Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Fenomena revolusi hijau
1. FENOMENA REVOLUSI HIJAU GENERASI KEDUA
Hasil spektakuler dari Revolusi Hijau berupa peningkatan produksi dan produktifitas
pertanian. Revolusi Hijau merujuk pada suatu proses perubahan teknologi budidaya pertanian
secara besar-besaran, memamfaatkan temuan-temuan dan terobosan baru hasil penelitian di
bidang pertanian yang berupa : adopsi benih dan bibit unggul, penggunaan pupuk dan pestisida,
pengelolaan air irigasi dan drainase, intensifikasi areal pertanian yang baru dibuka, dll. Hasil
nyata yang dinikmati Indonesia yaitu tercapainya swasembada beras pada tahun 1984, yang
sayangnya terlepas kembali sejak awal dekade 1990-an ini.
Data menunjukkan pada periode 1965-1984, tingkat pertumbuhan produksi padi,
gandum, dan jagung dunia berturut-turut adalah 3,1 3,2 dan 2,8% per tahun. Angka tersebut
menurun pada periode 1985-1991 menjadi 2,2 2,0 dan 0,0 %(FAO,1995). Kemungkinan besar
penyebab menurunnya produktifitas tersebut adalah sumber-sumber pertumbuhan tersebut sudah
terlalu jenuh (exhausted). Andalan utama Revolusi Hijau mungkin sudah mencapai titik jenuh.
Juga investasi sarana dan prasarana irigasi mulai menurun terkait menurunnya penerimaan
ekonomis yang dapat diperoleh oleh petani dan negara secara agregat.
Saat ini proses perubahan teknologi di sektor pertanian itu telah masuk pada suatu fase
yang mementingkan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi tersebut. Perlu suatu lembaga
untuk mempertahankan dan mencari sumber-sumber pertumbuhan baru di sector pertanian. Fase
institusionalisasi proses produksi pertanian tersebut disebut Revolusi Hijau Generasi Kedua. Bab
ini akan menguraikan fenomena Revolusi Hijau Generasi Kedua tersebut dan keterkaitannya
dengan strategi dan kebijakan pangan nasional Indonesia.
Gambaran Pertumbuhan Produksi Pangan
Prestasi swasembada beras Indonesia pada petengahan dekade 1980-an tersebut tercapai
karena pertumbuhan produksi yang cukup tinggi. Angka pertumbuhan produksi padi tercatat
sebesar 3,7% per tahun (1962-1970) serta 5,2% per tahun (1971-1983). Pertumbuhan produksi di
Jawa sangat berkontribusi sangat dominan terhadap kinerja pertanian Indonesia secara
keseluruhan. Pertumbuhan produksi pangan secara keseluruhan periode 1971-1983 adalah 4,4%
per tahun, sedikit di atas produksi pangan di Jawa pada periode yang sama, yaitu 4,2%.
Yuca Siahaan
2. Peranan pertambahan areal panen sangat signifikan terhadap pertumbuhan produksi beras
dan bahan makanan tersebut. Laporan Tahunan Bank Dunia (1995) menunjukkan pada 19791993 pertumbuhan produksi bahan makanan per kapita Indonesia hanya 2,2% per tahun. Angka
tersebut lebih rendah dari China(3,0%), Malaysia(4,3%), tapi lebih tinggi dari Thailand (0,0%),
Jepang(-0,3%), AS(-0,3%) serta negara Afrika lain yang angka pertumbuhannya negatif.
Dari data-data tersebut dapat ditarik generalisasi bahwa laju pertumbuhan produksi sektor
pertanian mengalami perlambatan pada dasawarsa terakhir. Konversi lahan sawah produktif di
Jawa menjadi kegunaan lain signifikan, karena konsumsi beras terus meningkat menurut waktu.
Fase Institusianalisasi Proses Produksi
Fase institusionalisasi proses produksi di bidang pertanian lebih mengarah pada
pemberdayaan perangkat kelembagaan dan sos-ek masyarakat untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan faktor-faktor produksi. Jika sudah diketahui bahwa proses produksi telah berada
pada fase peningkatan yang semakin menurun (the law of diminishing returns). Maka strategi
pertumbuhan yang mempertimbangkan faktor kelembagaan dan sos-ek hampir mutlak.
