Hermeneutika sebagai sebuah metode penafsiran, tidak hanya memandang teks, tetapi hal yang tidak dapat ditinggalkannya adalah juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya, lbih dari itu, ia berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horizon-horizon yang melingkupi teks tersebut, baik horizon pengarang, horizon pembaca, maupun horizon teks itu sendiri.
Hadits Arbain 35 tentang Sesama Muslim Bersaudara.pptx
Konsep Dasar Memahami Hermeneutika.docx
1. KONSEP DASAR HERMENEUTIKA
Hermeneutika yang dalam bahasa inggrisnya adalah hermeneutics, berasal
dari kata yunani hermeneuine dan hermeneia yang masing-masing
berari”menafsirkan dan penafsiran”. Istilah tersebut dalam berbagai bentuknya
dapat dibaca dalam sejumlah literatur peninggalan yunani kuno, seperti yan di
gunakan aristoteles dalam sebuah risalahnya yang brjudul peri hermeneias
(tentang penafsiran). Lebih dari itu, sebagai sebuah terminologi, hermeneutika
juga bermuatan pandangan hidup (worldview) dari para penggagasnya.
Dalam tradisi yunani, istilah hermeneutika diasosiasikan dengan hermes
(hermeios), seorang utusan (dewa) dalam mitologi yunani kuno yang bertugas
menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa ke dalam bahasa manusia,
menurut mitos itu, hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata (orakel) dengan
bantuan kata-kata manusia.1
Ebeling (dalam grondin,1994:20) membuat interpreatasi yang banyak
dikutip mengenai proses penerjemahan yang dilakukan hermes. Menurutnya,
proses tersebut mengandung tiga makna hermeneutis yang mendasar, yaitu :(1)
mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih dalam pikiran melalui kata-kata
sebagai medium penyampaian; (2) menjelaskan secara rasional sesuatu yang
sebelumnya masih samar-samar sehingga maknanya dapat dmengerti; dan (3)
menerjemahkan suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain yang lebih dikuasai
pemirsa. Tiga pengertian tersebut akhirnya terangkum dalam pengertian
“menafsirkan” (interpreting, understanding). Hal ini karena segala sesuatu yang
masih membutuhkan pengungkapan secara lisan, penjelasan yang masuk akal, dan
penerjemahan bahasa, pada dasarnya mengandung proses ‘ memberi pemahaman’
atau dengan kata lain menafsirkan. Dengan demikian, hermeneutika merupakan
“proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti
(sumaryono, 1999:24). Dalam defisini yang agak berbeda, dikatakan bahwa
hermeneutika sebagai suatu metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa
teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya,
1 Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2008), h.
27-28.
2. dimana metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa
lampau yang tidak di alami, kemudian dibawa kemasa sekarang (fais, 2003:9).
Istilah hermenutika sebagai “ilmu tafsir” pertama kali muncul pada sekitar
abad ke 17 dengan dua pengertian, yaitu hermeneutika sebagai seperangkat
prinsip metodologis penafsiran dan hermeneutika sebagai penggalian filosofis dari
sifat dan kondisi yang tak bisa dihindarkan dari kegiatan memahami. Carl
braathen merupakan filosof yang mengakomodasi kedua pengertian tersebut
menjadi satu dan menyatakan bahwa hermeneutika adalah “ ilmu yang
merefleksikan bagaimana satu kata atau satu peristiwa dimasa dan kondisi yang
lalu bisa dipahami dan menjadi bermakna secara nyata dimasa sekarang sekaligus
mengandung aturan-aturan metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran dan
asumsi-asumsi metodologis dari aktivitas pemahaman (fais 2003:10).2
Hermeneutika sebagai sebuah metode penafsiran, tidak hanya memandang
teks, tetapi hal yang tidak dapat ditinggalkannya adalah juga berusaha menyelami
kandungan makna literalnya, lbih dari itu, ia berusaha menggali makna dengan
mempertimbangkan horizon-horizon yang melingkupi teks tersebut, baik horizon
pengarang, horizon pembaca, maupun horizon teks itu sendiri.
Dengan memperhatikan ketiga horizon tersebut, diharapkan upaya
pemahaman atau penafsiran yang dilakukan akan menjadi kegiatan rekonstruksi
dan reproduksi makna teks. Selain melacak bagaimana satu teks itu dimunculkan
oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh
pengarang ke dalam teks, sebauah aktivitas penafsiran sesungguhnya juga
berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi
saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode
penafsiran, hermeneutika memerhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam
kegiatan penafsiran, yakni teks, konteks, dan kontekstualisasi.
