Pengobatan utama LLA adalah kemoterapi yang diberikan secara kombinasi dengan lama pengobatan dua tahun melalui beberapa fase, yaitu: fase induksi, konsolidasi, intensifikasi dan pemeliharaan. Monitor terhadap efek samping kemoterapi jangka pendek dan jangka panjang perlu dilakukan. Keberhasilan penatalaksanaan leukemia anak dalam memperpanjang umur harapan hidupnya perlu sangat dipengaruhi oleh penanganan yang komprehensif dengan upaya perawatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup anak. Keterlibatan berbagai pihak dapat memberikan arti bagi peningkatan kualitas hidup penderita LLA, antara lain: keterlibatan berbagai profesi kesehatan, orang tua, psikolog, organisasi social penunjang, faktor risiko, pengobatan penunjang, dan ketaatan pengobatan.
Salah satu komponen utama dalam penatalaksanaan leukemia anak adalah perawatan lanjutan (follow-up) penderita LLA. Makalah ini akan membahas perawatan lanjutan penderita LLA di rumah dengan menggunakan pendekatan model kualitas hidup penderita leukemia anak.
1. 1
PERAWATAN LANJUTAN DI RUMAH
PADA PENDERITA LEUKEMIA ANAK
Bondan Palestin, SKM, M.Kep., Sp.Kom.∗ §
A. Pendahuluan
Leukemia merupakan jenis penyakit yang disebabkan adanya
proliferasi patologis dari sel pembuat darah atau disebabkan adanya
transformasi progenitor hematopoeitik namun bukan sebagai penyakit
yang diturunkan.1,2 Tipe leukemia terdiri dari leukemia limfositik akut
(LLA), leukemia mieloblastik akut (LMA), leukemia limfositik kronik
(LLK), leukemia mielositik kronik (LMK), mielosis eritremik (ME),
eritroleukemia dan retikulosis. LLA merupakan jenis penyakit
keganasan yang paling sering dijumpai pada anak atau seperempat dari
semua kasus keganasan pada anak dan LLA memiliki proporsi 75-85%
dari semua kasus leukemia pada anak.3 Oleh karenanya, fokus tulisan
ini lebih banyak membahas mengenai LLA.
LLA merupakan keganasan pada sel limfoid yang ditemukan di
sumsum tulang namun dapat bermigrasi ke semua organ secara
sistemik termasuk pada Sistem Syaraf Pusat (SSP). Gejala dan tanda
leukemia mencerminkan derajat supresi eritropoiesis, trombopoiesis,
leukopoiesis di sumsum tulang oleh sel leukemia dan penyebarannya di
luar sumsung tulang dapat memberikan manifestasi anemia, gangguan
perdarahan, trombosis, antikoagulasi, dan kerentanan terhadap infeksi.
4,5,6 Gejala yang perlu diwaspadai dan sering ditemukan pada leukemia
antara lain pucat, demam yang tidak jelas sebabnya, nyeri tulang dan
pembengkakan perut. Menurut penelitian tahun 1993 di Jakarta
menunjukkan bahwa insidensi leukemia anak adalah 27,6% tiap satu
juta anak berusia 1-14 tahun, sedangkan di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta telah tercatat sejumlah 35% kasus LLA dan 13% kasus LMA
dari penderita kanker anak dalam periode tahun 2000-2004. 7
LLA umumnya diderita oleh anak berumur 2-10 tahun dengan
puncak insidensi pada usia 3-4 tahun, kemudian insidensinya
menurun sesuai dengan perkembangan usia namun memiliki peluang
untuk muncul kembali 30 tahun setelah pengobatan LLA.8,9,10 Insidensi
LLA di Amerika Serikat lebih sering terjadi pada anak-anak kulit putih
daripada kulit hitam, begitu juga pada anak laki-laki daripada anak
perempuan.11 Sedangkan menurut penelitian di Inggris, insidensi LLA
pada kelompok sosial ekonomi yang berbeda tidak memiliki perbedaan
yang bermakna.12 Meskipun faktor-faktor genetik, lingkungan, virus,
dan menurunnya imunitas terkait dengan patogenesis LLA, penyebab
∗
Disampaikan dalam Seminar Nasional Keperawatan Management for Childhood Leukemia Updates pada tanggal 22
Maret 2008 di Auditorium Poltekkes Depkes Yogyakarta.
§
Departemen Keperawatan Kesehatan Komunitas, Jurusan Keperawatan, Politeknik Kesehatan Depkes Yogyakarta.
2. 2
utama dari sebagian besar kasus masih belum diketahui secara pasti.
