1. 1
LAPORAN PANITIA ANGKET DPR RI
TENTANG
PELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI YANG DIATUR DALAM UNDANG-
UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
PADA RAPAT PARIPURNA DPR RI
RABU, 14 FEBRUARI 2018
---------------------------------------------------------
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
Salam sejahtera bagi kita semua,
Pimpinan Sidang yang kami hormati,
Anggota Dewan dan hadirin yang saya muliakan,
Pertama-tama mari kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT
karena atas kehendak dan perkenan-Nya, pada hari ini kita dapat
menghadiri Rapat Paripurna DPR RI dalam keadaan sehat wal’afiat.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, atas nama Pimpinan dan
Anggota Panitia Angket DPR RI tentang Pelaksanaan Tugas dan
Kewenangan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), kami
menyampaikan terima kasih kepada Pimpinan Sidang Dewan yang
Terhormat atas kesempatan untuk melaporkan hasil kerja Panitia Angket
DPR RI tentang Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan KPK (Panitia Angket).
Sidang Dewan yang Terhormat,
Mengawali laporan Panitia Angket, perkenankan kami
menyampaikan terlebih dahulu tentang KPK yang 15 tahun lalu dibentuk
dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi. KPK
yang dibentuk pada tahun 2002 tersebut dilatarbelakangi oleh
ketidakpercayaan publik atas aparatur penegak hukum yang dianggap
tidak mampu melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dengan latar belakang itulah, sebagai tuntutan reformasi dan kehendak
rakyat untuk menghapus KKN sebagaimana amanat TAP MPR Nomor
2. 2
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN,
KPK dibentuk yang diawali penggantian UU No 3 Tahun 1971 dengan
UU No 31 Tahun 1999 yang salah satu pasalnya mengamanatkan
pembentukan KPK.
Pasal 43 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, berbunyi:
(1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini
mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan
wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas
unsur Pemerintah dan unsur masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja,
pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) diatur dengan
Undang-undang.
Atas dasar Undang-Undang itulah, pada tahun 2002 dibentuk KPK
yang memiliki tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 30
Tahun 2002 yang dalam melaksanakan tugasnya harus memenuhi asas-
asas pemberantasan korupsi sebagaimana disebut dalam Pasal 5, yaitu
kepastian hukum; keterbukaan; akuntabilitas; kepentingan umum ; dan
proporsionalitas.
Dalam perjalanannya, KPK belum mampu menunjukkan kinerjanya
dengan maksimal yang ditandai dengan:
Pertama, indikator persepsi korupsi kita yang belum kunjung
membaik, jika dibandingkan dengan negara-negara yang secara geografis
mempunyai wilayah negara yang luas dan secara demografi mempunyai
jumlah penduduk relatif banyak di dunia, terlihat bahwa Indeks Persepsi
Korupsi Indonesia masih berada di bawah, bahkan Indonesia jauh
tertinggal jika dibandingkan dengan negara di Kawasan Asia seperti
Jepang, Korea Selatan, dan Arab Saudi.
3. 3
Kedua, keuangan negara yang dikembalikan belum sepadan dengan
keuangan negara yang digunakan untuk memberantas korupsi terlebih lagi
dengan kewenangan besar yang dimiliki KPK.
Ketiga, sebagai trigger mechanism, KPK belum menjadikan instansi
penegak hukum lebih bersinergi, cenderung berjalan sendiri dan hal-hal
lain yang secara politis masih menimbulkan pro-kontra di masyarakat,
serta belum terciptanya keharmonisan dengan lembaga-lembaga negara
lainnya.
Sidang Paripurna yang Kami Hormati,
Berdasarkan ketiga hal tersebut, maka Panitia Angket dibentuk, yang
peristiwa dan prosesnya diawali dengan Rapat Dengar Pendapat (RDP)
antara Komisi III dengan KPK hingga jam 01.00 dini hari. RDP
menginginkan KPK lebih terbuka dalam memberikan keterangan terkait
dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Sebagai tindak lanjut dari
fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh Komisi III terhadap Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagai pelaksana UU No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), anggota DPR
mengajukan usul penggunaan hak angket terhadap Pelaksanaan Tugas
dan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang diatur dalam UU
KPK. Dengan demikian, sesungguhnya, hak angket dibentuk bukan karena
atas kasus yang sedang ditangani KPK namun dibentuk untuk menggali
lebih jauh bagaimana pelaksanaan tugas dan wewenang KPK selama ini.
