1. Tokoh utama dalam kesejahteraan psikologis adalah Carol D. Ryff, seorang profesor psikologi di University of Wisconsin-Madison yang telah mengembangkan teori dan pengukuran multidimensi mengenai kesejahteraan psikologis.
2. Ryff mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai realisasi potensi diri yang mencakup penerimaan diri, pertumbuhan diri, hubungan positif, otonomi, penguasaan lingkungan, dan tu
1. A. TOKOH UTAMA
Tokoh utama dari psychological well-being adalah Carol D. Ryff. Carol D. Ryff, Ph.D.,
adalah Direktur Institute on Aging dan Profesor Psikologi di University of Wisconsin-
Madison. Dia adalah anggota dari Jaringan Penelitian MacArthur untuk Pengembangan
setengah baya sukses, anggota dari American Psychological Association (Divisi 20 -
Pengembangan Dewasa dan Aging) dan Gerontological Society of America, mantan di
Pusat for Advanced Study di Ilmu Perilaku di Stanford, dan Editor Consulting selama dua
jurnal APA utama (Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial, Psikologi dan Aging). Karyanya
telah didukung oleh National Institute on Aging, Institut Nasional Kesehatan Mental, dan
Yayasan MacArthur.
Dr Ryff pusat penelitian pada studi kesejahteraan psikologis area, di mana dia telah
menghasilkan teori-driven, empiris pendekatan berbasis penilaian berbagai dimensi
fungsi psikologis positif. Prosedur penilaian telah diterjemahkan ke 18 bahasa yang
berbeda dan digunakan dalam studi beragam dalam bidang psikologi, sosiologi,
demografi, epidemiologi, dan kesehatan. Penelitian sendiri deskriptif, yang dilakukan
dengan sampel survei nasional yang representatif, telah mendokumentasikan berkorelasi
sosiodemografi dengan baik makhluk (yaitu, bagaimana kesehatan mental yang positif
bervariasi menurut usia, jenis kelamin, kelas sosial, etnis / status minoritas). Dari
Penelitian jelas dia telah berfokus pada pengalaman hidup individu dan interpretasi
mereka untuk menjelaskan variasi dalam kesejahteraan. Penyelidikan membujur
selanjutnya pembangunan setengah baya dan usia tua yang mengeksplorasi proses
ketahanan dan kerentanan melalui penumpukan kesulitan dan keuntungan. Beberapa
faktor protektif (biologis, psikologis, sosial), hipotesis untuk mempromosikan ketahanan,
saat ini sedang diselidiki. Keterkaitan antara kesehatan mental yang positif dan
kesehatan fisik yang positif adalah fokus utama dalam studi yang sedang berlangsungnya
longitudinal.
Sejak tahun 1995, Dr Ryff dan timnya Wisconsin telah mempelajari 7.000 orang dan
memeriksa faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan dari usia
pertengahan sampai usia tua. Penelitian ini disebut MIDUS (Mid-Life di Studi Nasional AS
Amerika). Dr Ryff juga terlibat dalam studi paralel di Jepang dikenal sebagai MIDJA
(setengah baya di Jepang). Sebuah daftar referensi karya dikutip disertakan pada akhir
2. posting. Dr. Ryff memiliki edit 4 buku yang merangkum temuan baru di daerah-daerah
sejak tahu 1996.
B. Definisi Psychological Well-Being (Kesejahteraan Psikologis)
Menurut Ryff Psychological well-being atau kesejahteraan psikologis merupakan
realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat menerima
segala kekurangan dan kelebihan dirinya, mandiri, mampu membina hubungan yang
positif dengan orang lain, dapat menguasai lingkungannya dalam arti dapat memodifikasi
lingkungan agar sesuai dengan keinginannya, memiliki tujuan dalam hidup, serta terus
mengembangkan pribadinya. Psychologicall well-being bukan hanya kepuasan hidup dan
keseimbangan antara afek positif dan afek negative, namun juga melibatkan persepsi dan
keterlibatan dengan tantangan-tantangan selama hidup (Keyes, Shmotkin dan Ryff,
2002).
Kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang
positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Hal ini di tunjukan dengan beberapa sikap
diantaranya, mampu menerima diri apa adanya, mampu mengembangkan potensi dalam
diri, memiliki hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, memiliki tujuan dalam
hidup, mampu mengontrol lingkungan eksternal. Dan dari pengertian diatas, dapat
disimpulkan bahwa psychological well being adalah kondisi individu yang ditandai
dengan perasaan bahagia, adanya kepuasan hidup dan relisasi diri. Kondisi ini sendiri
dipengaruhi oleh penerimaan diri, pertumbuhan diri, dan tujuan hidup, penguasaan
lingkungan, otonomi dan hubungan positif dengan orang lain.
C. Dimensi/aspek-aspek
Beberapa aspek kesejahteraan psikologis menunjukkan peningkatan terhadap
semakin dewasanya usia, aspek yang lain menunjukkan variasi yang tipis, dan yang lain
menunjukkan penurunan terhadap semakin dewasanya usia. Pada aspek penguasaan
lingkungan, otonomi, penerimaan diri, hubungan positif, menunjukkan peningkatan
terhadap usia yang semakin dewasa. Sedangkan tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi
menunjukkan penurunan yang tajam pada setiap periode kehidupan usia dewasa (dalam
Synder & Lopez,2002, h. 544).
3. Ryff (1989)mendefinisikan konsep Kesejahteraan psikologis menjadi 6 dimensi,
yaitu:
1. Penerimaan Diri (Self-Acceptance)
Self-acceptance dalam PWB ini berkaitan dengan penerimaan individu pada masa
kini dan masa lalunya. Selain itu juga berkaitan dengan adanya penilaian positif atas
kondisi diri sendiri. Seseorang memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri
adalah mereka yang memahami dan menerima berbagai aspek diri termasuk di
dalamnya kualitas baik maupun buruk, dan bersikap positif terhadap kehidupan yang
dijalaninya. Sebaliknya, individu yang memiliki nilai yang rendah adalah mereka yang
menunjukkan adanya ketidakpuasan terhadap kondisi dirinya, mengalami masalah
dengan kualitas tertentu dari dirinya, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi
pada kehidupan masa lalu, dan ingin menjadi orang yang berbeda dari diri sendiri.
2. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others)
Komponen lain dari PWB adalah kemampuan individu untuk membina hubungan
yang hangat dengan orang lain. Individu yang matang digambarkan sebagai individu
yang mampu untuk mencintai dan membina hubungan interpersonal yang dibangun
atas dasar saling percaya. Individu juga memiliki perasaan yang kuat dalam melakukan
empati dan afeksi terhadap sesama manusia, memiliki persahabatan yang mendalam,
dan mempunyai kemampuan identifikasi yang baik dengan orang lain. Individu yang
memiliki hubungan positif dengan orang lain mampu membina hubungan yang hangat
dan penuh kepercayaan dengan orang lain. Selain itu, individu memiliki kepedulian
terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, dan mempunyai
hubungan yang intim, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam
hubungan antar pribadi.
Selain itu, ia memiliki kedekatan (intimacy) dengan orang lain dan mampu
memberikan bimbingan serta pengarahan kepada orang lain (generativity). Sebaliknya,
individu yang kurang baik dalam dimensi hubungan positif menunjukkan tingkah laku
yang tertutup dalam berhubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat,
terbuka dan peduli dengan orang, merasa terasing dan frustasi dalam hubungan
interpersonalnya, serta tidak bersedia untuk melakukan kompromi agar dapat
mempertahankan hubungan dengan orang lain.
4. 3. Otonomi (Autonomy)
Ciri utama seseorang yang memiliki otonomi yang baik antara lain kemampuan
untuk menentukan nasib sendiri, kemampuan untuk mengatur tingkah laku, dan
kemampuan untuk mandiri. Ia mampu mengambil keputusan tanpa adanya campur
tangan orang lain. Selain itu, orang tersebut memiliki ketahanan dalam menghadapi
tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dalam diri, serta dapat mengevaluasi diri
dengan standar personal, bukan tergantung pada penilaian orang lain terhadap dirinya.
