Dokumen tersebut membahas tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar 1945. Secara ringkas, dibahas tentang tugas BPK sebagai lembaga pengawas keuangan negara dan hubungannya dengan lembaga lain, serta peran Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
1. Oleh Kelompok II
Emma Aidha Yasmine (09) XI MIA F
Frisardanda Dewa Sukarno (10) XI MIA F
Hedi Hardian Hamzah (12) XI MIA F
Indria Dewi Ayu (13) XI MIA F
Muhammad Avianda Robby (17) XI MIA F
Muhammad Bima Mahendra (18) XI MIA F
Shafira Hany Maris (27) XI MIA F
Yuni Artika Rahayu (30) XI MIA F
PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO
DINAS PENDIDIKAN
SMA NEGERI 1 PROBOLINGGO
Jl. Soekarno Hatta 137 Probolinggo Telp./ Fax. (0335) 421566
Website: http://sman1-prob.sch.id e-mail:
sman1.prob@yahoo.co.id
Memahami Pelaksanaan
Pasal-Pasal yang Mengatur
Tentang Keuangan BPK dan
Kekuasaan Kehakiman
(Tugas Kelompok – PPKn)
2015-2016
2. Memahami Pelaksanaan Pasal-Pasal yang Mengatur Tentang
Keuangan BPK dan Kekuasaan Kehakiman
1.1 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
A. Analisis Pasal 23 UUD 1945
Sebelum diubah, Bab tentang Hal Keuangan terdiri atas satu pasal yakni Pasal
23. Setelah diubah, Bab tentang Hal Keuangan menjadi delapan pasal, yakni Pasal 23,
Pasal 23A, Pasal 23B, Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal Pasal 23E, Pasal 23F, dan Pasal
23G. Ketentuan Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Pasal 23E, Pasal 23F, dan Pasal 23G
diputuskan pada Perubahan Ketiga (tahun 2001).
Bab tentang Badan Pemeriksa Keuangan adalah bab baru dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelumnya Badan Pemeriksa
Keuangan diatur dalam satu ayat, yakni dalam ayat (5) Pasal 23 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setelah perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi tiga pasal, yaitu Pasal 23E,
Pasal 23F, dan Pasal 23G. Rumusannya sebagai berikut :
Rumusan perubahan:
BAB VIIIA
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
Pasal 23E
(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan
negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan
mandiri.
(2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwa-kilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.
(3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan
dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.
Pasal 23F
(1) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Daerah dan diresmikan oleh Presiden.
3. (2) Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota.
Pasal 23G
(1) Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara, dan
memiliki perwakilan di setiap provinsi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur
dengan undang-undang.
Dipisahkannya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam bab tersendiri (Bab
VIIIA), yang sebelumnya merupakan bagian dari Bab VIII tentang Hal Keuangan
dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum yang kuat serta pengaturan rinci
mengenai BPK yang bebas dan mandiri serta sebagai lembaga negara yang berfungsi
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dalam rangka
memperkuat kedudukan, kewenangan, dan independensinya sebagai lembaga negara,
anggotanya dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
Dalam kedudukannya sebagai eksternal auditor pemerintah yang memeriksa
keuangan negara dan APBD, serta untuk dapat menjangkau pemeriksaan di daerah,
BPK membuka kantor perwakilan di setiap provinsi.
B. Tugas-Tugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Tugas dan wewenang Badan Pengawas Keuangan disebutkan dalam UU
Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2006 secara terpisah, yaitu pada BAB III bagian
kesatu dan kedua. Tugas BPK menurut UU tersebut masuk dalam bagian kesatu,
isinya antara lain adalah sebagai berikut :
(1) Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan yang dilakukan oleh
BPK terbatas pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia,
Lembaga Negara lainnya, BUMN, Badan Layanan Umum, BUMD, dan semua
lembaga lainnya yang mengelola keuangan negara.
(2) Pelaksanaan pemeriksaan BPK tersebut dilakukan atas dasar undang-undang
tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
(3) Pemeriksaan yang dilakukan BPK mencakup pemeriksaan kinerja, keuangan,
dan pemeriksaan dengan adanya maksud tertentu.
(4) Hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh BPK harus dibahas sesuai dengan
standar pemeriksaan keuangan negara yang berlaku.
