MAKALAH LOGIKA

SILOGISME HIPOTESIS

DISUSUN OLEH:
Audyra Mauretha
Dinar D.K
Fuji Lestari
Hafidz Nuramdhan
Layalia Selma
Nada Bilqis
Yesaya Ferdinand

ILMU KOMUNIKASI-FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN, BANDUNG
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karuniaNya dan
tuntunanNya

dalam membantu menulis menyelesaiakan makalah Silogisme

Hipotesis.

Makalah Silogisme Hipotesis ini merupakan dorongan tim penulis untuk lebih
memperluas pengetahuan pembaca mengenai silogisme hipotesis sebagai sarana
dalam penarikan kesimpulan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pengajar Logika atas
dorongannya untuk membuat makalah ini.

Semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca.

Jatinangor, 19 November 2013

Tim Penulis

‘

2|Page
DAFTAR ISI
Kata Pengantar

2

Daftar Isi

3

BAB 1. Pendahuluan

4

1.1. Latar Belakang Masalah

4

1.2. Rumusan Masalah

4

1.3. Tujuan Penulisan

4

1.4. Manfaat Penulisan

5

BAB 2. Pembahasan

6

2.1. Definisi Silogisme

6

2.2. Definisi Silogisme Hipotesis

7

BAB 3. Kesimpulan

12

3.1. Kesimpulan

12

Daftar Pustaka

13

3|Page
BAB I
PENDAHULUAN
2.1. Latar Belakang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, silogisme adalah bentuk, cara berpikir
atau menarik simpulan yang terdiri atas premis umum, premis khusus, dan
simpulan (misalnya semua manusia akan mati, si A manusia, jadi si A akan mati).
Premis adalah sesuatu yang dianggap benar sebagai landasan kesimpulan
kemudian; dasar pemikiran; alasan; asumsi; kalimat atau proposisi yg dijadikan
dasar penarikan kesimpulan di dalam logika;
1. Mayor premis yang berisi term yang menjadi predikat kesimpulan;
2. Minor premis yang berisi term yang akan menjadi subjek sebuah kesimpulan;
3. Silogisme dua premis (mayor dan minor) yang mewujudkan anteseden.

Silogisme juga suatu bentuk pemikiran kesimpulan secara deduktif dan tidak
langsung yang mana kesimpulannya ditarik dari dua premis yang tersedia
sekaligus. Dua premis yang dimaksud adalah premis mayor dan premis minor.
Bentuk silogisme terdiri dari silogisme kategoris dan silogisme hipotetis.

1.2. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang yang dipaparkan diatas, dapat kita rumuskan permasalahan
yang akan dibahas dalam makalah ini. Rumusan permasalahan adalah sebagai
berikut:
1. Apa itu silogisme?
2. Apakah itu silogisme hipotesis dan apa macam-macamnya?

1.3. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan dimaksudkan untuk mengetahui jawaban dari rumusan-rumusan
masalah yang ada. Adapun tujuan penulisan masalah makalah ini adalah sebagi
berikut:
1. Mendefinisakan silogisme.
2. Mendefinisikan silogisme hipotesis dan menjabarkan macam-macamnya.
4|Page
1.4. MANFAAT PENULISAN
Manfaat penulisan dalam makalah adalah mengetahui manfaat nyata dari
penulisan makalah ini. Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui definisi silogisme.
2. Mengetahui definisi silogisme hipotesis beserta macamnya.

5|Page
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. DEFINISI SILOGISME
Silogisme adalah proses logis yang terdiri dari 3 bagian. 2 bagian pertama
merupakan premis-premis atau pangkal tolak penalaran (deduktif) syllogistic.
Sedangkan bagian ketiga merupakan perumusan hubungan yang terdapat pada
kedua bagian pertama melalui perpotongan trem penengah (M). Bagian ketiga ini
disebut juga kesimpulan yang berupa pengetahuan baru (konsekuens). Proses
menarik suatu kesimpulan dari premis-premis tersebut disebut penyimpulan.

