1. 1
KEBERADAAN DAN KEDUDUKAN KOMISI PELAYANAN PUBLIK
DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR DAN OMBUDSMAN DAERAH
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2008
TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA
Oleh:
RUSDIANTO S, S.H., M.H.1
A. Latar Belakang
Sejalan dengan semangat reformasi yang bertujuan menata
kembali perikehidupan berbangsa dan bernegara, seperti yang
diharapkan oleh segenap elemen masyarakat bangsa Indonesia untuk
mewujudkan sebuah pemerintahan yang bersih, transparan, dan
akuntabilitas yang tinggi, Pemerintah telah melakukan perubahan-
perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan dan sistem
pemerintahan Republik Indonesia,guna mewujudkan cita-cita dan
semangat reformasi yang dikehendaki oleh rakyat. Perubahan
dimaksud dilakukan antara lain dengan membentuk lembaga-lembaga
pemerintahan baru. Salah satu diantaranya adalah Komisi
Ombudsman Nasional atau juga yang lazim disebut dengan
Ombudsman Nasional. Lembaga ini dibentuk pada tanggal 10 Maret
2000 dengan Keputusan Presiden Nomor 44 tahun 2000 tentang
Komisi Ombudsman Nasional.
Menurut Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tersebut,
Komisi Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan
masyarakat berasaskan pancasila bersifat mandiri, serta berwenang
melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan
masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya
pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan
terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dengan
kata lain bahwa Komisi Ombudsman Nasional merupakan suatu
1
Penulis adalah dosen tetap bagian Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
2. 2
lembaga negara yang bertujuan untuk memberikan perlindungan
hukum terhadap hak-hak masyarakat yang diabaikan oleh aparatur
pemerintahan khususnya dalam memberikan pelayanan publik
tehadap masyarakat. 2
Salah satu tugas pokok Komisi Ombudsman Nasional tersebut
adalah untuk mempersiapkan Rancangan Undang-Undang
Ombudsman Nasional3
dan baru 8 tahun setelah ditetapkannya
Keppres nomor 44 tahun 2000 itulah Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia disahkan dan
mulai berlaku pada tanggal 7 Oktober 2008. Dengan ditetapkannya
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia maka diharapkan kinerja dan fungsi Ombudsman
dapat lebih efektif dalam melakukan dan mengakomodir segala bentuk
laporan-laporan maupun keluhan-keluhan masyarakat terhadap
pelayanan publik yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan. Adapun
salah satu tujuan dari dibentuknya Ombudsman Republik Indonesia
adalah untuk memberikan perlindungan hukum atas hak-hak warga
negara dalam menerima pelayanan publik dari aparatur pemerintahan
secara propesional serta untuk terbentuknya suatu pemerintahan yang
baik, bersih, dan adil (Good Governance).
Lain daripada itu, keberadaan Ombudsman diharapkan dapat
dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat Indonesia baik yang
tinggal di pedesaan maupun di perkotaan. Dengan luasnya wilayah
geografis Indonesia yang mencapai 2 juta Km2 ( 17.000 dan wilayah
lautan yang luas pula)4
serta dengan jumlah penduduk yang besar
yaitu 237 juta jiwa (terbesar ke-4 di dunia setelah RRC, India dan
Amerika Serikat) tentunya tugas dan tanggungjawab yang dimiliki oleh
2
Indonesia, Keputusan Presiden tentang Komisi Ombudsman Nasional, Keppres
No.44 Tahun 2000, Ps. 2
3
Ibid, Ps.4 huruf d
4
Hadjon, Philipus M. et.all, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Introduction to The Indonesian Administrative Law, cet.10 (Yogyakarta: Gajahmada
University Press, 2008), hlm.111
3. 3
Ombudsman Indonesia sangatlah besar. Keberadaan Komisi
Ombudsman Nasional yang diatur oleh Keppres Nomor 44 tahun 2000
dirasakan tidaklah cukup untuk mengakomodir dan memberikan
perlindungan hukum terhadap hak-hak pelayanan publik bagi
masyarakat dikarenakan Ombudsman Nasional hanya berada di
Ibukota Negara serta tidak diaturnya suatu ketentuan yang
memungkinkan Komisi Ombudsman Nasional tersebut untuk
membuka perwakilan di daerah-daerah, baik itu daerah provinsi
maupun kabupaten/kota.
Dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 37 tahun 2008,
maka dimungkinkan untuk dibentuknya perwakilan Ombudsman di
daerah, baik itu daerah provinsi maupun kabupaten/kota.5
Keberadaan Perwakilan Ombudsman di daerah tersebut memiliki
hubungan hierarkis dengan Ombudsman di tingkat pusat, dengan kata
lain bahwa Perwakilan Ombudsman di daerah bertanggungjawab
kepada Ombudsman di tingkat pusat.6
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik
Indonesia baru ditetapkan 8 tahun setelah dikeluarkannya Keppres
Nomor 44 Tahun 2000, sehingga tidak semua permasalahan
pelayanan publik yang dihadapi oleh masyarakat, terutama di daerah-
daerah dapat ditindak lanjuti oleh Komisi Ombudsman Nasional
dikarenakan tidak ada ketentuan dalam Keppres tersebut yang
memungkinkan dibentuknya perwakilan ombudsman di daerah.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa dengan luas wilayah
yang sangat luas dan dengan jumlah penduduk yang sangat besar
tentunya akan menyulitkan dan membuat tanggungjawab Komisi
Ombudsman Nasional sangat besar, belum lagi faktor keberadaan,
fungsi, kewenangan maupun tata kerja Komisi Ombudsman Nasional
5
Indonesia, Undang-Undang tentang Ombudsman Republik Indonesia, UU No.
37 Tahun 2008, LN No.139 Tahun 2008, TLN No. 4899, Ps. 5 Jo. Ps. 43 ayat (1)
6
Ibid, Ps.43 ayat (2)
4. 4
tidak begitu populer, terlepas dari apakah hal itu dikarenakan oleh
kemauan politik ( political will ) pemerintah yang kurang ataukah
memang kinerja Komisi Ombudsaman yang kurang baik, padahal
permasalahan kurang propesionalnya pelayanan publik terhadap
masyarakat kerap terjadi di daerah-daerah terutama dengan
diterapkannya asas desentralisasi dan dekonsentrasi yang
memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur
dan mengurus daerahnya secara mandiri berdasarkan Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pelayanan Publik yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan
daerah haruslah dilakukan secara profesional, adil, bebas dari korupsi,
kolusi dan nepotisme sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan
yang Baik ( AUPB ), sehingga dapat terciptanya penyelenggaraan
negara yang bersih, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999.
Oleh karena itu, untuk melindungi hak-hak masyarakat dalam bidang
pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur pemerintahan di
daerah, maka berbagai daerah di Indonesia membuat inisiatif sendiri
untuk membentuk suatu badan/komisi atau lembaga di daerah yang
memiliki tugas dan kewenangan untuk memberikan perlindungan
terhadap hak-hak masyarakat yang diabaikan oleh aparatur
pemerintahan daerah dalam bidang pelayanan publik.
Salah satu daerah yang membentuk suatu lembaga/komisi
yang memiliki kewenangan untuk melindungi hak-hak masyarakat dari
penyelenggara pelayanan publik yang kurang baik dan propesional
dalam memberikan pelayanan publik terhadap masyarakat adalah
daerah Provinsi Jawa Timur. Provinsi Jawa Timur membentuk suatu
komisi yang memiliki kewenangan untuk melindungi hak-hak
masyarakat dalam hal pelayanan publik pada tahun 2005 melalui
Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 2005 tentang Pelayanan Publik di
Provinsi Jawa Timur yang dinamakan Komisi Pelayanan Publik ( KPP
5. 5
) yang selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur Jawa
Timur Nomor 14 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda
Nomor 11 tahun 2005 tersebut, serta Peraturan Gubernur Jawa Timur
Nomor 2 Tahun 2007 tentang Sekretariat Komisi Pelayanan Publik
(KPP) Provinsi Jawa Timur.
Sekilas, apabila ditinjau dari bidang tugas dan kewenangan
yang dimiliki oleh KPP Provinsi Jawa Timur maka akan didapat
kesamaan bidang tugas yang dimiliki oleh Ombudsman Republik
Indonesia, yaitu sama-sama memiliki tugas dalam bidang pelayanan
publik.7
Berkaitan dengan itu juga, dengan dimungkinkannya untuk
dibentuk Ombudsman Daerah berdasarkan ketentuan Pasal 5 juncto
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia yang mana diantaranya tidak diatur
dengan jelas dan terperinci mengenai susunan, kedudukan maupun
kompetensi Ombudsman Daerah dimaksud , maka tulisan ini
bertujuan untuk mengkaji keberadaan KPP Provinsi Jawa Timur dan
Ombudsman Daerah dikaitkan dengan keberadaan Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
B. Tinjauan Pustaka
1. Konsep Negara Kesatuan dan Otonomi Daerah
Konsep susunan negara yang berkaitan dengan bentuk-
bentuk negara modern saat ini dapat ditijau dari segi susunannya.
