Dokumen tersebut membahas tentang muhasabah dan muraqabah sebagai konsep penting dalam tasawuf. Muhasabah adalah evaluasi diri secara terus-menerus untuk menilai kesesuaian amal perbuatan dengan ketentuan Allah. Muraqabah adalah menjaga kesadaran akan kehadiran dan pengawasan Allah sehingga dapat mengabdi kepada-Nya dengan sepenuh hati. Kedua konsep ini dianggap sangat penting untuk menyucikan
1. 1. MUHASABAH
1.1 Definisi dan makna
Muhasabah berasal dari kata hasibah yang artinya menghisab atau
menghitung. Dalam penggunaan katanya, muhasabah diidentikan dengan menilai
diri sendiri atau mengevaluasi, atau introspeksi diri. Dari firman Allah di atas
tersirat suatu perintah untuk senantiasa melakukan muhasabah supaya hari esok
akan lebih baik.
1.2 Nash yang ada hubungannya
Al-Qur’an
Surat Al – Hasyr : 18
ي
َاييأيه ا اليذناَ امناو ي َ
ُيُق ََّللََُُي َميْهْرنَوُييَمْييقْيا ه
ُ ََّللََُ َييتاُييو
ه َۚإانَييإيخاينٌيب َ
يُقَهليمي َ
ُق
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat),
dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan”. [Q.S.Al-Hasyr (59):18]
Hadits
Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah saw., bahwa beliau berkata, "Orang
yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal
untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang
dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt. (HR.
Imam Turmudzi, ia berkata, "Hadits ini adalah hadits hasan")
Gambaran Umum Hadits
Hadits di atas menggambarkan urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani
kehidupan di dunia ini. Karena hidup di dunia merupakan rangkaian dari sebuah
planing dan misi besar seorang hamba, yaitu menggapai keridhaan Rab-nya. Dan
dalam menjalankan misi tersebut, seseorang tentunya harus memiliki visi (ghayah),
2. perencanaan (ahdaf), strategi (takhtith), pelaksanaan (tatbiq)
dan evaluasi (muhasabah). Hal terakhir merupakan pembahasan utama yang
dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas,
Rasulullah mengaitkan evaluasi dengan kesuksesan, sedangkan kegagalan dengan
mengikuti hawa nafsu dan banyak angan.
1.3 Hakikat
Muhasabah dalam pengertian bahasa adalah proses menghitung-hitung. Adapun
di dalam khazanah keislaman, muhasabah ini dimasukkan dalam usaha seorang
muslim dalam melakukan tazkiyyatun nafs atau penyucian jiwa, sebagaimana
isyarat pentingnya difirmankan Allah SWT:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan jiwanya dan dia ingat
nama Rabbnya, lalu dia shalat.” (QS. 87:14-15)
“… dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan,
sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. 91:7-10)
Muhasabah berarti memperhitungkan amal perbuatan diri; Apabila ia
mendapati dirinya melakukan perbuatan baik (‘amal shalih) dalam mentaati Allah
(tha’ah), maka ia akan bersyukur kepada Allah SWT. Sebaliknya apabila ia
mendapati perbuatan dosa dan melanggar aturan Allah (ma’shiyat), maka
ia akan menyesali perbuatan tersebut dengan memohon ampun kepada Allah
atas kesalahannya (beristigfar) dan kembali kepadaNya (bertaubat) serta
kemudian melakukan kompensasi kesalahan itu dengan memperbanyak
perbuatan baik.
Muhasabah ini dilakukan secara terus menerus dalam kehidupan seorang
muslim. Sebagian ulama mengajarkan muhasabah harian seiring dengan amal-
amal harian (amalan yaumiyyan) yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada
Allah seperti shalat malam (qiyamul lail), tilawah Quran, dzikir di
waktu pagi dan petang dll. Muhasabah ini semakin banyak dilakukan akan
semakin baik, sebagaimana dzikir yangbanyak itu diperintahkan Allah SWT.
3. 1.4 Tujuan
Tujuan dari muhasabah ini adalah jika Allah takdirkan kita meninggal malam
itu maka kita akan menghadap kehadirat-Nya dalam keadaan telah bertaubat. Akan
tetapi jika kita ditakdirkan bisa menghirup udara segar pada esok harinya, maka kita
akan mendapatkan manfaat yang antara lain, yaitu:
Kita akan selalu berusaha untuk menghindari kesalahan
Atau, apabila kita terjerumus kembali dalam kesalahan kemudian kita
bertaubat kembali, demikian seterusnya hingga kita akan merasa malu
terhadap Allah setelah berkali-kali bertaubat.
