Dokumen tersebut membahas tentang pengertian justifikasi secara umum dan beberapa teori justifikasi seperti fondasionalisme, koherentisme, internalisme, eksternalisme, serta membedakan antara justifikasi epistemik dengan non-epistemik. Dokumen ini juga menjelaskan bahwa suatu kepercayaan dapat benar tetapi tidak terjustifikasi, atau sebaliknya terjustifikasi tetapi salah, serta tingkatannya yang bervariasi.
1. A. Pengertian Justifikasi
Justifikasi adalah alasan kenapa seseorang memiliki suatu keyakinan, sebuah
penjelasan mengenai kenapa sebuah keyakinan adalah benar, atau bagaimana
seseorang tahu apa yang diketahuinya benar. Pembenaran juga berarti melakukan
pertanggung jawaban rasional atas klaim kebenaran kepercayaan atau pendapat yang
dipegang.
Banyak hal yang bisa dijustifikasi, diantaranya: keyakinan, tindakan, emosi,
klaim, aturan, teori-teori dan lain-lain. Secara epistemologi justifikasi mengacu pada
keyakinan. Hal ini disebabkan pengaruh dari suatu definisi pengetahuan yang
mengatakan bahwa pengetahuan adalah kepercayaan yang benar yang dijustifikasi,
yang sering kali di asosiasikan dengan sebuah teori yang didiskusikan oleh socrates
dalam dialog nya “Theaetetus”. Secara umum, teori-teori justifikasi berfokus kepada
penjustifikasian terhadap setatemen atau proposisi (Sudarminta, 2002).
Pada teori paling awal mengenai pengetahuan bahwa pengetahuan adalah
“justified true belief” atau bisa diterjemahkan secara bebas kepercayaan yang benar
dan terjustifikasi yang di promosikan oleh Plato yang mana teori ini kemudian
mendapat kritik dari Gettier pada tahun 1963. Pengertian yang diusung oleh plato
masih dianggap bukanlah suatu pengetahuan, sebagaimana ditulis oleh Keith Lehrer
bahwa syarat-syarat ini masih belum cukup, dan perlu diadakan penambahan kriteria
karena penjelasan tersebut masih irasional.
Contoh kasus yang diutarakan oleh Edmund Gettier (1963) adalah diantaranya
sebagai berikut. Contoh kasus 1 : Smith mengajukan lamaran kerja, tetapi dia
menjustifikasi yakin bahwa Jon lah yang akan mendapatkan pekerjaan. Smith juga
yakin bahwa Jon memiliki 10 coin di saku nya. Kemudian smith membuat
kesimpulan bahwa orang yang akan mendapatkan pekerjaan memiliki 10 koin
disakunya. Pada kenyataannya, Jon tidak mendapat pekerjaan. Akan tetapi, justru
Smith yang mendapatkan pekerjaan. Namun ternyata Smith juga memiliki 10 koin di
sakunya. Jadi kepercayaan Smith bahwa orang yang mendapat pekerjaan adalah
2. orang yang memiliki 10 koin disakunya terjustifikasi dan benar. Akan tetapi bukanlah
suatu pengetahuan (Lehrer, 1969).
B. Teori-teori Justifikasi
1. Fondasionalisme
Fondasionalisme adalah teori pembenaran yang menyatakan bahwa suatu klaim
kebenaran pengetahuan untuk dapat dipertanggungjawabkan secara rasional perlu
didasarkan atas suatu fondasi atau basis yang kokoh, yang jelas dengan sendirinya,
tak dapat diragukan kebenarannya dan tak memerlukan koreksi lebih lanjut.
2. Koherentisme
Menurut teori ini, semua kepercayaan mempunyai kedudukan empirik yang
sama, sehingga tidak perlu ada pembedaan antar kepercayaan dasar dan kepercayaan
simpulan sebagaimana dibuat fondasionalisme. Jadi suatu kepercayaan dengan
sendirinya bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya kalau kepercayaan itu koheren
atau konsisten dengan keseluruhan sistem kepercayaan yang selama ini diterima
kebenarannya (Sudarminta, 2002).
3. Internalisme.
Internalisme adalah pandangan bahwa orang selalu dapat menentukan dengan
melakukan introspeksi diri apakah kepercayaan atau pendapatnya dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara rasional atau tidak. Motivasi yang
mendorong orang untuk menganut aliran internalisme adalah bahwa manusia sebagai
makhluk rasional secara prima facie mempunyai kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan secara apa yang ia percayai atau apa yang menjadi
pendapatnya.
4. Eksternalisme.
Berlawanan dengan para internalis, kaum eksternalis lebih menekankan proses
penyebaban dari faktor-faktor eksternal seperti dapat diandalkan tidaknya proses
pemerolehan pengetahuan yang terjadi, berfungsi tidaknya secara normal dan
semestinya sarana-sarana wajar kita untuk mengetahui. Demikian juga lingkungan,
3. sejarah dan konteks sosial yang mempengaruhi proses pemerolehan pengetahuan
menjadi bagian dari faktor penentu dibenarkan tidaknya suatu kepercayaan atau
pendapat (Sudarminta, 2002).
C. Justifikasi Epistemik
Pertama, sebuah pengetahuan membutuhkan justifikasi epistemik, meskipun
begitu disana ada juga justifikasi-justifikasi yang tidak epistemik. Sebagai contoh
ketika seorang pemukul bola kasti kemungkinan besar bisa memukul bola jika dia
yakin bahwa dia bisa memukul bola. Tentu saja dia mungkin saja tidak berhasil
memukul bola, akan tetapi memiliki keyakinan semacam ini akan berdampak baik
bagi sang pemukul tersebut. Dengan begitu bisa disebut hal itu adalah justifikasi
praktis atas keyakinannya meskipun hal ini tidak bisa disebut justifikasi epistemic
(Lemos, 2012).
