1. BAB 10
ARBITRAGE PRICING THEORY, MODEL
EMPIRIS, DAN PENGUJIAN EMPIRIS MODEL
KESEIMBANGAN
Model APT berusaha menjelaskan hubungan antara risiko
dengan tingkat keuntungan. APT berbeda dengan CAPM
dalam dua hal. Pertama, proses keseimbangan yang
dibayangkan oleh APT adalah mekanisme arbitrase.
Arbitrase dilakukan sampai harga yang terjadi sama
untuk semua aset yang mempunyai risiko yang sama,
mengikuti hukum the law of one price. Dalam CAPM,
investor berusaha memaksimumkan kepuasannya (utility
function). Kedua, jika CAPM sampai pada kesimpulan
bahwa faktor pasar mempegaruhi tingkat keuntungan
yang diharapkan, APT sampai pada kesimpulan bahwa
ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat
keuntungan yang diharapkan untuk suatu aset.
2. 1.
Arbitrage Pricing Theory (APT)
1.1. Proses Arbitrase
Kegiatan arbitrase adalah kegiatan yang berusaha
memperoleh keuntungan arbitrase. Keuntungan arbitrase
adalah keuntungan yang diperoleh dengan modal nol dan
risiko nol. Proses arbitrase akan mendorong berlakunya
hukum satu harga (the law of one price). Hukum tersebut
pada dasarnya mengatakan bahwa aset dengan
karakteristik yang sama akan terjual dengan harga yang
sama dimanapun di dunia ini.
Misalkan Rf = 10%, tingkat keuntungan M = 20%, beta M
= 1, beta Y = 0,5, dan tingkat keuntungan Y = 12%.
Untuk melihat apakah ada kesempatan arbitrase atau
tidak, kita melakukan langkah berikut ini.
3. 1. Membentuk portofolio M dengan Rf (dengan nama X),
dengan komposisi sedemikian rupa sehingga beta
portofolio X tersebut sama dengan beta Y, yaitu 0,5.
Beta portofolio merupakan rata-rata tertimbang beta
individualnya sebagai berikut ini.
βP = ∑ wi βI
dimana
βP
= beta portofolio
∑
wi
= simbol penjumlahan
= bobot atau proporsi untuk aset i
βi
= beta aset i
4. Karena βM = 1, dan βRF = 0, maka proporsi masing-masing
adalah 50%. Dengan demikian beta portofolio X akan
sama dengan 0,5.
βX = (0,5 × 0) + (0,5 × 1) = 0,5
Kemudian kita menghitung tingkat keuntungan sebagai
berikut.
E(RX) = (0,5 × 20%) + (0,5 × 10) = 15%
Kita bisa membandingkan tingkat keuntungan dan beta
portofolio X dengan Y sebagai berikut ini.
E(RX)
= 15%
βX
= 0,5
E(RY)
= 12%
βY
= 0,5
Dari perbandingan tersebut terlihat bahwa meskipun risiko
sistematis keduanya sama, yaitu 0,5, tetapi tingkat
keuntungannya berbeda. Berarti ada kesempatan
5. 2. Arbitrase bisa dilakukan dengan jalan men-short sales
aset Y, kemudian kas masuk dipakai untuk membeli
portofolio X, yang berarti membeli 50% pada portofolio
M dan 50% pada aset bebas risiko.
Keuntungan dan risiko kegiatan tersebut adalah (X minus
Y):
Keuntungan
= 15% - 12%
= 2%
Tambahan risiko = 0,5 - 0,5
= 0
Tambahan modal = 0
karena kas masuk (modal)
diperoleh dari short sales Y (pinjam aset Y, kemudian
dijual, dikembalikan periode berikutnya).
3. Proses semacam itu akan menurunkan harga Y dan
menaikkan harga X. Kemudian tingkat keuntungan Y
akan naik, tingkat keuntungan X akan turun. Setelah
tingkat keuntungan Y dan X sama, maka tidak ada lagi
kesempatan arbitrase.
6. 1.2. Model Arbitrage Pricing Theory
Proses penghasilan return (return generating process)
menurut APT bisa dirumuskan sebagai berikut ini.
Ri = E(Ri) + β1 (RF1 - E(RF1)) + ……… + βN (RFN ei
……… (1)
dimana
Ri
E(RFN)
) +
= tingkat keuntungan (return) aset i
yang terjadi
E(Ri) = tingkat keuntungan aset i yang
diharapkan
β1 … βN = risiko sistematis aset terhadap faktor 1
... faktor N
RF1 ... RFN
= tingkat keuntungan dari faktor 1 ...
7. Faktor tersebut bisa berupa faktor pasar (RM, seperti dalam
CAPM) atau faktor lainnya, seperti faktor ekonomi
(pertumbuhan GNP, inflasi, dan sejenisnya). Persamaan
di atas mengatakan bahwa return suatu aset sama dengan
(1) return yang diharapkan, (2) perubahan faktor yang
tidak diharapkan (RF - E(RF), (3) sensitifias aset i
terhadap perubahan faktor pada (2), dan (3) random term
yang mencerminkan faktor spesifik perusahaan/industri.