Dalam bahasa ekonometrika, kerangka analisis pada Revolusi Hijau Generasi Kedua
pada hubungan input (sebagai peubah tetap) dan aspek kelembagaan dan sos-ek(sebagai peubah
bebasnya). Fokus analisis lebih pada karakteristik model fungsi produksi batas atas (frontier
production function model).
Peubah-peubah institusi yang mempengaruhi penggunaan input modern dapat dikelompokkan
menjadi:
1. Akses terhadap sarana/prasarana public yang meliputi : jalan, sekolah, saluran irigasi;
2. Kelembagaan pasar yang meliputi : pasar pupuk, kredit, tenaga kerja, dan pasar output;
3. Penyebaran informasi pertanian;
4. Struktur kepemilikan lahan serta sumber daya penting lainnya, seperti: sumur pompa dan
traktor tangan; serta
5. Karakteristik fisik seperti jenis, iklim, dan struktur sosial yang mendukungnya.
Penjelasan Secara Empiris
Yuca Siahaan
3. Skenario di lapangan dapat dijelaskan sebagai berikut : tingkat penggunaan pupuk, benih
unggul, air irigasi, dan bahkan tenaga kerja luar keluarga sangat dipengaruhi oleh kondisi sarana
dan prasarana setempat serta keempat faktor kelembagaan lainnya. Sebagaimana yang terjadi
belakangan ini di beberapa tempat di Indonesia, tingkat penggunaan pupuk sangat dipengaruhi
oleh kelembagaan pasar pupuk serta input-input lain. Semakin tinggi harga eceran tertinggi
efektif pupuk, semakin rendah tingkat penggunaan riil pupuk yang mungkin akan sangat
mempengaruhi produktifitas pertanian. Semakin sempurna aliran informasi tersebut sampai pada
petani, semakin sempurna pula tingkat dan kombinasi penggunaan lahan faktor-faktor produksi
pertanian.
Implikasinya adalah apakah system penyuluhan pertanian dengan metode latihan dan
kunjungan (LAKU) seperti yang sangat popular pada periode Revolusi Hijau masih relevan saat
ini atau tidak. Petani perlu teman diskusi, pendorong motivasi yang mau mendengarkan keluhan
serta jalan keluar menangani permasalahan yang dihadapi.
Metode penyampaian informasi yang efektif untuk keperluan ini adalah pendekatan
farmer-first (prioritas petani), suatu metode yang partisipatif dan bertujuan untuk meningkatkan
keberdayaan petani.
Walaupun struktur kepemilikan tetap menjadi faktor utama pada pengambilan keputusan
untuk mencapai tingkat efisiensi, tetapi tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi
sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek institusi, seperti terbatasnya akses kredit, informasi pasar
input dan output yang dihadapi oleh para petani kecil dan penyakap.
Operasionalisasi dan Langkah ke Depan
Tekanan pembahasan lebih pada efisiensi penggunaan teknologi biologis-kimiawi seperti
benih unggul, pupuk, pestisida, dll. Perubahan fokus Revolusi Hijau Generasi Kedua ini harus
dilakukan secara menyeluruh, lebih serius, dan dilengkap kebijakan public yang memadai.
Penelitian dan penelusuran lebih dalam tentang hubungan fungsional antara tingkat penggunaan
input produksi pertanian dengan aspek kelembagaan serta kondisi sos-ek yang melingkupi proses
produksi masih harus terus-menerus dilakukan. Sementara itu, penentuan tingkat efisiensi teknis
dan ekonomis, seperti pada fase sebelumnya, tetap diperlukan untuk mengetahui derajat
kejenuhan penggunaan suatu input.
Yuca Siahaan
4. Upaya operasionalisasi untuk mendukung Revolusi Hijau Generasi Kedua itu misalnya
dapat diwujudkan melalui penelaahan yang terus-menerus untuk menemukan spesifikasi
produksi yang ampuh sesuai dengan kondisi agroklimat serta setting kelembagaan suatu daerah
tertentu. Perbaikan kondisi sos-ek serta fungsi-fungsi kelembagaan tersebut dapat ditempuh
melalui desentralisasi perumusan kebijakan teknologi (site-specific technologies) di bidang
pertanian. Dalam jangka panjang, desentralisasi dapat mengurangi perbedaan tingkat efisiensi
penggunaan faktor produksi serta produktivitas pertanian antarwilayah seperti yang dialami oleh
Pulau Jawa dan pulau-pulau luar Jawa selama ini.