Jika dia melihat dirinya melakukan kekeliruan, hendaknyalah dia
menanggulanginya dengan cara meninggalkannya, melakukan taubat yang bersih,
dan berpaling dari semua hal yang menyebabkan dia melakukan kesalahan tersebut.
Jika setiap individu bisa memperbaiki diri, insya Allah akan tercipta keluarga,
masyarakat, institusi, negara yang baik pula.
Rasulullah SAW membagi manusia dalam 3 golongan:
1. Golongan beruntung, jika hari ini lebih baik dari hari kemarin.
2. Golongan merugi, jika hari ini sama dengan hari kemarin.
3. Golongan celaka, jika hari ini lebih buruk daripada hari kemarin.
1.5 Keutamaan
Dalam melakukan muhasabah, seorang muslim menilai dirinya, apakah dirinya
lebih banyak berbuat baik ataukah lebih banyak berbuat kesalahan dalam kehidupan
sehari-harinya. Dia mesti objektif melakukan penilaiannya dengan menggunakan
Al Qur’an dan Sunnah sebagai dasar penilaiannya bukan berdasarkan keinginan diri
sendiri. Oleh karena itu melakukan muhasabah atau introspeksi diri merupakan hal
yang sangat penting untuk menilai apakah amal perbuatannya sudah sesuai dengan
ketentuan Allah. Tanpa introspeksi, jiwa manusia tidak akan menjadi baik. Urgensi
lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan datang
menghadap Allah SWT. sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala
amal perbuatannya.
4. 1.6 Hubungan dengan ketentraman jiwa
Aspek tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), merupakan salah satu aspek yang harus
mendapatkan perhatian dari seorang insan muslim yang mendambakan hadirnya
ketentraman jiwa dalam dirinya, jiwa yang ridha kepada Allah dan Allah pun ridha
kepadanya, jiwa yang tentram (annafsul muthma'innah) tersebut akan
mengiringinya menghadap Allah SWT. Sehingga masuklah ia ke dalam hamba-
hamba Allah yang diridhai dan Allah menganugerahkan kepadanya surgaNya yang
luasnya seluas langit dan bumi.
2 MURAQABAH
2.1 Definisi dan makna
Secara literal, Muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Sedang
secara terminologis, berarti melestarikan pengamatan kepada Allah dengan hatinya.
Sehingga manusia mengamati pekerjaan dan hukum – hukum-Nya, dan dengan
penuh perasaan-Nya, Allah melihat dirinya dalam gerak dan diam-Nya1.
Muraqabah dalam tradisi sufi adalah kondisi kejiwaan yang dengan sepenuhnya
ada dalam keadaan konsentrasi dan waspada. Pengertian lebih jauh, Muraqabah
merupakan penyatuan antara Tuhan, alam dan dirinya sendiri sebagai manusia.
Atau dengan istilah lain, kesadaran akan kesatuan antara mikrokosmos,
makrokosmos, dan metakosmos2.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa, Muraqabah adalah kondisi rohani dan kejiwaan
seseorang, dimana ia senantiasa merasakan kehadiran Allah, serta menyadari
sepenuhnya bahwa Allah selalu mengawasi segenap perilaku hamba-Nya.
2.2 Nash yang ada hubungannya
Al-Qur’an
1 Media Zainul Bahri, “MENEMBUS TIRAI KESENDIRIAN-NYA”, Jakarta : Prenada, 2005, Hal :83.
2 Hasyim Muhammad, “DIALOG ANTARA TASAWUF DAN PSIKOLOGI”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002,
Hal : 47.
5. …. ُبيقريءييشيلكييلعيهللُيهُكي………
Allah menegaskan, “Dan Allah Maha Mengawasi segala sesuatu” (Al-Ahzab 33 ayat
52).
Hadits
Hadis yang dijadikan sandaran Muraqabah adalah hadis ‘Jibril” yng
menyebutkan jibril mendatangi rosululloh dan mengajarkan iman , islam dan
ikhsan,Jibril menjelaskan : ……..Ikhsan yaitu hendaknya engkau mengabdi kepada
Allah seolah-olah engkau melihatNya.(tetapi) jika engkau tidak melihatNYA,maka
sesungguhnya DIA melihatmu.(HR Muslim.al Tirmidzi,Abu dawud dam
Annasa’i).
