Dokumen tersebut membahas kondisi Pak Roni yang menderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) dan perawatannya. Pak Roni mengalami kesulitan bernafas dan kekurusan akibat PPOK, dan perlu melakukan berbagai pemeriksaan serta menerima terapi obat dan perubahan gaya hidup.
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
JUDUL
1. MODUL 6
SISTEM RESPIRASI II
SKENARIO 6 : Pak Roni Episode 2
Pak Roni yang menderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis terlihat semakin kurus dan
mengeluarkan usaha ekstra untuk bernafas. Untuk mengetahui progresifitas penyakitnya,
ia harus menjalani serangkaian pemeriksaan, mulai dari uji faal paru, laboratorium,
maupun radiologi. Selama ia dirawat ia mendapatkan oksigen dan obat-obatan jenis
bronkodilator dan kortikosteroid untuk mengurangi gejalanya. Selain obat-obatan, Pak
Roni juga dianjurkan untuk mengubah gaya hidupnya untuk tidak lagi merokok dan
mengikuti latihan khusus guna memperbaiki kapasitas parunya, sehingga dapat terjadi
proses metabolisme yang optimal pada tubuhnya.
Bagaimanakah anda menjelaskan kondisi yang dialami Pak Roni, dan bagaimana prinsip
respirasi pada keadaan yang normal terkait dengan proses metabolisme?
JUMP 1 : TERMINOLOGI
1. Terminologi
Progresifitas adalah kemampuan bergerak maju secara psikologi atau
berkelanjutan.
2. Faal paru
berarti kerja atau fungsi paru dan uji faal paru merupakan pengukuran obyektif
apakah fungsi paru seseorang dalam keadaan normal atau abnormal.
3. Bronkodilator
adalah jenis obat yang membuat pernapasan lebih mudah dengan cara
melebarkan saluran pernapasan dan melemaskan otot-otot pada paru
NAMA : KHAIRA MAULINA
NIM : 190610069
KELOMPOK : 2 / 1.3
2. JUMP 2 & 3 : RUMUSANMASALAH & HIPOTESA
1. Mengapa Pak Roni terlihat semakin kurus?
Jawab :
- Mengeluarkan enzim lebih banyak untuk respirasi
- Kehilangan nafasu makan
- Kebutuhan kartikosteroid lebih sering
- Penderita tidak ingin makan banyak karena perut akibat diafragma
tertekan
2. Mengapa Pak Roni harus mengeluarkan usaha ekstra untuk bernafas?
Jawaban :
pak roni mengeluarkan usaha ekstra untuk bernafas karena PPOK menyebabkan
volume paru berkurang, agar membuat kapasitas parunya maksimal maka ia
melakukan usaha ekstra agar dapat menyalurkan respirasi baik di paru-paru
maupun di tingkat sel.
3. Apa tujuan Pak Roni melakukan uji faal paru?
Jawab :
Untuk Menilai fungsi respirasi, perfusi gas, perfusi darah paru dan transpor
gas O2 dan CO2 dalam peredaran darah apabila fungsi ventilasi nilainya baik maka
dapat mewakili kesulurahan fungsi paru
4. Pemeriksaan apa yang harus dilakukan pada pak roni?
Jawaban :
Pemeriksaan yang perlu dilakukan pak roni yaitu
- Spirometri yaitu pemeriksaan yang berguna untuk menilai fungsi paru dan
kavasitas paru.
- Pemeriksaan radiologi foto thorax untuk melihat lapangan paru (melihat
udara di paru, pelebaran hylus, sudut kosto prenicus) adakah infeksi dl
3. 5. Mengapa pakRoni mendapat jenis obat bronkodilator?
Jawaban :
- Karena bronkodilator secara umum bekerja dengan merelaksasi otot polos
saluran napas sehingga dapat mengurangi hambatan saluran napas
- Manfaat klinis pada pasien ppok
- Meningkatakn kapasitas aktivitas
- Mengurangi penjebakan di dalam paru
6. Apa saja jenis obat bronkodilator?
Jawaban:
- Antikolinergik(tiutrioum/pratropium)
- Agionis beta 2 (formeterol, salbutamol ,salmeterol)
- Teofilin
7. Apa saja yang mempengaruhi kapasitas pernafasan?
jawaban :
- tekanan O2 dan CO2
- umur
- jenis kelamin
- suhu tubuh
- riwayat penyakit
- kebiasaan
- olah raga
8. Mengapa Pak Roni dianjurkan untuk mengubah gaya hidup untuk tidak lagi
merokok?
Jawaban :
Tidak merokok lagi akan mengurangi progresivitas penurunan funsi paru
9. Bagaimana terapi untuk ppok?
Jawaban :
4. - Mengubah gaya hidup
- Mengonsumsi obat
- Terapi oksigen
- Fisioterapi dada atau rehabilitas paru-paru
10. Bagaimana metabolisme aerob pada respirasi ?
jawaban :
- Siklus krebs
- Glikolisis : 2 asampiruvat,2 ATP,2 NADH
- Fosforilasi oksidatif
JUMP 4 : SKEMA
5. JUMP 5 : LEARNING OBJECTIVE
1. Penghantar dasar pemeriksaan uji fungsi paru
a. Prinsip dasar spirometri
b. Radiologi thorax
2. Siklus krebs
3. Terapi oksigen
4. Farmakologi sistemrespirasi
JUMP 7 : SHARING INFORMATION
1. Penghantar Dasar Pemeriksaan Uji Fungsi Paru
a. Prinsip Dasar Spirometri
Indikasi Spirometri
Ada beberapa indikasi dilakukan spirometri, antara lain:
1) Menilai status faal paru yaitu menentukan apakah seseorang mempunyai
faal paru normal, hiperinflasi, obstruksi, restriksi atau bentuk campuran.
2) Menilai manfaat pengobatan yaitu menentukan apakah suatu pengobatan
memberikan perubahan terhadap nilai faal paru
3) Evaluasi penyakit yaitu menilai laju perkembangan penyakit terdapat
perbaikan atau perubahan nilai faal paru.
4) Menentukan prognosis yaitu meramalkan kondisi penderita selanjutnya
dengan melihat nilai faal paru yang ada.
5) Menentukan toleransi tindakan bedah
6) Menentukan apakah seseorang mempunyai risiko ringan, sedang atau
berat pada tindakan bedah.
7) Menentukan apakah dapat dilakukan tindakan reseksi paru
Prosedur Pemeriksaan Spirometri
Sebelum dilakukan pemeriksaan spirometri diperlukan beberapa persiapan,
antara lain: persiapan alat, persiapan penderita, ruang dan fasilitas.