Suatu premis adalah suatu pernyataan yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga
pernyataan tadi menegaskan atau menolak bahwa sesuatu itu benar atau tidak
benar. Suatu premis dapat mengatakan suatu fakta, suatu generalisasi atau sekedar
suatu asumsi atau sesuatu yang spesifik.

Atas dasar premis-premis tersebut, kita menarik deduksi. Sering kali tidak dengan
seketika dapat dikatakan apakah suatu P (predikat) harus atau dapat diakui atau
dipungkiri oleh suatu S (subjek). Maka sebelum pikiran dapat „memutuskan‟ S=P,
diperlukan pertimbangan-pertimbangan dan analisis, yakni pikiran maju langkah
demi langkah dengan membandingkan term S dan P dengan suatu term lain yang
dapat menghubungkan S dan P tersebut. Term lain itu disebut term penengah,
disingkat M. Peranan M adalah menunjukan alasan mengapa S dan P dipersatukan
atau dipisahkan dalam kesimpulan.
Pada pokoknya, silogisme mempunyai 2 bentuk asli :
1. Silogisme

kategoris,

yakni

premis-premisnya

berupa

pernyataan

kategoris: P diakui atau dipungkiri tentang S secara mutlak tidak
bergantung pada suatu syarat (karena.....maka....).
2. Silogisme hipotetis.

Pada makalah ini kami akan membahas mengenai silogisme hipotesis dan
macamnya.
6|Page
2.2. SILOGISME HIPOTETIS DAN MACAMNYA
Silogisme hipotesis merupakan proses penalaran yang premisnya berupa
pernyataan bersyarat: P diakui atau dipungkiri tentang S tidak secara mutlak,
melainkan bergantung pada suatu syarat (kalau.....maka.....).

Silogisme Hipotesis memiliki macam-macam bentuk, diantaranya:
2.2.1. Silogisme Kondisional
Silogisme kondisional (bersyarat, conditional syllogism) ialah silogisme
yang premis mayornya berupa keputusan kondisional. Keputusan
kondisional adalah keputusan yang mengandung suatu syarat, yaitu terdiri
dari dua bagian, yang satu dinyatakan benar jika syarat yang dinyatakan
dalam bagian lain dipenuhi. Misalnya, “jika hujan turun, maka jalan
menjadi basah.” Putusan kondisional itu benar jika hubungan bersyarat
yang dinyatakan di dalamnya itu benar, dan salah jika hubungan bersyarat
itu tidak benar. Misalnya, “kalau kamu lulus ujian, maka harus kamu
ulangi sekali lagi.” Bagian putusan kondisional yang mengandung syarat
disebut antecedens. Bagian yang mengandung apa yang dikondisikan
disebut konsekuens. Hubungan antara antecedens dan konsekuens adalah
inti putusan kondisional (menentukan benar tidaknya putusan itu).
Contoh silogisme kondisional:
Kalau turun hujan, maka jalan-jalan basah

kalau A,

(antecedens)

maka B

(konsekuens)

Nah, sekarang turun hujan

Nah, A,

Jadi, jalan-jalan basah

jadi B.

Mayor menyatakan suatu syarat (A) yang menjadi sandaran benartidaknya konsekuens (B). Minor menyatakan dipenuhi syarat itu.
Kesimpulan menyatakan benarnya konsekuens.

Hukum-hukum Silogisme Kondisional
1. Kalau antecedens benar (dan hubungannya sah), maka kesimpulan akan
benar.

7|Page
2. Kalau kesimpulan salah (dan hubungannya sah), maka antecedens salah
pula.

Berdasarkan hukum-hukum ini, maka dapat disusun bagan silogisme
kondisional :
Bentuk-bentuk silogisme kondisional yang sah
1. Jika (A), maka <B>
Nah, (A).
Jadi <B>
2. Jika (A), maka <B>
Nah, tidak <B>
Jadi tidak (A)

Perumusan Hukum-hukum
Jika mayor merupakan putusan kondisional yang benar, dan antecedens
(syaratnya), kita sebut A, konsenkuensinya disebut B, maka:
a) A benar (dipenuhi),

B benar pula.

b) B salah (tidak dipenuhi),

A salah pula.