13,14,15,16,17
Menurut penelitian, anak dengan leukemia yang berusia lebih
muda memiliki harapan hidup lebih tinggi 61-77% dibanding remaja
berusia 20 tahun.18 Kurang lebih 80% penderita dengan LLA memiliki
peluang hidup lebih lama setelah mendapatkan protokol pengobatan
LLA meskipun 40–60% pada kelompok tersebut bergantung pada jenis
protokol yang digunakan.19 Berdasarkan kewilayahan, penatalaksanaan
pengobatan dan perawatan anak dengan LLA di negara-negara maju
dapat meningkatkan angka kesembuhan (cure rate) sampai dengan
80%,20,21,22,23,24 sedangkan angka kesembuhan di negara-negara
berkembang masih berkisar antara 10-48% karena pasien terlambat
mendapatkan pengobatan yang adekuat atau justru tidak taat
menyelesaikan protokol pengobatan. Penyebab utama hal tersebut
adalah faktor latar belakang pendidikan dan tingkat ekonomi orangtua
yang kurang serta sikap tim kesehatan terhadap penatalaksanaan
LLA.25,26,27
Pengobatan utama LLA adalah kemoterapi yang diberikan secara
kombinasi dengan lama pengobatan dua tahun melalui beberapa fase,
yaitu: fase induksi, konsolidasi, intensifikasi dan pemeliharaan. Monitor
terhadap efek samping kemoterapi jangka pendek dan jangka panjang
perlu dilakukan.28 Keberhasilan penatalaksanaan leukemia anak dalam
memperpanjang umur harapan hidupnya perlu sangat dipengaruhi oleh
penanganan yang komprehensif dengan upaya perawatan yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup anak.29 Keterlibatan
berbagai pihak dapat memberikan arti bagi peningkatan kualitas hidup
penderita LLA, antara lain: keterlibatan berbagai profesi kesehatan,
orang tua, psikolog, organisasi social penunjang, faktor risiko,
pengobatan penunjang, dan ketaatan pengobatan.
Salah satu komponen utama dalam penatalaksanaan leukemia
anak adalah perawatan lanjutan (follow-up) penderita LLA. Makalah ini
akan membahas perawatan lanjutan penderita LLA di rumah dengan
menggunakan pendekatan model kualitas hidup penderita leukemia
anak.
B. Model kualitas hidup penderita LLA
Model kualitas hidup penderita LLA dikembangkan dari pemikiran
bahwa dengan semakin meningkatnya harapan hidup penderita LLA,
petugas kesehatan tidak cukup hanya berfokus pada hasil dan
efektivitas pengobatan saja namun perlu disuplementasikan intervensi
perawatan yang komprehensif. Oleh karenanya, indikator-indikator
dalam model kualitas hidup penderita LLA mencerminkan dampak
penatalaksanaan penderita LLA.30 Model di atas terdiri dari empat
ranah kualitas hidup anak penderita LLA, yaitu: (1) kesehatan fisik dan
mengatasi manifestasi klinis (physical well-being and symptoms); (2)
3. 3
kesehatan psikologis (psychological well-being); (3) kesehatan sosial
(social well-being); dan (4) kesehatan spiritual (spiritual well-being).31
Ranah-ranah tersebut sesuai dengan berbagai publikasi mengenai
dimensi kualitas hidup penderita keganasan.32,33,34
Skema 1. Model kualitas hidup penderita LLA dimodifikasi dari
Model kualitas hidup penderita kanker 35
Intervensi asuhan keperawatan penderita leukemia anak di rumah
menggunakan strategi untuk menurunkan dampak penyakit leukemia
sebagai stresor dan meningkatkan resistensi klien sebagai kualitas
hidupnya.36 Intervensi keperawatan diberikan untuk menjaga stabilitas
klien, ketersediaan sumber energi sistem, dan dukungan terhadap klien
untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Intervensi keperawatan
terhadap penderita ALL dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu prevensi
sekunder dan prevensi tersier.
