Filsafat hukum John Finnis membahas kewajiban hukum, hukum tidak adil, dan pengaruhnya. Ia membedakan kewajiban hukum secara moral dan legal, di mana kewajiban moral dapat berubah menurut ketidakadilan hukum, sedangkan legal tetap. Hukum tidak adil hanya menghilangkan kewajiban moral, bukan legal.
3. Biografi Singkat John Finnis
• John Finnis adalah seorang
pemikir hukum kodrat
kontemporer;
• Cukup banyak mengacu dan
dipengaruhi oleh pemikiran
Thomas Aquinas;
• Ia membedakan kewajiban hukum
dari sudut pandang moral dan dari
sudut pandang legal;
4. Biografi Singkat John Finnis (cont’d)
• Finnis menyelesaikan gelar sarjana-
nya di Universitas Adelaide dan
kemudian melanjutkan Pendidikan
pada tahun 1960 di Oxford dengan
beasiswa Australian Rhodes;
• Dalam membuat disertasi
hukumnya yang mengangkat tema
“kekuasaan yudisial”, Finnis berada
di bawah pengawasan HLA Hart
yang merupakan seorang profesor
yurisprudensi pada Universitas
Oxford dan seorang filosof hukum
terkenal pada zamannya;
5. Biografi Singkat John Finnis (cont’d)
• Banyak pemikiran hukum dan politik
yang dicapai oleh Finnis merupakan
tanggapan kritis dari pemikiran Hart;
• Hart juga yang merekomendasikan
Finnis untuk menulis Natural Law and
Natural Rights;
• Finnis berpandangan bahwa terhadap
hukum yang tidak adil, yang gugur
hanya “kewajiban hukum dalam arti
moral”, sedangkan, “kewajiban hukum
dalam arti legal” tetap hidup dan
mengikat.
7. Filsafat Hukum John Finnis
• Finnis mengatakan, ada beberapa nilai kehidupan manusia, yaitu
hidup; pengetahuan; rekreasi; pengalaman estetis; sosial
(persahabatan); kemasukakalan praktis (practical
reasonableness); dan agama.
8. Kemasukakalan Praktis
• Kemasukakalan praktis adalah suatu nilai dasar yang melibatkan
kegiatan intelektual dalam pemilihan pengambilan tindakan
seseorang ketika menghadapi berbagai permasalahan yang ada
dan gaya hidup dan juga pembentukan karakter orang tersebut.
9. Kemasukakalan Praktis (cont’d)
Syarat-syarat dasar kemasukakalan praktis:
1. Rencana hidup yang koheren;
2. Tidak mengurangi nilai dasar lain secara sewenang-wenang;
3. Netral terhadap orang lain yang juga berpartisipasi dalam nilai
baik manusia;
4. Pelepasan;
5. Komitmen;
6. (Keterbatasan) Relevansi terhadap konsekuensi; efisiensi yang
wajar;
7. Penghargaan terhadap nilai dasar lain dalam setiap tindakan;
8. Apresiasi dan pembinaan kebaikan bersama pada komunitas;
dan
9. Mengikuti suara hati.
10. Komunitas
• Manusia tidak hanya hidup sendirian tetapi bersama orang
lain dalam suatu komunitas;
• Komunitas lengkap adalah komunitas yang menuju kepada
suatu kebaikan bersama.
11. Kebaikan Bersama
Kebaikan bersama adalah kumpulan faktor yang membantu
setiap individu untuk mencapai proyek-proyeknya dan tujuan-
tujuannya dengan memperhatikan juga pencapaian dan
keberhasilan orang lain untuk mencapai proyek dan tujuan-
tujuan mereka.
12. Keadilan
• Keadilan penting karena merupakan salah satu syarat dari
kemasukakalan praktis yaitu untuk mengapresiasi dan
membina kebaikan bersama;
• Keadilan adalah implikasi konkret dari keperluan untuk
mengapresiasi dan membina kebaikan bersama, dimana
kebaikan bersama adalah tujuan dari keadilan
13. Hak
• Bagi Finnis, hak merujuk pada hak kodrati, hak asasi
manusia, atau hak moral;
• HAM dan hak kodrati bersifat sinonim;
• HAM berkaitan erat dengan kebaikan bersama karena nilai-
nilai dasar yang diatur dalam HAM adalah garis besar dari
kebaikan bersama itu sendiri, yaitu berbagai aspek
kesejahteraan individu di dalam suatu komunitas di mana
otoritas harus menjaga dan membina nilai-nilai dasar
tersebut karena nilai-nilai dasar tersebut adalah kebaikan
bersama suatu komunitas.