4. (5) Hasil pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
diserahkan kepada DPD, DPR, dan DPRD. Dan juga menyerahkan hasil
pemeriksaan secara tertulis kepada Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota.
(6) Jika terbukti adanya tindakan pidana, maka BPK wajib melapor pada instansi
yang berwenang paling lambat 1 bulan sejak diketahui adanya tindakan pidana
tersebut.
C. Wewenang-Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Tugas dan wewenang Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UU Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 BAB III bagian kedua diantaranya adalah sebagai
berikut :
(1) Dalam menjalankan tugasnya, BPK memiliki wewenang untuk menentukan
objek pemeriksaan, merencanakan serta melaksanakan pemeriksaan.
Penentuan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun maupun
menyajikan laporan juga menjadi wewenang dari BPK tersebut.
(2) Semua data, informasi, berkas dan semua hal yang berkaitan dengan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara hanya bersifat sebagai alat
untuk bahan pemeriksaan.
(3) BPK juga berwenang dalam memberikan pendapat kepada DPR, DPD, DPRD,
dan semua lembaga keuangan negara lain yang diperlukan untuk menunjang
sifat pekerjaan BPK.
(4) BPK berwenang memberi nasihat/pendapat berkaitan dengan pertimbangan
penyelesaian masalah kerugian negara.
D. Hubungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan Lembaga Lain
(1) BPK dengan DPR dan DPD
BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dan hasil
pemeriksaan tersebut diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD. dengan
pengaturan BPK dalam UUD, terdapat perkembangan yaitu menyangkut
perubahan bentuk organisasinya secara struktural dan perluasan jangkauan
tugas pemeriksaan secara fungsional. Karena saat ini pemeriksaan BPK juga
terhadap pelaksanaan APBN di daerah-daerah dan harus menyerahkan hasilnya
itu selain DPR juga pada DPD dan DPRD.
Selain dalam kerangka pemeriksaan APBN, hubungan BPK dengan DPR
dan DPD adalah dalam hal proses pemilihan anggota BPK.
5. Menurut UU No. 15 Tahun 2004, BPK wajib menyerahkan laporan
pemeriksaan-nya kepada Lembaga Perwakilan Rakyat (DPR, DPD dan
DPRD). Segera setelah diserahkannya kepada Lembaga-Lembaga Perwakilan
Rakyat itu, BPK wajib untuk memuatnya dalam website-nya agar dapat di
akses oleh masyarakat luas. Hal-hal yang mengandung unsur pidana dilaporkan
oleh BPK kepada penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK-Komisi
Pemberantasan Korupsi). Pada gilirannya, Pemerintah, Lembaga-Lembaga
Perwakilan dan para penegak hukum tersebut menindaklanjuti temuan
pemeriksaan serta rekomendasi BPK. Sebagai lembaga legislatif yang memiliki
hak bujet, DPR dan DPRD dapat menerbitkan Undang-Undang dan mendesak
Pemerintah untuk memperbaiki sistem pengelolaan uang serta asetnya.
Lembaga Perwakilan Rakyat juga dapat meneruskan kasus tindakan kriminal
untuk diusut lebih lanjut oleh penegak hukum.
Hubungan kerja BPK dengan DPR, baik yang menyangkut hasil temuan
maupun tentang tindak lanjut hasil pemeriksaan. Dalam UUD 45 Pasal 23 E
ayat (2) menegaskan bahwa hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada DPR,
DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya. Pasal 23E ayat(3) berbunyi :
hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau
badan sesuai dengan undang-undang . Jadi UUD45 menegaskan bahwa yang
“utama” menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK itu adalah “lembaga
perwakilan”, baru badan ( lain ) sesuai undang-undang . Termasuk Presiden,
Gubernur, Bupati/Walikota, serta “penegak hukum” untuk hasil pemeriksaan
yang mengandung “unsur pidana”, sebagaimana yang diatur melalui UU No.15
Tahun 2004 serta UU No.15 Tahun 2006 . Tentang hasil pemeriksaan BPK dan
tindak lanjutnya antara lain diatur melalui Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal
20, dan Pasal 21 UU No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggungjawab Keuangan Negara, khususnya yang menyangkut “lembaga
perwakilan”. Bagaimana tatacaranya diatur melalui kesepakatan antara BPK
dengan “lembaga perwakilan”.
