1. Incumbent danPilkada
KEPALA
daerah
yang
tengahmemerintah
(incumbent)
masihmempunyaipeluanglebihbesardalammemenangkanPilkada.Dari
pelaksanaanPilkadahinggaDesember 2006, sebanyak 62.2% kepaladaerah incumbent
yang
majudalamPilkadaberhasilmenang.Posisi
incumbent,
menguntungkanbagikandidat.Besarnyapeluangkepaladaerahterpilihkembaliinitidakbisa
dilepaskandarikeuntungan
yang
didapatolehkepaladaerah,
baikkeuntunganlangsungmaupuntidaklangsung.Keuntunganlangsung
yang
didapatolehkepaladaerah yang tengahmenjabatadalahdalambentukpopularitas.
Kepaladaerahkemungkinanadalah
orang
yang
paling
dikenalolehpemilih.Sementarakeuntungantidaklangsungdidapatolehkepaladaerah
incumbent
dariaktivitasnyasebagaikepaladaerah.Kunjungankedaerah,
mengunjungirumahmasyarakathinggameresmikansebuahproyekpembangunandapatdibu
ngkussebagaikampanyeuntukmengenalkandirikepadamasyarakat.
UpayamembuatPilkadalebih
fair
dancalon
yang
bertarungbisaberkopetisisecaralebihberimbang,
selamainikurangmenyentuhhal-hal
yang
substansial,
sepertilaranganberkampanyebagipejabatpemerintahataukeharusanuntukcutiselama
incumbent
mencalonkandirisebagaikepaladaerah.
Upaya
yang
dilakukanseharusnyalebihsubstansial.Misalnyadenganmemberiruangsebesarbesarnyabagisetiap
orang
agar
mempunyaikesempatanbertarungdalamPilkada.
Banyak orang berharapketikakepaladaerahdipilihsecaralangsung, Juni 2005.Salah
satuharapanituadalahterjadinyarotasikekuasaan.Orang-orang
terbaik
di
daerahdiharapkandapatmengisijabatankepaladaerah.Kesempatanitudinilailebihbesardi
bandingkandengansebelumnya.Maklum,
sebelumnya,
kepaladaerahdipiliholehpuluhananggotaDewanPerwakilan
Rakyat
Daerah
(DPRD).Mereka
yang
akhirnyaterpilihsebagaikepaladaerahdinilaisebagaihasildarilobipolitikdanpolitikuang
(money politics) daripadaupaya yang sungguh-sungguhuntukmemilih orang terbaik di
daerah.
Dari Juni 2005 - Desember 2006, Pilkadatelahdilangsungkan di 296 wilayah di seluruh
Indonesia.
Dari
Pilkada
yang
telahlewatitu,
kitabisamengevaluasiapakahharapanterjadinyarotasikekuasaanituterwujudataukahtida
k.Atausebaliknya,
Pilkadatetapdikuasaiolehpemaindantokohpolitik
lama.
Incumbent
Kepala
Daerah
PelaksanaanPilkadaselamainidiramaikandengantampilnyakembali
incumbent
kepaladaerah
(pejabat
yang
tengahmemerintah).
Dari
wilayah
yang
telahmelangsungkanPilkadahinggaDesember 2006, sebanyak 230 orang kepaladaerah
incumbent
(78.77%)
majukembalimencalonkandirisebagaikandidatkepaladaerah.
2. Hanya
62
orang
(21.23%)
yang
tidakmajusebagaicalon.
Seberapabesarpeluangkepaladaerah incumbent terpilihkembali?Peluangkepaladaerah
incumbent
ternyatasangatbesar.Dari
230
kepaladaerah
incumbent
yang
majukembalisebagaicalonkepaladaerah,
sebanyak
143
orang
(62.17%)
menangdanterpilihkembalisebagaikepaladaerah.Sisanya, sebanyak 87 orang (37.83%)
kalahdarilawan
lain.