14. Otoritas
• Komunitas membutuhkan otoritas;
• Sesuatu dianggap bersifat otoritatif jika seseorang
menganggap hal tersebut cukup memberinya alasan untuk
diyakini atau dijalankan sebagaimana ditetapkan meski ia
tidak bisa melihat alasan baik lain untuk mempercayainya
atau melakukannya;
• Otoritas diperlukan karena begitu banyak pilihan atau cara
untuk mencapai tujuan manusia;
• Dibutuhkan kesatuan atau otoritas untuk mengarahkan
berbagai pilihan atau tujuan yang ada.
15. Hukum
• Hukum adalah suatu aturan yang dibuat berdasarkan aturan
pembuatannya oleh otoritas yang diberikan kewenangan untuk itu
untuk kepentingan komunitas yang lengkap didukung dengan
sanksi berdasarkan penetapan aturan pembuatannya oleh institusi-
institusi;
• Kumpulan aturan dan institusi ini diarahkan untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan koordinasi pada suatu komunitas
untuk kebaikan bersama komunitas itu, sesuai dengan cara dan
bentuk yang telah diadaptasi dengan kebaikan bersama;
• Pelaksanaan kewenangan penguasa (otoritas) akan bergantung
pada keadilan atau setidaknya sejauh mana hukum
mempertahankan keadilan;
• Hukum adalah tatanan memaksa dan menciptakan dirinya sendiri.
19. Kewajiban Hukum Menurut John Finnis
Kewajiban Hukum dalam arti Legal
Kewajiban Hukum dalam arti Moral
20. Kewajiban Hukum Menurut John Finnis (cont’d)
Kewajiban Hukum Dalam Arti Legal
• Kewajiban hukum dalam arti legal adalah kewajiban untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang timbul dari
hukum atau norma hukum yang ada tanpa menggunakan
kemasukakalan praktis untuk menilai benar salahnya, baik
buruknya, suatu hukum atau norma hukum.
• Kewajiban hukum dalam arti legal bersifat tetap, tidak berubah.
21. Kewajiban Hukum Menurut John Finnis (cont’d)
Kewajiban Hukum Dalam Arti Moral
• Kewajiban hukum dalam arti moral adalah kewajiban untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan hukum
atau norma hukum yang ada dengan menggunakan
kemasukakalan praktis untuk menilai benar salahnya, baik
buruknya suatu hukum atau norma hukum.
• Singkatnya: kewajiban untuk mematuhi hukum;
• Kewajiban hukum dalam arti moral bersifat variatif, dapat
berubah sesuai kandungan ketidakadilan pada hukum atau
norma hukum.
22. Kewajiban Hukum Menurut John Finnis (cont’d)
Relevansi Kewajiban dan Kemasukakalan Praktis
• Semua ide dan frase terkait kewajiban berhubungan dengan apa
yang dituntut oleh suara hati, yaitu tuntutan terhadap komitmen,
keputusan, dan tindakan seseorang.
• Semua ungkapan dan ide mengenai ”kewajiban” berkaitan
dengan bentuk keperluan rasional, sebagai turunan dari syarat-
syarat kemasukakalan praktis.
1
23. Kewajiban Hukum Menurut John Finnis (cont’d)
Kewajiban yang Timbul dari Suatu Janji
Finnis mengatakan bahwa ada tiga tingkat janji, yaitu yang berasal
dari:
2
Praktik
Interaksi Manusia
Pemenuhan kewajiban
untuk menghindari sanksi
sosial
Janji yang dilakukan demi kebaikan
bersama dalam suatu komunitas
24. Kewajiban Hukum Menurut John Finnis (cont’d)
Kekuatan-Mewajibkan Variatif dan Tetap
• Suatu janji dipahami oleh para pihak yang membuatnya sebagai
variatif dari janji satu terhadap janji yang lain, dilihat dari level
bahasa, sikap formal, dan praktik kekuatan suatu janji;
• Kewajiban dari transaksi yang diatur oleh hukum dipahami oleh
para praktisi hukum mempunyai kekuatan yang sama dalam
segala keadaan;
• Menurut Finnis tidak ada level dalam kewajiban hukum
sebagaimana tidak ada level dalam validasi hukum.