6. 1) Persiapan alat
a) Alat harus dikalibrasi minimal 1 kali seminggu. Penyimpangan tidak
boleh melebihi 1½ % dari kalibrator.
b) Mouth piece sekali pakai atau penggunaan berulang 1 buah.
c) Sediakan wadah berisi savlon yang telah diencerkan dengan air untuk
merendam mouth piece yang digunakan berulang.
2) Persiapan penderita
Penderita harus mengerti tujuan dan cara pemeriksaan. Sebelum dilakukan
pemeriksaan, operator harus memberikan petunjuk yang tepat dan benar
serta memberikan contoh cara melakukan pemeriksaan spirometri. Selama
pemeriksaan penderita harus merasa nyaman. Syarat sebelum melakukan
pemeriksaan spirometri antara lain: harus bebas dari rokok minimal 2 jam
sebelum pemeriksaan, tidak boleh makan terlalu kenyang sebelum
pemeriksaan, tidak boleh berpakaian ketat, penggunaan bronkodilator
terakhir minimal 8 jam sebelum pemeriksaan untuk aksi singkat dan 24 jam
untuk aksi panjang.
3) Ruang dan fasilitas
Ruangan yang digunakan harus mempunyai sistem ventilasi yang baik.
Suhu udara tempat pemeriksaan tidak boleh < 17° C atau > 40° C.
Pemeriksaan terhadap pasien yang dicurigai menderita penyakit infeksi
saluran napas dilakukan pada urutan terakhir dan setelah itu harus
dilakukan tindakan antiseptik pada alat
Prosedur pemeriksaan
Prosedur pemeriksaan spirometri juga merupakan faktor penting yang lain
disamping alatnya sendiri seperti yang sudah diuraikan sebelumnya.
1) Informasi data-data demografi subyek yang akan diperiksa (untuk
seterusnya akan disebut sebagai subyek saja). Informasi ini meliputi: nama,
nomor, umur (dalam tahun), tinggi badan (tanpa alas kaki dalam inci atau
cm), berat badan (dalampon atau kg) dan suku bangsa.
7. 2) Persiapan subyek, menerangkan kepada subyek tentang cara bekerjanya
alat, beberapa perintah yang harus dilaksanakan, menegaskan bahwa
pemeriksaan tidak menyakitkan dan pemeriksaan dilakukan dengan berdiri.
3) Demonstrasi kepada subyek Agar pemeriksaan dapat dikerjakan dengan
baik dan benar, pemeriksa memberi contoh terlebih dahulu.
4) Pemimpin yang baik Beri aba-aba yang jelas dan keras agar subyek dapat
melaksanakan dengan baik.
5) Perhatikan subyek, selama pemeriksaan
a) apakah penjepit hidung terpasang dengan baik?
b) apakah tidak ada kebocoran di mulut?
c) apakah subyek telah melakukan inhalasi maksimum?
d) setelah selesai satu manuver perhatikan grafik yang tergambar
6) Mengenal manuver yang tak diterima (unacceptable) Ada 3 manuver yang
dianggap gagal yaitu: 1). Terlambat waktu memulai manuver; 2) Batuk; 3)
Mengakhiri sebelum saatnya selesai. Paling sedikit diperlukan 3 manuver
yang baik
7) Menentukan ”reproducible” Setelah ada 3 grafik yang ”acceptable”,
kemudian ditentukan 2 yang ”reproducible”. Ciri-cirinya menurut
rekomendasi ATS adalah (Enright PL):
a) 2 FVC yang terbesar perbedaannya kurang dari 5%
b) 2 FEV1 yang terbesar perbedaannya kurang dari 5%
c) 2 PEFR perbedaannya kurang dari 5%
Teknik spirometri dilakukan untuk mengukur udara yang dapat diinspirasi dan
diekspirasi untuk menilai fungsi paru. Terdapat beberapa istilah yang harus
diketahui sebelum melakukan spirometri, yaitu:
Expiratory Reserve Volume (ERV) : adalah volume udara yang dapat
dikeluarkan secara maksimal setelah melakukan ekspirasi pada pernapasan
biasa. Udara yang tertinggal di dalam paru setelah melakukan ekspirasi
maksimal dikenal dengan Residual Volume (RV)[12,13]
8. Inspiratory Reserve Volume (IRV) : adalah volume udara maksimal yang
dapat masuk ke dalam paru setelah melakukan inspirasi normal[12]
Vital Capacity (VC) : adalah jumlah udara maksimal yang diekspirasi setelah
inspirasi maksimal tanpa melakukan paksaan[5]
Forced Vital Capacity (FVC) : adalah volume udara yang diekspirasi dengan
paksa dan tuntas, setelah melakukan inspirasi yang dalam[1]
Functional Residual Capacity (FRC) : adalah volume udara yang tertinggal di
paru setelah melakukan ekspirasi pada pernapasan normal, yaitu ERV+RV.
Volume udara ini masih dapat diekspirasi. Beda dengan Residual
Volume (RV), yang merupakan volume udara yang tersisa di paru setelah
akhir ekspirasi dan secara fisiologis tidak dapat dikeluarkan. RV menjaga
agar paru tidak kolaps[12,14]
Total Lung Capacity (TLC) : adalah total volume udara yang dapat mengisi
paru pada inspirasi maksimal, pada orang dewasa yang sehat dapat
mencapai 6000 ml, yaitu TV+ERV+IRV+RV[12]
Forced Expiratory Volume (time) (FEVt) : adalah volume maksimal yang
diekspirasi pada waktu t detik dari detik 0 pada manuver ekspirasi
paksa[1,13]
Forced Expiratory Volume 1 (FEV1) : adalah volume udara yang diekspirasi
pada detik pertama saat melakukan manuver FVC. Normalnya, seseorang
dapat mengeluarkan 70-80% FVC pada detik pertama manuver
ekspirasi[1,2]
Rasio FEV1/FVC : perbandingan nilai FEV1 dan FVC, dimana FEV1
diperkirakan 3 liter dan FVC diperkirakan 4 liter, berarti cut off FEV1/FVC
adalah >0,70 atau 70%. [1] Pada anak-anak, nilai rasio FEV1/FVC lebih
tinggi. Hal ini karena diameter saluran napas pada anak yang relatif lebih
lebar dengan volume paru yang lebih kecil, sehingga waktu ekspirasi akan
lebih pendek dan pengosongan paru lebih cepat. Oleh karena itu, lebih
tepat menggunakan FEV0,75 pada anak sampai dengan usia 8 tahun[15]
Peak Expiratory Flow (PEF) : adalah aliran terbesar yang dapat dikeluarkan
dari manuver forced expiratory maksimum dari posisi inflasi paru maksimal.