Dalam APT, hanya perubahan yang tidak terduga yang
dikompensasi oleh return, seperti terlihat berikut ini.
Return bisa dipecah ke dalam return yang diharapkan
dan return yang tidak diharapkan:
R = E(R) + Unexpected (Tidak Terduga) ……… (2)
8. Return yang tidak terduga bisa dipecah ke dalam dua tipe:
(1) Return yang tidak diharapkan yang berasal dari
kejutan (surprises) faktor-faktor tertentu. Kejutan
tersebut bersifat sistematis (tidak bisa dihilangkan
melalui diversifikasi), dan (2) Return yang tidak
diharapkan yang berasal dari kejutan (surprises) dari
perusahaan spesifik. Kejutan tersebut bersifat tidak
sistematis (bisa dihilangkan melalui diversifikasi).
Misalkan ada tiga faktor yang terlibat: (1) Inflasi, (2)
Pertumbuhan GNP, dan (3) Perubahan Tingkat Bunga.
Model di atas bisa dipecah ke dalam model berikut ini.
Ri = E(Ri) + βi - inflasi Finflasi + βi - GNP FGNP + βi - tkt-bunga Ftkt - bunga + εi
……… (3)
9. Misalkan seorang investor memegang banyak (N) saham
dalam portofolionya. Sumber return dari portofolionya
bisa dilihat sebagai berikut ini.
RP = E(RP) + βP - inflasi Finflasi + βP - GNP FGNP + βP - tkt
+ εP
……… (4)
E(RP)
= X1 E(R1) + ……… + XN E(RN)
βP-Faktor = X1 β1 - Faktor F1 + ……… + X1 βN - Faktor FN
εP
= X1 ε1 + ……… + XN εN
bunga
Ftkt bunga
10. Karena ε1…εN bersifat tidak sistematis, maka εP diharapkan
mempunyai nilai 0. Dengan demikian tingkat
keuntungan portofolio bisa ditulis sebagai berikut ini.
RP = E(RP) + βP - inflasi Finflasi + βP - GNP FGNP + βP
……… (5)
– tkt bunga
Ftkt bunga
Perhatikan hanya risiko sistematis terhadap faktor-faktor
yang dikompensasi oleh kenaikan return.
11. Dengan melakukan beberapa manipulasi matematis, model
APT yang ekuivalen dengan SML dalam CAPM bisa
dirumuskan sebagai berikut ini.’
E(Ri) = Rf + βi1 (RF1 − Rf) + ……… + βiN (RFN −
Rf)
……… (6)
dimana
E(Ri)
= Tingkat keuntungan yang
diharapkan untuk aset i
Rf
= Teturn aset bebas risiko
RF1 .. RFN = Untuk risiko faktor 1,2,3, dan N
βi1 .. βiN = Risiko sistematis untuk faktor 1,
2, 3, dan N
12. Perhatikan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi
tingkat keuntungan. Jika hanya satu faktor dalam model
tersebut, dan faktor tersebut adalah return pasar, maka
APT akan sama dengan CAPM. Sayangnya APT tidak
menjelaskan berapa faktor yang relevan dalam model
tersebut. Kelebihan APT dibandingkan dengan CAPM
adalah (1) APT tidak memerlukan portofolio pasar dalam
perhitungan tingkat keuntungan suatu aset. Secara
teoritis, portofolio pasar yang digambarkan oleh CAPM
adalah portofolio yang mencakup semua.
13. 1.3. Perbandingan CAPM dengan APT
CAPM dan APT merupakan dua model yang berusaha
menjelaskan return atau tingkat keuntungan. Keduanya
‘bersaing’ menjadi model terbaik yang bisa menjelaskan
return. CAPM lebih tua, dan saat ini diaplikasikan lebih
banyak. CAPM juga banyak mempengaruhi model
akademis. Tetapi meskipun nampaknya CAPM lebih
mapan, perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa
validitas CAPM diragukan. Pengujian empiris terbaru
dan juga kritik lainnya mempertanyakan validitas
CAPM. Validitas CAPM dengan demikian masih
merupakan kontroversi. Model APT masih relatif baru.
Pengujian empiris dan pengembangannya masih dalam
tahap awal. Karena itu APT belum bisa menggantikan
posisi CAPM.
14. 2.
2.1.
Pengujian Model Keseimbangan
Data Historis dan Model Berdasarkan Ekspektasi
(Pengharapan) dalam CAPM
Salah satu masalah dalam pengujian CAPM adalah CAPM
ditulis dalam bentuk ekspektasi (pengaharapan).
