Penelitian ini membuat beras analog dari campuran tepung garut dan tepung beras dengan penambahan alginat. Hasilnya menunjukkan beras analog terbaik diperoleh dari campuran 60% tepung garut dan 40% tepung beras dengan penambahan 2% alginat. Uji coba pada tikus menunjukkan beras analog tersebut mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus hiperglikemik.
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
Jurnal beras analog umbi garut
1. BERAS ANALOG BERBASIS UMBI GARUT (Maranta arundinaceae L) DAN
ALGINAT SEBAGAI PANGAN BERKHASIAT OBAT (MEDICINAL FOODS)
YANG DIUJIKAN PADA TIKUS HIPERGLIKEMIK.
Arrowroot (Maranta arundinaceae) and Alginat Based Artificial Rice as
Medicinal Foods Tested In Hyperglycemic Rat
Anindya Dyah Rachmadani 1)
, Teti Estiasih 2)
1) Alumni Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang
2) Staf Pengajar Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang
Penulis Korespondensi : nahnihnyu.anin@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proporsi tepung garut : tepung beras
yang optimal dalam pembuatan beras analog dengan penambahan alginat dan
mengetahui pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia,organoleptik dan keefektifan beras
analog terhadap penurunan kadar glukosa pada tikus hiperglikemik. Penelitian ini terdiri
dari 2 tahap penelitian. Tahap pertama adalah proses pembuatan beras analog dari
tepung garut. Penelitian tahap 1 disusun dengan menggunakan metode Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan 2 faktor dimana faktor pertama terdiri dari 3 level dan faktor
kedua terdiri dari 3 level. Penelitian tahap ke dua adalah pengujian efek hipoglikemik
beras analog umbi garut perlakuan terbaik pada tikus wistar jantan secara in-vivo
menggunakan rancangan tersarang. Hasil penelitian menunjukkan beras analog perlakuan
terbaik diperoleh pada perlakuan proporsi tepung garut : tepung beras 60 : 40 dan
penambahan alginat 2%. Perlakuan terbaik uji MTT diperoleh pada kelompok tikus dengan
pakan beras garut, dimana tikus mengalami peningkatan kadar glukosa darah sebesar
24,70 mg/dl darah. Perlakuan terbaik uji efek glikemik diperoleh pada kelompok tikus
dengan pakan beras garut, yaitu tikus mengalami penurunan kadar glukosa darah sebesar
89,90 mg/dl darah.
Kata kunci: diabetes mellitus, beras analog, umbi garut, in-vivo, alginat
ABSTRACT
The research was conducted to determine the proportion of arrowroot flour: rice
flour in making optimal artificial rice with the addition of alginate and determine their effects
on physical, chemical, organoleptic properties and effectiveness of artificial to the
decrease glucose levels in hyperglycemic rats. The research consisted of two phases. The
first phases made artificial rice from arrowroot processing. Phase 1 used Randomized
Block Design method (RBD) with two factors, which the first factor consisted of 3 levels
and the second factor consisted of 3 levels. The second phase of the study was the
hipoglicemic effects of the best treatment artificial rice using nested designs. The best
treatment based on the physical and organoleptic parameters was obtained from the
treatment of arrowroot flour and rice flour proportion = 60 : 40 with the addition of Na-
alginate 2%. The best treatment MTT assay obtained in groups of rats with feed arrowroot
rice, where rats have elevated levels of blood glucose by 24.70 mg / dl of blood. The best
treatment glycemic effects obtained in groups of rats with feed arrowroot rice, which level
of blood glucose decreased of 89.90 mg / dl of blood.
Keyword: diabetes mellitus, artificial rice, arrowroot, in-vivo, alginate
2. PENDAHULUAN
Bagi penderita Diabetes Mellitus
(DM), konsumsi nasi harus dibatasi.
Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit
metabolik yang ditunjukkan dengan
kondisi hiperglikemia kronik dan
gangguan pada metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein (ADA, 2003). Menurut
WHO Indonesia menduduki tempat ke 4
terbesar penderita diabetes mellitus
dengan pertumbuhan sebesar 152%
pada tahun 2000 menjadi 21.257.000
orang di tahun 2030 (Suyono, 2007).
Tanaman garut (Maranta
arundinaceae L) merupakan salah satu
bahan pangan lokal yang mulai
dikembangkan dan memiliki nilai ekonomi
yang cukup baik. Keunggulan dari umbi
garut memiliki kandungan serat dalam
karbohidrat yang cukup tinggi, untuk
serat larut air sebesar 5,03% dan serat
tidak larut air sebesar 8,74% serta umbi
garut mempunyai keunggulan dalam hal
nilai indeks glikemik (IG) rendah yaitu 14
(Marsono, 2002). Berdasarkan penelitian
Novitasari dkk (2011) pemberian emping
garut selama 28 hari dengan jumlah 20
gram/hari belum mampu menurunkan
kadar glukosa darah. Maka dari itu perlu
adanya pengkajian penambahan serat
larut air dalam produk pangan untuk
keefektifan dalam menurunkan kadar
glukosa darah.