INSTITUSIONALISASI REVOLUSI HIJAU
Pada beberapa tempat di negara-negara berkembang terjadi ketimpangan pendapatan,
tentu bukan karena andil Revolusi Hijau semata, tetapi lebih pada ketidakmampuan sutu proses
perubahan teknologi dalam menjawab tekanan penduduk terhadap lahan-lahan pertanian.
Sehingga isu sentral yang layak mendapat perhatian dalam waktu dekat adalah antisipasi fase
institusionalisasi dalam perubahan teknologi pertanian, seperti yang akan diuraikan pada bab ini.
Revolusi Hijau Generasi Pertama
Revolusi Hijau disini merujuk pada suatu proses perubahan teknologi budidaya pertanian secara
besar-besaran, memamfaatkan temuan-temuan terobosan baru hasil penelitian di bidang
pertanian berupa : adopsi benih dan bibit unggul, penggunaan pupuk dan pestisida, pengelolaan
air irigasi dan drainase, intensifikasi areal pertanian yang baru dibuka, dll.
Di Indonesia, Revolusi Hijau dikenal pula dengan nama Sapta Usaha, yang meliputi :
1. penggunaan benih dan varietas unggul
2. pemberian pupuk dan pemupukan yang tepat
3. pengaturan pola tanam
4. pengaturan irigasi
5. penanggulangan hama dan penyakit
6. penyuluhan
7. penanganan dan pemasaran pasca panen
Yuca Siahaan
5. Berkat usaha yang tidak kenal lelah para petani, Indonesia berhasil mencapai
swasembada beras pada tahun 1984, tetapi sangat disayangkan ketika pada awal dekade 1990-an
Indonesia kembali pada daftar tetap impotir beras. Sebab utama penurunan produksi beras
Indonesia adalah seperti kekeringan, gagal panen, hama penyakit, dan hilangnya areal sawah
subur selama sepuluh tahun terakhir.
Teknologi biologis-Kimiawi yang selama ini adalah andalan dari revolusi hijau sudah
mulai menurun dan erat kaitannya dengan penerimaan ekonomi negara secara agregat.
Saat ini proses perubahan teknologi di sektor pertanian telah masuk pada fase yang lebih
efisien pada penggunaan faktor-faktor produki. Artinya, terdapat suatu aspek kelembagaan yang
cukup krusial dan perlu mendapat perhatian yang memadai untuk mencari sumber-sumber
pertumbuhan baru di sektor pertanian. Para ahli menamakan fase ini Revolusi Hijau Generasi
Kedua.
Revolusi Hijau Generasi Kedua
Revolusi Hijau Generasi Kedua tidak lagi berlandaskan pada peningkatan penggunaan
input-input modern atau teknologi biologis-kimiawi, melainkan lebih berpedoman pada aspek
efisiensi penggunaan bibit unggul,pupuk, pestisida dan lain sebagainya.
Di Indonesia, tingkat penggunaan pupuk sangat dipengaruhi kelembagaan pasar pupuk
serta input-input lain. Semakin tinggi harga eceran tertinggi pupuk, semakin rendah tingkat
penggunaan riil pupuk yang mungkin akan sangat mempengaruhi produktivitas sektor pertanian.
Demikian pula tentang proses penyebaran informasi pertanian. Semakin sempurna aliran
informasi sampai kepada petani, semakin sempurna pula tingkat dan kombinasi penggunaan
faktor-faktor produksi pertanian.
Langkah Antsipasi Ke Depan
1. penelaahan yang terus-menerus untuk menemukan spesifikasi produksi yang ampuh
dan sesuai kondisi kelembagaan suatu daerah tertentu
2. desentralisasi perumusan kebijakan teknologi di bidang pertanian melalui perbaikan
sosial-ekonomi serta fungsi-fungsi kelembagaan yang ada
3. pendekatan dialogis antara para petani, peneliti, dan petugas pertanian lapangan
Yuca Siahaan
6. 4. para pengamat, peneliti dan perumus kebijakan menyempurnakan adaptasi teknologi
biologis-kimiawi
REVITALISASI PARADIGMA PEMBERDAYAAN PETANI
Paradigma pemberdayaan petani masih belum mampu diterima secara baik di kalangan
para ilmuwan pertanian dan pangan. Sementara itu, harapan yang terlmpau besar terhadap sektor
pertanian sebagai penghela perekonomian dari krisis yang berkepanjangan. Beberapa anggapan
klasik dan keyakinan sebagian besar masyarakat bahwa nusantara adalah tanah surga, tongat
kayu pun bia jadi tanaman mungkin akan memperbesar harapan. Lebih kompleks lagi karena
para praktisi di sektor pertanian mengatakan bahwa serangkaian masalah yang menyelimuti
sektor pertanian bersumber dari luar sektor pertanian. Lihatlah betapa petani cabai, jagung sangat
tidak berdaya menghadapi “kolusi harga” para pedagang besar. Demikian pula, petani harus
melaksanakan paket-paket kebijakan titipan dengan dalih untuk kepentingan nasional yang lebih
besar yakni swasembada pangan, diversifikasi peningkatan tanaman ekspor.