2.3 Hakikat
Seseorang yang Muraqabah berarti menjaga diri untuk senantiasa melakukan
yang terbaik sesuai dengan kodrat dan eksistensinya. Oleh karenanya, seseorang
yang melakukan Muraqabah dibutuhkan disiplin yang tinggi. Kedisiplinan inilah
yang akan menghantar seseorang menuju keadaan yang lebih baik dan menuju
kebahagiaan yang hakiki dan lebih abadi3.
2.4 Tujuan
Tujuan akhir dari muraqabah adalah agar seorang menjadi mukmin yang
sesungguhnya, seorang hamba Allah yang Muhsin dapat menghambakan diri
kepadaNYA. Ibadah dengan penuh kesadaran seolah olah melihatNYA.dan
didalam tarekat naqsibandiyah qadariyah meyakini Muroqobah adalah asal semua
kebaikan, kebahagiaan, dan keberhasilan.
2.5 Keutamaan
Hakekat muraqabah adalah mengawasi pengawasan sang PENGAWAS dan
mengarahkan perhatian kepadanya ;orang yang waspada dari satu hal karena orang
lain dikatakan, bahwa ia mewaspadainya dan menjaga pihaknya.
3 Hasyim Muhammad, “DIALOG ANTARA TASAWUF DAN PSIKOLOGI”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002,
Hal : 48.
6. 2.6 Pendapat para ahli sufi
Al-Qusyairi, berpendapat bahwa Muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada
Allah, dan mawas diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah
senantiasa melihat dirinya. Sang hamba, akan sampai kepada Muraqabah setelah
sepenuhnya melakukan perhitungan dengan dirinya sendiri mengenai apa yang
telah terjadi di masa lampau, memperbaiki keadaannya di masa kini, tetap teguh di
jalan yang benar.
Jalaluddin Rumi menganggap Muraqabah sebagai tirai pelindung dari emosi,
pikiran, nafsu dan perbuatan jahat, dan memandangnya sebagai jalan teraman untuk
diperhatikan Allah.
2.7 Pelaksanaanya
Al-Sarraj (ahli Muraqabah), membagi muraqabah atas tiga tingkatan4, yaiitu :
1. Tingkatan Ibtida > sang hamba hendaknya senantiasa menjaga rahasia – rahasia
hati karena Allah selalu mengawasi setiap apa – apa yang tersirat dalam bathin.
2. Tingkatan ibn ‘Atha > sang hamba memiliki kesadaran penuh bahwa sebaik-
baik pengawasan adalah pengawasan Allah, tidak sedikitpun terbesit adanya
pengawasan yang lain, dan bagi hamba hendaknya ia lebur bersama-Nya.
3. Tingkatan Hal al – kubara > sang hamba senantiasa mengawasi Allah dan
meminta kepada-Nya untuk menjaga mereka dalam muraqabah, dan Allah
sendiri sudah menjamin secara khusus hamba-hamba-Nya yang mulia untuk
tidak mempercayakan mereka dan segala kondisi mereka kepada seseorang
selain diri-Nya, dan hanya Allah saja yang melindungi mereka.
2.8 Cara sufi mengaplikasikannya
Sang hamba yang aktif mengawasi Allah, dalam arti mengingat dan melihat-
Nya dengan mata bathin yang bersih dan terang. Untuk bisa melihat Allah secara
rohani, maka diperlukan orang – orang yang sudah pada hal al-kubara. Artinya,
adanya kesadaran rohani setiap hamba bahwa Allah senantiasa mengawasi diri dan
4 Media Zainul Bahri, Opict, Hal : 85.
7. gerak – gerik sang hamba hingga kepada siritan – siritan bathinnya yang paling
dalam, hanya bisa dicapai dengan qurb, yakni keadaan rohani kedekatan sang
hamba dengan Allah5.
3 URGENSI MURAQABAH DAN MUHASABAH (WASPADA DAN MAWAS DIRI)
Waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat .Oleh
karena itu , ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada (Muhasabah)
dapat diartikan meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan, dan
rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk
kepada Allah. Adapun mawas diri (Muraqabah) adalah meneliti dengan cermat
apakah segala perbuatan sehari – hari telah sesuai atau malah menyimpang dari
kehendak-Nya.
Bila setiap muslim senantiasa memuraqabahi dirinya dan menghadirkan
muraqabatullah dalam dirinya maka ia akan takut maksiyat dan bila setiap muslim
gemar memuhasabahi dirinya karena takut perhitungan hari akhirat, maka: akan
terwujud masyarakat yang aman karena semua memiliki WasKat.