Negara, apabila ditinjau dari segi susunan atau bentuk negara,
maka akan ditemukan dua jenis bentuk negara, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Soehino berikut ini:8
a. Negara yang bersusun tunggal, yang disebut dengan Negara
Kesatuan
b. Negara yang bersusun jamak, yang disebut Negara Federasi.
7
Lihat ketentuan Ps. 6 UU. No. 37 Tahun 2008 dan Ps.16 Perda Prov.Jatim No.
11 Tahun 2005
8
Soehino, Ilmu Negara, Ed.3, Cet.3 (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 224
6. 6
Selanjutnya, Soehino memberikan defenisi atau penjelasan
mengenai negara kesatuan sebagai berikut:
“Negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari
beberapa negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara,
sehingga tidak ada negara di dalam negara. Dengan
demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu
pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai
kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang
pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan
pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik
di pusat maupun di daerah-daerah.”9
Kekuasaan para penguasa pada abad XVII maupun abad
XVIII masih bersifat absolut dan masih dilaksanakannya azas
sentralisi (urusan pemerintah milik pemerintah pusat) dan azas
konsentrasi (segala kekuasaan serta urusan pemerintahan
dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat). Dalam
perkembangannya yang dikarenakan perkembangan pesat yang
terjadi dalam suatu negara, yaitu semakin luasnya wilayah, urusan
pemerintahan semakin kompleks, serta warga negaranya semakin
banyak dan heterogen, maka di berbagai negara telah
dilaksanakan azas dekonsentrasi ( pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah) dalam
rangka penyelenggaraan pemeintahan di daerah.10
Dalam perkembangannya lebih lanjut juga dibeberapa
negara telah dilaksanakan azas desentralisasi ( penyerahan urusan
dari pemerintah pusat ke daerah otonom) untuk menjadi urusan
rumah daerah otonom itu. Pelaksanaan asas desentralisasi inilah
yang melahirkan daerah-daerah otonom. Daerah otonom dapat
mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.11
9
Ibid, hlm.224
10
Ibid, hlm.224-225
11
Ibid, hlm.225-226
7. 7
Penjelasan lebih lanjut mengenai negara kesatuan yang
didesentralisasikan tersebut dapat dilihat dari uraian yang
dikemukakan oleh Zulfikar Salahuddin, Al Chaidar dan Herdi
Sahrasad dalam Ni‟matul Huda berikut ini:
“Prinsip pada negara kesatuan ialah bahwa yang memegang
tampuk kekuasaan tertinggi atas segenapurusan negara
ialah pemerintah pusat tanpa adanya suatu delegasi atau
pelimpahan kekuasaan pada pemerintah daerah (local
government). Dalam negara kesatuan terdapat asas bahwa
segenap urusan-urusan negara tidak dibagi antara
pemerintah pusat (central government) dan pemerintah lokal
(lical government) sehingga urusan-urusan negara dalam
negara kesatuan tetap merupakan suatu kebulatan (eenheid)
dan pemegang tertinggi di negara itu ialah pemerintah
pusat.” 12
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas maka
dapat diketahui bahwa kekuasaan yang sebenarnya tetap berada
dalam genggaman pemerintah pusat dan tidak dibagi-bagi. Dalam
negara kesatuan, tanggungawab pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan pemerintah
pusat. Adapun hubungan antara asas desentralisasi dengan sistem
otonomi daerah sebagaimana dikemukakan oleh Benyamin
Hossein yang kemudian diikuti oleh pendapat Philip Mowhod dan
kemudian disimpulkan oleh Jayadi N.K dalam Siswanto Sunarno
adalah sebagai berikut:
“Secara teoritis desentralisasi seperti yang dikemukakan
oleh Benyamin Hossein adalah pembentukan daerah otonom
dan/atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh
pemerintah pusat . Philip Mawhod menyatakan desentraliasi
adalah pembagian dari sebagiankekuasaan pemerintah oleh
elompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompok-
kelompok lain yang masing-masing memiliki otoritas di dalam
wilayah tertentu di suatu negara. Dari defenisi kedua pakar
diatas, menurut Jayadi N.K. bahwa mengandung empat
pengertian: pertama, desentralisasi merupakan
12
Huda, Ni‟matul, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2005), hlm. 92
8. 8
pembentukan daerah otonom; kedua, daerah otonom yang
dibentuk diserahi wewenang tertentu oleh pemerintah pusat;
ketiga, desentralisasi uga merupakan pemencaran
kekuasaan oleh pemerintah pusat; keempat, kekuasaan
yang dipencarkan diberikan kepada kelompok-kelompok
masyarakat dalam wilayah tertentu.”13
Berikut ini penjelasan lebih lanjut mengenai negara kesatuan
dan otonomi daerah di Indonesia:
“…Akan tetapi, sistem pemerintahan Indonesia yang salah
satunya menganut asas negara kesatuan yang
didesentralisasikan menyebabkan ada tugas-tugas tertentu
yang diurus sendiri sehingga menimbulkan hubungan timbal
balik yang melahirkan adanya hubungan kewenangan dan
pengawasan.” 14
Bahkan penjelasan tentang asas desentralisasi oleh
Siswanto Sunarno diserupai dengan hak keperdataan atau
disamakan dengan hukum keperdataan, yaitu adanya pemberi hak
dan penerima hak. Beikut ini penjelsannya mengenai asas
desentralisasi dan sistem otonomi daerah di Indonesia yang
dikemukakan secara gamblang berikut ini:
“Asas desentralisasi ini dapat ditanggapi sebagai hubungan
hukum keperdataan, yakni penyerahan sebagaian hak dari
pemilik hak kepada penerima hak, dengan objek hak
tertentu. Pemilik hak pemerintahan adalah ditangan
pemerintah, dan hak pemerintahan tersebut diberikan
kepada pemerintah daerah,dengan objek hak berupa
kewenangan pemerintah dalam bentuk untuk mengatur
urusan pemerintahan, namun masih tetap dalam kerangka
NKRI. Pemberian hak ini, senantiasa harus
dipertanggungawabkan kepada si pemilik hak dalam halini
Presiden melalui Menteri dalam Negeri dan DPRD sebagai
kekuatan representatif rakyat di daerah.” 15
Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya
memaksimalkan hasil yang akan dicapai sekaligus menghindari
13
Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.3 (Jakarta:
Sinar Grafika, 2009), hlm. 13
14
Huda, Ni‟matul, Op.cit, hlm.93
15
Sunarno Siswanto, Op.Cit, hlm. 7
9. 9
kerumitan dan hal-hal yang menghambat pelaksanaan otonomi
daerah. Dengan demikian tuntutan masyarakat dapat diwujudkan
secara nyata dengan penerapan otonomi daerah dan kelangsungan
pelayanan umum yang tidak diabaikan.16
2. Konsep Good Governance dan Pelayanan Publik
Konsep Good Governance pada awalnya dipopulerkan oleh
bank Dunia dan kemudian lembaga dana internasional lainnya,
dilatarbelakangi oleh semakin berkembangnya tuntutan akan
kualitas demokrasi, hak asasi manusia dan partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan, hilangnya efektivitas pemerintahan
dan sebagainya.17
Konsep Good Governance berakar pada suatu
gagasan adanya saling ketergantungan (interdependence) dan
hubungan interaksi dari bermacam-macam aktor kelembagaan
disemua level di dalam negara ( DPR, Eksekutif, legislatif, militer ),
masyarakat madani (LSM, pers, orgnisasi profesi, gereja,
pesantren) dan sektor swasta (perusahaan, lembaga keuangan).18
Selain itu, embrio pemikiran tentang Good Governance pada
dasarnya telah lahir melalui pemikiran Simon Kuznets pada tahun
1955 dalam bukunya yang berjudul Economic Growth and Income
Inequality. Pemikiran Simon selanjutnya dipertegas dengan istilah
Good Governance oleh M. Adil Khan dalam mewujudkan
keberhasilan dalam pembangunan.19
Mas‟oed dalam Budi Masthuri
mengartikan Good Governance sebagai suatu prinsip dalam
mengatur pemerintahan yang memungkinkan layanan publiknya
efisien, sistem pengadilnnya bisa diandalkan dan administrasinya
16
H.A.W. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 2
17
Komisi Ombudsman Nasional, Peranan Ombudsman Dalam Pemberantasan
dan Pencegahan Korupsi Serta Pelaksanaan Pemerintahan yang Baik, Cet.2 (Jakarta:
Komisi Ombudsman Nasional, 2007), hlm. 39
18
Ibid, hlm. 40
19
Masthuri, Budhi, Mengenal Ombudsman Indonesia (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2005), hlm. 28
10. 10
bertanggungjawab pada publik.20
Kemudian menurut Masthuri,
bahwa ada tiga intisari atau tiga asas dalam good governance yaitu
akuntabilitas publik (pertanggungjawaban pejabat publik), kepastian
hukum (rule of law) dan transparansi publik (akses informasi yang
benar, jujur dan tidak diskriminatif).21
Pembahasan mengenai good governance tidaklah lepas dari
aspek pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara
pelayanan publik. Dalam memberikan pelayanan publik kepada
masyarakat, penyelenggara pelayanan publik (yaitu pemerintah
selaku pejabat publik)22
haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip atau
Asas-asas Pemerintahan yang Baik (AUPB) yang dalam bahasa
Belanda dikenal dengan istilah Algemene Benginselen van
Behorlijk Bestuuren (ABBB), sebagai landasan filosofis dalam
menjalankan pemerintahan.23
Adapun ABBB yang dikenal di
Belanda adalah sebagai berikut:24
a. Asas persamaan
b. Asas kepercayaan
c. Asas kepastian hukum
d. Asas kecermatan
e. Asas pemberian alasan (motivasi)
f. Larangan “detournement de poupoir” (penyalahgunaan
wewenang)
g. Larangan bertindak sewenang-wenang.