3
25. Kewajiban Hukum Menurut John Finnis (cont’d)
Finnis mengatakan:
“Konstannya kekuatan formal ini dalam setiap kewajiban hukum
memiliki mitra metodologinya suatu proposisi hukum (diakui
berdasarkan pemikiran moral ‘yang bersifat legal’) bahwa tidak ada
tugas hukum yang tumpang tindih dan konflik; karena tumpang
tindih tersebut akan mewajibkan advokat untuk menimbang satu
kewajiban terhadap yang lain dan untuk menetapkan kewajiban
yang lebih berat yang akan lebih mengikat.”
26. Kewajiban Hukum Menurut John Finnis (cont’d)
Finnis mengatakan:
• Konstannya (invariant) suatu hukum itu berakar pada kekuatan
terhadap panduan-tindakan pada ketentuan yang mengandung
suatu kewajiban;
• Namun, hukum tetap mengenal aspek-aspek yang bersifat
ekstra (di luar) dari hukum itu sendiri, yang bersinggungan
dengan kebaikan bersama;
• Meski begitu, hukum tidak mengizinkan aspek ekstra mengatur
begitu saja tanpa batasan apa yang telah diatur dalam sistem
hukum kecuali melalui institusi-insitusi hukum yang telah
diatur secara jelas oleh hukum itu sendiri;
• Sistem hukum mendukung dan memberi pengaruh praktis
bahwa kewajiban hukum itu mempunyai kekuatan hukum yang
tidak berubah (invariant).
27. Kewajiban Hukum Menurut John Finnis (cont’d)
Wajib secara Hukum: Arti Hukum dan Moral
Pada bagian ini terdapat 2 masalah utama, yaitu:
1. Bagaimana suatu hukum yang menetapkan-kewajiban
menyediakan alasan untuk bertindak (reason for action) yang
keberadaannya tidak terpisah dari hukum dan bahkan
sesungguhnya disediakan oleh “hukum” atau sistem hukum itu
sendiri; dan
2. Mengapa dari sisi pemikiran hukum, kewajiban terhadap
hukum tersebut mempunyai sifat kualitas yang hitam-putih?
4
28. Kewajiban Hukum Menurut John Finnis (cont’d)
Formula Finnis dalam menjawab 2 masalah utama sebelumnya:
“Jika p, q, r maka XOø.”
p, q, r : keadaan yang menimbulkan kewajiban hukum.
X : subjek.
O : modal yang diartikan sebagai tindakan yang dilakukan
adalah ”wajib” bukan suatu pilihan atau diskresi.
ø : tindakan yang diwajibkan.
29. Kewajiban Hukum Menurut John Finnis (cont’d)
Tiga langkah yang dibuat Finnis untuk menjawab kedua masalah
utama:
Langkah A Kita perlu, demi kebaikan bersama,
tunduk pada hukum.
Langkah B
Ketika ø ditetapkan sebagai wajib, satu-
satunya cara untuk tunduk pada hukum
adalah dengan bertindak ø.
Langkah C
Karena itu (adalah wajib bagi kita),
untuk melakukan ø ketika ø ditetapkan
sebagai suatu kewajiban.
