Teks tersebut membahas tentang metodologi istinbat hukum Islam. Secara ringkas, metodologi ini meliputi verifikasi teks, pembacaan teks, dan menghargai ijma' ulama. Tahapan-tahapan ini dilakukan untuk mengeluarkan hukum syar'i dari sumber-sumber hukum Islam secara ilmiah.
1. Tubagus Sukron Tamimi (09421016)
BAB 1
PENDAHULUAN
Tidak bisa dipungkiri bahwa sejarah peradaban umat manusia menunjukkan
bahwa peradaban Islam dengan seluruh struktur dan tatarannya merupakan sebuah
peradaban yang bermuara pada teks. Ia adalah sebuah peradaban teks, peradaban
yang didorong oleh lokomotif “teks” dan mampu memajukan peradaban umat
manusia selama berabad-abad. Dalam kerangka yang lebih sempit, ilmu
pengetahuan tanpa kecuali dalam berbagai disiplinnya juga diilhami oleh mukjizat
“teks” tersebut.
Dalam hal ini, hukum Islam, bagai mata air yang tak hentinya mengalir, juga
mengakar pada teks tersebut. Sejarah legislasi Islam menunjukkan kehebatannya
dalam mengatasi problematika umat Islam mulai dari tataran individu hingga ke
tataran komunal dan telah melewati banyak formulasi. Hal itu bisa kita lihat ketika
sejarah umat Islam bersiap-siap meninggalkan titik kulminasi peradaban, para
pakar hukum Islam mampu menelorkan kompilasi hukum Islam pertama “Al
Majallah Al ‘Adliyyah” yang diadopsi oleh Khilafah Turki Utsmani.
Oleh karena itu, ketika wacana yang berusaha mengurung teks dalam ruang
dan waktu di mana ia turun, merebak menjangkiti banyak ‘cendekiawan’ muslim
maka hal itu menarik untuk dicermati. Apa yang melatari diskursus itu? Apakah
didasari oleh sebuah pengkajian yang memadai atau hanya sebuah kekalahan
intelektual yang berkedok dibalik sebuah wacana ilmiah?
Di sinilah, pengkajian terhadap metodologi Istinbat hukum Islam
menemukan momen dan relevansinya. Menolak mentah-mentah metodologi klasik
tanpa terlebih dahulu memahaminya bukanlah sikap ilmiah. Demikian sebaliknya,
teriakan yel-yel “Islam adalah satu-satunya solusi” menghendaki sebuah
pengkajian mendalam terhadap metodologi tersebut.
2. Untuk menghindari lahirnya diskusi yang tidak terarah maka penulis merasa
sangat perlu untuk mengangkat beberapa asumsi yang mendasari tulisan sederhana
ini:
1. Hukum Islam merupakan prasyarat kemajuan peradaban Islam secara moril
maupun materil seperti telah menjadi konsensus para ulama dari dulu hingga
sekarang.
2. Hukum Islam tetap relevan dengan setiap ruang dan waktu yang merupakan
perwujudan ril dari kemukjizatan “keabadian” teks suci Al Qur’an.
3. Dalam hukum Islam, relasi wahyu-akal telah dipetakan secara proporsional untuk
mengemban risalah umat Islam tanpa terjebak dalam paradigma rasionalis-
historistik yang memberi otoritas utama kepada akal budi manusia untuk
menganulir ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam teks suci.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Istinbat Hukum
Secara Etimologis kata استنبط yang diderivasi dari akar kata n-b-th berarti
mengeluarkan seperti dalam ungkapan: ااااءالم اافراااالح اتااانبطاس yang berarti menggali
dan mengeluarkan air. Dari sinilah, nampak relevansinya dengan pengertian
Istinbat secara terminologis. Dalam kamus al Misbah,”mengistinbat hukum artinya
menggali dan mengeluarkan hukum lewat sebuah (mekanisme) ijtihad. [1]
Bahkan dalam sebuah ayatnya, al Qur’an seakan memadukan kedua makna
tersebut. Firman Allah SWT: ﴿الذين لعلمه منهم المر أولي وإلى الرسول إلى ردوه ولو
منهم يستنبطونه ﴾ (an Nisa’:83).