Dengan demikian untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap
suatu teks, keberadaan konteks diseputar teks tersebut tidak bisa dinafikan. Sebab,
kontekslah yang menentukan makna teks, bagaimana teks tersebut harus
2 Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2008), h.
28-30.
3. dipahami. Dengan demikian, teks yang sama dalam waktu yang sama dapat
memiliki makna yang berbeda dimata “penafsir” yang berbeda; bahkan seorang
“penafsir” yang sama dapat memberikan pemaknaan teks yang sama secara
berbeda-beda ketika ia berada dalam ruang dan waktu yang berbeda.
Dengan demikian, dalam konteks perbincangan hermeneutika yang saat ini
berkembang, setidaknya terdapat tiga pemahaman yang dapat diperoleh, yaitu :
pertama, hermeneutika dipahami sebagai teknik praksis pemahaman atau
penafsiran. Pemahaman ini lebih dekat dengan tindakan eksegesis, yakni kegiatan
memberi pemahaman tentang sesuatu atau kegiatan untuk mengungkapkan makna
tentang sesuatu agar dapat dipahami. Kedua, hermeneutika dipahami sebagai
metode penafsiran. Dalam konteks ini, ia berisi perbincangan teoritis tentang the
conditions of possibility sebuah penafsiran. Ia menyangkut hal-hal apa yang
dibutuhkn atau langkah-langkah bagaimana yang harus dilakukan untuk
menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks. Ketiga, hermeneutika
dipahami sebagai filsafat penafsiran. Dalam pemahaman ini, hermeneutika
menyoroti secara kritis bagaimana bekerjanya pola pemahaman manusia dan
bagaimana pemahaman manusia tersebut diajukan, dibenarkan, dan bahkan
disanggah.3
Bahasa Sebagai Pusat Kajian Hermeneutika
Karena objek utama hermeneutika adalah teks dan teks adalah hasil atau
produk praksis berbahasa, maka antara hermeneutika dengan bahasa akan terjalin
hubungan sangat dekat, sehingga kajian hermeneutika tidak lain adalah juga
kajian terhadap bahasa secara filosofis. Lebih dari itu, bagi para filosof bahasam
bahasa dipandang sebagai unsur sangat penting bagi kehidupan manusia. Sebab
manusia berpikir, menulis, berbicara, mengapresiasi seni, dan sebagainya melalui
bahasa. Gadamerlah yang dengan jelas dan tegas menyatakan peran penting
bahasa sebagai pusat untuk memahami dan pemahaman manusia. Dalam
3 Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2008), h.
31-33.
4. Gadamer’s philoshopical hermeneutics di nyatakan, “gadame places language at
the core of understanding” (Grondin, 1994).4
Menurut Gadamer, bahasa bukan dipandang sebagai sesuatu yang
mengalami perubahan, melainkan sesuatu yang memiliki ketertujuan didalam
dirinya. Maksudnya, kata-kata atau ungkapan tidak pernah tidak bermakna. Kata
atau ungkapan selalu mempunyai tujuan (telos). Jadi kata atau ungkapan penuh
dengan makna (sumaryono, 1999:27)
Hermeneutika merupakan ilmu untuk memahami atau mengerti makna
tersebut. Persoalannya, apa yang dimaksud dengan mengerti atau memahami itu?
Menurut Gadamer, memahami itu artinya memahami melalui bahasa. Inilah
awalnya gadamer memandang peran penting bahasa dalam proses “ memahami”.
Menurut Gadamer, asal mula bahasa adalah bahasa tutur, yang kemudian
disusul bahasa tulis untuk efektivitas dan kelestarian bahasa tutur. Perubahan
bahasa tutur menjadi bahasa tulis, menurut gadamer, mengandung beberapa
kelemahan, antara lain bahasa terlepas dari konteks peristiwa kebahasaannya dan
kehilangan daya ekxpresinya sehingga menjadi tidak hidup. (sumaryono, 1999:
210).
Pendapat Gadamer berbeda dengan tokoh post strukturalis dan penggagas
wacana post modernisme, derrida, yang mengembangakan pemikirannya bahwa
menurut kodratnya bahasa adalah “tulis” sebab yang menjadi asal mula arti adalah
gagasan yang didasarkan atas jejak, bukan sebaliknya. Tulisan merupakan barang
asing yang masuk ke dalam sistem bahasa, sehingga tulisan merupakan asal dan
sebab dari bahasa yang diucapkan.