30. Kewajiban Hukum Menurut John Finnis (cont’d)
• Langkah A bisa variatif dan tidak variatif. Bersifat variatif
ketika ada unsur-unsur lain yang memengaruhinya tanpa
batasan;
• Kapan bersifat tidak variatif? Dari Langkah B, diambil
bersama-sama dengan penafsiran Langkah A sebagai proposisi
yang tidak disangkal, diasingkan dari pemikiran hukum dari
arus umum penalaran praktis;
• Jika orang ingin dikenal sebagai orang yang taat hukum, orang
itu wajib melakukan tindakan-tindakan yang bersifat wajib
kapan pun dan dalam semua hal;
31. Kewajiban Hukum Menurut John Finnis (cont’d)
• Hukum melarang tanggapan apa pun kepada Langkah B dari
nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang dapat memberi
Langkah A kekuatan variatif, kecuali melalui proses,
mekanisme, dan insitusi-institusi yang telah diatur oleh hukum
yang ada;
• Langkah A yang dianggap sebagai dalil tidak terbantahkan
sehingga bersifat tidak variatif ini, bisa juga direlokasi ke aliran
umum penalaran praktis yang menjadikannya sebagai premis
yang berkekuatan moral.
33. Kewajiban Hukum Menurut Aquinas (cont’d)
• Kewajiban hukum adalah kewajiban yang timbul atas dasar
hukum atau norma hukum;
• Kewajiban moral adalah kewajiban yang timbul atas dasar
moral;
• Aquinas tidak melihat kewajiban hukum mempunyai dua sisi,
seperti pemikiran Finnis;
• Pemikiran Finnis lebih canggih dibandingkan pemikiran
Aquinas;
• Aquinas tidak membahas ”kewajiban” secara khusus. Aquinas
lebih membahas mengenai hukum manusia dan keterikatan
suara hati manusia terhadap hukum yang melanggar kebaikan
manusia
35. Hukum Tidak Adil Menurut Finnis
• Pada buku NLNR, Finnis
mengatakan bahwa studinya
“menghasilkan pengertian
sangat berbeda” dengan apa
yang disebut sebagai hukum
kodrat;
• Menurut Finnis, maksim
“hukum tidak adil adalah
bukan hukum” tidak lebih
dari teori yang subordinat
dan tidak ditegaskan oleh
teori hukum kodrat.
36. Hukum Tidak Adil Menurut Finnis
• Perhatian utama teori hukum kodrat adalah untuk
mengekplorasi syarat-syarat kemasukakalan praktis
sehubungan dengan kebaikan manusia yang – karena hidup
dalam komunitas satu dengan yang lain – berhadapan dengan
masalah-masalah keadilan dan hak, otoritas, hukum, dan
kewajiban;
• Perhatian utama filsafat hukum teori hukum kodrat adalah
untuk mengetahui prinsip-prinsip dan batasan-batasan dari
supremasi hukum dan untuk melacak cara-cara hukum yang
logis dalam segala kepositifan dan kemampuannya untuk
berubah, diturunkan dari prinsip-prinsip yang tidak berubah
– prinsip-prinsip yang memperoleh kekuatannya dari
kemasukakalan, bukan dari tindakan-tindakan atau keadaan-
keadaan.
37. Hukum Tidak Adil Menurut Finnis (cont’d)
Tujuan
Kewenangan
Penguasa
Bentuk Substansi
2
Bentuk-Bentuk Ketidakadilan dalam Hukum
Finnis membagi 4 bentuk ketidakadilan dalam hukum dari segi:
38. Hukum Tidak Adil Menurut Finnis (cont’d)
Bentuk-Bentuk Ketidakadilan dalam Hukum (cont’d)
1. Dari segi tujuan
• Otoritas yang bersumber dari kebutuhan kebaikan bersama,
maka penggunaan otoritas akan menjadi cacat jika digunakan
bukan untuk kepentingan kebaikan bersama melainkan untuk
kepentingannya sendiri, kelompoknya, kelompok tertentu atau
dengan maksud jahat terhadap beberapa orang atau kelompok.
39. Hukum Tidak Adil Menurut Finnis (cont’d)
Bentuk-Bentuk Ketidakadilan dalam Hukum (cont’d)
2. Dari segi kewenangan penguasa
• Keberadaan otoritas diatur dalam aturan tertentu mengenai
pembagian kewenangan dan yurisdiksi di antara pejabat dan
penguasa;
• Jika penguasa menerbitkan kebijakan atau keputusan di luar
wewenangnya maka itu adalah tindakan ultra vires,
penyalahgunaan wewenang dan ketidakadilan bagi yang
mengalami kebijakan tersebut.