Perhatian penelitian pertanian selama dua dasawarsa lebih berokus kepada pertanian
tanaman pangan. Salah satu ciri penelitian di bidang pertanian di bidang tanaman pangan
khususnya padi sawah adalah karakteristik penelitian komponen yang masih lebih dominan.
Balai-balai penelitian cenderung melakukan penelitian replikasi beberapa komponen tekhnologi
dengan suatu dsiplin ilmu tertentu. Hasil penelitian biasanya dikirim kepada para pejabat
pemerintah baik melalui saluran birokrasi maupun melalui saluran seminar, dari sinilah
kemudian suatu paket kebijakan dirumuskan. Selanjutnya paket kebijakan disampaikan kepada
para petani melalui penyuluhan. Hampir dapat dipastikan dengan pola seperti ini akan sedikit
sekali terjadi interaksi antara penelitian, penyuluhan dan pengabdian masyarakat secara umum.
Lebih parah lagi pola ini kebutuhan dan keinginan petani tidak dapat tersalurkan pada para
peneliti. Hal ini tentu akan berakibat pada mandegnya dialog antar petani dan penyuluh pertanian
lapangan karena paket tadi sudah tetap, dalam artian sedikit sekali peluang untuk menyesuaikan
dan memodifikasi teknologi terhadap kebutuhan para petani.
Mungkin benar bahwa paket ini dpat diktakan berhasil pada proses difusi atau alih
tekhnologi pada padi sawah misalnya melalui paket “Revolusi Hijau”. Alasan utamannya adalah
Yuca Siahaan
7. karena lingkungan fisik dan sosial ekonomi usahatani padi sawah beririgrasi relatif seragam.
Akan tetapi, model atau pendekatan satu komando garis linier tentulah tidak dapat diterapkan
pada lingkungan yang heterogen seperti pada pertanian lahan kering umumnya. Disinilah
perlunya suatu sistem penelitian yang partisipatif dan interaktif-mutualistik dan mampu
menjembatani petani, peneliti, dan petugas lpangan penelitian. Ide dan konsep penelitian dan
pendekatan pembangunan partisipatif ini sebenarnya tidak baru dan pernah populer, tepatnya
ketika terjadi debat tentang efektivitas program BIMAS (bimbingan masal) pada pertanian padi
sawah. Pada penelitian partisipatif ini, agenda penelitian dirumuskan berdasar mekanisme
informasi yang timbal balik antara kebutuhan petani dan petugas lapangan. Dalam hal ini peneliti
lebih banyak berfungsi sebagai ujung tombak fasilitator, katalisator dai suatu proses perubahan
dan alih tekhnologi antar lembaga penelitian dengan keadaan lapangan yang sesungguhnya.
Pada sistem pertanian lahan kering, prasyarat yang hampir mutlak dipenuhi adalah bahwa
komoditas, benih/bibit dan bahan tanam hendaknya lebih environment-specific. Disamping itu,
dukungan melalui pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana pembangunan yang
terencana dan memenuhi standar kebutuhan juga tetap diperlukan. Sebagai contoh ifrastruktur
jalan desa dan jalan usaha tani. Prasyarat lain yang tidak kalah pentingnya adalah pembangunan
perangkat lunak yang mendukung melalui desentralisasi pola pengembangan sumber daya
manusia.