Menurut derrida, meskipun orang belum mengucapkan kata-kata, tulisan
sudap siap dicurahkan. Tulisan dibatasi oleh bahasa yang di ucapkan, dan karena
ucapanlah makna menjadi tertunda dalam tulisan. Dengan demikian, menurut
derrida tulisan merupakan fait accompli, sesuatu yang sudah selesai pada saat
orang berbicara. Tulisan sebenarnya bersifat impersonal, karena jauh dari
kehadiran diri pembicara. Sedangkan ucapan penuh kehidupan dan makna, sebab
4 Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2008), h.
33.
5. pembicara hadir sendiri sehingga makna yang diucapkan menjadi jelas. Kendati
berbeda pemikirannya tentang awal mula bahasa, keduanya sepakat bahwa tulisan
menjadikan bahasa teralienasi, tidak hidup, dan jauh dari konteks, karena ketidak
hadiran pembicaranya.5
Kita telah melihat bahwa di dalam analisis hermeneutic romantic bahwa
pemahaman tidak didasarkan pada “perolehan batin” orang lain, pada
penggabungan langsung satu orang dengan yang lain. Untuk memahami apa yang
dikatakan seseorang, sebagaimana telah kita katakana, adalah menyetujui
objeknya, bukan memperoleh sisi batin dari orang lain dan mengalami lagi
pengalaman-pengalamannya. Kita menekankan bahwa pengalaman makna yang
terjadi di dalam pemahaman selalu memasukkan aplikasi. Sekarang kita mecatat
seluruh proses ini bersifat linguistik. Ini tidak berarti bahwa masalah-masalah
actual pemahaman dan usaha untuk menguasainya adalah sebuah seni-pokok
perhatian hermeneutic- yang secara traditional berkaitan dengan ruang bahasa dan
retorika. Bahasa adalah dasar menengah dimana pemahaman dan persetujuan
yang berkaitan dengan objeknya terjadi antara dua orang.6
Marilah kita disini mengingat kembali tugas hermeneutika pada mulanya
dan terutama merupakan pemahaman terhadap teks-teks. Schleiermacher adalah
orang pertama yang melihat bahwa masalah hermeneutic tidak hanya ditimbulkan
oleh kata-kata tertulis saja, tetapi juga ditunjukkan pengungkapan lisan dan
barangkali di dalam bentuk utuhnya-masalah pemahaman. Kita telah
menggambarkan secara singkat diatas bagaimana dimensi psikologis yang dia
berikan pada hermeneutika menghalangi dimensi historisnyal pada kenyataan
factual, tulisan adalah sentral bagi fenomena hermeneutic, sejauh keterlepasannya
dari penulis dan pengarang dan dari seorang penerima yang dituju secara khusus
atau pembaca memberikannya sebuah kehidupan dirinya. Apa yang ditentukan di
dalam tulisan menaikkan secara luas pada sebuah ruang makna dimana setiap
orang yang bias membaca mempunyai bagian yang sama.
5 Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2008), h.
35-36.
6 Hans Georg Gadamer, Kebenaran Dan Metode, Terj: Ahmad Sahidah, (Yogjakarta:
Pustaka Pelajaran, 2004), h. 465-466.
6. Tentunya, dalam kaitan dengan bahasa, tulisan tampak sebagai fenemone
sekunder. Bahasa tanda dari tulisan merujuk kembali pada bahasa pembicara
actual. Tetapi bahwa bahasa bias ditulis sama sekali bukanlah sifatnya kebetulan.
Agaknya, kemampuan untuk ditulis didasarkan pada faktabahwa cara berbicara itu
sendiri berbagi didalam idealitas makna murni yang mengkomunikasikan dirinya
sendiri di dalamnya. Di dalam tulisan, makna dari apa yang dibicarakan ada
secara murni untuk dirinya sendiri, sepenuhnya terlepas dari semua unsure
emosional ungkapan tentang kehidupan, tetapi apa yang ia katakana. Tulisan
adalah idealitas abstrak dari bahasa. Oleh karena itu, makna seseuatu yang ditulis
secara fundamental bias diidentifikasi dan bias direproduksi. Apa yang identik di
dalam rerproduksi hanya yang telah diformulasikan. Ini menunjukkan bahwa
‘reproduks’ di sini tidak diartikan di dalam pengertian yang ketat. Ini tidak berarti
kembali merujuk pada beberapa sumber orisinal yang disitu segala sesuatu
dikatakan atau ditulis. Pemahaman terhadapa sesuatu yang ditulis bukan
merupakan sebuah reproduksi sesuatu masa lalu, tetapi berbagi dalam sebuah
makna sekarang.7
Dalam analisis kita terhadap proses hermeneutic kita melihat bahwa untuk
memperoleh sebuah horizon penafsiran diperlukan sebuah ‘penggabungan
horizon-horizon’. Sekarang ini ditegaskan oleh aspek linguistic dari penafsiran.