Dengan demikian Istinbat hukum dapat didefenisikan sebagai sebuah upaya
ijtihad dalam menggali sumber-sumber hukum untuk menelorkan sebuah hukum
syar’i.
Dalam kerangka pemakaian terminologi tersebut, dapat dipahami bahwa
istinbat digunakan bukan untuk sekedar sebuah pembacaan dan pemahaman literal
3. terhadap teks, namun ia -lebih dari itu-,”…sebuah penangkapan terhadap makna-
makna implisit, makna analogis, maksud penutur dan batas-batas (yang bisa
dipahami dari) tutur katanya hingga dapat membedakan makna-makna yang masuk
dan yang keluar dari lingkaran teks” [2]
Pengertian Ijtihad
Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa istinbat dan ijtihad adalah
bagaikan dua sisi dari sebuah koin mata uang. Oleh karena itu, untuk sampai
kepada sebuah pemahaman yang memadai terhadap makna istinbat, diperlukan
sebuah pemahaman yang juga memadai tentang ijtihad.Secara umum ada dua
kecenderungan dalam mendefenisikan ijtihad:
1. Ijtihad didefenisikan sebagai,”sebuah proses pengerahan semua daya-upaya untuk
menelorkan sebuah hukum” .
2. Ijtihad dilihat sebagai sebuah proses yang melewati dua fase: istinbat dan tathbiq
dan didefenisikan sebagai,”sebuah proses pengerahan semua daya-upaya untuk
menelorkan sebuah hukum dan untuk menerapkannya dalam realita” .
Jika kecenderungan pertama tidak menyinggung fase tathbiq dan menganggap
bahwa ijtihad adalah sebuah usaha untuk memecahkan problema yang terjadi,
maka kecenderungan kedua –berdasarkan beberapa pertimbangan- menyinggung
kedua fase tersebut ketika mendefenisikan ijtihad.
Dalam kerangka ini, tulisan sederhana ini mengadopsi kecenderungan
pertama dalam mendefenisikan ijtihad. Hal itu karena fase tathbiq juga mendapat
porsinya dan dibahas secara detail dalam tema tartib al adillah (hierarki sumber-
sumber hukum). Namun demikian kecenderungan kedua yang diwakili oleh al
Syatibi dalam al Muwafaqat juga pantas mendapat perhatian dalam usahanya
mengembangkan metodologi penerapan (tathbiq) hukum Islam.
Olehnya tulisan ini, ketika mengangkat topik Metodologi Istinbat Hukum-
berusaha semaksimal mungkin untuk memadukan dua kecenderungan di atas
dengan membaginya ke dalam dua fase.
Metodologi Istinbat Hukum
4. Seperti telah disinggung sebelumnya metodologi istinbat hukum ini secara
operasional dibagi dalam dua bagian:
1. Metodologi Istinbat Dari Sumber-Sumber Hukum Islam
2. Metodologi Tathbiq Hukum Islam
1. Metodologi Istinbat Dari Sumber Hukum Islam
Secara ringkas, metodologi penetapan hukum Islam harus melalui beberapa
tahapan berikut:
1.1. Verifikasi Teks (Tautsiq An Nash/النص )توثيق
Verifikasi teks diartikan sebagai sebuah upaya untuk menguji validitas dan
keabsahan penukilan sebuah teks. Jikalau validitas al Qur’an sudah final dan tak
membutuhkan sebuah pengkajian ulang, maka upaya untuk menguji keabsahan
sebuah teks hadits menjadi PR seorang mujtahid yang ingin menetapkan
sebuahhukum.