9. PEF diukur dengan liter per detik, dengan tujuan untuk menilai usaha yang
dikeluarkan pasien
Forced Inspiratory Vital Capacity (FIVC) : adalah volume inspirasi terbesar
yang didapatkan segera setelah melakukan ekspirasi paksa[1]
Forced Expiratory Time (FET) : merupakan waktu dalam detik yang diukur
dari detik 0 ke akhir ekspirasi, atau awal inspirasi setelah ekspirasi, atau
waktu saat pasien melepaskan mouthpiece, dari ketiga nilai ini diambil yang
tertinggi[1]
Slow Vital Capacity (SVC) : dilakukan sebagai pemeriksaan tambahan dan
dilaporkan apabila dicurigai ada obstruksi saluran napas. Pada pasien yang
memiliki gangguan pada aliran udara, nilai SVC dapat digunakan untuk
mengestimasi vital capacity (VC)[8,12]
Inspiratory Capacity (IC) : adalah volume udara yang dapat diinspirasi
setelah melakukan ekspirasi normal dan sebanding dengan TV+IRV.
Forced Expiratory Flow (FEF)/Mid-expiratory Flow rate : adalah kecepatan
aliran udara yang dikeluarkan pada pertengahan ekspirasi paksa, yaitu
pada 25%, 50%, dan 75% dari FVC[2,14]
Inspiratory Vital Capacity (IVC) : adalah jumlah maksimum udara yang
dapat diinhalasi setelah melakukan ekspirasi penuh[2]
Kurva Maximal Expiratory Flow Volume (MEFV) : adalah kurva yang
menggambarkan ekspirasi paksa pada grafik flow-volume[3]
b. Radiologi Thorax
Rontgen Dada
Rontgen dada atau rontgen thorax adalah pemeriksaan dengan
menggunakan radiasi gelombang elektromagnetik guna menampilkan
gambaran bagian dalam dada. Melalui rontgen dada, kamu dapat melihat
gambaran jantung, paru-paru, saluran pernapasan, pembuluh darah dan nodus
limfa. Rontgen dada juga bisa menunjukkan tulang belakang dan dada,
termasuk tulang payudara, tulang rusuk, tulang selangka dan bagian atas
10. tulang belakang kamu. Biasanya, jenis rontgen ini dilakukan untuk menemukan
masalah dalam dada.
Berikut berbagai macam kondisi yang dapat ditunjukkan melalui rontgen
dada:
Masalah Paru-Paru
Rontgen dada bisa mendeteksi adanya kanker, infeksi, ataupun
pengumpulan udara di ruang sekitar paru-paru (pneumothorax).
Pemeriksaan ini juga bisa menunjukkan kondisi kronis paru-paru, seperti
emfisema atau cystic fibrosis, serta komplikasi yang berhubungan dengan
kondisi ini.
Masalah Jantung yang Berhubungan dengan Paru
Rontgen dada dapat menunjukkan adanya perubahan atau masalah dalam
paru-paru kamu yang berasal dari jantung. Misalnya seperti, cairan dalam
paru-paru (pulmonary edema) yang merupakan hasil dari gagal jantung
kongestif.
Ukuran dan Bentuk Jantung
Ukuran dan bentuk jantung yang berubah bisa menjadi pertanda dari
penyakit gagal jantung, masalah katup jantung, ataupun cairan di sekitar
jantung (efusi perikardial).
Pembuluh Darah
Oleh karena letak pembuluh besar dekat dengan jantungmu, seperti aorta,
arteri pulmonal, dan vena, maka rontgen dada bisa mendeteksi adanya
masalah, seperti aorta aneurisma atau masalah pembuluh darah lainnya,
dan penyakit jantung bawaan dapat terlihat.
Deposit Kalsium
Rontgen dada juga bisa dilakukan untuk melihat adanya kalsium dalam
jantung atau pembuluh darah. Pasalnya, kalsium dalam jantung ini bisa
menjadi pertanda adanya kerusakan dalam rongga jantung, arteri koroner,
otot jantung, ataupun kantong pelindung yang mengelilingi jantung.
Deposit kalsium dalam paru-paru, biasanya berasal dari infeksi lama yang
belum sembuh.
11. Patah Tulang
Patah tulang pada tulang rusuk atau tulang belakang dapat dilihat dengan
rontgen dada.
Cara Melakukan Rontgen Dada
Sebelum menjalani proses rontgen dada, kamu biasanya akan diminta
untuk menanggalkan beberapa atau semua pakaian dan mengenakan pakaian
khusus untuk pemeriksaan. Perhiasan, peralatan gigi, kacamata, dan benda
logam juga perlu dilepaskan. Kemudian, kamu akan diminta berdiri
menghadap plat rontgen untuk pengambilan gambar. Kamu juga akan diminta
untuk tidak bergerak atau bahkan menahan napas selama beberapa detik saat
gambar rontgen diambil. Rontgen dada biasanya hanya berlangsung selama
beberapa menit saja.
Biasanya akan diambil dua gambar, yaitu satu dari belakang dan lainnya
dari samping. Dalam keadaan darurat ketika hanya satu gambar sinar X yang
diambil, biasanya bagian depan yang akan digunakan.
Waktu Melakukan Rontgen Dada
Rontgen dada adalah pemeriksaan yang akan dianjurkan oleh dokter bila
dokter menduga adanya penyakit jantung atau paru. Berikut gejala-gejala
kesehatan yang biasanya memerlukan rontgen dada:
Batuk membandel
Batuk berdarah
Nyeri dada karena cedera atau disebabkan masalah jantung.
Kesulitan bernapas
Demam
Pemeriksaan ini juga dianjurkan pada orang yang mengalami gejala-gejala
tuberkulosis, kanker paru, ataupun penyakit dada atau paru lainnya.
Hal yang Harus Diketahui Sebelum Melakukan Rontgen Dada
Bila hasil rontgen menunjukkan adanya kondisi yang tidak normal atau
tidak memberikan informasi yang cukup tentang masalah dada, maka tes
12. lainnya perlu dilakukan, seperti computed tomography (CT) scan, ultrasound,
ekokardiogram, ataupun scan MRI.
Hasil tes rontgen juga bisa berbeda dari hasil tes sebelumnya, karena
diperiksa di sebuah pusat medis atau memiliki jenis tes yang berbeda. Ada
beberapa kondisi yang mungkin tidak bisa terdeteksi pada rontgen dada, yaitu
kanker kecil, pulmonary embolus, ataupun masalah lain yang tersembunyi
dalam struktur normal dada.
Bagi para wanita, sebaiknya memberi tahu dokter atau radiolog bila ada
kemungkinan sedang hamil. Biasanya, ada beberapa tes pencitraan yang tidak
dilakukan selama kehamilan agar janin tidak terkena radiasi. Bila pemancaran
sinar X dilakukan, maka dokter atau radiolog akan memperkecil paparan
radiasi terhadap bayi.