Tetapi
c) A salah (tidak dipenuhi),
d) B benar (dipenuhi),

B dapat salah, dapat benar
A dapat salah, dapat benar

Jadi, bentuk-bentuk yang tidak sah:
3. Jika (A), maka <B>
Nah, <B>
Jadi (A)
4. Jika (A), maka <B>
Nah, tidak (A)
Jadi tidak <B>

Bentuk-bentuk yang terakhir ini paling banter hanya menunjukan suatu
kemungkinan. (Jadi kesimpulan seharusnya: mungkin (A), dan mungkin

8|Page
tidak <B>. Bentuk-bentuk ini hanya sah, jika syarat yang dinyatakan
dalam (A) merupakan satu-satunya syarat. Tetapi ini lalu harus dinyatakan
pula, dengan mengatakan: “Hanya jika (A), maka B; jadi kalau B; maka
pula A.”

2.2.2. Silogisme Disjungtif
Silogisme disjungtif ialah silogisme yang premis mayornya terdiri dari
keputusan disjungtif. Premis minor menyatakan atau memungkiri salah
satu dari „kemungkinan‟ yang disebut dalam mayor. Kesimpulan
mengandung kemungkinan yang lain.
Bagan silogisme disjungtif:
A atau B

A atau B

Nah, A

Nah, bukan A

Jadi bukan B

Jadi B

Keputusan disjungtif ialah: keputusan yang di dalamnya terkandung suatu
pilihan suatu pilihan antara dua (atau lebih) kemungkinan (menunjukkan
apa yang disebut suatu „alternatif‟, dinyatakan dalam kalimat dengan atau .
. . atau . . . .).

Dibedakan:
a) Disjungtif dalam arti sempit (dalam arti sebenarnya)
Hanya mengandung dua kemungkinan, tidak lebih dan tidak kurang,
tidak dapat bersama-sama benar, dan tidak ada kemungkinan ketiga.
Jadi, dari dua kemungkinan yang disebut hanya satu dapat benar.
Karena itu, „A atau B‟ dapat juga dirumuskan: “Tidak dapat bersamasama A dan B. Nah, A; jadi bukan B.” Atau “Kalai A, bukan B. Nah,
A; jadi bukan B.”
Jika A dan B dapat bersama-sama benar, atau ada kemungkinan ketiga
(ialah C), maka silogisme tidak sah. Misalnya:

9|Page
1. Kesebelasan kita menang atau kalah. Nah, tidak kalah, jadi
menang (salah, sebab ada kemungkinan ketiga, yaitu sama kuat).
2. Bunga itu merah atau berwarna.... (yang satu mengandung yang
lain).
3. Ia masuk atau tinggal di luar (=tidak masuk). Nah, ia masuk, jadi
tidak tinggal di luar (ini sah, sebab antara masuk dan tidak masuk
tak ada kemungkinan lain).

b) Disjungtif dalam arti luas
Dalam arti luas, A dan B dapat sama-sama benar, bahkan dapat terjadi
kemungkinan ketiga. Misalnya: “Dialah yang pergi, atau saya (dapat
juga bersama-sama).” Atau: “Memperkecil volume suatu gas itu dapat
dengan dua jalan: merendahkan derajat panasnya atau menambah
tekanan (tetapi dapat juga kedua-duanya bersama-sama).”

2.2.3. Dilema
Dilema adalah semacam pembuktian, yang di dalamnya terdiri dari dua
atau lebih putusan disjungtif untuk ditarik kesimpulan yang sama; atau
dibuktikan bahwa dari masing-masing kemungkinan harus ditarik
kesimpulan yang tidak dikehendaki.
Dilema merupakan suatu kombinasi dari berbagai bentuk silogisme.
Mayor terdiri dari sebuah putusan disjungtif. Dalam minor diambil
kesimpulan yang sama dari kedua alternatif.
Bentuk dilema dapat bermacam-macam. Bentuk pokoknya sebagai
berikut:
A, atau tidak A.
Nah, kalau A, maka B.
Kalau tidak A, toh B
Jadi B.
Bentuk-bentuk lain misalnya:
A dan B

A atau B

Kalau A, maka X

Nah, kalau A, maka X

10 | P a g e
Kalau B, juga X

Kalau B, maka Y

Jadi X.