Epistemik sendiri dari bahasa yunani episteme yang berarti “pengetahuan,
pemahaman”. Yang mana menurut plato bahwa pengetahuan adalah sebuah
kepercayaan yang benar yang dapat dijelaskan dengan baik. Menurut teori bahwa
pengetahuan adalah sebuah kepercayaan yang benar dan terjustifikasi, bahwa
seseorang agar tahu bahwa proposisi itu benar maka seseorang tidak hanya harus
percaya bahwa proposisi-proposisinya benar, akan tetapi dia juga harus memiliki
alasan-alasan yang kuat untuk keyakinannya itu.
Ketika seseorang mengalami sakit dan yang sangat membahayakan, yang mana
banyak orang meninggal karena penyakit ini. Meskipun bukti bahwa orang-orang
tidak bisa sembuh dari penyakit semacam ini, akan tetapi sebuah keyakinan bahwa
orang ini bisa sembuh adalah suatu hal positif yang bisa meningkatkan kesempatan
orang itu. Dalam hal semacam ini orang ini memiliki justifikasi kehati-hatian atau
moral yang menyebabkannya memiliki keyakinan bahwa dia akan sembuh meskipun
tidak ada justifikasi epistemik mengenai hal itu.
Tidak seperti justifikasi moral dan kehati-hatian, justifikasi epistemik memiliki
ikatan yang erat dengan jalan menuju kebenaran. Meskipun susah untuk digambarkan
4. bagaimana jalan yang seperti apakah yang bisa menghubungkan kepada kebenaran.
Mungkin secara mendasar bisa dikatakan bahwa justifikasi epistemik mencapai suatu
kebenaran dengan cara yang sama sekali berbeda dengan cara-cara justifikasi moral
dan kehati-hatian. Dengan kata lain ketika seseorang menjustifikasi sebuah
kepercayaan atas suatu proposisi maka kepercayaan seseorang itu bisa dikatakan
benar.
Kedua, sebuah proposisi bisa saja benar akan tetapi tidak di justifikasi. Sebuah
contoh bahwa (i) jumlah bintang-bintang dilangit itu selalu sama, dan (ii) jumlah
bintang dilangit itu tidak sama. Kedua hal ini (i) dan (ii) adalah sama-sama benar,
akan tetapi kita tidak bisa menjustifikasi nya. Karena kita tidak memiliki bukti akan
hal itu.
Ketiga, sebuah kebenaran bisa saja dijustifikasi akan tetapi tidak benar.
Misalnya anda menjustifikasi bahwa sekarang adalah tengah hari (noon), anda
menjustifikasi seperti ini karena anda melihat jam tangan dan jam itu menunjukkan
bahwa sekarang adalah tengah hari. Akan tetapi tanpa anda ketahui bahwa jam anda
berhenti saat tengah hari, dan kenyataannya sekarang adalah jam 12:30. Sebuah
contoh lain A yakin bahwa dia melihat seeorang yang didepan kelas adalah Lisa. A
menjustifikasi begitu karena dia melihat seseorang yang dia lihat itu persis, berbaju
dan bertingkah laku seperti Lisa. Tanpa dia ketahui bahwa Lisa memiliki saudari
kembar identik dan yang dilihat si A bukanlah Lisa. Jadi keyakinannya salah, akan
tetapi terjustifikasi.
Keempat, justifikasi itu relatif. Karena suatu proposisi bisa di justifikasikan
pada seseorang akan tetapi tidak bisa kepada orang lain. Contoh, A adalah seorang
pencuri, dan proposisi bahwa A adalah pencuri mungkin dijustifikasikan hanya
kepada A, dan tidak kepada yang lain. Lebih jauh lagi bahwa suatu proposisi bisa
dijustifikasikan pada seseorang, pada suatu waktu akan tetapi tidak pada waktu yang
lain. Contoh : teman-teman A menjustifikasi kepercayaan mereka bahwa A bukan
pencuri, akan tetapi setelah dipelajari dan dilihat bukti-bukti lebih lanjut kini mereka
memiliki justifikasi keyakinan bahwa A adalah pencuri.
5. Kelima, justifikasi epistemik memiliki tingkatan. Sebuah justifikasi muncul
pada tingkatan yang pasti atau maksimal, atas sebuah proposisi yang di justifikasi,
dan masuk akal. Sebuah proposisi bahwa 2=2, bahwa saya berpikir, bahwa saya ada,
adalah hal yang pasti. Sebaliknya sebuah proposisi bahwa saya masih hidup tiga
bulan lagi adalah sesuatu yang tidak pasti atau tidak maksimal terjustifikasi bagi saya.
Hal itu bukan suatu keyakinan yang pasti karena proposisi bahwa saya hidup
sekarang lebih terjustifikasi bagi saya dari pada hal tadi (Pollock, 2003).
6. DAFTAR PUTAKA
Artemov, Sergei. 2008. The Logic of Justification, the Review of Symbolic Logic.
Vol: 1 (4)
Gettier, E., 1963. Is Justified True Belief Knowledge? Analysis. Vol: 23
Lehler, K., & Thomas, P. 1969. The Journal of Philosophy. Vol: 66 (8)
Lemos, Noah. 2012. An Introduction to the Theory of Knowledge. Inggris:
Cambridge university press
Pollock, John L., & Joseph, Cruz. 2003. Contemporary Theories of Knowledge.
Arizona: Rowman & Littlefield
Sudarminta, J. 2002. Epistemologi Dasar. Yogyakarta: Kanisius