Tafsir merupakan penjelasan makna Al-Quran untuk memahami perintah, larangan, akidah, ibadah, dan akhlak guna meraih kebahagiaan dunia akhirat. Terdapat beberapa metode tafsir seperti tahlili, ijmali, dan perbandingan yang mempertimbangkan konteks sejarah dan keilmuan.
2. Al-Qur`ân adalah Kalam atau Firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang pembacaannya merupakan
suatu ibadah.
Definisi Tafsir
•Secara etimologi, tafsir adalah penjelasan.
•Secara terminologi, Tafsir adalah penjelasan yang bertujuan
untuk memberikan pemahaman tentang Al-Qur`ân, menjelaskan
makna-maknanya, mengambil aturan-aturan hukumnya dan
memahami alasan-alasan yang mendasarinya.
3. Kegunaan Tafsir
• Mengetahui – sesuai dengan kemampuan – maksud Allah
yang terdapat di dalam syariat-Nya yang berupa perintah dan
larangan, yang dengannya keadaan manusia menjadi lurus
dan baik.
• Untuk mengetahui petunjuk Allah mengenai akidah, ibadah
dan akhlak, agar individu dan masyarakat berhasil meraih
kebahagiaan dunia dan akhirat.
• Untuk mengetahui aspek-aspek kemukjizatan yang terdapat
di dalam Al-Qur`ân, sehingga orang yang mempelajari hal
tersebut sampai kepada keimanan terhadap kebenaran
risalah Nabi SAW.
• Untuk menyampaikan seseorang kepada derajat ibadah yang
paling baik, sebab di dalam kajian tafsir tersebut seseorang
akan giat membaca kalam Allah SWT.
4. METODE TAFSIR
I. Metode Tahlîlî atau tajzî'î adalah suatu metode tafsir yang
bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur`ân dari
seluruh aspeknya.
Dalam aplikasinya, penafsir mengikuti runtutan ayat
sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf. Penafsir
memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosakata
diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga
mengemukakan munasabah (korelasi) ayat-ayat serta
menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama
lain.
5. Lanjutan...
Selain itu, penafsir membahas mengenai sabab al nuzul ( latar
belakang turunnya ayat ) dan dalil-dalil yang berasal dari
Rasul, atau sahabat atau para tabi’in, yang kadang-kadang
bercampur dengan pendapat para penafsir itu sendiri dan
diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, dan sering pula
bercampur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya
yang dipandang dapat membantu memahami nash Al-Qur`ân
tersebut.
6. Ditinjau dari segi kecenderungan para penafsir, Metode Tahlîlî ini
dapat dibedakan kepada :
a. Tafsir bi al-Ma’tsur : penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran ayat
dengan hadits Nabi SAW yang menjelaskan makna sebagian ayat
yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat, atau penafsiran ayat
dengan hasil ijtihad para sahabat, atau penafsiran ayat dengan hasil
ijtihad para tabi’in. semakin jauh rentang zaman dari masa NAbi dan
sahabatnya, maka pemahaman umat tentang makna-makna ayat AlQur`ân semakin bervariasi dan berkembang.
Periodisasi perkembangan tafsir bi al-ma’tsur ini terdapat dua periode :
Pertama, periode lisan / periwayatan. Pada periode ini, para sahabat
menukil atau mengambil penafsiran dari Rasulullah, atau oleh
sahabat dari sahabat, atau oleh tabiin dari sahabat, dengan cara
penukilan yang dapat dipercaya, teliti, dan memperhatikan jalur
periwayatan.
7. Kedua, periode Tadwin (kodifikasi penulisan). Pada periode ini,
tafsir bi al-ma’tsur, yang proses penukilannya pada periode
pertama, dicatat dan dikodifikasikan. Pada mulanya kodifikasi
tersebut dimuat di dalam kitab-kitab hadits. Setelah tafsir resmi
menjadi disiplin ilmu yang otonom, maka ditulis dan terbitlah
karya-karya tafsir yang secara khusus memuat tafsir bi al-ma’tsur
lengkap dengan jalur sanad kepada Nabi SAW, sahabat, tabiin,
dan tabi’ tabiin.
Contoh Kitab :
- Jâmi al-bayân fi Tafsir Al-Qur`ân, karya Ibn Jarir al-Thabari
(w.310H).