Sebaliknya, individu yang kurang memiliki otonomi akan sangat memperhatikan dan
mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegangan pada penilaian
orang lain untuk membuat keputusan penting, serta mudah terpengaruh oleh tekanan
sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu.
4. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
Kemampuan untuk menguasai lingkungan didefinisikan sebagai kemampuan
individu untuk memilih, menciptakan, atau mengelola lingkungan agar berjalan seiring
dengan kondisi psikologis dirinya dalam rangka pengembangan diri. Individu yang baik
dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam
mengatur lingkungan. Ia dapat mengendalikan aktivitas eksternal yang berada di
lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari,
memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya, serta mampu memilih dan
menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi. Sebaliknya, individu
yang memiliki penguasaan lingkungan yang kurang baik akan mengalami kesulitan
dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau
meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya serta tidak mampu memanfaatkan
peluang dan kesempatan diri lingkungan sekitarnya.
5. Tujuan Hidup (Purpose in Life)
Kondisi mental yang sehat memungkinkan individu untuk menyadari bahwa ia
memiliki tujuan tertentu dalam hidup yang ia jalani serta mampu memberikan makna
pada hidup yang ia jalani. Allport (1961) menjelaskan bahwa salah satu ciri kematangan
individu adalah memiliki tujuan hidup, yakni memiliki rasa keterarahan (sense of
directedness) dan tujuan (intentionality). Selain itu, Rogers (1961) mengemukakan
5. bahwa fully functioning person memiliki tujuan dan cita-cita serta rasa keterarahan yang
membuat dirinya merasa bahwa hidup ini bermakna (Ryff, 1989).
Individu yang memiliki nilai tinggi dalam dimensi tujuan hidup adalah individu yang
memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasakan arti dalam hidup masa kini maupun
yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta
memiliki tujuan dan sasaran hidup yang ingin dicapai dalam hidup. Sebaliknya, individu
yang kurang memiliki tujuan hidup akan kehilangan makna hidup, arah dan cita-cita
yang tidak jelas, tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di
masa lalu, serta tidak mempunyai harapan atau kepercayaan yang memberi arti pada
kehidupan (Ryff, 1995).
6. Pertumbuhan/Pengembangan Pribadi (Personal Growth)
Individu yang matang secara psikologis tidak hanya mampu mencapai
karakteristik-karakteristik pribadi dan pengalaman terdahulu., melainkan juga
mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan potensinya, tumbuh sebagai
individu yang fully functioning. Untuk dapat berfungsi sepenuhnya, individu harus
memiliki keterbukaan terhadap pengalaman. Individu yang terbuka pada pengalaman
akan lebih menyadari lingkungan sekitarnya dan tidak berhenti pada pendapat-
pendapat sebelumnya yang kemungkinan tidak benar. Rogers menyebutnya sebagai
“keinginan untuk menjadi”. Individu yang mencapai kondisi tersebut tidak berhenti
pada suatu keadaan statis dan berhenti mengembangkan dirinya. Justru keterbukaan
terhadap pengalaman, selalu menghadapi tantangan dan tugas-tugas baru pada setiap
fase kehidupannya. Individu yang matang selalu berusaha mengaktualisasikan dirinya
dan menyadari potensi-potensi yang dimiliki.
Individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang baik ditandai dengan adanya
perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang
diri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap
pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang
dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap
waktu serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki
pengetahuan yang bertambah. Sebaliknya, individu yang memiliki pertumbuhan pribadi
yang kurang baik akan merasa dirinya mengalami stagnasi, tidak melihat peningkatan
6. dan pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya,
serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang lebih
baik (Ryff, 1995).
D. FAKTOR-FAKTOR
Menurut Schmutte dan Ryff (1997, h. 552) menambahkan bahwa kesejahteraan
psikologis dapat dipengaruhi oleh berbagai segi diri individu, yaitu jenis kelamin, kelas
social, dan status etnis. Penelitian Ryff pada tahun 1989,1991,1995 dan 1998 menunjukkan
bahwa usia juga menjadi salah satu factor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis.
