pemerintahan
setingkat desa pada bentuk-bentuknya yang lama (benua,
kampung, dsb,) yang akan dibahas bersama-sama Pemda
Sanggau, Ini merupakan evaluasi diri dan terobosan yang berani,
Jalan masih panjang menuju otonomi yang sejati, Selamat
berjuang DPRD Sanggau, Semoga benar-benar bisa menjadi
DPRD yang efektif dan akuntabel,
•1 Ganden

More Related Content

What's hot

Makalah kemaritiman nelayan sulawesi tenggara ruslin_b1_c1 13 143
Makalah kemaritiman nelayan sulawesi tenggara ruslin_b1_c1 13 143Makalah kemaritiman nelayan sulawesi tenggara ruslin_b1_c1 13 143
Makalah kemaritiman nelayan sulawesi tenggara ruslin_b1_c1 13 143Ruslin Ully
 
1.presentasi wawasan kemaritimangdhd
1.presentasi wawasan kemaritimangdhd1.presentasi wawasan kemaritimangdhd
1.presentasi wawasan kemaritimangdhdvolcart
 
Pro kontra
Pro kontraPro kontra
Pro kontraevi ave
 
Kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan
Kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautanKebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan
Kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautanPepen Mahale
 
Negara maritim dan kelembagaan kelautan
Negara maritim dan kelembagaan kelautanNegara maritim dan kelembagaan kelautan
Negara maritim dan kelembagaan kelautanSunoto Mes
 
Konsep dan defenisi pengelolaan wilayah pesisir
Konsep dan defenisi pengelolaan wilayah pesisirKonsep dan defenisi pengelolaan wilayah pesisir
Konsep dan defenisi pengelolaan wilayah pesisirAl Amin
 
Perubahan iklim dua ide dua ecozone; Riza V. Tjahjadi
Perubahan iklim dua ide dua ecozone; Riza V. TjahjadiPerubahan iklim dua ide dua ecozone; Riza V. Tjahjadi
Perubahan iklim dua ide dua ecozone; Riza V. TjahjadiBiotani & Bahari Indonesia
 
Ppt . potensi kemaritiman indonesia
Ppt . potensi kemaritiman indonesiaPpt . potensi kemaritiman indonesia
Ppt . potensi kemaritiman indonesiamasmukriyadi
 
Kebijakan Maritim Indonesia Setelah UNCLOS 1982
Kebijakan Maritim Indonesia Setelah UNCLOS 1982Kebijakan Maritim Indonesia Setelah UNCLOS 1982
Kebijakan Maritim Indonesia Setelah UNCLOS 1982Lutfi Nast
 
Strategi Jitu Penggalakan Kelautan dan Perikanan Tanah Air Indonesia
Strategi Jitu Penggalakan Kelautan dan Perikanan Tanah Air IndonesiaStrategi Jitu Penggalakan Kelautan dan Perikanan Tanah Air Indonesia
Strategi Jitu Penggalakan Kelautan dan Perikanan Tanah Air Indonesiaviperantodwi
 
Aspek sosial dan budaya maritim
Aspek sosial dan budaya maritimAspek sosial dan budaya maritim
Aspek sosial dan budaya maritimAditya Alexander
 
Potensi kemaritiman
Potensi kemaritimanPotensi kemaritiman
Potensi kemaritimanBunda Rara
 
Fakta dan sejarah kemaritiman indonesia
Fakta dan sejarah kemaritiman indonesiaFakta dan sejarah kemaritiman indonesia
Fakta dan sejarah kemaritiman indonesiaSofhy Haizyahdrii
 

What's hot (20)

Pengelolaan Pesisir
Pengelolaan  PesisirPengelolaan  Pesisir
Pengelolaan Pesisir
 
Makalah kemaritiman nelayan sulawesi tenggara ruslin_b1_c1 13 143
Makalah kemaritiman nelayan sulawesi tenggara ruslin_b1_c1 13 143Makalah kemaritiman nelayan sulawesi tenggara ruslin_b1_c1 13 143
Makalah kemaritiman nelayan sulawesi tenggara ruslin_b1_c1 13 143
 
4 BAB II ekonomi maritim
4 BAB II ekonomi maritim4 BAB II ekonomi maritim
4 BAB II ekonomi maritim
 
1.presentasi wawasan kemaritimangdhd
1.presentasi wawasan kemaritimangdhd1.presentasi wawasan kemaritimangdhd
1.presentasi wawasan kemaritimangdhd
 
Poros Maritim vs Kebudayaan Maritim
Poros Maritim vs Kebudayaan MaritimPoros Maritim vs Kebudayaan Maritim
Poros Maritim vs Kebudayaan Maritim
 
Pro kontra
Pro kontraPro kontra
Pro kontra
 
Kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan
Kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautanKebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan
Kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan
 
Kebudayaan maritim (2)
Kebudayaan maritim (2)Kebudayaan maritim (2)
Kebudayaan maritim (2)
 
8 bab vi lingkungan maritim
8 bab vi lingkungan maritim8 bab vi lingkungan maritim
8 bab vi lingkungan maritim
 
Negara maritim dan kelembagaan kelautan
Negara maritim dan kelembagaan kelautanNegara maritim dan kelembagaan kelautan
Negara maritim dan kelembagaan kelautan
 
pwp
pwppwp
pwp
 
Konsep dan defenisi pengelolaan wilayah pesisir
Konsep dan defenisi pengelolaan wilayah pesisirKonsep dan defenisi pengelolaan wilayah pesisir
Konsep dan defenisi pengelolaan wilayah pesisir
 
Perubahan iklim dua ide dua ecozone; Riza V. Tjahjadi
Perubahan iklim dua ide dua ecozone; Riza V. TjahjadiPerubahan iklim dua ide dua ecozone; Riza V. Tjahjadi
Perubahan iklim dua ide dua ecozone; Riza V. Tjahjadi
 
Hukum Pesisir
Hukum PesisirHukum Pesisir
Hukum Pesisir
 
Ppt . potensi kemaritiman indonesia
Ppt . potensi kemaritiman indonesiaPpt . potensi kemaritiman indonesia
Ppt . potensi kemaritiman indonesia
 
Kebijakan Maritim Indonesia Setelah UNCLOS 1982
Kebijakan Maritim Indonesia Setelah UNCLOS 1982Kebijakan Maritim Indonesia Setelah UNCLOS 1982
Kebijakan Maritim Indonesia Setelah UNCLOS 1982
 
Strategi Jitu Penggalakan Kelautan dan Perikanan Tanah Air Indonesia
Strategi Jitu Penggalakan Kelautan dan Perikanan Tanah Air IndonesiaStrategi Jitu Penggalakan Kelautan dan Perikanan Tanah Air Indonesia
Strategi Jitu Penggalakan Kelautan dan Perikanan Tanah Air Indonesia
 
Aspek sosial dan budaya maritim
Aspek sosial dan budaya maritimAspek sosial dan budaya maritim
Aspek sosial dan budaya maritim
 
Potensi kemaritiman
Potensi kemaritimanPotensi kemaritiman
Potensi kemaritiman
 
Fakta dan sejarah kemaritiman indonesia
Fakta dan sejarah kemaritiman indonesiaFakta dan sejarah kemaritiman indonesia
Fakta dan sejarah kemaritiman indonesia
 

Similar to Kabar JKPP Edisi 7

09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdf
09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdf09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdf
09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdfVinnaYasin
 
Potensi Maritim Indonesia.pptx
Potensi Maritim Indonesia.pptxPotensi Maritim Indonesia.pptx
Potensi Maritim Indonesia.pptxArsyadLabiq
 
Masterplan Delta Api Lombok Utara
Masterplan Delta Api Lombok Utara Masterplan Delta Api Lombok Utara
Masterplan Delta Api Lombok Utara Alone
 
Buku-I_Menata-Ruang-Laut-Indonesia_Final_22032021.pdf
Buku-I_Menata-Ruang-Laut-Indonesia_Final_22032021.pdfBuku-I_Menata-Ruang-Laut-Indonesia_Final_22032021.pdf
Buku-I_Menata-Ruang-Laut-Indonesia_Final_22032021.pdfCiwingComunity
 
Makalah Penetapan dan Penegasan Batas Laut - Konflik Kepulauan Natuna (By Iva...
Makalah Penetapan dan Penegasan Batas Laut - Konflik Kepulauan Natuna (By Iva...Makalah Penetapan dan Penegasan Batas Laut - Konflik Kepulauan Natuna (By Iva...
Makalah Penetapan dan Penegasan Batas Laut - Konflik Kepulauan Natuna (By Iva...Luhur Moekti Prayogo
 
5303b137c602fmasterplan-delta-api-desa-gili-air-edit.pdf
5303b137c602fmasterplan-delta-api-desa-gili-air-edit.pdf5303b137c602fmasterplan-delta-api-desa-gili-air-edit.pdf
5303b137c602fmasterplan-delta-api-desa-gili-air-edit.pdfBayuCandraNegarawanM
 
27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkulu
27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkulu27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkulu
27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkuluMarhadi1995
 
Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perai...
Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perai...Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perai...
Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perai...Zulhamsyah Imran
 
URGENSI NERACA SUMBER DAYA ALAM
URGENSI NERACA SUMBER DAYA ALAMURGENSI NERACA SUMBER DAYA ALAM
URGENSI NERACA SUMBER DAYA ALAMDGT
 
148516883 konsep-pengelolaan-pesisir
148516883 konsep-pengelolaan-pesisir148516883 konsep-pengelolaan-pesisir
148516883 konsep-pengelolaan-pesisirAry Ajo
 
Ecohouse: Kampung Nelayan Depok
Ecohouse: Kampung Nelayan DepokEcohouse: Kampung Nelayan Depok
Ecohouse: Kampung Nelayan DepokVempi Satriya
 