Prevensi sekunder bertujuan untuk melakukan penatalaksa-naan
berbagai manifestasi leukemia (prompt treatment) dan
mencegah/membatasi kecacatan (disability limitation). Penatalak-
sanaan manifestasi leukemia, misalnya: penatalaksanaan nyeri
nonfarmakologik; pencegahan cedera; penanganan perdarahan, anemia,
gangguan hidrasi, perubahan nutrisi, nyeri, mukositis, infeksi
sekunder, dan kedaruratan onkologik; penanganan respons terhadap
tindakan kemoterapi; dan koping keluarga. Prevensi tersier bertujuan
untuk upaya rehabilitasi, pendidikan kesehatan yang bersifat
readaptasi, pendidikan kesehatan untuk mencegah komplikasi, dan
memelihara stabilitas kesehatan anak.37
PHYSICAL WELL-BEING
AND SYMPTOMS :
Functional Ability
Strength/Fatigue
Sleep and Rest
Fertility
Pain
Appetite
Overall Physical Health
PSYCHOLOGICAL WELL-BEING:
Control
Anxiety
Depression
Enjoyment/Leisure
Pain Distress
Happiness
Fear of Recurrence
Cognition/Attention
Overall Perception of Quality of Life
Distress of Diagnosis and Treatment
QUALITY
OF LIFE
SOCIAL WELL-BEING:
Family Distress
Roles and Relationships
Affection Function
Appearance
Employment
Isolation
Finances
SPIRITUAL WELL-BEING:
Meaning of Illness
Religiosity
Transcendence
Hopefulness
Uncertainty
4. 4
C. Intervensi keperawatan penderita leukemia anak di rumah
Intervensi keperawatan penderita leukemia anak di rumah pada
prinsipnya sama dengan penatalaksanaan perawatan akut.38,39
1. Aspek kesehatan fisik dan mengatasi manifestasi klinis (physical
well-being and symptoms)
a. Memantau respons anak terhadap pengobatan kemoterapi.
1) Diare. Berikan cairan per oral. Lakukan perawatan kulit pada
bokong dan daerah perineum. Pantau efektivitas obat
antidiare. Hindari makanan dan buah-buahan tinggi-selulose
Beri makan sedikit tapi sering; jika mungkin beri makanan
yang disukai anak. Kurangi atau jangan berikan daging.
2) Anoreksia. Observasi adanya tanda-tanda kekurangan cairan
(dehidrasi). Beri makan sedikit tapi sering yang berupa
makanan lunak kaya zat gizi dan kalori. Dianjurkan makan
makanan yang disukai atau dapat diterima walaupun tidak
lapar. Hindari minum sebelum makan. Tekankan pada anak
bahwa makan adalah bagian penting dalam program
pengobatan.
3) Mulut kering. Makanan atau minuman diberikan dengan suhu
dingin. Bentuk makanan cair. Kunyah permen karet atau hard
candy.
4) Mual dan muntah. Beri makanan kering. Hindari makanan
yang berbau merangsang. Hindari makanan lemak tinggi.
Makan dan minum perlahan-lahan. Hindari makanan atau
minuman terlalu manis. Batasi cairan pada saat makan. Tidak
tiduran setelah makan.
5) Retensi cairan. Pantau asupan dan keluaran cairan. Timbang
berat badan harian. Bila ada anak sesak nafas (gawat
pernapasan) segera dibawa ke rumah sakit. Ubah posisi tidur
anak sesering mungkin.
6) Hiperuremia. Pantau asupan dan keluaran. Anjurkan anak
untuk banyak minum. Lakukan perawatan kulit anak agar
rasa gatal berkurang.
7) Demam dan menggigil. Catat frekuensi gejala. Berikan rasa
nyaman dengan memberinya selimut dan mandi hangat-
hangat kuku (tepid sponge).
8) Sariawan (stomatitis dan ulkus mulut). Berikan rasa nyaman
dengan sering berkumur, memakai cairan pencuci mulut, dan
permen yang keras.
9) Rambut rontok (alopesia). Persiapkan anak dan keluarga
untuk menghadapi kerontokan rambut. Yakinkan hati anak
dan keluarga bahwa kerontokan rambut tersebut hanya
sementara. Siapkan anak dan keluarga tentang tumbuhnya
rambut baru yang berbeda warna dan tekstur dari rambutnya
5. 5
semula. Gunakan syal, topi, atau wig sebelum rambut mulai
rontok sebagai usaha untuk mengalihkan perhatian. Sering
keramas untuk mencegah cradle cap. Cegah penggunaan
bahan kimia rambut, seperti larutan pengkriting rambut yang
permanen, ketika rambut tumbuh kembali. Bantu anak
memilih pakaian yang dapat meningkatkan aspek positif
penampilan anak.
b. Mencegah infeksi sekunder serta memantau adanya tanda dan
gejala infeksi
1) Waspadai bahwa demam dan batuk adalah tanda yang
terpenting dari infeksi. Lebih banyak pasien yang meninggal
karena infeksi daripada karena penyakitnya.
2) Buatkan kamar protektif yang semi steril mendekati
ruangan isolasi di rumah sakit.
3) Minta anak memakai masker bila keluar rumah atau
bersama orang lain terutama bila sedang menderita
neutropenik berat (leukosit kurang dari 1000/mm3).
4) Cuci tangan dengan alkohol 80%. Gunakan semprotan
alkohol untuk cuci tangan sebelum dan sesudah memegang
anak.
5) Kurangi kontak dengan orang lain. Pada saat agranulositosis
(jumlah total neutrofil < 500/µl) kuman komensal yang
bersumber dari usus dapat menyebar ke pelbagai organ.