Pengujian empiris dengan demikian harus melihat proksi
untuk variabel pengaharapan tersebut. Tentu saja hal
tersebut merupakan masalah yang sangat sulit karena
pengharapan sangat sulit diobservasi. Untuk mengatasi
masalah tersebut, data historis sering digunakan sebagai
proksi pengharapan di masa mendatang. Asumsi yang
digunakan adalah pola data historis adalah stabil, dan
secara umum (rata-rata) dalam jangka panjang,
pengharapan investor akan terbukti benar. Dua argumen
tersebut mendasari dipakainya data historis sebagai
pengukur harapan (ekspektasi) di masa mendatang.
15. Argumen lain menggunakan pendekatan sebagai berikut
ini. Menurut model pasar, return suatu saham
dipengaruhi oleh return pasar sebagai berikut ini.
R~it = αi + βi (R~Mt) + e~it
Dimana tanda ~ berarti variabel tersebut bersifat random.
Return yang diharapkan bisa dituliskan sebagai berikut.
E(Ri) = αi + βi E(RM) atau E(Ri) - αi - βi E(RM) = 0
16. Dengan menambahkan term tersebut (yang nilainya 0,
sehingga penambahan term tersebut tidak akan
berpengaruh),
dan
kemudian
kita
melakukan
penyederhanaan, maka akan diperoleh:
R~it = E(Ri) + βi (R~Mt - E(RM) ) + e~it
Model CAPM sederhana bisa dituliskan sebagai berikut.
E(Ri) = RF + βi [ E(RM) - RF ]
17. Persamaan di atas dimasukkan kembali ke persamaan
sebelumnya, kemudian dilakukan penyederhanaan,
maka kita akan memperoleh
R~it = RF + βi (R~Mt - RF) + e~it ……… (7)
Model tersebut menunjukkan bahwa data historis
nampaknya bisa digunakan untuk menguji CAPM.
Tetapi ada tiga asumsi yang mendasari model tersebut:
1. Model pasar berlaku untuk setiap periode
2. Model CAPM berlaku untuk setiap periode
3. Beta stabil selama waktu pengamatan.
Pengujian dengan model diatas, merupakan pengujian
secara simultan ketiga hipotesis tersebut.
18. 2.2. Pengujian Empiris CAPM
Baik tidaknya suatu model bisa dilihat pada
kemampuannya menjelaskan fenomena. Meskipun
CAPM dibangun atas dasar asumsi yang tidak realistis,
tetapi baik tidaknya CAPM akan ditentukan oleh
kemampuannya menjelaskan fenomena.
Beberapa implikasi dari CAPM bisa ditarik, yaitu:
(1)Semakin besar risiko sitematis pasar (bi) akan semakin
tinggi tingkat keuntungan aset tersebut
(2)Hubungan antara risiko sistematis dengan tingkat
keuntungan (return) bersifat linear
(3)Hanya risiko sistematis yang dikompensasi oleh
kenaikan tingkat keuntungan (return). Risiko atau faktor
lainnya tidak ada hubungannya dengan return.
19. 2.2.1. Pengujian oleh Black, Jensen, dan Scholes (1972)
Black, Jensen, dan Scholes (1972) menguji CAPM cukup
mendalam. Mereka melakukan pengujian CAPM melalui
pengujian time-series dan cross-sectional. Pertama,
mereka menguji model time-series CAPM
Rit – RFt = αi + βi (RMt - RFt) + eit
Jika CAPM menjelaskan return, maka kita bisa
mengharapkan nilai αi = 0. Kita bisa menggunakan
saham (sampel) yang banyak, dan kemudian untuk setiap
sampel, dijalankan regresi seperti di atas. Kemudian
distribusi alpha (αi ) atau intercept bisa dilihat dan diuji,
apakah sama dengan nol atau tidak.
20. Pengujian bisa dilakukan dengan, misal uji t-test untuk
melihat apakah rata-rata intercept sama dengan nol.
Yang menjadi masalah, pengujian semacam itu
mengasumsikan kovarians residual antar saham sama
dengan nol (eit, ejt = 0). Pada kenyataannya, kovarians
residual tersebut tidak sama dengan nol, dengan kata lain
residual saham tersebut tidak independen satu sama lain.
Dengan demikian pengujian sederhana dengan
mengamati distribusi αi tidak bisa dilakukan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pengujian time-series
portofolio bisa digunakan. Untuk setiap periode, kita
membentuk portofolio yang kemudian dihitung return
atas portofolio tersebut, sebagai berikut ini.
RPt – RFt = αP + βP (RMt - RFt) + ePt
21. Pada waktu Black, Jensen, dan Scholes (1972) membentuk
portofolio, mereka ingin memaksimumkan variasi beta
sehingga efek beta terhadap return bisa dilihat. Cara
yang paling mudah adalah membentuk portofolio
berdasarkan beta yang sesungguhnya. Masalah statistik
adalah kita tidak bisa menghitung beta sesungguhnya.
Dengan demikian akan mempunyai potensi bias.
