1. 5. Diantara pendukung wacana pilkada DPRD ada yang secara eksplisif
mengangkat fakta permasalahan yang melekat pada penyelenggaraan
pilkada 10 tahun terakhir menurut mereka mengembalikan pilkada ke
DPRD bukan secara realistis.
Kita sudah 10 tahun pakai Pilkada langsung. Apa hasilnya? Apakah rakyat
makin sejahtera? Apakah korupsi makin kurang?
Dari 10 tahun Pilkada langsung, biaya demokrasi makin mahal. Pada
umumnya hanya orang punya modal atau punya cukong yang bisa jadi
kepala daerah. Setelah jadi, bisa saja mereka terikat balas budi pada
sponsor atau donatur, antara lain dalam bentuk proyek atau sejenisnya.
Motif balikan modal juga jadi pola sebagian kepala daerah. Modal itu
cukup besar. Dari hari ke hari biaya politik makin besar. Tak heran ada
sekitar 330 gubernur, bupati, walikota tersangkut kasus korupsi atau
lainnya. Ini produk Pilkada langsung.
Ada juga kepala daerah yang bagus, namun jumlahnya kalah dari yang
tersangkut masalah. Belum lagi penyelenggaraan Pilkada langsung yang
mahal, setidaknya 20 M per satu kabupaten. Artinya 100 trilyun untuk
500 kabupaten. Apa yg bisa kita pakai dg 100 triyun? Banyak sekali. Bisa
untuk pendidikan, usaha kecil, pertanian, dll.
2. 6. Fakta lain dari dampak negatif pilkada langsung
• "Pertama, tingginya biaya politik, yang memunculkan 'barrier to entry'
(penghalang) dari calon berkualitas tapi berbiaya cekak
• Kedua, munculnya politik balas budi dari calon yang menang dengan mengarahkan
program bantuan sosial hanya kepada kantong-kantong desa yang memilihnya.
Ketiga, kebutuhan mencari "uang kembalian" menjadikan 60 persen atau sebanyak
292 kepala daerah yang terpilih secara dalam pilkada langsung terjerat
persoalan hukum.
• Ketiga, pilkada langsung butuh dana besar. Pilkada tak langsung dinilai bisa
menghemat anggaran negara yang bisa digunakan untuk membiayai sektor-sektor
penting lain bagi kesejahteraan rakyat.
• Keempat, pilkada langsung meningkatkan eskalasi konflik horizontal.
• Kelima, pilkada langsung memunculkan sejumlah ketidakpastian karena berlarut-larut
dalam sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi yang sampai beberapa waktu
lalu menimbulkan skandal tersendiri.
• Keenam, pilkada langsung memunculkan fenomena 'ketidakpatuhan' koordinasi
bupati/wali kota kepada gubernur selaku kepanjangan tangan pemerintah pusat.
• Ketujuh, moratorium (penghentian) pilkada langsung akan menghemat anggaran
negara sekitar Rp50 triliun dalam lima tahun, yang bisa digunakan untuk
kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat.
3. Lanjutan…
• Kedelapan, pilkada oleh DPRD adalah pelurusan arah demokrasi. Dari
demokrasi liberal ke demokrasi Pancasila, sesuai demokrasi perwakilan
yang tertulis dalam sila Pancasila di sila ke-4.
• Sembilan, pilkada langsung melestasrikan 'money politics' atau politik
uang. "Menjadikan demokrasi langsung kehilangan esensi,"
4. 7. Apakah pilkada kembali ke DPRD otomatis masalah di pilkada langsung
akan hilang, dan semua proses pemilu kepala daerah akan lebih baik, dan
menghasilkan pemimpin yang cerdas
Apakah korupsi akan hilang jika Pilkada melalui DPRD? Ya tak ada jaminan, tapi
lebih kecil kemungkinannya, dan lebih terkontrol. Karena itu dalam Pilkada melalui
DPRD bisa libatkan civil society dan lembaga negara seperti KPK, PPATK, dll.
pemilihan di DPRD tidak lantas menjamin hilangnya biaya politik. Praktek suap
tetap ada, namun biayanya tidak semahal dibandingkan dengan pemilihan
langsung.
Jumlah anggota DPRD kalau ditingkat II paling sekitar 45 orang. Untuk mengawasi
praktek suap saat pemilihan bisa diawasi oleh wartawan, LSM atau aparat. Tapi
kalau pemilihan langsung kan tidak mungkin mengawasi satu persatu para
pemilih. Makanya pemilihan lewat DPRD masih lebih mudah untuk diawasi
ketimbang pemilihan langsung.