Teks ini dibuat untuk diungkap melalui penafsiran. Tetapi teks dan buku itu tidak
dipahami jika ia tidak membicarakan bahasa yang menyentuh orang lain. Jadi,
penafsiran harus menemukan bahasa yang benar jika ia benar-benar ingin
membuat teks berbicara. Oleh karena itu, di sana tidak ada satupun penafsiran
berkaitan dengan dalam dirinya karena sesungguhnya setiap penafsiran berkaitan
dengan teks itu sendiri. Kehidupan historis sebuah tradisi secara terus menerus
tergantung pada asimilasi dan penafsiran baru. Sebuah penafsiran yang benar
dalam dirinya akan kembali menjadi sebuah ide dungu yang gagal memahami
hakikat tradisi. Setiap penafsiran harus menyesuaikan dirinya dengan situasi
hermeneutic yang ia miliki. Dengan terikat pada sebuah situasi tidak berarti
7 Hans Georg Gadamer, Kebenaran Dan Metode, Terj: Ahmad Sahidah, (Yogjakarta:
Pustaka Pelajaran, 2004), h. 476-477.
7. bahwa klaim pada kebenaran yang dibuat setiap penafsiran dianggap sebagai
sesuatu yang subjektif atau bersifat sementara.8
Kita harus memahami dengan tepat hakikat dari prioritas fundamental
bahasa yang ditegaskan oleh Gadamer. Memang bahasa sering tampak tidak
sesuai dalam mengungkapkan apa yang kita rasakan. Dalam menghadapai
berlimpahnya kehadiran karya seni, tugas mengekspresikan dengan kata apa yang
mereka katakana kepada kita tampak seperti usaha tak terbatas dan melelahkan.
Seperti kritik bahasa bahawa keinginan dan kemampuan kita untuk memahami
selalu melampaui pernyataan apapun yang kita buat. Tetapi hal ini tidak
mempengaruhi prioritas fundamental bahasa. Kemungkinan-kemungkinan
pengetahuan kita tampak jauh lebih individual dibandingkan kemungkinnan-
kemungkinan ekspresi yang ditawarkan oleh bahasa.dihadapkan dengan motivasi
kecenderungan sosial menuju bentuk bentuk skematik seragam yang mengikat
kital, hasrat kita terhadap pengetahuan berusaha melepaskan dirinya dari
skematisasi dan pra keputusan ini. Namun, superioritas kritik yang kita klaim
terhadap bahasa tidak berkatian dengan konvensi ekspresi linguistik, tetapi dengan
konvensi-konvensi tentang makna yang menemukan bentuknya dalam bahasa.
Jadi, ia tidak mengatakan apa-apa terhadap hubungan esensial antara pemahaman
dan bahasa. Karena semua kritisisme semacam ini yang mengatasi skematisme
pernyataan-pernyataan kita untuk memahami lagi menemukan ekspresinya dalam
bentuk bahasa. Oleh karena itu, bahasa selalu mencegah setiap keberatan terhadap
yuridsdiksinya. Universalitasnya menyetarafkan dirinya dengan universalitas akal
budi. Kesadaran hermeneutik hanya ikut serta dalam sesuatu yang membentuk
hubungan umum antara bahasa dan akal budi. Jika semua pemahaman berpijak
pada sebuah hubungan pasti dalam kesetaraan dengan kemungkinan
penafsirannya dan jika pada dasarnya tidak ada batas yang ditetapkan untuk
pemahaman, maka bentuk linguistic yang ditemukan penafsiran dari pemahaman
8 Hans Georg Gadamer, Kebenaran Dan Metode, Terj: Ahmad Sahidah, (Yogjakarta:
Pustaka Pelajaran, 2004), h. 482.