20
Ibid, hlm. 29
21
Ibid, hlm. 30
22
Lihat Hadjon, Philipus M, Op.Cit, hlm. 212
23
Masthuri, Masthuri, Op.Cit, hlm. 29
24
Hadjon, Philpus M., Op.Cit, hlm. 270. Bandingkan dengan Asas
penyelenggaraan negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Pasal 3,
yaitu; Asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggara negara, asas kepentingan
umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas
akuntabilitas. Bandingkan juga dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik Pasal 4 yaitu: asas kepentingan umum kepastian hukum; kesamaan
hak; keseimbangan hak dan kewajiban; keprofesionalan; partisipatif; persarnaan
perlakuan/ tidak diskriminatif; keterbukaan; akuntabilitas; fasilitas dan perlakuan khusus
bagi kelompok rentan; ketepatan waktu; dan kecepatan, kemudahan, dan
keterjangkauan.
11. 11
Intisari dari kesemua asas tersebut adalah bahwa pejabat
publik berkewajiban memberikan jaminan bahwa bahwa dalam
melayani masyarakat, masyarakat akan memperoleh kejelasan
tenggang waktu, hak dan kewajiban dan sebagainya sehingga
masyarakat akan memperoleh rasa keadilan khususnya ketika
berhadapan dengan penyelenggara negara atau penyelengara
pelayanan publik. Dengan demikian dalam kerangka good
governance, setiap pejabat publik berkewajiban memberikan
perlakuan yang sama bagi setiap warga masyarakat dalam
menalankan fungsi-fungsi sebagai pelayan publik (equality before
the law).25
3. Sistem Pengawasan dan Ombudsman
Pengawasan atau dalam bahasa Inggris disebut dengan
istilah controlling adalah suatu kegiatan yan bertujuan untuk
menjamin agar penyelenggaraan suatu kegiatan sesuai dengan
rencana.26
Di Indonesia dikenal ada beberapa jenis pengawasan,
diantaranya adalah pengawasan internal (pengawasan dalam
lingkungan pemerintahan itu sendiri), pengawasan eksternal
(pengawasan dari lembaga lain diluar lembaga yang diawasi).
Sedangkan dari sifatnya, pengawasan pemerintahan ada yang
bersifat preventif (mencegah terjadinya pelanggaran hukum oleh
aparat pemerintah) dan yang bersifat represif (menindak perbuatan
pemerintah yang sudah dilakukan dengan melanggar
hukum).27
Selain jenis-jenis pengawasan tersebut dikenal juga jenis
pengawasan lainnya, misalnya pengawasan melekat (yaitu
25
Masthuri, Budhi, Op.Cit, hlm. 31
26
Asmara, Galang, Ombudsman Nasional dalam sistem Pemerintahan Negara
Republik Indonesia (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2005), hlm. 125
27
Asmara, Galang, Ibid, hlm. 125-126
12. 12
pengawasan atasan terhadap bawahan) dan pengawasan
masyarakat.28
Berkaitan dengan pengawasan masyarakat, maka penting
untuk dibicarakan tentang suatu lembaga yang juga dikenal
sebagai sebuah bentuk jelmaan pengawasan masyarakat atau
paling tidak sebagai badan atau institusi pengawasan yang
digunakan oleh masyarakat untuk mengadukan segala bentuk
tindakan aparatur pemerintahan yang dianggap melanggar hak-hak
masyarakat lemah dari penyalahgunaan kewenangan atau tidak
sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, lembaga
yang dimaksud adalah Ombudsman. Institusi Ombudsman pertama
kali lahir di Swedia walaupun Swedia bukanlah satu-satunya
negara yang pertama kali membangun sistem pengawasan
Ombudsman.29
Ombudsman sendiri berasal dari bahasa
Skandanavia yang berarti wakil sah seseorang.30
Berikut ini penjelasan Teten Masduki dalam Budhi Masthuri
tentang batasan-batasan pengertian ataupun ruang lingkup dari
Ombudsman:31
“Secara tradisional ombudsman dikenal sebagai lembaga
independent yang menerima dan menyelidiki keluhan-
keluhan masyarakat yang menjadi korban kesalahan
administrasi (maladministration) publik. Yaitu keputusan-
keputusan atau tindakan pejabat publik yang ganil
(inappropiate), menyimpang (deviate), sewenang-wenang
(arbitrary) melanggar ketentuan (irregular/illegitimate),
penyalahgunaan kekuasaan (abuses of power)
keterlambatan yang tidak perlu (undue delay) atau
pelanggaran kepatutan (equity).
Ide pembentukan ombudsman di Swedia berasal dari raja
Swedia Charles XII (1697-1718).32
Pada awal terbentuknya,
28
Asmara, Galang, Ibid,.
29
Masthuri, Budhi, Op.Cit, hlm.1
30
Komisi Ombudsman Nasional,Op.Cit., hlm. 42
31
Komisi Ombudsman Nasional, Ibid.
32
Masthuri, Budhi, Ibid, hlm. 3
13. 13
ombudsman Swedia hanya bertugas memastikan bahwa hukum
tetap dipatuhi, dan para pejabat negara tetap melaksanakan
tugasnya dengan baik. Selain Ombudsman di swedia, di Belanda
juga dibentuk sebuah lembaga ombudsman sejak 1 Januari 1982
yang pendirian dan kewenngannya diatur berdsarkan undang-
undang Ombudsman National 1981,33
dan pada akhirnya diatur
dalam konstitusi Belanda yang dirubah pada tahun 1999 pada
Pasal 78a.
Ombudsman tidak menyibukkan dirinya pada penegakan
hukum yang sesungguhnya, akan tetapi tindakan-tindakan
pemerintahan baik tindakan hukum maupun tindakan nyata atas
norma-norma kepantasan.34
setiap orang mempunyai hak untuk
meminta kepada ombudsman secara tertulis untuk memeriksa cara
suatu organ administrasi telah bertindak dalam suatu keadaan
tertentu terhadap seseorang atau suatu badan hukum.
Ombudsman juga berwenang untuk/atas prakarsa sendiri
mengadakan suatu pemeriksaan.35
Hasil pemeriksaan Ombudsman
dibuat dalam bentuk laporan yang dikirimkan kepada organ
bersangkutan yang berisikan hasil pemeriksaan dan pendapat atau
rekomendasinya dan setiap tahunmenyampaikan laporan kerjanya
terhadap parlemen Belanda (staten general) yang walaupun
laporan ombudsman tidak bersifat mengikat.36
Adapun jenis-jenis Ombudsman dapat dilihat dari apa yang
ditulis oleh Budhi Masthuri yang mengklasifikasikan ombudsman
kedalam beberapa jenis Ombudsman:37
a) Ombudsman yang dilihat dari mandat dan mekanisme
pertanggungawabannya, institusi Ombudsman dibedakan
33
Hadjon, Philipus, M, Op.Cit. hlm.303
34
Hadjon, Philipus, M, Ibid.