Sikap ilmiah ini telah menjadi sebuah karakteristik pemikiran Islam yang
telah menelorkan banyak disiplin ilmu mulai dari ilmu rijal, sanad, al jarh wat
ta’dil, ilmu musthalah hadits yang dikembangkan untuk menetapkan kaedah dan
kode etik verifikasi teks.
1.2. Pembacaan Teks (Fahm An Nash/النص فهم )
Dalam kerangka istinbat al ahkam, topik pembacaan teks mendapat porsi
yang proporsional sesuai dengan urgensinya dalam disiplin ushul fiqh. Perhatian
pakar ushul fiqh terhadap relasi petanda-penanda (والمدلول )الدال sangat besar. Ibn
Amir al Haj (879H-1422M) mencatat bahwa tema ini mencakup,”…beragam
klasifikasi yang saling terkait, dengan sudut pandang yang sangat beragam”().
Ketika mengkaji dalalat al alfadh, para pakar ushul fiqh mengelaborasi teks
dari satuan terkecil “lafaz” hingga pada tataran kesamaran-kejelasan makna yang
diberikan.Lafadh dikaji dan diuraikan dalam beberapa kata kunci al-am-al khas, al
amr-al nahy, al musytarak, al mutaradif. Dari segi pemakaian (al-isti’mal), teks
dicermati dalam tema pemakaian makna hakiki-majazi (metaforal) dan beberapa
topik terkait.
5. Di samping itu, para pakar ushul membahas hierarki kejelasan-kesamaran
makna sebuah teks dalam pembahasan kata kunci al mufassar – al muhkam sebagai
padanan al khafi’ – al musykil – al mujmal – al mutasyabih, sebagaimana yang kita
lihat dalam aliran (mazhab) Hanafi, atau al nash – al dhahir sebagai padanan al
mujmal – al muawwal seperti dalam aliran Mutakallimin.
Terlebih dari itu, ushul fiqh juga mengkaji teks sebagai petanda ()الدال
terhadap serangkaian penanda ()المدلول dalam kajian tentang dalalat al ‘ibarah –
dalalat al isyarah – dalalat al nash – dalalat al iqtidha’, seperti dalam metodologi
Mazhab Hanafi. Sementara pakar ushul mutakallimin mengkajinya dalam dalalat al
mantuq – al mafhum. Dalalat al mantuq kemudian dibedakan dalam mantuq sharih
– ghair sharih, untuk kemudian mantuq ghair sharih dibagi ke dalam dalalat al
iqtidha’ – dalalat al iima – dalalat al isyarah.
Beberapa Kecenderungan Dalam Pembacaan Teks
Ketika melihat teks dalam dua sisi; literal-substansi, maka sejarah pemikiran
Islam mencatat beberapa kecenderungan. Al Syatibi membaginya ke dalam empat
kecenderungan ():
Dhahiriyyah, sebuah kecenderungan yang berpegang pada makna literal-eksplisit (
)الظواهر tanpa memberi perhatian kepada makna implisit dan substansi (المعاني
)والعلل dari sebuah teks.
Al Batiniyyah, sebuah kecenderungan yang menganulir makna literal-eksplisit dan
hanya berpegang pada makna implisit dan substansi sebuah teks sekalipun
kontradiksi dengan makna literal.
Al Muta’ammiqun Fil Qiyas, yang berpegang pada makna literal-eksplisit dan
makna implisit namun bersikap berlebihan dalam makna implisit hingga menyalahi
banyak nash.
Al Ulama Al Rasikhun, yang memadukan secara seimbang antara makna literal dan
substansi sebuah teks.
Beberapa Kode Etik Pembacaan Teks
6. Dalam mengekplorasi kandungan sebuah teks, para ulama menjelaskan
beberapa kode etik pembacaan teks yang mampu menjamin pembacaan yang
seimbang antara dua sisi teks; literal dan substansi.
1. Mengelaborasi batas makna-makna literal dengan menggunakan kata kunci
referensial kebahasaan seperti: al-am-al khas, al muthlaq – al muqayyad, al amr- al
nahy, al haqiqah-al majaz.