Isi makalah hpp
Isi makalah hppIsi makalah hpp
Isi makalah hppHan Hanif
 
WAWASAN KEMARITIMAN
WAWASAN KEMARITIMANWAWASAN KEMARITIMAN
WAWASAN KEMARITIMANharjunode
 
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...Mujiyanto -
 
Peluang dan tantangan pemberdayaan wilayah laut indonesia
Peluang dan tantangan pemberdayaan wilayah laut indonesiaPeluang dan tantangan pemberdayaan wilayah laut indonesia
Peluang dan tantangan pemberdayaan wilayah laut indonesiaYusuf Irkham
 

Similar to Kabar JKPP Edisi 7 (20)

09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdf
09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdf09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdf
09062023 - PW (Perencanaan Pulau-Pulau Kecil 1).pdf
 
Potensi Maritim Indonesia.pptx
Potensi Maritim Indonesia.pptxPotensi Maritim Indonesia.pptx
Potensi Maritim Indonesia.pptx
 
Masterplan Delta Api Lombok Utara
Masterplan Delta Api Lombok Utara Masterplan Delta Api Lombok Utara
Masterplan Delta Api Lombok Utara
 
Pengelolaan Kawasan Perairan
Pengelolaan Kawasan PerairanPengelolaan Kawasan Perairan
Pengelolaan Kawasan Perairan
 
Buku-I_Menata-Ruang-Laut-Indonesia_Final_22032021.pdf
Buku-I_Menata-Ruang-Laut-Indonesia_Final_22032021.pdfBuku-I_Menata-Ruang-Laut-Indonesia_Final_22032021.pdf
Buku-I_Menata-Ruang-Laut-Indonesia_Final_22032021.pdf
 
Makalah Penetapan dan Penegasan Batas Laut - Konflik Kepulauan Natuna (By Iva...
Makalah Penetapan dan Penegasan Batas Laut - Konflik Kepulauan Natuna (By Iva...Makalah Penetapan dan Penegasan Batas Laut - Konflik Kepulauan Natuna (By Iva...
Makalah Penetapan dan Penegasan Batas Laut - Konflik Kepulauan Natuna (By Iva...
 
5303b137c602fmasterplan-delta-api-desa-gili-air-edit.pdf
5303b137c602fmasterplan-delta-api-desa-gili-air-edit.pdf5303b137c602fmasterplan-delta-api-desa-gili-air-edit.pdf
5303b137c602fmasterplan-delta-api-desa-gili-air-edit.pdf
 
27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkulu
27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkulu27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkulu
27759305 minapolitan-kabupaten-kaur-prov-bengkulu
 
Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perai...
Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perai...Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perai...
Kontruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tatakelola Kawasan Konservasi Perai...
 
Bab1 pendahuluan
Bab1 pendahuluanBab1 pendahuluan
Bab1 pendahuluan
 
URGENSI NERACA SUMBER DAYA ALAM
URGENSI NERACA SUMBER DAYA ALAMURGENSI NERACA SUMBER DAYA ALAM
URGENSI NERACA SUMBER DAYA ALAM
 
2. present. wwk. 2009
2. present. wwk. 20092. present. wwk. 2009
2. present. wwk. 2009
 
Explore
ExploreExplore
Explore
 
36 sebatik
36 sebatik36 sebatik
36 sebatik
 
148516883 konsep-pengelolaan-pesisir
148516883 konsep-pengelolaan-pesisir148516883 konsep-pengelolaan-pesisir
148516883 konsep-pengelolaan-pesisir
 
Ecohouse: Kampung Nelayan Depok
Ecohouse: Kampung Nelayan DepokEcohouse: Kampung Nelayan Depok
Ecohouse: Kampung Nelayan Depok
 
Isi makalah hpp
Isi makalah hppIsi makalah hpp
Isi makalah hpp
 
WAWASAN KEMARITIMAN
WAWASAN KEMARITIMANWAWASAN KEMARITIMAN
WAWASAN KEMARITIMAN
 
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...
Paper Vertion: Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Serta Strategi Pengelolaannya...
 
Peluang dan tantangan pemberdayaan wilayah laut indonesia
Peluang dan tantangan pemberdayaan wilayah laut indonesiaPeluang dan tantangan pemberdayaan wilayah laut indonesia
Peluang dan tantangan pemberdayaan wilayah laut indonesia
 

More from Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif

Pemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis Spasial
Pemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis SpasialPemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis Spasial
Pemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis SpasialJaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
 
Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...
Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...
Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
 
Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...
Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...
Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
 
Permen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem Gambut
Permen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem GambutPermen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem Gambut
Permen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem GambutJaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
 

More from Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (20)

Potret Krisis Ruang Sulawesi
Potret Krisis Ruang SulawesiPotret Krisis Ruang Sulawesi
Potret Krisis Ruang Sulawesi
 
Potret Ketimpangan Ruang Kalimantan
Potret Ketimpangan Ruang KalimantanPotret Ketimpangan Ruang Kalimantan
Potret Ketimpangan Ruang Kalimantan
 
Sustainable Land Use Planning (SLUP) Working Paper 2015
Sustainable Land Use Planning (SLUP) Working Paper 2015Sustainable Land Use Planning (SLUP) Working Paper 2015
Sustainable Land Use Planning (SLUP) Working Paper 2015
 
Panduan Pemetaan Berbasis Masyarakat Oleh Alix Flavelle
Panduan Pemetaan Berbasis Masyarakat Oleh Alix FlavellePanduan Pemetaan Berbasis Masyarakat Oleh Alix Flavelle
Panduan Pemetaan Berbasis Masyarakat Oleh Alix Flavelle
 
24.2 Manifesto Forestry Land Reform oleh Dianto Bachriadi
24.2 Manifesto Forestry Land Reform oleh Dianto Bachriadi24.2 Manifesto Forestry Land Reform oleh Dianto Bachriadi
24.2 Manifesto Forestry Land Reform oleh Dianto Bachriadi
 
Pemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis Spasial
Pemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis SpasialPemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis Spasial
Pemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis Spasial
 
Kertas posisi bersama MPMK (RMI, JKPP dan Huma)
Kertas posisi bersama MPMK (RMI, JKPP dan Huma)Kertas posisi bersama MPMK (RMI, JKPP dan Huma)
Kertas posisi bersama MPMK (RMI, JKPP dan Huma)
 
Reforma Agraria Untuk Pemula
Reforma Agraria Untuk PemulaReforma Agraria Untuk Pemula
Reforma Agraria Untuk Pemula
 
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan PetaniKonsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
 
Anggota Individu JKPP Periode 2017 2021
Anggota Individu JKPP Periode 2017 2021Anggota Individu JKPP Periode 2017 2021
Anggota Individu JKPP Periode 2017 2021
 
Kabar JKPP Edisi 22
Kabar JKPP Edisi 22Kabar JKPP Edisi 22
Kabar JKPP Edisi 22
 
Laporan BRWA 2018 2019
Laporan BRWA 2018 2019Laporan BRWA 2018 2019
Laporan BRWA 2018 2019
 
Memahami Dimensi-dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat
Memahami Dimensi-dimensi Kemiskinan Masyarakat AdatMemahami Dimensi-dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat
Memahami Dimensi-dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat
 
Kebijakan Satu Peta Untuk Pembangunan Indonesia
Kebijakan Satu Peta Untuk Pembangunan IndonesiaKebijakan Satu Peta Untuk Pembangunan Indonesia
Kebijakan Satu Peta Untuk Pembangunan Indonesia
 
Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...
Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...
Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...
 
Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...
Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...
Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...
 
Panduan Teknis Penetapan dan Penegasan Batas Desa_ MCA Indonesia
Panduan Teknis Penetapan dan Penegasan Batas Desa_ MCA IndonesiaPanduan Teknis Penetapan dan Penegasan Batas Desa_ MCA Indonesia
Panduan Teknis Penetapan dan Penegasan Batas Desa_ MCA Indonesia
 
Permen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem Gambut
Permen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem GambutPermen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem Gambut
Permen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem Gambut
 
Perpres Nomor 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia
Perpres Nomor 39 tahun 2019   tentang Satu Data IndonesiaPerpres Nomor 39 tahun 2019   tentang Satu Data Indonesia
Perpres Nomor 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia
 
