1. TA U FI K U R R A H M A N S H
R A B U , 2 8 A PR I L 2 0 1 0
MAKALAH
KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA
PENGGUNAAN HAK ANGKET
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Oleh :
ABDUL AZIZ 117010527
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM
SEMARANG
2014
2. KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur kehadirat Allah AWT atas berkat Rahmat dan hidayah-Nya sehingga Makalah
dengan judul " Penggunaan HakAngket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia selesai
sebagaimana mestinya. Makalah ini merupakan tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah KAPITA
SELEKTA HUKUM TATA NEGARA pada program Ilmu Hukum Universitas Wahid Hasyim
Semarang 2014, dan tidak lupa pula penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dosen pengajar Bapak Arif Agung Nugroho SH., MH. yang telah memberi bimbingan dan
mencurahkan ilmu pengetahuannya.
Dan semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi bagi semua pihak dan khusunya bagi
penulis sendiri.
3. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak isu pembentukan pansus hak angket Dewan Perwakilan Rakyat Bank Century
(BC) pertama kali didengungkan, hingga pada pasca pembentukan Pansus (4 Des.2009),
banyak pihak yang merasa apriori terhadap kompetensi dan integritas pansus hak anhket
Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengungkap setiap kasus yang berkaitan dengan kebijakan
pemerintah yang berdampak pada masyarakat luassalah satunya sekarang adalah skandal
bailout BC sebesar Rp 6,7 triliun yang menghebohkan itu. Akibatnya telah menimbulkan
huru-hara politik, dan banyak pihak yang mempertanyakan efektifitas dan eksistensi kerja
pansus hak angket Dewan Perwakilan Rakyat,dan sejauh mana mampu mengungkap tuntas
disetiap kasus yang diselidikinya.
Dalam kaitan itu, untuk menentukan apakah pembentukan pansus DPR tersebut efektif
atau tidaknya, mampu membongkar tuntas setiap kasus yang diselidikinya hingga keakar-
akamya, sesungguhnya dapat diukur dari beberapa sudut pandang obyektif. Pertama, dapat
ditinjau dari substansi dan agenda kerja yang ditetapkan, serta tujuan apa yang ingin dicapai
pansus hak angket Dewan Perwakilan Rakyat.Kedua konsistensi pencapaian secara periodik
dari agenda kerja pansus yang ditetapkan. Ketiga, kompetensi para anggota pansus yang
ditempatkan dalam setiap kasus, khususnya dalam menggali dan membuktikan fakta-fakta
hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Keempat, validitas hukum yang
mendasari pembentukan pansus dan apa akibat hukum yang ditimbulkannya.
Dari susdut pandang tersebut sangat menarik untuk kita diskusikan kaitannya dengan
penggunaan hak angket Dewan Perwakilan rakyat yang sekarang menjadi fenomenal di
madiam masa maka dalam makala ini penulis ingin mencoba membahas apa yang menjadi
aspek hokum hak angket Dewan Perwakilan rakyat serta Eksistensinya dalam setiap kasus
yang di selidikinya.
4. B. Rumusan Masalah
Dari uraian singkat latar belakang diatas, dapat ditarik beberapa permasalahan yang
sekaligus menjadi topik diskusi dalam hal penggunaan hak angket DPR sebagai berikut :
1. Bagaimanakah aspek hukum penggunaan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.?
2. Bagaimana eksistensi hak angket Dewan perwakilan rakyat dimasa Orde lama, Orde Baru,
dan masa Reformasi sampai sekarang ?
C. Medote Yang Digunakan
Untuk mengkaji pokok permasalahan, makalah ini mempergunakan metode penelitian
hukum normatif. Dengan menyesuaikan diri pada ruang lingkup dan identifikasi masalah yang
telah dikemukakan di atas, pendekatan yang bersifat yuridis-normatif tersebut akan dilakukan
dengan mempergunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
5. BAB II
PEMBAHASAN
A. Aspek Hukum Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Aspek Hukum Hak Angket dan Proses Pengguliran Hak Angket
Secara normatif, keberadaan Hak Angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, yang
berbunyi : “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
UndangUndang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket,
dan hak menyatakan pendapat.”
Kemudian ditegaskan lagi dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5043), serta peraturan Tata Tertib DPR.