Inovasi Petani : Tulang Punggung Penelitin Pertanian
Inovasi petani memang tidak pernah diabadikan dalam bentuk tulisan apalagi dimintakan
hak paten ke Departemen Kehakiman. Kasus beras Cianjur, Cisadane, Rajalele dan Bengawan
pada tahun 1970an adalah salah satu bentuk inovasi petani. Petani mempunyai tempat
penyimpanan dan penangkaran benih sendiri di rumah, dan benih tersebut dicoba langsung di
lapangan. Benih padi tersebut dinamakan varietas lokal yang kerap kali dihubung-hubungkan
dengan produktivitas rendah, masa tanam lama dan tidak tahan terhadap pupuk. Melalui
penyuluhan dari mulut ke mulut oleh petani, varietas unggul lokal tersebut menyebar cepat sekali
hampir seluruh Jawa. Bahkan varietas lokal tersebut menyebar ke luar Jawa.
Yuca Siahaan
8. Alasan utama mengapa petani memilih varietas lokal karena kualitas berasnya lebih
bagus, lebih pulen dan rasa lebih enak dibaanding beras jenis IR (dari Institute Rice Reasearch di
Filipina) dan PB (Peta Baru, hasil kreasi ilmuwan di Balai Benih Departemen Pertanian IPB).
Alasan lain disamping karena kualitas rasa tadi, batang malai yang tidak getas, agak tinggi,
tingkat patahan gabah tidak terlalu besar. Petani berinovasi sebagai hasil analisis permasalahan
yang diakukannyaa sendiri. Petani kecil yang hanya mempunyai lahan sedikit memutar otak
dengan cara mempraktekkan sistem tumpang sari dua atau lebih tanaman ditanam dan digilir
pada sebidang tanah. Cerita lain tentang sebenarnya inovasi “tekhnologi” baru yang dilakukan
oleh petani sebenarnya banyak sekali. Hal yang perlu ditekankan adalah bahwa inovasi petani
sering diabaikan. Sebaliknya, jika petani tdak menggunakan tekhnologi baru, tidak menggunakan
pupuk buatan, tidak menggunakan jarak tanam yang dianjurkan para petani sering dianggap
kuno, terbelakang.
Peneliti dan ilmuwan kadang lupa untuk mengerti bahwa kebun-kebun percobaan berada
pada tingkat optimal dan lingkungan yang memadai, kesuburan tanah tinggi, dosis pupuk dan
waktu pemupukan tepat dan hama penyakit tanaman ditanggulangi dengan baik. Peneliti sering
tidak menyadari bahwa varietas baru jenis IR tersebut tidak akan pernah lepas dari permasalahan
tingginya tingkat sensitivitas dan ketidaksuaian terhadap beberapa ragam lingkungn lapangan.
Pernah ada survei mengenai bagaimana sikap dan pandangan ilmuwan, peneliti, penyuluh dan
pegawai pemerintah terhadap inovasi petani selama ini. Sebagian besar menyimpulkan bahwa
inovasi dan kegiatan yang dilakukan petani selama ini adalah skeptis, terlalu mementingkan
kegiatan yang sebenarnya tidak optimal dan sama sekai tidak ada landasan ilmiahnya. Sebagian
saja yang menganggap bahwa kegiatan petani tersebut sangat berguna dan inovatif.
Karena inovasi petani adalah tulang punggung penelitian di bidang petanian maka petani
dan ilmuwan sama-sama harus dididik lagi. Akan lebih indah lagi jika petani juga diberi
tambahan ilmu pengetahuan melalui usaha-usaha pemberdayaan posisi petani. Disinilah proses
alih tekhnologi bukan satu-satunya jalan untuk meningkatkan kesejahteraan petani tapi harus
dilengkapi dengan integrasi antar ilmuwan dan petani. Ilmuwan harus diberi pelajaran megenai
seluk beuk petani kecil agar tidak terperangkap ke dalam mitos-mitos ketidakilmiahan inovasi
yang dilakukan oleh petani.
Yuca Siahaan
9. Langkah Operasional Pelaksanaan
Dari beberapa kasus proses alih tekhnologi pertanian mengenai penggunaan varietas
unggul baru, penerapan pupuk, pestisida, dan penggunaan paket “Revolusi Hijau” pada beras dan
beberapa komoditas andalan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan untuk merumuskan
langkah-langkah operasional. Kadang tersirat perasaan pesimis muncul terlebih dahulu di benak
ilmuwan. Maksudnya, ilmuwan tidak kuasa menghadapi benturan-benturan birokrasi dan sering
berguman bahwa tidak akan banyak yang dapat diperbuat jika keseluruhan sistem birokras dan
profesionalisme tidak diubah. Langkah awal sebaiknya dimulai dari kita sendiri. Hal ini mungkin
klasik dan terbilang klise tapi mungkin sangat berguna.