Demikian pula kuman yang bersumber dari pengunjung
juga dapat menular kepada anak melalui kontak. Oleh
karenanya, teman atau pembesuk tidak boleh masuk kamar
anak.
6) Perawatan gigi dan mulut harus dikerjakan setiap hari.
Setiap habis makan dan terutama kalau mau tidur harus
dilakukan sikat gigi (dengan sikat gigi yang harus), kumur
betadin dan kumur antijamur.
7) Setiap hari diwajibkan memeriksa kulit secara menyeluruh
dari ujung rambut kepala sampai ujung kaki. Daerah
kemaluan juga harus diperhatikan, daerah tersebut sering
terabaikan dan justru di daerah itu pula sering muncul
infeksi kulit.
8) Makanan hygienis.
9) Jaga kebersihan diri anak termasuk kuku yang bersih.
c. Pantau adanya tanda dan gejala komplikasi
1) Somnolens radiasi: Dimulai 6 minggu setelah menerima
radiasi kraniospinal, anak menunjukkan keletihan berat dan
anoreksia selama kira-kira 1 sampai 3 minggu. Orang tua
sering kali merasa khawatir tentang terjadinya kambuhan
pada saat ini dan perlu untuk diyakinkan.
6. 6
2) Gejala SSP: Sakit kepala, penglihatan kabur atau ganda,
muntah. Gejala-gejala tersebut dapat mengindikasikan
keterlibatan SSP dalam leukemia.
3) Gejala pernapasan: Batuk dan sesak nafas. Gejala tersebut
mengindikasikan adanya pneumosistitis atau infeksi
pernapasan lainnya.
d. Mencegah cedera yang dapat menyebabkan perdarahan
1) Pantau adanya tanda dan gejala perdarahan.
2) Periksa adanya memar dan kemerahan pada kulit.
3) Periksa adanya mimisan dan gusi berdarah.
4) Jaga agar kuku tetap pendek.
5) Hindari penumpuan beban pada alat gerak yang sakit
6) Hindari kecelakaan dan cedera. Pastikan lingkungan
ruangan termasuk barang-barang yang ada di ruangan agar
benar-benar aman dan tidak berisiko mencederai anak.
7) Anjurkan aktivitas bermain yang tenang.
e. Pemberian nutrisi.
1) Tujuan diit. Memberikan makanan yang seimbang sesuai
dengan keadaan penyakit serta daya terima anak. Mencegah
atau menghambat penurunan berat badan secara berlebihan.
Mengurangi rasa mual, muntah, dan diare. Mengupayakan
perubahan sikap dan perilaku sehat terhadap makanan oleh
pasien dan keluarganya.
2) Syarat-syarat diet di rumah. Energi tinggi, yaitu 36 kkal/kg
BB untuk laki-laki dan 32 kkal/kg BB untuk perempuan.
Apabila pasien berada dalam keadaan gizi kurang, maka
kebutuhan energi menjadi 40 kkal/kg BB untuk laki-laki dan
36 kkal/kg BB untuk perempuan. Protein tinggi, yaitu 1-1,5
g/kg BB. Lemak sedang, yaitu 15-20% dari kebutuhan energi
total. Karbohidrat cukup, yaitu sisa dari kebutuhan energi
total. Vitamin dan mineral cukup, terutama vitamin A, B
kompleks, C dan E. Bila perlu ditambah dalam bentuk
suplemen. Bila imunitas menurun (leukosit < 10 ul), anak
harus mendapat makanan yang steril. Porsi makan kecil dan
sering diberikan.
3) Jenis makanan atau diet yang diberikan hendaknya
memperhatikan nafsu makan, perubahan indra kecap, rasa
cepat kenyang, mual, penurunan berat badan, dan akibat
pengobatan.
4) Hindari makanan atau minuman yang merangsang batuk,
misalnya makanan berminyak, makanan asam, pewarna
makanan, MSG.
5) Sesuai dengan keadaan pasien, makanan dapat diberikan
dalam bentuk makanan padat, makanan cair, atau kombinasi.
7. 7
Untuk makanan padat dapat berbentuk makanan biasa,
makanan lunak, atau makanan lumat.
6) Apabila terdapat kesulitan mengunyah atau menelan. Minum
dengan menggunakan sedotan. Makanan atau minuman
diberikan dengan suhu kamar atau dingin. Bentuk makanan
disaring atau cair. Hindari makanan terlalu asam atau asin.40
f. Mengatasi nyeri dengan teknik penatalaksanaan nyeri
nonfarmakologik. Beberapa teknik penatalaksanaan nyeri
nonfarmakologik yang dikelompokkan menurut umur penderita
leukemia, adalah :
1) Toddler (anak di bawah umur tiga tahun). Teknik
penatalaksanaan nyeri nonfarmakologik pada toddler, antara
lain: mainan, buku cerita bergambar, musik, pernafasan
terkontrol – meniup air sabun, dan stimulasi kutan: usapan,
pemijatan.