- Tafsir Al-Qur`ân al-‘Adhim, karya Ibn Katsir (w. 774 H).
8. 2. Tafsir bi al-Ra’yi : penafsiran Al-Qur`ân dengan ijtihad,
terutama setelah seorang penafsir itu betul-betul mengetahui
perihal bahasa Arab, sabab al-nuzul, nasikh-mansukh dan halhal lain yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir.
Latar belakang :
Tatkala ilmu keIslaman berkembang pesat, dimana para
Ulama telah menguasai berbagai disiplin ilmu dan berbagai
karya dari bermacam disiplin bermunculan, maka karya tafsir
juga ikut bermunculan dengan pesatnya dan diwarnai oleh
latar belakang masing-masing pengarangnya. Masing-masing
mufassir mempunyai kecenderungan dan arah pembahasan
tersendiri berbeda dengan yang lain; ada yang cenderung
kepada aspek balaghah, aspek hukum syariah, aspek qiraat,
dsb. Fenomena yang demikian terjadi karena seorang Ulama
itu disamping sebagai penafsir sekaligus juga sebagai ahli
bahasa, filosof, ahli falak, mutakallim, dsb.
9. Corak tafsir (bi al-ra’yi) ini diterima selama penafsir tersebut
menjauhi beberapa hal berikut ini :
- Menjauhi sikap terlalu berani menduga-duga kehendak Allah di
dalam kalam-Nya, tanpa memiliki persyaratan sebagai penafsir.
- Memaksa diri memahami sesuatu yang hanya wewenang Allah
untuk mengetahuinya.
- Menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu
- Menghindari tafsir yang ditulis untuk kepentingan mazhab
semata, dimana ajaran mazhab itu dijadikan dasar utama
sementara tafsir itu sendiri dinomorduakan, sehingga terjadilah
berbagai kekeliruan.
- Menghindari penafsiran pasti (qath’i), dimana seorang penafsir
mengklaim bahwa itulah satu-satunya maksud Allah.
Contoh Kitab:
-Lubâb al-Ta’wil fi Ma’âni al-Tanzil, karya al-khazin (w.741 H)
-- Anwâr al-Tanzil wa Asrâr al-Ta’wil, karya al-Baidhawy (691 H).
10. 3. Tafsir al-Shufi : menafsirkan Al-Qur`ân dengan menggunakan
pendekatan tashawuf, baik tashawuf teoritis maupun tashawuf
praktis.
Para penganut aliran tashawuf teoritis, mereka mencoba meneliti
dan mengkaji Al-Qur`ân berdasar teori-teori mazhab dan sesuai
dengan ajaran-ajaran mereka. Mereka berupaya maksimal untuk
menemukan di dalam Al-Qur`ân tersebut, faktor-faktor yang
mendukung teori dan ajaran mereka. Sehingga terkadang mereka
tampak “berlebih-lebihan” di dalam memahami ayat-ayat dan
penafsirannya sering keluar dari arti zhahir yang dimaksudkan oleh
syara’ dan didukung oleh kajian bahasa. Contoh : al-Futuhât alMakkiyah, karya Ibn Arabi.
11. Lanjutan...
Adapun tashawuf praktis, adalah tashawuf yang
mempraktekkan gaya hidup zuhud dan meleburkan diri dalam
ketaatan kepada Allah SWT. Para tokoh aliran ini menamakan
tafsir mereka dengan al-tafsir al-Isyâri, yaitu menta’wil ayatayat, berbeda dengan arti zhahirnya, berdasar isyarat-isyarat
tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh para pemimpin
suluk, namun tetap dapat dikompromikan dengan arti zhahir
yang dimaksudkan.
Contoh :
- Tafsir Al-Qur`ân al-karim, karya al-Tusturi (w.383 H)
- Haqâiq al-tafsir, karya al-Salami (w. 412 H)
12. 4. Tafsir al-Fiqhi : menafsirkan Al-Qur`ân dengan menggunakan
pendekatan fiqh.