2. Mengeksplorasi makna-makna implisit dan substansil dengan membedakan
konotasi literal ( اللغوي المدلول ) dengan konotasi syar’iy( الشرعي المدلول ).
3. Memadukan kedua sisi teks tersebut secara proporsional tanpa melebihkan salah
satu sisi. Mengadopsi makna literal secara berlebihan dapat mengabaikan nilai dan
substansi yang ingin disampaikan oleh peletak Syariat. Sikap ini dapat mengantar
kepada pengambilan hukum yang keliru, seperti yang kita lihat dalam fatwa
keharaman pengambilan gambar fotografi, sinema dan tv. Sebaliknya mengadopsi
sisi substansil dan makna implisit secara berlebihan mengantar kepada kesimpulan-
kesimpulan yang bertentangan dengan nash, seperti yang terlihat dalam fatwa yang
mebedakan dan menbolehkan riba untuk kepentingan konsumsi dan
mengharamkan riba yntuk kepentingan produksi, fatwa larangan poligami dll.
4. Ketika sebuah lafaz berada dalam posisi tarik menarik antara makna literal dan
makna metaforal maka makna metaforal tidak boleh secara serampangan diadopsi
kecuali ketika pemahaman literal menjadi tidak mungkin.
5. Memahami nash dalam kerangka kaedah-struktur bahasa Arab.
6. Memahami nash dalam kerangka konteks yang mengitarinya tanpa harus
mengurung teks tersebut dalam konteksnya yang spesifik.
1.3. Menghargai Ijma’ Ulama (At Taqayyud bil Ijma’/بالجماع )التقيد
Yang dimaksud dengan Ijma’ di sini adalah hukum-hukum yang telah
disepakati oleh para ulama yang selanjutnya membentuk sebuah identitas muslim.
Olehnya, ketika seorang mujtahid mengerahkan segenap kemampuannya untuk
mengambil sebuah kesimpulan hukum dalam sebuah persoalan spesifik, ia harus
7. menghadirkan dan menghargai hal-hal yang telah disepakati oleh para ulama. Al
Qarafi menyebutkan bahwa,”Ketika hasil ijtihad bertentangan dengan ijma’ maka
secara otomatis hasil ijtihad seperti itu menjadi batal tanpa ada perbedaan pendapat
di kalangan para ulama” [3]
Dalam bukunya, Al Ijtihad al Muashir, Dr. Yusuf al Qaradhawi menyebutkan
sebuah contoh pendapat yang keluar dari apa yang telah disepakati oleh para
ulama, yaitu pendapat Dr. Syauki Syahatah dan Dr. Syauki al Fanjari yang
menyatakana bahwa harta kekayaan berupa minyak yang dimiliki oleh beberapa
negara di kawasan Teluk harus dikeluarkan zakatnya yaitu seperlima karena
dipandang sebagai “harta rikaz/terpendam”. Pendapat ini telah menyalahi
kespakatan para ulama yang menyatakan bahwa harta kekayaan negara tidak wajib
dikeluarkan zakatnya.[4]
1.4. Memperhatikan Nilai-Nilai Universal Islam (Mura’at Al Ma’ani Wal
Qawaid Al Kulliyyah/الكلية والقواعد المعانى مراعاة )
Seorang mujtahid ketika tidak menemukan nash syar’iy dalam kasus yang
dikajinya dan tidak menemukan jalan untuk sebuah analogi terhadap hukum yang
ada, maka ia harus memperhatikan nilai-nilai universal dan kaedah-kaedah umum
yang menjadi paradigma pemikiran Islam. Selanjutnya ia dapat membangun
sebuah hukum untuk kasus spesifik yang dikajinya berdasarkan nilai-nilai tersebut.
