Makalah ini membahas tentang hukum perburuhan di Indonesia. Hukum perburuhan adalah seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara pemberi kerja dan penerima kerja. Makalah ini menjelaskan unsur-unsur, lingkup, dan undang-undang hukum perburuhan di Indonesia seperti UU No. 12 Tahun 1948 tentang perlindungan buruh dan UU No. 12 Tahun 1964 tentang pemutusan hubungan kerja.
BAB 4 C IPS KLS 9 TENTANG MASA DEMOKRASI TERPIMPIN.pptx
Hbl, dimas triadi, hapzi ali, hukum perburuhan, universitas mercu buana, 2018, pdf
1. MAKALAH
HUKUM BISNIS DAN LINGKUNGAN
“Hukum Perburuhan”
DOSEN : Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA
DISUSUN OLEH :
DIMAS TRIADI 43216010085
UNIVERSITAS MERCU BUANA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
APRIL 2018
2. KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim
Segala puji hanya bagi Allah Tuhan semesta alam, karena dengan karunia-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Perburuhan”. Meskipun banyak hambatan
yang kami alami dalam proses pengerjaannya, tapi saya berhasil menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya. Tidak lupa saya sampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Hapzi Ali, CMA
selaku dosen mata kuliah Pengantar Bisnis. saya juga mengucapkan terima kasih kepada teman-
teman mahasiswa yang juga sudah memberi kontribusi baik langsung maupun tidak langsung
dalam pembuatan makalah ini.
Tentunya ada hal-hal yang ingin saya berikan kepada teman-teman dari hasil makalah ini.
Karena itu kami harapkan semoga makalah ini dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi kita
bersama.
Saya menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu Saya sebagai penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
guna sempurnanya makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Jakarta, April 2018
Dimas Triadi
3. Hukum Perburuhan
Hukum perburuhan adalah seperangkat aturan dan norma, baik tertulis maupun tidak
tertulis, yang mengatur pola hubungan industrial antara pemberi kerja (pengusaha, perusahaan,
atau badan hukum) di satu sisi dan penerima kerja (pekerja atau buruh) di sisi yang lain.
Hukum perburuhan terletak di antara hukum publik dan hukum privat. Dikatakan hukum
privat karena mengatur hubungan antara dua individu (pemberi kerja dan penerima kerja), dan
dikatakan hukum publik karena negara melakukan campur tangan melalui pengikatan aturan
yang mengurus hubungan antara dua individu.
Hukum perburuhan terbagi menjadi:
1. hukum perburuhan individu (mengenai kontrak kerja), dan
2. hukum perburuhan kolektif (mengenai serikat buruh, pemogokan, dan lain-lain), yang
secara bersama-sama membentuk hukum sosial.
Hal-hal yang Diurusi
1. Pembentukan dan pemutusan kontrak kerja
2. Perlindungan orang yang dipekerjakan
3. Hak mutlak dan kewajiban yang timbul dari pekerjaan
4. Sistem tanggung jawab kedisiplinan dan material
5. Pelaksanaan hubungan kerja
6. Hak berserikat pekerja (bagi para pekerja) dan berasosiasi pengusaha (bagi para
pengusaha)
7. Kesepakatan bersama
8. Kontrol negara atas pelaksanaan hukum perburuhan
4. Unsur-unsur Hukum Perburuhan
Unsur-Unsur dari hukum perburuhan diantaranya adalah :
1. Serangkaian peraturan
2. Peraturan mengenai suatu kejadian
3. Adanya orang yang bekerja pada orang lain
4. Adanya balas jasa yang berupa upah.
5. Upah
Hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang ditetapkan
dengan perjanjian kerja.
6. Hubungan Kerja
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara majikan dengan pekerja
atau buruhnya (biasanya dalam bentuk kontrak tertulis).
Dasar perjanjian kerja :
-Kesepakatan
-Kecakapan melakukan perbuatan hukum
-Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
-Pekerjaan yang diberikan tidak bertentangan dengan UU, ketertiban umum &
kesusilaan.
7. Perjanjian Kerja
Adanya sebuah Perjanjian kerja yang ditanda-tangani oleh kedua belah pihak baik oleh
bos atau pemimpin perusahaan dan juga oleh buruh/karyawan.
Perjanjian kerja tersebut memuat :
-Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha
-Identitas pekerja
-Jabatan dan jenis pekerjaan
-Tempat pekerjaan
-Besarnya upah
-Tanda tangan para pihak.
5. 8. Ruang Lingkup
• Lingkup Laku Pribadi (Personengebied)
Yang termasuk dalam lingkup ini adalah Buruh, Pengusaha dan pengusaha
(pemerintah).