Penambahan serat larut air pada
diet penderita diabetes dapat
menurunkan kadar gula darah. Di dalam
usus halus, serat dapat memperlambat
penyerapan glukosa dan meningkatkan
viskositas isi usus. Akibat kondisi
tersebut, kadar glukosa dalam darah
mengalami penurunan secara perlahan
(Sulistijani, 2001).
Alginat adalah suatu bahan yang
dikandung oleh alga laut dari kelas
Phaeophyceae. Di industri pangan
alginat digunakan sebagai bahan
pengental. Gel yang dihasilkan oleh
alginat bersifat thermostable dimana gel
yang terbentuk lebih stabil dan
memberikan perlindungan terhadap
koloid yang lebih baik dibandingkan
dengan agar, karagenan dan CMC
apabila digunakan pada suhu yang tinggi
(Yunizal, 2004).
Permasalahan yang terjadi adalah
kandungan amilosa tepung garut yang
cukup tinggi (25,94%) yang
menyebabkan tekstur nasi analog
menjadi keras. Tekstur, kenampakan,
rasa dan warna merupakan komponen
yang penting dan harus diperhatikan
dalam pembuatan beras analog ini.
Beberapa faktor tersebut dapat
mempengaruhi daya terima masyarakat
terhadap beras analog yang dihasilkan.
Pembuatan beras analog tidak hanya
menggunakan tepung garut, namun juga
harus ditambahkan tepung beras agar
didapatkan beras analog yang sesuai
selera masyarakat. Dengan demikian,
penelitian ini perlu dilakukan pengkajian
pengaruh penggunaan proporsi tepung
garut dan tepung beras serta
penambahan alginat pada beras analog
yang dihasilkan dan diharapkan akan
meningkatkan nilai organoleptik beras
analog yang selain dapat diterima oleh
masyarakat juga memiliki efek obat
terhadap penurunan kadar glukosa
darah. Keefektifan dari beras analog
akan diuji secara In Vivo menggunakan
hewan coba tikus menggunakan metode
Meal Tolerant Test (MTT) dan uji efek
hipoglikemik.
BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan dalam
pembuatan beras analog terdiri dari
adalah tepung garut yang diproduksi oleh
toko Warung Organik, tepung beras merk
“Rose Brand”, aquades yang diperoleh
dari Laboratorium Biologi Fakutas MIPA
Universitas Brawijaya, minyak kelapa,
garam . Sedangkan bahan – bahan kimia
Alginat, Sodium Tripolyphospat, Gliserol
Monostearat, dan Titanium dioxide
diperoleh dari CV. Panadia Malang.
3. Bahan yang digunakan dalam analisa in
vivo terdiri dari tikus wistar jantan umur 1
bulan dengan berat 180-220 g, aloksan
dan glucose kit.
Metode Penelitian
Tahap 1 adalah pembuatan beras
analog berbasis umbi garut dan natrium
alginat. Metode penelitian menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan dua faktor. Faktor I yaitu proporsi
tepung garut : tepung beras (T) yang
terdiri dari 3 level dan faktor II yaitu
penambahan alginat (A) yang terdiri dari
3 level, sehingga didapatkan 9 kombinasi
perlakuan. Setiap perlakuan diulang
sebanyak 3 kali, sehingga diperoleh 27
satuan percobaan. Formula beras analog
perlakuan terbaik dari diuji lebih lanjut
secara in vivo untuk mengetahui
potensinya sebagai diabetal rice. Beras
varietas sedang digunakan sebagai
beras kontrol dalam penelitian ini. Pada
percobaan ini mengunakan rancangan
tersarang (Nested) dengan 2 faktor yaitu
faktor pakan (B) dengan 3 level dan
waktu (M) dengan 5 level.
Pelaksanaan penelitian tahap I
Tepung garut dan tepung beras
ditimbang dengan proporsi 80 : 20, 70 :
30, 60 : 40 serta penimbangan alginat
1%, 2%, dan 3% dari berat total tepung
komposit. Selanjutnya, Pencampuran
tepung komposit dan tepung beras
sesuai perlakuan. Pembuatan emulsi
yang terdiri dari alginat, GMS, STPP,
garam, titanium dioksida, akuades,
minyak kelapa, Kemudian dilakukan
homogenisasi selama 5 menit, lalu
dipanaskan sampai suhu 800
C.
Pengulenan campuran tepung
dengan emulsi. Pengulenan dilakukan
sampai homogen dan secara manual
menggunakan tangan. Adonan dicetak
dengan menggunakan alat pencetak
beras analog. Butiran beras analog yang
dihasilkan dikukus selama 10 menit.