Jadi X atau Y

Kalau A, maka B dan C

Kalau A, maka X: dan kalau

B maka Y
Nah, ataukah tidak B

Nah, tidak A atau tidak Y

Ataukah tidak C

Jadi tidak A atau tidak B

Jadi tidak A.

Bentuk yang penting: dari konsekuensi yang tidak dikehendaki menarik
kesimpulan: memungkiri mayor.
Misalnya demikian:
A atau tidak A
Nah, kalau A, maka B
Tetapi tidak B, karena...
Jadi tidak A.

Hukum-hukum dilema
1. Putusan disjungtif harus lengkap, menyebut semua kemungkinan.
2. Konsekuensinya harus sah
3. Kesimpulan lain tidak mungkin (tak boleh dapat di-„retorsi‟ atau
dibalik)

11 | P a g e
BAB 3
KESIMPULAN
3.1. KESIMPULAN
Silogisme atau penalaran deduktif yang biasanya diawali dengan adanya suatu
pernyataan/premis yang bersifat umum kemudian diikuti dengan premis yang
bersifat khusus, kemudian kita dapat menarik kesimpulan dari premis yang ada
sebelumnya, dengan cara menggabungkan kesamaan dari premis umum dan
khusus tersebut. Sedangkan silogisme hipotesis adalah silogisme yang premis
mayornya adalah proposisi hipotesis atau proposisi majemuk, dan premis
minornya mengakui atau menolak salah satu bagian premis mayor.

12 | P a g e
DAFTAR PUSAKA
Poespoprodjo, W., & Gilarso, T. (1989). Logika Ilmu Menalar. Bandung:
Remadja Karya