Nilai-nilai universal yang dimaksud adalah dalil yang tidak didasari oleh
nash-nash tertentu dari al Quran maupun Sunnah tapi ia diambil dari nilai-nilai
yang digali dan dibangun lewat proses induksi ()استقراء dari berbagai nash hingga
membetuk dan melahirkan sebuah nilai universal.
Disamping berfungsi sebagai sumber hukum, nilai-nilai universal ini juga
berfungsi sebagai kode etik yang harus diperhatikan seorang mujtahid dalam
ijtihadnya.
2. Metodologi Tathbiq Hukum Islam
Setelah melewati fase penggalian hukum dari sumber-sumbernya, fase ini
berusaha mengaitkan hasil ijtihad tadi yang masih bersifat umum dengan sebuah
8. fakta di depan mata. Dalam literatur disiplin ushul fiqh, penerapan hukum Islam
lebih dikenal dengan istilah al ifta’ atau tanzil al ahkam dalam istilah Imam Al
Syathibi.
Substansi dari ijtihad dalam fase ini tersimpul dalam fiqh al waqi’
(memahami fakta apa adanya) dan tanzil al hukm (menetapkan hukum untuk kasus
tersebut). Kedua substansi itu dikembangkan oleh para ulama dalam tiga fase
berikut:
2.1.Tashwir Wa Ta’rif Al Waqi’ (الواقع وتعريف )تصوير
Tashwir al waqi’ adalah sebuah upaya untuk mendeskripsi fakta apa adanya,
mendefenisikan serta menganalisa struktur sebuah kasus ke dalam anasir-anasir
yang lebih kecil. Ibn Shalah mengatakan bahwa,”mendeskripsi kasus-kasus dengan
baik, kemudian menetapkan hukum untuknya setelah mengeksplorasi sisi-sisi yang
nampak jelas dan terselubung dari kasus-kasus yang ada, tidak mungkin dilakukan
kecuali oleh orang yang faqih” .[5]
Dalam menetapkan hukum dalam kasus bayi tabung atau kloning misalnya
meniscayakan sebuah deskripsi yang sempurna tentang prosesi bayi tabung atau
pun kloning. Tanpa melewati tashwir yang memadai, hukum yang ditetapkan juga
tidak akan memadai.
2.2. Takyif Al Waqi’ (الواقع )تكييف
Takyif al waqi’ adalah upaya untuk mengembalikan sebuah kasus ke dalam
kategori hukum tertentu. Misalnya, setelah selesai mendeskripsi dan
mendefinisikan sebuah jenis transaksi, seorang mujtahid berusaha
mengembalikannya ke dalam kategori transaksi yang sudah ada seperti; jual beli,
sewa menyewa, gadaian dst… Ketika mendapati substansi sebuah kasus merujuk
kepada kategori jual beli misalnya, maka hukum kasus tersebut merujuk kepada
hukum jual beli dengan seluruh syarat dan konsekwensinya. Dan jika tidak dapat
dikembalikan ke salah satu kategori hukum yang ada, kasus tersebut dianggap
sebagai transaksi yang belum memiliki nama. Selanjutnya akan diberi nama sesuai
dengan substansinya dengan tetap berusaha untuk menjelaskan hukumnya().
9. Dalam kerangka ini, Imam al Syathibi menyebut prosesi tersebut sebagai
tahqiq al manath fi al anwa’ yang dibedakannya dengan tahqiq al manath fi al
asykhash(). Jika substansi yang pertama adalah upaya verifikasi terhadap jenis-
jenis kasus yang dapat dimasukkan dalam sebuah kategori hukum maka substansi
yang kedua adalah upaya pengkajian dan verifikasi terhadap hukum yang sesuai
dengan setiap person dengan mempertimbangkan waktu dan kondisi kasusnya.
Yang pertama misalnya terlihat dalam realitas kehidupan beberapa kasus
yang memiliki kemiripan. Aksi copet, rampok bank dan aksi pemerasan seorang
karyawan merupakan tiga kasus yang memiliki kemiripan hingga hampir-hampir
dapat dikategorikan sebagai kasus pencuri an.