Beras yang telah tergelatinisasi
dikengeringkan menggunakan kabinet
pengering otomatis pada suhu 600
C
selama 4 jam.
Pelaksanaan Penelitian tahap II
Pengujian bioassay penurunan
kadar glukosa darah dilakukan dengan
pengelompokan tikus menurut perlakuan
.Sebelum dilakukan pengujian, semua
tikus terlebih dahulu diadaptasikan
lingkungan selama 1 minggu. Pemberian
pakan pada tikus dilakukan secara ad
libitum dan pada setiap minggunya diukur
berat badan tikus serta kadar glukosa
darahnya. Untuk menaikkan glukosa
darah tikus dilakukan induksi aloksan
secara intraperitoneal (langsung ke
dalam rongga perut (peritoneal) dengan
konsentrasi 80 mg/kg berat badan. Tiga
hari setelah injeksi aloksan, darah
diambil secara retro orbital plexus
(pembuluh darah sekitar mata) dengan
menggunakan hematokrit untuk
memastikan apakah tikus telah
mengalami hiperglikemia atau belum.
Sebelum diambil darahnya, tikus
dipuasakan terlebih dahulu selama 16
jam. Hanya tikus dengan kadar glukosa
darah puasa (16 jam post prandial (16
jam setelah puasa)) > 126 mg/dl
(hiperglikemik) yang digunakan dalam
percobaan ini. Nilai kadar glukosa darah
diperoleh dengan cara pemberian reagen
glucose kit GOD-FS pada tiap sampel
darah untuk kemudian dihitung nilai
absorbansinya dan kadar gula darah.
Sebelumnya sampel darah sebanyak 1-
1,5 ml disentrifugasi terlebih dahulu pada
4000 rpm selama 15 menit pada suhu
250
C.
Pengujian dengan metode Meal
Tolerance Test dilakukan dengan
pengelompokkan tikus meurut perlakuan.
Sebanyak 9 ekor tikus putih (Ratus
norwegicus) jenis wistar jantan dibagi
menjadi 3 kelompok yaitu 3 seperti pada
pengujian efek hipoglikemik. Tikus
sebelumnya dipuasakan selama 16 jam,
selanjutnya diberi pakan dan minum
4. secara ad libitum sesuai kelompoknya.
Kemudian dilakukan pengambilan darah
setelah menit ke 0, 30, 60, 90, 120
secara retro orbital plexus untuk analisis
kadar gula darah. Nilai kadar glukosa
darah diperoleh dengan cara pemberian
reagen glucose kit GOD-FS pada tiap
sampel darah untuk kemudian dihitung
nilai absorbansinya dan kadar gula
darah.
Analisis Penelitian Tahap 1
Penelitian tahap I yaitu menentukan
perlakuan terbaik dari sifat fisik (warna,
daya rehidrasi, cooking time,
pengembangan volume) dan sifat
sensoris (warna beras, warna nasi,
kenampakan beras, kenampakan nasi,
tekstur, aroma beras, rasa nasi).
Perlakuan terbaik diperoleh dengan cara
menghitung indeks efektifitas De Garmo.
Analisis Penelitian Tahap II
Pengukuran kadar glukosa darah
darah dilakukan setiap minggu yang
berlangsung selama 28 hari. Data
pengamatan beras analog yang diperoleh
dianalisa secara statistik menggunakan
metode analisa ragam ANOVA (Analysis
of Variance), dilanjutkan dengan uji BNT
(Beda Nyata Terkecil) menggunakan
selang kepercayaan 5 % untuk
mengetahui perbedaan pengaruh dari
tiap-tiap perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Fisik dan Kimia Beras
Nalog Perlakuan Terbaik
Penentuan perlakuan terbaik dari
perlakuan proporsi tepung garut : tepung
beras dan penambahan alginat terhadap
beras analog berdasarkan pada metode
indeks efektifitas yaitu menentukan bobot
untuk setiap parameter, kemudian
menentukan nilai efektifitas (NE) dan nilai
produk (NP), selanjutnya nilai produk
pada setiap parameter dijumlah untuk
mendapatkan perlakuan terbaik.
Parameter yang digunakan meliputi rasa,
tekstur (kekenyalan), aroma, warna
(paramater organoleptik), daya rehidrasi,
kenampakan, cooking time, dan derajat
pengembangan. Parameter organoleptik
dipilih untuk menentukan perlakuan
terbaik karena paramater tersebut
berkaitan langsung dengan persepsi
konsumen. Pengujian kimia dilakukan
untuk mengetahui nilai nutrisi dari beras
analog yang dihasil. Pengujian kimia
hanya dilakukan pada beras analog
perlakuan terbaik. Berikut adalah
perbandingan nutrisi beras analog
perlakuan terbaik dengan beras varieas
sedang :
Tabel 1. Nilai parameter kimia dan fisik
beras analog perlakuan terbaik
No
.