Hasil foto rontgen dada normal:
Hasil rontgen paru-paru terlihat normal dalam ukuran dan bentuk, serta
jaringan paru terlihat normal. Tidak ada pertumbuhan massa dalam paru-
paru. Ruang pleura (ruang yang mengelilingi paru-paru) juga terlihat
normal.
Jantung terlihat normal dalam ukuran dan bentuk, serta jaringan jantung
terlihat normal. Pembuluh darah dari dan yang mengarah ke jantung juga
normal baik dalam ukuran, bentuk, dan tampilan.
Tulang termasuk tulang belakang dan rusuk terlihat normal.
Diafragma terlihat normal dalam bentuk dan letak.
Tidak terlihat adanya penumpukan cairan atau udara yang abnormal, dan
tidak ada benda asing yang terlihat.
Semua tabung, kateter, atau alat medis lainnya berada pada posisi yang
tepat di dalam dada.
Hasil foto rontgen dada abnormal:
Adanya infeksi, seperti pneumonia atau tuberkulosis.
13. Adanya masalah seperti tumor, cedera, atau kondisi seperti edema karena
gagal jantung mungkin terlihat. Pada beberapa kasus, rontgen lebih lanjut
atau tes lainnya akan diperlukan untuk melihat masalah lebih jelas.
Terlihat adanya masalah seperti pembesaran jantung—yang dapat
mengakibatkan gagal jantung, penyakit katup jantung, atau cairan disekitar
jantung.
Terlihat adanya masalah dengan pembuluh darah, seperti pembesaran
aorta, aneurisma, atau pengerasan arteri (aterosklerosis).
Terlihat adanya cairan dalam paru-paru (edema paru) atau disekitar paru-
paru (efusi pleura), atau udara terlihat di sekitar rongga paru
(pneumothorax).
Terlihat adanya patah tulang pada tulang rusuk, selangka, atau tulang
belakang.
Terlihat adanya pembesaran nodus limfa.
Benda asing terlihat di dalam esofagus, tabung pernapasan, atau paru-
paru.
Tabung, katerer, atau alat medis lainnya bergeser dari posisi semula.
2. Siklus Krebs
Pengertian Siklus Krebs
Asetil-KoA yang telah terbentuk akan menjadi bahan baku pada siklus
selanjutnya, yaitu siklus Krebs. Oleh karena itu, Asetil Ko-A disebut senyawa
intemediate atau senyawa antara. Siklus Krebs terjadi di matriks mitokondria dan
disebut juga siklus asam trikarboksilat. Hal ini disebabkan siklus Krebs tersebut
menghasilkan senyawa yang mempunyai 3 gugus karboksil, seperti asam sitrat dan
asam isositrat. Asetil koenzim A hasil dekarboksilasi oksidatif memasuki matriks
mitokondria untuk bergabung dengan asam oksaloasetat dalam siklus Krebs,
membentuk asam sitrat. Demikian seterusnya, asam sitrat membentuk
bermacam-macam zat dan akhirnya membentuk asam oksaloasetat lagi (Maulana,
2012).
14. Siklus kreb disebut juga sebagai siklus asam sitrat, yaitu serangkaian reaksi
kimia dalam sel pada mitokondria yang berlangsung secara berurutan dan
berulang. Molekul Acetyl CoA yang merupakan produk akhir dari proses konversi
Pyruvate kemudian akan masuk kedalam Siklus Asam Sitrat. Secara sederhana
persamaan reaksi untuk 1 Siklus AsamSitrat (Citric Acid Cycle) dapat dituliskan :
Tahap-Tahap Proses Siklus Krebs
Menurut Budiyanto (2013), secara skematis siklus krebs dapat dilihat pada
gambar berikut :
Gambar 1. Skema Siklus Krebs
Karbon dioksida (CO2) terbentuk asam α Ketoglutamat yang disertai dengan
pelepasan hidrogen dan elektron yang ditangkap NAD membentuk NADH.
Selanjutnya asam α Ketoglutamat juga melepaskan gugus karboksit (CO2 disertai
dengan pelepasan hidrogen dan elektron yang ditangkap NAD membentuk NADH.
Asam α Ketoglutamat lalu berikatan dengan molekul KoA membentuk suksinat
Ko–A. KoA kemudian dilepas dan digantikan oleh fosfat (P) berasal dari GTP,
terikat pada ADP membentuk ATP, menyebabkan suksinil Ko-A berubah menjadi
15. asam suksinat. Asam suksinat melepaskan 2 hidrogen (2H) dan elektron yang
ditangkap FAD membentuk FADH2, asam suksinat berubah menjadi asam fumarat.
Kemudian asam fumarat dapat menggunakan air (H2O) menjadi asam malat,
selanjutnya asam malat melepaskan hidrogen dan elektron ditangkap oleh NAD+
membentuk NADH. Dan akhirnya asam malat berubah menjadi asam oksaloasetat.
Asam aksaloasetat yang mendapat transfer 2 atom karbon (2C) dari asetil Ko-A
akan menjadi siklus Krebs kembali.
Pada siklus krebs ini (terjadi dimatriks mitokondria) asetil KoA diubah
menjadi KoA. Asetil KoA bergabung dengan asam oksaloasetat membentuk asam
sitrat. KoA dilepaskan sehingga memungkinkan untuk mengambil fragmen 2C lain
dari asam piruvat. Pembentukan asam sitrat terjadi diawal siklus krebs ,
sementara itu sisa dua karbon dari glukosa dilepaskan sebagai CO2. Selama terjadi
pembentukan – pembentukan , energi yang dibutuhkan dilepaskan untuk
menggabungkan fosfat denga ADP membentuk molekul ATP. Pada siklus krebs,
pemecahan rantai karbon pada glukosa selesai, Jadi, sebagai hasil dari glikoslisis ,
reaksi antara dan siklus krebs adalah pemecahan satu molekul glukosa 6 karbon
menjadi 6 molekul 1 karbon, selain itu juga dihasilkan 2 molekul ATP dari glikolisis
dan 2 ATP lagi dari siklus krebs (Anonim, 2008).
Menurut Sanamontre (2005), ada beberapa reaksi-reaksi dalam siklus krebs.
Pertama-tama asetil ko-A bereaksi dengan oksaloasetat dan menjadi sitrat dengan
melibatkan enzim sitrat sintase, reaksi berlangsung dengan terjadinya kondensasi
asetil ko-A dengan oksaloasetat dan membentuk sitril ko-A, kemudain sitril ko-A
dihidrolisis menjadi sitrat dan ko-A.