Latar belakang :
Para sahabat setiap menemukan kesulitan untuk memahami
hukum yang dikandung oleh Al-Qur`ân langsung bertanya kepada
Nabi, dan beliau langsung menjawab. Jawaban Rasulullah ini di
satu pihak, adalah tafsir bi al-ma’tsur dan di pihak lain, sekaligus
sebagai tafsir al-fiqhi. Sepeninggal Rasulullah, para sahabat
langsung mencari keputusan hukum dari Al-Qur`ân dan berusaha
menarik kesimpulan hukum syariah berdasarkan ijtihad; dan hasil
ijtihad mereka ini disebut tafsir al-fiqhi. Demikian pula halnya yang
terjadi di masa tabiin.
Contoh Kitab :
- Ahkâm Al-Qur`ân, karya al-Jashshash (w.370 H)
- Al-Jâmi li ahkâm Al-Qur`ân, karya al-Qurthuby (w.671 H)
13. 5. Tafsir al-Falsafi : menafsirkan Al-Qur`ân dengan
menggunakan pendekatan filsafat.
Latar belakang :
Lahirnya berbagai corak tafsir di antaranya karena tersebarnya
dan bertemunya aneka budaya. Di tengah-tengah pesatnya
perkembangan ilmu dan budaya ini, gerakan penerjemahan
tumbuh dan giat dilaksanakan di masa Dinasti Bani Abbas.
Berbagai sumber perbendaharaan ilmu digali, dan aneka
literatur diterjemahkan, termasuk buku-buku filsafat karya
para filosof Yunani.
Contoh :
- Mafâtih al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H)
14. 6. Tafsir al-Ilmi : menafsirkan Al-Qur`ân dengan menggunakan
pendekatan Ilmu Pengetahuan (sains).
Latar belakang :
Ajakan Al-Qur`ân adalah ajakan ilmiah, yang berdiri di atas prinsip
pembebasan akal dan kemerdekaan berpikir. Al-Qur`ân
menyuruh umat manusia memperhatikan alam. Allah SWT di
samping menyuruh kita memperhatikan wahyu-Nya yang
tertulis, sekaligus menganjurkan kita agar memperhatikan
wahyu-Nya yang tampak, yaitu alam. Oleh karena itu, kita
menemukan banyak ayat Al-Qur`ân yang diakhiri dengan kalimat
afalâ ta’lamun, afalâ tatafakkarun, dsb.
Contoh Kitab :
- Jawâhir Al-Qur`ân, karya al-Ghazali
- Al-Jawhar, karya Tanthawi Jauhari.
15. 7. Tafsir al-Adab al-Ijtima’i : menafsirkan Al-Qur`ân dengan
mengemukakan ungkapan-ungkapan Al-Qur`ân secara teliti,
selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh AlQur`ân tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik.
Kemudian selanjutnya, penafsir berusaha menghubungkan nashnash Al-Qur`ân – yang tengah dikaji – dengan kenyataan sosial dan
sistem budaya yang ada.
Contoh Kitab :
- Tafsir al-Manâr, karya Rasyid Ridha (w.1345 H)
- Tafsir al-Maraghi, karya Ahmad Musthafa al-Maraghi (1945 M)
16. Corak Penafsiran yang menggunakan metode
tahlili
Tafsir bil
Ma’tsur
Tafsir
Adabi
Ijtima’i
bir Tafsir
Ra’yi
Metode
Tahlili
ilmi Tafsir
Tafsir
falsafi
Tafsir Sufi
Tafsir Fiqhi
17. Metode tafsir selanjutnya...
II. Metode Ijmâlî adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur`ân dengan cara mengemukakan makna
global.
Dalam sistematikanya, mufassir akan membahas ayat demi ayat
sesuai dengan susunan yang ada di dalam mushaf, kemudian
mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat
tersebut. Makna yang diungkapkan biasanya diletakkan di
dalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yang
diakui oleh Jumhur ulama, dan mudah dipahami oleh semua
orang. Dengan demikian, metode ini mengikuti cara dan
susunan Al-Qur`ân yang membuat masing-masing makna
saling berkaitan dengan lainnya.
Contoh Kitab :
Tafsir Al-Jalâlain, karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin alSuyuthi.
18. III. Metode Muqâran (perbandingan) adalah mengemukakan
penafsiran ayat-ayat Al-Qur`ân yang ditulis oleh sejumlah
para mufassir. Metode ini dapat juga dilakukan dengan cara
memperbandingkan sejumlah ayat-ayat Al-Qur`ân yang
berbicara satu topik masalah, atau memperbandingkan ayatayat Al-Qur`ân dengan hadits-hadits Nabi yang secara lahiriah
tampak berbeda.
