1. Muhâsabah adalah introspeksi diri untuk memperbaiki masa depan dengan mempelajari masa lalu. Hal ini penting untuk menjaga kesehatan jiwa dan menghindari pengaruh hawa nafsu.
2. Terdapat dua jenis muhâsabah: sebelum beramal untuk mempertimbangkan akibat tindakan, dan setelah beramal untuk mengevaluasi ketaatan dan dosa serta memperbaiki diri.
3. Muhâsabah
Many sciences have told the leadership but unfortunately, they always lack on vision, mission and objective on universal and long life.
We have on confusing, miss understanding, and strategy on how to design and issued the methodology on writing the science. We have universal and long life reference without any mistakes, miss understanding, and universal. Why do not you come back on it?
Sebahagian dari Usul 20 Imam Al Banna yang menjadi petunjuk bagi daie dlam mengharungi medan dakwah. Islam mudah di fahami dan mengelakkan perpecahan yang menjadi lumrah ummah zaman ini.
Many sciences have told the leadership but unfortunately, they always lack on vision, mission and objective on universal and long life.
We have on confusing, miss understanding, and strategy on how to design and issued the methodology on writing the science. We have universal and long life reference without any mistakes, miss understanding, and universal. Why do not you come back on it?
Sebahagian dari Usul 20 Imam Al Banna yang menjadi petunjuk bagi daie dlam mengharungi medan dakwah. Islam mudah di fahami dan mengelakkan perpecahan yang menjadi lumrah ummah zaman ini.
Jiwa yang tenang, biasanya dimaksudkan untuk nafs muthma’innah, yang menurut Abdul Razak, dalam Mu’jam al-Ishthilahat al-Shufiyyah, sebagai jiwa dengan kesempurnaan cahaya hati (al-qalb), jiwa yang bersih dan suci; atau, berdasarkan al-Qur’an: jiwa yang sudah kembali kepada Tuhannya (QS. Al-Fajr/89: 27-30):
HATI MEMBANTU MU MENIMBANG ANTARA KEBAIKAN DAN KEBURUKAN | HADITS ARBAIN KE 27Ustadz Ahmad Ridwan
Riwayat lain menyebutkan: Wabishah bin Ma’bad Radhiyallahu anhu . berkata: Aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bertanya: “Kamu datang untuk bertanya tentang kebajikan?” aku menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Tanyakan kepada hati kecilmu sendiri. Kebajikan adalah apa yang membuat jiwa dan hatimu tenteram, sedangkan dosa adalah apa yang membuat jiwa dan hatimu gelisah meskipun orang lain berulang kali membenarkanmu.”(HR Imam Ahmad bin Hambal dan Imam ad-Darimi. Hadits ini hasan.)
Jiwa yang tenang, biasanya dimaksudkan untuk nafs muthma’innah, yang menurut Abdul Razak, dalam Mu’jam al-Ishthilahat al-Shufiyyah, sebagai jiwa dengan kesempurnaan cahaya hati (al-qalb), jiwa yang bersih dan suci; atau, berdasarkan al-Qur’an: jiwa yang sudah kembali kepada Tuhannya (QS. Al-Fajr/89: 27-30):
HATI MEMBANTU MU MENIMBANG ANTARA KEBAIKAN DAN KEBURUKAN | HADITS ARBAIN KE 27Ustadz Ahmad Ridwan
Riwayat lain menyebutkan: Wabishah bin Ma’bad Radhiyallahu anhu . berkata: Aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bertanya: “Kamu datang untuk bertanya tentang kebajikan?” aku menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Tanyakan kepada hati kecilmu sendiri. Kebajikan adalah apa yang membuat jiwa dan hatimu tenteram, sedangkan dosa adalah apa yang membuat jiwa dan hatimu gelisah meskipun orang lain berulang kali membenarkanmu.”(HR Imam Ahmad bin Hambal dan Imam ad-Darimi. Hadits ini hasan.)