35
Hadjon, Philipus, M, Ibid
36
Hadjon, Philipus, M, Ibid
37
Masthuri, Budhi, Op.Cit., hlm. 6-8
14. 14
dalam dua jenis yaitu Ombudsman Parlementer yang dipilih
oleh parlemen dan bertanggungjawab (laporan) kepada
parlemen, serta Ombudsman Eksekutif yang dipilih dan
bertanggungjawab kepada Presdien, Perdana Menteri atau
Kepala Daerah.
b) Ombudsman yang dilihat dari jenis dan institusi yang
membentuknya, Ombudsman dibedakan kedalam tiga jenis,
yaitu; pertama, Ombudsman Publik yaitu ombudsman yang
dibentuk oleh institusi publik yang mengawasi proses
pemberian pelayanan umum bagi masyarakat yang dapat oleh
parlemen, Presiden atau Kepala Daerah. Kedua, Ombudsman
swasta yang dibentuk oleh institusi swasta. Ketiga,
Ombudsman hibryd yang dibentuk oleh swasta atas mandat
yang diberikan oleh negara untuk mengawasi proses pelayanan
umum di sektor swasta.
c) Ombudsman yang dilihat dari wilayah yurisdiksinya dibedakan
kedalam tiga jenis, yaitu; pertama, Ombudsman Nasional yang
wilayah kerjanya mencakup seluruh wilayah negara dimana
ombudsman itu berada. Kedua, Ombudsman Daerah yaitu
wilayah kerjanya terbatas pada satu daerah tertentu dalam
sebuah negara bisa dalam level provinsi maupun level
kabupaten/kota atau negara bagian. Ketiga, Ombudsman
Multinasional yang wilayah kerjanya mencakup beberapa
negara seperti Ombudsman Eropa.
Sementara itu, ide pembentukan ombudsman di Indonesia
sudah ada sejak tahun 1967, ketika P.K Ojong menyampaikan
pendapatnya dalam Harian Umum Kompas tentang perlunya
lembaga ombudsman di Indonesia dan 14 tahun kemudian (1981),
Mr.T.H.Lim mengungkapkan kembali bahwa perlunya dibentuk
ombudsman dikarenakan banyaknya pengaduan yang diajukan
kepada Komisi III DPR mengenai tindakan-tidakan pemerintah Orde
15. 15
Baru saat itu.38
Pada intinya pembentukan ombudsman adalah
bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada warganegara
serta dijadikan alat kontrol masyarakat terhadap pemerintah
sebagaimana pandangan yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo
yang dikutip oleh Galang Asmara berikut ini:
“bahwa lembaga ombudsman di Indonesia dianggap penting
sebagai alat kontrol masyarakat terhadap pemerintah
berkaitan dengan besarnya kemungkinan pemerintah untuk
berbuat sekehendak hati sebagai konsekuensi penerapan
ide negara welfare state yang membuka peluang sangat
besar bagi pemerintah untuk ikut campur dalam urusan
masyarakat dengan dalil demi terwujudnya kesejahteraan
masyarakat. Oleh karena itu menurut Satjipto Rahardjo demi
untuk terselenggaranya administrasi pemerintahan yang
efisien dan sesuai dengan kebijaksanaan yang digariskan,
maka mau tidak mau orang harus mengembangkan suatu
mekanisme yang dapat menekan cacat-cacat dalam
pelaksanaan tugas pemerintahan itu sekecil-kecilnya. Salah
satu caranya adalah dengan mendirikan Ombudsman seperti
yang sudah dikenal lama di negara-negara Skandanavia,
New Zealand dan lain-lain.”39
Dengan demikian, dari berbagai penjelasan yang telah
dikemukakan diatas, maka dapat diketahui bahwa Ombudsman
merupakan suatu bentuk pengawasan masyarakat untuk menilai
dan menerima laporan masyarakat atas pelayanan publik yang
diselenggarakan oleh aparatur pemerintahan guna terciptanya
aparatur pemerintahan yang bersih dan berwibawa dan terbebas
dari korupsi yang melanda Indonesia saat itu. 40
4. Ombudsman Daerah dan Pelayanan Publik di Daerah
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa
Indonesia merupakan negara yang sangat luas dengan jumlah
populasi penduduk terbesar ke-4 di dunia. Dengan keadaan seperti
ini maka tidak efektif apabila Ombudsman hanya terpusat di Ibu
38
Asmara, Galang, Op.Cit, hlm.9-10
39
Asmara, Galang, ibid., hlm.11
40
Asmara, Galang, Ibid, hlm. 12-13
16. 16
kota negara saja, sedangkan permasalahan sering kali terjadi
bukan hanya di Jakarta akan tetapi juga di daerah-daerah lainnya,
terlebih lagi setelah Indonesia menganut prinsip negera kesatuan
yang didesentralisasikan. Konsekuensi dari hal tersebut adalah
pelayanan publik juga bukan hanya ada di Ibukota negara,
melainkan juga di daerah-daerah. Selain itu juga mengenai
pengawasan yang tidak dapat dijangkau oleh Ombudsman
Nasional.41
Oleh karena itu, dengan telah diundang-undangkannya
undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia, didalamnya sudah diatur mengenai adanya
kemungkinan apabila dipandang perlu untuk membangun atau
membentuk Ombudsman di daerah.
Galang Asmara sendiri mengemukakan pendapat tentang
urgensi dari ombudsman daerah sebagai suatu keharusan dan
merupakn qonditio sine quanon beserta alasan tentang arti penting
ombudsman di daerah. Alasan-alasan yang dimaksud yaitu bahwa,
pertama; wilayah Indonesia yang sangat luas, terbentang dari
Sabang hingga Merauke, arak dari Jakarta ke daerah-daerah
lainnya sangat jauh. Kedua, penduduk yang besar dan menyebar
ke berbagai pelosok dengan permasalahan yang beraneka ragam.
Ketiga, permasalahan di daerah seringkali membutuhkan
penanganan khusus dan sesegera mungkin, sehingga tidak hanya
membutuhkan ombudsman yang berwawasan nasional tetapi uga
memahami karasteristik daerah.42
Berkaitan dengan fungsi yang dimiliki oleh Ombudsman
daerah adalah sama dengan fungsi Ombudsman Nasional, yaitu
sama-sama merupakan lembaga atau institusi pengaduan
masyarakat terhadap tindakan aparatur pemerintahan atau pejabat
pelayanan publik yang diindikasikan melanggar hak-hak
41
Masthuri, Budhi, Op.Cit., hlm. 79
42
Asmara, Galang, Op.Cit., hlm.114
17. 17
masyarakat dalam memberikan pelayanan publik kepada
masyarakat. Sedangkan kompetensi atau kewenangan dari
Ombudsman daerah menurut pendapat Galang Asmara adalah
sebagai berikut:
“Seperti telah dikemukakan di muka, bahwa pembentukan
ombudsman daerah ada hubungannya dengan pelaksanaan
otonomi daerah, sehingga apabila diadakan Ombudsman
Daerah oleh Pemerintah Daerah maka Ombudsman itu
dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan penggunaan
kekuasaan oleh aparatur atau lembaga-lembaga di daerah.
Oleh seba itu menurut hemat penulis, kompetensi
Ombudsman Daerah adalah menyangkut keluhan-keluahan
masyarakat yang ditujukan kepada aparatur pemerintah
daerah meliputi sikap dan tindakan pejabat,lembaga serta
pegawai suatu instansi di daerah, sedangkan Ombudsman
pusat melayani keluhan-keluhan masyarakat yang
menyangkut sikap tindak atau keputusan aparatur
pemerintah pusat atau instansi vertikal di daerah.” 43
Sejauh ini, telah ada tiga Ombudsman Daerah yang dibentuk
di Indonesia. Satu berada pada tingkat provinsi yaitu Ombudsman
Daerah Yogyakarta dan dua berada pada level kabipaten/kota yaitu
Ombudsman Kabupaten Asahan dan Ombudsman Kota Pangkal
Pinang.44
Selain itu juga, di Provinsi Jawa Timur telah dibentuk
suatu badan/instansi/komisi yang fungsi dan tugasnya sama
dengan Omdusman yaitu berfungsi untuk menerima pengaduan
masyarakat atas pelayanan publik yang diselenggarakan oleh
penyelenggara layanan publik yang ada di Provinsi Jawa Timur
melalui Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 tentang
Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur yang kemudian
ditindaklanjuti oleh Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 14
Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005, serta Peraturan
43
Asmara, Galang, Ibid., hlm.122
44
Masthuri, Budhi, Op.Cit., hlm.99
18. 18
Gubernur Jawa Timur Nomor 2 Tahun 2007 tentang Sekretariat
Komisi Pelayanan Publik Provinsi Jawa Timur.
C. Pembahasan
1. Apakah Ombudsman Daerah akan menjadi alat dari DPRD
atau menjadi institusi di lingkungan Pemerintah Daerah
(eksekutif) ataukah berkedudukan sejajar dengan kedua
lembaga tersebut?