8. ini mesti terkandung di dalamnya sebuah dimensi tak terbatas yang melampaui
semua batasan-batasan. Bahasa adalah bahasa akal budi itu sendiri.9
Hemeneutika dalam pandangan para filosof
1. Martin heideger
Seperti halnya para filosof yang alin, heideger sejak semulasudah sangat
tertarik dengan filsafat, khususnya fenemenologi husserl. Tak
mengeherankan jika pemikiran husserl sangat mewarnai pemikiran filsafat
heidegger pemikiran filsafat heidegger meliputi dua periode. Periode I
meliputi hakikat tentang “ada” dan “waktu”. Menurut heidegger, manusia
adalah satu-satunya makhluk yang menanyakan tentang “ ada”. Sebab,
manusia pada hakikatnya “ada”, tetapi tidak begitu saja ada, melainkan
senantiasa secara erat berkaitan dengan “adanya” sendiri.
Periode II pemikiran heidegger menjelaskan pengertian “kehre”, yang
berarti “pembalikan”. Menurutnya, ketidak tersembunyian “ada”
merupakan kejadian asli. Menurutnya, berpikir pada hakikatnya adalah
terikat pada arti yang di diami subjek.
Dalam kaitannya dengan bahasa, Heidegger menyatakan bahwa bahasa
bukan sekedar alat untuk menyampaikan dan memperoleh informasi.
Pandangan demikian menurut Heidegger sangat pragmatis dan terlalu
memandang rendah bahasa. Menurutnya, bahasa pada hakikatnya adalah “
bahasa hakikat”, artinya berpikir adalah suatau jawaban, tanggapan, atau
respons, dan bukan manipulasi ide yang hakikatnya telah terkandung
dalam proses penutura bahasa dan bukan hanya sebagai alat belaka. Dalam
realitas, bahasa lebih menentukan dari pada fakta atau perbuatan.
Karenanya, bagi filsafat fenemenologi heidegger, bahasa merupakan
sumber pembahasan. Bahasa adalah tempat tinggal “sang ada”.
Dengan kata lain, bahasa merupakan ruang bagi pengalaman-pengalaman
yang bermakna. Pengalaman yang telah diungkapkan adalah pengalaman
yang telah mengkristal, sehingga menjadi semacam “substansi”, dan
9 Hans Georg Gadamer, Kebenaran Dan Metode, Terj: Ahmad Sahidah, (Yogjakarta:
Pustaka Pelajaran, 2004), h. 487-488.
9. pengalaman menjadi tidak bermakna jika tidak menemukan rumahnya
dalam bahasa. Sebaliknya, tanpa pengalaman nyata, bahasa adalah ibarat
ruang kosong tanpa kehidupan (kaelan, 1998 : 200).
Terkait dengan pemahaman teks, heidegger menyatakan bahwa
pemahaman teks terletak pada kegiatan mendengarkan lewat bahasa
manusia perihal apa yang dikatanan dalam ungkapan bahasa tersebut.
Kegiatan tersebut untuk mengungkapkan apa yang terselubung dalam
kegiatan kebahasaan dan membawa manusia menghayati kegiatan
kebahasaan. Itulah sebabnya dalam pandangan heidegger bahasa adalah
suatu proses, suatu dinamika, atau suatu gerakan. Manusia hakikatnya
berada dalam suatu gerakan ke arah bahasa. Inilah yang melandasi
pemikiran filsafat hermeneutika Heidegger.
2. Hans Georg Gadamer
Hans Georg Gadamer lahir di marbug pada 1900. Ia belajar dari gurunya
yang seornag filosof kenamaan, Martin Heidegger, dan karena itu pula
pemikiran Heidegger banyak mewarnai Gadamer. Karier puncak gadamer
adalah ketika ia menulis karya yang sangat monumental berjudul
“kebenaran dan metode” (wahrheit und methode) pada tahun 1960 yang
kemudian menjadi rujukan kajian-kajian filsafat hermeneutika
kontemporer sampai saat ini.walaupun bukunya “ kebenaran dan metode”,
berkali-kali gadamer menolak hermeneutika sebagai metode. Yang ia
tekankan adalah pemahaman mengarah pada tingkat ontologis. Sebab,
menurutnya kebenaran menerangi metode-metode individual, sementara
metode justru merintangi atau menghambat kebenaran. Gadamer ingin
mencapai kebenaran bukan melalui metode, melainkan dialektika. Sebab,
dalam proses dialektika tersebut, kesempatan untuk mengajukan
pertanyaan secara bebas lebih banyak kemungkinannya dibandingkan
dalam proses metodis. Pada dasarnya, metode adalah struktur yang dapat
membekukan dan memanipulasi unsur-unsur yang memudahkan prosedur
tanya jawab, sedangkan proses dialektika tidaklah demikian.