E. Tata Cara Penunjukkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua BPK RI dilakukan untuk memenuhi Pasal 4
ayat (2) dan Pasal 15 UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
6. Pasal 4 ayat (2) menyebutkan bahwa Susunan BPK terdiri atas seorang Ketua
merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap Anggota, dan 7 (tujuh) orang
anggota.
Pasal 15 menyebutkan:
(1) Pimpinan BPK terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua.
(2) Ketua dan Wakil Ketua BPK dipilih dari dan oleh Anggota BPK dalam sidang
Anggota BPK dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak
tanggal diresmikannya keanggotaan BPK oleh Presiden.
(3) Sidang Anggota BPK untuk pemilihan pimpinan BPK sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dipimpin oleh Anggota BPK tertua.
(4) Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) dilakukan secara musyawarah untuk mencapai mufakat, dan apabila
mufakat tidak dicapai, pemilihan dilakukan dengan cara pemungutan suara.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua
serta pembagian tugas dan wewenang Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BPK
diatur dengan peraturan BPK.
1.2 Kekuasaan Kehakiman
A. Analisis Pasal 24 UUD 1945
Menyadari bahwa untuk memastikan terwujudnya kekuasaan kehakiman yang
merdeka diperlukan jaminan yang tegas dalam konstitusi, langkah besar yang
dihasilkan dalam amandemen UUD 1945 tidak hanya menyebutkan secara eksplisit
kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan,
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Tidak hanya itu, Pasal 24 Ayat (2)
UUD 1945 mengamanatkan bahwa kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung tetapi juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Bahkan bagi
seorang hakim, Pasal 24A Ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menentukan, hakim
agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional,
dan berpengalaman di bidang hukum. Khusus untuk menjaga kemandirian dan
integritas hakim, amandemen UUD 1945 juga memunculkan sebuah lembaga baru,
yaitu Komisi Yudisial.
B. Tugas-Tugas Mahkamah Agung (MA)
(1) Fungsi Peradilan
a) Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan
pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan
7. hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua
hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara
adil, tepat dan benar.
b) Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung
berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir
Semua sengketa tentang kewenangan mengadili.
Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 28, 29,30,33 dan 34 undang-
undang mahkamah agung no. 14 tahun 1985).
Semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan
muatannya oleh kapal perang republik indonesia berdasarkan peraturan
yang berlaku (pasal 33 dan pasal 78 undang-undang mahkamah agung
no 14 tahun 1985).
c) Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu
wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah
Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya
(materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi
(Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
(2) Fungsi Pengawasan
a) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya
peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan
yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama
dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat
dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa
dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan
Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).
b) Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan :
Terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan
perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan
dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam
hal menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara
yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang
bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan,
teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan
8. Hakim (Pasal 32 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun
1985).
Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut
peradilan (Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14
Tahun 1985).
(3) Fungsi Mengatur
a) Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan
bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang
belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung
sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum
yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27
Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14
Tahun 1985).
b) Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana
dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-
undang.
(4) Fungsi Nasehat
a) Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-
pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain
(Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985).
Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala
Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-
undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan
Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1),
Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan
pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga
rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum
mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-
undangan yang mengatur pelaksanaannya.
b) Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi
petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam rangka
pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38
Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).
(5) Fungsi Administratif
9. a) Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10
Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secara organisatoris,
administrative dan finansial sampai saat ini masih berada dibawah
Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-
undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan
Mahkamah Agung.
b) Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab,
susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-
undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang
No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman).
(6) Fungsi Lain-lain
Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat
(2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 serta Pasal 38 Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan
kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.
C. Wewenang-Wewenang Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Agung memiliki wewenang :
(1) Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh Undang-Undang.
(2) Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi.
(3) Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden member grasi dan rehabilitasi.
(4) Pada Mahkamah Agung terdapat hakim agung (paling banyak 60 orang).
Hakim agung dapat berasal dari sistem karier (hakim), atau tidak berdasarkan
sistem karier dari kalangan profesi atau akademisi. Calon hakim agung
diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat, untuk
kemudian mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung.