Ryff, Magee, Kling & Wling (dalam Synder & Lopez,2002, h. 544) berpendapat bahwa
tingkat pendidikan merupakan factor yang berpengaruh juga terhadap kesejahteraan
psikologis individu. Faktor lain yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis adalah
perbedaan jenis kelamin. Wanita menunjukkan kesejahteraan psikologis yang lebih positif
jika dibandingkan dengan laki-laki. Ryff(1989) menunjukkan bahwa pada dimensi “relasi
positif”, wanita menunjukkan skor yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Berikut lebih jelasnya beberapa factor yang mempengaruhi kesejahteraan
psikologis seseorang (dalam liputo, 2009: 28) :
1) Dukungan Sosial
Merupakan sebuah gambaran berbagai ungkapan perilaku suportif (mendukung)
kepada seseorang individu yang diterima oleh individu yang bersangkutan dari
orang0orang yag cukup bermakna dalam hidupnya. Robinson (1991) mengatakan bahwa
dukungan social dari orang-orang yang bermakna dalam kehidupan seseorang dapat
memberikan peramalan akan kesejahteraan seseorang. Dukungan social yang diberikan
adalah untuk mendukung penerima dalam mencapai tujuan dan kesejahteraan hidup.
2) Ideologi Peran Jenis Kelamin
Sejumlah penelitian menyatakan adanya kaitan yang erat antara peran yang
dijalankan dalam kehidupan sehari-hari dan kesejahteraan psikologis seseorang.
Ditemukan bahwa wanita (isteri) yang melaksanakan perannya secara tradisional
mengalami beban peran yang berlebih dan depresi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita yang lebih modern dan wanita dengan peran tradisional ini mengalami
gejala-gejala distress dan menunjukkan ketidakpuasan hidup (Sollie & Leslie, Spence dkk,
dalam Strong & Devault, 1989: 24).
7. 3) Status Sosial Ekonomi
Status social ekonomi mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Seperti
biasanya income keluarga, tinngkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan, kepemilikan
materi dan status social di masyarakat (Pinquart & Sorenson, 2002: 22).
4) Jaringan Sosial
Berkaitan dengan aktivitas social yang diikuti oleh individu seperti aktif dalam
pertemuan-pertemuan atau organisasi, kualitas dan kuantitas aktivitas yang dilakukan,
dan dengan siapa kontak social dilakukan (Pinquart & Sorenson, 2002: 22).
5) Religius
Hal ini berkaitan dengan transendensi segala persoalan hidup kepada tuhan.
Individu yang memiiki tingkat religiustas tinggi lebih mampu memaknai kejadian
hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna (Bastaman, 2000: 24).
6) Kepribadian
Individu yang memiliki banyak kompetensi pribadi dan social, seperti penerimaan
diri, mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, coping skill yang
efektif cenderung terhindar dari konflik dan setres (Santrock. 1999;Ryff, 1995). Dan
dijelaskan pula oleh Bhogel & Prakash (dalam wahyuni 2001) yang menjelaskan ada
beberapa factor yang memengaruhi kesejahteraan psikologis, yaitu :
Personal Control, yaitu kemampuan seseorang dalam mengontrol segala emosi
dan dorongan yang muncul dari dalam diri.
Self Esteem atau harga diri, yaitu memiliki harga diri yang seimbanh
Positif affect, perasaan atau emosi yang positif (kesenangan atau
kegembiraan).
Manage Tension, yaitu kemampuan untuk mengatur ketegangan yang keluar dari
dalam diri, misalnya kemarahan atau kebahagiaan sehingga tidak muncul secara
berlebihan.
Positive Thingking, yaitu berfikir positif dalam menghadapi peristiwa, suasana,
atau individu baru.
Ide dan Feelingyang efisien, yaitu mengeluarkan ide dan perasaan yang tepat dan
sesuai dengan konteks serta tidak berlebihan.