Muhasabah adalah rangkaian amal yang sangat kita perlukan, apakah amal kita telah sesuai dengan ketentuan..? apakah amal kita ada peningkatan...? mari kita ulas amal kita, dan tingkatkan dimasa yang akan datang
Materi Training esq, training motivasi, Training kepemimpinan - Aditya 087888...ESQ Leadership Center
Aditya - 087-888-765-439 | Training ESQ bermula dari sebuah buku yang ditulis oleh DR. H. C Ary Ginanjar Agustian, kemudian bertransformasi menjadi sebuah pelatihan sumber daya manusia. Berdiri sejak 16 Mei 2000, ESQ LC kini telah menjadi salah satu lembaga pelatihan terbesar di Indonesia dengan alumni sebanyak 1.2 juta orang dengan 7962 event.
Selama 10 tahun pertama ESQ melakukan personal transformation atau perubahan karakter individu melalui penggabungan 3 potensi manusia yaitu kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.
Terselenggara hampir di seluruh provinsi di Indonesia juga mancanegara seperti Malaysia, Brunei, Singapura, Belanda, Amerika Serikat, Helsinski, Bangkok, Madrid.
Mulai tahun ke 11 ESQ bergerak pada pembangunan kultur atau budaya perusahaan dengan meluncurkan ACT (Accelerated Culture Transformation) Consulting yang membantu lembaga atau korporasi untuk melakukan pembangunan budaya.
Kami juga memberikan kelas In House untuk korporasi/organisasi, dengan materi yang dapat “customize” sesuai dengan misi, visi dan nilai serta makna yang ingin ditanamkan.
Mengedepankan wacana tentang Edmund Husserl tidak boleh tidak harus menyentuh core ideanya tentang filsafat, yaitu “Fenomenologi”, sebab dialah yang – paling tidak hingga saat ini – dianggap sebagai pendiri aliran pemikiran ini. Bertens, dalam salah satu tulisannya, menyatakan bahwa selaku pendiri aliran fenomenologi, Husserl telah mempengaruhi filsafat abad kita ini secara amat mendalam.[1] Sebegitu mendalamnya pengaruh pemikiran Edmund Husserl terhadap pemikiran filsafat abad ini, Delfgaauw, seorang filosof Belanda, bahkan dengan tegas menyatakan bahwa filsafat jaman kita (ini) dipengaruhi secara mendalam oleh fenomenologi yang diajarkan oleh Edmund Husserl (1859-1938).[2]
Bahagia dalam kehidupan dunia adalah dambaan setiap insan. Jika dia orang yang beriman, maka dia juga berharap bisa meraih kebahagiaan abadi di akhirat. Namun, tidak semua orang yang berkeinginan baik bisa meraih impiannya. Salah satu dari sekian banyak orang yang bisa meraih kebahagiaan abadi di akhirat adalah al-Mukhbitûn. Siapakah mereka? Apakah kriteria-kriteria mereka?
Ibrahim ibn Adham, ketika menjawab pertanyaan penduduk Basrah, “kenapa doa-doa kami tak pernah dikabulkan oleh Allah?” Beliau menyatakan bahwa ada sepuluh persoalan yang menjadi penyebab tidak terkabulnya serangkain doa, salah satu di antaranya yang terpenting adalah: “banyak memakan nikmat Tuhanmu, akan tetapi tidak mensyukurinya”.
TAWAKKAL adalah sebuah sikap yang – seharusnya – dipilih oleh setiap muslim, di mana pun, kapan pun dan dalam situasi dan kondisi apa pun. Tetapi, ternyata untuk memilihnya tidak semudah yang kita katakan. Selalu saja ada kendala yang menjadikan diri kita tak mampu bersikap tawakkal. Bahkan, karena kesalahfahaman kita terhadap makna tawakkal, bukan tidak mungkin ‘kita’ akan terjebak pada sikap yang salah.