Kabar jkpp edisi 21
Kabar jkpp edisi 21Kabar jkpp edisi 21
Kabar jkpp edisi 21
 

Kabar JKPP Edisi 7

  • 1. Redaksi Laut Pasca Krisis Topik Utama Laut Butuh Menteri Negara tOpini Penegasian Hak Nelayan atas Ruang Lautdi Kepulauan Togean I Teori Penginderaan Jauh di Bidang Kelautan I Kasus Bagansiapiapi Dulu dan Sekarang IKronik Pertemuan Masyarakat Adat Togean Pelatihan Desentralisasi: "Menuju DPRD Sanggau yang Efektif dan Akuntabel" Anak-anak Nelayan KepulauanTogean (Foto: Toloka) Ljii/r PASCA KRISIS Catatan: Redaksi memberikan kesempatan kepada para pembaca untuk menyumbangkan artikel yang berupa kritikan, tanggapan maupun teori-teori yang berkenaan dengan isu-isu ruang T^ntuUan Pf^ta pAriuanaan Kita Dencran Peta
  • 2. R E D A K S I Berkembangnya diskjrsus kelajtan akhir-akhir ini lebih cenderung kepada persoalaan institusi belaka. Hal ini terlihat dari kebijakan Pemerintahan Gus Duryang mencoba memberikan alternatif pemecahan permasalahan krisis pengelolaan sumberdaya alam laut secara institusional, Interpretasi berbagai pihak tidak terelakkan lagi bahwa selama ini sumberdaya kelautan belum sepenuhnya dikelola dengan optimal karena hanya persoalan tidak ada institusi kementerian (departemen) yang mengurusnya, Akhirnya wacana kelautan pun terjebak pada persoalan kelembagaan. Yang terkadang melupakan persoalan sebenamya --hak pengelolaan dan pemilikannya- dari persoalan sumberdaya alam laut. Tanggapan bermunculan. Koalisi terbentuk dari mulai koalisi sumberdaya alam bikinan ngo sampai ke bikinan pemerintah. Persoalan sumberdaya kelautan -termasuk sumberdaya alam lainnya- menjadi (rencf berita harian di koran- koran dan majalah-majalah yang bertemakan lingkungan. Menjadi komoditas unggulan yang hanya bisa dibahas di fa//(s/iow-(aft show selelah itu menjadi leluconan wacana yang dengan mudah terbuang ketempat-tempatsampah pembahasan. Dalam kondisi sekarang ini -dalam rangka pemulihan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari berbagai krisis politik, ekonomi, sosial dan budaya- tentu pengelolaan sumberdaya kelautan menjadi salah satu agenda panting dari pemerintah untuk pencapaian perbaikan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya pasca krisis. Sebagai salah satu persoalan pengelolaan sumberdaya alam, sumberdaya kelautan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari keterkaitannya dengan persoalan pengelolaan sumberdaya alam atau sektor lainnya. Keterkaitan ini dilihat dari wilayah kelola antar departemen yang berhubungan dengan wilayah laut. Dari beberapa departemen yang menangani persoalaan sumberdaya alam hampir seluruhnya bersentuhan dengan sektor kelautan, misalnya departemen kehutanan dan perkebunan, departemen perhubungan, departemen pariwisata, departemen pertambangan, departemen pertanian dan lain-lainnya. Adanya wilayah kelola yang bersentuhan ini akan membawa persoalan kelautan kepada hal yang lebih rumit, yaitu kekhawatiran semakin memperjelas tumpang tindihnya wewenang dan tugas antar departemen. Dampak dari kerumitan ini akan memunculkan inefisiensi pengaturan dan koordinasi serta semakin memperpanjang urusan-urusan birokrasi antar departemen. Maka dari itu ada sebagian kalangan (sebagian PASCA KRISIS kalangan ngo lingkungan) berpendapat bahwa pengaturan dan pengelolaan sumberdaya alam seharusnya diintregasikan ke dalam satu wadah kementerian negara yang mengurusi persoalan sumberdaya alam di Indonesia, Dan bahkan ada usulan dari kalangan ini, bahwa pemerintah sudah waktunya membuat undang-undang sumberdaya alam (termasuk mengamandemenkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945) untuk mempermudah penanganan pengelolaan sumberdaya alam (iiat lobying beberapa ngo jaringan sumberdaya alam dan hukun pada saat Sidang Umum MPR1999). Hal lain yang tidak menutup kemungkinan menambah kerumitan persoalan sumberdaya kelautan adalah belum adanra kejelasan antara wilayah kelola negara dengan wilayah ketota rakyat mengenai wilayah pengelolaan laut, yang selama ini harva sebatas klaim-klaim sepihak dari keduanya. Jadi saat diskursus kelautan terjebak hanya pada persoalan kelembagaan, saat itu pula wacana kelautan menjadi sesuahi yang hambar, hampa, dan menjadi jauh dari persoalan sebenarnya, terkecuali memang pembahasan sumberdaya kelautan sudah mejadi komoditas politik antar goiongan baftd kalangan ngo, perguruan tinggi, pemerintah maupun di kalangan partai politik, yang sudah barang tentu menjadikannya alatunU saling menjatuhkan. Semoga tidak berkelanjutan! Sebagai sebuah topik bahasan Kabar JKPP ke-7 kali iiL persoalan sumberdaya kelautan coba kami sajikan dalam benli lintasan-lintasan berita yang ringan mengenai apa yang teijaif di tingkat wacana maupun apa yang terjadi sesungguhnya (i tingkatpraktis (case record). • Kacong 2 Kabar JKPP 7 Edisi Marel 2000
  • 3. T O P I K U T A M A LAUT BUTUH MENTERI NEGARA Departemen Eksplorasi Kelautan bentukan Gus Dur diragukan dapat mengembangkan bidang kelautan secara optimal oleh masyarakat kelautan Indonesia. Karena instansi tersebut hanya berkedudukan setingkat departemen Sadar karena kekayaan laut belum dikelola secara serius, akhirnya pemerintah Indonesia hasil pemilu 1999 membuat terobosan baru dengan membuat kebijakan baru tentang pengelolaan kekayaan laut. Segeralah pemerintahan yang dipimpin oleh Gus Dur tersebut membentuk satu departemen yang khusus menangani pengelolaan sumber daya kelautan, yakni Departemen Eksplorasi Laut. Bahkan bukan itu saja, agar niatannya tersebut dapat terlaksana sesuai dengan keinginannya, presiden asal Jawa Timur tersebut mengangkat panglima angkatan bersenjatanya dari kalangan angkatan laut. Dengan tujuan dapat meningkatkan pengamanan pembangunan wilayah perairan laut Indonesia, yang begitu kaya dan sangat luas. Entah kenapa, kyai yang penuh humor ini mempunyai niatan untuk mengelola kekayaan laut. Tetapi banyak yang mengatakan bahwa salah satu alasannya mengambil keputusan tersebut karena banyaknya kekayaan laut yang dicuri oleh pihak asing dan belum dikelola secara menyeluruh. Sementara dari kasus-kasus pencurian ikan di perairan Indonesia tersebut diketahui telah merugikan negara hingga 2 milyar dolar setiap tahunnya. Selain itu, ditemukan beberapa kasus pengerusakan lingkungan laut akibat pembuangan limbah yang dilakukan oleh kapal-kapal asing secara sembunyi-sembunyi. Namun kelahiran departemen yang sudah ditunggu- tunggu oleh masyarakat kelautan sejak lama tersebut justru membuat kaget dan heran masyarakat kelautan itu sendiri. Sebabnya, bentuk dari departemen tersebut jauh dari yang diharapkan masyarakat selama ini, yakni satu kementerian negara yang mampu mengelola bidang kelautan secara terpadu. Sementara yang muncul malah departemen yang tidak lebih bersifat sektoral dan cenderung menjadikan laut sebagai komoditas saja. Dan ini pun bertentanjan dengan ide awal dari Presiden Gus Dur. ' . . . ' Awal-awal, Gus Dur pemah mengatakan bahwa Negara Indonesia ini 2/3 wilayahnya dipenuhi oleh lautan. Oleh karena itu potensi kelautan di Indonesia ini harus dioptimalkan secara menyeluruh dan terpadu di segala bidang yang berhubungan dengan laut. Termasuk salah satunya angkutan transporlasi laut, dan urusan pengamanannya. Bukan hanya itu, ia juga sempat merasa aneh dan heran, dengan wilayah 2/3 dipenuhi laut ar- mada transporlasi lautnya kok cuma ada 15 kapal saja. Melihat ide besar tersebut, dalam bayangan masyarakat muncul bahwa nanti presiden keempat tersebut akan membuat satu instansi yang berfungsi sebagai koordinator pengelolaan laut secara Kabar JKPP 7 Edisi Maret 2000 3