Sebagaimana dikemukakan di muka bahwa konsekuensi dari
otonomi daerah adalah daerah memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
peraturanperundang-undangan dan asas otonomi daerah di
Indonesia. Dengan adanya kewenangan daerah untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri maka tentunya pelayanan
publik merupakan sesuatu yang tidak dapat terpisahkan dari
peyelenggaraan kewenangan otonomi yang dimaksud, dengan
kata lain bahwa pelayanan publik di daerah akan menjadi bagian
penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Sebagaimana
telah dikemukakan sebelumnya bahwa dengan adanya
pelimpahan kekuasaan (desentralisasi) melalui otonomi daerah
maka tentunya proses pengawasan penyelenggaraan pelayanan
publik di daerah tidak akan efektif apabila hanya dilakukan oleh
sebuah Ombudsman Nasional.45
Dengan adanya pelimpahan kekuasaan tersebut maka
peluang untuk terjadinya penyimpangan dan/atau
penyalahgunaan kewenangan menjadi besar, terutama dalam hal
pelayanan publik di daerah. Singkatnya, desentralisasi dan
otonomi daerah yang berakibat pada kewenangan daerah
45
Masthuri, Budhi, Ibid., hlm. 79
19. 19
semakin luas dan besar dalam mengatur dan mengurus rumah
tangganya tanpa diimbangi dengan sistem pengawasan yang
memadai, maka dapat berisiko memperbesar praktek-praktek
penyimpangan terhadap jabatan penyelenggara daerah, baik itu
betindak sewenang-wenang maupun menyalahgunakan
kewenangan yang dimilikinya. Oleh karena itu, untuk menghindari
adanya penyalahgunaan kewenangan dan tindakan sewenang-
wenang dari pejabat publik di daerah, maka memerlukan sebuah
pengawasan yang memadai yang bersifat independent dan
otonom pula, untuk mengimbangi kemungkinan penyalahgunaan
kewenangan ataupun tindakan sewenang-wenang dari pejabat
publik di daerah. Pengawasan yang bersifat memadai dan otonom
tersebut dapat dilakukan oleh sebuah Ombudsman daerah,
terutama penyimpangan yang terjadi dalam bidang pelayanan
administrsi (Maladministrasi) atau bidang pelayanan publik.
Berikut ini pendapat Budhi Masthuri tentang Ombudsman Daerah
yang bersifat otonom:
“Pengawasan terhadap pemerintahan otonom hanya dapat
dilakukan oleh Ombudsman daerah yang yang juga otonom.
Desentralisasi dan otonomi menempatkan Ombudsman
Daerah pada posisi sangat penting, mengapa demikian?
Sebab apabila desentralisasi kekuasaan tidak diikuti dengan
pembangunan sistem akuntabilitas dan pengawasan
eksternal yang memadai, maka cenderung akan
mengakibatkan teradinya praktek-praktek penyimpangan
baik yang bersifat administratif maupun penyimpangan
berupa tindakan koruptif….Pada bagian lainnya, masyarakat
di daerah ustru semakin didekatkan dengan praktek
penindasan akibat penguasa di tingkat lokal yang menguat
tiba-tiba (Karim dlm Karim:2003:57). Akibat dari kekuasaan
yan menguat tiba-tiba dan mekanisme kontrol yang nihil,
maka desentralisasi kekuasaan justru menjadi musibah bagi
masyarakat di daerah.”46
46
Masthuri, Budhi, Ibid., hlm.79-80
20. 20
Dari penjelasan diatas, maka penulis berpendapat bahwa
Ombudsman Daerah haruslah menjadi sebuah lembaga
pengawasan yang bersifat otonom yang kedudukannya sejajar
dengan Pemerintah Daerah dan DPRD agar pengawasan
terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan
dalam penyelenggaraan pelayanan publik di daerah dapat
diimbangi oleh lembaga yang juga bersifat otonom.
Jika memperhatikan ketentuan Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2008 Pasal 5 ayat (2) yang menyatakan bahwa
“Ombudsman dapat mendirikan perwakilan Ombudsman di
provinsi dan/atau kabupaten/kota”, maka secara otomatis
Ombudsman tersebut merupakan sebuah institusi yang bersifat
independent yang bukan merupakan bawahan atau bagian dari
pemerintah daerah (eksekutif) maupun DPRD dikarenakan
Ombudsman Daerah yang didirikan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2008 tersebut merupakan bagian dari
Ombudsman di tingkat pusat yang memiliki hubungan hierarki
(Pasal 43).
Jika daerah hendak mendirikan Ombudsman Daerah yang
tidak terkait dengan Ombudsman di tingkat pusat, maka sudah
seharusnya Ombudsman Daerah yang hendak dibentuk bukan
merupakan bagian sub-ordinat dari pemerintah daerah maupun
DPRD-nya, dikarenakan watak dari Ombudsman itu sendiri
berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan di muka maupun
praktek-praktek di berbagai negara, merupakan sebuah lembaga
pengawasan independent sebagaimana Ombudsman Nasional
yang juga merupakan lembaga independent. Akan tetapi, jika
Ombudsman yang hendak dibuat merupakan kepanjangan tangan
dari DPRD dalam melaksanakan fungsi pengawasan yang dimiliki
oleh DPRD (Ombudsman Parlemen) maka Ombudsman tersebut
merupakan bagian dari DPRD tersebut sebagaimana Ombudsman
21. 21
Swedia, Ombudsman Finlandia, Ombudsman Denmark dan
sebagainya.47
Penulis kurang sependapat jika Ombudsman yang dibuat di
daerah merupakan bagian dari pemerintah daerah (pemda)
maupun DPRD. Hal ini akan mengurangi efektivitas dari
ombudsman tersebut, terlebih apabila Obudsman tersebut
merupakan bagian dari pemerintah daerah (pemda).
Sebagaimana lembaga pengawasan yang ada di daerah yang
merupakan bagian dari pemerintah daerah seperti Badan
pengawas Daerah (sekarang berubah menjadi Inspektorat
Daerah) tidak akan efektif dalam melaksanakan pengawasan yang
dilakukannya dikarenakan masih merupakan bagian dari
pemerintah daerah atau bertanggungjawab kepada kepala
daerah.48
Sehingga, penulis berpendapat bahwa kedudukan
ombudsman daerah yang paling ideal adalah bersifat otonom
yang bukan merupakan bagian dari pemerintah daerah maupun
DPRD. Selain daripada itu, penulis juga berpendapat bahwa
hendaknya Ombudsman yang ada di daerah merupakan bagian
dari Ombudsman di tingkat pusat sebagaimana Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) yang juga membentuk perwakilan di daerah-
daerah yang memiliki hubungan hierarkis antara satu dengan
yang lainnya.
Berlainan pula halnya dengan KPP Jawa Timur yang
dibentuk berdasarkan Perda Nomor 11 Tahun 2005 yang menurut
penulis merupakan salah satu bentuk Ombudsman Daerah yang
merupakan bagian dari DPRD Provinsi Jawa Timur (Ombudsman
Parlementer), hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 16 ayat (1)
yang menyatakan bahwa KPP mempertanggungjawabkan
kinerjanya kepada publik dengan menyampaikan laporan
47
Lihat Masthuri, Budhi, Ibid., hlm.7
48
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Alinea Ke-3
22. 22
kinejanya kepada DPRD. Jika melihat pada penjelesan Pasal 16
ayat (1) tersebut, dinyatakan bahwa evaluasi kinerja KPP tersebut
dilakukan oleh DPRD berdasarkan dokumen laporan kinerja
(progress report). Hal lain yang menjadikan KPP Jawa Timur
sebagai sebuah jenis Ombudsman Parlemen adalah ketentuan
Pasal 16 ayat (3) yang menyatakan bahwa apabila KPP hendak
memberikan masukan atau saran kepada Kepala Daerah, maka
KPP harus melalui DPRD. Ketentuan itu juga diperjelas oleh
penjelasan Pasal 16 ayat (3) yang menyatakan bahwa saran atau
masukan KPP harus dilalui dan ditindaklanjuti oleh DPRD dengan
menerbitkan rekomendasi kepada kepala daerah dan
penyelenggara pelayanan publik.
Apabila kita memperhatikan ketentuan Pasal 16 ayat (4)
Perda Nomor 11 Tahun 2005 dan penjelasan Pasal tersebut,
maka KPP hanya dapat memberikan saran atau masukan
terhadap kinerja pelayanan publik dan yang memberikan
rekomendasi adalah DPRD. Hal ini tentunya berbeda dengan
fungsi, tugas, dan kewenangan Ombudsma RI sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 yang
merupakan Ombudsman Publik yang walaupun dibentuk oleh
parlemen dan/atau Presiden tetapi tidak bertanggunggjawab
kepada parlemen (DPR) dan/atau Presiden. Hal ini terdapat pada
ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 serta
penjelasan Pasal 42 tersebut yang pada intinya menyatakan
bahwa laporan berkala dan laporan tahunan Ombudsman kepada
DPR dan Presiden bukan merupakan laopran
pertanggungjawaban.
2. Apakah Ombusman hanya akan mengoreksi tingkah laku atau
perbuatan pejabat-pejabat Pemerintah daerah otonom
23. 23
ataukah juga termasuk pejabat pemerintah pusat yang ada di
daerah?