Penggunaan Hak Angket juga tidak sembarangan namun diatur dalam Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat. Meskipun
undang-ya ini berasal dari zaman sistem pemerintahan parlementer di bawah Undang-Undang
Dasar Sementara Tahun 1950, tetapi sampai sekarang masih terus digunakan. Mahkamah
Konstitusi melalui putusannya tanggal 26 Maret 2004 menegaskan, Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1954 itu masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945.
Dengan demikian, tidak ada keraguan apa pun bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk
menggunakan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1954 itu untuk
melaksanakan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat.
Lebih lanjut, Pasal 77 ayat (3) UU No. 27 tahun 2009 menentukan definisi hak angket
sebagai hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan
suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting,
strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Tetapi, mengenai penyelidikan
6. itu sendiri tidak didefenisikan. Apakah penyelidikan dalam pengertian dari UU No. 27 tahun
2009 sama dengan pengertian penyelidikan dalam KUHAP.
Jika usulan melaksanakan Hak Angket disetujui, Dewan Perwakilan Rakyat akan
membentuk Panitia Hak Angket yang akan bekerja selama proses penyelidikan. Dalam masa
itu, Panitia Hak Angket DPR dapat mengumpulkan fakta dan bukti bukan saja dari kalangan
pemerintah, tetapi dari siapa saja yang dianggap perlu, termasuk mereka yang dianggap ahli
mengenai masalah yang diselidiki. Mereka wajib memenuhi panggilan Panitia Angket dan
menjawab semua pertanyaan dan memberikan keterangan lengkap, termasuk menyerahkan
semua dokumen yang diminta, kecuali apabila penyerahan dokumen itu akan bertentangan
dengan kepentingan negara. Mereka yang dipanggil namun tidak datang tanpa alasan yang
sah, dapat disandera selama-lamanya seratus hari (Pasal 17 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1954). Panitia Angket juga dapat meminta pengadilan agar memerintahkan pejabat
yang tidak mau menyerahkan dokumen negara yang mereka minta untuk selanjutnya
diserahkan kepada Panitia Hak Angket.
Karena anggota Panitia Angket itu akan bertindak sebagai seorang penyelidik, maka
status mereka haruslah resmi, yakni dibentuk oleh DPR dan diumumkan dalam Berita Negara,
agar diketahui oleh semua orang. Demikian pula berapa besar anggaran yang akan digunakan
oleh Panitia Angket itu. Keharusan mengumumkan penggunaan Hak Angket, nama-nama
anggota panitianya serta anggarannya dalam Berita Negara itu, merupakan syarat formal
keabsahan Panita Angket, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1954 dan Pasal 181 Peraturan Tata Tertib DPR. Untuk itu, guna memenuhi syarat formal
pembentukan panitia angket ini, Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat harus segera
menyampaikan segala hal yang terkait dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat tentang
penggunaan hak angket ini kepada Menteri Hukum dan HAM, agar menempatkannya di
dalam Berita Negara. Menteri Hukum dan HAM tidak dapat menolak mengumumkan dalam
Berita Negara itu, karena hal itu adalah kewajibannya yang diperintahkan undang-undang.
Kedudukan Panitia Angket DPR sesungguhnya sangatlah kuat bila dilihat dari sudut
hukum. Dalam sistem parlementer, keberadaan panitia angket tidaklah otomatis bubar dengan
pembubaran parlemen. Seperti kita pahami dalam sistem parlementer, Pardana Menteri dapat
membubarkan parlemen setiap waktu dan menentukan kapan akan diselenggarakan pemilihan
umum. Meskipun parlemen dibubarkan, panitia angket terus bekerja sampai terbentuknya
7. parlemen yang baru, yang akan menentukan nasib panitia angket itu. Dalam sistem
presidensial, hal ini tidak mungkin terjadi, kecuali Presiden telah berubah menjadi diktator
dengan membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Suatu hal yang dapat dijadikan sebagai
pegangan dari ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1954 yang relevan dengan situasi
sekarang ialah, pekerjaan panitia angket tidaklah terhalang oleh adanya reses dan penutupan
masa sidang.