Dilandasi niat dan tekad Anggota DPR untuk menjadikan KPK
transaparan dan akuntabel yang selalu mendapat respon pro dan kontra di
publik, seolah-olah DPR menjalankan pengawasannya kepada KPK
dianggap sebagai pro-koruptor, bahkan revisi UU pun dianggap sebagai
tindakan pelemahan, namun sesungguhnya hal tersebut bertujuan agar
KPK lebih memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan mengacu
pada hukum acara pidana yang berlaku serta memperhatikan pula
undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban,
undang-undang yang mengatur tentang hak asasi manusia, tata kelola
yang mengatur tentang rumah penyimpanan benda sitaan negara, dan
seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka
membangun sinergitas antar lembaga negara guna mewujudkan tujuan
bernegara.
4. 4
Sidang Dewan yang Terhormat,
Sebagaimana diatur dalam UU, usulan Hak Angket ini merupakan
Hak Konstitusional yang dimiliki DPR RI sebagaimana diatur dalam Pasal
20A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta diatur dalam Pasal 79 jo. Pasal 199 Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPD, dan Pasal 164 Peraturan
DPR RI tentang Tata Tertib. Maka berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tersebut, Panitia Angket ini kemudian dibentuk
berdasarkan Keputusan DPR RI Nomor 1/DPR RI/V/2016-2017 tertanggal
30 Mei 2017 tentang Pembentukan Panitia Angket Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia Terhadap Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang telah didaftarkan dan
diumumkan dalam Berita Negara Nomor 53 tanggal 4 Juli 2017.
Panitia Angket KPK ini dibentuk karena adanya permasalahan dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang KPK yang mengarah kepada dugaan
pelanggaran KPK terhadap pelaksanaan undang-undang. Sehingga KPK
jelas merupakan subjek dan obyek dari pelaksanaan angket, karena tugas
dan kewenangannya telah diatur secara jelas dalam UU KPK. Hal ini
dilakukan dengan pertimbangan bahwa DPR berkewajiban untuk menjaga
KPK yang tidak saja kuat dalam melaksanakan tupoksi-nya berdasarkan
peraturan perundangan yang ada, namun juga KPK yang benar, cermat,
dan memperhatikan semua ketentuan hukum dan hak asasi manusia serta
menerapkan standar yang tinggi sesuai dengan prinsip due process of law
dalam penegakan hukum, serta KPK yang menerapkan prinsip
transparansi dan akuntabilitas yang benar dalam tata kelola
kelembagaannya, termasuk terkait dengan tata kelola SDM dam
penggunaan anggaran.
Angket DPR RI adalah lembaga penyelidikan yang paling tinggi dalam
ketatanegaraan di Indonesia. Oleh sebab itu, penggunaan hak angket dapat
membuat terang dan jelas permasalahan mengenai “Penyelidikan atas
Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Dalam Penegakan Hukum Sehingga
Merusak Tatanan dan Kepastian dalam Bernegara.” Untuk itu, Panitia
Angket KPK telah bekerja sesuai dengan ketentuan dengan menetapkan
Pedoman Penyelidikan dan Agenda Kerja yang transparan dan terukur
sehingga masyarakat dapat melihat secara jelas dan komprehensif apa
yang menjadi fokus penyelidikan Angket ini. Hasil dari penyelidikan Panitia
5. 5
Angket KPK ini tentu akan memecahkan permasalahan secara terang dan
jelas, sehingga penyelesaiannya menjadi terukur dan jelas dimulai
darimana sehingga jawaban terhadap suatu permasalahan menjadi pasti.