13 | P a g e

Makalah logika

  • 1.
    MAKALAH LOGIKA SILOGISME HIPOTESIS DISUSUNOLEH: Audyra Mauretha Dinar D.K Fuji Lestari Hafidz Nuramdhan Layalia Selma Nada Bilqis Yesaya Ferdinand ILMU KOMUNIKASI-FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS PADJADJARAN, BANDUNG 2013
  • 2.
    KATA PENGANTAR Puji syukurpenulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karuniaNya dan tuntunanNya dalam membantu menulis menyelesaiakan makalah Silogisme Hipotesis. Makalah Silogisme Hipotesis ini merupakan dorongan tim penulis untuk lebih memperluas pengetahuan pembaca mengenai silogisme hipotesis sebagai sarana dalam penarikan kesimpulan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pengajar Logika atas dorongannya untuk membuat makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca. Jatinangor, 19 November 2013 Tim Penulis ‘ 2|Page
  • 3.
    DAFTAR ISI Kata Pengantar 2 DaftarIsi 3 BAB 1. Pendahuluan 4 1.1. Latar Belakang Masalah 4 1.2. Rumusan Masalah 4 1.3. Tujuan Penulisan 4 1.4. Manfaat Penulisan 5 BAB 2. Pembahasan 6 2.1. Definisi Silogisme 6 2.2. Definisi Silogisme Hipotesis 7 BAB 3. Kesimpulan 12 3.1. Kesimpulan 12 Daftar Pustaka 13 3|Page
  • 4.
    BAB I PENDAHULUAN 2.1. LatarBelakang Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, silogisme adalah bentuk, cara berpikir atau menarik simpulan yang terdiri atas premis umum, premis khusus, dan simpulan (misalnya semua manusia akan mati, si A manusia, jadi si A akan mati). Premis adalah sesuatu yang dianggap benar sebagai landasan kesimpulan kemudian; dasar pemikiran; alasan; asumsi; kalimat atau proposisi yg dijadikan dasar penarikan kesimpulan di dalam logika; 1. Mayor premis yang berisi term yang menjadi predikat kesimpulan; 2. Minor premis yang berisi term yang akan menjadi subjek sebuah kesimpulan; 3. Silogisme dua premis (mayor dan minor) yang mewujudkan anteseden. Silogisme juga suatu bentuk pemikiran kesimpulan secara deduktif dan tidak langsung yang mana kesimpulannya ditarik dari dua premis yang tersedia sekaligus. Dua premis yang dimaksud adalah premis mayor dan premis minor. Bentuk silogisme terdiri dari silogisme kategoris dan silogisme hipotetis. 1.2. RUMUSAN MASALAH Dari latar belakang yang dipaparkan diatas, dapat kita rumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini. Rumusan permasalahan adalah sebagai berikut: 1. Apa itu silogisme? 2. Apakah itu silogisme hipotesis dan apa macam-macamnya? 1.3. TUJUAN PENULISAN Tujuan penulisan dimaksudkan untuk mengetahui jawaban dari rumusan-rumusan masalah yang ada. Adapun tujuan penulisan masalah makalah ini adalah sebagi berikut: 1. Mendefinisakan silogisme. 2. Mendefinisikan silogisme hipotesis dan menjabarkan macam-macamnya. 4|Page
  • 5.
    1.4. MANFAAT PENULISAN Manfaatpenulisan dalam makalah adalah mengetahui manfaat nyata dari penulisan makalah ini. Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui definisi silogisme. 2. Mengetahui definisi silogisme hipotesis beserta macamnya. 5|Page
  • 6.
    BAB 2 PEMBAHASAN 2.1. DEFINISISILOGISME Silogisme adalah proses logis yang terdiri dari 3 bagian. 2 bagian pertama merupakan premis-premis atau pangkal tolak penalaran (deduktif) syllogistic. Sedangkan bagian ketiga merupakan perumusan hubungan yang terdapat pada kedua bagian pertama melalui perpotongan trem penengah (M). Bagian ketiga ini disebut juga kesimpulan yang berupa pengetahuan baru (konsekuens). Proses menarik suatu kesimpulan dari premis-premis tersebut disebut penyimpulan. Suatu premis adalah suatu pernyataan yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga pernyataan tadi menegaskan atau menolak bahwa sesuatu itu benar atau tidak benar. Suatu premis dapat mengatakan suatu fakta, suatu generalisasi atau sekedar suatu asumsi atau