  • 4. menyeluruh. Namun yang muncul cuma instansi yang berkedudukan setingkat departemen, ironissekali. Kekecewaan lain masyarakat adalah lebih disebabkan oleh banyaknya departemen yang memiliki akses pengembangan terhadap potensi laut, yang serta merta menyebabkan keruwetan dan ketidakjelasan arah pemngembangan potensi kelautan seperti Departemen Pertambangan dan Energi, Departemen Perhubungan, Departemen Pariwisata dan Seni, dan Departemen Dalam Negeri yang mengatur wewenang pemerintah daerah atas laut. Sehingga mana mungkin instansi yang baru ini mampu menuntaskan keruwetan dan tumpang tindihnya kewenangan pengelolaan potensi kelautan selama ini. Alasan lainnya, juga dikarenakan terlalu besamya potensi kekayaan laut dan pesisiryang dimiliki Indonesia. Sehingga untuk mengerjakan diperlukan kerja besar yang harus terkoordinasi secara menyeluruh dan terpadu. Yang otomatis memerlukan keterlibatan semua instansi yang terkait dengan pengembangan kelautan Indonesia. Bayangkan saja, kekayaan laut Indonesia sangat banyak dan beragam, balk yang hayati maupun yang non hayati. Untuk kekayaan hayati saja diperkirakan mencakup, lebih dari ribuan jenis, yakni dari mulai ikan hingga plankton-plank- ton. Demikian pula dengan yang non hayati, diperkirakan menyimpan jutaan barel miyak bumi, dan ribuan ton kandungan mineral lainnya. Potensi tersebut masih lagi ditambah wilayah pesisir yang memiliki nilai jasa yang lumayan besar nilainya. Belum lagi, dampak dari pengelolaan laut terhadap lingkungan sosial dan alamnya yang akan muncul. Seperti J E N I S K E K A Y A A N TEMPAT Ikan, kerang dan runnput laut seluruti peraian minyak bumi gas bumi Kawasan Indonesia Timur Kawasan Indonesia Timur POTENSI 6,26jutaton/tatiun 57,3 milyar barel 123trilyun kubik bahan tambang dan mineral sebagian besar di lepas pantai 857 ribu ton energi alternatif selumti perairan belum diketatiui pasti munculnya konflik-konflik sosial seputar perebutan pengilasaan atas kekayaan laut antara pemerintah dengan masayarakat lokal atau masyarakat adat dan pengrusakan-pengrusakan lingkungan yang muncul akibat kegiatan pengelolaan tersebut. Dari sini saja sudah sangat kompleks persoalannya, sehingga tidak mungkin Departemen pimpinan Sarwono Kusumaatmadja ini mampu bertindak sendirian untuk menanganinya. Bagaimana Pak Sanwono ? KEKAYAAN LAUT ITU BUKAN HANYA IKAN Untuk dapat mengelola laut Indonesia secara maksimal dan menyeluruh, pemerintah perlu merubah cara pandangnya tentang kekayaan laut. Yakni kekayaan laut itu bukan hanya Ikan. Salah besar, jika ada anggapan bahwa kekayaan alam laut Indonesia itu cuma ikan saja. Sebab dengan luas perairan mencapai 5,8 juta km2, laut Indonesia ternyata masih banyak menyimpan kekayaan lain yang kalau dikelola dengan baik dan benar akan dapat memompa laju perekonomian nasional serta dapat mensehjaterakan rakyatnya. Bahkan tidak akan menutup kemungkinan, laut menjadi basis perekonomian Indonesia. Anggapan ini bukanlah isapan jempol belaka. Mengingat selama ini masih banyak kekayaan alam laut yang belum dijamah dan bahkan cenderung diabaikan oleh pemerintah sejak 53 tahun Indonesia menjadi negara merdeka. Padahal, kalau saja sejak dahulu potensi ini diperhatikan dan dijadikan basis pembangunan nasional, bukanlah tidak mungkin kalau saat ini Indonesia adalah negara terkaya didunia. Ibarat laut kita ini adalah kolam susu, hampir setiap jengkal perairan kita tidak ada yang tidak yang mempunyai kekayaan. Hampir semua ruas wilayah perairan kita ini memiliki potensi kekayaan yang berlimpah baik itu yang bersifat hayati mapun yang non hayati. Untuk sumber kekayaan hayati saja ,dari Sabang sampai Merauke keseluruhannya ditaksir sekitar 6,26 juta ton setiap tahunnya. Dengan pemasukan dari sektor perikanan sekitar 6.391.000 ton per tahunnya, dari jenis kerang-kerang, teripang dan rumput laut sekitar 148.800 ton per tahun. Ini 4 Kabar JKPP 7 Etiisi Marel 2000
  • 5. utM rAHAWANG-LAMPUNG Foto:MitraBentala masih belum ditambah dari ikan hias dan ikan karang yang mencapai 56.300 ton per tahunnya, Sementara itu potensi lainnya bisa dilihat dari berbagai aneka keragaman keindahan spesies yang ada. Seperti terumbu karang yang mencapai 75.000 kilometer persegi panjangnya, yang otomatis akan dapat memberikan masukan melalui sektor pariwisata dan iptek. Selain itu keuntungan letak pantai Indone- sia yang landai sehingga dapat dijadikan area budidaya seperti budidaya udang dan kawasan pariwisata pantai. Di perkirakan ruas pantai Indonesia yang mencapai 81.000 km ini dapat menampung budidaya tambak sekitar 840.000 hektar. Belum lagi dengan kandungan non hayatinya yang diperkirakan memiliki kandungan 63 miliar barrel minyak, dan 293 triliun kubik gas bumi. Sedangkan untuk kandungan endapan mineral yang terdapat dikawasan dekat dan lepas pantai, yang sudah diketahui letak dan jumlahnya diperkirakan mencapai 857.000 ton. Namun jumlah kandungan tersebut masih bisa bertambah, mengingat eksplorasi bahan mineral dan tambang di laut belum segencar dengan yang ada di darat. Di samping itu kekayaan lain yang bisa diberikan oleh laut Indonesia adalah energi penggantidari energi yang tidak bisa diperbaharui.Yakni energi yang dihasilkan dari energi kinetik arus gelombang, pasang surut dan arus, serta konversi energi dari perbedaan salinitas. Hal ini di sebabkan oleh karena perairan nusantara ini memiliki perbedaan suhu air minimal 20 derajat selsius dengan intensitas gelombang laut yang sangat kecil dibanding perairan laut didaerah tropika lainnya. Dan yang tak kalah menariknya lagi adalah daerah perairan nusantara yang masih dikelilingi oleh keaslian kebudayaan masyarakat. Sehingga dimungkinkan untuk pengembangan industri pariwisata dan penelitian iptek. Namun patut disayangkan, dari kekayaan laut yang begitu besar tersebut, masih banyak anggapan yang mengatakan bahwa hanya ikan yang bisa memberikan nilai jual tinggi. Ironisnya lagi, pemerintah hasil pemilu 1999 ini pun sebagian masih mempunyai anggapan semacam ini. Buktinya, dalam membuat instansi yang berkenaan dengan pengembangan dan pengelolaan laut, pola pikir yang digunakan oleh pemerintahan Gus Dur masih terkesan sektoral, Yakni dengan menempatkan instasi pengembangan dan pengelolaan laut setingkat dengan departemen, Apakah mampu instansi yang setingkat dengan departemen tersebut mengelola kekayaan laut dengan optimal ? '~" Seritot Kabar JKPP 7 Erlisi Maret 2000 5
  • 6. O P I N PENEGASIAN HAK NEUYAN ATAS RUANGLAUT DI KEPULAUAN TOGEAN iMachmud Dai, Direktur Yayasan Toloka Secara geografis, Kepulauan Togean terletak di antara 121 ° 30' BT s/d 122° 25' BT dan 0° 3' LS s/d 0° 36' LS atau persis berada di tengah Teluk Tomini dan secara administratif memiliki dua otonomi kecamatan, yakni Kecamatan Una-unadan Kecamatan Walea Kepulauan, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Kawasan initerdiri dari lima pulau relatif besar, yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan masing-masing: Batudaka, Togean, Talatako, Walea Kodi dan Walea Bae. Kemudian dikelilingi oleh hamparan pulau-pulau kecil sejumlah 67 pulau, yang secara keseluruhan memiiki luas daratan 72.085 Ha dan luas perairan laut seluas 108.669,99 Ha. Masyarakat Togean, yang memang berdomisili di sekitar pesisir pantai, lebih layak disebut sebagai masyarakat pesisir pantai. Karena pantai dan laut telah menjadi bagian integral dari kehidupan keseharian mereka. Untuk menjalin interaksi sosial antar komunitas desa, mereka menyertakan laut sebagai jalur lalulintas; demikian juga dalam hubungan ekonomi (dagang), hubungannya dengan dunia luar, pergi ke kebun, mengambil air dan sebagainya, selalu menyertakan laut sebagai media aktifitas hidup mereka. Sekalipun sebagian dari mereka memiliki kebun, namun hidup sebagai petani dijalani bila tidak dapat beraktivitas di laut yaitu untuk mengisi aktivitas pada musim tertentu. Yang harus digarisbawahi adalah bahwa tidak semua Orang Togean adalah petani darat; namun semua Orang Togean adalah pengguna laut. Fakta ini disebabkan, paling tidak, oleh faktor geografis yang membentuk karakter sosial - budaya mereka yang memiliki ketergantungan kuat pada laut dalam hidup keseharian mereka. Aspek sosio-kultural ini meliputi masalah keahlian (skil!) dalam pola pemanfaatan sumberdaya alam laut dan pengetahuan lokal, misalnya musim-musim yang terjadi di laut, teknik membuat dan menjalankan perahu, dan banyak hal lain lagi yang disinyalir berasal dari pengetahuan mereka yang berhubungan dengan laut (pengetahuan lokal). Pengetahuan ini terbentuk sejak ribuan tahun yang lalu, yang tersosialisasi secara turun- temurun. Hal ini terlihat dari beberapa instrumen kultur mereka. Dari perspektif pengelolaan sumberdaya alam, budaya bapongka adalah sistem pengetahuan asli dalam pengelolaan sumberdaya alam yang khas Togean. Bapongka adalah suatu pola penangkapan ikan yang dilakukan secara berkelompok, yang melibatkan beberapa keluarga dengan memakan waktu sampai dua bulan, menjajaki terumbu karang {reef} yang satu ke terumbu karang yang lain hingga kembali lagi pada terumbu karang semula, sama dengan pola gilir-balik oleh petani ladang. Budaya ini dijalani dengan ketentuan-ketentuan menurut kepercayaan adat mereka, seperti tidak boleh membuang kotoran atau sampah sembarang, seperti kopi dan sebagainya. Berbagai ketentuan adat dalam bapongka sarat muatan konservasi yang mendalam. Kemudian, budaya mengambai, di mana komunitas desa secara bersama-sama, dari orang tua hingga anak-anak, melaksanakan upacara ritual, kemudian dilanjutkan dengan mengepung ikan, mengusir dengan menggunakan daun kelapa, sehingga terjaring pada pukat yang dipegang oleh semua orang yang terlibat dalam upacara tersebut. Antar budaya bapongka maupun mengamba/memiliki sistim bagi hasil yang sama, artinya siapa saja yang terlibat dalam proses tersebut mendapat bagian yang sama. Banyak lagi instrumen ritual budaya mereka yang melibatkan laut sebagai komponen pokok, seperti upacara setelah melahirkan anak, pengobatan dan sebagainya, yang mengisyaratkan betapa Orang Togean menjadikan laut sebagai bagian integral dari kehidupan mereka. 6 Kabar JKPP 7 Edisi Maret 2000