Pada bulan Muharram ada satu hari yang dikenal dengan sebutan hari ‘Asyura. Orang-orang jahiliyah pada masa pra Islam dan bangsa Yahudi sangat memuliakan hari ini. Hal tersebut karena pada hari ini Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ menyelamatkan Nabi Musa ’alaihis salâm dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Bersyukur atas karunia Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ kepadanya, Nabi Musa ’alaihis salâm akhirnya berpuasa pada hari ini. Tatkala sampai berita ini kepada Nabi kita (Muhammad) shallallâhu ‘alaihi wa sallam, melalui orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah beliau bersabda, فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ (Saya lebih berhak mengikuti Musa dari kalian [kaum Yahudi]).
Pesan moral dari kisah ashhabul kahfi.pdf (muhsin hariyanto)Muhsin Hariyanto
Kisah-kisah dalam al-Quran, dalam pandangan para mufassir, selalu mengisyaratkan ‘ibrah yang sarat makna. Setiap pembaca kisah ini, bahkan mungkin akan menangkap isyarat yang berbeda-beda, karena kemampuan mereka yang tidak sama, atau karena mereka memiliki sudut-pandang yang berbeda terhadap kisah-kisah itu. Tak terkecuali terhadap kisah Ash-hâbul Kahfi. Kisah ini, menurut para mufassir sangat sarat dengan pesan moral. Dan siapa pun yang bisa membaca isyarat pesan moral di dalamnya akan mampu bercerita kembali dengan berbagai perspektif.
1. 1
UNIVERSITY RESIDENCE - UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
KARASIBAZHU
(Kajian Rabu Siang Ba’da Zhuhur)
Mari Kita Mulai Bermuhâsabah
Kata muhâsabah saat ini semakin dikenal. Dan bahkan banyak orang
yang ‘latah’ menyatakannya, meskipun belum tentu memahami maksud
sebenarnya, dan bukan tidak mungkin kesalahpahaman itu terjadi di kalangan
umat Islam pada umumnya.
Biasanya orang memahami konsep muhâsabah ini dari penjelasan para
mubaligh, khatib atau ustadz mengenai makna QS al-Hasyr/59: 18,
ۖۚ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Memang, tidak ada yang salah pada ayat tersebut. Tetapi, tidak jarang
‘orang’ menjelaskan makna ayat ini dengan penjelasan yang tidak memadai,
sehingga bisa mengakibatkan adanya kesalahpahaman orang terhadap makna
yang seharusnya dari ayat ini. Karena ayat ini berbicara tentang makna masa
lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Apa yang telah, sedang dan akan
dikerjakan.
Setiap orang tidak akan bisa mengubah masa lalunya, tetapi bisa
merenungkan apa yang telah diperbuat dan apa hasilnya. Kalau dia pernah
bersalah, saatnya ‘kini’ di harus memperbaiki setiap langkahnya untuk
kepentingan masa depannya, dengan harapan ‘masa depannya’ akan lebih
‘cerah’ daripada masa lalunya. Pertanyaan terpenting baginya adalah: “Apa
yang seharusnya dia kerjakan sekarang ini?”
Dalam khazanah literatur Islam, kata muhâsabah dijelaskan sebagai
sebuah kata yang mengandung arti yang begitu mendalam. Bila dipahami
esensinya, muhâsabah identik dengan kata ‘introspeksi diri’ atas apa yang telah
2. 2
dilakukan oleh siapa pun dan apa yang harus diperbaiki demi masa depan yang
lebih baik. Utamanya dalam kehidupan dunia yang fana.