Ada dua hal penting dalam mewujudkan langkah operasional untuk menerpkan
pendekatan prioritas petani. Pertama dengan jalan memulai “proyek moral” dimana ada
kesempatan ada sarana pendukung. Kedua dengan jalan mengubah perilaku dan tingkah laku
sebelum mengubah sikap dan sifat. Berusaha mengubah sikap dan sifat hanya menghasilkan
seperangkat kebingungan tanpa ada perubahan perilaku dan tigkah laku. Jika perjalanan sudah
dimulai, pengalaman berharga akan diperoleh dan akan mempengaruhi sikap dan pola pikir
karena sudah ada perubahan dalam perilaku dan tingkah laku. Dengan demikian, analisis oleh
dan dengan petani menjadi titik awal permulaan langkah operasional menuju pendekatan
prioritas petani. Langkah operasional berikutnya yang diperlukan adalah tersedianya wadah yang
mantap bagi para petani untuk berinteraksi aktif dan berorganisasi. Kelompok tani yang timbul
dibawah berlandaskan kekeluargaan dan kesukarelaan, karena berasal dari rakyat dan dilandasi
semangat partisipasi tinggi. Secara umum strategi pembangunan yang berorientasi rakyat lebih
menekankan pada pembangunan sumber daya manusia bukan prasarana fisik.
Masalahnya sekarang adalah kemungkinan untuk memperluas pendekatan prioritas petani
ini dalam skala yang lebih luas baik regional maupun nasional. Akan disarankan betapa
pentingnya kehadiran jenis-jenis peneliti yang mampu merakyat dan membumi. Nanti akan
dibutuhkan peneliti yang lebih besar dari biasanya karena si peneliti akan tinggal bersama petai
dan mengalami kehidupan petani. Masaah seperti ini bisa mempunyai visi yang sangat luas,
menyangkut hajat hidup orang banyak, berkaitan dengan kepentingan nasional dan internasional.
Yuca Siahaan
10. STRATEGI TEROBOSAN BARU DISTRIBUSI BAHAN POKOK
Sejak awal 1998 media massa sering mengangkat berita penimbunan atau menghilangnya
barang-barang kebutuhan pokok seperti beras,gula pasir,tepung terigu,minyak goreng,susu,dan
komoditas strategis lainnya dari pasaran.Sebagian besar kalangan menunjuk pada penimbunan
sebagai biang keladi kelangkaan kebutuhan pokok dan mengharapkan terdapat proses dan sanksi
hukum yang lebih memadai.Sebagian lagi menunjuk pada perilaku konsumen yang
spekulatif,memborong kebutuhan pokok dalam jumlah besar,dengan alasan ketidakpastian
perekonomian Indonesia.
`Reformasi
struktural
ekonomi,perdagangan
luar
negeri,investasi,deregulasi
dan
privatisasi meliputi pencabutan Badan Urusan Logistik (BULOG),kecuali beras.Pertanyaan logis
dan skeptis pun bermunculan.Bagaimanakah sebenarnya kinerja distribusi dan manajemen
persediaan terhadap kebutuhan pokok dan komoditas strategis di Indonesia ?Langkah apa yang
sebaiknya
dilakukan
oleh
pemerintah
untuk
menjamin
kelancaran
aliran
komoditas?Bagaimanakah kebijakan harga yang mampu memberikan manfaat yang adil dan
berimbang baik kepada produsen,distributor dan konsumen?
Manajemen Stok Bahan Pokok
Pertanyaan-pertanyaan diatas,tentunya sangat kompleks,karena karakteristik tiap bahan
pokok berbeda.Sebagai contoh,Indonesia yang selama lebih dari satu dasawarsa mengalami
kecukupan atau swasembada beras kini harus kembali menjadi daftar penghuni tetap negara
penerima impor beras.Seluruh perhatian pun tertuju pada upaya peningkatan produksi dan
produktifitas tanaman padi,langkah manajemen persediaan dan stabilisasi harga.