  • 7. WKUt KAMPUNG ORANG BAJO DI TOGEAN Foto: JKPP H H i Implikasi "Pembangunan" Terhadap Ruang Laut Masyarakat Togean Kawasan Togean dikembangkan dengan tiga isu sektoral, yaitu perikanan, pariwisata dan perkebunan. Ketiga sektor ini dikembangkan dengan cara merangsang investasi dari luar Sejak enam tahun yang lalu (tahun 1994), Togean mulai dimasuki oleh beberapa investor di ketiga bidang tersebut. Pada sektor pariwisata telah masuk investasi dari Italia, yaitu PT Walea. Pada sektor perikanan, hadir investor yang menanamkan modal pada sektor budidaya mutiara yaitu PT Tamatsu Cahaya Indonesia (TCI, Jepang) dan CV. Cahaya Cemerlang (CC, Australia); beberapa investor lainnya, bergerak pada perdagangan ikan karang hidup (misalnya ikan napoleon). Sementara itu pada sektor perkebunan telah hadir PT Agronusa Cahaya Perkasa dengan izin membuka lahan perkebunan karet, yang kemudian disertai dengan izin pemanfaatan kayu (IPK). Investasi pada ketiga sektor tersebut, berimplikasi buruk terhadap lingkungan kelautan, terutama akses jangka panjang masyarakat lokal terhadap sumberdaya laut. PT Walea telah melarang masyarakat lokal, dalam hal ini fvlasyarakat Adat Bajo, untuk menggunakan sumberdaya laut di pesisir pantai sepanjang 7 Km dengan alasan pelestarian. Pelarangan ini didasarkan pada rekomendasi dari Pemda Kabupaten Poso. Kemudian, menurut yang data berasal dari kegiatan pemetaan laut partisipatif yang dilakukan oleh Masyarakat Dusun Siatu, satu lokasi dari beberapa lokasi yang ada di Togean, PTTCI telah mengkapling areal pemanfaatan laut nelayan tradisional seluas 1.573 Ha. Selanjutnya TCI telah mengambil batu karang ± 10.000 m^ yang apabila dinilai secara ekonomis, Masyarakat Dusun Siatu telah dirugikan sebesar ± Rp. 1,6 milyar setiap tahunnya. Demikian juga dengan CV. Cahaya Cemerlang yang telah mengganggu jalur lalulintas nelayan di Teluk Kilat (Desa Lembanato) dan lokasi bagan masyarakat di tiga desa. CV. Cahaya Cemerlang secara sepihak juga membangun laboratorium budidaya mutiara pada lokasi pekuburan nenek moyang yang dikeramatkan oleh Suku Bobongko. Padatingkatan yang lebih teknis, inspirasi kebijakan yang diterapkan di Kepulauan Togean sangat bias darat. Artinya, persepsi kebijakan di laut menggunakan standar perizinan darat. Misalnya, budidaya mutiara seolah- olah disamakan dengan budidaya ikan di darat, seperti ikan lele, padahal perbedaanya sangat signifikan. Laut memiliki persoalan yang lebih kompleks. Kabar JKPP 7 Edisi Marel 2000
  • 8. NELAYAN TOGEAN Foto: JKPP m Di bidang perkebunan, PT ACP telafi membabat kayu +12.000 m^tanpa ada Indikasi untuk membuka lahan perkebunan. Yang menjadi masalah kemudian adalah terganggunya ekosistem kawasan yang mengancam potensi sumberdaya laut, seperti terbentuknya sedimentasi yang dapat mengancam dan mematikan terumbu karang serta perkampungan yang ada di pinggir garis pantai, yang juga berarti terancamnya potensi lahan perikanan masyarakat lokal. Pengkaplingan wilayah darat (hutan) pada kawasan kepulauan, telah mengalihkan kosentrasi pemanfaatan sumberdaya alam dari darat ke laut, di mana fungsi wilayah darat seharusnya dijadikan alternatif yang dapat mengimbangi atau memperlambat eksploitasi laut, yang berarti juga mengurangi ketergantungan masyarakat lokal pada laut yang kuat, sehingga dapat menjaga keseimbangan eksploitasi sumberdaya alam atau yang disebut sisi berkelanjutan. Maka perspektif pembangunan yang dikembangkan harus dalam kerangka pengembangan ekosistem pulau-pulau kecil, di mana tidak memisahkan dimensi darat dari laut, atau sebaliknya. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR ) versus Struktur Keruangan Laut Masyarakat Togean Konflik perebutan sumberdaya alam di Togean saat ini, seperti tersebut di atas, dapat ditelusuri dalam suatu proyeksi benturan, antara pemanfaatan ruang oleh masyarakat lokal dengan kekuatan modal besar yang difasilitasi oleh pemerintah. Berkaitan dengan masalah keruangan, RDTR dilihat sebagai suatu produk (fasilitas) kebijakan strategis yang bisa jadi sebagai pemicu terjadinya benturan-benturan, yang cukup sarat dengan potensi pergolakan sosial. Tidak hanya itu, RDTR juga berfungsi sebagai parameter kebijakan instansi sektoral, di mana RDTR sangat menentukan kemungkinan positif sekaligus negatif pengembangan suatu kawasan, dari ancaman masalah-masalah yang akan timbul di masa yang akan datang. Asumsi strategis fungsi RDTR ini, tak jarang, menjadi alat kekuasaan yang sarat dengan kepentingan-kepentingan. Karenanya RDTR dapat mencerminkan suatu pola pembangunan serta target yang ingin dicapai oleh pemehntah dalam suatu kawasan, terutama mengenai monopoli penguasaan sumberdaya alam. Sebagai instrumen kebijakan, tentunya, RDTR sangat ditentukan oleh mesin yang memproduksinya. Kesan kental RDTR selama ini merupakan produk kebijakan yang sentralistik, artinya RDTR dibuat tanpa memperhatikan aspek-aspek keruangan masyarakat. RDTR lebih sering diartikan sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi, prioritas penanaman modal dan bagaimana memperoleh pendapatan daerah yang besar Sementara aspek-aspek sosial, budaya serta ekonomi masyarakat lokal diarahkan dalam kepentingan di atas. 8 Kabar JKPP 7 Edisi Maret 2000
  • 9. Kasus di Togean, seperti yang telah dipaparkan di atas, memperlihatkan fenomena ini. Mulai dari ruang pemanfaatan laut nelayan tradisional, ruang gerak sosial, serta ruang gerak budaya mereka terhegemoni oleh investasi modal skala besar Sebagai konsekuensinya, nelayan tradisional Dusun Siatu kehilangan 107 titik areal pemanfaatannya yang saat ini menjadi areal budidaya mutiara PT TCI. Masyarakat Dusun Siatu tidak mungkin lagi dapat mengekspresikan sistem penangkapan ikan bapongka, mengambai, ba'etu, ba'tonda, dan sebagainya, yang notabene, adalah keahlian {skill) adat mereka yang sangat arif terhadap lingkungan. Konsekuensinya, cara- cara destruktif seperti bom dan potasium yang bukan tradisi penangkapan ikan mereka, kini menjadi alternatif dan menjadi ancaman terbesar terhadap lingkungan di Togean saat ini. Dalam kurun persiapan pelaksanaan otonomi daerah, fungsi RDTR menjadi semakin penting untuk disoroti sebagai produk kebijakan; paling tidak oleh beberapa hal. Pertama, asumsi yang menyatakan bahwa UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah disinyalir akan semakin melegitimasi fenomena eksploitasi sumberdaya alam dan penyingkiran ruang masyarakat seperti yang terjadi sekarang. Kedua, munculnya dan merebaknya semangat pemekaran wilayah di daerah Poso, mengalihkan masalah substansi - pembatasan hak masyarakat Togean atas ruang pemanfaatan sumberdaya alam — yang belum terselesaikan. Opini pemekaran wilayah, lebih mengedepankan aspek primordialisme kekuasaan, sehingga tak jarang, motif perjuangannya juga primordial. Ketiga, transformasi perubahan saat ini telah memungkinkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, meskipun peluang itu masih sangat kecil. Karenanya agenda lembaga swadaya masyarakat yang bertolak dari perspektif ruang adalah menggenjot peran aktif masyarakat untuk memproteksi ruang masyarakat melalui pemetaan partisipatif, yang kemudian dijadikan usulan untuk merevisi RDTR, sehingga ketika otonomi daerah dilaksanakan tidak akan menciptakan konsekuensi buruk pada masyarakat, minimal ada suatu kebijakan (RDTR) yang melegitimasi sistem keruangan masyarakat. DERMA&A DESA WAKAI-TOGEAN Foto: JKPP Kabar JKPP 7 Edisi Maret 2000