Sidang Dewan yang Terhormat,
Berdasarkan Pasal 206 UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3, maka
perkenankan kami melaporkan beberapa hasil temuan-temuan yang
signifikan dari fungsi penyelidikan kami agar rakyat juga dapat mengetahui
hasil temuan kami sebagai wujud transparansi dan akuntabilitas kinerja
Panitia Angket ini. Hasil temuan ini dapat kami kelompokkan ke dalam 4
(empat) kelompok besar aspek penyelidikan, yaitu:
I. Aspek Kelembagaan
KPK bukan lembaga negara yang secara ekplisit disebutkan
dalam UUD Tahun 1945 sebagaimana komisi pemilihan umum, komisi
yudisial, dan bank sentral. Namun, KPK secara implisit merupakan
badan yang disebutkan dalam Pasal 24 ayat (3) UUD Tahun 1945, yaitu
badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Meskipun berada dalam
Bab Kekuasaan Kehakiman di UUD Tahun 1945, namun KPK bukan
merupakan pelaku atau pemegang kekuasaan kehakiman (yudikatif)
karena tidak memiliki fungsi mengadili dan memutus perkara. KPK
merupakan lembaga negara bantu (state auxiliary organs atau state
auxiliary institutions) yang dibentuk untuk menangani masalah
pemberantasan korupsi mengingat lembaga yang ada saat itu dirasakan
belum optimal.
KPK memiliki hubungan tata kerja dengan lembaga penegak
hukum yang lain dalam kerangka criminal justice system dan hubungan
tata kerja dengan lembaga negara utama seperti Presiden, DPR RI dan
BPK. Dengan sesama lembaga penegak hukum, KPK berperan sebagai
trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar
upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada
sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien. Hubungan tata kerja KPK
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi berdasarkan UU KPK adalah koordinasi dan supervisi.
Sementara hubungan tata kerja dengan lembaga negara lain terkait
dengan tugas KPK melakukan monitor terhadap penyelenggaraan
pemerintahan negara. Hubungan tata kerja dengan Presiden, DPR, dan
6. 6
BPK adalah dalam konteks penyampaian laporan KPK secara berkala.
Hubungan tata kerja tersebut juga terkait dengan fungsi-fungsi
lembaga negara yang diamanatkan oleh UUD Tahun 1945 dan undang-
undang, seperti fungsi pengawasan DPR terhadap KPK dan fungsi BPK
untuk mengaudit atau memeriksa KPK terkait pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara.
Dalam konteks tata kelola kelembagaan yang tercermin dari
struktur organisasi KPK terdapat ketidaksetaraan karena
menempatkan tugas koordinasi dan supervisi hanya pada level unit
kerja di bawah Deputi bidang Penindakan dan tugas monitoring di level
direktorat. Sementara tugas pencegahan dan penindakan berada di
level Deputi. Kemudian penempatan pengawasan internal di bawah
Deputi juga kurang tepat karena akan menjadi subordinat. Selain
pengawasan internal, diperlukan adanya lembaga pengawas eksternal
sebagai perwujudan tanggung jawab KPK kepada publik. Perubahan
melalui pengembangan struktur organisasi kelembagaan KPK ini
dilakukan dalam kerangka penguatan KPK agar mampu lebih optimal
dalam mengurangi terjadinya tindak pidana korupsi.
II. Aspek Kewenangan
Dalam menjalankan tugas koordinasi dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK
belum menyusun dan memiliki jaringan kerja (networking) yang kuat
dan belum memperlakukan institusi yang telah ada sebagai
"counterpartner" yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi belum
dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Dalam hal ini perlakuan
sebagai “counterpartner” terhadap kepolisian dan kejaksaan belum
berjalan, karena KPK cenderung berjalan sendiri dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Selanjutnya, dalam menjalankan tugas supervisi terhadap
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi, Panitia Angket menyimpulkan bahwa KPK lebih cenderung
menangani sendiri atau mengambilalih, dibandingkan dengan upaya
mendorong, memotivasi dan mengarahkan kembali instansi Kepolisian
dan Kejaksaan.