Ditingkat
lapangan
hal
itu
dapat
diterjemahkan
sebagai
pemberian
intensif
ekonomi,walau bukan berupa uang dan barang,seperti subsidi harga dasar dan harga faktorfaktor produksi yang meliputi benih,pupuk,pestisida dan lain-lain,yang bertujuan untuk petani
agar lebih bergairah lagi untuk meningkatkan hasil produksi.Aspek produksi ini sangat
bergantung pada cuaca dan alam serta faktor nonmarket seperti konversi lahan secara besarbesaran areal lahan subur di Jawa,tingkat sensifitas kegagalan produksi pada persediaan juga
sangat besar.
Yuca Siahaan
11. Di tingkat manajemen persediaan,hal diatas dapat diterjemahkan sebagai strategi dan
kecukupan impor karena suplai beras dunia pun tidak terlalu banyak,serta manajemen alokasi
anggaran dan cadangan sevisa serta pemantauan di lapangan yang berfungsi untuk melindungi
sebagian besar konsumen yang sangat tergantung pada beras.Seperti diketahui,tingkat konsumsi
Indonesia adalah yang paling besar,147 kg perkapita per tahun.Manajemen persediaan tentu saja
berimpilkasi pada upaya pengurangan beras dengan kampanye diversifikasi pangan sumber
karbohidrat selain beras dn protein serta zat nutrisi esensial yang terjangkau.
Peranan pemerintah sebagai stabilisator harga pangan khususnya beras mempunyai dual
objectives,untuk melindungi petani padaa musim panen dan menetapkan harga gabah dan beras
setiap tahun disesuaikan dengan laju inflasi dan untuk melindungi konsumen pada saat musim
tanam dan krisis ekonomi,dengan memberikan harga yang terjangkau melalui operasi
pasar.Fungsi ideal logistik,distribusi dan stabilisasi harga beras,mutlak harus ditangani oleh
pemerintah,dalam hal ini BULOG,dan tidak mungkin akan diberikan secara murni kepada pasar
atau swasta,karena sektor swasta tidak mungkin akan memikirkan aspek pemerataan untuk
masyarakat.
REFORMASI STRUKTURAL SISTEM DISTRIBUSI
Komoditas bahan pokok yang menjadi perhatian utama dalam kerangka reformasi
struktural adalah minyak goreng dalam negeri yang melibatkan komoditas potensial ekspor lain
yaitu minyak kelapa sawit mentah.Kompleksitas distribusi minyak goreng ini diperparah oleh
distorsi pasar yang terjadi pada komoditas CPO atau bahan baku utama industri minyak goreng
setelah bahan baku minyak kelapa tak lagi populer.Distorsi pasar yang dimaksud adalah pajak
ekspor CPO sejak Juli 1994,dicabut,diganti pajak ekspor tambahan dan terakhir larangan ekspor
sampai bulan Maret 1998,dan bahkan akan diperpanjang.
Fenomena pergerakan harga komoditas minyak goreng sebagai salah satu proses olahan
dari CPO terkesan unik,karena keseimbangan harga baru tidak murni ditentukan oleh mekanisme
pasar (persaingan sempurna).Pergerakan harga di tingkat konsumen lebih banyak dipengaruhi
kombinasi faktor-faktor kekuatan produsen dan distributor minyak goreng yang cenderung
menjadi satu sebagai tuntunan manajemen pemasaran modern,faktor psikologis dan faktor
kepanikan ditentukan faktor eksternal perilaku konsumen.
Yuca Siahaan
12. Sedangkan komoditas bahan pokok lain sebagian besar sangat tergantung pada
impor,seperti tepung terigu,gula pasir,bawang putih dan lain-lain.Perhatian utama terpusat apada
distribusi dan jaminan stabilitas harga yang dapat terjangkau konsumen.Permasalahan distribusi
komoditas ini tidak hanya pada pembebasan komoditas kepada sektor pasar tetapi juga terletak
pada kinerja distribusi yang tidak efisien dalam beberapa kriteria:teknis dan ekonomis serta
pemberian manfaat yang seimbang berdasarkan jasa yang dikeluarkan,langkah yang harus
ditempuh harus terarah pada peningkatan efisiensi tersebut.