  • 10. T E O R I PENGINDERAAN JAUH DI BIDANG KELAUTAN Potensi Kelautan Di saat sumberdaya di darat sudah mulai dirasakan keterbatasannya, maka banyak negara yang mencurahkan perhatiannya pada laut dan pantai. Di satu sisi laut dianggap sebagai pemisah yang menyulitkan dan merugikan, di sisi lain memiliki potensi yang sangat besar. Potensi laut adalah sebagai: (a) sarana transporlasi, (b) sumberdaya alam hayati perikanan, (c) pertambangan minyak dan gas, (d) penggalian timah dan pasir besi, (e) obat-obatan dan kosmetik, (f) energi, (g) rekreasi dan pariwisata, (h) pendidikan dan penelitian, (I) konservasi alam dan (j) pertahanan dan keamanan. Wilayah kelautan Indonesia meliputi: 1. Jumlah pulau = 17.508 dengan perincian 5.707 bemama dan 11.801 tidak bernama. 2. Luas perairan = 5,9 juta Km^ 3. Luas kepulauan = 2,8 juta Km^ 4. Laut tentorial = 0,4 juta Km^ 5. Perairan ZEE = 2,7 Km^ 6. Panjang seluruh garis pantai = 80.791 km (BPPT, 1995). Penginderaan Jarak Jauh Untuk dapat memanfaatkan, mengolah dan melestarikan potensi sumberdaya laut dan pantai ini maka dibutuhkan teknologi untuk mengumpulkan data, mengolahnya dan menyajikan kepada kita, guna melakukan perencanaan dan pelaksanaan pemanfaatan sumberdaya laut yang efektif dan efisien. Salah satu cara untuk mengumpulkan data digunakan teknologi penginderaan jauh, karena selain data yang diperoleh memiliki tingkat ketelitian yang tinggi dan beragam, obyek di bumi dapat direkam secara menyeluruh dengan cakupan yang luas dan dalam waktu yang relatif singkat serta data dapat diterima secara berseri sehingga dapat dipergunakan untuk memonitor perubahan-peaibahan yang terjadi. Era teknologi penginderaan jauh di Indonesia saat ini tengah bergeser dari kegiatan pengkajian dan penelitian menuju kegiatan operasionalisasi penuh, dengan mulai berfungsinyastasiun bumi multi-misi yang terdiri dari stasiun penerima di Pare-pare. Sulawesi Selatan dan pusat pengolahan data di Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur (Soesilo, 1992). Foto Udara Foto udara yang baik sekali untuk informasi dasar laut adalah dengan menggunakan fotografiberwama atau Infra merah benvama. Dasar yang berupa pasir yang putih tampak biru kehijauan pada air laut yang jernih dengan menggunakan film berwarna dan tampak berwarna biru pada film inframerah benfl/ama (dengan filter kuning). Gambaran dasar laut tampak agak lebih tajam pada film inframerah berwarna karena panjang gelombang biru ditahan oleh filter sehingga pengaruh kabut bawah air dapat diperkecil (Lillesand, 1990). Foto orttiokromatikmemaumkan film orthokromatik yang peka terhadap panjang gelombang 0,4 mm - 0,56 mm. Foto ini dapat digunakan untuk studi pantai karena filmnya cukup peka terhadap obyek di bawah permukaan air atau dasar perairan laut yang dangkal, selain itu dapat digunakan untuk mendeteksiairjernih atau air keruh. (Sutanto, 1987). Fotopankromatikhitam-putlhvana peka thd panjang gelombang 0,36 mm - 0,72 mm ini pada penerapannya thd sumberdaya air yaitu digunakan untuk mendeteksi pencemaran air, evaluasi kerusakan oleh banjir, agihan air tanah dan air permukaan. (Sutanto, 1987). Foto pankromatik berwarna. walau pun lebih mahal, memiliki kelebitian yaitu mata manusia dapat lebih mengenali perbedaan yang tampak pada foto, dibandingkan pada foto pankromatik hitam putih. Jika pada foto pankromatik hitam putih mata manusia hanya dapat membedakan ± 200 gradasi hitam putih, maka pada foto pankromatik berwarna dapat membedakan 20.000 warna, berarti 1:100. f^/laka informasi yang didapat juga akan lebih banyak. Kegunaannya di bidang hidrologi dan oseanografi adalah untuk menarik garis batas antara air dan daratan, selain itu juga untuk pemetaan kedalaman air. Contoh: untuk memantau pola genangan air di daratan, memetakan batas daerah banjir, penentuan garis pantai dan pendugaan kedalaman air. Bagi daerah pantai, untuk membedakan wama air dan memiliki kemampuan untuk menembus air lebih besar dibandingkan dengan foto inframerah. Wama hijau dapat diartikan adanya konsentrasi klorofil dan fitoplankton. Warna biru dapat diartikan air yang jernih dan dalam (Sutanto, 1987). Foto Inframerah hitam putih yang peka terhadap saluran ultraviolet dekat, spektrum tampak, dan saluran inframerah dekat hingga panjang gelombang 0,9 mm ini sangat baik untuk mendeteksi air permukaan (saluran irigasi), analisis pola aliran dan penarikan garis batas antara airdan daratan. Daya serap terhadap air sangat besar sehingga air tampak gelap sekali. (Sutanto, 1987). 10 Kabar JKPP 7 Edisi Maret 2000
  • 11. '''^vvl,^;^'!li'•'U«,i;,«:. Di bidang pencemaran air, perbedaan utama pantuian antara tubuin air dan lapis minyak pada bagian spektrum fotografik terletak diantara 0.30 mm - 0.45 mm. Oleh karena itu hasil yang paling baik dapat dicapai bila menggunakan fotografi warna normai atau fotografi uitravio- /ef (Lillesand, 1990). Citra Satelit SateWS£4S^yang diluncurkan oleh NASA pada tahun 1978 diperoleh untuk usaha inventarisasi potensi energi gelombang untuk pembangkit energi listrik, potensi akumulasi migas berdasarkan topogarfi bawah laut, prediksi arus serta arah pergerakan gelombang dan angin (Sachoemar, 1994). Salah satu hasil pengukuran sensor altimeter pada satelit SEASAT dapat menunjukkan posisi arus teluk {gulfstream) dan pusaran laut (Halide, H. 1996) Satelit orbit Polar I Polar Orbiting Environmental Satelit (POES.NOAA-USA)ciperQurakar) untuk memprediksi mula jadi siklon maupun badai, dan distribusi temperatur permukaan laut. Sensor CoastalZone ColorScannerpada POES digunakan untuk mengamati distribusi khiorofil muka laut, yang bila digabung dengan data temperatur muka laut dapat digunakan untuk melokalisir daerah konsentrasi ikan (Soesilo, 1988). Satelit /y/mbus-Zdiqunakan untuk mengukur warna dan suhu permukaan laut di wilayah pantai, penelitian dan pemetaan es laut, karakteristik spektral permukaan es kontinental, agihan O3, profil tegak suhu, O3, H^o, NO^ dan HNO3, konsentrasi aerosols dan agihan global CO, CH^ dan NH3. (Sutanto, 1987). Sensor Thematic flapper (TM) pada LANDSATYang terdiri atas tujuh saluran, dua saluran pertamanya cocok untuk maksud penginderaan dasar perairan dangkal. Saluran tersebut adalah saluran 1 dengan panjang gelombang 0,45 mm - 0,52 mm dan saluran 2 dengan panjang gelombang 0,52 mm - 0,6mm (Sutanto, 1987). Selain itu Landsat m dapat dipergunakan untuk inventarisasi dan evaluasi ekosistem terumbu karang, data yang didapat berupa data MEMETAKAN SUMBERDAYA PANTAI PAHAWANG LAMPUN Folo: Mitra Benlala materi dasar perairan; kedalaman perairan; partikel tersuspensi, kecerahan dan suhu (Winarso, 1996). Landsat saluran 4 paling sesuai untuk mendeteksi obyek bawah permukaan air pada tubuh air yang tenang dan jernih, mendeteksi kedalaman air, kualitas air dan kekeruhan air. Landsat 6 dan 7bak untuk mendeteksi tubuh air karena rona air tampak gelap sekali, juga baik untuk menarik garis batas antara air dan daratan serta mendeteksi pola aliran. Selain itu data landsat dapat digunakan untuk mendeteksi organisme laut, penentuan pola kekeruhan airdan sirkulasi air, pemetaan perubahan garis pantai, pemetaan daerah dangkal, pemetaan es untuk pelayaran dan studi arus dan gelombang. (Sutanto, 1987). Gabungan LANDSATdan foto udara dapat membantu mendeteksi hadirnya unsur-unsur pencemar berupa emuisi film minyak di laut. Lapis minyak yang tebal memiliki warna coklat atau hitam. Lapis minyak tipis [oilsheen) dan pelangi minyak {oil rainbow) memiliki karakteristik warna keperakan dan warna pelangi, tetapi tidak memiliki warna coklat atau hitam yang jelas (Lillesand, 1990). Fusi antara Citra Radarsat Fine 4 dan Landsat W dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan hutan man- grove. Perbedaan antara tempat tumbuh {floor type) dan kerapalan mangrove antara yang alami dan yang ditanam kembali dapat dikenali dari perbedaan tekstur dan rona pada citra Radarsat. Tekstur dan rona hutan mangrove pada citra Radarsat terlihat lebih kasar dan gelap dibandingkan dengan tekstur dan rona mangrove yang ditanam kembali. Perbedaan ini menyatakan perbedaan kerapatan tajuk {crown closure) dan tempat tumbuh (Rahardjo dan Ratna, 1998) Khusus untuk satelit NCAA memiliki 5 sensor, salah satunya adalah A VHRR (Advance Very High Resolution Radiometer) yang memiliki 5 saluran radiometer. Data dari satelit NOAA lebih relevan untuk menghitung temperatur permukaan laut, karena diantara sensor-sensor yang dimilikinya bekerja pada daerah panjang gelombang inframerah jauh, yaitu saluran 4 dan saluran 5. Kombinasi dari kedua saluran ini digunakan untuk pemantauan awan pada slang dan malam hari; perhitungan temperatur permukaan laut dan kelengasan tanah (Mardio, 1988). Data mengenai suhu permukaan laut sebagai Kabar JKPP 7 Edisi Maret 2000 I I