2) Anak usia prasekolah (3-4 tahun). Teknik penatalaksanaan
nyeri nonfarmakologik pada anak usia prasekolah, antara lain:
mainan, buku cerita bergambar, mencari gambar tersamar,
mendengarkan musik atau dongeng melalui headset,
menonton video, imajinasi emotif-menggunakan super-hero
favorit anak untuk “melawan” nyeri, pernafasan terkontrol,
stimulasi kutan, dan latihan perilaku – menjadi akrab dengan
prosedur melalui bermain.
3) Anak usia sekolah (5-12 tahun). Teknik penatalaksanaan nyeri
nonfarmakologik pada anak usia sekolah, antara lain:
imajiner, mendengarkan musik atau dongeng melalui headset,
menonton video, bermain play-station atau video-games,
pernafasan terkontrol, stimulasi kutan, dan latihan perilaku.
g. Mencegah dan mengatasi mukositis
1) Hindari sikat gigi yang berbulu keras.
2) Hindari makanan keras yang harus dikunyah berlebihan
3) Hindari makanan yang asam dan pedas.
4) Hindari makanan yang masih panas
h. Berikan cukup istirahat dan tidur
2. Aspek kesehatan psikologis (psychological well-being)
a. Berikan pendidikan kesehatan mengenai leukemia terutama
prognosis penyakit kepada keluarga untuk mengurangi
kecemasan dan depresi.
b. Berikan pendidikan kesehatan kepada anak bahwa prosedur
pengobatan sangat penting bagi peningkatan kesehatan anak. Hal
ini untuk mengurangi stres terhadap prosedur pengobatan.
c. Anjurkan anak dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan
mereka. Anak dan keluarganya perlu untuk menyesuaikan hidup
dengan berbagai fase penyakit yang mengancam hidup.
8. 8
d. Bantu anak dan keluarga melakukan koping positif. Reaksi anak
sebagian besar bergantung pada usianya, informasi yang
diberikan kepada anak, dan dampak fisik penyakit.
e. Berikan fasilitas permainan yang menghibur namun aman.
3. Aspek kesehatan sosial (social well-being)
a. Beri penyuluhan kepada anak dan keluarga mengenai
penatalaksanaan penyakit dan pengobatan termasuk
konsekuensi jangka panjang baik rencana perawatan dan
finansial keluarga. Dampak jangka panjang kanker masa kanak-
kanak:
1) Katarak. Rujuk anak ke spesialis mata dan persiapkan untuk
kemungkinan operasi katarak.
2) Hilang pendengaran. Rujuk anak ke dokter THT dan ahli
terapi wicara; persiapkan untuk kemungkinan penggunaan
alas pendengaran.
3) Fibrosis pulmonal. Anjurkan anak mendapat vaksin flu dan
perawatan segera untuk infeksi pernapasan; anjurkan orang
tua untuk menghentikan merokok.
4) Kardiorniopati, kerusakan perikardium, aterosklerosis dini,
dan aritmia ventrikular. Rujuk anak ke spesialis jantung.
5) Enteritis dan sirosis kronis. Rujuk anak ke ahli nutrisi,
mungkin diperlukan modifikasi diet
6) Nefritisisistitis kronis. Rujuk anak ke spesialis penyakit dalam
(nefrolog), pertahankan hidrasi, dan persiapkan anak untuk
kemungkinan dialisis.
7) Skoliosis/kifosis, wajah asimetris, atau masalah pada gigi.
Rujuk anak pada pelayanan rehabilitasi dan dokter gigi;
anjurkan perawatan oral yang tepat; beritahu anak untuk
menghindari permainan atau olahraga yang berat.
8) Imunosupresi yang memanjang. Anjurkan tindakan
pengendalian infeksi, beri antibiotik profilaksis, periksa
laboratorium untuk cek hitung darah, dan amati tanda-tanda
infeksi.
9) Disfungsi testis atau ovarium. Rujuk anak ke spesialis
endokrin. Diskusikan terapi hormon pengganti.
10) Hipotiroidisme atau disfungsi hipotalamus. Rujuk anak ke
spesialis endokrin dan persiapkan anak menghadapi postur
tubuhnya yang pendek.
11) Gangguan sistem saraf pusat, antara lain leukoensefalopati,
neuropati perifer, dan defek kognitif. Pantau perkembangan
dan kolaborasi dengan staf sekolah dan keluarga untuk
membantu anak melakukan kemampuan yang optimal.