Jika kita meranking beta berdasarkan beta observasi, ada
potensi bias seleksi (selection bias). Saham dengan
observed beta yang tinggi mempunyai kemungkinan
yang lebih tinggi untuk menghasilkan kesalahan
pengukuran yang positif (bias yang positif), yang
kemudian
mengakibatkan
interceptnya
(dalam
persamaan di atas) menjadi bias negatif (terlalu rendah
dari yang seharusnya). Hal yang sebaliknya akan terjadi
dengan saham dengan observed beta yang rendah.
22. Untuk mengatasi masalah tersebut, digunakan variabel
instrumen. Variabel tersebut idealnya variabel yang
mempunyai korelasi yang tinggi dengan true-beta (beta
sesungguhnya) tetapi bisa diobservasi secara
independen. Mereka menggunakan observed-beta pada
periode sebelumnya sebagai variabel instrumental.
Kemudian mereka menjalankan regresi model CAPM:
RPt – RFt = αP + βP (RMt - RFt) + ePt
Mereka kemudian membandingkan CAPM standar dengan
CAPM versi beta nol (zero beta version).
23. Menurut CAPM versi beta nol, return bisa dituliskan
sebagai berikut ini.
Rit = E(RZ) (1 - βi) + βi RMt + eit
Dimana E(RZ) adalah return portofolio dengan beta sama
dengan nol. Sedangkan model yang diuji adalah:
Rit = αi + RF (1 - βi) + βi RMt + eit
24. Jika versi beta sama dengan nol berlaku, maka kedua
persamaan di atas jika digabungkan, dan dihitung
interceptnya, akan diperoleh
αi = (E(RZ) - RF) (1 - βi)
E(RZ) lebih besar dibandingkan dengan RF, karena itu (E(RZ)
- RF) akan bernilai positif. (1 - β) akan bernilai negatif
jika β > 1, dan bernilai positif jika β < 1. Dengan
demikian, untuk beta yang tinggi, intercept akan bernilai
negatif, dan sebaliknya, untuk beta yang rendah,
intercept akan bernilai positif.
25. tahap berikutnya adalah pengujian cross-sectional
hubungan antara risiko dengan return. Estimasi beta
yang bebas dari bias (dari first-pass regression) penting
dilakukan karena estimasi yang salah bisa
mengakibatkan pengujian second pass regression
menjadi tidak benar, karena mengakibatkan bias dalam
slope, intercept, dan mengakibatkan residual (risiko tidak
sistematis) menjadi proksi untuk risiko sistematis (dan
mempunyai pengaruh terhadap return, meskipun pada
kenyataannya tidak ada pengaruh). Penggunaan
portofolio merupakan salah satu cara untuk
menghilangkan masalah tersebut, karena dalam
portofolio, estimasi yang terlalu tinggi akan
dikompensasi dengan estimasi yang terlalu rendah, yang
mengakibatkan efek keseluruhan (error secara
keseluruhan) menjadi nol.
26. 2.2.2. Pengujian oleh Fama dan MacBeth (1973)
Fama dan MacBeth (1973) melakukan pengujian CAPM
dengan menggunakan spesifikasi berikut ini.
Rit = γ0t + γ1t βi + γ2t βi2 + γ3t Sei + ηit ……… (8)
Spesifikasi tersebut ditujukan untuk menguji hipotesishipotesis berikut ini.
1. Hipotesis 1: Menurut CAPM, ada hubungan antara
risiko sistematis dengan return. Jika
hal tersebut
berlaku, kita bisa mengharapkan nilai koefisien regresi γ1t
adalah positif
27. 2. Hipotesis 2: Menurut CAPM, hubungan antara risiko
sistematis dengan return bersifat linear. Jika hipotesis
tersebut didukung oleh data empiris, maka koefisien
regresi γ2t mempunyai nol. βi2 (beta dikuadratkan)
dimaksudkan untuk melihat non-linearitas hubungan
antara risiko sistematis dengan return
3. Hipotesis 3: Menurut CAPM, hanya risiko sistematis
yang dihargai oleh pasar. Risiko tidak sistematis tidak
dihargai oleh pasar. Sei dipakai sebagai proksi untuk
risiko tidak sistematis (residual). Jika CAPM didukung
oleh bukti empiris, maka koefisien regresi γ3t mempunyai
nilai 0.
28. Mereka melangkah lebih lanjut untuk melihat apakah pasar
berada dalam kondisi keseimbangan (fair game). Jika
kondisi tersebut berlaku, maka investor tidak bisa
menggunakan informasi saat ini untuk memperoleh
excess return.[1] Secara spesifik, pengujian hipotesis
tersebut bisa dilakukan dengan melihat korelasi antara
parameter γ2t , γ3t pada periode t dengan parameter tersebut
pada periode t + 1. Jika korelasi tersebut kecil, kita bisa
mengambil kesimpulan bahwa informasi saat ini tidak
bisa dipakai untuk memprediksi kondisi mendatang, dan
dengan demikian tidak bisa dipakai untuk memperoleh
excess return.