Bila siapa pun berkeinginan untuk menjadi manusia yang beruntung,
siapa pun harus mengenal – dengan sebaik-baiknya – seluruh perilaku masa
lalunya, untuk dijadikan sebagai pijakan dalam berperilaku saat ini, demi
kepentingan masa depannya. Seperti ucapan orang-orang bijak: ‘Wong Bejo’
(Manusia yang Beruntung) akan selalu melihat masa lalunya, untuk berbuat
sesuatu saat ini, demi memersiapkan dirinya untuk kepentingan masa
depannya. Dengan bermuhâsabah, siapa pun – orang yang beriman -- akan selalu
berkeinginan untuk menggunakan setiap waktu yang tersedia , dari detik demi
detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, serta keseluruhan jatah
hidupnya dengan sebaik-baiknya demi meraih ‘Ridha Allah’.
Muhâsabah – kata para ulama -- akan mendatangkan sejumlah
manfaat, bagi setiap orang yang melakukannya. Muhâsabah – dalam praktik
kehidupan setiap oarng yang beriman -- tidak hanya akan berdampak positif
bagi dirinya, tetapi bisa diharapkan akan mendatangkan kemanfaatan bagi siapa
pun yang berkesempatan untuk berinteraksi dengan dirinya. Bahkan, dalam
waktu yang bersamaan, tidak hanya akan melahirkan kesalehan spiritual, tetapi
bisa diharapkan akan menghadirkan kesalehan sosial. Dengan bermuhâsabah,
maka diri setiap oarng yang beriman akan bisa mengenal – dengan sebaik-
baiknya -- aib serta kekurangan dirinya. Baik itu dalam hal yang berkaitan
dengan ibadah, maupun mu’amalah. Sehingga, dengan muhâsabah, seseorang
muslim dan komunitasnya diharapkan akan bisa memerbaiki apa pun yang
dirasa kurang pada dirinya untuk kepentingan masa depannya.
Penulis masih ingat ketika membaca dua karya Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah, Ighâtsatul Lahfân Min Mashâidisy Syaithân dan Madârijus Sâlikîn.
Beliau menjelasakan, bahwa ketika nafs ammârah bis-sû (jiwa yang dipenuhi
keinginan untuk berbuat sesuatu yang tidak baik) tengah’ menguasai al-qalb
(hati), berarti al-qalb tengah dalam bahaya yang sangat mengkhawatirkan. Saat
itulah diperlukan upaya pengobatannya. Beliau pun menjelaskan, bahwa
pengobatan jiwa yang kotor itu hanya bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu:
“muhâsabah dan mukhâlafah”. Muhâsabah, artinya: “mengevaluasi diri”. Dan
mukhâlafah, artinya: “menentang an-nafs al-ammârah”, dengan tidak menuruti
kemauannya. Beliau menegaskan, bahwa kehancuran al-qalb adalah dengan
tidak melakukan muhâsabah dan mukhâlafah, yakni ketika seseorang selalu
memerturutkan hawa nafsunya.”
3. 3
Kita sadar betapa pentingnya peran muhâsabah dalam mengobati jiwa.
Tak heran apabila kita dapati para pendahulu kita sangat memerhatikan dan
menganjurkannya.
Umar ibn al-Khaththab r.a. pernah mengatakan:
“Ber-muhâsabah-lah kalian pada diri kalian sebelum amal kalian dihisab, timbanglah
amal diri kalian sebelum kalian ditimbang. Sesungguhnya hal itu lebih ringan bagi
kalian besok di akhirat dengan kalian hisab diri kalian pada hari ini….” (Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah, Ighâtsatul Lahfân Min Mashâidisy Syaithân, I/78 dan
Madârijus Sâlikîn, I/170)
Ditegaskan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, bahwa terganggunya
kesehatan jiwa seseorang disebabkan di dalam organ tubuh manusia telah
terjadi pengkhianatan yang menyebabkan seluruh modal kebaikan yang
dimilikinya menjadi hilang atau habis. Oleh karena itu diperlukan muhâsabah
agar jika seseorang rugi, ia akan segera lari dari kerugian tersebut dengan tidak
mengulanginya lagi sekaligus melakukan penjagaan dan pemantapan terhadap
dirinya. Munculnya gangguan jiwa atau gangguan mental pada manusia
disebabkan karena kosongnya hati atau jiwa mengenal, kecintaan dan
kerinduan kepada Allah. Sehingga ketika jiwanya kering dan nilai-nilai spiritual,
maka akan mudah dikuasai hawa nafsu sehingga hati menjadi sakit atau mati.