9. 9
12) Keganasan sekunder. Anjurkan keluarga berpartisipasi dalam
perawatan tindak lanjut yang sedang berjalan untuk
memantau kemungkinan keganasan sekunder.
b. Beri pendidikan kesehatan pada orang tua secara rinci mengenai
aspek-aspek penatalaksanaan medis untuk memantapkan
ketaatan orangtua dan anak, yaitu:
1) Proses penyakit -- tanda, gejala, komplikasi, dan aturan
pengobatan.
2) Pemberian obat -- respons terapeutik terhadap pengobatan,
reaksi terhadap pengobatan yang tidak diinginkan.
3) Prosedur pengobatan—langkah-langkah prosedur dan
jadwalnya
4) Aktivitas-aktivitas yang dilarang
5) Kebutuhan alat -- perawatan dan pemeliharaan, nomor
telepon kantor yang menjual kebutuyhan alat
6) Nama dan nomor telepon kontak untuk pemeriksaan lanjut
(misalnya: rumah sakit, klinik, dokter, perawat)
c. Minta orang tua untuk mengidentifikasi gejala yang menandakan
penurunan kondisi dan yang perlu dilaporkan kepada dokter.
d. Berikan informasi pada anak dan keluarga tentang dukungan
sosial kemasyarakatan bagi perawatan jangka-panjang.
1) Dukungan pihak sekolah
2) Kelompok orang tua dengan permasalahan yang sama.
Orangtua membutuhkan teman senasib sepenanggungan
dalam satu wadah organisasi. Sehingga, para orangtua merasa
mendapat dukungan, tidak sendirian, bisa curhat maupun
berbagi ilmu/tips dalam membesarkan buah hati mereka.
Tidak sedikit yang mengakui, dengan ikut komunitas seperti
ini, orangtua tambah pintar dan semakin peduli. Kondisi
anak-anak mereka pun mengalami kemajuan hingga memberi
harapan untuk bisa lebih baik dan lebih baik lagi.41 Organisasi
yang berkaitan dengan kanker anak, yaitu:
a) Yayasan Onkologi Anak Indonesia. Sekretariat: RS Kanker
Dharmais Lt. 1. Jl. Letjen S. Parman Kav 84-86, Slipi,
Jakarta Barat. Telp. (021) 5681612/5681570 ext 2030 Fax.
(021) 5681612.
Email: yoai_sekretariat@yahoo.com
b) Yayasan Kanker Indonesia. Sekretariat: Jl. DR. Sam
Ratulangi 35 Jakarta 10350. Telp.: (021) 3152606,
3152603, 3920568 - Fax : (021) 3108170. E-mail :
ykipusat@rad.net.id
10. 10
e. Pantau adanya gangguan dalam fungsi dan peran keluarga.
1) Dasari semua intervensi pada latar belakang budaya, agama,
tingkat pendidikan, dan sosial ekonomi keluarga.
2) Libatkan dukungan sosial anggota keluarga lain dalam
program pengobatan dan perawatan anak
3) Tingkatkan keutuhan keluarga agar dapat memberikan
lingkungan psikologis yang positif bagi anak.
f. Fasilitasi ketaatan keluarga dalam penatalaksanaan jangka
panjang selama kunjungan pemeriksaan lanjut. Tanyakan
berbagai factor pendukung ketaatan pengobatan, misalnya:
ketersediaan alat transportasi, sumber-sumber financial
keluarga, tingkat motivasi.
g. Cegah adanya isolasi sosial bagi anak. Tingkatkan peran peer-
group sebagai sumber pemdukung sosial.
4. Aspek kesehatan spiritual (spiritual well-being)
Aspek spiritual sangat penting ditekankan agar anak dan
keluarga dapat memahami dan memaknai bahwa di balik cobaan
penyakit memiliki hikmah kehidupan yang Diberikan oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Keikhlasan menerima penyakit merupakan modal
utama munculnya motivasi, harapan dan optimisme.
D. Penutup
Penyakit leukemia pada anak dimana LLA merupakan kasus
terbanyak yang ditemui pada kasus kanker anak memiliki protokol
pengobatan yang lama. Program pengobatan dan perawatan jangka
panjang memerlukan kekuatan dan keberlanjutan berbagai sumber
daya keluarga dan pendukungnya. Oleh karenanya, perawatan lanjutan
di rumah pada penderita leukemia anak perlu memperhatikan aspek-
aspek perawatan yang berorientasi pada peningkatan kualitas hidup
anak.
11. 11
KEPUSTAKAAN :
1
Rosenbaum, P.F., Buck, G.M., & Brecher, M.L. (2000). Early Child-Care and Preschool Experiences and the Risk of
Childhood Acute Lymphoblastic Leukemia. Am J Epidemiol, 152:1136–1144.
2
Altieri, A., Castro, F., Bermejo, J.L., & Hemminki, K. (2006). Number of Siblings and the Risk of Lymphoma,
Leukemia, and Myeloma by Histopathology. (Cancer Epidemiol Biomarkers Prev, 15(7):1281–1286.