D. Lembaga-Lembaga di Lingkungan Kekuasaan Kehakiman
(1) Mahkamah Agung
Mahkamah Agung Republik Indonesia (disingkat MA RI atau MA)
adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang
10. merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah
Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya.
Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara.
Pada tanggal 17 Desember 1970 lahirlah Undang-Undang No. 14
Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang
Pasal 10 ayat (2) menyebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan
Negara Tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai Badan Pengadilan
Kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari Pengadilan di
bawahnya, yaitu Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat Banding
yang meliputi 4 (empat) Lingkungan Peradilan :
(1) Peradilan Umum
Dasar hukum keberadaan lingkungan peradilan umum adalah UU
No. 2 tahun 1986 yang kemudian diubah oleh UU No 8 tahun 2004
tentang Peradilan Umum. UU No. 8 tahun 2004 ini kemudian diubah
menjadi UU No. 49 tahun 2009 Tentang Peradilan Umum. Peradilan
Umum adalah salah satu pelaku kekuasaan keahkiman bagi rakyat
pencari keadilan pada umumnya ( Pasal 2 UU No. 49 Tahun 2009 ).
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum
dilaksanankan oleh Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat
pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding dan
berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang tertinggi
atau tingkat kasasi.
(2) Peradilan Agama
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara tertentu yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang kemudian diubah dengan UU No. 3 tahun 2006
Tentang Peradilan Agama, yang kemudian diubah menjadi Undang-
Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama selanjutnya
disebut (UUPAG).
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 menyebutan bahwa
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan
11. oleh Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama, dan Mahkamah
Agung sebagai puncak pengadilan negara tertinggi.
(3) Peradilan Militer
Dasar hukum peradilan militer pada mulanya adalah UU No. 5
Tahun 1950. Dalam Pasal 2 UU No. 5 tahun 1950 ditentukan bahwa
kekuasaan kehakiman pada pengadilan militer dilakukan oleh
pengadilan Tentara, Pengadilan Tentara Tinggi, dan Mahkamah Tentara
Agung.
Berdasarkan Keputusan Bersama Mentri kehakiman dan mentri
pertahanan Keamanan/ panglima ABRI tahun1972 dan 1973, nama
pengadilan militer diganti menjadi Mahkamah Militer, Mahkamah
Militer Tinggi dan Mahkamah Militer Agung.
Selanjutnya, berlaku UU. No. 31 tahun 1997 yang sekaligus
mencabut dan menyatakan tidak berlakunya UU No. 5 Tahun 1950
tentang Pengadilan Militer. Dengan berlakunya UU No. 31 Tahun
1997, maka susunan pengadilan militer terdiri dari:
a) Pengadilan Militer
b) Pengadilan Militer Tinggi
c) Pengadilan Militer Utama
d) Pengadilan Militer Pertempuran
(4) Peradilan TUN
Dasar hukum lingkungan peradilan tata usaha Negara adalah UU
No. 5 tahun 1986 yang kemudian diubah dengan UU No.9 Tahun 2004
tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-undang ini kemudian
diubah lagi menjadi UU No.51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, selanjutnya disingkat UUPTUN. Peradilan Tata Usaha
Negara adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha Negara.
(2) Mahkamah Konstitusi
Keberadaan Mahkamah Konstitusi diatur pada pasal 24 ayat (2) UUD
1945 pasca amandemen ketiga. Akibat adanya amandemen UUD 1945, maka
kekauasaan kehakiman di Indonesia selain dilakukan oleh Mahkamah Agung
juga dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
12. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali
dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24/2003, kewenangan
Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, berdasarkan Pasal 7
ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan
lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi
adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela,
atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
(3) Komisi Yudisial
Komisi Yudisial Republik Indonesia atau cukup disebut Komisi
Yudisial (disingkat KY RI atau KY) adalah lembaga negara yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim. Komisi Yudisial merupakan lembaga negara
yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur
tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.Komisi Yudisial bertanggungjawab
kepada publik melalui DPR, dengan cara menerbitkan laporan tahunan dan
membuka akses informasi secara lengkap dan akurat.
Sesuai Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial, Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
a) Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di
Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
b) Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim;
c) Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH)
bersama-sama dengan Mahkamah Agung;
d) Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman
Perilaku Hakim (KEPPH).
13. Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011, dalam
melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, yaitu
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah
Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, maka Komisi Yudisial
mempunyai tugas:
a) Melakukan pendaftaran calon hakim agung;
b) Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung;
c) Menetapkan calon hakim agung; dan
d) Mengajukan calon hakim agung ke DPR.
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 mengatur bahwa:
a) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
(1) Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;
(2) Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
(3) Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan
dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
secara tertutup;
(4) Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim,
(5) Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang
perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang
merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
b) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial
juga mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan
kesejahteraan hakim;
c) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak
hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam
hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku
Hakim oleh Hakim.
d) Aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi
Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
14. E. Tata Cara Pengangkatan Hakim Agung
Pengangkatan hakim di Indonesia diatur dalam Peraturan Bersama Mahkamah
Agung RI (MARI) dengan Komisi Yudisial Republik Indonesia (KYRI) No.
01/PB/MA/IX/2012 dan No. 01/PB/P.KY/09/2012 tentang seleksi pengangkatan
hakim. Peraturan ini mencakup empat bab yang terdiri dari Ketentuan Umum, Tata
Cara Seleksi Hakim, Pembiayaan, dan Ketentuan Penutup, dan memiliki 9 Pasal.
Dalam Pasal 2 Peraturan Bersama MARI dan KYRI dijelaskan bahwa:
“Proses seleksi pengangkatan hakim yang dilakukan sebelum ditetapkan
peraturan hakim sebagai pejabat Negara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, kecuali yang diatur secara khusus dalam peraturan ini”
Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa calon hakim merupakan orang yang lulus
terhadap hasil seleksi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Ujian tersebut mencakup materi kehakiman, kode etik dan pedoman prilaku hakim.
Selain itu, ujian pun dilakukan secara tertulis dan lisan guna mengetahui kecakapan
calon hakim. Kelulusan peserta pendidikan diatur sesuai dengan proporsi pembobotan
nilai yang ditentukan oleh MA dan KY.
Setelah calon hakim dinyatakan lulus, Mahkamah Agung melakukan
penajajakan kemampuan calon hakim baru dengan mengirimnya pada Pengadilan
Agama untuk melakukan Magang. Ketika calon hakim melaksanakan tugas magang,
Komisi Yudisial melakukan monitoring dan menilai terhadap calon hakim yang
melakukan magang tersebut. Hasil penilaian ini diserahkan kepada Panitia Pendidikan
Calon Hakim dalam rangka pembinaan.
Dalam Pasal 6 Peraturan Bersama MARI dan KYRI No. 01/PB/MA/IX/2012
dan No. 01/PB/P.KY/09/2012 tentang seleksi pengangkatan hakim dijelaskan bahwa:
“Nama-nama peserta pendidikan yang dinyatakan lulus diajukan oleh panitia
pendidikan calon hakim kepada Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari sejak
penetapan kelulusan”
Dalam pasal 7, dijelaskan pula:
“Ketua Mahkamah Agung mengusulkan peserta seleksi hakim yang telah lulus
untuk diangkat menjadi hakim kepada Presiden paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
pemberitahuan penetapan kelulusan.”
Berdasarkan pada dua pasal ini, calon hakim yang sudah dinyatakan lulus oleh
panitia pengangkatan hakim baru langsung diajukan kepada Mahkamah Agung
sebagai lembaga induk peradilan di Indonesia. Setelah diterima oleh MA, kemudian
15. MA tidak bisa mengangkat secara sendiri hakim-hakim yang sudah dinyatakan lulus
teresebut. Calon hakim yang sudah dinayatakan lulus tersebut diajukan oleh MA
kepada Presiden yang berjangka waktu 30 hari sejak pemberitahuan kelulusan oleh
panitia pengangkatan hakim.
Dari penjelasan di atas, tatacara pengangkatan hakim dilakukan oleh panitia
pengangkatan hakim yang dibentuk oleh Mahkamah Agung. Calon hakim melakukan
serangkaian seleksi yang difasilitasi oleh panitia guna menjaring hakim-hakim yang
profesional. Dengan melalui seleksi ini hakim akan teruji kecakapan materi yang
dikuasainya, sehingga hakim baru benar-benar menguasai materi tentang kehakiman.