Besarnyapeluangkepaladaerahterpilihkembaliinitidakbisadilepaskandarikeuntungan
yang
didapatolehkepaladaerah,
baikkeuntunganlangsungmaupuntidaklangsung.Keuntungan langsung yang didapat oleh
kepala daerah yang tengah menjabat adalah dalam bentuk popularitas. Kepala daerah
kemungkinan adalah orang yang paling dikenal oleh pemilih. Popularitas adalah modal
utama bagi kandidat yang maju dalam pemilihan langsung seperti Pilkada.
Pemilih pertama-tama akan memilih kandidat yang dikenal, paling tidak pernah
didengar. Sebagus apapun kualitas dari kandidat tidak akan banyak membantu jikalau
kandidat tidak dikenal oleh pemilih. Aspek popularitas ini dengan mudah bisa didapat
oleh kepala daerah incumbent. Foto-foto kepala daerah biasa ditempel di kantorkantor kepala desa atau rumah-rumah penduduk. Nama kepala daerah juga tiap hari
muncul
di
media
lokal.Pelaksanaan
Pilkada hingga Desember 2006, menunjukkan beberapa hal yang menarik. Kerap kali
kepala daerah incumbent diserang dengan berbagai isu (misalnya korupsi) tetapi
ternyata tidak menghalangi kemenangan kembali kepala daerah. Bahkan di sejumlah
wilayah ada kepala daerah yang sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi,
ternyata tetap bisa melenggang kembali sebagai kepala daerah. Ada juga kandidat
kepala daerah yang secara jelas melakukan kesalahan (seperti melakukan pemalsuan
ijazah, pelecehan seksual belum lagi yang didera isu penodaan agama, ternyata tetap
bisa memenangkan Pilkada dan terpilih kembali sebagai kepala daerah. Bahkan kerap
kali kepala daerah yang tersangkut berbagai isu dan masalah, memenangkan Pilkada
dengan
kemenangan
telak.
3. Fakta
ini
kemungkinan
menunjukkan, kepala daerah incumbent satu-satunya tokoh yang cukup kuat
(terutama dari segi popularitas) di daerah tersebut. Berbagai serangan tidak cukup
menyurutkan pemilih untuk kembali memilih kepala daerah incumbent. Karena tidak
ada tokoh alternatif lain yang sekuat kepala daerah incumbent. Hal ini menyebabkan
banyak kepala daerah yang sebenarnya kualitasnya tidak bagus (kinerja selama
memerintah buruk atau tersangkut dengan berbagai kasus) ternyata tetap bisa terpilih
kembali
sebagai
kepala
daerah.
Sementara keuntungan tidak langsung didapat oleh kepala daerah incumbent dari
aktivitasnya sebagai kepala daerah. Kunjungan ke daerah, mengunjungi rumah
masyarakat hingga meresmikan sebuah proyek pembangunan dapat dibungkus sebagai
kampanye untuk mengenalkan diri kepada masyarakat. Semuanya itu bisa dilakukan
secara legal dan tanpa perlu mengeluarkan uang. Kunjungan dinas ke daerah-daerah
bisa menggunakan uang dari pemerintah daerah. Staf dan karyawan juga bisa
didayagunakan untuk membantu kemenangan kandidat. Kepala daerah incumbent
yang “kreatif” bisa merancang berbagai program (terutama menjelang pemilihan)
yang bisa mengesankan dirinya sebagai kepala daerah yang berhasil dan peduli dengan
rakyat. Misalnya dengan merancang berbagai program yang populis seperti pembagian
sembako gratis, bantuan pembangunan rumah ibadah dan sebagainya.
4. Berdasar perolehan suara yang didapat dalam Pilkada, kita bisa membagi kekuatan
kepala daerah incumbent itu ke dalam tiga bagian. Pertama, kepala daerah dengan
kekuatan sangat kuat. Ini ditandai dengan perolehan suara sangat besar (di atas 75%).