Konsep negara kesatuan yang didesentralisasikan dan
otonomi daerah yang melahirkan daerah otonom bukan berarti
akan memisahkan atau melepaskan pemegang tanggungjawab
kekuasaan tertinggi dari tangan pemerintah pusat (pemerintah
dalam arti luas, bukan hanya lapangan bestuuren saja) kepada
pemerintah daerah. Kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan
pemerintah pusat, sebagaimana yang telah dikemukakan
sebelumnya mengenai konsep negara kesatuan. Begitu pula
halnya dengan pengawasan terhadap tindakan aparatur
pemerintahan di daerah terutama dalam bidang pelayanan publik.
Untuk melindungi hak-hak masyarakat dari kemungkinan
adanya maladministrasi yang dilakukan oleh para penyelenggara
pelayanan publik baik yang ada di daerah maupun yang berada di
pusat, maka telah dibentuk suatu lembaga/instansi pengawasan
masyarakat yang dinamakan Ombudsman yang ditujukan
menerima dan menyelidiki keluhan-keluhan masyarakat yang
menjadi korban kesalahan administrasi (maladministration)
publik.49
Dengan telah dibentuknya Ombudsman yang
berdasarkan Undang-undang maka diharapkan dapat melindungi
hak-hak masyarakat dari praktek maladministrasi tersebut. Selain
itu, pada ketentuan Pasal 5 juncto Pasal 43 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2008 telah dimungkinkan untuk dibentunya
perwakilan Ombudsman di Daerah. Akan tetapi Undang-undang
Nomor 37 Tahun 2008 tersebut tidak mengatur dengan jelas dan
terperinci mengenai kompetensi atau kewenangan dari perwakilan
Ombudsman Daerah tersebut.
Kembali lagi pada pembahasan pertama tentang
Ombudsman daerah, penulis telah mengemukakan bahwa
49
Komisi Ombudsman Nasional, Op.Cit., hlm.46
24. 24
ombudsman daerah yang hendak dibentuk di daerah sebaiknya
tetap mengacu kepada ketentuan Pasal 5 juncto Pasal 43
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008, yaitu tetap merupakan
bagian dari ombudsman di tingkat pusat. Penulis berpendapat,
dengan dibentuknya Ombudsman Daerah yang merupakan
perwakilan Ombudsman tingkat pusat yang ada di daerah maka
Ombudsman tersebut secara otomatis memiliki kewenangan untuk
mengoreksi tingkah laku atau perbuatan-perbuatan pejabat-
pejabat pemerintahan baik pejabat pemerintahan daerah maupun
pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah. Hal ini dikarenakan
secara hierarki, Ombudsman di daerah juga merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari ombudsman di tingkat pusat dan
tentunya memiliki kewenangan untuk mengoreksi tingkah laku
atau perbuatan pejabat pemerintahan baik pejabat pemerintah
pusat yang ada di daerah maupun pejabat pemerintahan daerah
itu sendiri. Hal ini dikarenakan secara mutatis mutandis, bahwa
apa yang menjadi fungsi, tugas dan kompetensi atau kewenangan
Ombudsman RI juga merupakan fungsi, tugas dan kewenangan
dari perwakilan ombudsman di daerah (Ombudsman Daerah)
sebagaimana ketentuan Pasal 43 ayat (4) Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2008.
Akan menjadi hal yang berbeda jika Ombudsman Daerah
yang didirikan oleh pemerintah daerah (bukan oleh Ombudsman
RI sebagaimana ketentuan Pasal 5 juncto Pasal 43 Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2008) melalui peraturan daerah tanpa
adanya hubungan fungsional maupun hierarki dengan
Ombudsman di tingkat pusat, terlebih apabila Ombudsman
Daerah tersebut merupakan bagian dari pemerintah daerah
(eksekutif) maupun DPRD daerah bersangkutan, maka
Ombudsman Daerah tersebut tidak memiliki kompetensi untuk
25. 25
mengoreksi tingkah laku atau perbuatan-perbuatan pejabat
pemerintah pusat yang ada di daerah.
Dengan demikian, kompetensi ombudsman daerah sangat
bergantung dari jenis ombudsman daerah bersangkutan, apakah
ombudsman daerah tersebut merupakan perwakilan/bagian dari
Ombudsman Nasional ataukah berdiri sendiri atau terlepas
dan/atau tanpa adanya hubungan fungsional/hierarki dengan
ombudsman nasional. Jika Ombudsman tersebut merupakan
bagian/perwakilan dari Ombudsman Nasional, maka Ombudsman
Daerah tersebut bewenang/berkompetensi untuk mengoreksi
tingkah laku atau perbuatan-perbuatan maladministrasi yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah daerah maupun pejabat
pemerintah pusat yang ada di daerah. Sedangkan apabila
ombudsman daerah tersebut berdiri sendiri tanpa adanya
hubungan hierarki dengan Ombudsman Nasional sebagaimana
yang diatur dalam ketentuan Pasal 5 juncto Pasal 43 Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2008, maka Ombudsman Daerah
tersebut hanya dapat mengoreksi tingkah laku atau perbuatan-
perbuatan maladministrasi yang dilakukan oleh pejabat
pemerintahan daerah saja.
3. Adakah hubungan fungsional antara masing-masing lembaga
ombudsman, yaitu keterkaitan antara ombudsman daerah
yang satu dengan ombudsman daerah yang lainnya?
Untuk menjawab permasalahan di atas, maka kita kembali
pada konsep otonomi daerah, dimana setiap daerah otonom
memiliki kewenangan dan tanggungjawab sendiri-sendiri untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangganya dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mengimbangi
kewenangan dan tanggungjawab tersebut agar tidak menyimpang
dari ketentuan yang berlaku, maka diperlukan adanya
26. 26
pengawasan baik itu pengawasan eksternal maupun pengawasan
internal. Dengan adanya otonomi daerah maka masalah
kepegawaian juga menjadi tanggungjawab daerah (terutama yang
berkaitan dengan masalah pemeberian sanksi administrasi dan
sebagainya) yang walaupun masalah pembinaan dan manajemen
pegawai negeri sipil tetap menjadi tanggungjawab pemerintah
pusat (Pasal 129 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004).
Sebagaimana diejelaskan sebelumnya bahwa
penyelenggara pelayanan publik itu biasanya kebanayakan
berasal dari pegawai negeri, dalam hal ini pegawai negeri yang
ada di daerah, maka Ombudsman Daerah dibentuk untuk
mengawasi pemberian layanan umum terhadap masyarakat yang
ada di daerah itu oleh penyelenggara pemerintahan daerah
bersangkutan. Dengan demikian, seperti uraian sebelumnya
mengenai ombudsman daerah, maka masing-masing ombudsman
daerah itu bersifat lokal dan hanya dapat melaksanakan fungsi,
tugas dan kewenangannya terbatas pada wilayah daerah
bersangkutan, misalnya Ombudsman Daerah Provinsi Jawa
Timur, maka yurisdiksinya hanyalah wilayah Jawa Timur, atau
Ombudsman Daerah Kota Surabaya, maka yurisdiksinya hanyalah
wilayah Kota Surabaya.
Penulis berpendapat, Ombudsman Daerah Provinsi haruslah
memiliki keterkaitan atau hubungan fungsional dengan
Ombudsman Daerah kabupaten/kota yang ada di wilyah Provinsi
tersebut. Sehingga apabila terjadi maladministrasi lintas
kabupaten/kota maka Ombudsman daerah provinsi dapat
bekerjasama dengan Ombudsman Daerah lintas kabupaten/kota
bersangkutan. Akan tetapi, Ombudsman Daerah yang selevel
(misalnya Ombudsman Provinsi Jawa Timur dengan Ombudsman
Daerah Provinsi Jawa Tengah atau antar Ombudsman Daerah
Kabupaten/Kota) penulis berpendapat tidak perlu ada hubungan
27. 27
fungsional antara satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh
misalnya, KPP Provinsi Jawa Timur dipilih dan bertanggungjawab
kepada DPRD Jawa Timur (Pasal 16 dan Pasal 18 Perda Provinsi
Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005) maka secara fungsional KPP
Provinsi Jawa Timur tidak memiliki hubungan fungsional dengan
KPP Provinsi lainnya, selain dikarenakan Perda Nomor 11 Tahun
2005 tersebut juga tidak megatur mengenai hubungan KPP Jawa
Timur dengan KPP Provinsi lainnya.
Menjadi suatu hal yang berbeda jika Ombudsman Daerah
yang ada di daerah-daerah dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal
5 juncto Pasal 43 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 yang
mana semua ombudsman daerah tersebut merupakan satu
kesatuan dan merupakan bagian dari Ombudsman Nasional yang
tentunya memiliki hubungan antara satu dengan lainnya. Akan
tetapi, berdasarkan ketentuan Pasal 46 Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2008 telah membatasi bahwa penggunaan nama
“Ombudsman” tidak diperbolehkan untuk digunakan oleh instansi
atau lembaga lainnya yang melaksanakan fungsi dan tugas
sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2008 sementara instansi atau lembaga tersebut tidak dibentuk
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008.
