1. Definisi Hermeneutika
Definisi hermeneutika masihlah terus berkembang. Menurut Richard E. Palmer,
definisi hermeneutika setidaknya dapat dibagi menjadi enam. Sejak awal, hermeneutika telah
sering didefinisikan sebagai ilmu tentang penafsiran (science of interpretation).[1] Akan tetapi,
secara luas, hermeneutika juga sering didefinisikan sebagai, pertama, teori penafsiran Kitab Suci
(theory of biblical exegesis). Kedua, hermeneutika sebagai metodologi filologi umum (general
philological methodology). Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu tentang semua pemahaman
bahasa (science of all linguistic understanding). Empat, hermeneutika sebagai landasan
metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodological foundation of Geisteswissenschaften).
Lima, hermeneutika sebagai pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi
(phenomenology of existence dan of existential understanding). Dan enam, hermeneutika sebagai
sistem penafsiran (system of interpretation). Hermeneutika sebagai sistem penafsiran dapat
diterapkan, baik secara kolektif maupun secara personal, untuk memahami makna yang
terkandung dalam mitos-mitos ataupun simbol-simbol.
Keenam definisi tersebut bukan hanya merupakan urutan fase sejarah, melainkan
pendekatan yang sangat penting didalam problem penafsiran suatu teks. Keenam definisi
tersebut, masing-masing, mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika.
Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda, namun dapat dipertanggungjawabkan, dari
tindakan manusia menafsirkan, terutama penafsiran teks.[2] Tulisan ini mau memberikan
kerangka menyeluruh tentang keenam definisi tersebut, yang lebih banyak berfungsi sebagai
pengantar pada arti sesungguhnya dari hermeneutika.
Teori Penafsiran Kitab Suci
Pengertian tertua, dan mungkin yang paling banyak dipahami oleh banyak orang, adalah
hermeneutika sebagai prinsip-prinsip penafsiran kitab suci (principles of biblical interpretation).
Ada pembenaran yang bersifat historis terhadap pemahaman ini, karena kata hermeneutika pada
era modern memang digunakan untuk mengisi kebutuhan akan panduan dalam penafsiran Kitab
Suci. Akan tetapi, hermeneutika bukanlah isi penafsiran, melainkan metodenya. Perbedaan
antara penafsiran aktual (exegesis) dan aturan-aturan, metode-metode, dan teori yang
mengaturnya (hermeneutika) sudah sejak lama disadari, baik didalam refleksi teologis, dan
kemudian didalam refleksi-refleksi non teologis.
Di Inggris, dan nantinya di Amerika, penggunaan kata hermeneutika mengikuti kecenderungan
umum yang mengacu pada penafsiran kitab suci. Penggunaan pertama, setidaknya yang
terdokumentasikan, dapat dilihat di Oxford English Dictionary pada 1737, yakni “mengambil
kebebasan dengan tugas khusus yang suci, yang juga berarti melakukan tugas-tugas yang adil
dan hermeneutika yang bijaksana.”[3]
Ketika penggunaan kata hermeneutika meluas pada teks-teks non kitab suci, biasanya teks
tersebut sangatlah sulit untuk dimengerti, sehingga membutuhkan metode khusus untuk mengerti
makna yang tersembunyi. Salah satu bentuk hermeneutika non kitab suci dirumuskan oleh
Edward Burnett Taylor pada Primitive Culture (1871). Ia menulis, “Tidak ada legenda, tidak ada
alegori, tidak rima, yang tidak membutuhkan hermeneutika untuk mengerti mitologi-
2. mitologi.”[4] Dengan demikian, seperti sudah disinggung sebelumnya, penggunaan kata
hermeneutika pada bidang-bidang non kitab suci seringkali ditujukan pada teks-teks yang
memiliki makna tersembunyi yang sulit dimengerti, sehingga membutuhkan penafsiran khusus
untuk menangkap makna tersebut.