• Lingkup Laku Menurut Waktu (Tijdsgebied)
Didalam Hukum Perburuhan, ada peristiwa – peristiwa tertentu yang timbul pada
waktu berbeda yaitu :
- Sebelum Hubungan Kerja terjadi
- Pada saat hubugnan kerja terjadi
- Sesudah hubungan kerja terjadi
• Lingkup Laku menurut Wilayah (Ruimtegebied)
Pembatas wilayah berlakunya kaedah Hukum Perburuhan mencakup hal – hal sebagai
berikut :
- Regional
Dalam hal ini dapat dibedakan dua wilayah, yaitu Non – sektoral Regional dan
Sektoral Regional.
- Nasional
Dalam hal ini juga mencakup dua wilayah berlakunya hukum perburuhan, yaitu Non
– Sektoral Nasional dan Sektor Nasional.
9. Lingkup Waktu Menurut Hal Ikhwal
Dilihat dari materi muatan Hukum Perburuhan, maka dapat di golongkan kedalam
beberapa hal, diantaranya :
• Hal-hal yang berkaitan dengan Hubungan Kerja atau Hubungan Perburuhan.
• Hal – hal yang berkaitan dengan Perlindungan Jaminan Sosial dan Asuransi
Tenaga Kerja.
• Hal – hal yang berkaitan dengan Keselamatan Kerja dan Kesehatan Kerja
• Hal – hal yang berkaitan dengan masalah penyelesaian perselisihan
perburuhan dan pemutusan hubungan kerja.
• Hal – hal yang berkaitan dengan masalah pengerahan Tenaga Kerja dan
Rekrutmen.
6. Undang-undang Hukum Perburuhan
1. UNDANG UNDANG PERBURUHAN NO.12 TH 1948
Tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh
Undang-undang ini menjelaskan tentang aturan-aturan terhadap pekerja buruh dalam hal persyaratan
untuk menjadi seorang buruh, pengaturan jam kerja dan jam istirahat, pemberian upah, perlindungan
terhadap buruh perempuan, tempat kerja dan perumahan buruh, tanggung jawab, pengusutan
pelanggaran, dan aturan tambahan.Undang-undang ini berfungsi untuk melindungi buruh dari hal-hal
yang tidak diharapkan.
Adanya bunyi dari Undang-Undang Perburuhan No.12 Th 1948 :
Pasal 10.
(1) Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu. Jikalau
pekerjaan dijalankan pada malam hari atau berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh, waktu
kerja tidak boleh lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu.
(2) Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menerus harus diadakan waktu istirahat
yang sedikitsedikitnya setengah jam lamanya; waktu istirahat itu tidak termasuk jam bekerja
termaksud dalam ayat 1.
Pasal 13. ayat 2
(2) Buruh Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut
perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur-
kandung.
2. UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1964
Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta
Menimbang:
Bahwa untuk lebih menjamin ketenteraman serta kepastian bekerja bagi kaum buruh yang disamping
tani harus menjamin kekuatan pokok dalam revolusi dan harus menjadi soko guru masyarakat adil
makmur, seperti tersebut dalam Manifesto Politik, beserta perinciannya, perlu segera dikeluarkan
Undang-Undang tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
Pasal 1
(1) Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dilarang:
7. a. Selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan
dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus menerus.
b. Selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena mematuhi kewajiban terhadap
Negara yang ditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadah yang
diperintahkan agamanya dan yang disetujui Pemerintah.
Pasal 2
Bila setelah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, pengusaha
harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasi buruh yang
bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak menjadi anggota dari salah satu
organisasi buruh.
Pasal 3
(1) Bila perundingan tersebut dalam pasal 2 nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham,
pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh, setelah memperoleh izin Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah ( Panitia Daerah), termaksud pada pasal 5 Undang-
undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun
1957 No. 42) bagi pemutusan hubungan kerja perorangan, dan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat (Panitia Pusat) termaksud pada pasal 12 Undang-undang tersebut di atas bagi
pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2) Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran dianggap terjadi jika dalam satu perusahaan
dalam satu bulan, pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan 10 orang buruh atau lebih, atau
mengadakan rentetan pemutusan-pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad
untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
Pasal 4
Izin termaksud pada pasal 3 tidak diperlukan bila pemutusan hubungan kerja dilakukan terhadap
buruh dalam masa percobaan.
Lamanya masa percobaan tidak boleh melebihi tiga bulan dan adanya masa percobaan harus
diberitahukan lebih dahulu pada calon buruh yang bersangkutan.