[1] Lebih spesifik lagi, investor tidak bisa menggunakan informasi
penyimpangan dari kondisi keseimbangan untuk memprediksi
return masa mendatang dan untuk memperoleh keuntungan
abnormal (excess return).
29. Fama dan MacBeth (1973) menghitung beta first-pass
regression dengan metode yang sama dilakukan oleh
Black, Jensen, dan Scholes (1972). Mereka membentuk
20 portofolio menggunakan data bulanan 5 tahun
sebelumnya (sebelum pengujian cross-sectional).
Kemudian, menguji second-pass regression dengan
menggunakan data bulan berikutnya (sesudah lima tahun
first-pass regression). Kemudian mereka mengulangi
prosedur yang sama, sehingga pengujian cross-sectional
dilakukan tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali dari
periode tahun 1935 sampai dengan tahun 1968. Dengan
cara semacam ini, mereka bisa melihat bagaimana
parameter-parameter tersebut berubah dari waktu ke
waktu. Nilai rata-rata untuk setiap parameter (γ0t , γ1t , γ2t ,
γ3t ) kemudian dihitung dan kemudian diuji
signifikansinya, apakah berbeda dari nol atau tidak.
30. Hasil pengujian menunjukkan, secara umum koefisien
regresi γ1t menunjukkan rata-rata angka yang positif dan
signifikan berbeda dari nol. Sedangkan regresi γ2t dan γ3t
menunjukkan rata-rata angka yang kecil dan tidak
berbeda dari nol. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
CAPM didukung oleh data empiris.
2.2. Kritik terhadap CAPM
Bukti-bukti empris yang disajikan di muka nampaknya
mendukung CAPM. Tetapi perkembangan selanjutnya
mempertanyakan validitas CAPM baik secara teoritis
konseptual maupun secara empiris.
31. 2.2.1. Anomali yang Berkaitan dengan Risiko dan
Return
Pengujian empiris tahap-tahap awal sepertinya memberikan
dukungan empiris terhadap CAPM. Pada tahap
selanjutnya, penemuan empiris menunjukkan bahwa ada
‘sesuatu yang kurang’ dalam CAPM. CAPM
mengatakan bahwa hanya variabel beta (risiko
sistematis) yang mempengaruhi return. Penemuan
selanjutnya menunjukkan bahwa beberapa variabel lain
ternyata mempengaruhi return. Yang pertama dan yang
paling populer adalah efek size (ukuran perusahaan).
Banz (1981) menunjukkan bahwa return (baik yang
disesuaikan maupun tidak dengan risiko) berhubungan
terbalik dengan size (ukuran perusahaan).
32. Peneliti lain menemukan bahwa variabel PER (Price
Earning Ratio) mempengaruhi return (Basu, 1977, 1983),
meskipun dikontrol oleh risiko sistematis (beta). Saham
dengan rasio P/E rendah mempunyai return yang lebih
tinggi dibandingkan saham dengan P/E tinggi. Variabel
P/E juga relatif mudah didapatkan, sehingga timbul
pertanyaan kenapa variabel yang mudah didapatkan
tersebut menghasilkan premi yang tinggi. Fama dan
French dan Reinganum menunjukkan bahwa rasio nilai
pasar saham dengan nilai buku saham bisa memprediksi
cross-sectional return.
33. Fama dan French (1992) menguji CAPM secara empiris.
Mereka melihat korelasi yang cukup tinggi antara size
(ukuran saham) dengan beta saham. Untuk memisahkan
efek size terhadap return, mereka membentuk portofolio.
Pertama, mereka membentuk decile portofolio (10
kelompok) atas dasar size. Kemudian untuk setiap decile
size, mereka membentuk decile berdasar pre-ranking
beta (beta yang dihitung menggunakan periode sebelum
pengujian). Mereka mempunyai 10 kali 10 atau 100
portofolio yang menjadi sampel (bandingkan dengan 10
portofolio pada studi oleh Black, Jensen, dan Scholes).
Dengan cara itu bisa memisahkan efek size (mengontrol
efek size) sekaligus memaksimumkan variasi beta
sehingga efek beta terhadap return bisa diuji. Dengan
metode pengambilan sampel itu, mereka menguji
hubungan antara risiko dengan return cross-sectional.
34. Secara keseluruhan, variabel size dan BE/ME merupakan
variabel yang signfikan mempengaruhi return. Dengan
latar belakang seperti itu, Fama dan French
mengembangkan model tiga faktor, yang memasukkan
faktor pasar, size, dan BE/ME.
2.2.2. Kritik Roll terhadap CAPM
Richard Roll (1977) melancarkan kritik secara konseptual
terhadap CAPM. Pada intinya, Roll berargumen bahwa
CAPM tidak bisa diuji secara empiris. Argumen yang
lebih rinci adalah sebagai berikut ini.
1. Hanya ada satu hipotesis yang diuji dari CAPM yaitu
portofolio pasar adalah efisien (dalam konteks mean
atau return-varians).