7. 7
Tugas KPK dalam melaksanakan koordinasi dengan dan supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi belum integral dalam suatu sistem peradilan pidana
(SPP) yang terpadu. Kendala yang menyebabkan ketidak-integralan
tersebut antara lain peraturan perundang-undangan yang masih
tumpang tindih seperti ketentuan yang mengatur mengenai koordinasi
dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan;
hambatan psikologis hubungan kerjasama KPK dengan dua institusi,
Kepolisian dan Kejaksaan; dan perbedaan kewenangan, sarana
prasarana pendukung, dan dukungan masyarakat terhadap Kepolisian,
Kejaksaan, dan KPK. Hal lain yang menyangkut aspek kewenangan,
yaitu dalam hal perlindungan terhadap saksi dan korban, KPK tidak
melakukan koordinasi dengan lembaga yang khusus melakukan
perlindungan saksi dan korban.
Terkait dengan kewenangan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, KPK belum sepenuhnya
berpedoman pada KUHAP dan memperhatikan prinsip-prinsip Hak
Asasi Manusia bagi para pihak yang menjalani pemeriksaan. Selain itu,
terkait dengan perlindungan saksi, KPK belum sepenuhnya mengacu
pada UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 31 Tahun 2014. Terkait
dengan dengan penanganan barang-barang sitaan dan barang
rampasan yang menjadi tanggung jawab KPK, KPK telah mengabaikan
Pasal 44 KUHAP dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Ketentuan tersebut mengatur bahwa benda sitaan disimpan di rumah
penyimpanan barang sitaan negara (Rupbasan), dengan pengelolaan
yang baik dan tertib, serta harus terdata dengan baik dan
pemberitahuan kepada Rupbasan, sebagai pusat data pengelolaan
barang rampasan dan barang sitaan.
Dalam tugas melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak
pidana korupsi, KPK masih mengedepankan praktek penindakan
daripada upaya pencegahan tindak pidana korupsi. Kewenangan
melakukan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi dapat
dikatakan belum berhasil karena dalam kurun waktu 15 tahun
beberapa perkara korupsi kembali terulang. Belum ada upaya
8. 8
membangun sistem pencegahan yang sistematik yang dapat mencegah
tindak pidana korupsi kembali terulang. Pemberantasan korupsi yang
dilakukan hanya dengan penindakan tidak disertai dengan upaya
pencegahan berupa perbaikan sistem tidak akan pernah memberantas
korupsi dengan baik. Korupsi akan terus tumbuh dan dan berulang
kembali jika upaya perbaikan sistem sebagai salah satu upaya
pencegahan tidak dilakukan.
Dalam tugas melakukan monitor terhadap penyelenggaraan
pemerintahan negara, KPK diharapkan melakukan pengkajian terhadap
sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan
pemerintahan. Tugas ini belum dapat dilaksanakan secara optimal
karena justru pelaksanaan tugas KPK ini menimbulkan kekhawatiran
di lembaga negara dan pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya.
Tugas monitoring juga seringkali dianggap sebagai intervensi bagi
lembaga negara dan pemerintahan sehingga mengakibatkan lembaga
negara dan pemerintahan tersebut tidak dapat bekerja efektif, terutama
dalam penggunaan anggaran.
III. Aspek Tata Kelola Anggaran
Dalam melakukan tugasnya, Panitia angket telah melaksanakan
koordinasi, mendengarkan masukan dan mendapatkan data dari BPK.
Berdasarkan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Komisi
Pemberantasan Korupsi Tahun 2006-2016, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) masih belum sesuai dalam menindaklanjuti 47
rekomendasi, 5 rekomendasi belum ditindaklanjuti dan 2 rekomendasi
tidak dapat ditindaklanjuti dengan alasan yang sah. Berdasarkan hasil
audit BPK tersebut, banyak hal yang belum dapat
dipertanggunjawabkan dan belum ditindaklanjuti atas temuan BPK.
Untuk itu KPK perlu menindaklanjuti hasil audit BPK dan menjalankan
rekomendasinya.