40. Hukum Tidak Adil Menurut Finnis (cont’d)
Bentuk-Bentuk Ketidakadilan dalam Hukum (cont’d)
3. Dari segi bentuk
• Pelaksanaan kewenangan hukum yang tidak selaras dengan
supremasi hukum (dalam hal ini untuk kebaikan bersama) yaitu
pelaksanaan kewenangan hukum yang keluar dari cara dan
bentuk yang telah disyaratkan.
41. Hukum Tidak Adil Menurut Finnis (cont’d)
Bentuk-Bentuk Ketidakadilan dalam Hukum (cont’d)
4. Dari segi substansi
• Secara substantif (tanpa melihat formalitas tujuan, bentuk,
pencipta) suatu ketidakadilan bisa tidak adil secara distributif
atau komutatif.
42. Hukum Tidak Adil Menurut Finnis (cont’d)
Bentuk-Bentuk Ketidakadilan dalam Hukum (cont’d)
4. Dari segi substansi (cont’d)
• Tidak adil secara distributif jika ada stok bersama yang
diberikan kepada kelas tertentu saja tetapi mengesampingkan
kelas warga lain.
• Tidak adil secara komutatif jika ada penyangkalan hak asasi
manusia mutlak terhadap satu, beberapa, semua orang, atau
terhadap hak asasi manusia lain yang sebetulnya dapat
dilaksanakan, selaras dengan syarat wajar ketertiban umum,
kesehatan umum, dan selaras dengan pelaksanaan hak asasi
manusia lain dan hak asasi manusia yang sama oleh orang lain.
43. Hukum Tidak Adil Menurut Finnis (cont’d)
3
Akibat-Akibat Ketidakadilan pada Kewajiban
Empat kategori untuk menjawab pertanyaan bagaimana
ketidakadilan memengaruhi kewajiban dalam mematuhi hukum?
1. Tanggung jawab empiris melalui pemberian sanksi karena
tidak mematuhi hukum yang berlaku;
2. Kewajiban hukum dalam arti legal yang disebut intrasistemis;
3. Kewajiban hukum dalam arti moral; dan
4. Kewajiban moral yang berasal bukan dari legalitasnya tetapi
dari sumber lain.
44. Tanggung jawab empiris melalui pemberian sanksi karena
tidak mematuhi hukum yang berlaku
• Jika seseorang bertanya bagaimana ketidakadilan berdampak
pada kewajiban seseorang untuk mematuhi hukum, orang
tersebut tidak mungkin bertanya: “apakah saya mungkin atau
tidak mungkin digantung karena tidak patuh dalam hukum?”
Hukum Tidak Adil Menurut Finnis (cont’d)
a
45. Kewajiban hukum dalam arti legal yang disebut intrasistemis
• Ini terkesan kosong, untuk apa dipertanyakan bagaimana status
kewajiban hukum dalam arti legal;
• Namun, ia tegaskan bahwa sistem hukum tetap mengakomodasi
prinsip-prinsip kemasukakalan praktis yang kemudian bisa
membuat hukum sah tersebut menjadi tidak sah atau batal;
• Hanya ada sedikit peluang untuk mengajukan secara
“intrasistemis” melalui peradilan hukum, suatu pertanyaan
apakah kewajiban hukum yang tidak dapat disangsikan lagi,
sesungguhnya bukanlah kewajiban (secara hukum) karena
kewajibannya tersebut tidak adil;
Hukum Tidak Adil Menurut Finnis (cont’d)
b
46. Kewajiban hukum dalam arti legal yang disebut intrasistemis
(cont’d)
• Adalah tidak kondusif terhadap pemikiran wajar untuk
menodasi kepositifan hukum dengan menyangkal kewajiban
hukum dalam arti legal atas suatu aturan yang baru-baru ini
ditegaskan sebagai sah secara hukum dan bersifat wajib oleh
institusi tertinggi suatu ’sistem hukum’;
• tidak bermanfaat untuk terus mempertanyakan dari segi kategori
kedua ini setelah peradilan tertinggi menetapkan melalui
putusannya bahwa hukum yang dipersengketakan bukan hukum
yang tidak adil, atau jika pun tidak adil, hukum tersebut tetaplah
hukum, mengikat secara hukum dan dapat dilaksanakan secara
yudisial.