Ketika Panitia Angket sudah menyelesaikan tugasnya, semuanya akan tergantung pada
fakta-fakta dan bukti-bukti yang terungkap selama penyelidikan dan tergantung pula pada
analisis Panitia Angket terhadap fakta-fakta dan bukti-bukti yang berhasil diungkapkan. Kalau
semua yang terungkap disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah sekitar masalah yang
diangkat, menguntungkan rakyat, dan sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, maka Pemerintah tentu aman-aman saja. Laporan Panitia Angket kepada rapat
paripurna yang diterima oleh fraksi-fraksi dan disahkan DPR, selanjutnya diserahkan kepada
Presiden. Presiden akan dengan senang hati menerima hasil angket DPR yang ternyata
membenarkan segala kebijakan yang ditempuh Pemerintah. Ini sekaligus berarti DPR telah
keliru mengasumsikan sesuatu, yang setelah diselidiki ternyata tidak benar.
Jika penyelidikan yang dilakukan Panitia Angket menyimpulkan telah terjadi kebijakan
yang merugikan negara, merugikan rakyat serta bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, apalagi melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, laporan
Panitia Angket harus disampaikan ke rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mendengarkan pendapat fraksi-fraksi sebelum laporan itu diputuskan untuk diterima atau
ditolak, baik secara aklamasi maupun melalui pemungutan suara. Keputusan DPR tersebut
disampaikan kepada Presiden. Selanjutnya DPR dapat menindaklanjuti keputusan itu sesuai
kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 182 Peraturan Tata Tertib DPR).
Tindak lanjut atas keputusan Dewan Perwakilan Rakyat tentang penggunaan hak angket
diatur dalam Pasal 184 ayat (1a) ialah menyampaikan “Hak Menyatakan Pendapat” atas
keputusan hasil penyelidikan melalui penggunaan hak angket, atau langsung menggunakan
ketentuan Pasal 184 ayat (1b) yakni Hak Menyatakan Pendapat untuk menduga bahwa
“Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela
maupun tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Penggunaan
8. ketentuan pasal ini - yang merupakan ketentuan yang bersumber dari ketentuan Pasal 7B ayat
(1) UUD 1945 - memang sangat serius. Ketentuan inilah yang dikenal dengan istilah
“impeachment” terhadap Presiden.
Ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 di atas belum pernah ada praktiknya dalam
sejarah ketatanegaraan kita. Kalau pendapat DPR bahwa benar hal itu terjadi, maka
Mahkamah Konstitusilah yang harus memutuskan apakah pendapat DPR itu terbukti atau
tidak. Kalau MK memutuskan memang terbukti, maka DPR menyelenggarakan sidang
paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada
MPR (Pasal 7B ayat 5 UUD 1945 jo Pasal 190 Peraturan Tata Tertib DPR. Sejarah Indonesia
mencatat dua kali sidang istimewa MPRS dan MPR yang terjadi pada masa Presiden Sukarno
dan Presiden Abdurrahman Wahid. Dan keduanya adalah presiden yang menjadi korban hak
angket, karena harus dipaksa turun dari jabatanya sebelum masa kepemimpinannya berakhir.
B. Eksistensi Penggunaan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Masa Orde
Lama, Orde Baru Dan Era Refomsi Sampai Sakarang
1. Orde Lama
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, hak angket digunakan kali pertama pada
1950-an. Berawal dari usul resolusi RM Margono Djojohadikusumo agar Dewan
Perwakilan Rakyat mengadakan angket atas usaha pemerintah memperoleh dan cara
mempergunakan devisa. Maka kemudian dibentuklah Panitia Angket beranggotakan 13
orang, diketuai Margono, yang tugasnya menyelidiki untung-rugi mempertahankan
devisen-regime berdasar Undang-Undang Pengawasan Devisen 1940 dan perubahan-
perubahannya.
Panitia Angket pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo-I (30 Juli 1953-12 Agustus
1955) ini mula-mula diberi waktu enam bulan, tetapi kemudian diperpanjang dua kali dan
menyelesaikan tugasnya pada Maret 1956 pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap (12
Agustus 1955-24 Maret 1956). Sayang, hasil kerja tim bersamaan dengan terbentuknya
kabinet hasil Pemilu 1955 (Kabinet Ali Sastroamidjojo-II) itu nasibnya tidak jelas.