Lebih
dari
¾
pemilih
memilih
kepala
daerah
incumbent.
Kepala daerah yang kuat ini tampak memiliki ciri-ciri yang sama. Mereka mempunyai
dominasi yang kuat di daerah, bukan hanya politik tetapi juga ekonomi, sosial dan
budaya. Dominasi di bidang politik umumnya ditandai dengan jabatan kepala daerah
yang merangkap sebagai ketua partai politik di daerah. Ini juga ditambah dengan
kekuatan penunjang lain, misalnya tokoh masyarakat (ulama), anak dari tokoh
terkenal
di
daerah
dan
sebagainya.
Dominasi yang kuat ini menyebabkan tidak ada tokoh alternatif yang kuat atau paling
tidak bisa mengimbangi tokoh-tokoh tersebut. Yang tidak bisa dilupakan, kepala
daerah yang kuat ini juga mempunyai prestasi yang baik di mata masyarakat. Karena
posisi yang kuat, kandidat kepala daerah ini sukar mencari tandingan.
Kedua, kepala daerah kuat. Kepala daerah ini memang memenangkan Pilkada di
wilayah masing-masing, tetapi dengan perolehan suara yang tidak telak. Ketiga,
kepala daerah lemah. Ini ditandai dengan perolehan suara yang kecil. Ada kepala
daerah incumbent yang akhirnya menang, tetapi selisih dengan calon lain sangat kecil
(di bawah 5%). Jika kepala daerah incumbent ini masih tetap bisa memenangkan
Pilkada, kemungkinan karena strategi yang baik. Atau karena tidak ada calon
alternatif lain yang lebih baik. Tetapi jika ada calon alternatif lain di daerah itu
(misalnya tokoh agama, tokoh politik lokal yang kuat), kemungkinan besar kepala
daerah
incumbent
akan
kalah.
KampanyePermanen
Fenomenaterpilihnyakembalipejabat yang tengahmemerintahuntukperiodeberikutnya,
bukanlahkhas Indonesia.Di Amerikamisalnya, tingkatkeberhasilanpejabat yang
5. tengahmemerintahuntukterpilihkembalijugasangattinggi.Misalnyauntuk
legislator.
Rata-rata Sekitar 90% anggotadewan (house of representatives) dan 80% senator
terpilihkembaliuntukperiodeberikutnya (Wayne P. Steger, 2001). Samadengan di
Indonesia, pejabat yang tengahmemerintahmempunyaikeuntunganlebih yang
tidakdipunyaioleh orang baru.
Pertama,
keuntunganfinansial.Sejumlahkeperluan
(sepertibiayakomunikasidengankonstituen,
perjalanan,
biayakantor,
dsb)
bisaditutupidenganmemakaianggaran
yang
telahdisediakanolehnegarasebagai
legislator. Legislator yang tengah menjabat (incumbent) ini juga bisa
mendayagunakan fasilitas yang dipunyai seperti staf ahli, administrasi, dan fasilitas
penunjang kantor lain. Dengan kemudahan dalam hal finansial dan perlengkapan itu,
legislator yang tengah memerintah punya kesempatan melakukan kampanye secara
terus menerus sepanjang waktu.
Kedua, dengan posisinya sebagai legislator yang tengah memerintah, ia punya akses
lebih besar dalam mendapatkan sumber dana. Sebab penyumbang yang potensial lebih
suka mendonasikan uangnya untuk legislator yang tengah memerintah dibandingkan
dengan calon anggota legislator. Di luar itu, anggota legislator (di Amerika) juga
melakukan kampanye secara terus menerus. Anggota legislator menjalankan perannya
memperjuangkan aspirasi pemilih, dan sekaligus berkampanye untuk dirinya sendiri
guna menghadapi pemilihan periode selanjutnya.