35. 2. Semua implikasi dari model, yaitu hubungan yang
linear antara return dengan risiko sistematis (beta),
merupakan kelanjutan dari efisiensi portofolio pasar
dan dengan demikian tidak bisa diuji secara
independen. Ada hubungan ‘jika dan hanya jika’ (if
and only if) antara hubungan beta-return dan efisiensi
portofolio pasar (hubungan beta return bisa diuji hanya
jika portofolio pasar adalah efisien, jika tidak efisien
maka kita tidak bisa menguji hubungan beta-return)
3. Jika menggunakan data historis, maka ada portofolio
pasar yang efisien yang jumlahnya tidak terbatas. Beta
tersebut akan berada pada garis SML. Dengan kata
lain, beta yang dihitung menggunakan portofolio
tersebut akan berada pada garis SML, tidak tergantung
apakah portofolio pasar efisien (dalam konteks mean
dan varians) dalam bentuk pengharapan (ex-ante)
36. 4. CAPM tidak bisa diuji kecuali jika mengetahui
komposisi portofolio pasar yang sesungguhnya, dan
menggunakannya untuk pengujian empiris. Hal
tersebut berarti teori CAPM tidak bisa diuji kecuali
jika kita bisa mengidentifikasi semua aset individual
dan memasukkannya sebagai portofolio pasar
5. Menggunakan indeks pasar (misal Indeks Harga
Saham Gabungan atau Standard and Poors 500)
sebagai proksi portofolio pasar bisa menimbulkan
masalah. Pertama, proksi itu sendiri barangkali efisien
dalam konteks mean-varians, meskipun portofolio
pasar yang sesungguhnya tidak efisien dalam konteks
mean-varians. Sebaliknya, proksi tersebut barangkali
tidak efisien, tetapi hal tersebut tidak mempunyai
implikasi apapun terhadap portofolio pasar yang
sesungghnya.
37. Kemudian, proksi-proksi yang ada (yang banyak) akan
berkorelasi tinggi satu sama lain, juga dengan
portofolio pasar yang sesungguhnya, tidak tergantung
apakah proksi tersebut efisien atau tidak. Korelasi yang
tinggi bisa membuat kita berkesimpulan komposisi
portofolio pasar yang tepat tidak penting, padahal
penggunaan proksi yang berbeda bisa menghasilkan
kesimpulan yang berbeda. Problem tersebut sering
disebut benchmark error, yaitu penggunaan benchmark
yang salah dalam pengujian suatu teori.
Jika kita tidak menemukan hubungan antara risiko dengan
return, kita tidak bisa mengetahui apakah hasil tersebut
dikarenakan teori yang salah (tidak terbukti) atau
pilihan proksi pasar yang kebetulan tidak tepat.
Singkat kata, hasil yang ditunjukkan oleh pengujian
CAPM tidak bisa menunjukkan apapun.
38. 2.3. Pengujian APT
2.3.1. Pengujian dengan Analisis Faktor
Salah satu kelemahan APT adalah faktor-faktor dalam APT
tidak pernah disebutkan dengan jelas. Menurut
modelnya, faktor-faktor tersebut diserahkan pada
penelitian empiris, baik jenis maupun jumlahnya. Pada
dasarnya ada dua jenis penelitian untuk mengidentifikasi
faktor-faktor tersebut. Pertama, menggunakan analisis
faktor. Dengan analisis ini, return untuk semua aset
dimasukkan. Kemudian analisis fakor akan
mengelompokkan return-return tersebut ke dalam jumlah
yang lebih sedikit.
Setelah diperoleh faktor-faktor tersebut, kita bisa
melanjutkan pengujian untuk memperoleh factor
loadings (beta atau risiko sistematis) atas faktor-faktor
tersebut, untuk setiap sahamnya.
39. Secara spesifik, kita bisa melakukan pengujian dengan
regresi time-series sebagai berikut ini (misal kita hanya
memfokuskan pada empat faktor terbesar yang bisa
menjelaskan variasi return).
Rit = α + ßi1 RF1t + ßi2 RF2t + ßi3 RF3t + ßi4 RF4t + eit
ßi1, ßi2, ßi3t, dan ßi4 merupakan factor loadings, yang bisa
diinterpretasikan sebagai risiko sistematis (beta) aset i
terhadap faktor 1, 2, 3, dan 4. Beta tersebut sama dengan
beta pasar yang dihasilkan oleh regresi tahap pertama
(first pass regression) dalam CAPM.
40. Tahap berikutnya adalah pengujian cross-sectional untuk
melihat apakah risiko sistematis tersebut dihargai oleh
pasar. Pengujian bisa dilakukan dengan analisis regresi,
dalam hal ini akan sama dengan second pass regression
dalam pengujian CAPM, seperti berikut ini.