9. 2. Masa Orde Baru
Meskipun pada masa Orde Baru, parlemen praktis dikuasai Golkar sebagai fraksi
penopang pemerintah, usul penggunaan hak angket sempat lolos masuk dalam sidang
pleno Dewan Perwakilan Rakyat 7 Juli 1980. Sebanyak 20 anggota DPR (14 dari FPDI
dan 6 dari FPP) menandatangani usul penggunaan hak angket yang kemudian diserahkan
R Santoso Danuseputro (FPDI) dan HM Syarkawie Basri (FPP) kepada Ketua DPR kala
itu, Daryatmo, pada 5 Juli.
Para pengusul angket tidak puas atas jawaban Presiden Soeharto menyangkut kasus
H Thahir dan Pertamina yang disampaikan Mensesneg Sudharmono dalam sidang pleno
Dewan Perwakilan Rakyat 21 Juli 1980, menanggapi interpelasi atau hak bertanya yang
uniknya dilakukan tujuh anggota FKP sendiri. Dalam usul angket tentang Pertamina
tersebut dicantumkan rencana pembentukan Panitia Angket yang terdiri atas 14 orang
dengan 24 anggota pengganti, plus sejumlah tenaga ahli yang khusus dipekerjakan untuk
itu, dengan anggaran waktu itu sebesar Rp 108 juta. Panitia angket diprogramkan bekerja
selama satu tahun, dan setiap bulan bersidang sedikitnya empat kali dan sebanyaknya
delapan kali. Jadi dalam satu tahun mereka bersidang hingga sekitar 75 kali.
Reaksi keras pun muncul, terutama dari kalangan anggota FKP dan Fraksi ABRI
yang menyoal perlunya menggunakan hak angket. Nasib selanjutnya pun sangat jelas:
hak angket ditolak. Angket mentok di sidang pleno DPR. Setelah itu, hak ini nyaris tak
pernah terdengar lagi gaungnya hingga rezim Orde Baru tumbang pada 1998.
3. Masa Reformasi (1998-sekarang)
Pascareformasi, penggunaan hak angket kembali digulirkan. Itu terjadi ketika
Dewan Perwakilan Rakyat mencium keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid dalam
penyalahgunaan uang Yayasan Dana Kesejahteraan (Yanatera) Bulog. Hak angket
digunakan untuk menyelidiki penyelewengan dana Bulog serta bantuan dana dari Sultan
Brunei atau yang lebih dikenal dengan istilah Buloggate dan Bruneigate.
Tidak seperti sebelumnya, hak angket yang dipicu keluarnya memorandum Gus
Dur untuk membubarkan parlemen itu berujung pada impeachment presiden.
10. Pada periode pertama masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
hak angket pernah dicoba digulirkan atas sejumlah kasus. Di antaranya menyangkut
kenaikan harga BBM yang mengundang reaksi mahasiswa, masalah impor beras 2006,
penyelenggaraan ibadah haji 2008, dan ruwetnya daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2009.
Namun, usaha tersebut hanya menghasilkan keputusan normatif.
Dalam pidato di depan Sidang Paripurna Pembukaan Masa Persidangan I Tahun
Sidang 2009-2010, pertengahan Agustus lalu Ketua DPR HR Agung Laksono mengaku
DPR masih terus berusaha untuk menuntaskan beberapa hak DPR yang sedang dalam
proses. Di antaranya menuntaskan hak angket menyangkut penyelenggaraan ibadah haji
1429H/2008, hak angket DPT, dan hak angket menyangkut kebijakan Pemerintah
menaikkan harga BBM.
Pada Hak Angket Century, Belajar dari kasus-kasus sebelumnya, hak angket
nampak hanya menjadi sebuah keputusan normatif tanpa ada solusi yang dapat diberikan.
Padahal peraturan Tata Tertib DPR menegaskan, hak angket digunakan untuk
menyelidiki "kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan".
Sehubungan dengan skandal Bank Century, kebijakan pemerintah
"menyelamatkan" Bank Century dengan sendirinya dapat menjadi objek Hak Angket
DPR karena berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara, apalagi
kebijakan itu juga berkaitan dengan keuangan negara. Namun, apakah kebijakan itu
benar-benar bertentangan dengan Undang-Uundang sebagaimana dugaan DPR, inilah
yang harus "dibuktikan" melalui penggunaan hak angket itu.