Pasal 5
(1) Permohonan izin pemutusan hubungan kerja beserta alasan-alasan yang menjadi dasarnya harus
diajukan secara tertulis kepada Panitia Daerah, yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat
kedudukan pengusaha bagi pemutusan hubungan kerja perorangan dan kepada Pusat bagi pemutusan
hubungan kerja secara besar-besaran.
8. (2) permohonan izin hanya diterima oleh Panitia Daerah/Panitia Pusat bila ternyata bahwa maksud
untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan seperti termaksud dalam pasal 2 tetapi
perundingan ini tidak menghasilkan persesuaian paham.
Pasal 6
Panitia Daerah dan Panitia Pusat menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerja dalam
waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan
perburuhan.
Pasal 7
(1) Dalam mengambil keputusan terhadap permohonan izin pemutusan hubungan kerja, Panitia
Daerah dan Panitia Pusat disamping ketentuan-ketentuan tentang hasil ini yang dimuat dalam
Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara
Tahun 1957 No. 42), memperhatikan keadaan dan perkembangan lapangan kerja serta kepentingan
buruh dan perusahaan.
(2) Dalam hal Panitia Daerah atau Panitia Pusat memberikan izin maka dapat ditetapkan pula
kewajiban pengusaha untuk memberikan kepada buruh yang bersangkutan uang pesangon, uang jasa,
dan ganti kerugian lain-lainnya.
(3) Penetapan besarnya uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lainnya diatur dalam Peraturan
Menteri Perburuhan.
(4) Dalam Peraturan Menteri Perburuhan itu diatur pula pengertian tentang upah untuk keperluan
pemberian uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian tersebut di atas.
Pasal 8
Terhadap penolakan pemberian izin oleh Panitia Pusat atau pemberian izin dengan syarat tersebut
pada pasal 7 ayat (2), dalam waktu 14 (empat betas) hari setelah pemutusan diterima oleh pihak-pihak
yang bersangkutan, baik buruh dan/atau pengusaha maupun organisasi buruh/ atau organisasi
pengusaha yang bersangkutan dapat diminta banding kepada Panitia Pusat.
Pasal 9
Panitia Pusat menyelesaikan permohonan banding menurut tata cara yang berlaku untuk penyelesaian
perselisihan perburuhan dalam tingkat banding.
Pasal 10
Pemutusan hubungan kerja tanpa izin seperti tersebut pada pasal 3 adalah batal karena hukum.
Pasal 11
Selama izin termaksud pada pasal 3 belum diberikan, dan dalam hal ada permintaan banding tersebut
pada pasal 8, Panitia Pusat belum memberikan keputusan, baik pengusaha maupun buruh harus tetap
memenuhi segala kewajibannya.
9. Pasal 12
Undang-undang ini berlaku bagi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di perusahaan-perusahaan
swasta, terhadap seluruh buruh dengan tidak menghiraukan status kerja mereka, asal mempunyai
masa kerja dari 3 (tiga) bulan berturut-turut.
Pasal 13
Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang belum diatur dalam Undang-undang ini ditetapkan oleh
Menteri Perburuhan.
Pasal 14
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkannya.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Perkembangan
Pada zaman ekonomi liberal, hubungan buruh sewa dimasukkan ke dalam
hubungan kontrak yang bersifat wajib dan berkembang menjadi rincian baku dalam hukum
perdata.
Pada abad ke-19, kaum pekerja semakin memberikan tekanan kepada negara hukum
(Britania Raya, Perancis, Jerman), maka diadopsilah hukum mengenai perburuhan dan hubungan
perburuhan. Setelah Perang Dunia Pertama, hak-hak para buruh diatur oleh hukum, di mana
perwakilan para buruh dan serikat dagang mengambil bagian.
Pada awal abad ke-20, pihak-pihak yang memberi kontrak bebas menentukan pasal-pasal
kontrak. Perbedaan yang besar dalam kekuasaan, yang seringkali ada di antara pemberi kerja dan
penerima kerja di dalam konteks industrial, mengarah pada salah-urus. Secara bertahap,
kebebasan kontraktual dari pihak-pihak yang berkepentingan kemudian dibatasi oleh hukum.
Pada tahun 1919, Organisasi Buruh Internasional didirikan.
Setelah Perang Dunia Kedua, diaturlah perlindungan buruh dan keikutsertaannya dalam
pengelolaan entitas ekonomi. Pada awal abad ke-21, terdapat sedikit kebebasan kontrak, dan para
pekerja/buruh menikmati perlindungan berjangkauan luas, misalnya dalam hal perlindungan
dari pemutusan hubungan kerja, jaminan sosial, kecelakaan kerja, dst. Perkembangan ini telah
menjadi faktor penting dalam hal pemerataan kesejahteraan.