Parameter Beras
giling
(kontrol
)
Beras
Analo
g
1 Energi (Kal) 360* 371
2 Protein (g) 6,8* 3,27
3 Lemak (g) 0,7* 3,99
4 Karbohidrat
(g)
78,9* 79,59
5 Serat larut (%) - 3,37
6 Kadar air (%) 13* 9,59
7 Kadar Abu
(%)
- 2,14
8 Pati (%) - 36,01
9 Warna (L*) - 66,47
10 Daya rehidrasi
(%)
- 175,3
11 Derajat
pengembanga
n (%)
- 298,7
12 Cooking time
(menit)
- 38,33
Keterangan : * = Sumber : Direktorat
Gizi, Depkes RI, 1992
5. Tabel 1 menunjukkan
perbandingan nilai parameter-parameter
penting pada analog analog perlakuan
terbaik dengan kontrol (beras).
Berdasarkan Tabel 1 tersebut, dapat
dikatakan bahwa nilai parameter beras
analog perlakuan terbaik tidak berbeda
jauh dengan kontrol. Adanya perbedaan
nilai parameter beras analog perlakuan
terbaik dengan kontrol disebabkan
karena beras analog yang dihasilkan
terbuat dari tepung beras, tepung garut
dan alginat yang memiliki komposisi
kimiawi yang berbeda-beda. Selain itu,
adanya proses pengolahan dari bahan
baku hingga menjadi beras analog
mengakibatkan terjadinya perubahan
komposisi kimiawi pada beras analog
yang dihasilkan sehingga berbeda
dengan kontrol (beras).
Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa
kadar protein beras analog perlakuan
terbaik lebih rendah dibandingkan
dengan beras giling (kontrol). Hal
tersebut diduga disebabkan oleh kadar
protein pada umbi-umbian lebih rendah
dibandingkan beras. Marsono (2002)
menyebutkan bahwa kadar protein pada
umbi garut sekitar 1 – 2,2 %. Kadar
lemak beras analog perlakuan terbaik
memiliki kadar lemak lebih tinggi
dibandingkan dengan beras kontrol. Hal
ini disebabkan oleh saat pembuatan
beras analog, terdapat penambahan
minyak kelapa sebanyak 10%. Minyak
kelapa tersebut turut menyumbangkan
lemak pada beras analog.
Dengan mengetahui nilai
parameter fisik dan kimia beras analog
perlakuan terbaik yang tidak jauh
berbeda dengan kontrol (Tabel 1), dapat
dinyatakan bahwa beras analog
perlakuan terbaik ini dapat dijadikan
sebagai salah satu alternatif makanan
pokok selain beras sekaligus dapat
berfungsi sebagai pangan obat.
Meal Tolerance Test Beras Analog
Perlakuan Terbaik
Uji Meal Tolerance Test (MTT)
dilakukan untuk mengetahui indeks
glikemik suatu prosuk pangan. Pengujian
MTT ini menggunakan 9 tikus wistar
jantan yang dikelompokkan berdasarkan
pakan yang diberikan. Pengelompokkan
tikus wistar jantan yaitu 3 tikus dengan
pakan standar, 3 tikus dengan pakan
beras giling, dan 3 tikus dengan pakan
beras analog garut. Pengujian ini
dilakukan beberapa saat setelah tikus
wistar jantan diberi pakan secara ad
libitum. pengambilan darah dilakukan 5
kali yaitu pada 0 menit, 30 menit, 60
menit, 90 menit dan 120 menit setelah
pemberian pakan. Hasil pengukuran
darah uji MTT ditunjukkan pada Gambar
1.
Gambar 1. Rerata kadar glukosa darah
tikus dengan perlakuan beras garut,
beras giling dan pakan standar melalui
MTT.
Pada gambar 1 menyajikan hasil
pengukuran kadar glukosa darah melalui
uji MTT. Dari grafik tersebut terlihat
bahwa kelompok tikus dengan pakan
beras garut mengalami peningkatan
kadar glukosa darah paling rendah
(24,70 mg/dl) sedangkan kelompok tikus
dengan pakan beras mengalami
peningkatan kadar glukosa darah paling
tinggi (46,61 mg/dl). Hasil analisa ragam
menunjukkan jenis kelompok tikus
berdasarkan pakan dan waktu (menit)
6. memberikan pengaruh nyata (α=0,05)
terhadap rerata kadar glukosa darah.
