3. • Islam itu satu, Allah itu esa, Nabi satu yaitu
Muhammad SAW dan sebagai Nabi terakhir, dan
Qur'an pun satu, lantas mengapa harus ada banyak
perbedaan pendapat?.
• Semestinya jika mau kembali kepada Al-Qur'an dan
Hadis niscaya tidak akan ada lagi perbedaan pendapat
itu!
• Muncul sikap curiga dan pesimis …
• Jangan-jangan berbeda pendapat karena ada
"pesanan" atau malah "tekanan“ …
• Islam tidak kompak … dll
4. • Perbedaan dalam memahami alQur'an.
• Berbeda dalam memahami dan
memandang kedudukan suatu hadis.
• Perbedaan dalam metode ijtihad
5. • Ada sebagian lafaz al-Qur'an yang mengandung lebih dari
satu arti (musytarak).
•
…
• Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya…
• Sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar) memandang bahwa
manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga,
maka baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg
lain, memandang bahwa dengan datangnya masa haid yang
ketiga perempuan itu selesai haidnya (meskipun belum mandi).
6. •
Susunan ayat Al-Qur'an membuka peluang terjadinya perbedaan
pendapat Huruf "fa", "waw", "aw", "illa", "hatta" dan lainnya mengandung
banyak fungsi tergantung konteksnya.
•
.
•
•
Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan
(lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka
ber`azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Sebagian memandang huruf "FA" itu berfungsi "li tartib dzikri" (susunan dalam
tutur kata). Sebagian lagi berpendapat bahwa huruf "FA" dalam ayat di atas
berfungsi "li tartib haqiqi" (susunan menurut kenyataan). Walhasil kelompok
pertama berpendapat bahwa suami setelah 'ila (melakukan sumpah untuk
tidak campur dengan isteri), harus campur dengan isteri sebelum empat bulan,
kalau sudah lewat empat bulan maka jatuh talak. Kelompok kedua
berpendapat bahwa tuntutan supaya campur dengan isteri (untuk
menghindari jatuhnya talaq) itu setelah lewat empat bulan.
7. • Perbedaan memandang lafaz 'am - khas, mujmal-mubayyan,
mutlak-muqayyad, dan nasikh-mansukh.
• Dalam hal lafaz ‘am & khas misalnya (belum persoalan mujmalmubayyan, mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh), para ulama berbeda
memandang hal tsb dengan beberapa pendekatan sbb:
– lafaz umum dan memang maksudnya untuk umum, atau
– lafaz umum tetapi maksudnya untuk khusus; dan
– lafaz khusus dan memang maksudnya khusus; atau
– lafaz khusus tetapi maksudnya umum.
…
• Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo`alah untuk
mereka…
• kata "amwal" (harta) akan tetapi tidak semua harta terkena kewajiban
zakat (makna umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis
harta saja)
•
8. • Perbedaan dalam memahami lafaz perintah dan larangan.
• Ketika ada suatu lafaz berbentuk "amr" (perintah) para ulama
mengambil tiga kemungkinan:
– al-aslu fil amri lil wujub (dasar "perintah" itu adalah wajib untuk
dilakukan)
– al-aslu fil amri li an-nadab (dasar "perintah" itu adalah sunnah untuk
dilakukan)
– al-aslu fil amri lil ibahah (dasar "perintah" itu adalah mubah untuk
dilakukan)
• Contohnya lafaz "kulluu wasyrabuu" (makan dan minumlah)
menggunakan bentuk perintah, tetapi yang dimaksud adalah
mubah.
• Contoh lain pada lafaz "fankihuu maa thaba lakum minn nisa'"
(nikahilah wanita-wanita yg kamu sukai) juga menggunakan
bentuk perintah. Nah, para ulama ada yg memandang bahwa itu
adalah wajib (mazhab Zhahiri), dan ada yg memandang sunnah
(jumhur ulama).
9. • KEDUDUKAN HADIS
• Para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir itu merupakan hadis yang
paling tinggi kedudukannya. Hadis mutawatir adalah hadis shahih yang
diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin berbohong.
• Masalahnya, para ulama berbeda dalam memahami "orang banyak" itu.
Sebagian berpendapat jumlah "orang banyak" itu adalah dua orang,
sebagian lagi mengatakan cukup empat orang, yang lain mengatakan lima
orang. Pendapat lain mengatakan sepuluh orang. Ada pula yang
mengatakan tujuh puluh orang (M. Taqiy al-Hakim, "Usul al-'Ammah li alFiqh al-Muqarin, h. 195).
• Begitu pula halnya dalam memandang kedudukan hadis shahih, ulama
berbeda dalam menentukan kriteria Adil.
• Juga jika ditemukan dua hadis yang `bertentangan`, atau seolah
bertentangan dengan Al Quran, maka ulama juga berbeda mensikapinya.
10. • MAKNA SUATU HADIS
• Hadis Nabi mengatakan, "La nikaha illa biwaliyyin" (tidak nikah
melainkan dengan wali).