Fenomena pejabat incumbent yang maju kembali dalam pemilihan ini, telah menjadi
salah satu bidang garapan dan kajian yang menarik oleh para ahli. Para ahli
pemasaran politik menyebut pola pemasaran politik bagi pejabat yang tengah
memerintah ini sebagai kampanye permanen atau the permanent campaign (lihat
misalnya Dan Nimmo, 2001; Darren G. Lilleker dan Jannifer Lees-Marshment, 2005).
Disebut kampanye permanen karena, semua aktivitas pejabat yang tengah
memerintah (incumbent) pada dasarnya adalah kampanye.
Mereka menjalankan tugasnya sebagai pejabat dan pada saat bersamaan, secara tidak
langsung juga melakukan kampanye. Mengunjungi masyarakat, memberikan informasi
dan menyajikan tanggapan atas pertanyaan masyarakat, meresmikan sebuah proyek
adalah bagian dari tugas seorang pejabat. Aktivitas tersebut secara bersamaan juga
bisa dikemas untuk menjual diri kandidat. Pendeknya, jika kandidat lain hanya
berkampanye menjelang pemilihan, pejabat yang tengah memerintah ( disadari atau
tidak) telah berkampanye selama 5 tahun menjabat. Tidak mengherankan jikalau
potensi kemenangan dari incumbent ini jauh lebih besar dibandingkan dengan orang
baru.
6. Fenomena ini memang kerap dikritik. Wayne P. Steger (2001) misalnya menyatakan
banyaknya incumbent yang terus menerus terpilih kembali ini sebagai gejala tidak
sehatnya demokrasi di Amerika. Tetapi itulah kenyataannya. Karena itu, ada berbagai
upaya yang dilakukan agar orang-orang baru ( yang mungkin lebih baik) tetap
mendapat kesempatan. Arena seperti konvensi yang rutin dilakukan oleh partai-partai
politik di Amerika adalah salah satu upaya untuk menyediakan panggung agar
pemilihan tidak hanya didominasi oleh orang-orang lama.
Di Indonesia, fenomena incumbent dalam Pilkada ini juga banyak digugat dan
dipertanyakan. Banyak ahli yang menyatakan, adanya incumbent membuat kompetisi
pemilihan kepala daerah berlangsung secara tidak imbang dan tidak fair. Sayangnya,
berbagai upaya untuk membuat pemilihan kepala daerah yang lebih fair, lebih
berimbang, selama ini masih masih berkutat pada hal yang kurang substansial. Sebut
misalnya, soal larangan berkampanye bagi pejabat pemerintah atau keharusan untuk
cuti selama incumbent mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Larangan ini memang bertujuan agar pemilihan kepala daerah bisa berlangsung secara
adil. Masing-masing kandidat mendapat perlakuan yang sama. Tetapi seperti
disinggung di depan, kampanye incumbent pada dasarnya bersifat permanen ( the
permanent campaign). Jadi upaya membuat perlakuan yang sama antar kandidat
adalah tidak logis, karena incumbent sebenarnya mempunyai kesempatan melakukan
kampanye sepanjang pemerintahannya.
Jika kita ingin membuat kompetisi lebih fair (yang nanti pada gilirannya akan
menghasilkan pemimpin terbaik), upaya yang dilakukan seharusnya lebih substansial.
Misalnya dengan memberi ruang sebesar-besarnya bagi setiap orang agar mempunyai
kesempatan bertarung dalam Pilkada, seperti diperbolehkannya calon independen-calon di luar partai politik. Selama ini, pencalonan dilakukan lewat partai politik dan
dalam banyak kasus menyulitkan bagi orang yang ingin ikut bertarung dalam Pilkada.
Kekuasaan terbesar dari pejabat yang tengah memerintah (incumbent) justru pada
tahap pencalonan ini. Kepala daerah umumnya menguasai basis politik lokal (misalnya
dengan menjadi ketua umum dari partai politik di tingkat lokal). Dengan posisi seperti
ini, tokoh-tokoh yang maju dalam Pilkada adalah tokoh atau pejabat lama di
pemerintahan daerah.
Pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam, yang membolehkan adanya calon independen
(calon di luar partai politik) adalah salah satu kasus yang menarik. Pemilihan
berlangsung secara berimbang, dan setiap tokoh bisa mempunyai kesempatan untuk
7. menguji dukungan pemilih lewat Pilkada. Cukup banyak kepala daerah incumbent
yang kalah dari calon-calon dari independen ini.
Hukuman dan Ganjaran dari Pemilih?
Ada kepala daerah yang tengah memerintah (incumbent) terpilih kembali dalam
Pilkada. Tetapi ada juga kepala daerah yang gagal terpilih ketika maju dalam Pilkada.
Idealnya, pemilih memberikan ganjaran (reward) dan hukuman (punishment) pada
incumbent. Jika seorang pemilih merasa bahwa incumbent itu telah bekerja dengan
baik dan memenuhi harapan (kebutuhan) pemilih, ia akan memilih incumbent
kembali. Sebaliknya jika dirasa incumbent gagal dalam memenuhi harapan dan pada
saat bersamaan ada kandidat lain yang dipandang lebih mampu dalam memenuhi
kebutuhan itu, pemilih tidak akan memilih kembali incumbent.
Dari wilayah yang dianalisis, terlihat ada variasi. Ada daerah di mana pemilih yang
menilai incumbent gagal, memberikan hukuman dengan tidak memilih incumbent itu
dan sebaliknya memberikan ganjaran kepada incumbent yang berhasil. Tetapi ada
wilayah di mana aspek ini belum menjadi perhatian pemilih. Kepala daerah yang
dinilai kinerjanya belum atau tidak memuaskan, masih diberi kesempatan untuk
memimpin kembali.
Pemilihan umum (termasuk Pilkada) adalah sarana evaluasi bagi pemilih. Lewat
Pilkada, pemilih mempunyai kesempatan untuk mengevaluasi kinerja kepala daerah.
Pemilih juga dapat memberikan hukuman bagi pemimpin yang dipandang gagal
dengan jalan tidak memilihnya kembali sebagai kepala daerah. Sebaliknya bagi
pemimpin yang berhasil, pemilih dapat memberikan ganjaran (reward) berupa
dukungan bagi pemimpin itu agar memimpin daerah lima tahun ke depan. Lewat
mekanisme ini, kepala daerah dituntut untuk meningkatkan kinerja jikalau ingin
terpilih kembali. Hakim tertinggidarisemua proses iniadalahrakyatpemilih.
Mekanisme di atas adalah mekanisme yang ideal, dan dikenal sebagai pendekatan
ekonomi politik dalam studi perilaku pemilih. Seseorang memilih kandidat dalam
Pilkada misalnya, tidak didasarkan pada kesamaan primordialisme, tetapi didasarkan
pada evaluasi terhadap kandidat dan isu yang ditawarkan. Berkaitan dengan
incumbent, pendekatan ini menekankan bahwa pemilih akan melakukan evaluasi
terhadap apa yang telah dikerjakan kandidat kepala daerah incumbent, dan pada saat
bersamaan akan mengevaluasi kandidat lain.
Jika seorang pemilih merasa bahwa incumbent itu telah bekerja dengan baik dan
memenuhi harapan (kebutuhan) pemilih, ia akan memilih incumbent kembali.
8. Sebaliknya jika dirasa incumbent gagal dalam memenuhi harapan dan pada saat
bersamaan ada kandidat lain yang dipandang lebih mampu dalam memenuhi
kebutuhan itu, pemilih tidak akan memilih kembali incumbent.