E(Ri) = λ0 + λ1 ßi1 + λ2 ßi2 + λ3 ßi3 + λ4 ßi4 + εi ……… (9)
Nilai λ1, λ2, λ3, dan λ4 bisa diharapkan positif atau negatif
tergantung dari faktor tersebut. Nilai positif menandakan
adanya premi risiko yang positif. Nilai seperti ini bisa
diharapkan untuk faktor pada umumnya. Contoh, faktor
pasar atau faktor produksi bisa diharapkan mempunyai
nilai yang positif. Tetapi jika aset bisa dipakai sebagai
hedge (lindung nilai), maka nilai λ bisa diharapkan
41. Premi risiko bisa diharapkan negatif, yang berarti faktor
tersebut tidak perlu dikompensasi dengan kenaikan
tingkat
keuntungan,
tetapi
investor
bersedia
mengorbankan tingkat keuntungan untuk memperoleh
faktor tersebut. Faktor inflasi bisa diharapkan
mempunyai λ yang negatif, karena saham cenderung bisa
sebagai hedge atas inflasi (korelasi positif antara
keduanya).
42. 2.3.2 Pengujian Pre-Spesifikasi Faktor
Pengujian lain adalah dengan menentukan faktor-faktor apa
saja yang bisa mempengaruhi return saham/aset. Kalau
dalam metode pertama penentuan faktor ditentukan oleh
hasil/perhitungan empiris, dalam metode kedua, faktorfaktor ditentukan di muka. Faktor-faktor tersebut bisa
diambil dari teori ekonomi atau pengamatan empiris.
Sebagai contoh, Chen, Roll dan Ross (1986) berargumen
bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi risiko
saham, yaitu:
(1)Inflasi: inflasi mempengaruhi aliran kas masa
mendatang dan juga discount rate
(2)Term structure atau yield curve: Yield curve adalah
perbedaan antara yield obligasi jangka waktu panjang
dengan yield obligasi jangka pendek. Yield curve
tersebut mempengaruhi discount rate (risiko)
43. (3)Premi risiko: Perbedaan antara tingkat bunga untuk
obligasi risiko rendah (rating Aaa) dengan tingkat bunga
obligasi risiko tinggi (Baa). Premi risiko mempengaruhi
discount rate
(4)Produksi industri. Perubahan produksi industri
mempengaruhi aliran kas masa mendatang.
Chen, Roll, dan Ross (1986) kemudian menghitung
sensitivitas return saham terhadap keempat faktor
tersebut. Tahap ini mirip dengan first pass regression
dalam pengujian CAPM. Setelah sensitivitas (beta, atau
risiko sistematis) tersebut diperoleh, kemudian dilakukan
pengujian cross-sectional untuk melihat apakah ada
premi risiko untuk faktor-faktor tersebut.
44. Mereka menemukan hubungan yang kuat dalam regresi
tersebut, yang berarti ada premi risiko untuk faktorfaktor
tersebut.
Kemudian
mereka
mencoba
mengkontraskan beta faktor-faktor tersebut dengan beta
pasar. Beta pasar merupakan wakil dari CAPM. Model
yang diuji bisa ditulis sebagai berikut ini.
E(Ri) = λ0 + λ1 (βi VWNY) + λ2 (βI MP) + λ3 (βI DEI) +
λ4 (βi UI) + λ5 (βi UPR) + λ6 (βi UTS) + εi
Mereka berkesimpulan bahwa APT didukung oleh data
empiris lebih baik dibandingkan dengan CAPM.
45. 3.
Model Empiris dan Model Tiga Faktor
3.2. Model Empiris
Model empiris dalam penentuan tingkat keuntungan yang
diharapkan didasarkan pada pengamatan empiris,
berbeda dengan model CAPM atau APT yang didasarkan
pada pengembangan teori. Model empiris tersebut
melihat adanya pola-pola tertentu di pasar keuangan,
yang mempengaruhi tingkat keuntungan. Bagian atas
(pengujian empiris) menunjukkan adanya anomalianomali yang tidak bisa dijelaskan oleh model-model
keseimbangan risiko-return. Anomali tersebut adalah
(antara lain) anomali ukuran (size), anomali rasio PER
(Price Earning Ratio), dan anomali rasio BE/ME (Book
Value to Market Value of Equity).
46. Dengan menggunakan ketiga anomali tersebut, kita bisa
mengembangkan model empiris, misal seperti berikut
ini.
E(Ri) = RF + βi 1 (Size) + βi 2 (PER) + βi 3 (BE/ME) + eit
……… (10)
βi bisa diestimasi berdasarkan data historis (time-series).
Setelah βi dihitung, tingkat keuntungan yang diharapkan
untuk suatu aset bisa dihitung.
Karena tidak didasarkan pada teori, maka kritik utama
untuk model empiris adalah pola-pola yang muncul
tersebut kemungkinan hanya muncul karena kebetulan.
47. Pendukung model empiris berargumentasi bahwa pola
yang telah mereka temukan merupakan pola yang nyata,
karena analisis telah dilakukan dengan hati-hati.