Dalam hal ini, seorang mufassir / peneliti juga berusaha
memperbandingkan arah dan kecenderungan masing-masing
mufasir, dan menganalisis tentang apa gerangan yang
melatarbelakangi seorang mufassir menuju arah dan memilih
kecenderungan tertentu, sehingga si peneliti dapat melihat
dengan jelas siapa di antara mufassir tersebut yang
dipengaruhi oleh perbedaan mazhab, dan siapa yang
bertendensi untuk memperkuat suatu mazhab.
19. Lanjutan...
Selanjutnya, peneliti juga akan menjelaskan bahwa di
antara para mufassir tersebut ada yang sangat terpengaruh
oleh spesialisasi ilmunya, sehingga kecenderungan masingmasing mufassir tampak jelas. Bagaimana seorang mufasssir
itu misalnya, ada yang cenderung mengemukakan
pembahasan tentang aspek i’rab dan balaghah, ada yang
dipengaruhi oleh semangat Syi’ah, tashawuf, Mu’tazilah,
Asy’ariyah; dan bagaimana pula suatu penafsiran itu sarat
dengan ide-ide ilmu alam, teori-teor ilmiah, dan ide-ide
filsafat.
20. IV. Metode Maudhu’i (tematik);
Metode ini memiliki dua definisi :
Pertama, adalah Pembahasan mengenai satu surat secara
menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang
bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara
berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu
tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat.
Contoh :
Surat Saba; surat ini diawali dengan menegmukakan pujian
kepada Allah SWT, dan membawa salah satu prinsip
pendidikan yang berkaitan dengan soal pemilikan, cara
penggunaan milik yang bijaksana, dan cara pengaturan yang
seksama.
21. Kedua, adalah menafsirkan Al-Qur`ân dengan cara menghimpun
semua ayat yang berbicara mengenai satu pokok masalah,
walaupun tempat dan waktu serta sebab turunnya ayat-ayat
tersebut berbeda satu sama lain. Dengan kata lain, menghimpun
ayat-ayat yang mempunyai satu makna dan menyusunnya di
bawah satu judul bahasan, kemudian menafsirkannya secara
tematik.
22. Latar Belakang :
Kajian terhadap Al-Qur`ân adalah untuk mengungkapkan
kepada umat manusia segala syariat dan peraturan Al-Qur`ân
yang berhubungan dengan kehidupan dan problema mereka,
dan untuk menjelaskan kepada mereka segala hukum dan
dasar-dasar yang menegaskan bahwa Al-Qur`ân itu
mempunyai hubungan erat dengan masalah politik, sosial
ekonomi, perilaku moral, dll sehingga umat manusia semakin
menyadari dan merasakan bahwa Al-Qur`ân itu bersama
mereka di dalam setiap situasi kehidupan dan mempunyai
hukum yang jelas mengenai semua perilaku individu.
23. Langkah-langkah metode tafsir Maudhu’i (definisi 2) :
a. Memilih atau menetapkan masalah Al-Qur`ân yang akan dikaji
secara tematik.
b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan
masalah yang ditetapkan, ayat Makkiyah dan Madaniyah
c. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut
kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai
latar belakang turunnya ayat atau asbab al-nuzul.
d. Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam
masing-masing suratnya
e. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas,
sistematis, sempurna dan utuh (outline).
f. Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadits, bila
dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin
jelas
24. g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan
menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang
mengandung pengertia serupa, mengkompromikan pengertian
yang ‘am dan khash, antara muthlaq dan muqayyad,
mensinkronkan ayat-ayat yang secara lahir tampak kontradiktif,
menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat
tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan
kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat
kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.
Contoh :
- Tema Pokok Al-Qur`ân, karya Fazlur Rahman
- Wawasan Al-Qur`ân, karya M. Quraish Shihab
25. Sumber :
• Abd. Al-Hayy al Farmawi, Metode Tafsir Maudhû'î, terj. Suryan A.
Jamrah (al-Bidâyah fî Tafsir Maudhû'î), Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1996.
• Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, Jakarta : Teraju, 2000.