Rerata kadar glukosa tikus wistar jantan
akibat uji MTT ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh waktu pengambilan
serum darah terhadap Kadar Glukosa
Darah pada uji MTT
Menit
ke-
Pakan
standar
Pakan
beras
Pakan
beras
analog
0 71,52a 73,46a 71,85a
30 103,24b 107,55b 84,79b
60 107,55c 110,34c 90,18c
90 109,60d 113,7d 93,96d
120 110,47d 120,07e 96,55e
BNT
5% 0,746
Keterangan :
1. Setiap data merupakan rerata dari 3
kali ulangan
2. Angka yang didampingi hurut yang
tidak sama menunjukkan berbeda nyata (
α + 0,05)
Tabel 2 menunjukkan kadar
kelompok tikus dengan pakan beras
mengalami kenaikan glukosa darah
paling tinggi dibandingkan kelompok tikus
dengan pakan standar dan beras garut.
Semakin tinggi kenaikan glukosa darah
setelah makan menunjukkan semakin
tinggi indeks glikemik produk pangan
tersebut. Indeks glikemik (glycemic
index/GI) adalah ukuran kecepatan
makanan diserap menjadi gula darah.
Miller et al., (1992) menyatakan bahwa
beras giling mempunyai kisaran IG dari
54 (rendah) sampai dengan 121 (tinggi,
lebih tinggi dari IG glukosa = 100). Selain
karena indeks glikemik yang lebih
rendah, adanya serat larut air akan
menurunkan kadar glukosa postpandrial
dengan mengurangi tingkat absorpsi
karbohidrat
Tabel 3 menunjukkan kelompok
tikus dengan pakan beras garut
mengalami peningkatan kadar glukosa
darah paling rendah. Hal ini menunjukkan
bahawa beras garut memiliki indeks
glikemik rendah dan memiliki potensi
sebagai obat bagi penderita diabetes.
Beras garut mengandung polisakarida
larut air (PLA) dan alginat yang merupa
Menurut Chen et al (2003) terbentuknya
larutan kental seperti gel dari serat larut
menurunkan tingkat kadar glukosa
postpandrial dan insulin dengan
memperlambat pengosongan lambung
dan mengurangi tingkat absorpsi
karbohidrat. Selain itu adanya serat larut
air baik dari tepung garut ataupun alginat
sebagai serat pangan juga membantu
mengansorpsi pati sehingga dapat
menghindari terjadinya hidrolisis pati oleh
enzim α-amilase. Adanya enzim α-
amilase yang terdapat dalam air liur
(saliva) dan pankreas memecah pati
menjadi gula yang lebih sederhana yang
kemudian dialirkan ke jaringan-jaringan
sel melalui darah sehingga kadar glukosa
darah akan meningkat.
Tabel 3. Pengaruh Jenis Pakan terhadap
Kadar Glukosa Darah pada uji MTT
Jenis pakan
Kadar
glukosa
BNT
5%
Pakan
Standar
100,50b
1,05Beras 104,96c
Beras
analog 87,45a
Keterangan :
1. Setiap data merupakan rerata dari 3
kali ulangan
2. Angka yang didampingi hurut yang
tidak sama menunjukkan berbeda
nyata ( α + 0,05)
Proses pre-gelatinisasi adalah
pati yang mengalami proses gelatinisasi
dan selanjutnya dikeringkan. Pati ini akan
mengalami perbuahan sifat fisik dan sifat
pati alami. Dalam pembuatan beras
analog pati dari tepung garut akan
mengalami pre-gelatinisasi (pengukusan)
yang kemudian dalam pengolahannya
dilakukan pengeringansehingga pati yang
tergelatinisasiakan mengeras atau
7. disebut dengan retrogradasi pati. Adanya
perubahan pada pati ini akan
berpengaruh pada daya cerna pangan,
karena memiliki struktur yang sudah tidak
dikenali oleh enzim pencernaan sehingga
berpengaruh pada kenaikan kadar
glukosa darah (Padmaja et al., 1996).
4.3.2. Uji Efek Hipoglikemik
Pengujian efek hipoglikemik
secara in vivo dilakukan dalam jangka
waktu 4 minggu dengan 12 tikus wistar
jantan yang diberi perlakuan berbeda
yaitu 4 tikus diabetes dengan pakan
standar, 4 tikus diabetes dengan pakan
beras giling dan 4 tikus dengan pakan
beras garut. Sebelum diberi pakan
perlakuan, tikus dibuat diabetes terlebih
dahulu dengan penyuntikan aloksan.
Pemberian pakan dilakukan setiap hari
secara ad libitum dan pengambilan darah
dilakukan tiap minggu (minggu ke-0, 1,
2,3, dan 4). Hasil pengukuran kadar
glukosa darah tikus wistar diabetes
setiap minggunya ditunjukkan pada
gambar 2.
Gambar 2. Rerata penurunan kadar
glukosa darah dari tikus diabetes dengan
pakan standar, beras giling dan beras
garut.