Setelah dinyatakan lulus dari seleksi calon hakim, calon hakim mengikuti
serangkaian pembinaan dari panitia yang dibentuk oleh Mahkamah Agung. Pembinaan
ini meliputi kode etik seorang hakim dan pedoman prilaku hakim. Setelah selesai
masa pembinaan calon hakim ini, calon hakim baru ini dikirim ke berbagai Pengadilan
untuk melakukan magang. Selama magang ini seorang calon hakim tidak dilepas
begitu saja, tetapi ada pengawasan yang dilakukan oleh Panitia, MA ataupun KY.
Hasil dari mmonitoring ini berguna untuk pembinaan calon hakim baru.
Setelah selesai melakukan magang, selanjutnya nama-nama calon hakim baru
ini diajukan oleh panitia kepada Mahkamah Agung (MA) guna diajukan kepada
Presiden untuk dilakukan pengangkatan jabatan hakim. Setelah MA mengajukan
pengangkatan hakim kepada Presiden, kemudian Presiden siap untuk mengangkat
hakim.
Maka, setelah Presiden mengangkat hakim yang diajukan calonya oleh MA
melalui seleksi yang dilakukan oleh Panitia yang dibentuk oleh MA, maka hakim
tersebut dinyatakan sah. Dengan demikian, hakim di Indonesia diangkat oleh Presiden
melalui seleksi yang dilakukan oleh Panitia yang dibentuk oleh Mahkamah Agung.
F. Hubungan Mahkamah Agung (MA) dengan Lembaga-Lembaga Lain
(1) Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi
Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung (dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara), dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan rumusan Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945,
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan MK.
Sekalipun sama-sama pemegang kekuasaan kehakiman, kedua lembaga
tersebut mempunyai kewenangan yang berbeda. Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945
16. menyatakan, MA berwenang: (1) mengadili pada tingkat kasasi, (2) menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang,
dan (3) mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Sementara itu, Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, MK berwenang: (1)
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap UUD, (2) memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, (3) memutus
pembubaran partai politik, dan (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum. Selain kewenangan, Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa
MK memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Berdasarkan ketentuan di tingkat konstitusi, kemungkinan terjadinya
persinggungan antara MA dengan MK ada pada titik penggunaan wewenang
pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review). Misalnya, ada
kelompok masyarakat yang mengajukan judicial review PP No 6 Tahun 2005
tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala daerah
dan Wakil Kepala Daerah. Sementara itu, dalam waktu yang bersamaan, ada pula
pengajuan judicial review UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah –
yang menjadi dasar pembentukan PP No 6/2005– kepada MK. Kebetulan pula,
MA dan MK memutus serentak. MA memutus PP No 6/2005 tidak bertentangan
dengan UU No 32/2004. Tetapi, di sisi lain, MK memutuskan bahwa UU No
32/2004 bertentangan dengan UUD 1945.
Kemungkinan terjadinya masalah seperti di atas terjawab dengan dalam UU
No 24/2003. Pasal 55 UU No 24/2003 menyatakan, pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah
Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian
peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai
ada putusan Mahkamah Konstitusi. Artinya, dengan ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 55 UU No 24/2003, kemungkinan terjadinya permasalahan antara
putusan MA dengan putusan MK sudah teratasi.
Selain masalah judicial review, kemungkinan persinggungan juga dapat terjadi
dalam isu sengketa kewenangan antarlembaga. Namun, ini pun dapat diselesaikan
dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 65 UU No 24/2003, MA tidak dapat
menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada MK.
17. (2) Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial
Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 menyatakan, calon hakim agung diusulkan KY
kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai
hakim agung oleh presiden. Kemudian, Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945
menyatakan, KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Berdasarkan
ketentuan itu, hubungan KY dengan MA terjadi dalam proses pengusulan calon
hakim agung; dan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim.
Dalam proses awal kehadirannya, terlihat ada ketegangan hubungan antara KY
dengan MA. Ketegangan itu muncul ketika KY merespon kejanggalan yang terjadi
dalam kasus sengketa penetapan hasil pemilihan Walikota-Wakil Walikota Depok.