Sementara yang kedua dapat dilihat dalam hukum ta’zir dimana seorang
hakim berhak untuk memutuskan sebuah hukum dengan mempertimbangkan
person, kondisi dan waktu yang terkait dengan sebuah kasus.
2.3.Tanzil Al Ahkam Ala Al Waqi’ (الواقع على الحكام )تنزيل
Setelah mempelajari substansi kasus dan mengembalikannya kepada
kategori hukumnya maka fase terakhir menghendaki sebelum menetapkan hukum
final, seorang mujtahid harus memperhatikan dua hal:
1. Maqashid al Syariah, sebagai nilai-nilai universal Islam yang menjadi target akhir
dan semangat setiap produk hukum Islam demi mewujudkan kesalehan individiual
dan komunal. Dalam hal ini, seorang mujtahid harus membedakan antara maqasid
sebuah hukum dengan apa yang hanya merupakan salah satu perangkatnya. Ia juga
menghendaki sebuah perbandingan antara maqasid al syari’ dan maqasid al
mukallaf dengan menyingkap indikasi-indikasi yang ada untuk kemudian
menetapkan hukum berdasarkan hal tersebut. Selanjutnya jika sesuai dengan
maqasid al syariah maka ia mesti disetujui. Demikian sebaliknya kalau
menyalahinya, maka produk hukum itu harus dianulir.
2. Memverifikasi efek sebuah penetapan hukum. Al Syatibi menyatakan,”sebuah
pengkajian terhadap efek dari kasus-kasus yang ada menjadi target syariat sama
saja kasus-kasus tersebut sesuai dengan nilai-nilai universal itu atau tidak. Seorang
10. mujtahid tidak berhak memutuskan sebuah kasus yang lahir dari para mukallaf
untuk dilaksanakan atau ditinggalkan kecuali setelah mencermati efek kasus
tersebut” .
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Metodologi istinbat hukum secara ringkas dapat dikembalikan dalam dua
bagian; bagian yang terkait dengan penggalian dan penetapan hukum dari sumber-
sumber yang ada. Yang kedua: bagian yang terkait dengan penerapan hukum dalam
kasus-kasus yang spesifik. Jika bagian pertama menghendaki verifikasi dan
pembacaan teks untuk sampai kepada sebuah produk hukum yang masih abstrak,
maka bagian kedua menghendaki sebuah pemahaman terhadap realita kasus yang
diperhadapkan kepada seorang mujtahid. Dengan memperhatikan maqasid al
syariah dan dengan mempertimbangkan efek-efek dari penetapan hukum terhadap
sebuah kasus yang spesifik diharapkan sebuah upaya ijtihad telah mencapai
targetnya secara maksimal.
Daftar Pustaka
Al Qordowi, Yusuf , Al Ijtihad Al Muashir, Dar al tauzi’1994
Shalah, Ibn,Adab Al Mufti Wal Mustafti, t. Maktabah al ulum 1986
Goma, Ali,Aliyyat Al Ijtihad, . Cet Dar Al Risalah 2004
Qoyyim, Ibn,I’lam Al Muwaqqi’in, , 1/172 Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah
Qarafi,Nafais Al Ushul. Nizar Al Baz, 1995
[1] Al Misbah al Munir, Al Fayyumi, entri n-b-th
11. [2] I’lam Al Muwaqqi’in, Ibn Qayyim al Jauziyyah, 1/172 Dar Al Kutub Al
‘Ilmiyyah.
[3] Nafais Al Ushul, Al Qarafi 9/3911 Cet. Nizar Al Baz, 1995
[4] Lih. Al Ijtihad Al Muashir, Dr. Yusuf Al Qaradhawi, h.59 Dar al tauzi’1994
[5] Adab Al Mufti Wal Mustafti, Ibn Shalah h.100 Cet. Maktabah al ulum 1986