Sebagian masyarakat Indonesia,termasuk para pengambil keputusan yang tidk siap
dengan kondisi asimetri pasar seperti ini terkadang justru melakukan reaksi yang tidak terencana
dengan baik.Dalam istilah ekonomi,kondisi tersebut,dinamakan kegagalan pasar atau suatu
dampak negatif yang harus ditanggung oleh masyarakat karena pasar persaingan tidak
sempurna.Istilah kegagalan pasar dapat dialamatkan pada lemahnya posisi tawar menawar
produsen karena menghadapi konsumen tunggal yang mempunyai satu kekuatan.
Barang kebutuhan pokok tersebut juga mengalami campur tangan dan salah urus
kebijakan yang bertentangan.Dalam istilah ekonomi politik dinamakan kegagalan negara tau
dampak negatif yang ditanggung masyarakat karena inefisiensi atau ketidakmampuan institusi
negara.Bentuk
lain
dari
kegagalan
negara
adalah
missmanagement,nepotisme,suap-
menyuap,korupsi,kolusi,manipulasi,perburuan rente ekonomi untuk kepentingan pribadi.
Perbaikan terhadap kondisi kegagalan pasar dan kegagalan negara pada saat bersamaan
tersebut tentu tidak perlu sekaligus dan gegabah.Warning dari sebagian besar pakar dan
pengamat ekonomi untuk tidak melakukan intervensi campur tangan pemerintah pada saat terjadi
kegagalan negara juga patut untuk dicantumkan secara bijaksana.
Yuca Siahaan
13. Langkah Terobosan
Berikut inimungkin dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan langkah
terobosan strategi distribusikmoditas strategis yang berjangka pendek,menengah dan panjang:
1. Pemerintah masih diperlukan perannya dalam menstabilkan harga-harga kebutuhan
pokok.BULOG dengan sisa anggarannya masih diharapkan melakukan operasi pasar
untuk beberapa komoditas strategis.Fungsi yang dijalankan pun dapat dikembalikan
kepada khittahnya sebagai stabilisator dan bukan pemain atau pelaku ekonomi.
2. Saat kondisi sudah berangsur pulih,upaya reformasi struktural tentu harus disertai
langkah stimulasi serta pemberian kemudahan yang diperlukan dalam memperlancar dan
mengikis hambatan proses masuk
perusahaan baru ke dalam industri industri yang
selama ini bertumpu pada kekuatan monopolis.
3. Meninjau kembali strategi industrialisasi yang cenderung menghasilkan fenomena
integrasi vertikal dari hulu sampai hilir dan bahkan konglomerasi di segala aspek
perekonomian.
Yuca Siahaan
14. PENUTUP
Agenda Kebijakan Pertanian ke Depan
Maksud dari agenda kebijakan Pertanian ke depan ini adalah agar perhatian terhadap
diversifikasi pangan dan pengadaan beras yang berakibat langsung pada kesejahteraan rakyat
Indonesia dapat lebih ditingkatkan efektifitasnya.
Beberapa agenda strategi kebijakan pertanian dan pangan untuk reformasi adalah sebagai
berikut:
Pertama, di sektor hulu strategi pengembangan usaha tani kea rah yang lebih berorientasi
pasar dan agribisnis modern jelas amat diperlukan.Rincian strategi tersebut sangatlah luas
meliputi :
Menyediakan benih unggul di BBI dan BBU di Indonesia.
Perluasan subsidi pupuk .
Pelaksanaan kredit usaha tani dengan bunga murah.
Perbaikan teknik dan management petugas lapangan.
Sanksi hokum dan social yang tegas pada pelanggaran yang terjadi.
Kedua, di tingkat distribusi dan pengadaan bahan pangan pembenahan kerangka kerja “
penunjukan “ importir beras dan persyaratan rekanan yang jelas dan transparan.
Ketiga, penggunaan dana subsidi pengembangan pertanian dan pangan harus diarahkan
agar lebih mengefektifkan biaya, sehingga tidak memperparah defisit dan pemborosan anggaran
belanja negar.
Keempat, di bidang konsumsi bahan pangan, strategi diversifikasi pangan untuk tidak
bergantung hanya beras yang pernah popular pada decade 1980-an agar segera ditindaklanjuti
dijadikan agenda serius oleh pemerintah.
Kelima, agenda yang dapat mendukung strategi kebijakan produksi, distribusi dan
konsumsi bahan pangan adalah peningkatan akselerasi pembangunan pedesaan dengan focus
kepentingan golongan pendapatan rendah harus didukung dengan perangkat yang memadai.
Yuca Siahaan