Seseorang yang senantiasa memperhitungkan tindak tanduknya dengan perspektif
ukhrawi maka akan terhindar dari penyakit wahn, keserakahan, kedzaliman,
penindasan dan kemungkaran. Serta akan berusaha menanam kebajikan sebanyak
mungkin. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah mengibaratkan bahwa “dunia sebagai ladang
tempat menanam, bibitnya adalah keimanan dan ketaatan adalah air dan
pupuknya, dan Akhirat tempat memetik hasilnya.”
‘Baldatun thayyibatun warabbun ghafur’ bukan hanya slogan. Bila muslimnya
mampu menjadi “ustadziatul ‘alam” dan khalifatullah fil Ardhi maka dunia akan
terbebas dari bencana, kerusakan & kemurkaan Allah. Lihat (QS. [2]; 10-11, dan
Qs. [30]:41).
3.1 Tahapan Muhasabah dan Muraqabah
Adapun 6 langkah untuk Muhasabah dan Muraqabah, yaitu;
1. Mu’ahadah adalah Mengingat dan mengokohkan kembali kembali
perjanjian kita dengan Allah SWT dialam ruh. Firman Allah SWT: “Dan
ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak
cucu Adam keturunanmerekadan Allah mengambil kesaksianterhadap roh
mereka (seraya berfirman), ‘bukankan Aku ini Tuhanmu?’ mereka
menjawab,‘betul Engkau Tuhan kami, kamibersaksi.’ (Kami lakukanyang
5 Media Zainul Bahri, Opict, Hal : 86
8. demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakn: ‘sesungguhnya
kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini( keesaan
Tuhan)’ “. (QS.[7];172)
2. Muraqabah adalah upaya menghadirkan kesadaran adanya pengawasan
Allah SWT. Bermu’ahadahbermuraqabah sadar ada yang memuraqabahi
diri kita apakah melanggar janji dan kesaksian atau tidak.
3. Muhasabah adalah usaha untuk menilai, menghitung, mengkalkulasi amal
shaleh yang kita lakukan dan kesalahan-kesalahan yang kita kerjakan.
4. Mu’aqabah adalah menghukum/menjatuhi sanksi atas diri sendiri,
sebagaiman perkataan Umar r.a yang sangat terkenal : “Hisablah dirimu
sebelum kelak engkau dihisab”
5. Mujahadah adalah bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada
Allah, menjauhi larangannya dan melaksanakan perintahnya.
6. Mutaba’ah adalah memonitoring, mengontrol, dan mengevaluasi sejauh
mana tahapan-tahapan itu berjalan dengan baik.
3.1 Hasil Muraqabah dan Muhasabah
1. Seseorang yang sering memuraqabah dan bermuhasabah dirinya akan
mengetahui aib, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan dirinya
sehingga akan berusaha untuk meminimalisir/menghilangkannya.
2. Istiqamah diatas syariat Allah, yaitu sadar akan konsekwensi keimanan dan
pertanggung jawaban di akhirat kelak maka cobaan apapun tidak
membuatnya berpaling.
3. Insya Allah akan aman dari berat dan sulitnya penghisaban di hari kiamat
nanti, Firman Allah SWT (QS. [3]; 30): “(Ingatlah) p[ada hari (ketika)
setiapa jiwa endapatkan (balasan) atas kebajikan yang telah dikerjakan
dihadapkan kepadanya, (begitu juga balasan) atas kejahatan yang telah dia
kerjakan. Dia berharap sekiranya ada jarak yang jauh antara dia dengan
(hari) itu. Ddan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya. Allah
Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya “.
Dengan demikian, kini saatnya kita berupaya untuk selalu menghadirkan
muraqabah terhadap diri sendiri dan mengevaluasi diri dengan bermuhasabah
apakah yang kita kerjakan sudah sesuai dengan ketentuan yang digariskan Allah
SWT atau masih banyak mengikuti hawa nafsu untuk memuaskan keinginan dunia
saja. Dengan orientasi bahwa ke depan harus lebih baik dan selalu istiqomah
9. mengikuti apa yang telah diajarkan Rosulullah SAW. Dengan muhasabah diri
negeri ini bisa mendapat pertolongan Allah SWT. Karena orang yang banyak
melakukan muhasabah berarti orang yang menyadari betapa kelemahan dan
kesalahan diri selalu melekat.