Barangkali pendekatan yang ideal adalah gabungan
antara keduanya (empiris dan teori). Teori diperlukan
untuk mengarahkan penelitian dan pembuatan model. Di
lain pihak, empiris diperlukan untuk melihat sejauh
mana konsistensi model atau teori dengan kondisi
empiris.
48. 3.2. Model Tiga Faktor Fama dan French
Berangkat dari anomali-anomali yang telah ditemukan,
Fama dan French (1992) berargumentasi bahwa garis
SML seharusnya dipengaruhi oleh tiga faktor. Ketiga
faktor tersebut adalah:
(1)Beta CAPM, yang mengukur risiko pasar
(2)Size (ukuran) saham, yang dilihat melalui nilai
kapitalisasi pasar saham (jumlah saham yang beredar
dikalikan dengan harga saham). Saham kecil cenderung
mempunyai risiko yang lebih tinggi, karena itu
mempunyai tingkat keuntungan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan saham besar
49. (3)Nilai buku saham dibagi dengan nilai pasar saham
(Book-to-Market ratio). Nilai rasio B/M yang besar
mencerminkan investor yang pesimistis terhadap masa
depan perusahaan. Sebaliknya, jika investor optimistik
terhadap masa depan perusahaan, maka nilai B/M akan
kecil (nilai pasar saham jauh lebih besar dibandingkan
dengan nilai bukunya). Saham dengan nilai B/M besar
cenderung lebih berisiko (kemungkinan bangkrut lebih
besar) dibandingkan dengan saham dengan nilai B/M
rendah, dan dengan demikian mempunyai tingkat
keuntungan yang diharapkan lebih tinggi dibandingkan
dengan saham dengan B/M rendah.
50. Fama dan French menguji secara empiris ketiga variabel
tersebut. Mereka menemukan variabel ukuran dan B/M
mempengaruhi cross-sectional return, tetapi variabel beta
pasar ternyata tidak berpengaruh. Kemudian Fama dan
French kemudian mengembangkan model tiga faktor,
yang bisa dituliskan sebagai berikut ini.
Ri - RF = α + βi (RM - RF) + γi (SMB) + δi (HML) + ei
……… (11)
dimana
RF
βi
Ri
= return saham i historis
= return aset bebas risiko historis
α
= intercept
= beta pasar atau koefisien regresi
51. RM
γi
δi
Ei
= return atau tingkat keuntungan pasar
historis
= koefisien regresi saham i terhadap
return SMB
SMB = Small minus Big, yaitu selisih return
portofolio saham kecil dengan
portofolio saham besar
= koefisien regresi saham i terhadap
return HML
HML = High minus Low, yaitu selisih return
portofolio saham dengan B/M tinggi
dengan portofolio saham dengan B/M
rendah
= error term
52. Fama dan French membentuk SMB sebagai berikut.
Mereka meranking semua saham yang aktif berdasarkan
ukuran saham. Kemudian mereka membagi saham ke
dalam dua kelompok, yaitu saham besar dengan saham
kecil. Kemudian return untuk setiap kelompok dihitung,
kemudian return kelompok saham besar dikurangkan
dari return kelompok saham kecil. Untuk HML, mereka
membentuk portofolio yang terdiri dari 30% saham
dengan nilai B/M tertinggi dan 30% saham dengan nilai
B/M terendah. Kemudian return HML diperoleh dengan
mengurangi return kelompok B/M tinggi dengan return
kelompok B/M rendah.
53. Aplikasi model tiga faktor untuk menghitung return yang
diharapkan untuk suatu aset (mirip dengan SML pada
CAPM) adalah:
E(Ri) = RF + α + βi (RM - RF) + γi (SMB) + δi (HML)
……… (12)
Misalkan untuk saham Microsoft, kita menghitung regresi
time-series (secara terpisah) untuk suatu saham dengan
variabel tidak bebas adalah return saham dan variabel
bebas adalah return pasar, return SMB, dan return HML.
Hasil yang diperoleh yaitu koefisien regresi adalah
sebagai berikut ini.
α = 0,0
βi = 1,2
γi = 0,3
δi = 0,2
54. Misalkan premi risiko pasar adalah 10% (RM - RF), return
aset bebas risiko adalah 10%. Misalkan berdasarkan
perhitungan data historis, return SMB adalah 4%, dan
return HML adalah 6%. Return yang diharapkan untuk
Microsoft dengan menggunakan model tiga faktor:
E(Ri) = 10 + 0,0 + 1,2 (10) + 0,3 (4) + 0,2 (6) = 13,6%
Perhatikan jika kita menggunakan CAPM, maka tingkat
keuntungan yang diharapkan untuk Microsoft adalah:
E(Ri) = RF + βi (RM - RF)
= 10 + 1,2 (10)
= 11,2%
Terlihat perhitungan tingkat keuntungan yang berbeda
untuk kedua model tersebut. Pertimbangan (judgment)
dari analis sangat diperlukan untuk menentukan tingkat
keuntungan yang disyaratkan dengan tepat.