Carut marut pengucuran dana talangan Bank Century yang menyeret keterlibatan
beberapa pejabat negara, seperti gubernur BI dan Menkeu, mendorong sejumlah anggota
Dewan menggulirkan hak angket untuk mengurai benang kusut tersebut. Penting bagi
Dewan Perwakilan Rakyat menggali keterangan ahli dan semua pihak terkait dengan
aliran dana dan masalah lainnya yang terkait dengan "penyelamatan" Bank Century.
Dengan memakai hak angket, diharapkan ada konklusi yang lebih objektif, bukan asal
kritis. Sebab, orientasi angket menyelidiki dan mencari solusi. Yang ingin diketahui
11. Dewan Perwakilan Rakyat bukan sebatas mendengar apologi pemerintah, melainkan
menguak lebih jauh ada apa sebenarnya dibalik kebijakan pemerintah terhadap
pengawasan bank-bank selama ini.
Hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyangkut Bank Century
dapat digunakan (atau tidak digunakan) oleh panitia angket Dewan Perwakilan Rakyat.
Nantinya, Dewan Perwakilan Rakyat dapat saja berpendapat lain dengan BPK. Dengan
kata lain, bila hasil audit BPK berkesimpulan aliran dana pemerintah ke Bank Century
sudah sesuai dengan prosedur, kesimpulan itu dapat dikesampingkan oleh DPR. Apalagi
Wapres Boediono memiliki peran terkait pencairan dana Rp 6,7 triliun saat dirinya
menjadi Gubernur BI. Pada titik inilah kehadiran Panitia Hak Angket DPR untuk
menguak persoalan seputar penyelamatan Bank Century menjadi amat penting dilakukan.
Persoalan Bank Century menjadi semakin menarik sejak 138 anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi menyerahkan usulan hak angket kepada pimpinan
DPR (12/11/2009). Jumlah anggota yang menandatangani usulan tersebut dikabarkan
terus bertambah.
Wapres Boediono, yang namanya terseret dalam kasus ini, pernah menyatakan
bahwa penggunaan angket adalah hal yang wajar dalam sistem demokrasi (13/11/2009).
Maka banyak pihak berharap Hak Angket DPR untuk kasus Century berhasil
dilaksanakan, tidak kempis di tengah jalan seperti penggunaan hak angket pada masa
sebelumnya. Modal kejujuran dan kesungguhan perlu untuk dipegang oleh DPR selaku
pemilik Hak Angket.
12. BAB III
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Aspek hukum hak angket Dewan Perwakilan Rakyat, terlihat jelas Secara normatif,
bahwa hak angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 kemudian ditegaskan
kembali dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD, serta Peraturan Tata tertib DPR. Sedangakan Undang-undang yang mengatur
penggunaan hak angket ialah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak
Angket DPR. Walaupun Undang-undang ini berasal dari zaman sistem pemerintahan
parlementer di bawah UUD Sementara Tahun 1950, tetapi sampai sekarang belum
pernah dicabut. Dengan demikian, tidak ada keraguan apa pun bagi Dewan Perwakilan
Rakyat untuk menggunakan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perungang-
undangan yang disebutkan diatas termasuk Undang-ndang Nomor 6 Tahun 1954 itu
untuk menggunakan hak angket hak angket DPR.
2. Eksistensi penggunaan hak angket dari masa orde lama,orde baru dan masa transisi (
reformasi ),bisa dikatakan masih eksis sampai sekarang walaupun dalam setiap
keputusan hanyalah berpandangan yang normative saja sehingga dari masa orde lama
samapai masa reformasi keberadaan hak angket masih dibutuhkan kerja kerja keras
bagi DPR dalam setiap mengusut tuntas kasus yang berkaitan dengan kebijakan
pemerintah yang merugikan rakyat berdampak luas pembangunan negara indonesia.
B. Saran
Diharapkan Adanya kerja keras seluruh lembaga Negara Untuk memperbaiki praktik
ketatanegaraan ke depan, khusunya anggota DPR yang akan menggunakan hak angket
perlu mengubah cara yang ditempuh selama ini. Salah satu caranya, mengelaborasi secara
mendalam tentang makna "kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta
13. berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan". Kalau itu bisa dilakukan, upaya setiap pengusul
hak angket akan semakin mendapat tempat di mata publik.