Dengan demikian, penulis menafsirkan bahwa ketentuan Pasal 46
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tersebut tidak
membolehkan adanya nama atau istilah “Ombusman Daerah”
apabila tugas dan fungsi ombudsman daerah tersebut sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008,
sedangkan pembentukannya tidak berdasarkan Pasal 5 juncto
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tersebut.
Dengan kata lain, bahwa lembaga atau institusi yang
menggunakan istilah “Ombudsman Daerah” yang tidak dibentuk
28. 28
berdasarkan Pasal 5 junto Pasal 43 Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2008 haruslah diganti.
Oleh karena itu, jika kita mengartikan institusi Ombudsman
Daerah berdasarkan ketentuan Pasal 5, Pasal 43 juncto Pasal 46
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008, maka semua
Ombudsman daerah yang ada di daerah-daerah haruslah memiliki
hubungan fungsional antara satu dengan yang lainnya. Hal ini
disebabkan karena Ombudsman-Ombudsman Daerah tersebut
merupakan bagian dari Ombudsman Nasional. Akan tetapi, jika
lembaga/institusi yang memiliki fungsi atau tugas yang sama
dengan Ombudsman Daerah sebagaimana dimaksud Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2008, tetapi tidak menggunakan nama
„Ombudsman Daerah” seperti Komisi Pelayanan Publik (KPP)
Jawa Timur, maka lembaga/institusi yang mengoreksi pejabat
pelayanan publik tersebut tidaklah memiliki hubungan fungsional
antara satu dengan yang lainnya.
4. Siapakah yang akan mengangkat anggota Ombudsman
Daerah, apakah DPRD atau Kepala Daerah ataukah Kepala
Daerah atas usul DPRD?
Pengangkatan anggota Ombudsman Daerah merupakan
suatu kesatuan yang tidak dapat terpsahkan dari
kompetensi/kewenangan dari Ombudsman Daerah bersangkutan.
Apakah Ombudsman Daerah tersebut hanya dapat mengoreksi
tingkah laku pejabat pemerintahan daerah ataukah juga dapat
mengoreksi pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut maka kita kembali pada
pembahasan sebelumnya tentang bagaimana bentuk dan jenis
Ombudsman Daerah yang akan dibentuk di daerah-daerah.
Apabila Ombudsman yang akan dibentuk oleh daerah berbentuk
Ombudsman Eksekutif, maka kewenangan pengangkatan anggota
29. 29
Ombudsman Daerah adalah kewenangan Kepala Daerah.
Sedangkan apabila Ombudsman Daerah yang hendak dibentuk
merupakan bagian dari DPRD dalam rangka melaksanakan fungsi
pengawasan yang dimiliki oleh DPRD (ombudsman parlemen)
maka kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan
anggota Ombudsman merupakan kewenangan DPRD atau
apabila Ombudsman yang hendak dibentuk merupakan
Ombudsman Daerah yang bersifat otonom (Ombudsman Publik)
yang bukan merupakan bagian dari Pemerintah Daerah atau
DPRD, maka sebaiknya anggota Ombudsman Daerah berasal
dari usulan Kepala Daerah kepada DPRD untuk dipilih oleh DPRD
yang kemudian ditetapkan oleh Kepala Daerah melalui sebuah
keputusan kepala daerah (Keputusan Gubernur untuk
Ombudsman Daerah tingkat Provinsi dan/atau Keputusan
Bupati/Walikota untuk Ombusdsman Daerah tingkat
kabupaten/kota).
Ketiga mekanisme pengangkatan anggota Ombudsman di
atas tentunya juga berkaitan dengan kompetensi/atau
kewenangan Ombudsman Daerah tersebut dan berkaitan juga
dengan penamaan atau penggunaan nama “Ombudsman
Daerah”. Apabila institusi atau lembaga sejenis ombudsman
daerah yang akan dibentuk merupakan bagian dari DPRD
(ombudsman parlemen) maka kewenangan dari institusi tersebut
hanya terbatas pada pejabat pemerintahan daerah dan
pengambilan keputusan akhir tetap berada di tangan DPRD.
Dengan kata lain institusi tersebut tidak berhak memberikan
rekomendasi kepada penyelenggara pelayanan publik yang
dikoreksi. Hal ini juga sama dengan KPP Jawa Timur yang
menurut penulis merupakan lembaga/institusi “ombudsman
parlemen”, selain karena pengangkatan dan pertanggungawaban
anggota KPP dilakukan oleh dan kepada DPRD (Pasal 16, Pasal
30. 30
18 dan Pasal 20 Perda Nomor 11 Tahun 2005) KPP Jawa Timur
juga tidak memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi
kepada Kepala Daerah dan/atau pejabat pelayanan publik yang
dikoreksi melainkan hanya berisfat saran dan masukan.
Sedangkan rekomendasi terhadap Kepala Daerah atau pejabat
pelayanan publik dilakukan oleh DPRD {Pasal 16 dan penjelasan
Pasal16 ayat (3) } serta pembiayaan KPP Jawa Tmur juga berasal
dari anggaran sekretariat DPRD Jawa Timur {Penjelasan Pasal 23
ayat (2) }..
Begitu pula halnya apabila institusi/lembaga sejenis
ombudsman daerah yang akan dibentuk merupakan “ombudsman
eksekutif” maka pengambil keputusan akhir juga merupakan
pemerintah daerah yang dalam hal ini Kepala Daerah. Hal yang
berbeda apabila ombudsman daerah yang akan dibentuk
merupakan ombudsman yang bersifat otonom, maka keputusan
pemberian rekomendasi berada ditangan ombudsman daerah
bersangkutan.
Permasalahan tentang siapakah yang berwenang
mengangkat anggota Ombudsman Daerah juga tidak terlepas dari
permasalahan penggunaan nama “Ombudsman Daerah”
sebagaimana yang dijelaskan penulis pada pembahasan nomor 3
halaman 23. Apabila Ombudsman Daerah yang dibentuk di
daerah berdasarkan ketentuan Pasal 5 Juncto Pasal 43 Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2008, maka pengangkatan anggota
Ombudsman Daerah merupakan kewenangan Ombudsman RI.
Hal ini dikarenakan Ombudsman Daerah tersebut merupakan
perwakilan dari Ombudsman RI yang memiliki hubungan hierarki
antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi pembentukan,
susunan dan tata kerja perwakilan ombudsman di daerah akan
diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah sesuai dengan
31. 31
ketentuan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2008.
Walaupun demikian, penulis berpendapat bahwa
pengangkatan anggota perwakilan ombudsman di daerah dapat
dilakukan melalui tiga opsi berikut ini:
a. Pengangkatan anggota perwakilan ombudsman di daerah
merupakan kewenangan penuh Ombudsman RI, baik
perekrutan, proses seleksi maupun pembinaan anggota
perwakilan ombudsman di daerah. Hal ini dikarenakan
perwakilan ombudsman di daerah memiliki hubungan hierarki
dengan Ombudsman RI serta bertanggungjawab kepada
Ombudsman RI.
b. Pengangkatan anggota perwakilan ombudsman di daerah
dapat dilakukan melalui mekanisme sebagai berikut; Kepala
Daerah atas persetujuan anggota DPRD mengajukan usul
nama calon anggota perwakilan ombudsman kepada
Ombudsman RI untuk diadakan uji kepatutan dan kelayakan
oleh Ombudsman RI yang selanjutnya disampaikan kepada
Presiden untuk ditetapkan sebagai anggota perwakilan
Ombudsman di daerah. Mekanisme seperti ini sangatlah
penting karena dua hal; pertama, untuk menghindari adanya
institusi/lembaga sejenis ombudsman daerah yang dibentuk
oleh pemerintah daerah yang tidak sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 sehingga akan
memberatkan anggaran daerah, dengan mekanisme ini maka
akan terwujudnya efisiensi anggaran. Kedua, dengan
mekanisme seperti itu maka kewenangan ombudsman bukan
hanya terbatas pada mengoreksi pejabat pemerintah daerah
tetapi juga pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah
sesuai dengan asas dekonsentrasi serta memiliki legitimasi
yang kuat.
32. 32
c. Pengangkatan anggota perwakilan ombudsman di daerah
dilakukan melalui mekanisme sebagai berikut; Ombudsman RI
mengusulkan nama calon anggota perwakilan ombudsman di
daerah kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai anggota
perwakilan ombudsman di daerah. Pengaturan mengenai tata
cara perekrutan dan seleksi calon anggota perwakilan
ombudsman di daerah diatur dengan Peraturan Ombudsman
RI.
5. Siapakah yang akan mengawasi ombudsman jika terjadi
kekeliruan dalam melaksnakan tugas dan perlukah ada
lembaga khusus yang dibuat untuk mengawasi ombudman
itu?