sesuatu yang spesifik. Atas dasar premis-premis tersebut, kita menarik deduksi. Sering kali tidak dengan seketika dapat dikatakan apakah suatu P (predikat) harus atau dapat diakui atau dipungkiri oleh suatu S (subjek). Maka sebelum pikiran dapat „memutuskan‟ S=P, diperlukan pertimbangan-pertimbangan dan analisis, yakni pikiran maju langkah demi langkah dengan membandingkan term S dan P dengan suatu term lain yang dapat menghubungkan S dan P tersebut. Term lain itu disebut term penengah, disingkat M. Peranan M adalah menunjukan alasan mengapa S dan P dipersatukan atau dipisahkan dalam kesimpulan. Pada pokoknya, silogisme mempunyai 2 bentuk asli : 1. Silogisme kategoris, yakni premis-premisnya berupa pernyataan kategoris: P diakui atau dipungkiri tentang S secara mutlak tidak bergantung pada suatu syarat (karena.....maka....). 2. Silogisme hipotetis. Pada makalah ini kami akan membahas mengenai silogisme hipotesis dan macamnya. 6|Page
  • 7.
    2.2. SILOGISME HIPOTETISDAN MACAMNYA Silogisme hipotesis merupakan proses penalaran yang premisnya berupa pernyataan bersyarat: P diakui atau dipungkiri tentang S tidak secara mutlak, melainkan bergantung pada suatu syarat (kalau.....maka.....). Silogisme Hipotesis memiliki macam-macam bentuk, diantaranya: 2.2.1. Silogisme Kondisional Silogisme kondisional (bersyarat, conditional syllogism) ialah silogisme yang premis mayornya berupa keputusan kondisional. Keputusan kondisional adalah keputusan yang mengandung suatu syarat, yaitu terdiri dari dua bagian, yang satu dinyatakan benar jika syarat yang dinyatakan dalam bagian lain dipenuhi. Misalnya, “jika hujan turun, maka jalan menjadi basah.” Putusan kondisional itu benar jika hubungan bersyarat yang dinyatakan di dalamnya itu benar, dan salah jika hubungan bersyarat itu tidak benar. Misalnya, “kalau kamu lulus ujian, maka harus kamu ulangi sekali lagi.” Bagian putusan kondisional yang mengandung syarat disebut antecedens. Bagian yang mengandung apa yang dikondisikan disebut konsekuens. Hubungan antara antecedens dan konsekuens adalah inti putusan kondisional (menentukan benar tidaknya putusan itu). Contoh silogisme kondisional: Kalau turun hujan, maka jalan-jalan basah kalau A, (antecedens) maka B (konsekuens) Nah, sekarang turun hujan Nah, A, Jadi, jalan-jalan basah jadi B. Mayor menyatakan suatu syarat (A) yang menjadi sandaran benartidaknya konsekuens (B). Minor menyatakan dipenuhi syarat itu. Kesimpulan menyatakan benarnya konsekuens. Hukum-hukum Silogisme Kondisional 1. Kalau antecedens benar (dan hubungannya sah), maka kesimpulan akan benar. 7|Page
  • 8.
    2. Kalau kesimpulansalah (dan hubungannya sah), maka antecedens salah pula. Berdasarkan hukum-hukum ini, maka dapat disusun bagan silogisme kondisional : Bentuk-bentuk silogisme kondisional yang sah 1. Jika (A), maka <B> Nah, (A). Jadi <B> 2. Jika (A), maka <B> Nah, tidak <B> Jadi tidak (A) Perumusan Hukum-hukum Jika mayor merupakan putusan kondisional yang benar, dan antecedens (syaratnya), kita sebut A, konsenkuensinya disebut B, maka: a) A benar (dipenuhi), B benar pula. b) B salah (tidak dipenuhi), A salah pula. Tetapi c) A salah (tidak dipenuhi), d) B benar (dipenuhi), B dapat salah, dapat benar A dapat salah, dapat benar Jadi, bentuk-bentuk yang tidak sah: 3. Jika (A), maka <B> Nah, <B> Jadi (A) 4. Jika (A), maka <B> Nah, tidak (A) Jadi tidak <B> Bentuk-bentuk yang terakhir ini paling banter hanya menunjukan suatu kemungkinan. (Jadi kesimpulan seharusnya: mungkin (A), dan mungkin 8|Page
  • 9.