Gambar 2 menyajikan grafik
penurunan kadar glukosa darah tikus
wistar selama 4 minggu. Gambar
tersebut menunjukkan kelompok tikus
dengan pakan beras garut mengalami
penurunan kadar glukosa darah paling
besar (89,90 mg/dl), kelompok tikus
dengan pakan beras giling juga
mengalami penurunan (2,42 mg/dl)
namun untuk kelompok tikus dengan
pakan standar mengalami kenaikan
kadar glukosa darah sebesar 12,66
mg/dl. Hasil analisa ragam menunjukkan
jenis kelompok tikus berdasarkan pakan
dan waktu (menit) memberikan pengaruh
nyata (α=0,05) terhadap rerata kadar
glukosa darah. Rerata kadar glukosa
tikus wistar jantan akibat uji efek
hipoglikemik ditunjukkan pada tabel 4.
Tabel 4. Pengaruh Waktu Pengambilan
Serum Darah Terhadap Rerata Kadar
Glukosa Darah Tikus Wistar Jantan
Minggu
ke-
Pakan
standar
Pakan
beras
Pakan beras
analog
1 225,86a 225,31a 220,411e
2 230,72a 228,53a 204,55d
3 231,15a 228,58a 186,84c
4 236,53a 227,94a 143,81b
5 238,52b 220,41a 130,50a
BNT 5% 10,75
Keterangan :
1. Setiap data merupakan rerata dari 4
kali ulangan
2. Angka yang didampingi hurut yang
tidak sama menunjukkan berbeda nyata (
α + 0,05)
Tabel 4 menunjukkan bahwa terjadi
penurunan kadar glukosa darah pada
kelompok tikus dengan pakan beras
garut dan pakan beras giling, namun
pada kelompok tikus dengan pakan
standar mengalami kenaikan kadar
glukosa darah setiap minggu. Kenaikan
kadar glukosa darah pada tikus
disebabkan tidak berfungsinya insulin
untuk memasukkan glukosa hasil
hidrolisis kedalam jaringan sel untuk
dimanfaatkan oleh tubuh sehingga kadar
glukosa dalam plasma darah
meningkatkan.
Hasil pengujian kadar glukosa
darah kelompok tikus dengan pakan
beras garut pada minggu ke-4
menunjukkan angka 130,50 mg/dl. Angka
tersebut sudah mendekati kadar glukosa
8. darah normal. Kadar glukosa darah
normal pada pagi hari setelah malam
sebelumnya berpuasa adalah 70-110
mg/dl darah. Kadar glukosa darah
biasanya kurang dari 120-140 mg/dl pada
2 jam setelah makan atau minum cairan
yang mengandung gula maupun
karbohidrat lainnya (Soegondo,2008).
Tabel 5. Pengaruh Jenis Pakan
Terhadap Rerata Kadar Glukosa Darah
Tikus Wistar Jantan
Jenis
pakan
Kadar glukosa
darah
BNT
5%
Standar 232,56b
13,88Beras 226,65b
Beras
analog 177,22a
Keterangan :
1. Setiap data merupakan rerata dari 4
kali ulangan
2. Angka yang didampingi hurut yang
tidak sama menunjukkan berbeda nyata (
α + 0,05)
Tabel 5 menunjukkan kelompok
tikus dengan pakan beras analog
memiliki kadar glukosa darah paling
rendah sedangkan kelompok tikus
dengan pakan beras memiliki rerata
kadar glukosa darah paling tinggi. Pakan
yang tidak mengandung polisakarida
larut air dan alginat yang dikonsumsi oleh
kelompok tikus dengan pakan standar
tidak mempunyai kemampuan dalam
meningkatkan sensitivitas insulin
sehingga dapat memperbaiki kerusakan
sel beta pankreas akibat penyuntikan
aloksan melalui regenerasi sel, dimanan
Wikanta, dkk (202) menyebutkan
pemberian sediaan uji natrium alginat
menunjukkan indikasi membantu
mempercepat proses perbaikan sel beta
pankreas yang rusak akibat pemberian
aloksan. Penurunan kadar glukosa darah
dapat disebabkan oleh adanya
kandungan serat yang terdapat baik
dalam beras analog yang berasal dari
tepung garut ataupun pada alginat. Serat
larut air (soluble fiber) mempuyai
kemampuan menahan air dan dapat
membentuk cairan kental dalam saluran
pencernaan. Dengan kemampuan ini
serat larut dapat menunda pngosongan
makanan dari lambung, menghambat
pencamuran isi saluran cerna dengan
enzim-enzim pencernaan sehingga
terjadi pengurangan penyerapan zat-zat
makanan dan memperlambat
penyerapan glukosa sehingga menunda
dan mengurangi kenaikan kadar glukosa
darah setelah makan (Pamorita, 2007).