• Mazhab Hanafi memandang bahwa huruf "la" dalam hadis diatas
itu bukan berarti tidak sah nikahnya namun tidak sempurna
nikahnya. Mereka berpandangan bahwa sesuatu perkara yang
ditiadakan oleh syara' dengan perantaraan "la nafiyah", haruslah
dipandang bahwa yang ditiadakannya itu adalah sempurnanya;
bukan sahnya. Sedangkan mazhab Syafi'i berpendapat adanya
huruf "la nafiyah" itu menunjukkan tidak sahnya nikah tanpa wali.
• Hal lain lagi : jika suatu perawi meriwayatkan suatu hadis, namun
ia sendiri tidak mengamalkan apa yang diriwayatkannya, apakah
hadis itu menjadi tidak shahih ataukah hanya perawinya sendiri
yang harus disalahkan. Sebagian ulama memandang bahwa hadis
itu langsung cacat, sedangkan sebagian lagi memandang bahwa
hadisnya tetap shahih hanya perawinya saja yang bersalah karena
tidak mengamalkan hadis yang dia riwayatkan sendiri.
11. PENDAPAT
SAHABAT
Textual nash
secara ketat
(Abi Thalib & Bilal)
Pendekatan rasio &
pemahaman luas nash
(Umar & Ibnu Mas'ud)
TEMPAT
TINGGAL
di Madinah
(Banyak Sahabat)
Imam Malik bin Anas
Kufah
(Sedikit Sahabat)
Imam Abu Hanifah
ALUL HADIS
ALUL RO’YI
12. 1.Qur'an dan Sunnah (artinya,
beliau menaruh kedudukan
Qur'an dan Sunnah secara
sejajar, karena baginya
Sunnah itu merupakan
wahyu ghairu matluw). Inilah
salah satu alasan yang
membuat Syafi'i digelari
"Nashirus Sunnah".
Konsekuensinya, menurut
Syafi'i, hukum dalam teks
hadis boleh jadi menasakh
hukum dalam teks Al-Qur'an
dalam kasus tertentu)
2.Ijma'
3.Hadis ahad (jadi, Imam Syafi'i
lebih mendahulukan ijma'
daripada hadis ahad)
4.Qiyas (berbeda dg Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi'i
mendahulukan hadis ahad
daripada Qiyas)
5.Beliau tidak menggunakan
fatwa sahabat, istihsan dan
amal penduduk Madinah
sebagai dasar ijtihadnya
1.Berpegang pada dalalatul
Qur'an
Menolak mafhum
mukhalafah
Lafz umum itu statusnya
Qat'i selama belum
ditakshiskan
Qiraat Syazzah (bacaan
Qur'an yang tidak
mutawatir) dapat dijadikan
dalil
2.Berpegang pada hadis Nabi
Hanya menerima hadis
mutawatir dan masyhur
(menolak hadis ahad
kecuali diriwayatkan oleh
ahli fiqh))
Tidak hanya berpegang
pada sanad hadis, tetapi
juga melihat matan-nya
3.Berpegang pada qaulus
shahabi (ucapan atau fatwa
sahabat)
4.Berpegang pada Qiyas
mendahulukan Qiyas dari
hadis ahad
5.Berpegang pada istihsan
1.An-Nushush (yaitu Qur'an
dan hadis. Artinya, beliau
mengikuti Imam Syafi'i yang
tidak menaruh Hadis
dibawah al-Qur'an)
• menolak ijma' yang
berlawanan dengan hadis
Ahad (kebalikan dari Imam
Syafi'i)
• menolak Qiyas yang
berlawanan dengan hadis
ahad (kebalikan dari Imam
Abu Hanifah)
2.Berpegang pada Qaulus
shahabi (fatwa sahabat)
3.Ijma'
4.Qiyas
1.Nash (Kitabullah dan
Sunnah yang mutawatir)
zhahir Nash
menerima mafhum
mukhalafah
2.Berpegang pada amal
perbuatan penduduk
Madinah
3.Berpegang pada Hadis
ahad (jadi, beliau
mendahulukan amal
penduduk Madinah
daripada hadis ahad)
4.Qaulus shahabi
5.Qiyas
6.Istihsan
7.Mashalih al-Mursalah
ibnuazizfathoni@yahoo.co.id
13. • Imam Asy-Syafi’i berkata: “Perbedaan pendapat ada
dua macam: Ada yang diharamkan dan ada yang
tidak, yang diharamkan adalah segala hal telah Allah
SWT berikan hujjah-NYA baik dalam kitab-kitab-NYA
atau melalui lisan nabi-NYA secara jelas dan tegas
maka hal ini tidak boleh berbeda pendapat bagi yang
mengetahuinya. Maka Allah melarang perbedaan
pendapat pada masalah yang telah dijelaskan secara
tegas dalam nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah.”
(Ar-Risalah lisy Syafi’i, hal-560)
• Jaga selalu keikhlasan hati, berprasangka baik, jauhi
perdebatan sengit dan berdialoglah dengan
agumentatif dan santun.