3
Margolin, J. F., Steuber, C. P., & Poplack, D. G. (2002). Acute lymphoblastic leukemia. In P. A. Pizzo & D. G.
Poplack (Eds.), Principles and practice of pediatric oncology (pp. 489–544). Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
4
Hampton, K.K. & Preston, F.E. (1997). ABC of clinical haematology: Bleeding disorders, thrombosis, and
anticoagulation. BMJ, 314:1026. Diunduh dari http://www.bmj.com/cgi/content/full/314/7086/1026 pada tanggal 18
Maret 2008.
5
Fielding, A.K, Ager, S., & Russell, S.J. (1997). ABC of clinical haematology: The future of haematology, molecular
biology, and gene therapy. BMJ, 314:1396. Diunduh dari http://www.bmj.com/cgi/content/full/314/7091/1396 pada
tanggal 18 Maret 2008.
6
Widjajanto, P.H., (2008). Penanganan leukemia pada anak secara komprehensif di rumah sakit
kabupaten/Puskesmas Perawatan. Disampaikan dalam Workshop Leukemia Akut: Dasar molekuler menuju
diagnosis dan penatalaksanaan yang benar di Yogyakarta tanggal 8 Maret 2008.
7
Mulatsih, S., (2008). Aplikasi biomolekular dalam praktek klinis untuk penanganan leukemia anak. Disampaikan
dalam Workshop Leukemia Akut: Dasar molekuler menuju diagnosis dan penatalaksanaan yang benar di
Yogyakarta tanggal 8 Maret 2008.
8
Liesner, R.J. & Goldstone, A.H. (1997). ABC of clinical haematology: The acute leukaemias. BMJ, 314:733.
Diunduh dari http://www.bmj.com/cgi/content/full/314/7082/733 pada tanggal 18 Maret 2008.
9
Hijiya, N., Hudson, M.M., Lensing, S., Zacher, M., Onciu, M., Behm, F.G., Razzouk, B.I., Ribeiro, R.C., Rubnitz, J.E.,
Sandlund, J.T., Rivera, G.K., Evans, W.E., Relling, M.V., Pui, C.H. (2007). Cumulative Incidence of Secondary
Neoplasms as a First Event After Childhood Acute Lymphoblastic Leukemia. JAMA, 297:1207-1215.
10
Zeller, J.L., Lynm, C., & Glass, R.M. (2007). JAMA patient page: Acute Lymphoblastic Leukemia. JAMA, 297(11):
1278.
11
Dickinson, H.O. (2005). The causes of childhood leukaemia. BMJ, 330: 1279-1280.
12
Smith, A., Roman, E., Simpson, J., Ansell, P., Fear, N.T., & Eden, T. (2006). Childhood leukaemia and
socioeconomic status: fact or artefact? A report from the United Kingdom childhood cancer study (UKCCS).
International Journal of Epidemiology, 35:1504–1513.
13
Menegaux, F., Baruchel, A, Bertrand, Y., Lescoeur, B., Leverger, G., Nelken, B., Sommelet, D., He´mon, D., &
Clavel, J. (2006). Household exposure to pesticides and risk of childhood acute leukaemia. Occup Environ Med,
63:131–134.
14
Alderton, L.E., Spector, L.G., Blair, C.K., Roesler, M., Olshan, A.F., Robison, L.L., & Ross, J.A. (2006). Child and
Maternal Household Chemical Exposure and the Risk of Acute Leukemia in Children with Down’s Syndrome: A
Report from the Children’s Oncology Group. Am J Epidemiol, 164:212–221.
15
Robison, L.L., Buckley, J.D., & Bunin, G. (1995). Assessment of environmental and genetic factors in the etiology of
childhood cancers: the Children’s Cancer Group epidemiology program. Environ Health Perspect, 103(suppl 6):111–
116.
16
Butler, R.W.,& Mulhern, R.K. (2005). Neurocognitive Interventions for Children and Adolescents Surviving Cancer.
Journal of Pediatric Psychology, 30(1): 65-78.
17
Roman, E., Simpson, J., Ansell, P., Kinsey, S., Mitchell, C. D., McKinney, P. A., Birch, J. M., Greaves, M. & Eden, T.
(2007). Childhood Acute Lymphoblastic Leukemia and Infections in the First Year of Life: A Report from the United
Kingdom Childhood Cancer Study. Am J Epidemiol, 165:496–504.
18
Smith, M. A., Ries, L. A., Gurney, J. G., & Ross, J. A. (1999). Leukemia. SEER Pediatric Monograph. Bethesda, MD:
National Cancer Institute.