4. TOBAT
4.1 Pengertian
Taubat berasal dari kata “taba” yang berarti kembali, sedangkan menurut istilah
taubat artinya kembali mendekatkan diri kepada allah setelah menjauh
darinya. Adalah sebuah keinginan, kegandrungan, kebutuhan akan Allah SWT.
Maupun segala yang dapat membuat kita lebih mengenalnya Oleh karena itu, landasan
bertaubat adalah mencari Allah Singkatnya bahwa bertaubat adalah kembalinya
seorang hambaa dari kemaksiatan menuju ketaatan kepada Allah SWT., dengan
menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dibenci-Nya.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata bertaubat dan
beristigfar. Untuk mengetahui pengertian bertaubat, maka perhatikan firman Allah
SWT.
Yang Artinya : “karena itu mohonlah ampun kepada-Nya, kemudian
bertaubatlah, sesungguhnya Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan
memperkenankan (doa Hamba-Nya).”( QS.Hud/11 : 2)
Bertaubat sesungguhnya merupakan panggilan Allah SWT. Allah yang
menumbuhkan keinginan bertaubat didalam hati manusia. Allah memerintahkan
manusia untuk bertaubat didalam al-qur’an sebanyak 87 kali. Allah juga
memerintahkan nabi Muhammad SAW. Untuk bertaubat.
Bertaubat sangat penting bagi manusia karena kalau tidak bertaubat berarti
mereka sudah menzalimi dirinya sendiri. Selain itu bertaubat juga merupakan ibadah
yang utama dan yang disukai Allah SWT. Perhatikan firman Allah berikut ini :
َّتال ُّب ُِحي َ َّاَّلل َّنِإ
َين ِِّرِهَطَتُمْلا ُّب ُِحيَو َينِبا َّو
Artinya : “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri.” (QS.Al-baqarah/2:222).
10. 4.2 Syarat-syarat Taubat
Banyak manusia yang tidak tahu akan hakikat taubat, syarat, dan adab-adabnya. Oleh
karena itu,banyak yang bertaubat hanya dengan lisan saja, sedangkan hati mereka kosong,
sehingga mereka tidak berhenti melakukan maksiat. Artinya bahwa tidak semua taubat
dapat diterima, tentu terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar taubat
diterima oleh Allah.
Supaya taubat kita diterima oleh Allah SWT., maka ada beberapa hal yang harus
dilakukan, diantaranya adalah :
Meninggalkan dosa tersebut.
Ibnu Qayyim berkata: “Tobat mustahil terjadi, sementara dosa tetap
dilakukan.”
Menyesali perbuatan tersebut.
Rasulullah SAW. Bersabda : “menyesal adalah taubat.”
Berjanji.
(berazzam) untuk tidak mengulangi lagi. Ibnu mas’ud berkata bahwa taubat
yang benar adalah taubat dari kesalahan yang tidak akan diulangi kembali,
bagaikan air susu yang tidak mungkin kembali kekantong susunya lagi.
Mengembalikan kezaliman kepada pemiliknya, atau meminta untuk dihalalkan.
Imam Nawawi berkata bahwa diantara syarat taubat adalah mengembalikan
kedzaliman atau meminta untuk dihalalkan
Ikhlas.
Ibnu hajar berkata, “Tobat tidak akan sah kecuali dengan ikhlas
Tobat dilaksanakan pada waktu masih hidup ( sebelum sakaraul maut )
Hal ini disandarkan pada firman Allah SWT., yang artinya : ”Dan tobat itu
tidaklah diterima Allah dari merekayang melakukan kejahatan hingga ajal
kepada seorang diantara mereka, barulah dia mengataka, “saya benar-benar
bertaubat sekarang.”
4.3 Faidah Bertaubat
Dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang ditemukan bahwa untukmelakukan
tobat agak sulit. Oleh karena itu, untuk menggerakkan hati kita agar setiap saat bergerak
untuk bertaubat, ada beberapa hal yang dapat dilakukan, diantaranya adalah :
Mengetahui hakikat taubat
11. Merasakan akibat dosa yang dilakukan
Menghindar dari lingkungan yang kurang baik
Membaca dan mengkaji al-qur’an dan hadits, terutama yang berkaitan dengan
dosa.
Berdoa
Mengetahui keagungan Allah yang maha pencipta
Mengingat kematian yang tidak diketahui kapan, dimana, dan datangnya tiba-
tiba
Membaca sejarah atau kisah-kisah orang yang bertaubat.