10. Hukum perburuhan telah menjadi produk hukum sejak zaman dahulu. Dalam hukum
Romawi, kontrak jasa (locatio conductio operarum) hanya menjadi peran sub-ordinat, karena
begitu luasnya perbudakan. Di Jerman Zaman Pertengahan, hubungan pekerjaan seringkali
melibatkan urusan pribadi. Meskipun kerja berskala kecil di beberapa bagian dunia telah hadir,
paro kedua abad ke-18 dipandang sebagai permulaan sejarah perburuhan. Pada zaman itu
sebagian besar populasi Eropa berkembang menjadi kaum yang bergantung pada para pekerja
(proletariat) dan pertanyaan sosial (pauperisme) muncul ke permukaan. Keluhan sosial
industrialisasi pada abad ke-19 juga dipandang sebagai hasil dari otonomi-pribadi meskipun
adanya ketidakseimbangan kekuasaan pihak-pihak yang menjalin kontrak.
Pengembangan hak buruh dimulai di Inggris pada tahun 1833 dengan adanya hukum
mengenai pabrik. Mereka membatasi masa kerja bagi anak-anak antara 9 sampai 13 tahun untuk
bekerja maksimal selama delapan jam, dan anak-anak antara 14 sampai 18 tahun untuk bekerja
maksimal selama 12 jam. Anak-anak di bawah umum 9 tahun harus bersekolah.
Hukum Perburuhan Di Indonesia
Tidak ada definisi baku mengenai hukum perburuhan di Indonesia. Buku-buku hukum
perburuhan didominasi oleh karya-karya Profesor Imam Soepomo, guru besar hukum
perburuhan di Universitas Indonesia. Karya Imam Soepomo antara lain: "Pengantar Hukum
Perburuhan" dan "Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja dan Hukum Perburuhan".
Pasca-reformasi baru-baru ini, karya-karya mengenai hukum perburuhan yang ditulis
oleh Prof. Imam Soepomo dianggap oleh sebagian kalangan sudah tidak relevan lagi. Hal ini
terutama oleh aktivis serikat buruh dan advokat perburuhan. Meskipun fakultas hukum di
perguruan-perguruan tinggi seluruh Indonesia masih menggunakan buku-buku karya Imam
Soepomo sebagai rujukan wajib.
• Sejarah Hukum Perburuhan
Pasca reformasi, hukum perburuhan mengalami perubahan luar biasa; baik secara
regulatif, politik, maupun ideologis; bahkan ekonomi global. Proses industrialisasi sebagai
bagian dari gerak historis ekonomi politik suatu bangsa dalam perkembangannya mulai
menuai momentumnya. Hukum perburuhan, setidaknya menjadi peredam konflik
kepentingan antara pekerja dan pengusaha sekaligus.
11. Sebagai peredam konflik, tentu ia tidak bisa diharapkan maksimal. Faktanya,
berbagai hak normatif perburuhan yang mestinya tidak perlu lagi jadi perdebatan, namun
kenyataannya Undang-undang memberi peluang besar untuk memperselisihkan hak-hak
normatif tersebut. Memang undang-undang perburuhan juga mengatur aturan pidananya
namun hal tersebut masih dirasa sulit oleh penegak hukumnya. Di samping seabrek
kelemahan lain yang ke depan mesti segera dicarikan jalan keluarnya.
Masa Orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto benar-benar membatasi
gerakan serikat bBuruh dan serikat pekerja. Saat itu organisasi buruh dibatasi hanya satu
organisasi, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).
Pola penyelesaian hubungan industrial pun dianggap tidak adil dan cenderung
represif. Oknum militer saat itu, misalnya, terlibat langsung bahkan diberikan wewenang
untuk turut serta menjadi bagian dari pola penyelesaian hubungan industrial. Saat itu, sejarah
mencatat kasus-kasus buruh yang terkenal di Jawa Timur misalnya Marsinah dan lain-lain.
• Hukum Perburuhan di Era Reformasi
Era Reformasi benar-benar membuka lebar arus demokrasi. Secara regulatif dan
gradual hukum perburuhan kemudian menemukan momentumnya. Hal tersebut terwakili
dalam tiga paket Undang-Undang perburuhan, antara lain: Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2000 tentang Serikat Buruh, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
12. Daftar Pustaka
https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_perburuhan (Diakses pada tanggal 27 April 2018 pukul
21.30 WIB)
https://naulibulung.wordpress.com/hukum-perburuhan/ (Diakses pada tanggal 27 April 2018
pukul 21.45 WIB)
https://ahsinufadli.wordpress.com/2013/01/29/hukum-perburuhan-uu-perburuhan-bidang-
hubungan-kerja/ ( Diakses pada tanggal 27 April pukul 22.00 WIB)