Penurunan kadar glukosa darah
setiap minggunya oleh beras garut
disebabkan adanya kemampuan PLA
dalam meningkatkan viskositas dan
menunda pengosongan lambung serta
pencernaan usus. Peningkatan viskositas
kemungkinan melibatkan penurunan arus
konvektif yang dipicu oleh kontrkasi otot
polos. Menurut Moharib and El-Batran
(2008), kemungkinan peristiwa tersebut
mengurangi derajat pencampuran dan
dengan demikian dapat mencegah
absorbsi makanan di epitel usus pada
luminal bulk phase. Dengan demikian
penyerapan nutrisi makanan dalam usus
tergantung pada ketebalan dari lapisan
yang tidak bergerak menutupi permukaan
absorbsi atau fase makanan berupa
gumpalan ketika berada di usus sehingga
hal ini bisa mengurangi interaksi antara
enzim dengan nutrisi.
Menurut Sunarsih dkk (2007)
beberapa faktor yang mempengaruhi
respon terhadap glukosa darah antara
lain komposisi dari makanan, jenis
karbohidrat yang terdapat dalam
makanan, struktur fisik dan kimia dari
molekul atau granula pati, kandungan
dan jenis serat, kandungan kalsium,
pemasakan, kandungan asam dari
makanan, bahan tambahan makanan,
indeks glikemik bahan makanan,
pengaruh hidrasi dan gelatinisasi pati,
retrogradasi pati, penambahan bahan
pada pengosongan lambung dan
interaksi nutrisi.
9. Serat larut air merupakan serat
yang tidak dapat dicerna oleh sistem
pencernaan tepatnya pada usus halus
melainkan difermentasi oleh bakteri
dalam usus besar (kolon) menghasilkan
asam lemak rantai pendek (SCFA)
sebagai produk utama dan beberapa
metabolit. Silalahi dan Hutagalung (2008)
menyatakan bahwa serat tidak bisa
dihidrolisis oleh enzim pencernaan
sehingga akan sampai usus besar dalam
keadaan utuh dan kebanyakan menjadi
substrat untuk fermentasi bakteri yang
hidup dikolon. Tensiska (2008) juga
menyatakan bahwa fermentasi serat
dalam kolon akan menghasilan produk
berupa gas seperti gas H2 dan CO2 serta
asam lemak rantai pendek seperti asam
asetat, asam propionat dan asam butirat.
Serat pangan dapat meningkatkan
perannya sebagai substrat non glikemik
untuk metabolisme energi yang dapat
mempengaruhi sekresi insulin dan
homeostasis glukosa yaitu dengan cara
penundaan atau penurunan absorbsi
glukosa dan lemak atau karena adanya
SCFA.
Peningkatan produksi SCFA dalam
kolon diasumsikan dapat mengurangi
pengeluaran glukosa hepatik. Menurut
Luthana (2009), SCFA hasil fermentasi
akan diserap pada lokasi usus besar dan
diangkut ke hati melalui sirkulasi
enterohepatik yaitu suatu sistem yang
menghubungkan anatara hati dan usus
yang membantu proses pencernaan, dan
SCFA digunakan sebagai bahan
metabolisme oleh liver. Mekanisme
penurunan glukosa darah oleh SCFA
yaitu diduga didalam hati, SCFA
digunakan untuk membantu hati dalam
proses sintesis merubah monosakarida
hasil penyerapan dinding usus halus
yang disalurkan melalui aliran darah
menjadi glikogen dan oksidasi menjadi
CO2 dan H2O. Selain itu produksi SCFA
digunakan sebagai sumber energi dalam
tubuh. Menurut Hijova and Chmelarova
(2007) metabolisme SCFA terdapat pada
tiga bagian tubuh yaitu sel ceco-colonic
ephitelium yang menggunakan butirat
sebagai substrat utama untuk
memelihara produksi energi, pada
menggunakan butirat sebagai substrat
utama untuk memelihara produksi energi,
pada sel hati dengan memetabolisme
propionat dan asetat untuk digunakan
pada proses glukoneogenesis dan sel
otot menghasilkan energi dari oksidasi
residu asetat.
Dari uji in vivo yang dilakukan
dapat diketahui bahwa beras analog
dapat membantu mengurangi
peningkatan kadar glukosa darah setelah
makan dan cenderung dapat
menurunkan glukosa darah bila dimakan
secara teratur dalam jangka waktu
tertentu. Sehinga, dapat dinyatakan
bahwa beras analog perlakuan terbaik ini
dapat dijadikan salah satu alternatif
makanan pokok selain beras sekaligus
dapat berfungsi sebagai pangan obat.