Dalam kurun waktu 2005-2016, Realisasi anggaran KPK masih
terbilang jauh dari target perencanaan dengan rata-rata penyerapan
anggaran sebesar 61,30 persen pertahun. Artinya, KPK belum dapat
mengoptimalkan anggaran yang ada. Untuk itu KPK perlu melakukan
perbaikan dalam proses perencanaan dan tata kelola anggaran secara
efektif dan efisien dengan memanfaatkan kucuran dana yang
dikeluarkan oleh Pemerintah. Sedangkan terjadi pada realisasi PNBP
selama tahun 2006-2015 dengan rata-rata capaian 287.74% dari target.
9. 9
Ini mengindikasikan bahwa fungsi pencegahan pada KPK tidak
berjalan.
Dengan banyaknya kasus yang belum tertangani oleh KPK
mengindikasikan bahwa KPK memiliki keterbatasan dalam
melaksanakan tugas-tugasnya. Selain itu KPK juga memiliki fungsi
pencegahan melalui pendidikan, sosialisasi dan kampanye anti korupsi
kepada masyarakat. Oleh karena itu KPK memerlukan dukungan yang
optimal salah satunya dukungan dari aspek anggaran sehingga KPK
dapat menuntaskan seluruh laporan dari masyarakat terkait tindak
pidana korupsi. Dukungan anggaran untuk fungsi pencegahan perlu
ditingkatkan agar lebih efektif. Berkenaan dengan permintaan DPR RI
(audit investigasi) kepada BPK melalui surat Pimpinan DPR RI nomor :
PW/13427/DPR RI/VIII/2017 tanggal 2 Agustus 2017, perihal :
permohonan pemeriksaan keuangan Negara pada KPK RI dan surat
nomor : PW/16268/DPR RI/IX/2017 tanggal 12 September 2017,
perihal : Pemeriksaan Lanjutan Untuk Barang Sitaan dan Rampasan
Negara yang ditangani oleh KPK RI. Laporan Hasil Audit Investigatif dari
BPK tersebut nantinya, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Laporan Panitia Angket DPR RI.
Berkenaan dengan barang sitaan Negara terkait dengan tata
kelola anggaran sudah ada peraturan yang mengatur bahwa bahwa
benda sitaan disimpan di rumah penyimpanan barang sitaan negara
(Rupbasan) dan pentingnya pengelolaan yang baik dan tertib yang
kesemuanya harus terdata dengan baik dengan pemberitahuan kepada
RUPBASAN, sebagai pusat data pengelolaan barang rampasan dan
barang sitaan. Oleh karena itu KPK perlu lebih memperhatikan
pengelolaan barang sitaan dan barang rampasan yang tersimpan di
Rupbasan dan unit Pengelolaan Barang Bukti dan Ekskusi (Labuksi)
KPK agar tidak mengalami penyusutan nilai yang berdampak pada
gagalnya lelang.
IV. Aspek Tata Kelola Sumber Daya Manusia
Dalam hal tata kelola SDM, pegawai-pegawai di KPK yang dibiayai
dengan APBN, seharusnya menggunakan pola yang sama dengan
pegawai negara lainnya dalam naungan aturan UU ASN. Selain UU
ASN, KPK juga harus memperhatikan aturan yang ada dalam UU
Kejaksaan dan UU Kepolisian karena pegawai KPK ada yang berasal
dari Kejaksaan dan Kepolisian. Berdasarkan praktik dan temuan fakta
10. 10
di lapangan dapat disimpulkan bahwa KPK belum sepenuhnya
memberlakukan perundang-undangan terkait aparatur sipil negara,
kepolisian, dan kejaksaan, serta ditemukan ketidaksinkronan
pengaturan mengenai SDM KPK dengan peraturan perundang-
undangan terkait aparatur sipil negara, kepolisian, dan kejaksaan.
Terkait dengan penanganan pelanggaran kode etik pegawai KPK,
Komite Etik dan Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP) belum bekerja
secara optimal. Perlu penanganan yang lebih optimal terhadap Penyidik
KPK yang melanggar kode etik dan seperti apa bentuk penindakannya.