Kata hermeneutika biasanya sering ditarik genesisnya sampai abad ke-17. Akan tetapi, proses
menafsirkan, baik itu dalam bentuk penafsiran religius, sastra, maupun bahasa-bahasa hukum,
dapat dirunut langsung kejaman Yunani maupun Romawi Kuno. Sejarahnya bisa dirunut sampai
panjang sekali. Kedetilan historis semacam itu tidak dapat dipresentasikan disini. Akan tetapi,
ada dua butir refleksi yang kiranya bisa berguna untuk kita, yakni akar hermeneutik yang
sebenarnya bisa ditemukan dalam proses penafsiran Kitab Suci, dan pertanyaan lainnya yang
mencangkup keluasan bidang refleksi hermeneutika.
Tanpa bermaksud untuk terjebak dalam detil, adalah penting bagi kita untuk mencatat, bahwa
ada kecenderungan umum di dalam metode penafsiran Kitab Suci untuk menggunakan “sistem”
penafsiran, di mana penafsiran difokuskan dengan satu metode tertentu yang telah diakui
bersama. “Sistem” semacam itu seringkali dirumuskan dalam bentuk prinsip-prinsip yang
berfungsi sebagai kerangka panduan. Suatu teks tidak dapat ditafsirkan dengan bersandar pada
teks itu sendiri, karena hal tersebut tidaklah mungkin. Suatu teks hanya bisa ditafsirkan di bawah
pengaruh semangat jaman tertentu. Misalnya, penafsiran teks-teks Kitab Suci pada jaman
Pencerahan cenderung optimistik terhadap kebebasan manusia dan memuat nilai-nilai moral
yang juga bersifat optimistis. Dalam arti ini, hermeneutika adalah cara ataupun metode sang
penafsir untuk menemukan makna tersembunyi di dalam teks.
Pertanyaan lain banyak berkaitan dengan keluasan dan ruang lingkup hermeneutika. Dalam hal
ini, setidaknya ada pendapat yang saling berdebat satu sama lain, yakni disatu sisi ada pendapat
yang melihat bahwa hermeneutika haruslah merumuskan sebuah teori yang eksplisit sebagai
panduan dalam menafsirkan teks, dan disisi lain ada pendapat yang melihat bahwa metode
hermeneutika haruslah tidak dirumuskan secara eksplisit, melainkan implisit dan terwujud di
dalam praksis penafsiran yang dikaitkan dengan pengaruh-pengaruh lainnya. Misalnya, seorang
teolog yang bernama Gerard Ebeling tengah melakukan studi tentang “hermeneutika Luther”.
Dalam hal ini, apakah ia harus memfokuskan diri untuk tetap pada analisa persepsi Luther
tentang penafsiran, atau ia harus juga menempatkan tesis Luther tentang hermeneutika dengan
tulisan-tulisan Luther yang lainnya? Ebeling melakukan keduanya. Masalahnya, apakah metode
yang ia gunakan tersebut harus dalam bentuk-bentuk prinsip yang jelas berkaitan dengan tesis
hermeneutika yang dirumuskan Luther, ataukah biarkan metode tersebut mewujud di dalam
praktek penafsiran yang melibatkan berbagai aspek lain, yang mungkin mempengaruhi cara
Luther merumuskan tesis hermeneutikanya. Yang paling baik memang menggabungkan
keduanya, seperti yang dilakukan oleh Ebeling.
Dengan demikian, di dalam tegangan antara metode hermeneutika yang eksplisit fokus pada satu
fenomen, atau pada metode hermeneutika yang mau menangkap yang tersembunyi di balik
fenomen-fenomen lainnya, yang mungkin mempengaruhi fenomen yang ingin dianalisa,
hermeneutika dan pemahaman yang mendalam tentangnya, baik secara epistemologis maupun
ontologis, adalah sangat penting untuk mencari pengertian yang lebih dalam tentang cara
manusia menafsirkan dirinya, maupun menafsirkan “dunianya”