Hukum Tidak Adil Menurut Finnis (cont’d)
47. Hukum Tidak Adil Menurut Finnis (cont’d)
Kewajiban hukum dalam arti moral
• Jika kewajiban hukum dianggap mensyaratkan kewajiban moral dan
sistem hukum adalah secara garis besar adil, apakah hukum tidak adil
tertentu membebani saya suatu kewajiban moral untuk mematuhinya?
• Orang berhak untuk mengabaikan hukum-hukum yang tidak adil
dengan segala cara;
• Hukum tidak adil adalah bukan hukum dan tidak mempunyai
kekuatan mengikat meski:
• Hukum tidak adil tersebut berasal dari sumber hukum yang sah;
• Akan dilaksanakan secara faktual oleh pengadilan atau penguasa;
• Disebut sebagai hukum seperti aturan hukum lainnya.
c
48. Hukum Tidak Adil Menurut Finnis (cont’d)
Kewajiban Moral yang berasal bukan dari legalitasnya
• Pada kategori keempat ini Finnis menyatakan bahwa apabila
saya tidak patuh pada hukum karena kehilangan otoritas moral,
maka itu dapat memengaruhi kekuatan hukum atau sistem
hukum yang ada?
• Bukankah fakta yang muncul dari dampak ketidakpatuhan
tersebut menimbulkan kewajiban moral?
• Kepatuhan orang terhadap hukum yang tidak adil bukan karena
seseorang ingin menjadi warga negara yang taat pada hukum
tetapi karena ada keinginan untuk tidak mengganggu
efektivitas dari bagian hukum yang adil dalam suatu sistem
hukum.
d
49. Hukum Tidak Adil Menurut Finnis (cont’d)
Menurut Finnis,
keempat kategori
tersebut belum bisa
menjawab berbagai
permasalahan lain
dalam komunitas,
yang mana jawaban-
jawaban dari
permasalahan
tersebut bisa
beraneka ragam
tetapi pasti berkaitan
dengan aspek sosial,
politis, dan budaya.
51. Hukum Tidak Adil Menurut Aquinas
• Aquinas juga mempunyai empat bentuk ketidakadilan, yaitu
dari segi tujuan, kewenangan, bentuk, dan substansi. Perbedaan
antara Aquinas dan Finnis berbeda pada segi substansinya
terhadap ketidakadilan dalam hukum.
52. Hukum Tidak Adil Menurut Aquinas (cont’d)
Ketika hukum
bertentangan dengan
kebaikan manusia
(human good)
Ketika hukum
berlawanan dengan
kebaikan ilahi
(divine good)
Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum disebut tidak adil
dalam dua cara, yaitu:
53. Hukum Tidak Adil Menurut Aquinas (cont’d)
Hukum yang Melanggar Kebaikan Manusia
• hukum ditetapkan tidak untuk kebaikan bersama melainkan
untuk kepentingan pribadi pembuat hukum tersebut tidak
mengikat suara hati
• hukum-hukum yang dibuat atau ditetapkan dengan melanggar
kewenangan pembuat hukum itu sendiri (ultra vires) tidak
mengikat suara hati
• hukum yang menetapkan beban-beban yang tidak setara bagi
setiap orang, meski dengan pandangan untuk kebaikan bersama
tidak mengikat suara hati
• hukum yang melanggar hak-hak kodrati manusia, maka hukum
tersebut tidak adil tidak mempunyai kekuatan mengikat
54. Hukum Tidak Adil Menurut Aquinas (cont’d)
Hukum Melanggar Kebaikan Ilahi
• Hukum tiran yang mendorong pemujaan berhala dan apapun
yang bertentangan dengan kebaikan ilahi, seperti penyangkalan
10 Perintah Allah tidak boleh dipatuhi tanpa pengecualian
55. Terima Kasih
Menara Palma 10th Floor Suite 10-03
JL. H.R. Rasuna Said Blok X-2 Kav.6
Jakarta Selatan 12950, Indonesia
Ph: +62 21 5795 7550
F: +62 215795 7551