KPK belum dapat menciptakan solidaritas antar pegawai yang
satu dengan yang lain, serta menjalin komunikasi yang baik antar
pegawai, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan conflict of interest
antar pegawai yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi kinerja
KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK harus dapat
menerapkan manajemen konflik secara tepat di dalam tata kelola SDM
agar kinerja antar SDM dapat saling bersinergi dan berintegrasi.
Sidang Dewan yang Terhormat,
Dalam rangka untuk melakukan pendalaman dan konfirmasi
terhadap hasil temuan tersebut, Panitia Angket KPK telah memanggil dan
mengundang KPK untuk Rapat Dengar Pendapat guna membicarakan
agenda awal penyelidikan Pansus Angket KPK yang berkenaan dengan
sejumlah fakta-fakta dan temuan yang harus dikonfirmasi oleh subjek dan
objek penyelidikan. Namun KPK tidak memenuhi panggilan dari Panitia
Angket KPK dengan alasan masih menjadi pihak terkait dalam sidang
Judicial Review di Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana disampaikan
oleh KPK melalui surat tertulis Nomor B/6016/01-55/09/2017 tanggal 20
September 2017.
Ketidaksediaan KPK untuk memenuhi panggilan Panitia Angket KPK
tersebut berakibat Panitia Angket KPK belum dapat merampungkan
seluruh tugas-tugasnya karena masih harus melakukan langkah-langkah
pengujian atau konfirmasi dengan pihak-pihak terkait dalam organ KPK,
termasuk langkah-langkah konfrontasi antar berbagai pihak terkait apabila
dipandang perlu untuk didapatkannya sebuah fakta dan keterangan.
Panitia Angket dalam hal ini berpandangan untuk tetap mengedepankan
prinsip keadilan dan keseimbangan dalam melaksanakan tugas dan
kewenangan penyelidikan.
11. 11
Pasca dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :
36/PUU-XV/2017, Nomor 37/PUU-XV/2017, dan Nomor 40/PUU-
XV/2017 tanggal 8 Februari 2018 atas Permohonan Pengujian Pasal 79
ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD mengenai Hak Angket DPR RI yang menyatakan bahwa tugas
dan kewenangan KPK dapat menjadi objek penyelidikan angket DPR RI,
namun kami tidak melaksanakan pemanggilan tersebut pada saat ini,
karena satu hari sebelumnya tepatnya pada tanggal 7 Februari 2018
Pansus Angket KPK telah memutuskan dalam Rapat Pengambilan
Keputusan Tingkat I untuk mengakhirinya.
Sidang Dewan yang terhormat,
Hasil penyelidikan Panitia Angket DPR RI tentang Pelaksanaan Tugas
dan Kewenangan KPK sampai pada keputusan untuk merekomendasikan
berbagai agenda penguatan KPK pada aspek kelembagaan, kewenangan,
tata kelola SDM, dan anggaran. Rekomendasi ini agar ditindaklanjuti oleh
KPK serta lembaga penegak hukum lainnya yang terkait sesuai dengan
kewenangan masing-masing, sebagai berikut:
A. Aspek Kelembagaan.
1. Kepada KPK untuk menyempurnakan struktur organisasi KPK agar
mencerminkan tugas dan kewenangan KPK sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang meliputi koordinasi,
supervisi, penindakan, pencegahan, dan monitoring.
2. Kepada KPK untuk meningkatkan kerja sama dengan lembaga
penegak hukum serta lembaga lainnya seperti BPK, LPSK, PPATK,
Komnas-HAM, pihak perbankan dalam menjalankan
kewenangannya agar upaya pemberantasan korupsi dapat
dilakukan secara optimal, terintegrasi, dan bersinergi dengan baik.
3. Kepada KPK disarankan melalui mekanisme yang diatur sendiri oleh
KPK membentuk lembaga pengawas independen yang
beranggotakan dari unsur internal KPK dan eksternal yang berasal
dari tokoh-tokoh yang berintegritas dalam kerangka terciptanya
check and balances.