Karbon dioksida (CO2) terbentuk asam α Ketoglutamat yang disertai dengan
pelepasan hidrogen dan elektron yang ditangkap NAD membentuk NADH.
Selanjutnya asam α Ketoglutamat juga melepaskan gugus karboksit (CO2 disertai
dengan pelepasan hidrogen dan elektron yang ditangkap NAD membentuk NADH.
Asam α Ketoglutamat lalu berikatan dengan molekul KoA membentuk suksinat
Ko–A. KoA kemudian dilepas dan digantikan oleh fosfat (P) berasal dari GTP,
terikat pada ADP membentuk ATP, menyebabkan suksinil Ko-A berubah menjadi
asam suksinat. Asam suksinat melepaskan 2 hidrogen (2H) dan elektron yang
16. ditangkap FAD membentuk FADH2, asam suksinat berubah menjadi asam fumarat.
Kemudian asam fumarat dapat menggunakan air (H2O) menjadi asam malat,
selanjutnya asam malat melepaskan hidrogen dan elektron ditangkap oleh NAD+
membentuk NADH. Dan akhirnya asam malat berubah menjadi asam oksaloasetat.
Asam aksaloasetat yang mendapat transfer 2 atom karbon (2C) dari asetil Ko-A
akan menjadi siklus Krebs kembali.
Pada siklus krebs ini (terjadi dimatriks mitokondria) asetil KoA diubah
menjadi KoA. Asetil KoA bergabung dengan asam oksaloasetat membentuk asam
sitrat. KoA dilepaskan sehingga memungkinkan untuk mengambil fragmen 2C lain
dari asam piruvat. Pembentukan asam sitrat terjadi diawal siklus krebs ,
sementara itu sisa dua karbon dari glukosa dilepaskan sebagai CO2. Selama terjadi
pembentukan – pembentukan , energi yang dibutuhkan dilepaskan untuk
menggabungkan fosfat denga ADP membentuk molekul ATP. Pada siklus krebs,
pemecahan rantai karbon pada glukosa selesai, Jadi, sebagai hasil dari glikoslisis ,
reaksi antara dan siklus krebs adalah pemecahan satu molekul glukosa 6 karbon
menjadi 6 molekul 1 karbon, selain itu juga dihasilkan 2 molekul ATP dari glikolisis
dan 2 ATP lagi dari siklus krebs (Anonim, 2008).
Menurut Sanamontre (2005), ada beberapa reaksi-reaksi dalam siklus krebs.
Pertama-tama asetil ko-A bereaksi dengan oksaloasetat dan menjadi sitrat dengan
melibatkan enzim sitrat sintase, reaksi berlangsung dengan terjadinya kondensasi
asetil ko-A dengan oksaloasetat dan membentuk sitril ko-A, kemudain sitril ko-A
dihidrolisis menjadi sitrat dan ko-A.
Gambar 2. Tahap reaksi pertama
17. Tahap kedua, sitrat menjadi cis-sitrat dengan melibatkan enzim aconitase,
yaitu dengan menghidrolisis sitrat yang merupakan isomer dari isositrat dan
menghasilkan cis-asositat sebagaiintermedietnya :
Gambar 3. Tahap reaksi kedua
Tahap ketiga, cis-aconitate menjadi isositrat, dalam reaksi ini juga
melibatkan enzim aconitase dengan saling menukarkan atom H dengan gugus OH
dari tahap kedua di atas.
Gambar 4. Tahap reaksi ketiga
Tahap keempat, terjadinya reaksi isositrat menjadi αketoglutarat dengan
melibatkan enzim isositrat dehidrogenase, melalui proses dekarboksilasi oksidatif
dari isositrat menjadi.
Oksalosuksinat sebagai intermedietnya. Lalu CO2 meninggalkan
oksalosuksinat yang kemudian berubah menjadi α ketoglutarat. Reaksi ini
menghasilkan NADH.
Gambar 5. Tahap reaksi keempat
18. Tahap keenam, suksinil ko-A menjadi suksinat yang melibatkan enzim
suksinil ko-A sintase, dengan reaksi fosforilasi ikatan thioester dari suksinil dan
ko-A yang banyak energinya. Langkah ini merupakan satu-satunya yang
memberikan energi tinggi. GTP dihasilkan oleh beberapa reaksi thioester dan
fosforilasi dari GDP.
Tahap keenam, suksinil ko-A menjadi suksinat yang melibatkan enzim
suksinil ko-A sintase, dengan reaksi fosforilasi ikatan thioester dari suksinil dan
ko-A yang banyak energinya. Langkah ini merupakan satu-satunya yang
memberikan energi tinggi. GTP dihasilkan oleh beberapa reaksi thioester dan
fosforilasi dari GDP.
Gambar 7. Tahap reaksi keenam
Tahap ketujuh, suksinat menjadi fumarat dengan melibatkan enzim suksinat
dehidrogenase dengan reaksi oksidasi dua atom hidrogen dari suksinat terlepas
menuju penerima, FAD. Lalu reaksi ini menghasilkan fumarat dan FADH2.
Gambar 8. Tahap reaksi ketujuh
Tahap kedelapan, fumarat menjadi L-malat dengan melibatkan enzim
Lmalase, dimana pada masuknya H2O ke dalam fumarat yang kemudian
menghasilkan L-malat.
19. Gambar 9. Tahap reaksi kedelapan
Tahap kesembilan, L-malat menjadi oksaloasetat dimana pada reaksi ini
terjadi oksidasi malet yang dihidrogenasi menjadi bentuk oksaloasetat
denganakseptor NAD. Reaksi ini melibatkan enzim malat dehidrogenase dan
menghasilkan NADH2.
Gambar 10. Tahap reaksi kesembilan
Tahap terakhir, reaksi oksaloasetat dengan asetil ko-A menjadi sitrat dengan
melibatkan enzim sitrat sintase melalui reaksi kondensasi oksaloasetat dengan
asetil ko-A menjadi sitril ko-A. Lalu sitril ko-A dihidrolisis lagi menjadi sitrat dan
ko-A
Gambar 11. Tahap reaksi terakhir
Jika dilihat dari siklus Krebs pada gambar 1 dapat dikatakan kalau setelah
terjadi proses terakhir ini reaksi kembali terulang terus-menerus dan
menghasilkan energi
20. 3. Terapi Oksigen
Definisi Terapi Oksigen (O2)
Terapi oksigen (O2) merupakan suatu intervensi medis berupa upaya
pengobatan dengan pemberian oksigen (O2) untuk mencegah atau memerbaiki
hipoksia jaringan dan mempertahankan oksigenasi jaringan agar tetap adekuat
dengan cara meningkatkan masukan oksigen (O2) ke dalam sistem respirasi,
meningkatkan daya angkut oksigen (O2) ke dalam sirkulasi dan meningkatkan
pelepasan atau ekstraksi oksigen (O2) ke jaringan.3,8 Dalam penggunaannya
sebagai modalitas terapi, oksigen (O2) dikemas dalam tabung bertekanan tinggi
dalam bentuk gas, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa dan tidak mudah
terbakar. Oksigen (O2) sebagai modalitas terapi dilengkapi dengan beberapa
aksesoris sehingga pemberian terapi oksigen (O2) dapat dilakukan dengan efektif,
di antaranya pengatur tekanan (regulator), sistem perpipaan oksigen (O2) sentral,
meter aliran, alat humidifikasi, alat terapi aerosol dan pipa, kanul, kateter atau
alat pemberian lainnya.