    tidak <B>. Bentuk-bentukini hanya sah, jika syarat yang dinyatakan dalam (A) merupakan satu-satunya syarat. Tetapi ini lalu harus dinyatakan pula, dengan mengatakan: “Hanya jika (A), maka B; jadi kalau B; maka pula A.” 2.2.2. Silogisme Disjungtif Silogisme disjungtif ialah silogisme yang premis mayornya terdiri dari keputusan disjungtif. Premis minor menyatakan atau memungkiri salah satu dari „kemungkinan‟ yang disebut dalam mayor. Kesimpulan mengandung kemungkinan yang lain. Bagan silogisme disjungtif: A atau B A atau B Nah, A Nah, bukan A Jadi bukan B Jadi B Keputusan disjungtif ialah: keputusan yang di dalamnya terkandung suatu pilihan suatu pilihan antara dua (atau lebih) kemungkinan (menunjukkan apa yang disebut suatu „alternatif‟, dinyatakan dalam kalimat dengan atau . . . atau . . . .). Dibedakan: a) Disjungtif dalam arti sempit (dalam arti sebenarnya) Hanya mengandung dua kemungkinan, tidak lebih dan tidak kurang, tidak dapat bersama-sama benar, dan tidak ada kemungkinan ketiga. Jadi, dari dua kemungkinan yang disebut hanya satu dapat benar. Karena itu, „A atau B‟ dapat juga dirumuskan: “Tidak dapat bersamasama A dan B. Nah, A; jadi bukan B.” Atau “Kalai A, bukan B. Nah, A; jadi bukan B.” Jika A dan B dapat bersama-sama benar, atau ada kemungkinan ketiga (ialah C), maka silogisme tidak sah. Misalnya: 9|Page
  • 10.
    1. Kesebelasan kitamenang atau kalah. Nah, tidak kalah, jadi menang (salah, sebab ada kemungkinan ketiga, yaitu sama kuat). 2. Bunga itu merah atau berwarna.... (yang satu mengandung yang lain). 3. Ia masuk atau tinggal di luar (=tidak masuk). Nah, ia masuk, jadi tidak tinggal di luar (ini sah, sebab antara masuk dan tidak masuk tak ada kemungkinan lain). b) Disjungtif dalam arti luas Dalam arti luas, A dan B dapat sama-sama benar, bahkan dapat terjadi kemungkinan ketiga. Misalnya: “Dialah yang pergi, atau saya (dapat juga bersama-sama).” Atau: “Memperkecil volume suatu gas itu dapat dengan dua jalan: merendahkan derajat panasnya atau menambah tekanan (tetapi dapat juga kedua-duanya bersama-sama).” 2.2.3. Dilema Dilema adalah semacam pembuktian, yang di dalamnya terdiri dari dua atau lebih putusan disjungtif untuk ditarik kesimpulan yang sama; atau dibuktikan bahwa dari masing-masing kemungkinan harus ditarik kesimpulan yang tidak dikehendaki. Dilema merupakan suatu kombinasi dari berbagai bentuk silogisme. Mayor terdiri dari sebuah putusan disjungtif. Dalam minor diambil kesimpulan yang sama dari kedua alternatif. Bentuk dilema dapat bermacam-macam. Bentuk pokoknya sebagai berikut: A, atau tidak A. Nah, kalau A, maka B. Kalau tidak A, toh B Jadi B. Bentuk-bentuk lain misalnya: A dan B A atau B Kalau A, maka X Nah, kalau A, maka X 10 | P a g e
  • 11.
    Kalau B, jugaX Kalau B, maka Y Jadi X. Jadi X atau Y Kalau A, maka B dan C Kalau A, maka X: dan kalau B maka Y Nah, ataukah tidak B Nah, tidak A atau tidak Y Ataukah tidak C Jadi tidak A atau tidak B Jadi tidak A. Bentuk yang penting: dari konsekuensi yang tidak dikehendaki menarik kesimpulan: memungkiri mayor. Misalnya demikian: A atau tidak A Nah, kalau A, maka B Tetapi tidak B, karena... Jadi tidak A. Hukum-hukum dilema 1. Putusan disjungtif harus lengkap, menyebut semua kemungkinan. 2. Konsekuensinya harus sah 3. Kesimpulan lain tidak mungkin (tak boleh dapat di-„retorsi‟ atau dibalik) 11 | P a g e
  • 12.
    BAB 3 KESIMPULAN 3.1. KESIMPULAN Silogismeatau penalaran deduktif yang biasanya diawali dengan adanya suatu pernyataan/premis yang bersifat umum kemudian diikuti dengan premis yang bersifat khusus, kemudian kita dapat menarik kesimpulan dari premis yang ada sebelumnya, dengan cara menggabungkan kesamaan dari premis umum dan khusus tersebut. Sedangkan silogisme hipotesis adalah silogisme yang premis mayornya adalah proposisi hipotesis atau proposisi majemuk, dan premis minornya mengakui atau menolak salah satu bagian premis mayor. 12 | P a g e
  • 13.
    DAFTAR PUSAKA Poespoprodjo, W.,& Gilarso, T. (1989). Logika Ilmu Menalar. Bandung: Remadja Karya 13 | P a g e