KESIMPULAN
Penggunaan faktor proporsi
tepung garut : tepung beras dan faktor
konsentrasi penambahan alginat
memberikan pengaruh yang nyata
terhadap sifat fisik beras analog, yaitu
derajat pengembangan, waktu
pemasakan dan warna, sedangkan pada
daya rehidrasi tidak menunjukkan
pengaruh yang nyata. Pada uji
organoleptik, penggunaan proporsi
tepung garut : tepung beras dengan
konsentrasi penambahan alginat tidak
menunjukkan adanya pengaruh yang
nyata pada parameter warna, tekstur,
rasa, dan aroma.
Beras analog perlakuan terbaik
didapatkan pada perlakuan proporsi
tepung garut : tepung beras = 60 : 40
dengan konsentrasi penambahan alginat
2%. Komposisi fisik dan kimia beras
tiruan perlakuan terbaik antara lain
kecerahan warna sebelum pemasakan
(L*) 66,47 dan setelah pemasakan 58,93,
10. daya rehidrasi 175,33 %, derajat
pengembangan 298,68 %, waktu
pemasakan 38,33 detik, kadar air 9,59 %,
kadar pati 36,01 %, kadar abu 2,14 %,
kadar lemak 3,99 %, kadar protein 3,27
%, total karbohidrat 79,59 % dan kalori
371 kal. Parameter organoleptik meliputi
aroma 3,90 (netral), tekstur 3,80 (netral)
dan rasa 3,05 (netral), kenampakan
sebelum pemasakan 3,00 (netral),
kenampakan setelah pemasakan 2,70
(tidak suka).
UCAPAN TERIMAKASIH
. Terimakasih kepada Dirjen DIKTI
yang telah mem-berikan biaya selama
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
ADA. 2003. Clinical Practice
Recommendations. Diabetes
Care; 26/Suppl 1: S5 – S20, S33
– S50.
Chen, H.L., Wang, C.H., Chang, C.T.,
and Wang, T.C. 2003. Effects of
Taiwanese Yam (Dioscorea
japonica Thunb. Var.
pseudojaponica Yamamoto) on
Upper Gut Function and Liipid
Metabolism in Balb/cMice. Baisc
Nutritional Investigation. Nutrition
19:646-651
Luthana, Y.K. 2009. Asam Lemak
Rantai Pendek.
http://www.yongikastnayaluthana.
wordpress.com/2009/03/2012/asa
ma-lemak-rantai-pendek. diakses
2 agustus 2012.
Marsono, Y. 2002. Indeks glisemik
umbi-umbian.Makalah Seminar
Nasional Industri Pangan,
Perhimpunan Ahli Teknologi
Pangan Indonesia, Surabaya
10−11 Oktober 2002.
Miller, J.B., E. Pang and L. Bramall.
1992. Rice: a high or low
glycemic index food?. Am. J.
Clin. Nutr. 56: 1034-1036.
Moharib, S.A. and El-Batran, S.A. 2008.
Hypoglycemic Effect of Dietary
Fibre in Diabetic Rats. Research
Journal of Agriculture and
Biological Sciences. 4(5) : 455-
461
Novitasari, Dwi., Sunarti., dan Arta
Fatmawati. 2011. Emping Garut
(Maranta arundinaceae Linn)
sebagai Makanan Ringan dan
Kadar Glukosa Darah,
Angiostensin II Plasma serta
Tekanan Darah pada Penderita
Diabetes Mellitus Tipe 2
(DMT2). Jurnal Media Medika
Indonesiana Vol. 45 No 1, 2011
Padmaja, G., C. Balagopalan, S.N.
Moorthy, dan V.P. Potty. 1996.
Yuca Rava and Yuca Porridge:
The Functional Properties and
Quality of Two Novel Cassava
Products. Cassava Flour and
Starch: Progress in Reseacrh and
Development p: 323-330.
Pamorita A, Desi N, Isnawati M. 2007.
Pengaruh Konsumsi Minuman
Bekatul dengan Kadar Serat
yang Berbeda Terhadap Kadar
Gula Darah dan Kadar
Kolesterol Darah. Jurnal Ilmiah
Diabetik Vol.6 No 5 : 435-440
Sulistijani DA., 2001. Sehat dengan
Menu Berserat. Trubus
Agriwijaya, Jakarta.
Sunarsih, E.S., Djatmika, dan Utomo,
R.S. 2007. Pengaruh Pemberian
Infusa Umbi Gadung (Dioscorea
hispida Dennst) terhadap
Penurunan Kadar Glukosa
Darah Tikus Putih Jantan
Diabetes yang Diinduksi
Aloksan. Majalah Farmasi
Indonesia 18(1) : 29-33
Tensiska. 2008. Serat Makanan. Fakultas
Teknologi Industri Pertaniian.
Universitas padjajaran. Bandung
Torsdottir I, Alpsten M, Holm G,
Sndberg A and Tolli K. 1991. A
Small
11. Yunizal. 2004. Teknologi Ekstraksi
Alginat dari Rumpt Laut Coklat.
Jakarta : Balai Penelitian
Perikanan Laut.