Indikasi Terapi Oksigen (O2)
Terapi oksigen (O2) dianjurkan pada pasien dewasa, anak-anak dan bayi (usia
di atas satu bulan) ketika nilai tekanan parsial oksigen (O2) kurang dari 60 mmHg
atau nilai saturasi oksigen (O2) kurang dari 90% saat pasien beristirahat dan
bernapas dengan udara ruangan. Pada neonatus, terapi oksigen (O2) dianjurkan
jika nilai tekanan parsial oksigen (O2) kurang dari 50 mmHg atau nilai saturasi
oksigen (O2) kurang dari 88%. Terapi oksigen (O2) dianjurkan pada pasien dengan
kecurigaan klinik hipoksia berdasarkan pada riwayat medis dan pemeriksaan fisik.
Pasien-pasien dengan infark miokard, edema paru, cidera paru akut, sindrom
gangguan pernapasan akut (ARDS), fibrosis paru, keracunan sianida atau inhalasi
gas karbon monoksida (CO) semuanya memerlukan terapi oksigen (O2).
Terapi oksigen (O2) juga diberikan selama periode perioperatif karena
anestesi umum seringkali menyebabkan terjadinya penurunan tekanan parsial
oksigen (O2) sekunder akibat peningkatan ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi
paru dan penurunan kapasitas residu fungsional (FRC). Terapi oksigen (O2) juga
21. diberikan sebelum dilakukannya beberapa prosedur, seperti pengisapan trakea
atau bronkoskopi di mana seringkali menyebabkan terjadinya desaturasi arteri.
Terapi oksigen (O2) juga diberikan pada kondisi-kondisi yang menyebabkan
peningkatan kebutuhan jaringan terhadap oksigen (O2), seperti pada luka bakar,
trauma, infeksi berat, penyakit keganasan, kejang demam dan lainnya.
Dalam pemberian terapi oksigen (O2) harus dipertimbangkan apakah pasien
benar-benar membutuhkan oksigen (O2), apakah dibutuhkan terapi oksigen (O2)
jangka pendek (short-term oxygen therapy) atau panjang (long-term oxygen
therapy). Oksigen (O2) yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat dan
harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas.
Terapi Oksigen (O2) Jangka Pendek
Terapi oksigen (O2) jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada
pesien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut, di antaranya pneumonia,
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dengan eksaserbasi akut, asma bronkial,
gangguan kardiovaskuler dan emboli paru. Pada keadaan tersebut, oksigen (O2)
harus segera diberikan dengan adekuat di mana pemberian oksigen (O2) yang
tidak adekuat akan dapat menimbulkan terjadinya kecacatan tetap ataupun
kematian. Pada kondisi ini, oksigen (O2) diberikan dengan fraksi oksigen (O2) (FiO2)
berkisar antara 60-100% dalam jangka waktu yang pendek sampai kondisi klinik
membaik dan terapi yang spesifik diberikan.
Terapi Oksigen (O2) Jangka Panjang
Pasien dengan hipoksemia, terutama pasien dengan penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK) merupakan kelompok yang paling banyak menggunakan terapi
oksigen (O2) jangka panjang. Terapi oksigen (O2) jangka panjang pada pasien
dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) selama empat sampai delapan
minggu bisa menurunkan hematokrit, memerbaiki toleransi latihan dan
menurunkan tekanan vaskuler pulmoner. Pada pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK) dan kor pulmonal, terapi oksigen (O2) jangka panjang
dapat meningkatkan angka harapan hidup sekitar enam sampai dengan tujuh
tahun. Selain itu, angka kematian bisa diturunkan dan dapat tercapai manfaat
22. survival yang lebih besar pada pasien dengan hipoksemia kronis apabila terapi
oksigen (O2) diberikan lebih dari dua belas jam dalam satu hari dan
berkesinambungan.
Oleh karena terdapat perbaikan pada kondisi pasien dengan pemberian
terapi oksigen (O2) jangka panjang, maka saat ini direkomendasikan untuk pasien
hipoksemia (PaO2 < 55 mmHg atau SaO2 < 88%), terapi oksigen (O2) diberikan
secara terus menerus selama dua puluh empat jam dalam satu hari. Pasien
dengan PaO2 56 sampai dengan 59 mmHg atau SaO2 89%, kor pulmonal dan
polisitemia juga memerlukan terapi oksigen (O2) jangka panjang. Pada keadaan ini,
awal pemberian terapi oksigen (O2) harus dengan konsentrasi rendah (FiO2 24-
28%) dan dapat ditingkatkan bertahap berdasarkan hasil pemeriksaan analisa gas
darah dengan tujuan mengoreksi hipoksemia dan menghindari penurunan pH di
bawah 7,26. Terapi oksigen (O2) dosis tinggi yang diberikan kepada pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) yang sudah mengalami gagal napas tipe II
akan dapat mengurangi efek hipoksik untuk pemicu gerakan bernapas dan
meningkatkan ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi. Hal ini akan menyebabkan
retensi CO2 dan akan menimbulkan asidosis respiratorik yang berakibat fatal.
Pasien yang menerima terapi oksigen (O2) jangka panjang harus dievaluasi
ulang dalam dua bulan untuk menilai apakah hipoksemia menetap atau ada
perbaikan dan apakah masih dibutuhkan terapi oksigen (O2). Sekitar 40% pasien
yang mendapat terapi oksigen (O2) akan mengalami perbaikan setelah satu bulan
dan tidak perlu lagi meneruskan terapi oksigen (O2).
Kontraindikasi Terapi Oksigen (O2)
Terapi oksigen (O2) tidak direkomendasi pada :
a. Pasien dengan keterbatasan jalan napas yang berat dengan keluhan utama
dispeneu tetapi dengan PaO2 lebih atau sama dengan 60 mmHg dan tidak
mempunyai hipoksia kronis.
b. Pasien yang tetap merokok karena kemungkinan prognosis yang buruk dan
dapat meningkatkan risiko kebakaran.