  • 12. salah satu parameter lingkungan laut, dapat memberikan informasi lokasi front/upwelling6i wilayah perairan terbuka dan diduga berkaitan dengan tingkah laku dan keberadaan ikan (Hendiarti dkk, 1999). Salah satu indikator kesuburan perairan adalah adanya fitoplankton, keberadaannya sangat berperan dalam menjamin kelangsungan hidup organisma perairan lainnya secara berkelanjutan. Tinggi rendahnya produktivitas sumberdaya perikanan secara ekologis banyak tergantung kepada keberadaan fitoplankton dalam suatu perairan. Sen- sor OCTS (Ocean Color and Temperature Scanner) pada satelit ADEOS (Advance Earth Observation Satellite) milik Jepang ini digunakan untuk mendapatkan data globalocean blo-optlcalproperties. Data ini dapat memberikan informasi tentang adanya variasi warna perairan (ocean coloi) sebagai implementasi adanya perbedaan konsentrasi organisma mikroskopik fitoplankton dalam perairan. Sensor OCTS ini dapat berperan ganda yaitu selain mampu mendeteksi warna perairan, ia mampu juga mengukurtemperaturwama perairan melalui gelombang Near Visible Infrared, maka pemanfaatannya diharapkan dapat seoptimal mungkin untuk pendeteksian eutrofikasi, pemantauan kesuburan perairan, daerah upwelling dan formasi pembentukan daerah penangkapan ikan melalui pendeteksian temperatur permukaan laut dan sebaran klorofilnya. (Sachoemar, 1996) Contoh-contoh Penerapan Inderaja Beberapa contoh penggunaan teknologi penginderaan jauh di bidang kelautan: 1. Di Amerika Serikat, pada Perang Dunia ke dua, penggunaan foto untuk penginderaan dasar perairan dangkal digunakan untuk membuat peta kedalaman air dan identifikasi pulau karang dengan maksud agar tidak terjadi benturan antara kapal dan kendaraan pendarat lainnya dengan pulau karang. 2. Dalam bidang oseanografi, data LANDSAT telah dicoba untuk menganalisis pola dan distribusi arus di Teluk Jakarta. Dalam bidang geoiogi kelautan, penerapan teknologi tersebut juga telah banyak dicoba untuk menganalisis gerakan suspensi sedimen dan kecepatan perubahan pantai (Suyarso, 1988). 3. Inventarisasi sumberdaya alam delta Digul, Irian Jaya, menggunakan citra Landsat Tlvl, sebagai suatu studi pendahuluan pengelolaan yang terpadu (Kardono, 1993). 4. Evaluasi kondisi kawasan pesisir Cirebon, dengan menggunakan data SPOT XS level 2A dan Landsat TM serta Foto Udara, untuk mendapatkan informasi tentang kemungkinan pemanfaatan lahan untuk usaha budidaya perairan atau pertambakan (Sachoemar, 1994). 5. Pemantauan perubahan kondisi fisik daratan dan perairan kawasan pantai utara Karawang dengan analisis citra Landsat mS-JM (Sachoemar, 1994). 6. Pengukuran distribusi suhu permukaan laut di selat Makassar dengan menggunakan sensor AVHRR satelit NOAA-11 (f(4assinai, 1996). 7. Dari data distribusi SPL (penentuan suhu permukaan laut) satelit NOAA di Selat Sunda untuk musim timur, dapat diperoleh informasi tentang pola arus laut. sedangkan gabungan data SPL dan data hasil tangkapan ikan layang diperoleh keterkaitan yang erat antara hasil tangkapan dengan distribusi SPL, serta lokasi-lokasi potensial penangkapan lainnya yang dapat dijadikan panduan dalam operasi penangkapan (Hasyim, 1996), 8. Penerapan data SPOT untuk perencanaan penanggulangan pencemaran operasi minyak dan gas bumi di Delta IVIahakam, Kalimantan Timur (Soesilo, 1992) Istilah-istilah Fronf yaitu daerah pertemuan dua massa air yang mempunyai karakteristik berbeda misalnya pertemuan antara massa air dari Laut Jawa yang agak panas dengan massa air dari samudera Hindia yang lebih dingin (Hasyim, 1996) Upwelling adalah proses penaikan massa air laut dari lapisan bawah ke lapisan atas / permukaan yang mengakibatkan daerah tersebut lebih dingin dibandingkan daerah disekitarnya seria memiliki kandungan zat hara yang tinggi dan sangat diperlukan untuk makanan fitoplankton/ zooplankton (Hasyim, 1996). Mamik Daftar Pustaka Lillesand, TM, dan Ralph W.Kieler. 1990. Penginderaan Jauh dan interpretasi Citra. GajahMada University Press. Yogyakarta. Halide, Halmar, 196. Penentuan Arus Permukaan Laut Menggunakan Altimeter pada Satelit. Makalah dalam Seminar Maritim 1996, BPPT dan DEPHANKAM, Ja- karta. Hasyim, B., Khairul Amri dan Maryani Hartuti. 1996. Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh NOAA_AVHRR untuk Pengamatan Pola Arus Laut dan daerah Potensi Penangkapan Ikan, Makalah dalam Seminar Maritim 1996. BPPT dan DEPHANKAM. Jakarta, Hendiarti. N., Bambang Winarno, Khaerul Amri dan Hilda Lestiana. 1999. Pemberdayaan Sumberdaya Lingkungan Laut Dengan Teknologi Inderaja, BPPT, Jakarta. Kardono. A.A., Dartoyo. Turmudi, Dewayany Sutrisno. 1994. Penggunaan Data Inderaja (Landsat-TM) untuk Studi Pendahuluan Pengektlaan Sumber Daya Alam Wilayah Pantai Delta Digul, Makalah yang disampaikan pada Seminar Teknik Panlai 1993, LPTP-BPPT, Yogyakarta. Mardiono, P.. Achmad S,H. dan Bambang U. 1988. Pemanfaatan Data Satelit Lingkungan dan Cuaca untuk Kelautan, Makalah dalam Seminar Laut Nasional II, Jakarta 27 - 30 Juli 1987. Kerjasama KLH. Lab. I!mu Kelautan Ul IPB dan Ikatan Sarjana Oseanobgi Indonesia (ISDI). Massinai, MA. 1996. Aplikasi Penginderaan Jauh dalam Penentuan Suhu Permukaan Laut Selat Makassar, Makalah dalam Seminar Maritim 1996. BPPT dan DEPHANKAM, Jakarta. Purwadhi, F.S.H. 1988. Monitoring Kerusakan Pantai dari Data Penginderaan jauh. Makalah dalam Seminar Laut Nasional II. Jakarta 27-30 Juli 1987. Kerjasama KLH, Lab. llmu Kelautan Ul IPB dan Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISDI). Rahardjo, S. dan Ratna Saraswati. 1998. Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh untuk Pemantauan Hutan Mangrove di Bali Selatan, Sachoemar, SI, dan Indroyono Soesilo. 1994. Pemantauan Perubahan Kondisi Fisik Daratan dan Perairan Kawasan Pantai Utara Karawang dengan Analisis Cilra Landsat. Sachoemar, S.I. dan AgusWibowo. 1994. Pemantauan Kawasan Pertambakan Di Wilayah Pesisir Cirebondengan Penginderaan Jauh, Makalah yang disampaikan pada Seminar Teknik Pantai 1993. LPTP-BPPT Yogyakarta. Sachoemar S,l, dan Bambang Winarno. 1996, Pemanfaatan Data Satelit ADEOS untuk Pemantauan Kesuburan Perairan dan Identifikasi Daerah Penangkapan Ikan. Kumpulan Makalah Seminar Maritim Indonesia 1996, BPPT - DEPHANKAM di Makassar 18-19 Desember 1996, Soesilo, I. 1988. Satelit-satelil pengindera Bumi dan Dampaknya Bagi Indonesia, disampaikan dalam Acara Ceramah Tamu dihadapan Siswa SESKO ABRI SUSREG Angk. XV, bandung. 29 Nopember 1988. Soesilo, I, 1992. Potensi dan Prospek Penggunaan Data Inderaja di Indonesia. Makalah yang disampaikan pada LANDSAT Seminar Jakarta 24-26 Nop 1992, kerjasama UPAN-MDA, Canada. Sutanto, Prof, Dr 1987. Penginderaan Jauh. GajahMada University Press. Yogyakarta, Suyarso. 1988, Teknologi Penginderaan Jauh dan penerapannya dalam Oseanologi, Oseana.VolXlll,No.1, Jakarta. Winarso, G. dan Bidawi Hasyim. 1996. Inventarisasi dan Evaluasi Ekosistem Terumbu Karang dengan Metoda Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis, Makalah dalam Seminar Maritim 1996. BPPT dan DEPHANKAM, Jakarta, 12 Kabar JKPP 7 Erlisi Maret 2000
  • 13. BAGAN .SIAPIAPI DULU & SEKARANG Bagansiapiapi kini hanya menyisakan tiga anak tangganya sebagai tanda sisa-sisa kejayaanya di masa silam. Akibat lautnya terkubur dengan lumpur sepanjang 4 kilometer lebih Nama Bagansiapiapi, dalam bul<u pelajaran llmu Pengetahuan Sosial di tingkat sekolah dasar di Indonesia tercantum sebagai daerah penghasil ikan terbesar di Indonesia. Namun fakta yang ada saat ini tidaklah lagi demikian. Karena Bagansiapiapi saat ini tidak lagi menjadi daerah penghasil ikan terbesar di nusantara, akan tetapi hanyalah daerah pemasok kemiskinan di Propinsi Riau. Padahal sebelum Perang Dunia II daerah ini tercatat sebagai penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Peru. Petaka Bagansiapiapi dimulai sejak kehilangan lebih dari 94 mil persegi wilayah penangkapan ikan di perairan dalam akibat pendangkalan sepanjang 4 Kilometer selama rentang waktu 25 tahun terakhir. Kehilangan perairan inilah yang kemudian menjadi penyebab utama terjadinya penurunan tangkapan ikan Bagansiapiapi. Selain itu, akibat dari pembuangan limbah sisa-sisa pencucian kapal tanker minyak dari Dumai, Singapura dan Selat Malaka menyebabkan air di daerah tersebut berubah menjadi berwarna hitam dan kotor oleh genangan minyak, sehingga ikan-ikan di perairan tersebut banyak yang mati, termasuk juga biota lautnya yang note bena merupakan makanan bagi ikan, yang akhimya tangkapan ikan pun menurun drastis. Kabar JKPP 7 Edisi Marel 2000
  • 14. PERAHU NELAYAN PAHAWANG-IAMPUNG Foto: Mitia Benlala Sementara Selat Malaka sebagai daerah penangkapan ikan utama yang menghasilkan ikan bermutu sudah mengalami jenuh tangkap (overfishing). Sebab 99,97 persen dari 84.928 ton potensi lestarinya sudah tergarap akibat kebijakan pemerintah Indonesia untuk mengeksploitasi hasil laut besar-besaran. Tak kurang dari 2.000 kapal penangkap ikan dari berbagai daerah di Riau dan propinsi tetangga seperti Sumut, beroperasi di daerah ini. Penurunan produksi ikan semakin diperburuk oleh anjioknya harga ikan asin dan terasi di pulau Jawa. Padahal, ikan asin dan terasi mempakan komoditi andalan Bagansiapiapi, sebab 64 persen dari produksi ikan basah daerah ini dijadikan ikan asin dan terasi. Masalah lain yang tidak dapat dihindari adalah terjadinya perubahan pola arus ikan yang belum diketahui sebabnya sampai sekarang, selain karena punahnya hutan bakau di wilayah ini yang sedianya menjadi s/ie/ferbagi ikan-ikan dan biota-biota laut dangkal sebagai ekses dari kebijakan eksploitasi laut oleh pemerintah yang sembrono. Sebenamya, hancumya Bagansiapiapi tidaklah lepas dari kebijakan pemerintah saat itu. Yakni dengan kebijakan yang dikenal dengan program motorisasi dan penggunaan alat-alat tangkap modern seperti trawl, purse seine, gillnet, pole and line, dan