Sebagaimana diketahui, Pengadilan Tinggi Jawa Barat (04/08-2005) membatalkan
hasil pemilihan Walikota-Wakil Walikota Depok. Majelis hakim yang diketuai
Nana Juwana menetapkan Badrul Kamal/Syihabuddin Ahmad memperoleh suara
269.551 suara dan Nur Mahmudi Ismail/Yuyun Wirasaputra memperoleh 204.828
suara. Berdasarkan putusan tersebut, perolehan suara untuk pasangan Badrul
Kamal bertambah 62.770, sedangkan suara untuk Nur Mahmudi dikurangi 27.782.
Karena menilai terjadi kejanggalan dalam penyelesaian kasus di atas, KY
memeriksa hakim yang menangani kasus sengketa pemilihan di Kota Depok.
Kemudian, KY merekomendasikan kepada MA (14/09-2005) untuk
pemberhentian sementara selama satu tahun Ketua PT Jawa Barat Nana Juwana.
Dalam rekomendasi itu, KY memberikan tenggat waktu satu bulan supaya MA
memberikan tanggapan atas rekomendasi KY. Anehnya, terobosan KY justru
mendapat resistensi dari berbagai kalangan di MA.
Sekalipun ada resistensi, dalam Sambutan Rakernas MA, Peradilan Tingkat
Banding, Pengadilan Tingkat Pertama Kelas IA Seluruh Indonesia di Denpasar,
Bali 19-22 September 2005, Ketua MA Bagir Manan mengatakan:
“Sekarang kita mempunyai KY yang saya yakin akan lebih memperkuat upaya
membenahi tingkah laku tidak terpuji dari hakim. Meskipun KY tidak berwenang
meneliti dan memeriksa putusan hakim dan tindakan-tindakan teknis yustisial
lainnya, tetapi kewenangan yang ada disertai kerjasama yang erat dengan MA,
akan sangat memberdayakan (empowering) usaha kita menghapus secara tuntas
perbuatan tercela para hakim atau petugas pengadilan lainnya. Saya berjanji akan
18. memanfaatkan semaksimal mungkin temuan KY mengenai perbuatan tidak terpuji
para hakim dan lain-lain pejabat pengadilan“.
Masalahnya, apakah pernyataan di atas merupakan komitmen institusi
pengadilan atau hanya merupakan pernyataan Bagir Manan sebagai Ketua MA?
Kalau merupakan sikap institusi pengadilan, maka ada harapan bahwa KY akan
lebih mudah mengawasi tingkah laku tidak terpuji hakim sehingga pelan-pelan
kewibawaan pengadilan bisa diperbaiki.
19. DAFTAR PUSTAKA
Asuransi MAG, 2015. Tugas dan Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK
diakses dari http://www.mag.co.id/ tanggal 19 November 2015
Limc4u, 2014. Penjelasan Pasal 23 UUD 1945 diakses dari
http://homepagelimc4u.blogspot.co.id/ tanggal 19 November 2015
Love and Respect, 2015. Kekuasaan Kehakiman diakses dari
http://everythingaboutvanrush88.blogspot.co.id/ tanggal 19 November 2015
Mahkamah Agung, 2010. Tugas dan Fungsi diakses dari
https://www.mahkamahagung.go.id/ tanggal 19 November 2015
Singarekdi, 2011. Hubungan DPR dengan BPK diakses dari
http://birokrasikomplek.blogspot.co.id/ tanggal 19 November 2015
Wakerkwa, Gerson, 2013. Tugas Dan Fungsi Mpr Serta Hubungan Antar Lembaga
Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan diakses dari https://docs.google.com/ tanggal 19
November 2015
Wikipedia. Komisi Yudisial Republik Indonesia diakses dari https://id/wikipedia.org/
tanggal 19 November 2015
Wikipedia. Mahkamah Agung Republik Indonesia diakses dari https://id/wikipedia.org/
tanggal 19 November 2015
Wikipedia. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia diakses dari
https://id/wikipedia.org/ tanggal 19 November 2015
Prof. Dr. Isra, Saldi. 2010.Sistem Peradilan Pasca Perubahan UUD 1945 diakses dari
www.saldiisra.web.id tanggal 19 November 2015
20. Rojak, Encep Abdul, SHI. 2014. Tata Cara Pengangkatan Hakim di Indonesia diakses
dari www.slideshare.net tanggal 19 November 2015
Pradana, Dwita. 2009. Pembahasan Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua BPK
diakses dari www.bpk.goid tanggal 19 November 2015