23. Teknik Pemberian Terapi Oksigen (O2)
Sangat banyak teknik dan model alat yang dapat digunakan dalam terapi
oksigen (O2) yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Pemilihan teknik dan alat yang akan digunakan sangat ditentukan oleh kondisi
pasien yang akan diberikan terapi oksigen (O2).
Teknik dan alat yang akan digunakan dalam pemberian terapi oksigen (O2)
hendaknya memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Mampu mengatur konsentrasi atau fraksi oksigen (O2) (FiO2) udara
inspirasi.
b. Tidak menyebabkan akumulasi karbon dioksida (CO2).
c. Tahanan terhadap pernapasan mininal.
d. Irit dan efisien dalam penggunaan oksigen (O2).
e. Diterima dan nyaman digunakan oleh pasien.
Cara pemberian terapi oksigen (O2) dibagi menjadi dua jenis, yaitu (1) sistem
arus rendah dan (2) sistem arus tinggi. Pada sistem arus rendah, sebagian dari
volume tidal berasal dari udara kamar. Alat ini memberikan fraksi oksigen (O2)
(FiO2) 21%-90%, tergantung dari aliran gas oksigen (O2) dan tambahan asesoris
seperti kantong penampung. Alat-alat yang umum digunakan dalam sistem ini
adalah: nasal kanul, nasal kateter, sungkup muka tanpa atau dengan kantong
penampung dan oksigen (O2) transtrakeal.
Alat ini digunakan pada pasien dengan kondisi stabil, volume tidalnya
berkisar antara 300-700 ml pada orang dewasa dan pola napasnya teratur. Pada
sistem arus tinggi, adapun alat yang digunakan yaitu sungkup venturi yang
mempunyai kemampuan menarik udara kamar pada perbandingan tetap dengan
aliran oksigen sehingga mampu memberikan aliran total gas yang tinggi dengan
fraksi oksigen (O2) (FiO2) yang tetap. Keuntungan dari alat ini adalah fraksi oksigen
(O2) (FiO2) yang diberikan stabil serta mampu mengendalikan suhu dan
humidifikasi udara inspirasi sedangkan kelemahannya adalah alat ini mahal,
mengganti seluruh alat apabila ingin mengubah fraksi oksigen (O2) (FiO2) dan tidak
nyaman bagi pasien.
24. 4. Farmakologi Sistem Respirasi
Penggolongan Obat Sistem Pernafasan
a. Antitusif
Antitusif bekerja menghentikan batuk secara langsung dengan menekan
refleks batuk pada sistem saraf pusat di otak. Dengan demikian tidak sesuai
digunakan pada kasus batuk yang disertai dengan dahak kental, sebab justru
akan menyebabkan dahak sulit dikeluarkan.
b. Ekspektoran
Golongan ini tidak menekan refleks batuk, melainkan bekerja dengan
mengencerkan dahak sehingga lebih mudah mudah dikeluarkan. Dengan
demikian tidak rasional jika digunakan pada kasus batuk kering, sebab hanya
akan membebani tubuh dengan efek samping. Obat golongan ini harus
digunakan secara hati-hati pada penderita tukak lambung.
c. Antihistamin
Golongan kedua ini merupakan kelompok CTM (chlor-trimeton) dan kawan-
kawan. Di kemasan obat, ia lebih sering tampil bergaya dengan nama
panjangnya, klorfeniramin maleat. Ketiganya setali tiga uang.
Histamin sendiri merupakan substansi yang diproduksi oleh tubuh sebagai
mekanisme alami untuk mempertahankan diri atas adanya benda asing.
Adanya histamin ini menyebabkan hidung kita berair dan terasa gatal, yang
biasanya dikuti oleh bersin-bersin.
Selain berfungsi melawan alergi, antihistamin juga punya aktivitas menekan
refleks batuk, terutama difenhidramin dan doksilamin. Sayangnya, obat
golongan ini bisa menyebabkan Anda mengantuk pada saat rapat.
d. Dekongestan
Di antara beberapa jenis dekongestan, PPA (phenyl propanolamine)
merupakan obat yang paling banyak diributkan setelah Ditjen POM (Sekarang
Badan POM) menarik obat-obat flu yang mengandung PPA lebih dari 15 mg. Di
Amerika Serikat, obat ini selain dipakai di dalam obat flu dan batuk, juga
digunakan sebagai obat penekan nafsu makan yang dijual bebas.
25. BATUK
Penyebab batuk adalah :
o INFEKSI di bagian saluran pernafasan atas
o Alergi
o Asma atau tuberculosis
o Benda asing
o Tersedak
o Menghirup asap rokok
o Masalah emosi dan psikologis (untuk batuk psikogenik)
OBAT BATUK
Antitusif (Bekerja menekan batuk) Golongan antitusif :
o Dekstrometorfan
o Butamirat sitrat
o Noskapin
o Difenhidramin
o Dekstrometorfan
Obat ini tidak mempunyai efek analgesik dan ketergantungan, sering digunakan
sebagai antitusif nonnarkotik. Dosis : 30 mg setiap 4-8 jam. Dosis dewasa 10-20
mg, setiap 4 jam, anak-anak umur 6- 11 tahun 5-10 mg, sedangkan anak umur 2- 6
tahun dosisnya 2,5- 5 mg setiap 4 jam.
EKSPEKTORAN
o merangsang pengeluaran dahak dari saluran napas (ekspetorasi).
o Obat yang termasuk golongan ini : Ammonium klorida, Gliseril guaiakolat
o Ammonium klorida
Biasanya digunakan dalam bentuk campuran dengan ekspektoran lain atau
antitusif. Efek samping : dosis besar dapat menimbulkan asidosis metabolik, dan
harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan insufisiensi hati, ginjal, dan
paru. Dosis : pada orang dewasa ialah 300 mg (5 mL) tiap 2-4 jam.
26. MUKOLITIK
o mengencerkan sekret saluran napas dengan jalan memecah benang-benang
mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum.
o Golongan mukolitik : Bromheksin, Ambroksol, Asetilsistein,
o Asetilsistein
Cara kerja : meningkatkan jumlah sekret bronkus secara nyata. Efek samping :
stomatitis, mual, muntah, pusing, demam dan menggigil jarang ditemukan. Dosis :
200 mg, 2-3 kali per oral; 1-10 ml larutan 20% atau 2-20 ml larutan 10% setiap 2-6
jam (inhalasi).
ASMA
o penyakit alergi yang bercirikan peradangan steril kronis yang disertai serangan
napas akut secara berkala.
o CIRINYA : hipersekresi dahak, mudah sengal-sengal dan batuk (dengan bunyi
khas), meningkatnya ambang rangsang (hipereaktivitas) bronchi terhadap
rangsangan alergis. O FAKTOR : lingkungan, genetis.