sebagainya. Padahal akibat kebijakan tersebut terjadi kerusakan lingkungan, berikut rusaknya alur berkembangbiaknya ikan. Ikan di Bagansiapiapi seperti tidak pemah bisa beranak pinak. Di samping itu wilayah tangkap nelayan tradisional semakin terbatas dan harus mengayuh dayung hingga ke tengah lautan jika ingin mendapatkan ikan. Dan ujung-ujungnya menimbulkan konflik antara pengusaha perikanan besar dengan nelayan tradisional. Konfilik ini pun akhimya mencapai puncaknya tahun 1980 yakni dengan melakukan protes dan aksi-aksi pembakaran terhadap (raiv/yang mereka temui di lautan. Melihat ini akhimya pada 1 Juli 1980 dikeluarkan Keppres No. 39 tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl. Namun penghapusan penggunaan alat ini bisa dikatakan terlambat dan tidak konsisten. Karena pencabutan ini diberlakukan setelah Bagansiapiapi sudah mengalami kerusakan yang cukup parah. Anehnya lagi, sekalipun sudah dihapus, penggunaan alat ini ternyata masih terus berlangsung. Kesan yang muncul, hanya terkesan untuk menenangkan pembakaran-pembakaran trawl oleh nelayan- nelayan kecil pada saat itu. Dan kini Bagansiapi-api telah menjadi pelabuhan yang sepi dan paceklik ikan. Entah sampai kapan Bagansiapiapi akan mengalami kondisi seperti itu ? Akankah nasib laut Indonesia juga seperti Bagansiapiapi ? Kita lihat saja nanti. AgungY 14 Kabar JKPP 7 Erlisi Maret 2000
  • 15. menghadiri acara ini. Beberapa wal<il dari instansi pemerintah (BKSDA Sulawesi Tengah, Bappeda TKII Poso) dan wakil ngo (Yayasan Toloka, Walhi Sulteng, Yayasan Tanah Merdeka, Sekber Togean, Eksekutif Nasional Walhi) juga turut menghadiri acara ini. Masyarakat Kepulauan Togean menyadari bahwa ternyata begitu banyak masalah yang dihadapi. Maraknya investor tiram mutiara dan booming investasi pariwisata jelas sangat mengancam ruang gerak nelayan Togean. Berbagai Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) jelas sangat mengancam sumberdaya hutan Kepulauan Togean yang sebenamya sudah sangat sempit dan tidak layak lagi untukdiusahakan. Penangkapan ikan dengan bom dan bius, pembabatan bakau, pengambilan batu karang adalah beberapa masalah yang mengancam sumberdaya laut Kepulauan Togean. Masyarakat Kepulauan Togean sangat prihatin terhadap berbagai masalah ini. Berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah ini telah dilakukan, akan tetapi belum ada hasil yang memuaskan. Akankah berbagai masalah yang mengancam keberlangsungan Kepulauan Togean ini terus didiamkan saja ? Untuk menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat Togean dan juga sebagai wadah silaturahmi Masyarakat Kepulauan Togean, padatanggal 11 Oktober 1999 telah dibentuk Aliansi Masyarakat Adat Kepulauan Togean. Pada saat itu juga Badan Pekerja Aliansi Masyarakat Adat Kepulauan Togean membuat deklarasi yang menyerukan kepada semua pihak agar menghormati dan menjunjung tinggi aturan adat dan wilayah-wilayah adat yang ada dan dimiliki oleh Masyarakat Adat KepulauanTogean. Ganden PERTEMUAN MASYARAKAT ADAT TOGEAN Kepulauan Togean terletak di Teluk Tomini; bagian dari Provinsi Sulawesi Tengah. Sebagian besar masyarakat Kepulauan Togean adalah nelayan, khususnya nelayan tradisional. Sangat jelas bahwa ruang laut adalah bagian yang terpenting bagi kehidupan masyarakat Togean. Kepulauan Togean didiami oleh beberapa suku; Suku Togean, Suku Bajo dan Suku Bobongko. Perkembangan Kepulauan Togean sangatlah dinamis. Keindahan alam laut Kepulauan Togean menjadi incaran para investor pariwisata; berbagai cottage bermunculan di Kepulauan Togean. Kondisi laut yang berterumbu karang menjadi incaran para investor mutiara. Kekayaan ikan hias Kepulaun Togean tak luput dari incaran para pemburu ikan hias, khususnya ikan na- poleon. Kondisi-kondisi dinamis seperti ini apakah cukup menguntungkan masyarakat Togean ? Ataukah malah merugikan masyarakat Togean? Antaratanggal 9dan11 Oktober 1999telah berlangsung Pertemuan Masyarakat Adat Togean bertempat di Rumah Adat Suku Bobongko, kampung Matobiayi, Desa Lembanato, Kec. Una- Una, Kab. Poso, Sulawesi Tengah. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Masyarakat Adat Bobongko bekerjasama dengan Yayasan Toloka, Walhi Sulteng dan JKPP Wakil-wakil dari berbagai suku yang ada di Kepulauan Togean (Bajo, Togean dan Bobongko) Kabar JKPP 7 Edisi Maret 2000 15
  • 16. PELATIHAN DESENTRALISASI "MENUJU DPRD SANGGAU YANG EFEKTIF DAN AKUNTABEL" UU No.22/1999tentang Pemerintahan Daerah dan UU. No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah digulirkan. UU No,22/1999 adalah pengganti UU No.5/1974 tentang Pemerintahan di Daerah dan UU No,5/1979 tentang Pemerintahan Desa yang terkenal sangat kontroversial (menyeragamkan bentuk pemerintahan desa di seluruh Indone- sia yang jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 18 UUD 1945). Benarkah dengan dikeluarkannya kedua undang-undang baru tersebut akan memberikan otonomi yang lebih luas kepada daerah? Benarkah bahwa daerah akan mendapatkan dana pembangunan yang lebih besar; tidak bocor lagi di tengah jalan? Benarkah pendapatan asli daerah (PAD) akan menjadi lebih besar atau peningkatan PAD hanya akan mengeksploitir rakyat? Benarkah bahwa kewenangan yang luar biasa untuk mengatur daerahnya sendiri akan didapatkan daerah dan tidak lagi hanya menjadi "tangan-tangan administrasi Jakarta"? Mungkinkah bahwa kedua perundangan ini hanyalah sekedar siasat kosmetik hukum dari Jakarta untuk mengakomodir euforia reformasi dan keinginan yang kuat dari berbagai daerah untuk mendapatkan wewenang yang lebih luas? Masih banyak lagi pertanyaan- pertanyaan yang mengiringi keluarnya kedua undang-undang baru tersebut. Wacana yang timbul dengan munculnya kedua undang- undang tersebut sangatlah luar biasa; baik yang pro maupun yang kontra. Berbagai seminar diselenggarakan untuk membahas kedua perundangan baru tersebut. Berbagai daerah yang merasa cukup kaya sangat tajam melontarkan keinginannya untuk mendapatkan porsi dana pembangunan yang lebih besar, keinginan untuk lebih leluasa mengurus daerah sendiri; bahkan beberapa daerah menginginkan merdeka. Wacana terus bergulir akan tetapi tidak semua pihak telah memahami benar detail kedua perundangan tersebut, konsekwensinya terhadap praktik-praktik penyelenggaraan pemerintahan, dan tentunya juga dikaitkan dengan perubahan politik kekuasaan. DPRD Kabupaten Sanggau sangat memahami bahwa para Anggota DPRD Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat perlu belajar dan mendalami lebih jauh perihal otonomi daerah, peluang peningkatan wewenang dan konsekwensinya terhadap wilayah kelola masyarakat Sanggau. DPRD Kabupaten Sanggau, bekerjasama dengan Konsorsium Pancur Kasih dan Konsorsium Pembaruan Agraria, menyelenggarakan Pelatihan Desentralisasi dengan tema "Menuju DPRD Kabupaten Sanggau yang Efektif dan Akuntabel" antara tanggal 17 dan 21 Januari 2000, bertempat di Laverna Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Seluruh Anggota DPRD Sanggau ikut serta dan aktif mengikuti proses pelatihan, Pendalaman lebih jauh tentang realitas kewenangan masyarakat Sanggau (Pemda sebagai pelaksana dan DPRD sebagai lembaga pengontrol yang mewakili masyarakat) menunjukkan bahwa masyarakat Sanggau hanya mempunyai wewenang yang terbatas di daerahnya sendiri, baik wewenang pengelolaan maupun wewenang finansial dan perpajakan, Hanya sekitar 30% saja wilayah kelola Sanggau yang diurus oleh rakyat Sanggau sendiri; sedangkan yang 70% tidak berada di bawah wewenang Pemda dan DPRD Sanggau. Demikian jugakah yang terjadi di daerah-daerah lain? Akankah hal yang demikian dibiarkan? Tidakkah perlu DPRD Sanggau berinisiatif memperoleh wewenang yang lebih luas untuk mengurus daerah sendiri? Analisis lebih jauh tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sanggau menunjukkan bahwa temyata 62% budget APBD dipergunakan untuk biaya rutin (membayar pegawai, biaya operasional kantor, dst.), sedangkan dana pembangunan hanya 38% saja. Jelas di sini bahwa kinerja Pemda Sanggau belum optimal. Hal ini karena memang kondisi budget yang tidak memungkinkan atau memang kinerja Pemda Sanggau yang perlu dioptimalkan? Setelah menganalisis lebih jauh tentang kekurangberhasilan penyeragaman sistem pemerintahan desa (aplikasi UU No, 5/1979), khususnya di Kabupaten Sanggau, para peserta pelatihan yang notabene Anggota DPRD Kabupaten Sanggau merekomendasikan bahwa DPRD Kabupaten Sanggau akan membuat draft perihal mengembalikan pemerintahan setingkat desa pada bentuk-bentuknya yang lama (benua, kampung, dsb,) yang akan dibahas bersama-sama Pemda Sanggau, Ini merupakan evaluasi diri dan terobosan yang berani, Jalan masih panjang menuju otonomi yang sejati, Selamat berjuang DPRD Sanggau, Semoga benar-benar bisa menjadi DPRD yang efektif dan akuntabel, •1 Ganden