10. Konsep gadamer yang menonjol dalam hermeneutika adalah ketika ia
(meminjam pendapat Heidegger ) menekankan apa yang dimaksud
“mengerti”, baginya megerti adalah proses melingkar. Untuk mencapai
pengertian, seseorang harus bertolak dari pengertian, misalnya untuk
mengerti suatu teks, seorang harus lebih dulu memiliki prapengertian
tentang teks tersebut. (kaelan, 1998: 208; alvesson, 200:53). Jika tidak,
tidak mungkin seseorang mampu memperoleh pengertian tentang teks
tersebut. Dengan membaca teks, prapengertian akan terwujud menjadi
pengertian yang sungguh-sungguh. Gadamer menyebutnya sebagai
lingkaran hermeneutika (hermeneutic circle), yang artinya, bagian teks
bisa dipahami lewat keseluruhan dan keseluruhan teks hanya bisa
dipahami lewat bagian-bagiannya.
Selain menekankan pentingnya prapengertian untuk memperoleh
pengertian, Gadamer menyatakan bahwa setiap pemahaman merupakan
sesuatu yang bersifat historis, peristiwa dialektik, dan peristiwa
kebahasaan. Disini, terbuka kemungkinan hermeneutika yang lebih luas.
Menurut Gadamer, hermeneutika adalah ontologi dan fenomenologi
pemahaman. Berbeda dengan filosof hermeneutik yang lain, Gadamer
menekankan bahasa sebagai realitas tak terpisahkan dari pengalaman
hidup, pemahaman, dan pikiran manusia. Gadamer dengan tegas
menempatkan bahasa sebagai pusat pemahaman, sebagaimana pernyataan
berikut :
“he stresses the role of language in opening the subject to the subjectivities
and their horizons. In forcefully stressing the role of language in opening
the subject to other subjectivities in constituting traditions, Gadamer
places language at the core of understanding. Consequently, understanding
for Gadamer does not scientifically reconstruct a speaker’s intention, but
instead mediates between the interpreter’s immediate horison and his
emerging one”
11. Pemaknaan
KEBENARAN
Tanggapan
Konteks
Historis
Karena cakupan pemahamannya yang luas bagi pengembangan pemikiran
hermeneutika, Gadamer dikenal sebagai hermeneutikawan sejati
(sumaryono, 1999:83).10
Penerapan Hermeneutika Gadamer
Dalam proses interpretif, menurut Gadamer, terjadi interaksi antara
penafsir dan teks, dimana penafsir mempertimbangkan kontek hostorisnya
bersama dengan prasangka-prasangka sang penafsir seperti tradisi, kepentingan
praktis, bahasa dan budaya. Secara ringkas, Maulidin (2003: 27)
menggambarkannya sebagai berikut
Sebagaimana tampak dalam bagan di atas kerangka pemikiran Gadamer
mengandakan ada dua pihak yang terlibat dalam penafsiran, antara wacana (teks)
dengan penafsir (intepreter). Kerangka demikian, sejauh hanyadiperlukan oleh
seseorang untuk menafsirkan karya orang lain memang cukup memadai. Namun
demikian bila seseorang bermaksud menggunakan perspektif Gadamer, Maka
yang tentu saja harus melaporkan hasil annya, tidak bisa dihindari harus
melakukan modifikasi agar perspektif tersebut menjadi aplikatif.
Dengan ungkapan lain, sejauh hanya untuk memahami tentang makna
yang ada dalam teks, maka cukup memakai kerangka pemikiran Gadamer, justru
10 Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2008), h.
43-47.
Tradisi
Kepentinga
n Praktis
Bahasa
kultur
P
TEKS
A
Bagan 1.1 Hermeneutika Gadamer
12. yang harus banyak dilaporkan adalah tradisi, kepentingan praktis, bahasa, dan
kultur, serta konteks ketika teks yang di analisa muncul, akan halnya bila
bermaksud mengjangkau pemaknaan yang diberikan orang lain, maka harus
mengumpulkan datanya dari orang lain yang bersangkutan. Dalam hal ini, apa
yang sangat diperlukan oleh adalah tetap peka dan mempertimbangkan tradisi,
kepentingan praktis, bahasa dan kultur orang lain tersebut, serta konteks historis
ketika teks yang ditafsirkan muncul.