Hawa nafsu mengajak kepada sikap durhaka dan mendahulukan kehidupan
duniawi sedangkan Allah SWT mengajak hamba-Nya agar takut kepadanya
dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu. Muhâsabah hendaknya dilakukan
setiap saat atau waktu-waktu tertentu, misalnya setiap hari, setiap minggu
sampai setiap tahun pada setiap akan melakukan perbuatan dan setelah
melakukan perbuatan. Selain itu, diperlukan adanya tanggung jawab sosial
sebagai side effect (efek samping) dari kegiatan muhâsabah yang dilakukan.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah membagi muhâsabah menjadi dua macam:
Pertama, muhâsabah sebelum beramal. Yakni, seorang hamba tidak
segera mengerjakan sesuatu sebelum mempertimbangkan sebab akibatnya.
Hingga jelas baginya dampak positif dan negatif dari tindakan tersebut. Al-
Hasan berkata, “Allah merahmati hamba yang berpikir sebelum bertindak.
Apabila karena Allah dilanjutkan dan apabila karena yang lain
4. 4
mengurungkannya.” Beliau melanjutkan, bahwa setidak-tidaknya orang yang
beriman bertanya kepada dirinya sebelum melangkah mengerjakan sesuatu, apa
kebaikan yang akan didapat dari perbuatannya? Apa keburukan yang akan
didapat ketika tidak mengerjakannya? Ketika semuanya sudah jelas hendaknya
ia mengambil keputusan yang terbaik.
Kedua, muhâsabah setelah beramal. Bagian ini dibagi menjadi tiga.
Pertama, muhâsabah terhadap ketaatan yang sudah dikerjakan. Apakah sudah
sesuai dengan syariat atau belum. Kedua, muhâsabah terhadap pekerjaan yang
telah ditinggalkan dan waktu yang disia-siakan. Ketiga, muhâsabah terhadap
kebiasaan-kebiasaan mubah kenapa hal itu dikerjakan?
Dan tindakan terpenting setelah ber-muhâsabah adalah adanya
kesadaran dalam diri manusia terhadap kualitas amal perbuatannya. Ketika
dirinya menganggap telah banyak mengerjakan kebaikan, maka ia bersyukur
dan memohon semua amalnya diterima oleh Allah. Sebaliknya, ketika dirinya
menganggap telah banyak mengerjakan dosa dapat bersegera bertaubat dan
mengikrarkan dalam dirinya untuk mengerjakan kebaikan pada masa
selanjutnya.
Muhâsabah, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah, merupakan amal saleh yang bisa menjadi ‘obat atas keresahan jiwa’,
dan tentu sangat bermanfaat bagi setiap mukmin untuk mendapatkan
ketenangan jiwa. Muhâsabah yang benar akan menghasilkan buah yang sangat
dirasakan oleh ‘setiap orang yang beriman’. Dengan cara ini, al-qalb akan
berjalan menuju Allah, lalu akan menjatuhkan dirinya di hadapan-Nya dalam
keadaan terhina, tunduk, menyesal dengan penyesalan yang menjadi obat
penyesalannya, dalam keadaan butuh dengan rasa butuh yang akan
mencukupinya, dalam keadaan terhina dengan penghinaan yang menjadi
tempat kemuliaannya, andai dia beramal dengan apa pun kiranya yang dia
amalkan. Namun, apabila dia kehilangan hal itu, kebaikan yang terlewatkannya
lebih baik daripada kebaikan yang dia lakukan.
Ibda’ bi Nafsik (mulailah dari dirimu sendiri)!
Yogyakarta, 22 April 2015