Sebagai sebuah lembaga pengawasan masyarakat yang
bertugas untuk mengoreksi perbuatan maladministrasi yang
dilakukaan oleh pejabat publik, ombudsman juga bukanlah
“malaikat” yang tidak bisa salah atau keliru dalam melaksanakan
fungsi, tugas dan kewenangan penagawasan yang dimilikinya.
Untuk menjawab pesoalan siapakah yang berwenang untuk
melakukan pengawasan terhadap ombudsman itu juka anggota
ombudsman itu sendiri melakukan tindakan yang melebihi
kewenangan yang dimiliki atau menyalahgunakan kewenangan
yang dimiliknya, tidaklah terlepas dari jenis ombudsman yang
dimaksud. Apakah ombudsman tersebut merupakan ombudsman
parlementer, atau ombudsman eksekutif ataukah ombudsman
yang bersifat independent, baik itu ombudsman nasional maupun
ombudsman daerah.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa
jenis ombudsman akan menentukan tugas, fungsi, kewenangan
serta pertanggungjawaban ombudsman itu sendiri. Ombudsman
parlementer akan bertanggungjawab terhadap parlemen (DPR
atau DPRD), jika dalam melakukan tugasnya, anggota
33. 33
ombudsman juga melakukan penyimpangan, baik itu tindakan
yang melebihi kewenangan yang dimiliki atau menyalahgunakan
kewenangan yang dimiliknya, maka ombudsman tersebut akan
diawasi dan di evaluasi kinerjanya oleh parlemen. Hal ini
dikarenakan ombudsman parlemen diangkat dan
bertanggungjawab oleh dan kepada parlemen. Sebagai contoh,
KPP Jawa Timur yang menurut penulis merupakan jenis
Ombudsman Parlementer di daerah, akan bertanggungjawab
kepada DPRD Provinsi Jawa Timur sebagaimana yang ditentukan
dalam Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (3) dan ayat (4) yang
menyatakan bahwa KPP bertanggungawab kepada DPRD dan
akan dievaluasi kinerjanya oleh DPRD setiap tahunnya serta
DPRD dapat melakukan penggantian terhadap anggota KPP
apabila dipandang tidak memadai lagi.
Begitu pula halnya dengan ombudsman eksekutif yang
diangkat oleh Presiden, Perdana Menteri atau Kepala Daerah di
tingkat daerah, maka pertanggungjawaban ombudsman tersebut
diserahkan kepada pihak pemerintah (eksekutif) dan
pengawasannya pun dilakukan oleh pemerintah pula. Hal yang
sama juga berlaku bagi perwakilan ombudsman di daerah,
pengawasannya pun dilakukan oleh Ombudsman RI karena
perwakilan ombudsman di daerah tersebut memiliki hubungan
hierarki dengan Ombudsman RI.
Lalu bagaimanakah pertanggungjawaban dan pengawasan
Ombudsman RI maupun institusi/lembaga pengawasan otonom di
daerah yang mengawasi tindakan maladministrasi pejabat publik.
Siapakah yang berwenang mengawasi tindakan mereka dari
kemungkinan kekeliruan yang mereka lakukan, apakah itu
tindakan yang melebihi kewenangan yang dimiliki atau
menyalahgunakan kewenangan yang dimiliknya. Untuk menawab
34. 34
pertanyaan tersebut dapat dilihat ketentuan Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2008 Pasal 22 yang berbunyi:
Pasal 22
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombusman berhenti
dari jabatannya karena:
a. berakhir masa jabatannya;
b. mengundurkan diri;
c. meninggal dunia.
(2) Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Ombudsman dapat
diberhentikan dari jabatannya, karena :
a. bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b. tidak lagi memenuhi persyaratan jabatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;
c. dinyatakan melanggar sumpah/janji;
d. menyalahgunakan kewenangannya sebagai
anggota Ombudsman, berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap;
e. terkena larangan merangkap jabatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20;
f. dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
g. berhalangan tetap atau secara terus-menerus
selama lebih dari 3 (tiga) bulan tidak dapat
melaksanakan tugasnya.
(3) Apabila Ketua Ombudsman berhenti atau
diberhentikan, Wakil Ketua Ombudsman menjalankan
tugas dan wewenang Ketua Ombudsman sampai masa
jabatan berakhir.
(4) Pemberhentian Ketua, Wakil Ketua, dan anggota
Ombudsman dari jabatan berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
Presiden.
Dari rumusan pasal 22 diatas, maka dapat ditemukan
jawaban tentang siapakah yang akan menilai apabila terjadi
kekliruan dan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh
anggota ombudsman. Apabilah terjadi penyalahgunaan
kewenangan misalnya adanya perbuatan yang dilakukan untuk
menguntungkan atau memperkaya dirisendiridikarenakan jabatan
yang dimiliknya, maka anggota Ombudsman itu akan diproses
35. 35
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan jika terbukti telah terjadi panyalahgunaan
kewenangan maka yang didasarkan pada putusan hakim, maka
Presiden dapat memberhentikan anggota Ombudsman
bersangkutan. Pemberhentian yang dilakukan oleh Presiden
tersebut semata-mata bedasarkan asas contrarius actus, yaitu
dikarenakan Presiden yang menetapkn berdasarkan Keputusan
Presiden maka Presiden pula yang memberhentikannya
berdarkan Keputusan Presiden tentang pemberhentian anggota
Ombudsman tersebut. Asas itu juga berlaku bagi jenis-jenis
ombudsman lainnya terkait dengan pengangkatan dan
pemberhentian anggota ombudsman. Penulis berpendapat bahwa
pengawasan dan pemberhentian anggota institusi/lembaga
ombudsman daerah yang bersifat otonom di daerah juga sama
dengan ketentuan yang berlaku pada Ombudsman RI, yaitu atas
putusan pengadilan yang telh memiliki kekuatan hukum tetap
maka Kepala Daerah dapat memberhentikan anggota
institusi/lembaga ombudsman daerah yang bersifat otonom di
daerah tersebut.
Dengan demikian, maka tidak perlu untuk dibentuk sebuah
lembaga yang tugasnya mengawasi ombudsman itu sendiri. Hal
ini selain karena efisiensi anggaran juga berkaitan dengan
masalah begaimana jika lembaga yang diberi tugas untuk
mengawasi Ombusman itu sendiri menyalahgunakan kewenangan
yang dimilikinya, maka apakah perlu dibentuk sebuah lembaga
lain yang bertugas mengawasinya dan begitu seterusnya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Terbitan Resmi
36. 36
Asmara, Galang. 2005. Ombudsman Nasional dalam Sistem
Pemerintahan Negara Republik Indonesia. Yogyakarta: Laksbang
Pressindo.
Masthuri, Budhi. 2005. Mengenal Ombudsman Indonesia. Jakarta: PT
Pradnya Paramita.
Hadjon, Philipus M. 2008. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Cet.
10. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Huda, Ni‟matul. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Soehino. 2000. Ilmu Negara. Cet.2, Edisi ketiga. Yogyakarta: Liberty.
Sunarno, Siswanto. 2009. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Cet.
3. Jakarta: Sinar Grafika.
Widjaja, HAW. 2002. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Komisi Ombudsman Nasional. Peranan Ombudsman Dalam
Pemberantasan Dan Pencegahan Korupsi serta Pelaksanaan
Pemerintahan yang Baik. Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional.
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. UU. No. 28
Tahun 1999. LN No. 75 Tahun 1999.TLN No.3851.
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.UU No. 32
Tahun 2004. LN No. 125 Tahun 2004. TLN No.4437.
Indonesia, undang-Undang tentang Ombudsman Republik Indonesia. UU.
No. 37 Tahun 2008. LN No. 139. TLN No. 4899.
Indonesia, Undang-Undang tentang Pelayanan Publik. UU. No. 25 Tahun
2009. LN No. 112 Tahun 2009. TLN No. 5038.
Indonesia. Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Komisi
Ombudsman Nasional. Keppres No. 44 Tahun 2000.
37. 37
Jawa Timur. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur tentang Pelayanan
Publik di Jawa Timur. Perda No. 11 Tahun 2005. LD No. 5 Tahun
2005 Seri E.
Jawa Timur. Peraturan Gubernur Jawa Timur tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 11
Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Provinsi Jawa Timur.
Pergub No.14 Tahun 2006. LD No.14 Tahun 2006 Seri E1
Jawa Timur. Peraturan Gubernur Jawa Timur tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 11
Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Provinsi Jawa Timur.
Pergub No.14 Tahun 2006. LD No.14 Tahun 2006/E1
Jawa Timur. Peraturan Gubernur Jawa Timur tentang Sekretariat komisi
Pelayanan Publik Provinsi Jawa Timur. Pergub No.2 Tahun 2007.
BD No.2 Tahun 2007/ E1