OBAT ASMA
o Aminophylline 200 Mg Inf :
o Cara kerja : bronkodilator dengan jalan melemaskan otot polos bronkus. Efek
samping : Gastrointestinal, misalnya : mual, muntah, diare, Susunan saraf
pusat, misalnya sakit kepala, insomnia, Kardiovaskuler, misalnya : palpitasi,
takikardi, aritmia, ventrikuler, Pernafasan, misalnya : tachypnea, Rash,
hiperglikemia. Dosis : Dewasa : 1 tablet 3 kalisehari. Anakanak 6 – 12 tahun : ½
tablet 3 kali sehari, atau menurut petunjuk dokter.
o Ambroxol
Cara kerja : Sebagai sekretolitik pada gangguan saluran napas akut dan kronis
khususnya pada eksaserbasi bronkitis kronis, bronkitis asmatik, dan asma
bronkial. Efek samping : Sakit kepala, gangguan pencernaan, memar, kelainan
perdarahan, reaksi hipersensitif. Dosis : 2 kali sehari 20 mg.
27. o Fenoterol hidrobromida
Cara kerja : Terapi simtomatik (hanya bersifat menghilangkan gejala, tidak
menghilangkan/menyembuhkan penyebab utamanya) episode asma akut. Efek
samping : Gemetar halus otot rangka & gugup, takhikardia (tidak terlalu
sering), pusing, berdebar atau sakit kepala. Dosis : Episode asma akut : 1
hirupan.
o Salbutamol
Cara kerja : Efek utama setelah pemberian peroral adalah efek bronkodilatasi
yang disebabkan terjadinya relaksasi otot bronkus. Efek samping : Pada
pemakaian dosis besar dapat menyebabkan tremor halus pada otot skelet
(biasanya pada tangan), palpitasi, kejang otot, takikardia, sakit kepala dan
ketegangan. efek ini terjadi pada semua perangsangan adrenoreseptor beta.
Vasodilator perifer, gugup, hiperaktif, epitaksis (mimisan), susah tidur. Dosis :
Tablet Dewasa (>12 tahun) : 2-4 mg, 3-4 kali sehari; Anak-anak: 2-6 tahun : 1-2
mg, 3-4 kali sehari, 6-12 tahun: 2 mg, 3-4 kali sehari.
o Teofilin
Cara kerja : menghalangi kerja enzim fosfodiesterase sehingga menghindari
perusakan cAMP dalam sel,stimulasi pelepasan kotekolamin dari medula
adrenal, menghalangi pembentukan prostaglandin dan memperbaikan
kontraktilitas diafragma. Efek samping : Denyut jantung meningkat, berdebar-
debar, mual-muntah, gangguan saluran cerna lainnya, sakit kepala, gangguan
tidur, gangguan irama jantung, kejang. Dosis : 200-400 mg tiap 12 jam.
FLU/INFLUENZA
o Penyakit infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh virus influenza.
o Penularan virus dapat terjadi melalui udara pada saat orang berbicara, batuk
dan bersin.
OBAT INFLUENZA
o Amoxicillin (golongan antibiotik)
Cara kerja : Amoksisilina merupakan senyawa penisilina semi sintetik dengan
aktivitas anti bakteri spektrum luas yang bersifat bakterisid. Aktivitasnya mirip
28. dengan ampisilina, efektif terhadap sebagian bakteri gram-positif dan
beberapa gram-negatif yang patogen. Efek samping : Pada pasien yang
hipersensitif dapat terjadi reaksi alergi seperti urtikaria, ruam kulit, pruritus,
angioedema dan gangguan saluran cerna seperti diare, mual, muntah, glositis
dan stomatitis. Dosis : Dewasa atau anak dengan berat badan lebih dari 20 kg:
250 - 500 mg sehari, sebelum makan.
o Paracetamol (analgetik antipiretik)
Cara kerja : Meringankan rasa sakit pada sakit kepala dan sakit gigi, serta
menurunkan demam, nyeri. Efek samping : Kerusakan hati (dosis besar, terapi
jangka lama). Dosis : Dewasa : 3-4 kali sehari 1 kaplet. Anak 6-12 tahun : 3-4
kali sehari ½ - 1 kaplet.
o Antihistamin
Diberikan untuk mengatasi alergi khususnya alergi yang disebabkan mikroba
atau reaksi obat yang lainnya.
o Klorfeniramin maleat
Cara kerja : pengobatan simptomatik berbagai penyakit alergi seperti urticaria,
pruritus, gigitan serangga. Efek samping : sedasi, gangguan saluran cerna, efek
anti muskarinik, hipotensi, kelemahan otot, tinnitus, euphoria, sakit kepala,
gangguan hematologi. Dosis : dewasa 4 mg tiap 4-8 jam sekali, maksimum 24
mg/24 jam. Anak-anak 2-5 tahun 1 mg (1/4 kaplet) tiap 4-6 jam sekali, 6-12
tahun 2 mg (1/2 kaplet) tiap 4-6jam sekali.
FARINGITIS
o Penyakit yang disebabkan oleh bakteri streptococcus gruf A.
o GEJALA : demam, nyeri tenggorokan, dan kelenjar yang membengkak di leher.
Obat Faringitis
o Dexametason
Cara kerja : sebagai glukokortikoid khususnya untuk anti imflamasi.
Efek samping : Pengobatan yang berkepanjangan dapat mengakibatkan efek
katabolik steroid seperti kehabisan protein, osteoporosis dan penghambatan
29. pertumbuhan anak. Penimbunan garam, air dan kehilangan potassium jarang
terjadi bila dibandingkan dengan beberapa glucocorticoid lainnya.
Penambahan nafsu makan dan berat badan lebih sering terjadi.
Dosis : Dewasa: Oral: 0.5 mg - 10 mg per hari (rata-rata 1.5 mg - 3 mg per hari);
Parenteral: 5 mg - 40 mg per hari ; Untuk keadaan yang darurat diberikan intra
vena atau intra muskular.; Anak-anak: 0.08 mg - 0.3 mg/kg berat
badan/perhari dibagi dalam3 atau 4 dosis.
Obat faringitis lainnya
o Antibiotik. Ex : paracetamol, kotrimazol, ciproploxacin.
o Analgetik antipiretik.
o Obat batuk.
o Anti radang
BRONKITIS
o Infeksi pada bronkus (percabangan trakea).
o Peradangan ditunjukan oleh produksi dahak yang berlebih.
o Gejala : batuk filek atau flu. O Penyebab : asap rokok, bakteri dan virus.
Obat bronkitis
o Obat golongan antibiotik
o Analgetik antipiretik
o Anti radang
o Obat golongan mukolitik (pengencer dahak)