12. 12
B. Aspek Kewenangan.
1. Kepada KPK, dalam menjalankan tugas koordinasi dengan pihak
kepolisian dan kejaksaan serta supervisi terhadap pihak kepolisian
dan kejaksaan, agar membangun jaringan kerja (networking) yang
kuat dan menempatkan kepolisian dan kejaksaan sebagai
"counterpartner" yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi
dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
2. Kepada KPK, dalam menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, agar lebih
memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan mengacu
pada hukum acara pidana yang berlaku serta memperhatikan pula
peraturan perundang-undangan lainnya seperti undang-undang
yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban, undang-
undang yang mengatur tentang hak asasi manusia, dan tata kelola
yang mengatur tentang rumah penyimpanan benda sitaan negara.
3. Kepada KPK, dalam tugas melakukan tindakan-tindakan
pencegahan (monitoring) tindak pidana korupsi terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara, agar dapat membangun
sistem pencegahan yang sistematik yang dapat mencegah korupsi
kembali terulang dalam mencegah penyalahgunaan keuangan
Negara.
C. Aspek Anggaran
1. Kepada KPK untuk meningkatkan dan memperbaiki tata kelola
anggarannya sesuai dengan hasil rekomendasi dari BPK.
2. DPR RI akan mendorong peningkatan anggaran KPK untuk
mengoptimalkan penggunaan anggaran tersebut dalam fungsi
pencegahan seperti pendidikan, sosialisasi, dan kampanye
antikorupsi sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih
komprehensif kepada masyarakat dengan harapan berkurangnya
kasus korupsi di masa yang akan datang.
Aspek Tata Kelola SDM
1. Kepada KPK agar memperbaiki tata kelola SDM dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan di bidang
SDM/kepegawaian.
2. Kepada KPK agar semakin transparan dan terukur dalam proses
pengangkatan, promosi, mutasi, rotasi, hingga pemberhentian SDM
KPK dengan mengacu pada undang-undang yang mengatur tentang
aparatur sipil negara, kepolisian, dan kejaksaan.
13. 13
Sidang Dewan yang terhormat,
Atas dasar hasil penyelidikan yang merekemomendasikan aspek
kelembagaan, kewenangan, tata kelola anggaran dan tata kelola SDM
tersebut diatas, dan pandangan Fraksi-Fraksi di Pansus dalam Rapat
Pengambilan Keputusan Tingkat I, Hari Rabu tanggal 7 Februari 2018,
berdasarkan Pasal 177 ayat (2) Peraturan Tata Tertib DPR RI, memutuskan
dan menetapkan :
1. Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun KPK harus mampu meningkatkan
Indeks Persepsi Korupsi, menetapkan arah kebijakan penegakan
hukum pemberantasan yang sejalan dengan program pembangunan
Pemerintah, menindaklanjuti temuan pansus bersama-sama aparat
penegak hukum lainnya dan mempertanggungjawabkannya kepada
publik melalui pengawasan konstitusional alat kelengkapan dewan
DPR RI.
2. Tugas Panitia Angket DPR RI tentang Pelaksanaan Tugas dan
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan selesai.
Sidang Dewan yang terhormat,
Laporan yang kami bacakan ini sebelumnya pada tanggal 9 Februari
2018 telah kami kirimkan kepada KPK guna mendapatkan
respon/tanggapannya (dan terima kasih pada kesempatan penyampaian
laporan ini, pihak KPK berkenan hadir).
Kebenaran/kejujuran seringkali terzholimi, tetap mengabdi
sebagai ibadah kepada Illahi
Demikian laporan Pansus Angket KPK yang dapat kami sampaikan
untuk diambil keputusan pada tingkat Paripurna Dewan. Semoga Tuhan
Yang Maha Esa memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua,
disertai ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telag membantu
tugas-tugas Pansus.
Terima Kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 14 Februari 2018
Pimpinan Panitia Angket KPK
Ketua,
Drs. Agun Gunandjar Sudarsa, Bc.IP., M.Si.
A-267