19
Robaey, P., Dobkin, P., Leclerc, J.M., Cyr, F., Sauerwein, C. & Théorêt, Y. (2000). A comprehensive model of the
development of mental handicap in children treated for acute lymphoblastic leukaemia: A synthesis of the literature.
International Journal of Behavioral Development, 24 (1): 44–58.
20
Pui, C.H., Evans, W.E. (2006). Treatment of acute lymphoblastic leukemia. N Engl J Med., 354:166- 178.
21
Pui, C.H., Sandlund, J.T., Pei, D. et al. (2004). Improved outcome for children with acute lymphoblastic leukemia:
results of Total Therapy Study XIIIB at St Jude Children’s Research Hospital. Blood, 104:2690-2696.
22
Silverman, L.B., Gelber, R.D., Dalton, V.K., et al. (2001). Improved outcome for children with acute lymphoblastic
leukemia: results of Dana-Farber Consortium Protocol 91-01. Blood, 97:1211-1218.
23
Gaynon, P.S., Trigg, M.E., Heerema, N.A., et al. (2000). Children’s Cancer Group trials in childhood acute
lymphoblastic leukemia: 1983-1995. Leukemia, 14: 2223-2233.
24
Schrappe, M., Reiter, A., Ludwig, W.D., et al. (2000). German-Austrian-Swiss ALL-BFM Study Group. Improved
outcome in childhood acute lymphoblastic leukemia despite reduced use of anthracyclines and cranial radiotherapy:
results of trial ALL-BFM 90. Blood, 95:3310-3322.
25
Pui1, C.H. & Ribeiro, R.C. (2003). International collaboration on childhood leukemia. Int J Hematol, 78:383-389
26
Howard, S.C., Pedrosa, M., Lins, M., Pedrosa, A., Pui, C.H., Ribeiro, R.C., Pedrosa, F. (2004). Establishment of a
Pediatric Oncology Program and Outcomes of Childhood Acute Lymphoblastic Leukemia in a Resource-Poor Area.
JAMA, 291:2471-2475.
12. 12
27
Mostert, S., Sitaresmi, M.N., Gundy, C.M., Sutaryo, & Veerman, A.J.P.. (2006). Influence of Socioeconomic Status
on Childhood Acute Lymphoblastic Leukemia Treatment in Indonesia. Pediatrics, 118(6): e1600-e1606.
28
Supriyadi, E., (2008). Penanganan penyakit leukemia di rumah sakit pendidikan. Disampaikan dalam Workshop
Leukemia Akut: Dasar molekuler menuju diagnosis dan penatalaksanaan yang benar di Yogyakarta tanggal 8 Maret
2008.
29
Engelking, C. (1998). Editorial: The leukemias: A spectrum of illnesses, and array of problems. Developments in
Supportive Cancer Care, 2: 64-65.
30
Bradlyn, A. S., Ritchey, A. K., Harris, C. V., Moore, I. M., & O’Brien, R. T. (1996). Quality of life research in pediatric
oncology. Cancer, 78, 1333-1338.
31
Hicks, J., Bartholomew, J., Ward-Smith, P. Hutto, C.J. (2003). Quality of Life Among Childhood Leukemia Patients.
Journal of Pediatric Oncology Nursing, 20(4): 192-200.
32
Cella, D., & Tulsky, D. (1990). Measuring quality of life today: Methodological aspects. Oncology, 4: 29-38.
33
Ferrell, B. R., Dow, K. H., & Grant, M. (1995). Measurement of quality of life in cancer survivors. Quality of Life
Research, 4: 523-531.
34
Haberman, M. R., & Bush, N. (1998). Quality of life: Methodological and measurement issues. In C. R. King & P. S.
Hinds (Eds.), Quality of life: From nursing and patient perspectives (pp. 117-139). Sudbury, MA: Jones & Bartlett.
35
Ferrell, B. R., Dow, K. H., Leigh, S., Ly, J., & Gulasekaram, P. (1995). Quality of life in long-term cancer survivors.
Oncology Nursing Forum, 22: 915-922.
36
Neuman, B. & Fawcett, J. (2002). The Neuman systems model (4
th
ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
37
Allender, J.A. & Spradley, B.W. (2005). Community health nursing: promoting and protecting the public’s health 6
th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
38
Betz, C.L. & Sowden, L.A. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri, Ed. Ke-3. Jakarta: EGC.
39
Muscari, M.E. (2005). Panduan Belajar Keperawatan Pediatrik. Ed. Ke-3. Jakarta: EGC.
40
Almatsier, S. (Ed). (2006). Penuntun Diet, Edisi Baru, Instalasi Gisi Perjan RS dr. Cipto Mangunkusumo dan
Asosiasi Dietisien Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
41
Yayasan Onkologi Anak Indonesia. http://www.yoai-foundation.org