Setelah kita mengetahui syarat dan hal-hal yang dapat menggerakkan hati untuk
bertaubat, maka kita dapat mengetahui manfaat taubat diantarnya adalah :
Tobat itu jalan menuju keberuntungan
Malaikat mendoakan orang-orang yang bertaubat
Mendapat kemudahan hidup daan rezeki yang luas
Menghapus kesalahan dan pengampunan dosa
Hati menjadi bersih dan bersinar
Dicintai Allah SWT.
4.4 Ada beberapa kriteria orang yang bertaubat.
Orang yang bertaubat sesudah melakukan kesalahan. Orang ini diampuni dosanya.
Artinya :“Selain orang-orang yang tobat sesudah berbuat kesalahan dan mengadakan
perbaikan, sesungguhnya Allah maha pengampun dan maha penyayang.” (QS Ali Imran :
89).
Tobat seseorang ketika hampir mati atau sekarat. Tobat semacam ini sudah tidak
dapat diterima lihat Al-qur,an on line di gogle
Artinya : “Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan
kejahatan(yang) hingga apabila datang ajal dan setelah kepadaseorang diantara mereka,
(barulah) ia mengatakan: Sesungguhnya saya bertobat sekarang. Dan tidak pula (diterima
tobat) orang-orang yang mati sedang mereka dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah
kami sediakan siksaan yang pedih.” (QS An Nisa : 18).
12. Tobat nasuha atau tobat yang sebenar-benarnya. Tobat nasuha adalah tobat yang
dilakukan dengan sungguh-sungguh atau semurni-murninya. Tobat semacam inilah yang
dinilai paling tinggi (lihat Al Qur’an aurah At Tahrim :
Tobat nasuha dapat dilakukan degan prose sebagai berikut.
Segera mohon ampun dan meminta tolong hanya kepada Allah (QS An Nahl : 53)
Meminta perlindungan dari perbuatan setan atau iblisdan ari kejahatan makhluk
lainnya. (QS An Nas : 1-6, Al Falaq : 1-5, dan An Nahl : 98)
Bersegera berbuat baik atau mengadakan perbaikan, dengan sungguh-sungguh, sesuai
keadaan, tidak melampaui batas, dan hasilnya tidak boleh diminta segera (QS Al A’raf
: 35, Hud : 112, Al Isra’ : 17-19, Al Anbiya : 90&37, Az Zumar : 39) serta sadar karena
tidak semua keinginan dapat dicapai. (QS An Najm : 24-25)
Menggunakan akal dengan sebaik-baiknya agar tak dimurkai Allah (QS Yunus : 100)
dan menggunakan pengetahuan tanpa mengikuti nafsu yang buruk (QS Hud : 46 dan
Ar Rum : 29) serta selalu membaca ayat-ayat alam semesta Al Qur’an (QS Ali Imran :
190-191), mendengarkan perkataan lalu memilih yang terbaik (QS Az Zumar : 18), dan
bertanya kepada yang berpengetahuan jika tidak tahu (QS An Nahl : 43)
Bersabar (QS Al Baqarah :155-157) karena kalau tidak sabar orang beriman dan
bertakwa tidak akan mendapat pahala (QS Al Qasas : 30)
Melakukan salat untuk mencegah perbuatan keji dan munkar (QS Al Ankabut : 45) dan
bertebaran di muka bumi setelah selesai salat untuk mencari karunia Allah dengan
selalu mengingatnya agar beruntung (QS Al Jumuah : 9-10)
Terus menerus berbuat baik agar terus menerus diberi hikmah (QS Yusuf : 22, Al Qasas
: 4, Al Furqan : 69-71, At Taubah : 11 dan Al mukmin : 7)
Untuk bisa dinyatakan sebagai tobat nasuha, seseorang harus memenuhi tiga syarat sebagai
berikut. ;
Harus menghentikan perbuatan dosanya
Harus menyesalai perbuatannya
Niat bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa itu lagi. Dan
mengganti dengan perbuatan yang baik, dan apabila ada hubungan dengan hak-hak
orang lain, maka ia harus meminta maaf dan mengembalikan hak pada orang tersebut.
13. DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al – Qur’an dan Tafsirnya.
Bahri Media Zainul, “MENEMBUS TIRAI KESENDIRIAN-NYA”, Jakarta : Prenada,
2005.
Muhammad Hasyim, “DIALOG ANTARA TASAWUF DAN PSIKOLOGI”, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2002.
Fathullah Gulen, KUNCI – KUNCI RAHASIA SUFI, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2001