8. Jadi dapat disimpulkan bahwa factor internal yang mempengaruhi kesejahteraan
psikologis adalah : kepribadian, kehidupan masa kecil seseorang sedangkan factor-faktor
eksternal meliputi kemampuan eknomi, pekerjaan, pendidikan, anak, kesehatan fisik
serta lingkungan sosial.
E. VARIABEL TERIKAT (DEPENDET VARIABEL)
Variable terikat dalam penelitian ini adalah variable psychological well-being.
Definisi dari psychological well-being menurut Ryff (1989) adalah realisasi dan
pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat menerima segala
kekurangan dan kelebihan dirinya, mandiri, mampu membina hubungan yang positif
dengan orang lain, dapat menguasai lingkungannya dalam arti mampu memodifikasi
lingkungan agar sesuai dengan keinginannya, memiliki tujuan dalam hidup, serta terus
mengembangkan pribadinya.
Variable psychological well-being memiliki enam dimensi dimensi. Dimensi-dimensi
tersebut adalah penerimaan diri (Self-Acceptance), hubungan positif dengan orang lain
(Positive Relations to Other), otonomi (Autonomy), penguasaan lingkungan
(Environmental Mastery), tujuan hidup (Purpose in Life), pertumbuhan diri (Personal
Growth).
Kepuasan Kerja dan psychology Well-being. Dalam hal ini telah di lakukan
penelitian tentang kepuasan kerja dengan psychology Well-Being yang dilakukan oleh
Leila Andini pada petugas lapangan suku dinas kebersihan Kec. Kalideres, Jakarta Barat.
Dari penelitian ini yang dimaksud dengan kepuasan kerja adalah keadaan emosional
yang positif. Yang dihasilkan dari beberapa penilain petugas terhadap pekerjjaan yang
berupa perasaan suka atau tidak suka terhadap pekerjaan atau pengalaman kerja
sesorang. Kemudian psychological well-being adalah suatu keadaan dimana individu
dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri yang apa adanya, serta memiliki
hubungan positif dengan orang lain dan mampu mengatur lingkungan untuk memiliki
tuuan dalam hidupnya sehingga dalam kondisi apapun seseorang mampu bekerja lebih
siap untuk menghadapi suatu kondisi pekerjaan.
Variabel Bebas : Psychological well-being
Variabel Terikat : Kepuasan Kerja
Yang digunakan dalam penelitian ini adalah sensus. Dari penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi psychologicall well-being maka akan semakin tinggi
9. kepuasan kerja seseorang. Dan sebaliknya, semakin rendahnya psychological well-being
seseorang maka akan semakin rendah pula kepuasan kerja orang tersebut.
F. Alat ukur Psychoological well-being
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian adalah psychological well-being scale
(SPWB) yang disusun oleh Carol D.Ryff (1989). Terdapat enam dimensi pendukung
SPWB yaitu penerimaan diri (Self-Acceptance), hubungan positif dengan orang lain
(Positive Relations to Other), otonomi (Autonomy), penguasaan lingkungan
(Environmental Mastery), tujuan hidup (Purpose in Life), pertumbuhan diri (Personal
Growth). Setiap dimensi membentuk pernyataan (favorable-unfaborable) yang
digunakan untuk mengungkap SPWB. Alat ukur ini merupakan tipe skala Likert, dimana
terdapat enam variasi respon dari sangat setuju hingga sangat tidak setuju. Pada item
favorable, sangat setuju (ss) bernilai 6, setuju (s) bernilai 5, agak setuju (s) bernilai 4,
agak tidak setuju (ats) bernilai 3, tidak setuju (ts) bernilai 2 dan sangat tidak setuju (sts)
bernilai 6. Sehingga semakin tinggi skor individu semakin baik kondisi well-being yang
dirasakan. Setelah peneliti beberapa kali berkomunikasi dengan Carol Ryff lewat e-mail,
peneliti mengetahui bahwa alat ukur psychological well-being scale ini tidak memiliki
norma yang artinya tidak ada patokan nilai tertentu yang menandakan tinggi atau
rendahnya kondisi well-being.