Secara umum, bagi pemilih di Indonesia posisi sebagai kepala daerah incumbent masih
dipandang mempunyai nilai lebih. Survei nasional yang dilakukan oleh Lingkaran
Survei Indonesia (LSI) menunjukkan sebanyak 35.4% responden lebih suka memilih
kandidat yang pernah menjadi pejabat. Survei yang sama dengan populasi provinsi
Kepulauan Riau menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Alasan yang dikemukakan
oleh responden sebagaian besar karena kandidat yang pernah menjadi pejabat
mempunyai pengalaman lebih banyak dibandingkan dengan kandidat yang bukan
berasal dari pejabat pemerintah.
Potensi Incumbent
Salah
satukelebihan
yang
dimilikiolehkepaladaerah
incumbent
adalahpopularitas.Incumbent
dikenalolehpemilih
di
atas
80
persen.Jikadibandingkanantarapopularitas
incumbent
denganlawanterkuat
(urutanperolehansuaranomorduadalamPilkada),
incumbent
tampaklebihunggul.Tetapipopularitashanyalahpotensi
yang
harusdiolaholeh
incumbent.Jikapengenalanpemilih
(popularitas)
inibisadikeloladenganbaik,
akanmenghasilkantingkatkesukaan yang tinggidaripemilih.
Tidak semua kandidat incumbent yang dikenal otomatis disukai oleh pemilih. Di
Natuna Misalnya. Meskipun incumbent ( Hamid Rizal) dikenal oleh 83.6% pemilih,
ternyata hanya 44.5% saja dari pemilih yang suka dengan Hamid Rizal. Demikian juga
dengan kandidat incumbent di Sulawesi Utara (Adolf Jouke Sondakh). Meski Sondakh
dikenal oleh 86.2% pemilih, ternyata dari mereka yang mengenal (pernah mendengar)
AJ Sondakh hanya 53.7% saja yang menyukainya.
Incumbent yang menang dalam Pilkada umumnya mempunyai pola yang mirip, yakni
mereka dikenal dan pada saat bersamaan dalam jumlah besar disukai oleh pemilih.
Pada akhirnya, pemilih juga akan memberikan preferensi pada kandidat incumbent.
Sebaliknya terjadi pada incumbent yang kalah. Meski popularitas kandidat tinggi,
tidak diimbangi dengan kesukaan pemilih yang tinggi pula. Sebaliknya,
pemilihjustrulebihsukapadalawan.
EkonomiPolitik
9. Jika popularitas dan kesukaan tampak ada pola antara incumbent yang menang dan gagal, tidak
demikian dengan aspek penilaian terhadap kinerja incumbent. Secara teoritis, incumbent yang
berhasil menang dalam Pilkada dinilai kinerjanya berhasil. Pemilih puas dengan kerja incumbent
dalam menyelesaikan berbagai masalah yang ada di daerah. di daerah-daerah di mana incumbent
menang, umumnya memang ditandai dengan kepuasan pemilih yang tinggi terhadap kerja
incumbent.
Hal yang sama jika kita lihat pada penilaian pemilih terhadap kondisi daerah. Kondisi daerah
mencerminkan penilaian pemilih terhadap kemajuan yang telah dicapai oleh seorang kepala
daerah. Penilaian atas kondisi ekonomi, politik, keamanan dan hukum yang baik mencerminkan
penilaian pemilih terhadap keberhasilan incumbent.
Dari semua wilayah yang dianalisis, terdapat karakteristik yang sama. Incumbent yang menang
selalu ditandai dengan keinginan pemilih untuk dipimpin kembali oleh kepala daerah. Sebaliknya
incumbent yang gagal selalu ditandai dengan prosentase pemilih yang menginginkan incumbent
menjadi kepala daerah kembali, kecil. Perlu dicatat, analisis dalam tulisan ini masih sederhana
dan baru tarap permulaan. Perlu penelitian yang lebih mendalam untuk bisa menjelaskan secara
lebih pasti faktor-faktor apa yang menyebabkan keberhasilan dan kegagalan incumbent dalam
Pilkada.
Sumber: Kajian Bulanan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Edisi 02 – Juni 2007.